Nim : 0801211025
T.A 2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha
Esa yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusunan Critical Book
Review ini dapat diselesaikan. Tugas ini disusun untuk diajukan sebagai tugas mata kuliah
"Etika dan Hukum Kesehatan". Penulis mengucapkan terima kasih kepada ibu Reni
Agustina Harahap, SST., M.Kes. sebagai dosen mata kuliah ini yang senantiasa
membimbing penulis, tak lupa juga ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua
pihak yang membantu penulis sehingga dapat terselesaikannya tugas ini.
Penulis menyadari bahwa dalam tugas ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena
itu penulis harapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun demi
kesempurnaan tugas ini. Penulis berharap Critical Book Review ini dapat bermanfaat bagi
semua orang.
Tia Munika
(0801211025)
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Etika berasal dari bahasa Yunani "ethos" dalam bentuk tunggal, atau "etha" dalam bentuk
jamak atau plural. Dalam kamus Bahasa Indonesia karangan Poerwadarminta, ethos diartikan
adat, kebiasaan, akhlak, watak perasaan, sikap atau cara berpikir. kata etika dalam bahasa
Latin sama dengan moral, yang berasal dari akar kata "mos" (tunggal) atau "mores "(jamak),
yang diartikan kebiasaan orang atau manusia dalam konteks sosialnya. Lebih lanjut
Poerwadarminta (1953) menyimpulkan bahwa: etika adalah sama dengan akhlak, yaitu
pemahaman tentang hak dan kewajiban orang. Etika sebagai kajian ilmu membahas tentang
moralitas atau tentang manusia terkait dengan perilakunya terhadap manusia lain dan sesama
manusia.
Etika mengatur sesuatu yang sebaiknya dilakukan oleh manusia. Terhadap perilaku yang
tidak etis selayaknya diberikan sanksi yang sudah ditentukan sebelumnya oleh dirinya sendiri
dan teman sejawatnya.
Istilah hukum kesehatan sering disamakan dengan istilah hukum kedokteran. Hal ini
dikarenakan hal-hal yang dibahas dalam mata kuliah hukum kesehatan di berbagai fakultas
hukum di Indonesia pada umumnya hanya memfokuskan pada hal-hal yang berkaitan
langsung dengan dunia kedokteran.
Lebih banyak membahas hal-hal yang berkaitan dengan hukum kedokteran atau hukum
medis. Padahal lingkup pembahasan hukum kesehatan lebih luas daripada hukum
kedokteran. Hukum kesehatan tidak terdapat dalam suatu bentuk peraturan khusus, tetapi
tersebar pada berbagai peraturan dan perundang-undangan. Ada yang terletak di bidang
hukum pidana, hukum perdata, dan hukum administrasi, yang penerapan, penafsiran serta
penilaian terhadap faktanya adalah di bidang kesehatan maupun medis.
1
B. Tujuan CBR
1. Untuk memnuhi salah satu tugas pada mata kuliah Sosioantropologi Kesehatan
2. Untuk menambah wawasan serta pengetahuan Sosioantropologi Kesehatan
3. Sebagai bahan evaluasi untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan buku
C. Manfaat CBR
1. Membantu pembaca mengetahui gambaran dan penilaian umum dari sebuah buku atau
hasil karya tulis ilmiah lainnya secara ringkas.
2. Mengetahui kelebihan dan kelemahan buku yang direview.
3. Mengetahui latar belakang dan alasan review tersebut dibuat.
4. Menjadi bahan evaluasi dalam pembuatan suatu buku di penerbitan berikutnya
D. Identitas Buku
Cetakan : ke-2
ISBN : 978-623-6198-32-2
2
BAB 1
KONSEP DASAR ETIKA KESEHATAN
Hati nurani dan "superego"perilaku manusia (tepatnya kepribadian manusia merupakan sebuah
struktur terdiri dari tiga sistem atau aspek, yakni: Id. Ego, dan Superego. Superego itu
berhubungan erat dengan apa yang kita kenal dengan "hati nurani Hubungan antara ketiga
komponen tersebut adalah sebagai berikut:
3
(pleasure principle), atau mencari kenikmatan dan menghindarkan diri dari ketidak nikmatan
(ketidak enakan). Untuk menghindarkan diri dari ketidak enakan ini, das es mempunyai dua cara,
yakni:
a. Refleks dan reaksi-reaksi otomatis, misalnya bersin, berkedip, dan sebagainya.
b. Proses primer, misalnya orang lapar lalu membayangkan makan.
C. Perkembangan Etika
1. Tahap Practik atau Pramoral Perkembangan etika atau moral pada tahap awal terjadi dalam
keluarga. Pada tahap ini, anak mengenal adanya perbuatan baik dan perbuatan tidak baik atau
buruk sangat berkaitan dengan sikap dan perilaku orang tua. Seorang anak mengenal perbuatan
baik kalau apa yang dilakukan itu mendapatkan hadiah atau pujian dari orang tuanya.
2.Tahap Prakonvensional
Pada tahap ini perbuatan-perbuatan anak sudah mulai didasarkan pada norma-norma umum yang
berlaku dalam kelompok sosialnya (sekolah), tidak hanya terbatas pada norma dalam keluarga
atau ayah dan ibunya saja, tetapi sudah lebih luas lagi yakni guru dan kawan kawannya.
itu, perkembangan etika atau moral pada tahap ini disebut "tahap prakonvensional
3. Tahap Konvensional
Pada tahap sudah pada tingkat dewasa, dimana pemahaman seseorang pada kelompok sudah
meluas ke kelompok yang lebih : kompleks lagi (suku bangsa, agama, negara dan sebagainya).
Bahwa perilaku atau tindakan baik dan tidak baik tidak hanya sesuai dengan moral (norma yang
tertulis), tetapi juga sudah mencakup normal kelompok, atau masyarakat yang sudah tertulis,
yakni peraturan dan hukum.
D. Nilai Etika
Dari berbagai studi dapat disimpulkan bahwa moral mempunyai ciri-ciri antara lain:
4
1. Nilai berkaitan dengan subjek, kalau tidak ada subjek ya memberikan "nilai", yang berarti
tidak bernilai. Subjek disini adalah kelompok masyarakat yang menentukan la moral tersebut.
2. Nilai tampil dalam konteks praktis, dimana subjek meletakke sesuatu dalam konteksnya,
misalnya "keadilan".
3. Nilai menyangkut hal-hal yang ditambahkan oleh subjek sesi dengan sifat-sifat yang dimiliki
objek, misalnya "perbuatan baik atau melakukan baik. Secara umum nilai atau norma yang
menyangkut kehidupan man dalam masyarakat dimana saja, atau yang disebut norma umum,
dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni:
1. Norma kesopanan (etiket).
2. Norma hukum
3. Norma moral
E. Pendekatan Etika
Etika seagi ilmu tingkah laku etis atau moral mempunyai berbagai cara pendekatan atau
cara mempelajarinya. Dengan kata lain ada berbagai pendekatan, antara lain:
1. Etika Deskriptif
adalah suatu kajian etika yang bertujuan untuk menggambarkan tingkah laku moral
dalam arti luas: tentang baik buruk, tentang tindakan yang boleh atau tidak boleh dari setiap
kelompok masyarakat atau komunitas, tanpa memberikan penilaian.
2. Etika Normatif
Etika normatif bukan hanya menggambarkan etika dari masing- masing kelompok
komunitas, tetapi memberikan penilaian terhadap etika-etika yang berlaku (dengan sendirinya
menggunakan kriteria etis atau tidak etis), sehingga menentukaan benar atau etis dan tidak benar
atau tidak etis. Lebih lanjut lagi, etika normatif ini dibedakan menjadi:
1. Etika umum
Adalah aturan tingkah laku yang harus dipenuhi oleh setiap orang didalam
masyarakatnya. Setiap anggota masyarakat dimana pun berada selalu terikat oleh etika umum ini,
yang secara implisit mengatur hak dan kewajiban setiap anggota kelompok.
2. Etika khusus
Adalah aturan tingkah laku kelompok manusia dengan kelompok masyarakat yang khas
atau yang spesifik kelompok tersebut. Kelompok masyarakat yang khas atau spesifik ini adalah
kelompok profesi. Kelompok profesi dalam suatu maasyarakat sangat bervariasi, yang
mempunyai kekhasan atau perilaku khusus sesuai dengan profesi masing-masing.
5
G. Manusia Seutuhnya
Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Oleh sebab itu,
manusia tidak dapat disamakan dengan makhluk hidup yang lain. Manusia mempunyai banyak
kelebihan bila dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya. Makhluk hidup lain hanya semata-
mata mempunyai aspek biologis atau fisik, sedangkan manusia, disamping mempunyai aspek
biologis, juga mempunyai aspek psikologis, intelektual.
6
Jurnal Bab. 1
Etika Kesehatan pada Persalinan Melalui Sectio Caesarea
Tanpa Indikasi Medis
ABSTRAK
Angka persalinan dengan sectio caesarea di Indonesia terbilang cukup tinggi. WHO menyatakan,
angka sectio caesarea maksimum sekitar 10 sampai 15%. Oleh karena itu, perlu dikaji
pengambilan keputusan melaku- kan tindakan sectio caesarea berdasarkan prinsip-prinsip etika
kesehatan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yang dilaksanakan di rumah sakit
dan klinik persalinan di Jakarta. Pengumpulan data melalui wawan- cara mendalam pada
narasumber tenaga medis fungsional, bidan dan manajer rumah sakit. Data dianalisis meng-
gunakan content analysis. Hasil penelitian menunjukkantrend persalinan sectio caesarea sangat
tinggi mencapai 70%, Persalinan sectio caesarea hampir seluruhnya disebabkan indikasi medis.
Trend persalinan melalui tindakan sectio caesarea yang sangat tinggi tidak serta merta
menunjukkan bahwa terdapat hal yang bertentangan dengan etika pelayanan kesehatan. Banyak
faktor di luar indikasi medis, baik dari sisi ibu maupun bayi, yang menyebabkan sectio caesarea
dipilih, antara lain faktor psikis ibu, peralatan medis yang tidak siap digunakan untuk per-
salinan normal, hak pasien dalam memilih tindakan medis yang ingin dilakukan, regulasi yang
lemah dalam me- ngendalikan rumah sakit yang menawarkan paket sectio caesarea. serta
regulasi yang dipandang merusak sistem jasa medis yang telah berjalan baik sehingga
mendorong moral hazard dari para dokter untuk membiarkan adanya permintaan persalinan
melalui sectio caesarea tanpa indikasi medis yang adekuat
ABSTRACT
The rate sectio caesarea in Indonesia is quite high. World Health Organization states that the
number sec- tio caesarea maximum of about 10 to 13% Therefore, it is necessary to study the
decision-making action sectio caesarea based on the principles of bioethics. This study used a
qualitative approach with descriptive and analytic analysis, conducted in 2014 in hospitals and
maternity clinics in Jakarta. Data collection through interviews on interviewees such as
functional medical workers, midwives and hospital managers. Results showed the trend of sectio
caesarea very high reaching 70% Sectio caesarea is almost entirely due to medical indications.
Trend sectio caesarea very high does not necessarily indicate that there are things that are
contrary to the ethics of health care. Many factors beyond medical indications, both in the
mother and baby, which causes sectio caesarea been, among others: the maternal psychological,
7
medical equipment that is not ready for normal delivery, the right of patients to choose medical
treatment to do, weak regulation in controlling hospital offers a package sectio caesarea, as well
as regulation is deemed damaging medical services system is already working well so as to
encourage moral haz ard of the doctors to let their demand for childbirth through sectio
caesarea without adequate medical indications.
PENDAHULUAN
8
normal Selain itu, dampak sectio caesarea pun tidak hanya dirasakan ibu melainkan juga bagi
bayi, bah- kan ayah dari bayi. Komplikasi yang bisa timbul pada sectio caesarea adalah infeksi
puerperal, perdarahan, bisa terjadi pada waktu pembedahan cabang-cabang atonia uteria ikut
terbuka atau karena atonia uteria; komplikasi lain karena luka kandung kencing, embolisme paru
dan deep vein thrombosis, dan terjadi ruptur uteri pada kehamilan berikutnya.
Menurut hasil survei global WHO yang dilakukan di 9 (Sembilan) negara Asia pada
tahun 2007 dan 2008, di Kamboja, China, Nepal, Fili- pina, Srilangka, Thailand, dan Vietnam
diketahui bahwa perse persentase persalinan SC sekitar 27,3%. Survei ini meneliti humpir
108.000 persalinan di 122 rumah sakit. Sectio caesarea dapat mening- katkan morbiditas dan
mortalitas maternal, sching- ga SC seharusnya dilakukan hanya karena adanya indikasi medis.
Tenaga medis tentunya paham mengenai risiko dilakukannya tindakan sectio caesarea, termasuk
risiko medis akibat tindakan ini. Namun demikian, banyak tenaga medis yang mempermu dah
izin tindakan ini hanya karena kemauan pasien atau kondisi medis yang sebenarnya dapat diatasi
tanpa sectio caesarea. Hal ini terkait dengan bioetika atau etika kesehatan yang salah satu
prinsipnya adalah benifience, mendahulukan kepentingan atau keselamatan pasien, tidak hanya
pada konteks kekinian melamkan juga pada konteks di masa depan dan mengusahakan agar
kebaikan atau manfaat dari tindakan yang diambil itu lebih banyak dibandingkan dengan suatu
keburukannya. Adanya trend peningkatan tindakan section caesarea (SC) di sejumlah rumah
sakit, baik di RS swasta maupun RS pemerintah, padahal risiko klinis terhadap ibu yang
melahirkan melalui op- erasi SC lebih besar dibandingkan dengan risiko persalinan normal
(pervaginam). Risiko psikolo- gis juga tidak dapat dihindarkan karena rasa sakit pasca operasi
caesarea yang lebih lama serta adan-- ya risiko pada bayi. Risiko akibat pasca SC yang
merugikan ini perlu dikaji lebih jauh dari segi etika kesehatan, mulai dari proses pengambilan
keputusan dokter dalam melakukan operasi see kut tio caesarea. Oleh karena itu, tujuan
penelitian ini "RS ini adalah top level hospital. Kalau adalah untuk menganalisis tindakan sectio
caesarea berdasarkan prinsip-prinsip etika kesehatan.
9
kesimpulan dari jawaban semua narasumber. Data dianalisis menggunakan content analysis
dengan cara membandingkan hasil dengan teori atau konsep yang ada, hasil penelitian sejenis
sebelumnya dan justifikasi peneliti
HASIL
Berdasarkan hasil wawancara pada pihak manajerial rumah sakit, diketahui bahwa trend
persalinan melalui Sectio Caesarea (SC) terbilang sangat tinggi, seperti kutipan dari informan
berikut :
(Informan 1)
"RS ini adalah top level hospital. Kalau dilihat dari angka persalinan, sejumlah kurang lebih
4000 persalinan pertahun, 40% diantaranya adalah dengan SC.”
(Informan 2)
"Untuk pelayanan SC ini besar propor sinya adalah sekitar 30-32%. Akan tetapi, pasien yang
dilayani SC di sini pun di an- taranya adalah pasien rujukan rumah sakit atau bidan, atau juga
dari rumah sakit yang memerlukan back up pelayanan NICU dan PICU"
(Informan 3)
"di RS suyu SC memang terbilang tinggi Jumlahnya. Bahkan, bisa mencapai 70% lebih tinggi
dari standar Depkes yaitu 40%"
Berdasarkan data di RS terlihat grafik ki- saran presentase persalinan SC pada beberapa
unit studi menunjukkan trend cukup tinggi. Gambar I menunjukkan terdapat RS swasta yang
memiliki angka SC sebesar 70% dan 2 RS yang memiliki angka SC sebesar 40% dari seluruh
persalinan. Beberapa RS lainnya memiliki angka rata-rata angka SC berkisar 30-35% setiap
tahunnya. Selain persentase, trend persalinan SC di setiap RS terse- but juga mengalami
kenaikan setiap tahunnya.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bah- wa determinan persalinan SC yang terjadi di
RS pemerintah, cenderung diakibatkan oleh indikasi medis karena RS tersebut telah menjadi
rujukan dari berbagai klinik, puskesmas dan rumah sakit di sekitar RS vertikal tersebut.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bah- wa trend persalinan melalui SC terbilang
tinggi. Rentangnya hanya sedikit lebih rendah dari standar Kementerian Kesehatan, tetapi angka
10
tertingginya jauh lebih tinggi dari standar tersebut. Persentase persalinan SC berkisar antara
30%-70% setiap tahunnya. Sementara, standar jumlah persalinan melalui SC menurut
Kementerian Kesehatan dan WHO adalah masing-masing 40% dan 5-15%.
Hasil penelitian di 3 RS di Jakarta diketahui persentase SC sekitar 55,9% di RSUD dan
59,9% di RS Swasta." Selaras dengan data di RSUPN Cipto Mangunkusumo, tahun 1999 sampai
2000, disebutkan bahwa dari sekitar 404 persalinan per bulan, 30% diantaranya merupakan
sectio caesa- rea. Berdasarkan persentase sectio caesarea terse- but, 13,7% disebabkan oleh
gawat janin (denyut jantung janin melemah menjelang persalinan) dan 2,4% karena ukuran janin
terlalu besar sehingga ti- dak dapat melewati panggul ibu, sementara sekitar 13,9% sectio
caesarea dilakukan tanpa pertim- bangan medis."
Penelitian Suryati¹ yang menyatakan bah- wa angka tindakan operasi caesar di Indonesia
sudah melewati batas maksimal standar WHO yaitu 5-15%. Berdasarkan hasil Riskesdas 2010
tercatat bahwa jumlah persalinan melalui bedah caesarea secara nasional sekitar 15,3% dari jum-
lah total persalinan (dari 20.591 sampel ibu yang melahirkan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir
yang diwawancarai di 33 provinsi). Jumlah tin- dakan sectio caesarea yang cukup tinggi dan me-
ngalami peningkatan setiap tahunnya patut men- jadi perhatian. Hal ini tidak hanya terjadi pada
rumah sakit swasta melainkan juga di rumah sakit pemerintah. Secara umum di Indonesia,
jumlah persalinan caesarea di rumah sakit pemerintah 25% dari total persalinan, sedangkan di
rumah sakit swasta jumlahnya sangat tinggi yaitu sekitar 30-80% dari total persalinan.
Faktor risiko ibu saat melahirkan untuk di- operasi caesarea menurut Riskesdas 2010
diketa- hui adalah karena ketuban pecah dini (13,4%), preeklampsiaa (5,49%), perdarahan
(5,14%), jalan lahir tertutup (4,40%), rahim sobek (2,3%) 14 Adanya komplikasi persalinan ini
6,63 kali lebih cenderung ibu melahirkan secara sesar dibandingkan ibu yang tidak memiliki
komplikasi persalinan Penelitian lain menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan dengan
tindakan persalinan SC adalah karena alasan medis yaitu gawat janin yang berisiko hampir 12
kali lebih besar untuk persalinan SC. Faktor lain yang berhubungan dengan keputusan SC antara
lain adalah usia ibu, paritas, dan kejadian anemia," serta perubahan demografi, pilihan wanita
pada melahirkan, dan saran dokter.
Dokter sebaiknya memahami aspek etika kesehatan dalam persalinan sectio caesarea.
Dokter harus mematuhi etika dalam praktek klinis dan berhati-hati dalam mengevaluasi indikasi
setiap CS dan mengambil keputusan yang tidak bias sebelum melakukan CS atas permintaan.
Selain risiko dan manfaat, perlu pemahaman potensi risiko jangka panjang berulang CS,
termasuk his- terektomi dan kematian ibu dan janin "
Berdasarkan teori deontologi (kewajiban) maka fokus analisis etika suatu tindakan
dilakukan terhadap pelaksana tindakan tersebut." Oleh karena itu dalam persalinan, aspek etika
yang dibahas fokus pada dokter atau tenaga medis yang melak- sanakan. Persalinan melalui SC
tanpa indikasi medis dapat dikatakan etis apabila dokter telah melakukan kewajibannya, antara
lain menjelaskan kondisi janin/bayi pada orang tua, risiko-risiko yang kemungkinan terjadi saat
dan setelah melalui operasi SC, serta hal-hal lain yang perlu diketahui calon ibu dan
pasangannya pasca operasi SC, menjalankan prosedur informed consent dan melakukan operasi
SC sesuai dengan prosedur medis yang berlaku, tanpa kesalahan sedikit pun. Sebagaimana yang
telah dijelaskan mengenai kelebihan ini bahwa apabila pelaksana tindakan yang memicu dilema
etis ini telah menjalankan kewajiban sesuai peran dan tanggungjawabnya maka tindakan ini tidak
lagi menjadi pembahasan dalam dilema etis. Namun, kekurangannya bahwa deontologi tidak
peka terhadap konsekuensi-konsekuensi tindakan, maka apabila di waktu mendatang risiko
11
akibat persalinan SC dirasa merugikan pasien maka pasien tidak dapat lagi menuntut pihak
tenaga medis atau dokter yang melakukan operasi SC.
Membahas suatu isu dari aspek etika diperlukan teori etika sebagai acuan dalam proses
membenarkan suatu keputusan etis tertentu, atau untuk menyusun informasi yang kompleks dan
nilai-nilai serta kepentingan-kepentingan yang bersaing satu sama lain, dan mencari jawaban atas
pertanyaan tentang tindakan yang diperlukan dalam kondisi tertentu. Ada empat teori etika yang
dapat menjadi alternatif pembahasan isu etika, antara lain: konsekuensialisme, deontologi, etika
hak dan intuisionisme.
Teori etika "konsekuensialisme" memandang bahwa tindakan yang dianggap etis adalah
tindakan dengan konsekuensi yang membawa keuntungan yang lebih banyak, melebihi segala
hal yang merugikan." Dengan menggunakan cara pandang pada teori ini, persalinan melalui SC
tanpa indikasi medis bisa saja dapat disimpulkan sebagai tindakan medis yang tidak etis
mengingat tindakan medis tersebut masih dianggap tidak lebih aman dan lebih berisiko meski
teknologi ke- dokteran atau medis telah berkembang pesat dan lebih aman.
Berdasarkan 'etika hak', untuk menganalisis suatu tindakan perlu ditentukan terlebih
dahulu hak dan tuntutan moral yang akan terpicu dari tindakan yang akan dilakukan. Hal yang
menjadi fokus pada teori ini adalah bahwa tuntutan moral atau hak seseorang terpenuhi. Etika
hak populer di Amerika Serikat, terutama dalam isu abortus. Teori hak pantas dihargai terutama
karena tekanannya pada nilai moral seorang manusia dan tuntutan moralnya dalam suatu situasi
konflik etis. Di sisi lain, teori ini tidak menjelaskan tentang konflik hak antara individu-individu
harus dipecahkan." Di persalinan sectio caesarea, teori etika hak ini memecahkan dilema-dilema
moral dengan terlebih dahulu menentukkan hak dan tuntunan moral mana yang terlibat di
dalamnya.
Adapun pada teori intuisionisme, berdasarkan dugaan setiap individu terhadap suatu tin-
dakan yang memicu dilema etis maka teori ini tidak dapat digunakan dalam pembahasan etika
kesehatan pada persalinan melalui SC tanpa indikasi medis. Hal ini dikarenakan tindakan
tersebut merupakan tindakan medis yang telah memiliki standar tersendiri dan pelakunya tidak
lain adalah profesi kesehatan, dokter, yang juga telah memiliki etika profesi. Dengan demikian,
setiap tindakan medis yang dilakukan tidak dapat dinilai hanya dengan intuisi melainkan perlu
dipertimbangkan secara cermat, dapat melalui aspek konsekuensi atau akibat dari tindakan
tersebut, dari aspek kewajiban pelaku (dokter) yang telah terikat etika profesi, serta dapat pula
mempertimbangkan hak dari penerima atau penentu tindakan tersebut yang dalam hal ini adalah
pasien atau calon ibu yang akan melahirkan.
Beauchamp dan Childress menyebutkan pembedahan dan masa mendatang), serta hak
bahwa terdapat 4 poin prinsipal dalam moral dan tuk menolak tindakan medis pada dirinya.
Dalam etik kesehatan yaitu Autonomy, Beneficience, hal ini pasien memilih untuk dilakukan
persalinan Non-maleficence. dan Justice. Keempat poin tersebut tersebut harus seimbang, dan
pada suatu kondisi Perlu menjadi perhatian bersama jika jika salah satu poin etik akan kontra
dengan poin yang lainnya.
Di Indonesia, dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) POGI yang terakhir di Jakarta, Juli
2011 telah disepakati untuk dilakukan perubahan pada standar kode etik POGI yang menyatakan
bahwa tindakan sectio caesarea atas perminta- an pasien bukanlah merupakan suatu bentuk pe-
langgaran etik selama dilakukan suatu informed consent khusus, yaitu adanya surat persetujuan
tindakan medik bedah caesar dengan format khu sus dan dijelaskan langsung oleh dokter yang
akan melakukan tindakan, didampingi saksi dari pihak dokter, dan saksi dari pihak pasien, yang
berisi 1) Permintaan secara eksplisit tertulis bahwa pasien ngan ini pasien meminta untuk
12
dilakukan tindakan seksio sesarea, 2) Bahwa pasien telah dijelaskan oleh dokter yang membedah
tentang persali- nan secara caesar akan dilakukan walaupun telah dilakukan pemeriksaan oleh
dokter bahwa pasien dapat melahirkan per vaginam, persalinan melalui caesar tidak lebih baik
jika dibandingkan dengan persalinan per vaginam, adanya risiko yang dapat timbul pada ibu dan
janin berkaitan dengan tindakan bedah caesar.
Berdasarkan Kode Etika Kedokteran In- donesia (KODEKI) yang berpedoman dari Surat
Keputusan PB IDI No 221/PB/A-4/04/2002, Pasal 7c berbunyi "Seorang dokter harus
menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawat, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus
menjaga kepercayaan pasien." Oleh karena itu, jika pasien menginginkan dan memutuskan untuk
dilakukannya opera si caesar, maka dokter harus mempertimbangkan untuk menyetujui kehendak
pasien (dengan tetap mempertimbangkan keamanan bagi pasien) karena pasien mempunyai
haknya sendiri untuk menentukan tindakan medis yang akan dilakukan.
Selain itu alasan yang mendasari terbitnya revisi kode etik POGI adalah Undang-Undang
Praktik Kedokteran yang memuat mengenai hak pasien atas pilihan pengobatan pada dirinya, hak
mendapatkan penjelasan atas tindakan medik (dijelaskan untung rugi, risiko yang dihadapi
selama pembedahan dan masa mendatang).
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Novi Dwi Istanti dan Putri Kurniasari dari FKM
Universitas Indonesia serta kepada semua pihak yang terlibat dan membantu dalam penelitian
ini.
DAFTAR RUJUKAN
1. Chu K, Cortier H, Maldonado F. Mashant T, Ford N. Trelles M. Cesarean Section Rates
14. Suryati T. (Analisis lanjut data Riskesdas and Indications in Sub-Saharan Africa a
2010) Persentase Operasi Caesaria di Indone- Multi-country Study from Medecins Sans
sia Melebihi Standard Maksimal, Apakah Se- Frontieres. PLOS one 2012;7(9 e44484):1-
6.
2. Sur S, Mackenzie I. Does Discussion of Possi- ble Scar Rupture Influence Preferred
Mode of Delivery After a Caesarean Section? Journal of Obstetrics and Gynaecology.
2005;25(4):338-
13
3. Dobson R. Caesarean Section Rate in England and Wales Hits 21. BMJ. British Medical
Journal 2001;323(7319):951.
4. Wagner VV, Young D. Choosing a Caesarean Birth - A Forum to Discuss the Issues.
Atlan- tic Centre of Excellence for Women's Health; June 16th 2002; Canada 2002.
5. Juditha I, Cynthia I. Tips Praktis bagi Wanita Hamil. Jakarta: Forum Kita; 2009.
6. Kasdu D. Operasi Caesar Masalah dan solusinya. Jakarta: Puspa Swara: 2003.
7. Elizabeth. Menyambut Kehadiran Buah Hati. Jakarta: Openup Publishing: 2005. Jakarta:
Openup Publishing: 2005
8. Salfariani I, Nasution SS Faktor Pemilihan Persalinan Sectio Caesarea Tanpa Indikasi
Medis Di RSU Bunda Thamrin Medan. Jurnal Keperawatan. 2012;1(1):7-12
9. Mochtar R. Sinopsis Obstetri Jilid II. Jakarta: EGC: 2002.
10. Lumbiganon P, Laopaiboon M. Gülmezoglu AM, Souza JP, Tancepanichskul S. Ruyan P
et al. Method of Delivery and Pregnancy Out- comes in Asia: the WHO Global Survey on
Maternal and Perinatal Health 2007-08. The Lancet, 2010,375(9713):490-9.
11. Shannon TA. Pengantar Bioetika (diterjemah- kan oleh K. Bertens) Jakarta: Gramedia
Pus- taka Utama, 1995.
12. Beauchamp TL, Childress JF. Principles of Biomedical Ethics New York: Oxford
University Press, 1994.
13. Sihombing M, Andayasari L Determinan Persalinan Seksio Sesarea Pasien Kelas Tiga Di
dua rumah sakit di Jakarta Tahun 2011. Jurnal Kesehatan Reproduksi. 2015;6(3):173-81.
14. Suryati T. (Analisis lanjut data Riskesdas 2010) Persentase Operasi Caesaria di Indonesia
Melebihi Standard Maksimal, Apakah sesuai Indikasi Medis. Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan. 2013:15(4):331-8
15. Sihombing N, Saptarini 1, Putri DSK Deter- minan Persalinan Sectio Caesarea di
Indonesia (Analisis Lanjut Data Riskesdas 2013). Jurnal Kesehatan Reproduksi
2017:8(1):63-75
16. Andayasari L, Muljati S, Sihombing M. Arlinda D, Opitasari C, Mogsa DF, et al.
Proporsi Seksio Sesarea dan Faktor yang berhubungan dengan Seksio Sesaria di Jakarta.
Buletin Pe- nelitian Kesehatan. 2015;43(2):105-16.
17. Mulyawati 1, Azam M, Ningrum DNA. Faktor Tindakan Persalinan Operasi Sectio
Caesarea. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2011;7(1):14-21
18. Mukherjee S. Rising cesarean section rate. J Obstet Gynecol India 2006;56(4):298-300
19. POGI Tindakan Caesar atas Permintaan Sendiri. Jakarta: Himpunan Kedokteran Feto
Maternal POGI;2011
20. 20. Wahyudi S. Tanggung Jawab Rumah Sakit Medis Di RSU Bunda Thamrin Medan.
Jurnal Terhadap Kerugian Akibat Kelalaian Tenaga Kesehatan dan Implikasinya. Jurnal
Dinamika Hukum. 2011;11(3):505-21.
14
BAB 2
KODE ETIK PROFESI
A. Pengertian Profesi
Profesi berasal dari kata "profesi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan
pengertian profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi Pendidikan keahlian (keterampilan,
kejujuran dan sebagainya) tertentu. Pada umumnya, profesi dapat dilukiskan sebagai pekerjaan
yang menyediakan atau memberikan pelayanan yang highly specialized intellectual Jadi, profesi
adalah pekerjaan pelayanan yang dilandasi oleh persiapan atau Pendidikan khusus yang formal
dan landasan kerja yang ideal serta didukung oleh citacita etis masyarakat Profesi berbeda
dengan pekerjaan lain yang tujuannya memperoleh keuntungan semata.
Dari beberapa defenisi profesi di atas, maka unsur-unsur yangterdapat dalam profesi itu, sebagai
berikut:
1. Merupakan pekerjaan atau lapangan kerja khusus yang hanya mungkin dicapai dengan
pendidikan dan pelatihan khusus.
2. Keahliannya didasarkan pada pengetahuan teoritis, namun dalam penerapannya apakan
gemilang atau biasa-biasa saja sangat tergantung pada kemampuan seseorang dari tenaga
profersional tersebut, Jadi, kualitas hasil pekerjaan seorang profesional tergantung pada kualitas
profesional tersebut.
3. Mendapat pengakuan masyarakat dengan persyaratan bahwa untuk diterima menggeluti
profesi itu dibutuhkan suatu tes ujian formal yang tingkat umumnya pengetahuan atau
keterampilan yang tarafnya advanced (lanjut).
4. Hal yang diandalkan bukan sekadar kemampuan yang bersifat fisik dan kasar (manual), tetapi
kemampuan intelek yang tinggi.
5. Kemampuan itu ditunjukkan sebagai pelayanan umum yang tergolong dalam altruistic service
(pelayanan yang lebih mementingkan kepentingan orang lain).
6. Adanya organisasi atau asosiasi profesi tersebut dengan etika profesi yang jelas.
15
C. Tujuan dan Fungsi Kode Etik Profesi
Secara umum, dapat dikatakan bahwa setiap profesi menempatan ahli yang bersangkutan
dalam suatu keadaan yang istimewa, baik karena kekuasaan yang luar biasa yang dipercayakan
kepadanya (seperti dalam hal, hakim, notaris, jaksa, dan dokter) maupun karena nasib dari orang
yang berkepentingan dipercaya kepadanya. Oleh karena itu, tiap-tiap pelaksana profesi harus
benar-benar memahami tujuan kode etik profesi, kemudian melaksanakannya. Adapun tujuan
dari kode etik profesi sebagai berikut:
1. Menjunjung tinggi martabat profesi
2. Menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota.
3. Meningkatkan pengabdian para anggota profesi.
4. Meningkatkan mutu profesi.
5. Meningkatkan mutu organisasi profesi
6. Meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi.
7. Memiliki organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
8. Menentukan baku standarnya sendiri.
Berikut ini akan dikemukakan tiga prinsip dasar moral, yang bisa juga dijadikan prinsip etika
profesi, sebagai berikut:
1. Prinsip Sikap Baik
Prinsip sikap baik bukan hanya sebuah prinsip yang kita pahami secara rasional, melainkan juga
mengungkapkan suatu kecondongan yang memang sudah ada dalam watak manusia.
2.Prinsip Keadilan
Adil pada hakikatnya berarti bahwa kita memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi
haknya.
3. Prinsip Hormat Terhadap Diri Sendiri
Prinsip ketiga ini mengatakan bahwa manusia wajib untuk memperlakukan diri sendiri sebagai
sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri.
16
Pelanggaran profesi ini, penulis membahas terhadap pelanggaran profesi kedokteran. Dalam
hal ini, pelanggaran dapat ditemukan dalam bentuk:
1. Medical Nelligence (kelainan medik)
2. Profesional misconduct (kesalahan perilaku profesional).
17
2. Public health should achieve community health in a way that respects the rights of individuals
in the community (Profesi kesehatan masyarakat sebaiknya menghormati hak asasi individu
dalam komunitas dalam rangka memahami kesehatan masyarakat);
3. Public health should advocate for, or work for the empowerment of disenfranchised
community members, ensuring that the basic resources and conditions necessary for health are
accessible to all people in the community (Profesi kesehatan masyarakat sebaiknya bekerja atau
memberikan advokasi dalam rangka pemberdayaan anggota masyarakat yang lemah dalam
memperoleh haknya sebagai warga negara, memastikan sumberdaya dasar dan kondisi yang
dibutuhkan bagi pelayanan kesehatan dapat diakses dengan baik oleh seluruh orang dalam
masyarakat/komunitas):
4. Kesehatan masyarakat harus mencari informasi yang dibutuhkan untuk menerapkan kebijakan
dan program yang efektif yang melindungi dan meningkatkan kesehatan.
(Profesi kesehatan masyarakat sebaiknya memperhatikan kebutuhan informasi dalam
mengimplementasikan kebijakan dan program yang efektif dalam rangka mencegah penyakit dan
meningkatkan kesehatan). masyarakat
Kode etik bagi program/kebijakan/prioritas kesehatan
5. Public health policies, programs, and priorities should be developed and evaluated through
processes that ensure an opportunity for input from community members
(Program/kebijakan/prioritas dalam kesehatan. masyarakat sebaiknya mengembangkan dan
mengevaluasi kebijakan, program, dan prioritas dalam kesehatan masyarakat, melalui proses
yang memungkinkan anggota masyarakat dapat memberikan masukan-masukan).
6. Public health programs and policies should incorporate a variety of approaches that anticipate
and respect diverse values, beliefs, and cultures in the community (Program dan kebijakan
kesehatan masyarakat sebaiknya menggunakan pendekatan yang berbeda-beda untuk
mengantisipasi dan menghargai perbedaan nilai, kepercayaan dan budaya di masyarakat):
7. Public health programs and policies should be implemented in a manner that most enhances
the physical and social environment.(Program dan kebijakan kesehatan masyarakat sebaiknya
diimplementasikan semaksimal mungkin untuk meningkatkan lingkungan fisik dan sosial); Kode
etik bagi lembaga-lembaga kesehatan masyarakat
8. Public health institutions should provide communities with the Information they have that is
needed for decisions on policies or programs and should obtain the community's consent for their
implementation. (Lembaga-lembaga di bidang kesehatan masyarakat sebaiknya memberikan
informasi yang mereka miliki kepada masyarakat, yang dibutuhkan dalam rangka pengambilan
keputusan untuk menentukan kebijakan dan program, dan sebaiknya mendapatkan persetujuan
dari masyarakat dalam implementasinya):
9. Institusi kesehatan masyarakat harus bertindak tepat waktu atas informasi yang mereka miliki
dalam sumber daya dan mandat yang diberikan
10. Public health institutions should protect the confidentiality of information that can bring
harm to an individual or community if made public. Exceptions must be justified on the basis of
the high likelihood of significant harm to the individual or others (Lembaga-lembaga. kesehatan
masyarakat sebaiknya menjaga kerahasiaan informasi yang akan merugikan individu atau
masyarakat jika dipublikasikan. 11. Public health institutions should ensure the professional
competence of their employees (Lembaga-lembaga kesehatan masyarakat sebaiknya memastikan
kompetensi yang dimiliki anggotanya); dan
18
Jurnal Bab 2.
KODE ETIK SEBAGAI PEDOMAN PELAKSANAAN
PROFESI HUKUM YANG BAIK
Olch:
Abstrak
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia
adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka prinsip-prinsip penting negara
hukum harus ditegakkan. Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi penegak hukum sebagai profesi yang
bebas, mandiri dan bertanggung jawab merupakan hal yang penting, di samping lembaga
peradilan dan instansi penegak hukum. Melalui jasa hukum yang diberikan, kepentingan
masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-
hak fundamental mereka di depan hukum dapat diwujudkan. Dalam kajian ilmu hukum
dikemukakan bahwa selain norma hukum, terdapat juga norma lain yang turut menopang
tegaknya ketertiban dalam masyarakat yang disebut norma etika. Norma etika dari berbagai
kelompok profesi dirumuskan dalam bentuk kode etik profesi. Kode etik adalah prinsip-prinsip
moral yang melekat pada suatu profesi dan disusun secara sistematis. Kode etik profesi
merupakan norma yang ditetapkan dan diterima oleh kelompok profesi, yang mengarahkan atau
memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin
mutu moral profesi itu di mata masyarakat. Prinsip-prinsip umum yang dirumuskan dalam suatu
profesi akan berbeda-beda satu sama lain. Kode etik berfungsi: Sebagai sarana kontrol sosial,
pencegah campur tangan pihak lain, pencegah kesalahpahaman dan konflik, sebagai kontrol
apakah anggota kelompok profesi telah memenuhi kewajiban. Tujuannya: Menjunjung tinggi
martabat profesi, menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota, meningkatkan
pengabdian para anggota, meningkatkan mutu profesi dan organisasi, meningkatkan layanan,
memperkuat organisasi, menghindari persaingan tidak sehat, menjalin hubungan yang erat para
anggota, dan menentukan baku standarnya. Penegak hukum wajib menaati norma-norma yang
penting dalam penegakan hukum yaitu: kemanusiaan, keadilan, kepatutan, kejujuran serta
melaksanakan kode etik sebagaimana mestinya. Namun dalam pelaksanaannya terkadang tidak
berjalan dengan baik bahkan menimbulkan permasalahan-permasalahan. Dalam penerapannya
terkadang mengalami hambatan atau kendala. Pembahasan dalam penelitian ini adalah:
Kerangka Teori: Grand theory: Teori etika, Midle range theory: Teori keseimbangan, Applied
theory: Teori keadilan; Etika, moral, norma, hukum dan hubungannya; Kode etik profesi hukum:
Kode etik dan pedoman perilaku hakim, kode perilaku jaksa, kode etik profesi kepolisian Negara
Republik Indonesia, kode etik notaris, kode etik advokat; Pelaksanaan profesi hukum yang baik
dan Hambatan atau kendala dalam pelaksanaan kode etik profesi hukum di Indonesia. Metode
yang digunakan adalah yuridis normatif. Apabila terjadi sengketa mengenai pelaksanaan kode
19
etik, hendaklah diselesaikan dengan memperhatikan asas-asas yang terdapat dalam kode etik
tersebut.
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
20
Kode etik profesi merupakan norma yang ditetapkan dan diterima oleh kelompok profesi,
yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat
dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat. Kode etik profesi
merupakan norma yang diterapkan dan diterima oleh kelompok profesi yang menyerahkan atau
memberi petunjuk kepada anggota sebagaimana seharusnya. Umumnya memberikan petunjuk-
petunjuk kepada para anggotanya untuk berpraktik dalam profesi. Namun demikian dapat
diutarakan bahwa prinsip-prinsip yang umum dirumuskan dalam suatu profesi akan berbeda-
beda satu sama lain. Kode etik profesi merupakan: Produk etika terapan, dapat berubah dan
diubah, hasil pengaturan diri profesi yang bersangkutan, berlaku efektif apabila dijiwai, rumusan
norma moral manusia, menjadi tolok ukur perbuatan anggota kelompok dan upaya pencegahan
berbuar yang tidak etis bagi anggotanya. Kode etik profesi dibutuhkan: sebagai sarana kontrol
sosial; sebagai pencegah campur tangan pihak lain; sebagai pencegah kesalahpahaman dan
konflik. Fungsi lain: merupakan kriteria prinsip profesional yang telah digariskan, sehingga
dapat diketahui dengan pasti kewajiban profesional anggota lama, baru, ataupun calon anggota
kelompok profesi, dapat mencegah kemungkinan terjadi konflik kepentingan antara sesama
anggota kelompok profesi, atau antara anggota kelompok profesi dan masyarakat. Anggota
kelompok profesi atau anggota masyarakat sebagai kontrol melalui rumusan kode etik profesi,
apakah anggota kelompok profesi telah memenuhi kewajiban profesionalnya sesuai dengan kode
etik profesi.
Sedangkan tujuan kode etik profesi adalah: menjunjung tinggi martabat profesi, menjaga
dan memelihara kesejahteraan para anggota; meningkatkan pengabdian para anggota profesi;
meningkatkan mutu profesi; meningkatkan mutu organisasi profesi; meningkatkan layanan di
atas keuntungan pribadi mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat dan
menentukan baku standarnya sendiri.
Selain itu kode etik juga bertujuan untuk melindungi anggotanya dalam menghadapi
persaingan yang tidak sehat dan mengembangkan profesi sesuai cita- cita masyarakat. Hubungan
antar anggota profesi harus meninggikan sikap etis agar eksistensi dan prospek organisasi terjaga
kejelasan orientasinya serta rasa kredibilitas sosial terhadap organisasi profesi tetap dapat
dipertahankan. Kode etik membuat ikatan yang kuat dalam keanggotaan tanpa campur tangan
dari pihak luar dan dapat melindungi profesi terhadap pemberlakuan hukum yang dirasa tidak
adil.
Dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum, penegak hukum wajib menaati norma-
norma yang penting dalam penegakan hukum, yaitu: kemanusiaan, keadilan, kepatutan,
kejujuran. Selain hal diatas penegak hukum juga melaksanakan kode etik sebagaimana mestinya.
Dilakukan pengawasan, jika terjadi pelanggaran harus dikenakan sanksi Karena kode etik adalah
bagian dari hukum positif, maka norma-norma. penegakan hukum undang-undang juga berlaku
pada penegakan kode etik.
Namun dalam pelaksanaannya terkadang tidak berjalan dengan baik bahkan
menimbulkan permasalahan- permasalahan dimana kode etik tidak dijadikan sebagai pedoman
pelaksanaan profesi hukum tersebut. Dalam penerapannya juga terkadang mengalami hambatan
atau kendala. Hal semacam ini memerlukan sarana hukum untuk menyelesaikannnya. Eksistensi
hukum sangat diperlukan untuk dihormati dan prinsip-prinsip hukum dijunjung tinggi. Prinsip-
prinsip atau dalam hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan masyarakat. Harapan
untuk menaati hukum dalam praktek hendaklah berjalan dengan baik.
21
RUMUSAN MASALAH
1. Apakah kode etik telah dijadikan sebagai pedoman pelaksanaan profesi hukum di Indonesia?
2. Hambatan atau kendala apa saja yang ditemukan dalam pelaksanaan kode etik profesi hukum
di Indonesia?
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan apakah kode etik telah dijadikan sebagai pedoman
pelaksanaan profesi hukum di Indonesia.
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan hambatan atau kendala apa saja yang ditemui dalam
pelaksanaan kode etik profesi hukum di Indonesia.
Manfaat Penelitian
Manfaat teoritis:
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemikiran dalam pengembangan khasanah ilmu
pengetahuan khususnya kepada materi yang menyangkut etika profesi hukum kaitannya dengan
kode etik sebagai pedoman pelaksanaan profesi hukum di Indonesia,
2. Bahwa apabila timbul masalah dalam pelaksanaan profesi hukum di Indonesia, maka etika dan
kode etik profesi dapat digunakan sebagai salah Satu landasan untuk menyelesaikannya.
Sehingga keadilan dapat ditegakkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Manfaat praktis:
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan menginventarisasi,
mengkaji dan menganalisis serta memahami hukum sebagai perangkat peraturan atau norma-
norma positif di dalam sistem perundang- undangan yang mengatur mengenai kehidupan
manusia. Spesifikasi penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis yang merupakan
penelitian untuk menggambarkan alur komunikasi ilmiah dan menganalisa masalah yang ada
yang akan disajikan secara deskriptif)." Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Data
22
sekunder adalah antara lain mencakup bahan-bahan pustaka yang terkait penelitian, data
sekunder mencakup: Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka. Studi pustaka
merupakan penelaahan terhadap bahan-bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan yang
diteliti. Data dianalisis secara normative kualitatif.
KERANGKA TEORI
Kerangka teori adalah pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu
kasus atau permasalahan yang dapat menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoritis. Hal
mana dapat menjadi masukan eksternal bagi penulis. Pada hakikatnya, teori merupakan
serangkaian proposisi atau keterangan yang saling berhubungan dan tersusun dalam sistem
deduksi, yang mengemukakan penjelasan atas sesuatu gejala. Umumnya terjadi tiga elemen
dalam suatu teori Pertama, penjelasan tentang hubungan antar berbagai unsur dalam suatu teori.
Kedua, teori menganut sistem deduktif, yaitu sesuatu yang bertolak dari suatu yang umum
(abstrak) menuju suatu yang khusus dan nyata. Ketiga, bahwa teori memberikan penjelasan atas
segala yang dikemukakannya. Dengan demikian, untuk kebutuhan penelitian, maka fungsi teori
adalah mempunyai maksud/tujuan untuk memberikan pengarahan kepada penelitian yang akan
dilakukan.
a Grand theory: Teori etika
Yang menjadi grand theory adalah teori Deontologi (Immanuel Kant) yaitu kewajiban
atau tugas dengan kata lain apa yang harus dilakukan. Bagi Kant, kemampuan manusia untuk
bertindak dengan menggunakan moral yang membuat kita istimewa, membuat kita bermoral, dan
memberi kita martabat dan hak. Sebagai profesional, teori yang lebih baik adalah Deontologi
atau teori tugas, karena sebagai profesional kita akan bertindak berdasarkan tugas dan mengacu
kepada kode etik profesional, sehingga dibutuhkan cara yang tepat dan baik untuk
menyelesaikan suatu konflik.
b. Midle range theory: Teori keseimbangan
Pelaksanaan kode etik harus dilakukan dengan asas keseimbangan. Asas keseimbangan
dalam kode etik merupakan unsur penting, sekaligus sebagai upaya penegakan hukum. Dengan
teori keseimbangan kita bisa membandingkan mana perbuatan yang baik dan mana yang buruk
dan hak dan keseimbangan tentang kewajiban.
c. Applied theory: Teori keadilan
Agar tercapai keadilan sebagai tujuan profesi hukum, salah satu caranya adalah dengan
menjadikan kode etik sebagai pedoman.
23
Namun demikian dapat diutarakan bahwa prinsip-prinsip yang umum dirumuskan dalam
suatu profesi akan berbeda-beda satu sama lain. Adapun yang menjadikan tujuan pokok dari
rumusan etika dituangkan dalam kode etik profesi. Ada beberapa standar tujuan pokok etika
profesi, sebagai berikut:
1. standar-standar etika menjelaskan dan menetapkan tanggung jawab kepada klien, lembaga
(institution), dan masyarakat pada umumnya;
2. standar-standar etika membantu tenaga ahli profesi dalam menentukan apa yang harus mereka
perbuat kalau mereka menghadapi dilema-dilema etika dalam pekerjaannya;
3. standar-standar etika menjaga reputasi atau nama dan fungsi profesi dalam masyarakat
melawan kelakuan- kelakuan yang jahat dari anggota- anggota tertentu;
4. standar standar etika mencerminkan /membayangkan penghargaan moral dari komunitas.
5. standar etika merupakan dasar untuk menjaga kelakuan dan integritas atau kejujuran dari
tenaga ahli profesi tersebut.
6. Kode etik profesi menjadi tolok ukur perbuatan anggota kelompok profesi.
7. Kode etik profesi merupakan upaya pencegahan berbuat yang tidak etis bagi anggotanya.
24
6. Meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi.
7. Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
8. Menentukan baku standarnya sendiri.
Saran
1. Dalam kode etik profesi perlu dimuat upaya pemaksa atau sanksi yang lebih
berat jika terjadi pelanggaran, agar mempunyai efek jera bagi pelaku.
2. Bagi setiap anggota profesi perlu diberikan pembekalan secara mendalam terkait kode etik
profesi agar dapat lebih menghayatinya.
25
BAB 3
HUKUM KESEHATAN
26
Kedua kelompok ini menginginkan adanya kepastian dan perlindungan hukum, sebagai contoh:
1 Kepastian hukum untuk health receiver, misalnya ijazah dan surat izin praktik, memberikan
kepastian akan keahliannya.
2.Perlindungan hukum untuk health receiver, misalnya ketentuan hukum (perdata) yang
menjamin adanya ganti rugi
3. Bagi Health Provider, misalnya jika terjadi hal yang tidak diduga malpraktik medis seorang
tenaga kesehatan tidak dapat langsung dihukum, tetapi harus melalui proses perkara dahulu di
pengadilan untuk membuktikan bersalah tidaknya tenaga kesehatan tersebut.
Hak terdiri atas 3 jenis, yaitu hak kebebasan, hak kesejahteraan, dan hak legislatif.
1. Hak Kebebasan.
Hak ini diekspresikan sebagai hak individu untuk hidup sesuai dengan pilihannya dalam
botas-batas yang ditentukan contoh tersebut terdapat 2 hal yang penting, yaitu:
a. Batas-batas kesopanan tersebut merupakan kebijakan rumah sakit
b. Warna putih dan sopan merupakan norma yang diterapkan untuk perawat/bidan
2. Hak Kesejahteraan.
Hak yang diberikan secara hukum untuk hal- yang merupakan standar keselamatan
spesifik dalam suatu banguna atau wilayah tertentu, misalnya hak pasien untuk memperole
pelayanan kesehatan (asuhan keperawatan atau kebidanan) dan ha penduduk untuk memperoleh
air bersih.
3 Hak-hak legislatif.
Hak yang diterapkan oleh hukum berdasarka konsep keadilan Misalnya seorang wanita
mempunyai hak leza untuk tidak diperlakukan semena-mena oleh suaminya. Badman da Radman
(Nila Ismani, 2002), menyatakan bahwa hak-hak legislat mempunyai 4 peranan di masyarakat,
yaitu membuat peraturan mengubah peraturan, membatasi moral terhadap peraturan yang tidak
adil, dan memberikan keputusan pengadilan atau menyelesaik perselisihan
Badman dan Badman (Nila Ismani, 2002) menjelaskan 5 syarat yang memengaruhi penentuan
hak-hak seseorang, yaitu:
1. Kebebasan untuk menggunakan hak yang dipilih oleh orang lala Orang yang bersangkutan
tidak dapat disalahkan atau dihukum karena menggunakan atau tidak menggunakan hak untuk
pengobatan ya diterapkan oleh dokter, tetapi ia mempunyai hak untuk menerima atau menolak
pengobatan tersebut.
2. Seseorang mempunyai tugas untuk memberikan kemudaha bagi orang lain untuk
menggunakan hak-haknya. Contoh: tenap kesehatan (perawat/bidan) mempunyai tugas untuk
meyakinka dan melindungi hak-hak klien untuk mendapat pengobatan.
3. Hak harus sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan,
yaitu persamaan tidak memihak dan kejujuran. Contoh: Semua klien mempunyai hal yang sama
untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan.
4. Hak untuk dapat dilaksanakan. Contoh: di beberapa rumah sak para penentu kebijakan
mempunyaipemberian hak-hak asasi manusia dilaksanakan untuk semua klien atau pasien.
5. Apabila hak seseorang bersifat membahayakan, maka hak tersebut dapat dikesampingkan atau
ditolak dan orang yang bersangkutan akan diberi kompensasi atau pengganti. Contoh: apabila
nama pasien tertunda dari jadwal pembedahan dengan tidak sengaja, pasien mendapat
kompensasi untuk ditempatkan bagian teratas dari daftar pembedahan berikutnya.
27
Dalam bidang kesehatan, misalnya hak memperoleh pemeliharaan kesehatan dan hak untuk
memperoleh informasi adalah hak yang dimiliki oleh setiap warga negara. Pernyataan tersebut di
atas sejalan dengan UU No. 36/2009 tentang kesehatan, yaitu:
1. Pasal 5 ayat 2 menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau.
2. Pasal 8 menyatakan bahwa setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan
dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga
kesehatan.
Tujuan utama hukum kesehatan masyarakat adalah mendapatkan tingkat kesehatan fisik dan
mental yang setinggi-tingginya bagi masyarakat, dengan mempertimbangkan nilai-nilai keadilan
sosial. Dalam hukum kesehatan masyarakat terdapat enam nilai-nilai penting yang dapat
dikembangkan (Gostin & Wiley, 2016 dan Goodman, 2007) sebagaimana dijelaskan pada
gambar 1 yaitu:
1. Kekuasaan dan fungsi pemerintah untuk melindungi kesehatan dan keselamatan masyarakat.
2. Kebijakan tentang kekuasaan dan keterbatasan negara yang berisi paksaan yang dilakukan
untuk melindungi keseimbangan dalam kesehatan masyarakat dengan memperhatikan hak asasi
individu.
3. Fokus pada populasi dengan memecah-mecah risiko kesehatan, serta menerapkan intervensi
skala besar untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan komunitas, dengan memperhatikan
akses dan kualitas pelayanan kesehatan.
4. Mengutamakan jaringan sosial yang sehat
menguntungkan, dan keterlibatan masyarakat sipil. Pemberdaya komunitas dapat menghasilkan
kegiatan promosi kesehatan efektif
5. Orientasi pada pencegahan yaitu melakukan intervensi unt mengurangi risiko
6. Komitmen terhadap keadilan sosial
Disamping sebai alat untuk intervensi "hukum juga merupakan salah satu faktor sosial yang
mempengaruhi kesehatan, baik yang bersifat positif maupun negatif, misalnya:
1. Tindakan kriminalisasi pada upaya untuk menularkan penyakit secara sengaja
2. Tindakan diskriminatif terhadap status kesehatan seseorang.
28
Jurnal Bab 3.
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN
ABSTRAK
Etika adalah sebuah aturan yang mengatur kehidupan manusia dalam membangun hubungan
dengan manusia Linya sebagai interaksi sosial, etika sangat penting karena menjadi tolak ukur
bagi diri dan pribadi setiap manusia, jika manusia tidak memiliki etika maka kehidupannya akan
tidak menjadi berarti dalam kehidupan manusia lainnya. Etika mempunyai tujaan tidak hanya
mengatur dalam sisi pergaulan namun etika juga mengatur bagaimana manusia hidup sebagai
indivdu yang memiliki nilai dimata individu lainnya, sebagai mahluk sosial. Oleh karena itu
etika dan hukum kesehatan memiliki kaitan erat, etika sebagai aturan yang tidak tertulis atau
tertulis sedangkan hukum kesehatan adalah aturan tertulis tentang pelayanan jasa dibidang
kesehatan sebagai pedoman didalam memberikan jasa layanan kesehatan bagi pasien, karena
kesehatan adalah kebutuhan setiap orang untuk dilindungi dijaga agar tidak mendapatkan
perlakukan yang semena-mena oleh pelayanan kesehatan. termsuk dengan melakukan tindakan
yang sesuia dengan anjuran, profesional dalam menjalankan tugas. menjaga kebersihan, baik
sebelum melakukan tindakan ataupun setelah melakukan tindakan. Tujuan penelitian
dilaksanakan guna meningkatakan pemahaman dan pengetahuan bidang etik dan hukum
kesehatan itu sendin Bahwa dengan hukum kesehatan ini dapat mengatur pekerja bidang
kesehatan baik dokter, perawat bidang, staf maupun pasien itu sendir terikat dengan undang-
undang kesehatan maka dengan hukum kesehatan inilah pelayanan kesehatan dapat
memilinmalisir resiko bahwa salah melakukan tindakan akan mengancam dirinya pada tuntutan
hukum. Seperti misalnya kejadian mall praktek pemberian obat kadaluarsa adalah suatu tindakan
perbuatan melawan hukum sehingga, maka etika dan hukum kesehatan sangat penting untuk
diterapkan disetiap ligkungan pekerjaan secara khusus dibidang pelayanan kesehatan baik rumah
sakit, klinik dan rumah sehat lainnya. Dalam penelitian ini menggunakan bahan kepustakaan,
buku, referensi, media onlie, media cetak sebagai bahan pendukung penulisan karya ilmiah ini.
Hasil penelitian dijadikan sebagai bahan bacaan yang bermanfaat bagi semua orang agar dapat
mempelajari dan mempedomani untuk bersikap dalam kehidupan sehari-hari didalam
berinteraksi dengan masyakrakat lainnya. Etika dan hukum kesehatan ini dapat dimanfaatkan
sebaik-baiknya sebagai pedoman dan aturan yang mengatur tata cara seseorang agar dapat
mengedepankan sopan santun didalam kehidupan sosial masyarakat. Kata kunci: Etika, Hukum
Kesehatan.
PENDAHULUAN
Sejak manusia lahir sampai dengan bertambahnya usia disetiap itu pula selalu melakukan
interaksi, bergaul sebagai mahluk sosial lainnya dan semakin luas daya cakup hubungannya
dengan manusia lain didalam masyarakat tersebut. Dengan perjalanan hidup itu manusia akan
mengetahui persamaan dan juga perbedaan dengan manusia lainnya. Dalam pergaulan manusia
mempunyai kebebasan tetapi kkehasan didalam pergaulan itu harus di kedepankan norma
29
sehingga, manusia yang hidup dan bergaul dengan manusia lainnya dapat diterima, karena
manusia memiliki sifat yang berbeda-beda.
Pada hakikatnya manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna karena dilengkapi
olch penciptanya dengan akal, perasaan dan kehendak, akal adalah alat berfikir, sebagi sumber
ilmu pengetahuan sedangkan akal manusia menilai mana yang benar dan mana yang tidak baik,
sebagi sumber nilai kebaikan untuk diri setiap manusia. Perasaan adalah alat untuk menyatakan
keindahan, dengan persaan manusia menialai mana yang indah dan yang tidak indah sedangkan
kehendak adalah alat untuk menyatakan pilihan sebagai sumber kebajikan dan sumber nilai
moral bagi ummat manusia.
Pendidikan etika dibangun dimulai dari lingkungan yang merupakan sebuah proses
pertumbuhan pembelajaraan sejak dini ditanamkan oleh keluarga orang tua sebagai panutan lahir
dilingkungan sampai pada diri kita pribadi, keluarga sebagai tulang pokok lahirnya nilai
moralitas sebagai pendidikan tingkat awal dimana kita didik menjadi orang yang baik atau tidak
baik maka sesungguhnya kita yang menentukan sendiri, pendidikan itu sendiri tidak mesti
ditempuh secara formal sehingga manusia dapat terbentuk menjadi pribadi yang baik atau dapat
memunculkan perilaku seseorang baik atau buruk. Pendidikan juga menjadi pedoman hubungan
manusia dengan manusia lainnya didalam kkehidupan sosial masyarakat lainnya. Etika sosial
merupakan pengamalan pola tingkah laku manusia dengan sesama manusia dalam kehidupan
sosial dimasyarakat. Adanya etika terhadap sesama manusia dan etika profesi atau etika sosial
saling melengkapi sehingga kebahagiaan akan terwujud.
Manusia adalah makhluk hidup mempiliki budaya berbagai ragam kebutuhan, dari
kebutuhan itulah dapat terpenuhi dipenuhi dengan sempurna apabila didalam kehidupan sosial
meletakkan nilai moral. Hubungan manusia dengan manusia perlu terikat dengan ikatan
moralitas sehingga manusia dapat tumbuh didalam kehidupan masyarakat aman dan damai.
Dalam pergaulan antar manusia juga harus didasari dengan etika yang baik menjalankan aturan
sesuai dengan norma yang berlaku dilingkungan sekitar. Karena nilai yang di anut oleh
masyarakat itu menjadi tolak ukur kebenaran dan kebaikkan sebagai acuan untuk menata
kehidupan pribadi dan menata hubungan antar manusia, serta manusia dengan alam sekitarnya.
Pengertian hukum kesehatan adalah semua peraturan hukum yang berkaitan langsung
pada pemberian jasa pelayanan kesehatan baik berlaku sebagai sanksi administratif maupun
sebagai berlaku pada hukum pidana dan perdata. Hukum kesehatan adalah semua peraturan-
peraturan yang terkait dengan pemeliharaan dan pelayanan kesehatan yang berlku di tempat
menyangkut hak dan kewajiban baik secara perorangan dari segenap lapisan masyarakat sebagai
penerima pelaksana kesehatan maupun dari pihak penyelenggara dalam segala aspeknya,
organisasi, sarana, pedoman standar pelayanan medik, ilmu pengetahuan kesehatan dan serta
adat sehingga penyakit datang melalui perbuatan sumber-sumber lainnya.
Hukum adalah peraturan perundang undangan yang dibuat oleh suatu kekuasaan dalam
mengatur pergaulan hidup bermasyarakat. Pergaulan hidup atau hidup di masyarakat yang sudah
maju seperti sekarang ini tidak cukup hanya dengan adat kebiasaan yang turun-temurun seperti
sebelum lahirnya peradaban yang modern. Untuk dikalangan masyarakat. itu, maka oleh
kelompok masyarakat yang hidup dalam suatu masyarakat atau negara diperlukan aturan-aturan
30
yang secara tertulis, yang disebut hukum. Hukum kesehatan terdiri dari hukum kedokteran,
hukum keperawatan, hukum kesehatan masyarakat, hukum farmasi, hukum apotik, hukum
perobatan, dan lain-lain, bahwa peraturan perundang-udangan terkait pelayanan kesehatan sangat
banyak karena terdiri dari setiap bidangnya masing-masing namaun umumnya telah mempunyai
pekerjaan dengan profesi dibidang kesehatan tetap mengutamakan dan mengaalkan kode etik
sebagai anggota tenaga kesehatan, dan melaksanakan tugas dengan teliti dan tetap melakukan
koordinasi, baik pelayanan kesehatan di berikan di klinik maupun di rumah sakit atau tempat
pelayanan kesehatan lainnya.
31
mencakup aspek sosial dan kemasyarakatan dimana banyak kepenting harus dapat diakoordinir
dengan baik.
Hak pasien
a.Hak untuk mendapatkan pelayanan medis, bermutu sesuai dengan standar profesi
kedokteran/kedokteran gigi tanpa diskriminasi
b.Hak mendapatkan pelayanan yang manusiawi adil dan jujur.
c. Hak memperoleh informasi tentang tata tertib serta peraturan yang berlaku di rumah sakit.
d. Hak memperoleh asuhan keperawatan dengan standar profesi keperawatan.
e. Hak untuk memberikan persetujuan atas tindakir. yang akan dilakukan oleh dokter sehubung
dengan penyakit yang dideritanya pasien.
f. Hak untuk memilih dokter dan kelas perawat sesuai dengan keinginannya dan sesuai dengia.
peraturan yang berlaku pada rumah sakit
g. Hak mendapatkan perawatan oleh dokter secara bebas menentukan pendapat etisnya tanpa
campur tangan dari pihak luar
h. Hak untuk menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap diri pasien dan mengakhiri
pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri oleh pasien sesudah memperoleh
informasi yang jelas tentang penyakitnya.
i. Hak atas second opinion meminta pendapat dokter atau dokter gigi
1. Hak privacy atau kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya kecuali
ditentukan menurut peraturan yang berlaku.
m. Hak untuk mengajukan usuluan, saran, perbaikan atas pelayanan rumah sakit terhadap dirinya
n. Hak didampingi keluarga dan atau penasehatnya dalam beribah dan atau masalah lainya
(dalam keadaan kritis atau menjelang kematian).
o. Hak atas keamanan dan keselamatan selama dalam perawatan di rumah sakit
p. Hak menerima atau menolak bimbingan moril maupun spiritual
q. Hak akses rekam medis/ hak atas kandungan ISI rekam medis miliknya.
32
Hak mendapatkan transparansi biaya pengobatan tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
dirinya.
Kewajiban Pasien
a.Memberikan informasi yang benar lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya kepada
dokter yang merawat.
b.Mematuhi segala ketentuan peraturan dan tata- tertib yang berlaku di rumah sakit
c.Memberikan imbalan atas jasa pelayanan yang diterima
e. Berkewajiban memenuhi hal-hal yang telah disepakati/diperjanjiakan bersama.
KESIMPULAN
Etika adalah pedoman aturan yang lahir dari dalam diri sendiri atau karena pergaulan
atau, karena aturan tertulis, etika mengajari seseorang agar dapat mengedepankan sopan santun
didalam kehidupan sosial masyarakat yang berlaku juga lingkungan pekerjaan.
Sedangkan hukum adalah seperangkan peraturan yang dibuat secara tertulis dan memaksa
manusia untuk mentaatinya dan jika dilanggar maka akan disanksikan baik dalam bentuk pidana,
peradara maupun administrasi.
Hukum kesehatan adalah semua ketentuaan hukum yang berhubungan langsung dengan
pemeliharaan kesehatan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya kepada pasien. Oleh sebab
itu, hukum kesehatan mengatur dua kepentingan yang berbeda, yakni:
1. Penerima pelayanan harus diatur hak dan Indonesia.
2. Penyelenggara pelayanan kesehatan serta sarana dan prasarana pelayanan juga harus
diatur hak dan kewajibannya.
33
BAB 4 ETIKA
ASPEK HUKUM TENAGA KESEHATAN
A.PENDAHULUAN
Tanggal 17 Oktober 2014 UU No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga T Kesehatan telah disahkan
dan diundangkan. Pemerintah berdalih pembentukan UU Tenaga Kesehatan merupakan
perpanjangan dari UU no 36 tahun 2009 tentang kesehatan, dan pemerintah mengklaim bahwa
ketentuan mengenal tenaga kesehatan masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-
undangan dan belum menampung kebutuhan hukum masyarakat sehingga perlu dibentuk
undang-undang tersendiri yang mengatur tenaga kesehatan secara komprehensif.
34
1. Tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang kesehatan yang
dinyatakan dengan ijazah dari lembaga atau Institusi pendidikan.
2. Tenaga kesehatan hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah tenaga kesehatan yang
bersangkutan memiliki izin dari menteri Persyaratan ini dikecualikan bagi tenaga kesehatan
masyarakat.
3. Selain izin dari menteri, bagi tenaga medis dan tenaga kefarmasian lulusan dari lembaga
pendidikan di luar negeri harus melakukan adaptasi terlebih dahulu di fakultas atau lembaga
pendidikan dokter negeri di indonesia.
35
a. Calon peserta.
b. Tenaga pelatih.
c. Kurikulum
d. Sumber yang tetap untuk penyelenggaraan pelatihan.
e. Sarana dan Prasarana
10. Menteri dapat menghentikan pelatihan apabila pelaksanaan pelatihan di bidang kesehatan
yang diselenggarakan oleh masyarakat ternyata:
a. Tidak sesuai dengan arah pelatihan yang ditentukan.
b. Tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan.
11. Penghentian pelatihan karena ketentuan-ketentuan penyeleng garaan pelatihan dilanggar.
4. Penempatan Tenaga Kesehatan
Penempatan tenaga kesehatan di tempat-tempat atau fasilitas pelayanan kesehatan, dalam
undang-undang ini diatur sebagai berikut:
1. Dalam rangka penempatan pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat, pemerintah dapat
mewajibkan tenaga kesehatan untuk ditempatkan pada sarana kesehatan tertentu untuk jangka
waktu tertentu.
2. Penempatan tenaga kesehatan ini dilakukan dengan cara masa bakti.
3. Pelaksanaan penempatan tenaga kesehatan ini dilakukan dengan memperhatikan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Penempatan Tenaga Kesehatan dengan Cara Masa Bakti
1. Penempatan tenaga kesehatan dengan cara masa bakti di tempat atau fasilitas pelayanan
kesehatan ini dilakukan dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut:
a. Kondisi wilayah di mana tenaga kesehatan yang bersangkutan ditempatkan.
b. Lamanya penempatan
c. Jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat
d. Prioritas sarana kesehatan.
2. Penempatan tenaga kesehatan dengan cara masa bakti dilaksanakan dengan ketentuan:
a. Sarana kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah.
b. Sarana kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat yas
ditunjuk oleh pemerintah.
c. Lingkungan perguruan tinggi sebagai staf pengajar.
d. Lingkungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
3. Pelaksanaan ketentuan tersebut diatas lebih operasional diatur lebih lanjut oleh menteri setelah
mendengar pertimbangan dari pimpinas instansi terkait.
4. Tenaga kesehatan yang telah melaksanakan masa bakti diberikan surat keterangan dari
menteri.
5. Surat keterangan telah melaksanakan masa bakti tersebut merupakan persyaratan bagi tenaga
kesehatan untuk memperoleh izin menyelenggarakan upaya kesehatan pada sarana kesehatan.
6. Status tenaga kesehatan dalam penempatan tenaga kesehatan dapat berupa:
a. Pegawai negeri sipil.
b. Pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja, atau
c. Penugasan khusus.
36
E. Standar Profesi dan Perlindungan Hukum
Petugas kesehatan adalah petugas kesehatan yang profesional Petugas kesehatan yang
profesional mendasarkan semua perilaku da tindakannya dalam melayani masyarakat atau pasien
harus didasarkan pada standar profesi. Oleh sebab itu, setiap jenis tenaga kesehatan yan!
melayani di berbagai sarana atau fasilitas kesehatan harus mempunya acuan bertindak (etika)
profesi. Acuan bertindak atau etika profes atau "Kode Etik Profesi sebagai standar profesi
kesehatan ini harus dirumuskan oleh masing-masing organisasi atau perkumpulan profesi.
Ketentuan tentang standar profesi petugas kesehatan ini dalam Peraturan Pemerintah No. 32
Tahun 1996 diatur sebagai berikut:
1. Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar
profesi tenaga kesehatan.
2. Standar profesi tenaga kesehatan ini selanjutnya ditetapkan oleh Menteri.
3. Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban
untuk:
a. Menghormati hak pasien.
b. Menjaga kerahasian identitas dan tata kesehatan pribadi pasien.
c. Memberi informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan.
d. Meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan.
e. Membuat dan memelihara rekam medis.
37
Jurnal Bab 4.
ASPEK HUKUM INFORMED CONSENT DAN PERJANJIAN TERAPEUTIK
Abstrak
Kesehatan adalah salah satu hak dasar masyarakat yang dijamin oleh negara. Maka dari itulah
negara berkewajiban menyiapkan perangkat-perangkat dalam melindungi hak pelayanan
kesehatan warga negara. Dalam praktiknya, salah satu perangkat yang telah diatur oleh negara
dalam menjamin pelayanan kesehatan adalah Persetujuan Tindakan Medis. Dalam dunia medis,
Persetujuan Tindakan Medis lebih dikenal dengan istilah Informed Consent. Persetujuan
Tindakan Medis ini akan dituangkan dalam perjanjian tertulis yang dikenal dengan Perjanjian
Terapeutik. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Aspek Hukum informed consent dan
Perjanjian Terapeutik berdasarkan hukum formil di Indonesia. Ruang lingkup pembahasan
adalah pada kajian mengenai hubungan antara Pihak Pasien dan Pihak Tenaga Medis dalam
Informed Consent dan Perjanjian Terapeutik serta analisis aspek hukum formilnya. Hasil
penelitian diharapkan dapat menjadi referensi hukum bagi masyarakat dan juga para tenaga
medis sehingga dapat meningkatkan pemahaman dan kesadaran hukum Pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan bersifat deskriptif
analitis. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer dan
sekunder. Hasil penelitian mendeskripsikan analisis aspek hukum tentang perlindungan hak dan
kewajiban pelayanan kesehatan bagi pihak pasien maupun tenaga medis.
PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan salah satu faktor terpenting dalam pelaksanaan pembangunan
nasional karena merupakan kebutuhan yang sangat mendasar setiap warga negara. Dalam
pelaksanaannya saat ini di Indonesia masih banyak dijumpai masalah dalam bidang kesehatan.
Hal ini terlihat dari rendahnya tingkat kesehatan masyarakat. Kondisi ini khususnya terjadi pada
golongan masyarakat menengah ke bawah.
Untuk menyelesaikan masalah-masalah kesehatan tersebut, pemerintah telah melakukan
berbagai upaya dalam meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat, baik melalui
pembangunan fasilitas kesehatan, pemberian pelayanan kesehatan secara cuma-cuma maupun
produk hukumnya.
Di kalangan profesi hukum dan kedokteran telah terdapat aturan yang memberikan
perlindungan terhadap masyarakat pelayanan kesehatan yang didasarkan atas informasi yang
menerima diberikan oleh pihak rumah sakit melalui seorang dokter. Berdasarkan hal tersebut,
maka dalam berbagai upaya penyembuhan kesehatan harus ada persetujuan dari pasien atas dasar
informasi dari dokter di rumah sakit tersebut, atau disebut dengan informed consent.
Persetujuan Tindakan Kedokteran atau informed consent adalah salah satu bagian dari
Tindakan Kedokteran. Tindakan kedokteran merupakan tindakan hukum yang terjadi karena
adanya hubungan hukum antara dokter dan pasien sebagai akibat dari perikatan/ perjanjian antara
38
dokter dan pasien. Hubungan hukum antara dokter dan pasien dikenal sebagai Perjanjian
Terapeutik.
Pembahasan mengenai keabsahan Perjanjian Terapeutik telah diulas dalam artikel ilmiah
Bayu Wijanarko & Mudiana PS. (Privat Law Vol. 2 No. 4 Tahun 2017) dengan judul Tinjauan
Yuridis Sahnya Perjanjian Terapeutik. Pembahasan ini patut Di kalangan profesi hukum dan
diperkuat dengan pengembangan ruang lingkup yang mencakup aspek hukum dari informed
consent sebagai wujud dari transaksi terapeutik.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Aspek Hukum informed consent dan
Perjanjian Terapeutik berdasarkan hukum formil di Indonesia.
METODE PENELITIAN
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis
normatif. Pendekatan yuridis adalah suatu pendekatan yang mengacu pada hukum dan peraturan
perundang- undangan yang berlaku, sedangkan pendekatan normatif adalah pendekatan yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder terhadap asas-asas hukum serta
studi kasus. Metode pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
penelitian kepustakaan. Data kepustakaan yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang
bersumber dari peraturan perundang- undangan, buku-buku, dokumen resmi, publikasi dan hasil
penelitian. Berdasarkan sifat penelitian, analisis data yang dipergunakan adalah pendekatan
kualitatif terhadap data primer dan data sekunder. Deskriptif tersebut, meliputi isi dan struktur
hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi atau
makna aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang
menjadi objek kajian.
39
Persetujuan dari pasien dikenal dengan informed consent. Persetujuan dapat diberikan
baik secara tertulis maupun lisan. Terhadap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi
harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditanda tangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan. Kesepakatan dalam kontrak terapeutik terjadi pada saat pasien atau orang yang
berhak memberikan persetujuan terhadap tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi ditandatangani. Ketika pasien atau orang yang berhak memberikan persetujuan
menandatangani informed consent, maka terjadilah kesepakatan diantara dokter dan pasien.
Menurut Pasal 1233 KUH Perdata kesepakatan tersebut merupakan sumber hukum perikatan.
Informed consent dari asas hukum perjanjian berfungsi sebagai pemenuhan asas konsensualisme
Yang mengandung makna bahwa sejak tercapainya kesepakatan (consensus) diantara para pihak
mengenai pokok-pokok isi perjanjian maka perjanjian sudah terjadi. Kedua belah pihak sudah
terikat sejak tercapainya kesepakatan, untuk memenuhi kewajiban yang timbul dari perjanjian
tersebut dan memperoleh hak haknya sesuai dengan perjanjian atau menurut ketentuan hukum
yang berlaku.
Perjanjian Terapeutik mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda dengan perjanjian
pada umumnya, yakni terletak pada objek yang diperjanjikan. Objek dari perjanjian ini adalah
berupa upaya atau terapi untuk penyembuhan pasien. Menurut hukum, objek dalam perjanjian
dalam transaksi terapeutik bukan kesembuhan pasien, melainkan mencari upaya yang tepat untuk
kesembuhan pasien. Kontrak terapeutik antara dokter-pasien bukan termasuk perjanjian
resultaats karena objek perjanjian bukan hasil pelayanan medis oleh dokter, tetapi tingkah laku
atau perlakuan pelayanan medis yang dilakukan oleh dokter. Perikatan hukum dokter-pasien oleh
pakar hukum dimasukkan dalam jenis perikatan yang disebut inspanningsverbintenis, yaitu suatu
perikatan dimana dokter menjanjikan suatu upaya atau usaha yang terbaik sesuai dengan bidang
keahliannya untuk melakukan serangkaian tindakan yang dapat dipertanggung jawabkan untuk
penyembuhan dan pemulihan kesehatan pasien. Ukuran upaya yang terbaik dalam hubungan ini
adalah sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional, kebutuhan medis pasien, dan
standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi.
Persetujuan tindakan kedokteran adalah amanat dari Permenkes No. 290 tahun 2008
tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran yang merupakan pelaksanaan dari UU No. 29 tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 45. Permenkes PTK Pasal 2 ayat (1) mengatakan bahwa
semua tindakan kedokteran MUHAMM yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat
persetujuan. Peraturan ini merupakan representasi dari upaya negara untuk mencegah terjadinya
kesewenang-wenangan dokter yang memungkinkan timbulnya pelanggaran hak asasi pasien.
Persetujuan Tindakan Kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran
gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Persetujuan tindakan kedokteran dari :
40
Keputusan adalah suatu pengetahuan yang seutuhnya tentang benar atau salah, keputusan
menyatakan YA atau TIDAK. Meskipun keputusan bisa benar dan juga bisa salah tetapi dalam
diri manusia ada keinginan untuk selalu mengambil keputusan untuk hal-hal yang benar. Untuk
bisa mengambil keputusan yang benar, diperlukan penjelasan yang benar pula. Jadi keputusan
untuk menyetujui atau tidak menyetujui tindakan kedokteran sangat ditentukan oleh penjelasan
yang benar tentang tindakan yang akan dilakukan.
Pada kasus gawat darurat yang mengancam jiwa dan tidak ada keluarga terdekat maka tincakan
kedokteran bisa dilakukan tanpa persetujuan tindakan kedokteran (Permenkes PTK Pasal 4). Ini
dilandasi oleh doctrine of necessity, dokter tetap harus melakukan tindakan medik walaupun
tanpa persetujuan tindakan kedokteran (Guwandi, 2014) yang dikenal sebagai presumed consent
(perkiraan persetujuan). Presumed consent didasari oleh fiksi hukum, bahwa seseorang dalam
keadaan tidak sadar akan menyetujui apa yang pada umumnya disetujui oleh para pasien yang
berada dalam keadaan sadar pada situasi dan kondisi sakit yang sama.
Selama ini yang dianggap sebagai tindakan kedokteran adalah tindakan yang bersifat
operatif, padahal tidak semua tindakan U kedokteran adalah tindakan operatif karena ada
tindakan kedokteran yang bersifat administratif. Tindakan kedokteran operatif misalnya
pembiusan, sayatan atau penusukan terhadap tuhuh yang dilakukan oleh dokter bisa saja
dianggap sebagai penganiayaan (Pasal 351 KUHP). Walaupun tindakan tersebut dilakukan oleh
dokter, tetap dianggap sebagai penganiayaan. Terkecuali jika orang yang yang dilukai tersebut
memberikan persetujuan, tindakan tersebut sesuai dengan indikasi medis dan untuk tujuan yang
konkrit atau tindakan tersebut dilakukan sesuai dengan ilmu kedokteran (Fred Ameln. 1991 hal.
147). Karena perbuatan yang menimbulkan rasa sakit/ luka. kepada orang lain yang merupakan
suatu upaya untuk mencapai tujuan yang diperbolehkan, menurut penafsiran tersebut tidak
termasuk ke dalam pengertian penganiayaan tindakan kedokteran terletak pada Kekuatan hukum
persetujuan penyelenggaraan persetujuan tindakan kedokteran tersebut sebagaimana ketentuan
hukum. Jika penyelenggaraan persetujuan tindakan kedokteran sudah sesuai aturan hukum maka
persetujuan tindakan kedokteran tersebut akan memberikan kepastian hukum bagi dokter.
Harus dibedakan antara prasyarat untuk melakukan tindakan kedokteran dan prosedur
tindakan kedokteran. Persetujuan tindakan kedokteran adalah prasyarat untuk melakukan
tindakan kedokteran. Selama prosedur persetujuan tindakan kedokteran dilakukan sesuai dengan
aturan yang ada maka pelaksanaan tindakan tersebut tidak bisa dituntut. Namun jika dokter
melakukan kelalaian pada saat menjalankan prosedur tindakan kedokteran, dokter masih tetap
bisa dituntut, tetapi hanya untuk tindakan kedokterannya. Jadi walaupun dokter sudah memiliki
persetujuan tindakan kedokteran, bukan jaminan bahwa dokter tidak dapat dituntut oleh pasien/
keluarganya.
Tinjauan aspek hukum Informed Consent dan Perjanjian Terapeutik juga harus ditinjau
dari definisi "perjanjian". R. Subekti (2010) dalam Hukum Perjanjian, menyatakan bahwa
perjanjian adalah suatu peristiwa dimana ada seorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang
itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan
hukum antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu
perikatan antara dua orang yang membuatnya.
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan pada Formulir Persetujuan Tindakan
Kedokteran:
1. Jika pasien yang sudah menyetujui tindakan kedokteran, maka tidak perlu dimintakan
persetujuan lain yang akan menyertainya karena sudah dianggap implied consent misalnya
41
Suntikan premedikasi yang berhubungan dengan tindakan operasi atau mencukur rambut pada
daerah jahitan operasi dan lain sebagainya.
2. Persetujuan tindakan kedokteran bukan perjanjian, sehingga tanda tangan dokter pada formulir
persetujuan hanya sebatas bukti bahwa dokter telah memberikan penjelasan sebagaimana
seharusnya.
3. Formulir persetujuan tindakan kedokteran tidak perlu dibubuhi Materai, karena materai hanya
sebagai tanda pelunasan pajak atas dokumen. Bila suatu saat formulir tersebut akan
dipergunakan sebagai alat bukti di pengadilan maka permeteraian dapat dilakukan belakangan.
Tinjauan aspek hukum Informed Consent dan Perjanjian Terapeutik juga harus ditinjau
dari definisi "perjanjian". R. Subekti (2010) dalam Hukum Perjanjian, menyatakan bahwa
perjanjian adalah suatu peristiwa dimana ada seorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang
itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan
hukum antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu
perikatan antara dua orang yang membuatnya.
Selanjutnya, Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
menyebutkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian, diperlukan empat syarat yang harus
dipenuhi, yaitu kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu
perikatan, suatu pokok persoalan tertentu serta suatu sebab yang tidak terlarang.
KESIMPULAN
Bila tindakan kedokteran dilakukan tidak kedokteran dilakukan tidak sesuai dengan
aturan hukum yang dapat dibenarkan maka tindakan kedokteran tersebut merupakan pelanggaran
itulah diperlukan Persetujuan Tindakan Kedokteran dari pihak pasien sebagai wujud
pertanggungjawaban medis secara hukum. persetujuan tindakan kedokteran dan Perjanjian
Terapeutik esensinya adalah demi kepentingan dan perlindungan hukum seluruh pihak dalam
aktifitas pelayanan kesehatan, baik itu pasien, tenaga medis maupun negara. Bagi pasien,
merupakan bentuk pengakuan dan perlindungan negara akan adanya untuk hak pasien
mendapatkan informasi tentang kesehatan dirinya dan hak untuk membuat keputusan bagi
dirinya sendiri. Bagi Tenaga Medis, merupakan kepastian hukum akan adanya persetujuan dari
pasien terhadap tindakan kedokteran yang akan dilakukan. Sedangkan bagi negara, persetujuan
tindakan kedokteran merupakan upaya negara untuk melindungi hak pasien dari tindakan
kesewenangwenang dokter terhadap pasiennya.
Kelemahan saat ini adalah pada saat terjadi sengketa, agak menyulitkan bagi pihak
penegak hukum karena diperlukan kecermatan ekstra dalam melakukan konstruksi hukumnya.
Untuk itulah sangat disarankan agar diterbitkan landasan hukum yang lebih spesifik dalam
mempermudah aparat hukum saat harus menafsirkan konstruksi hukumnya secara kasuistik.
42
BAB 5
INFORMED CONSENT
A. Pengertian
Pada awal mulanya, dikenal hak atas Persetujuan/Consent, baru kemudian dikenal hak
atas informasi kemudian menjadi "Informed Consent". Kasus Slater vs Baker Stapleton, 1767
menurutAppelbaum merupakan kasus yang pertama di Inggris dimana diputuskan bahwa Dokter
harus memperoleh izin Pasien dahulu sebelum melakukan tindakannya. Sedangkan pada Kasus
Schoendorff vs Society of the New York Hospital, 1914 "Setiap manusia dewasa dan berakal
sehat, berakal sehat, berhak untuk menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya
sendiri; dan seorang Dokter Ahli Bedah yang melakukan suatu operasi tanpa persetujuan
pasiennya dapat dipersalahkan telah melakukan suatu pelanggaran untuk mana ia harus
bertanggung jawab atas segala kerugian" (Hakim Benyamin Cardozo J). Menurut Prof. Azrul
Azwar: 'kehendak untuk menghormati hak asasi manusia dalam bidang kedokteran
diterjemahkan sebagai hak-hak pasien (patient right) akhirnya ditetapkan sebagai salah satu
kewajiban etik yang harus dipatuhi oleh setiap warga profesi kedokteran.
Persetujuan (Informed Consent) ini sangat penting mengingat tindakan medis tidak dapat
dipaksakan karena tidak ada yang tahu pasti hasil akhir dari pelayanan kedokteran tersebut.
Pentingnya Informed Consent ini juga dikaitkan dengan adanya Pasal 351 KUHP tentang
penganiayaan, yang bisa saja dituduhkan kepada pihak dokter atau rumah sakit, terkait tindakan
medis yang dilakukan terhadap pasien. Sebagai contoh, dengan melakukan operasi, memasukkan
atau menggoreskan pisau ke badan seseorang hingga menimbulkan luka, atau membius orang
lain, dapat dikatakan sebagai suatu penganiayaan. Meskipun yang melakukan tindakan tersebut
seorang dokter, tetap dapat dianggap sebagai penganiayaan, kecuali jika:
1. Orang yang dilukai tersebut memberikan persetujuannya;
2. Tindakan tersebut berdasarkan indikasi medik, dan ditujukan pada suatu tujuan yang konkret;
3. Tindakan medik tersebut dilakukan sesuai ilmu kedokteran.
Informasi dan penjelasan tersebut dapat disampaikan secara lisan, sedangkan secara
tulisan dilakukan sebagai pelengkap penjelasan dari penjelasan lisan tersebut. Bagi pasien, untuk
menyatakan persetujuannya dapat dilakukan secara lisan maupun tulisan. Persetujuan tertulis
mutlak diperlukan pada tindakan medik yang mengandung resiko tinggi, sedangkan persetujuan
medik yang mengandung resiko tinggi, sedangkan persetujuan lisan diperlukan untuk tindakan
medik yang tidak beresiko tinggi. Penjelasan hendaknya diberikan dalam bahasa yang mudah
dimengerti karena penjelasan merupakan landasan untuk memberikan persetujuan. Aspek lain
yang juga sebaiknya diberikan penjelasan yaitu yang berkaitan dengan pembiayaan.
43
Menurut Guwandi J (2005), Persetujuan Tindakan Kedokteran adalah suatu pernyataan
izin atau pernyataan setuju dari pasien yang diberikan dengan dengan bebas dan rasional sesudah
mendapat informasi dari dokter dan yang sudah dimengertinya.
44
3. Pasien yang akan dirugikan jika mendengar informasi tersebut, misalnya karena:
kesehatannya. lemah jantung sehingga membahayakan
4. Pasien yang akan menjalani pengobatan dengan "picebo" (obat palsu). Placebo merupakan
senyawa farmakologis yang tidak aktif, yang digunakan sebagai obat untuk pembanding atau
sugesti (sugestif- therapeuticum)
Apabila pasien dalam keadaan tak sadar sehingga dokter tidak mungkin memberikan informasi,
maka dokter dapat bertindak atau melakukan upaya medis tanpa seizin pasien sebagai tindakan
berdasarkan zaakwaarneming atau perwakilan sukarela menurut Pasal 1354 BW. Skema
informedconsent dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Jurnal Bab 5.
Aspek Hukum Persetujuan Tindakan Medis (Inform Consent) Dalam Pelayanan
Kesehatan
Achmad Busro
Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Jl. Prof. Soedarto No. 1 Tembalang
E-mail : achmadbusyro@roketmail.com
Abstract
Approval of medical treatment (inform consent) in health services is a matter that must be
carried out by doctors to patients in terms of legal aspects. For this reason, it is necessary to pay
attention to the implementation of the medical action agreement. So to note also the obstacles
and solutions to overcome the implementation of health services to patients, so that there is a
legal protection for both doctors and patients.
Abstrak
Persetujuan tindakan medis ( inform consent) dalam pelayanan kesehatan merupakan suatu hal
yang wajib dilakukan oleh dokter terhadap pasien ditinjau dari aspek hukumnya. Untuk itu perlu
diperhatikan dalam implementasinya persetujuan tindakan medis itu. Jadi untuk diperhatikan
pula hambatan dan solusi mengatasi dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan kepada pasien,
sehingga terdapat adanya perlindungan hukum baik bagi dokter maupun pasien.
45
LATAR BELAKANG
Tingkat keberhasilan kualitas pelayanan kesehatan dapat dipandang dari tiga subyek
yakni 1) pemakai. 2) penyelenggara dan 3) penyandang dana pelayanan kesehatan. Bagi pemakai
jasa kesehatan, kualitas pelayanan lebih terkait pada dimensi ketanggapan petugas memenuhi
kebutuhan pasien, kelancaran komunikasi petugas dengan pasien. Bagi penyelenggara pelayanan
kesehatan, kualitas pelayanan kesehatan lebih terkait pada dimensi kesesuaian pelayanan yang
diselenggarakan dengan perkembangan ilmu dan teknologi mutakhir dan otonomi profesi dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Sedangkan bagi penyandang dana pelayanan kesehatan,
lebih terkait dengan dimensi efisiensi pemakaian sumber dana, kewajaran pembiayaan kesehatan,
dan/atau kemampuan pelayanan kesehatan mengurangi kerugian penyandang dana pelayanan
kesehatan.
Seiring dengan berkembangnya pelayanan kesehatan dan pelayanan medik tersebut maka
peranan hukum dalam pelayanan kesehatan dan pelayanan medik semakin meningkat. Menurut
Pasal 52 UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, yang menyatakan bahwa pelayanan
kesehatan terdiri atas pelayanan kesehatan perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat.
Pelayanan kesehatan tersebut menurut UU ini meliputi kegiatan dengan pendekatan promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Pelayanan kesehatan dibedakan atas dua macam yaitu 1) pelayanan kesehatan masyarakat
(Public Health Service) dan 2) pelayanan kesehatan kedokteran (Medical Service), untuk
pelayanan kedokteran dapat diselenggarakan sendiri dengan tujuan. utamanya yaitu untuk
mengobati (Kuratif) penyakit dan memulihkan (Rehabilitatif) kesehatan serta sasaran utamanya
adalah perseorangan. Sedangkan pelayanan kesehatan masyarakat umumnya diselenggarakan
bersama-sama dalam suatu organisasi bahkan harus mengikutsertakan potensi masyarakat dan
mencegah penyakit serta sasaran utamanya adalah masyarakat secara keseluruhan. Di samping
pelayanan kesehatan juga ada pelayanan medik di mana pelayanan ini mencakup semua upaya
dan kegiatan berupa pencegahan (Preventif), pengobatan (Kuratif), peningkatan (Promotif), dan
pemulihan (Rehabilitatif) kesehatan yang didasarkan atas hubungan individual antara para ahli di
bidang kedokteran dengan individu yang membutuhkannya.
Berdasarkan hak, maka setiap pasien mempunyai hak untuk mengetahui prosedur
perawatan bagaimana yang akan dialaminya, termasuk risiko yang harus ditanggungnya sebagai
akibat metode perawatan tertentu. Kecuali itu pasien juga mempunyai hak untuk mengetahui
apakah ada alternatif-alternatif lain, termasuk pula resikonya. Ada pula yang berpendapat bahwa
pasien berhak mengetahui hal-hal yang berada di luar ruang lingkup kesehatan, namun yang
berkaitan, seperti misalnya, faktor sosial. Itulah yang lazim disebut "informed consent", yakni
persetujuan yang diberikan setelah mendapatkan informasi selengkapnya.
Informed consent adalah suatu persetujuan mengenai akan dilakukannya tindakan
kedokteran oleh dokter terhadap pasiennya. Persetujuan ini bisa dalam bentuk lisan maupun
tertulis. Pada hakikatnya informed consent adalah suatu proses komunikasi antara dokter dengan
pasien mengenai kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien.
Penandatanganan formulir informed consent secara tertulis hanya merupakan pengukuhan atas
apa yang telah disepakati sebelumnya. Tujuan penjelasan yang lengkap adalah agar pasien
menentukan sendiri keputusannya sesuai dengan pilihan dia sendiri (informed decision). Oleh
karena itu, pasien juga berhak untuk menolak tindakan medis yang dianjurkan. Pasien juga
berhak untuk meminta pendapat dokter lain (second opinion), dan dokter yang merawatnya.
Kewajiban memberikan penjelasan atau informasi kepada pasien adalah penanggung
jawab perawatan terhadap pasien tersebut, misalnya seorang dokter. Dalam keadaan-keadaan
46
tertentu dokter tersebut dapat mendelegasikan wewenangnya kepada tenaga kesehatan lain, akan
tetapi tanggung jawab hukum tetap ada padanya. Secara yuridis, seorang perawat sebenarnya
tidak berwenang melaksanakan proses "informed consent". Hal ini menjadi tugas dokter, dan
kalau ada pendelegasian wewenang, maka dokter harus yakin benar bahwa perawat yang diberi
tugas benar-benar menguasai masalah dan mampu memberikan penjelasan yang dipahami oleh
pasien. Oleh karena itu dari sudut hukum tanggung jawab mengenai "informed consent" tetap
ada pada dokter.
a) Menurut R. Subekti. Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada
seseorang yang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
b) Menurut Abdulkadir Muhammad. Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang
atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain
dan pihak yang lainnya berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
c) Dhani Wiradharma, mengartikan bahwa Persetujuan adalah sama dengan perjanjian.
d) Menurut Pasal 1313 KUHPerdata. Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Subyek dalam perjanjian adalah pihak-pihak yang terdapat dalam perjanjian. Ada dua
macam subyek, yakni seseorang manusia atau suatu badan hukum yang mendapat beban
kewajiban atau mendapat hak atas pelaksanaan kewajiban itu. Subyek yang berupa seorang
manusia haruslah memenuhi syarat sah untuk melakukan tindakan hukum yaitu sudah dewasa
dan tidak berada dibawah pengampuan. Sedangkan obyek dalam perjanjian adalah berupa
prestasi, yang berujud memberi sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu. Perikatan
untuk memberi sesuatu ialah kewajiban seseorang untuk memberi atau menyerahkan sesuatu,
baik secara yuridis maupun penyerahan secara nyata. Perikatan untuk berbuat sesuatu yaitu
prestasi dapat berujud berbuat sesuatu atau melakukan perbuatan tertentu yang positif.
Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu
yang telah dijanjikan.
Dalam hal ini terdapat tiga macam obyek, yakni:
a) Barang-barang yang dapat diperdagangkan.
b) Harus diketahui jenisnya dan dapat ditentukan.
c) Barang-barang tersebut sudah ada atau akan ada dikemudian hari.
Mengenai obyek perjanjian, diperlukan beberapa syarat untuk menentukan sahnya suatu
perikatan. yaitu:
a) Obyeknya harus tertentu. Syarat ini hanya diperlukan bagi perikatan yang timbul dari
perjanjian.
b) Obyeknya harus diperbolehkan, artinya tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban
umum atau kesusilaan.
47
c) Obyeknya dapat dinilai dengan uang. Hal ini dikarenakan suatu hubungan hukum yang
ditimbulkan dari adanya perikatan berada dalam lapangan hukum harta kekayaan.
d) Obyeknya harus dimungkinkan. Orang tidak dapat mengikatkan diri kalau obyek tidak
mungkin diberikan.
3.Azas-Azas Perjanjian
Pada pokoknya ada 4 azas penting yang terdapat dalam suatu perjanjian, sebagaimana dianut
dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:
a) Azas Kebebasan Berkontrak: sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata bahwa setiap
orang diperbolehkan membuat perjanjian apa saja asalkan dibuat secara sah dan selanjutnya
mengikat para pihak yang membuatnya.
b) Azas Janji itu mengikat; bahwa orang terikat pada suatu perjanjian bukan karena ia
menghendakinya namun karena ia telah memberikan janjinya.
c) Azas Konsensualisme; sebagaimana dapat disimpulkan dari Pasal 1320 KUHPerdata jo Pasal
1338 ayat (1) KUHPerdata, bahwa untuk melahirkan perjanjian adalah cukup dengan melahirkan
kata sepakat mengenai hal-hal yang pokok mengenai perjanjian tersebut dan perjanjian itu sudah
mengikat pada saat terjadinya consensus.
48
Demikian pula pada kasus emergency sedangkan dokter memerlukan tindakan segera sementara
pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarganya tidak ada ditempat,
maka dokter dapat melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter.
Informed Consent itu sendiri menurut jenis tindakan/ tujuannya dibagi tiga, yaitu:
a. Yang bertujuan untuk penelitian (pasien diminta untuk menjadi subyek penelitian).
b. Yang bertujuan untuk mencari diagnosis.
c. Yang bertujuan untuk terapi.
Dalam keadaan gawat darurat Informed consent tetap merupakan hal yang paling penting
walaupun prioritasnya diakui paling bawah. Prioritas yang paling utama adalah tindakan
menyelamatkan nyawa. Walaupun tetap penting, namun Informed consent tidak boleh menjadi
penghalang atau penghambat bagi pelaksanaan emergency care sebab dalam keadaan kritis
dimana dokter berpacu dengan maut, ia tidak mempunyai cukup waktu untuk menjelaskan
sampai pasien benar-benar menyadari kondisi dan kebutuhannya serta memberikan
keputusannya. Dokter juga tidak mempunyai banyak waktu untuk menunggu kedatangan
keluarga pasien. Kalaupun keluarga pasien telah hadir dan kemudian tidak menyetujui tindakan
dokter, maka berdasarkan doctrine of necessity, dokter tetap harus melakukan tindakan medik.
Hal ini dijabarkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585/Menkes/Per/IX/1989 Tentang
Persetujuan Tindakan Medik, bahwa dalam keadaan emergency tidak diperlukan Informed
consent. Sesuai dengan yang terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
290/Menkes/Per/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, bahwa dalam keadaan
49
gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan
persetujuan tindakan kedokteran.
Ketiadaan informed consent dapat menyebabkan tindakan malpraktek dokter, khususnya
bila terjadi kerugian atau intervensi terhadap tubuh pasiennya. Hukum yang umum diberbagai
Negara menyatakan bahwa akibat dari ketiadaan informed consent setara dengan
kelalaian/keteledoran. Akan tetapi, dalam beberapa hal, ketiadaan informed consent tersebut
setara dengan perbuatan kesengajaan, sehingga derajat kesalahan dokter pelaku tindakan tersebut
lebih tinggi.
Tindakan malpraktek dokter yang dianggap setara dengan kesengajaan adalah sebagai
berikut:
a. Pasien sebelumnya menyatakan tidak setuju terhadap tindakan dokter, tetapi dokter tetap
melakukan tindakan tersebut.
b. Jika dokter dengan sengaja melakukan tindakan misleading tentang risiko dan akibat dari
tindakan medis yang diambilnya.
c. Jika dokter dengan sengaja menyembunyikan resiko dan akibat dari tindakan medis
yang diambilnya.
d. Informed consent diberikan terhadap prosedur medis yang berbeda secara substansial dengan
yang dilakukan oleh dokter.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Implementasi persetujuan tindakan medis (informed consent) dalam pelayanan kesehatan.
Persetujuan Tindakan Medis diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yaitu UU No.
36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, UU No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, UU No. 29
Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata),
Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Setiap
tindakan yang akan dilakukan dalam pelaksanaan Persetujuan Tindakan Medis berpedoman pada
peraturan perundang-undangan yang ada, berdasar formulir persetujuan tindakan medik yang
baku.
2. Pelaksanaan persetujuan tindakan medik (informed consent) dalam pelayanan kesehatan.
Keharusan adanya Informed Consent secara tertulis yang ditandatangani oleh pasien sebelum
dilakukannya tindakan medik, karena erat kaitannya dengan pendokumentasiannya ke dalam
catatan medik (Medical Record). Hal ini disebabkan. Rumah Sakit tempat dilakukannya tindakan
medik tersebut, selain harus memenuhi standar pelayanan rumah sakit juga harus memenuhi
standar pelayanan medik sesuai dengan yang ditentukan dalam keputusan Menteri Kesehatan No.
436/MENKES/SK/VI/1993 Tentang Berlakunya Standar Pelayanan di Rumah Sakit. Dengan
demikian, Rumah Sakit turut bertanggung jawab apabila tidak dipenuhinya persyaratan Informed
Consent. Apabila tindakan medik yang dilakukan tanpa adanya Informed Consent, maka dokter
yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan surat izin praktik.
Berarti. keharusan adanya Informed Consent secara tertulis dimaksudkan guna kelengkapan
administrasi Rumah Sakit yang bersangkutan. Dengan demikian, penandatanganan Informed
Consent secara tertulis yang dilakukan oleh pasien sebenarnya dimaksudkan sebagai penegasan
atau pengukuhan dari persetujuan yang sudah diberikan setelah dokter memberikan penjelasan
mengenai tindakan medik yang akan dilakukannya. Oleh karena itu, dengan ditandatanganinya
Informed Consent secara tertulis tersebut, maka dapat diartikan bahwa pemberi tanda tangan
50
bertanggung jawab dalam menyerahkan sebagian tanggung jawab pasien atas dirinya sendiri
kepada dokter yang bersangkutan, beserta resiko yang mungkin akan dihadapinya.
3. Hambatan-hambatan dan solusi untuk mengatasinya dalam pelaksanaan persetujuan tindakan
medik (informed consent) dalam pelayanan kesehatan. Hambatan yang ditemui dalam
pelaksanaan persetujuan tindakan medik yaitu bahwa form persetujuan tindakan medik tidak
ditandatangani oleh pasien sendiri padahal pasien dalam keadaan sadar. Selain itu informasi
didapat oleh pasien dari perawat, juga dalam formulir persetujuan tindakan medik ada dokter
yang tidak tanda tangan.
SARAN
1. Penerapan persetujuan tindakan medik (informed consent), antara dokter dengan pasien
hendaknya saling menyadari bahwa masing-masing pihak punya hak dan kewajiban yang wajib
dijunjung tinggi. Hal tersebut perlu untuk dipahami agar tidak timbul masalah yang dapat
merugikan dikemudian hari dan dapat merugikan semua pihak.
2. Antara pasien dan dokter hendaknya dapat lebih meningkatkan komunikasi, sebab dengan
komunikasi yang baik maka penerapan persetujuan tindakan medik (informed consent) dapat
berjalan dengan baik. Selain itu dengan adanya komunikasi yang baik akan lebih meminimalkan
resiko terjadinya malpraktek di bidang medis.
3. Demi kepastian hukum di bidang medis, serta adanya jaminan hak dan kewajiban antara
dokter dengan pasien, maka sebaiknya Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 yang mengatur
tentang persetujuan tindakan medik (informed consent) dinaikkan tingkatnya menjadi Peraturan
Pemerintah, serta ditambahkan tentang sanksi tegas bagi pelanggar ketentuan persetujuan
tindakan medik (informed consent).
51
BAB 6
ETIKA PENELITIAN KESEHATAN
A. Pendahuluan
Penelitian adalah kegiatan untuk memperoleh informasi atau penjelasan tentang
fenomena alam atau sosial, yang direncanakan secara sistematik dengan metode atau cara - cara
tertentu. Dari batasan ini jelas, bahwa dalam kegiatan penelitian ada dua belah pihak yang
berkepentingan. Pihak pertama adalah pihak yang ingin memperoleh informasi atau penjelasan,
yakni sipeneliti dan pihak yang kedua adalah pemberi informasi atau pemberi penjelasan adalah
masyarakat atau responden sebagai pihak yang diteliti. Dalam hubungan antara pihak yang
pertama (peneliti) dengan pihak yang kedua (masyarakat yang diteliti) sudah barang tentu
masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang disepakati bersama. Hubungan inilah yang
perlu diatur dalam etika penelitian.
Penelitian disamping sebagai bagian dari proses pengembangan ilmu, tetapi hasil suatu penelitian
juga merupakan produk ilmu itu sendiri. Hasi sebuah penelitian sebagai produk ilmu mempunyai
fungsi ganda, yakni:
Penelitian kesehatan secara garis besarnya dikelompokkan menjadi dua, sesuai degan ruang
lingkup masalah kesehatan yakni masalah:
1. Pencegahan penyakit (preventif) dan peningkatan kesehatan (promotif) adalah bidang
kesehatan masyarakat.
2. Penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) adalah bidang kedokteran.
52
Secara terinci hak-hak dan kewajiban-kewajiban peneliti dan yang diteliti (informan) adalah
sebagai berikut:
1. Hak dan kewajiban responden:
Hak responden:
a. Hak untuk dihargai "privacy"
b. Hak untuk merahasiakan informasi yang diberikan
c. Hak memperoleh jaminan keamanan atau keselamatan akibat dari informasi yang diberikan
d. Hak memperoleh imbalan atau kompensasi
1.Kewajiban responden:
Setelah adanya "inform concent" dari responden atau informan, artinya responden sudah
mempunyai keterikatan dengan peneliti atau pewawancara berupa kewajiban responden untuk
memberikan informasi yang diperlukan peneliti. Tetapi selama belum ada "informn concent",
responden tidak ada kewajiban apa pun terhadap peneliti atau pewawancara.
2. Hak dan kewajiban peneliti atau pewawancara
Hak peneliti:
Bila responden bersedia diminta informasinya (menyetujui inform concent), peneliti mempunyai
hak memperoleh informasi yang diperlukan sejujur-jujurnya dan selengkap-lengkapnya dari
responden atau informan. Apabila hak ini tidak diterima dari responden, dalam arti responden
menyembuntikan informasi yang diperlukan, maka responden perlu diingatkan kembali terhadap
"inform concent" yang telah diberikan.
Kewajiban peneliti:
a. Menjaga "privacy" responden
b. Menjaga kerahasiaan responden
c. Memberikan kompensasi
53
sedang kurang baik, sudah barang tentu informasinya tidak akurat, mungkin asal menjawab, dan
tidak dengan serius. Suasana hati informan ini sangat dipengaruhi oleh hubungannya dengan
pewawancara atau peneliti (rapport).
Misalnya: meskipun responden sedang bermasalah dengan keluarganya, tetapi peneliti mampu
berkomunikasi dan menempatkan diri secara baik, maka responden akan menjadipemberi
informasi yang baik dan akurat. Sebaliknya, meskipun respnden dalam keadaan biasa saja, tanpa
ada masalah pribadi dengan orang lain, tetapi peneliti tidak mampu berkomunikasi dengannya,
akan menimbulkan suasana hati yang tidak baik, dan hasilnya informasi yang diberikan tidak
akurat, cenderung tidak jujur. Dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian dimana data atau
informasinya diambil melalui wawancara atau angket, kualitas hasil penelitiannya sangat
tergantung pada proses pengambilan data atau informasi ini.
3. Kaji Etik Penelitian Kesehatan Masyarakat
Suatu penelitian yang baik harus dapat dipertanggung jawabkan baik secara metodologis,
substantif, maupun secara etis atau moral. Untuk menjamin bahwa sebuah penelitian dapat
dipertanggung jawabkan secara etik, maka harus melalui kaji etik terlebih dahulu. Artinya,
sebelum penelitian tersebut dilakukan, maka harus lolos kaji etik. Kaji etik penelitian dilakukan
oleh suatu badan atau lembaga yang diberikan kewenangan untuk itu sesuai dengan bidang
keilmuan penelitian tersebut. Misalnya untuk penelitian-penelitian bidang kesehatan masyarakat,
institusi yang berwewenang melakukan kaji etik adalah Badan Penelitian dan Pengembangan
yang diberi kewenangan oleh Departemen Kesehatan, atau Tim Kaji Etik FKM-UI, yang diberi
kewenangan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.
54
Jurnal Bab 6.
KAJIAN ETIK PENELITIAN DALAM BIDANG KESEHATAN DENGAN
MELIBATKAN MANUSIA SEBAGAI SUBYEK
Abstrak
Artikel ini mendiskusikan tentang kajian etik penelitian dalam bidang kesehatan dengan
melibatkan manusia sebagai subyek pada studi literatur dan studi terhadap kasus nyata yang
terjadi. Metode analisa yang digunakan dengan menggunakan studi literature, artikel terhadap
kasus ditinjau dari aspek dilema etik penelitian keseharian. Prinsip dasar etika dan hukum dalam
profesi kesehatan dengan adanya hubungan kontraktual-profesional antara peneliti dan subyek.
Permasalahan etik dalam penelitian antara lain fabrication, falsification, plagiarism, exploitation.
injustice, duplication. Kegiatan dalam proses penelitian harus perpedoman pada integritas, jujur
dan adil. Prinsip-prinsip etika dan hukum terutama dalam hubungan peneliti dan subyek
penelitian dalam bidang kesehatan harus selalu dijunjung tinggi berdasarkan prinsip etik
penelitian kesehatan.
Abstract
This article discusses the study of research ethics in the field of health by involving humans as
subjects in literature studies and studies of real cases that occur. The method of analysis used by
using literature studies, articles on cases in terms of aspects of the ethical dilemma of daily
research. The basic principles of ethics and law in the health profession with the existence of
contractual- professional relations between researchers and subjects. Ethical problems in
research include fabrication, falsification, plagiarism, exploitation, injustice, duplication.
Activities in the research process must be guided by integrity. honesty and fairness. Ethical and
legal principles, especially in the relationship of researchers and research subjects in the health
sector must always be upheld based on the principles of health research ethics.
PENDAHULUAN
Tujuan penelitian adalah untuk mengembangkan keilmuan dengan berupa fakta yang
baru dan menjadi dasar untuk pemecahan masalah. Ilmu dan penelitian tidak dapat dipisahkan.
Ilmu berkembang dengan penelitian dan penelitian tidak akan terpecahkan tanpa ilmu. Ilmu
merupakan filosofi sedangkan penelitian adalah tindakan dalam membangun kerangka ilmu
pengetahuan. Metode ilmiah merupakan suatu tahapan dari penelitian dalam pengembangan
suatu ilmu (Sastroasmoro, 2011).
Peneliti dalam melakukan penelitian tidak akan berhasil tanpa bantuan orang lain.
Diperlukan responden yang akan menyisihkan waktunya untuk terlibat dalam penelitian, disini
diperlukan timbal balik peneliti kepada responden. Respon dari responden yang secara sukarela
memberikan informasi penelitian perlu dihargai atas informasi. kesediaan dan kejujurannya dan
hal inilah yang disebut kode etik penelitian (Kemenkes, 2017). Penelitian bidang kesehatan
mempunyai tujuan untuk mendapatkan informasi dan data dalam mengembangkan serangkaian
55
kegiatan ilmiah. Ranah penelitian bidang kesehatan mempunyai perbedaan karakteristik, namun
saling berkaitan serta dalam satu rangkaian kerangka keilmuan bidang kesehatan (Sastroasmoro,
2011).
Penelitian bidang kesehatan dapat dilakukan baik kegiatan klinis atau sosial akan
melibakan manusia sebagai subjek. Manusia yang terlibat sebagai subyek penelitian memiliki
yang dimiliki sejak dilahirkan. Hak ini tidak dapat dikurangi atau dilanggar. Hal tersebut disebut
dengan hak asasi. Seorang subyek dengan melibatkan manusia dalam proses penelitian
kemungkinan akan mengalami ketidaknyamanan bahkan akan mendapatkan risiko dari dampa'
penelitian. Kesediaan dan martaba subyek tersebut harus diharga Kewajiban tersebut disebut
dengan etik penelitian kesehatan (Kemenkes, 2017). Penelitian dimana melibatkan manusia
sebagai subyek diterima secara etik apabila menggunakan metode ilmiah yang baik dan benar
(Setywan, 2013).
Etik merupakan suatu filosofi yang mendasari suatu prinsip. Kegiatan peneitian akan
berjalan baik dan benar (the right conduct) apabila menerapkan prinsipi-prinsip etika penelitian
yang harus dipatuhi. Aturan dan etik tersebut harus dipahami seseorang yang akan melakukan
penelitian. Aspek etik dalam penelitian terkait dengan sifat jujur, utuh dan bertanggungjawab
terhadap subyek penelitian. memperhatikan aspek rahasia. anonimity dan sopan (Setywan, 2013).
Etika penelitian memerlukan pedoman etis dan norma yang mengikuti perubahan dinamis
masyarakat. Sikap ilmiah (scientific attitude) perlu dipegang teguh oleh seorang peneliti
berdasarkan prinsip etik dan norma penelitian demi menjamin subyek dihormati terhadap privasi,
kerahasiaan, keadilan dan mendapat manfaat dari dampak penelitian dengan menerapkan prinsip
adil, benar dan humanistik (Kemenkes, 2017).
TINJAUAN PUSTAKA
Peneliti adalah seseorang yang mempunyai keilmuan sesuai bidangnya dan tugas seorang
peneliti adalah membuktikan asumsi dan hipotesis melalui penelitian ilmiah. (LIPI, 2013).
Pembenaran terhadap etis atau laik etik dalam penelitian imiah dalam melibatkan manusia
sebagai subyek dengan mempertimbangkan beberapa nilai ilmiah dan nilai sosial dalam
menghasilkan pengetahuan dan diperlukan sarana untuk melindung dan memberikan serta
meningkatkan kesejahteraan bidang kesehatan (Kemenkes, 2017).
Kegiatan penilitian dilakukan berdasarkan prinsip dan kaidah serta metode ilmiah yang
disusun secara sistematis dalam upaya mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penelitian,
memberikan pemahaman dan membuktikan asumsi dan hipotesis penelitian dalam rangka
merumuskan kesimpulan penelitian dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (LIPI,
2013).
Upaya untuk menjaga kehormatan profesi dari peneliti dan dalam meningkatkan mutu
penelitian serta kredibilitas lembaga diperlukan penegakan terhadap etika penelitan. Hal ini
penting untuk menerapkan prinsip etik, kejujuran dan keadilan peneliti yang bermanfaat
meningkatkan kesadaran peneliti, mengirangi resiko etik seperti pelanggaran etik dan
memberikan nilai pembelajaran bagi peneliti sendiri (LIPI, 2013).
MANFAAT
Penelitian dengan menerapkan prinsip etik akan memberikan nilai positif atau bagian
yang menguntungkan dari penelitian. Nilai positif suatu atau keuntungan ini dapat berlaku untuk
individual subjek serta melindungi subyek dari dampak pelangaran etik.
56
Prinsip Etik
Prinsip etik penelitian di bidang kesehatan yang mempunyai secara etik dan hukum secara
universal mempunyai tiga prinsip, yaitu (Kemenkes, 2017):
1. Menghormati harkat martabat manusia (respect for persons). Bentuk penghormatan terhadap
harkat martabat manusia sebagai pribadi (personal) yang memiliki kebebasan berkehendak atau
memilih dan sekaligus bertanggung jawab secara pribadi terhadap keputusannya sendiri. Prinsip
ini bertujuan untuk menghormati otonomi, yang mempersyaratkan bahwa manusia yang mampu
memahami pilihan pribadinya untuk mengambil keputusan mandiri (self-determination), dan
melindungi manusia yang otonominya terganggu atau kurang, mempersyaratkan bahwa manusia
yang berketergantungan (dependent) atau rentan (vulnerable) perlu diberikan perlindungan
terhadap kerugian atau penyalahgunaan (harm and abuse).
2. Berbuat baik (beneficence) dan tidak merugikan (non-maleficence) Prinsip etik berbuat baik
menyangkut kewajiban membantu orang lain dilakukan dengan mengupayakan manfaat
maksimal dengan kerugian minimal. Subjek manusia diikutsertakan dalam penelitian kesehatan
dimaksudkan membantu tercapainya tujuan penelitian kesehatan yang sesuai untuk diaplikasikan
kepada manusia.
Prinsip etik berbuat baik, mempersyaratkan bahwa: 1) Risiko penelitian harus wajar
(reasonable) dibanding manfaat yang diharapkan, 2) Desain penelitian harus memenuhi
persyaratan ilmiah (scientifically sound), 3) Para peneliti mampu melaksanakan penelitian dan
sekaligus mampu menjaga kesejahteraan subjek penelitian, 4) Prinsip do no harm (non
maleficent tidak merugikan) yang menentang segala tindakan dengan sengaja merugikan subjek
penelitian.
Prinsip tidak merugikan adalah jika tidak dapat melakukan hal yang bermanfaat. maka
sebaiknya jangan merugikan orang lain. Prinsip tidak merugikan bertujuan agar subjek penelitian
tidak diperlakukan sebagai sarana dan memberikan perlindungan terhadap tindakan
penyalahgunaan.
3.Keadilan (justice)
Prinsip etik keadilan mengacu pada kewajiban etik untuk memperlakukan setiap orang (sebagai
pribadi otonom) sama dengan moral yang benar dan layak dalam memperoleh haknya. Prinsip
etik keadilan terutama menyangkut keadilan pembagian seimbang yang merata (distributive
justice) yang mempersyaratkan (equitable), dalam hal beban dan manfaat yang diperoleh subjek
dari keikutsertaan dalam penelitian. Ini dilakukan dengan memperhatikan distribusi usia dan
gender, status ekonomi, budaya dan pertimbangan etnik. Perbedaan dalam distribusi beban dan
manfaat hanya dapat dibenarkan jika didasarkan pada perbedaan yang relevan secara moral
antara orang-orang yang diikutsertakan. Salah satu perbedaan perlakuan tersebut adalah
kerentanan (vulnerability).
Kerentanan adalah ketidakmampuan untuk melindungi kepentingan diri sendiri dan kesulitan
memberi persetujuan, kurangnya. kemampuan menentukan pilihan untuk memperoleh pelayanan
atau keperluan lain yang mahal, atau karena tergolong yang muda atau berkedudukan rendah
pada hirarki kelompoknya. Untuk itu, diperlukan ketentuan khusus untuk melindungi hak dan
kesejahteraan subjek yang rentan.
57
HASIL DAN PEMBAHASAN
Aplikasi Prinsip Etik dalam Penelitian Kesehatan
Indonesia adalah suatu negara kepulauan yang yang terbesar di dunia. Kebanyakan dari
kepulauan ini terletak di bagian selatan dari katulistiwa. Akibat pemisahan oleh laut tiap pulau
cenderung mengembangkan ciri-ciri sosial, kebudayaan, dan ekonomi tersendiri, dan kelompok
kelompok kecil dimungkinkan mempertahankan identitas budaya dan bahasanya. Berbagai
kelompok kebudayaan di masyarakat Indonesia adalah suatu keadaan dan perkembangan alami
sebagai akibat keadaan geografisnya. Masyarakat yang sangat beranekaragam dari segi
kelompok budayanya ini seringkali menambah permasalahan komunikasi, terutama pada saat
dibuat Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) atau Informed ConsentHal yang diperhatikan bahwa
prinsip dasar pertama dalam etika penelitian, respect for persons, atau otonomi perorangan, tidak
selalu dapat diterapkakan di masyarakat Indonesia. Di kebanyakan komunitas di Indonesia, lebih
berlaku pendekatan kolektif, di mana seorang subyek penelitian atau seorang pasien, terutama
yang perempuan, tidak merasa mampu untuk mengambil keputusan seorang diri, tapi sering
menyerahkan pengambilan keputusan (atau sedikitnya mengikutsertakan) itu kepada suami,
ayah, atau kepala komunitas, dan diutamakan pertimbangan keanekaragaman.
Implikasi dari keadaan ini adalah, bahwa pelaksanaan etika penelitian kesehatan, harus
dicegah penyeragaman, Artinya, dalam melakukan penelitian dengan subyek manusia, penerapan
etika perlu disesuaikan dengan keadaan setempat, terutama soal bahasa, nilai-nilai, norma-
norma, adat-istiadat, kebiasaan, yang berlaku. Pada dasarnya, pendekatannya adalah paham
pluralis atau multikulturalisme, yang esensinya adalah menghargai dan menghormati perbedaan.
Oleh karena itu, peneliti dan sponsor penelitian, baik dari dalam maupun dari luar Indonesia
harus memahami keberagaman tersebut dan menyadari serta peka bahwa:
1. Prinsip etika ketiga yaitu keadilan (justice) merupakan pertimbangan utama di atas prinsip
pertama (autonomy) dan prinsip ke dua (beneficence).
2. Budaya Indonesia lebih mengutamakan kebersamaan, gotong royong, dan kesejahteraan
keluarga dan masyarakat
3. Di Indonesia, sebagian besar masyarakatnya adalah kelompok masyarakat yang belum
beruntung, terbelakang dan miskin, sehingga tergolong sebagai kelompok rentan (vulnerable
group)
4. Peneliti dan sponsor perlu mempelajari dan memahami budaya, keyakinan, kepercayaan,
kebiasaan masyarakat di tempat penelitian dilakukan
58
Isu yang Berkenaan dengan Prinsip Etis (Kemenkes, 2017)
Aspek manfaat yang secara definisi diartikan sebagai keuntungan, dari sesuatu layanan
jasa yang semula tidak ada dan masyarakat sebgai penerima keuntungan hal ini seorang peneliti
sudah menerapkan prinsip etik.
Privasi seorang subyek penelitian dalam konteks penelitian merupak hal penting dan
krusial yang harus diperhatikan. Serorang peneliti tidak boleh memaksakan kehendak pada
subyek. Peneliti harus memperhatikan hak-hak subyek. Bila sekiranya sebyek menolak sebagau
responden seorang peneliti harus menghormati keputusan tersebut. Perbedaan latar belakang
pengetahuan, budaya, keuntungan dan resko menjadi dasar pertimbangan keputusan subyek.
Kadangkala seorang peneliti harus melibatkan pihak lain untuk mendapatkan data yang
diperlukan yang sekiranya data tersebut memang harus didapatkan untuk menguji asumsi dan
hipotesis.
Tanggung Jawab dan Tugas Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KNEPK, 2011).
Setiap institusi bidang kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan penelitian baik dalam
tata kelola di bidang pendidikan dan rumah sakit diharapkan mempunyai komite etik penelitian
kesehatan dimana salah satu fungsi penting dari komisi ini adalah melindung subyek dan
penelitian dari jeratan hukum dan tanggung jawab peneliti. Pembahasan penelitian dibidang
kesehatan dimana manusia sebagai subyek penelitian adalah tugas dari komisi etik dalam dalam
memantau kegiatan penelitian mulai proses dampai dengan publikasi.
Protokol yang masuk selanjutnya diterima oleh sekretariat dan dilanjurkan membuat
resume untuk selanjutnya didistribusi kepada penelaah. Komisi etik bekerja sesuai dengan waktu
yang telah ditentukan. Komisi etik melakukan pertemuan dengan tim minimal sekali sebulan
untuk membahas usulan ethical clearance. Telaah etik dilakukan oleh 2-3 orang. Hasil telaah
didapatkan beberapa keputusan apakah dilanjutkan atau full board yang artinya peneliti
melakukan presentasi untuk diklarifikasi. Persetujuan ethical clearance diambil berdasarkan
suara terbanyak dari anggota yang hadir dalam rapat tersebut. Rapat dianggap sah jika dihadiri
minimal setengah jumlah anggota ditambah 1 orang dan berjumlah ganjil.
Info terkini bahwa KEPKN melakukan registrasi terintegrasi melalui era digital dari
komisi etik seluruh Indonesia. Sistem ini akan memamantau pelaksanaan proses ethical
clearence. Sistem digital harus dikuasi oleh peneliti, sekretaris, sekretariat, penelaah dan ketua
etik sebagai media komunikasi secara cepat dan terintegrasi untuk memutuska kelaikan etik dari
protokol ethical cleareance.
Penelitian dipantau oleh komisi etik dan akan diambil keputusan jika disaat proses
penelitian didapatkan kasus yang mengandung resiko baik pada peneliti dan subyek. Ketua
Komisi Etik bertanggung jawab atas jalannya rapat pertemuan komisi. Hasil dan keputusan rapat
dicatat dan didikumentasi oleh sekretaris untuk kemudian disampaikan kembali dengan ketua
etik untuk dikekuarkan sertifikat ethical clearence. Sekretaris tersebut juga menerima laporan
penelitian selama penelitian sedang berjalan sampai penelitian selesai.
59
SIMPULAN
Etik bidang kesehatan dengan melibatkan manusia sebagai subyek tidak terlepas dari
penalaran, pembenaran dan konflik moral diri pribadi. Keputusan etik berhubungan dengan
hukum yang berkaitan dengan konflik baik bersifat personal atau kelompok. Norma etika pada
saat ini banyak yang tumpang tindih dengan/atau setidaknya dipengaruhi oleh norma hukum dan
yang melatarbelakanginya (finansial, budaya, sosial).
Perilaku manusia dan hubungan antar manusia diatur oleh hukum dan aturan lain yang
baku. Kaidah dan moral diatur oleh hukum. dan etik untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.
Selanjutnya bahwa pertimbangan etik penelitian dengan melibatkan manusia sebagai subyek
sangat diperlukan perlindungan baik dari sisi peneliti ataupun subyek. Hendaknya peneliti
menerapkan metode ilmiah yang baik dalam pendekatan penelitian.
Pola pikir didasarkan pada hukum akan membawa pada aturan. Etik mendalami masalah
dengan tidak hanya melihat hal yang material (terlihat. terobservasi, terukur, dll) tetapi juga nilai
hal yang melatarbelakangi. Penerapan prinsip- prinsip etika dan hukum harus selalu dijunjung
tinggi oleh setiap peneliti. karena akan menyelamatkan peneliti dari gugatan dan tuntutan juga
sekaligus merefleksikan pribadi sebagai profesi yang luhur dan mulia sepanjang masa.
60
BAB 7
PENEGAKAN HUKUM BIDANG PELAYANAN KESEHATAN
A. Lembaga-lembaga Profesi
1. Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK)
2. Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK)
3. Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) 4. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI)
61
-Apabila permohonan ditolak, BPSK menyampaikan penolakkan karena tidak memenuhi
ketentuanatau bukan kewenangan BPSK Apabila permohonan diterima, dibuat surat panggilan
untuk para pihak.
-Ketua/anggota/sekretariat BPSK mengadakan prasidang untuk menjelaskan adanya pilihan
penyelesaian sengketa, yaitu mediasi, arbitrase, negoisasi dan konsiliasi. Apabila yang dipilih
adalah mediasi dan konsolisasi, ketua akan membentuk Majelis dan menetapkan hari pertama
sidang.
B. Mediasi
Proses penanganan kasus:
Pasien yang mengadukan adanya kasus dugaan kelalaian medik memperoleh penjelasan
mengenai berbagai cara penangan kasusnya dan dipersilakan memilih mekanisme mana yang
paling sesuai untuknya. Apabila ia memilih proses mediasi, maka seorang mediator akan segera
melakukan langkah-langkah persiapan mediasi. Petugas mediasi akan menjembatani pihak
pasien dengan pihk dokter, karena sebagian besar dokter sengketa adalah tidak adanya
komunikasi.
Sebelumnya dilakukan proses penyelidikan, yang dimulai dengan klarifikasi dugaan tindakan
pidana, pemanggilan pihak-pihak untuk didengar keterangannya dan pembuatan berita acara
klarifikasi. Selanjutnya dengan adanya keterangan ini dapat dipanggil saksi-saksi apakah dugaan
tindakan ini benar adanya. Apabila dari proses penyelidikan dapat disimpulkan memang ada
dugaan tindakan pidana, maka berlanjut pada proses penyelidikan (di Kepolisian), Penuntutan (di
Kejaksaan), serta Persidangan (di Pengadilan).
62
Jurnal Bab 7.
Budi Ispriyarso
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Jl.Prof Soedarto,SH Tembalang Semarang
e-mail : budiispriyarso@ymail.com
Abstract
Cigarette Tax is a levy on cigarette taxes collected by the government. The background of the
implementation of cigarette tax is to control the negative impact of cigarettes. In Article 31
Paragraph (1) The Law No.28/2009, it is stipulated that the earmarking tax shall be at least 50
percent of the withdrawal of cigarette taxes, used to fund health service facilities and law
enforcement. The problem is how the regular function of cigarette taxes reflected in the
allocation (earmarking tax) is done by local governments, especially in public health services and
law enforcement. Local governments in carrying out the regular function of cigarette taxes must
be based on the law, at least 50% health services (development/procurement and maintenance of
facilities and infrastructure of health service units, provision of adequate public facilities for
smokers, publicizing about the dangers of smoking. In the field of law enforcement. the use of
cigarette funds intended for the eradication of illegal cigarettes and enforcement of smoking ban
rules.
Abstrak
Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah Latar belakang
diberlakukannya diadakannya pajak rokok ini antara lain adalah untuk pengendalian dampak
negatif rokok. Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah diatur alokasi (earmarking tax) minimal50 persen dari hasil Pajak Rokok untuk mendanai
fasilitas pelayanan kesehatan dan penegakan hukum. Permasalahannya, bagaimana fungsi
reguler pajak rokok yang tercermin dalam alokasi, dilakukan oleh pemerintah daerah dalam
pelayanan kesehatan dan penegakan hukum. Pemerintah daerah dalam melaksanakan fungsi
reguler pajak rokok, harus berdasarkan undang-undang, penggunaan dana pajak rokok,minimal
50 % untuk mendanai pelayanan kesehatan (sarana dan prasarana pelayanan kesehatan,
penyediaan smoking area, kegiatan memasyarakatkan tentang bahaya merokok, dan sebagainya.
Di bidang penegakan hukum, penggunaan dana rokok diperuntukan pemberantasan rokok ilegal
dan penegakan aturan larangan merokok.
Kata Kunci: Pajak Rokok, Fungsi Reguler, Pelayanan Kesehatan, Penegakan Hukum
63
Pendahuluan
Rokok merupakan salah satu hasil dari proses produksi dari hasil tanaman tembakau yang
membuat orang bisa sampai kecanduan. Industri rokok saat ini terus berkembang yang dapat
menghasilkan berbagai cita rasa dengan beragam merk yang semakin menjadi daya tarik bagi
penikmat rokok
Kebiasaan merokok di negara maju semakin berkurang, namun sebaliknya di negara
berkembang justru sebaliknya semakin meningkat. tidak terkecuali di Indonesia.Menurut
penelitian. Indonesia terdapat di di kecenderungan meningkatnya jumlah perokok terutama pada
kaum remaja.(Sirait, Pradono, & Toruan, 2002). Regulasi rokok ibarat dua mata pisau yang
menjebak dalam situasi yang dilematis. Di satu sisi, industri rokok memberikan masukan
terhadap penerimaan negara, namun di sisi lainnya pemerintah juga menanggung dampak negatif
rokok yang dapat meningkatkan anggaran kesehatan. Seperti diketahui bahwa bahaya yang
ditimbulkan dari merokok antara lain adalah dapat menimbulkan beberapa penyakit kronis
(kanker paru,kanker saluran pernapasan bagian atas penyakit jantung, stroke, bronkhitis, dan
sebagainya).
Pemerintah berkewajiban untuk menjaga kesehatan masyarakat, oleh karena itu maka
perlu terus peningkatan pendanaan untuk keperluan penjagaan kesehatan masyarakat.
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah
agar dapat melaksanakan otonomi khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah.
Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah, pengelolaannya dilakukan
oleh Dinas Pelayanan Daerah yang berada dalam pengawasan pemerintah daerah masing-
masing (Bulton, 2013) Pajak Daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan dn daerah.(Sutedi, 2008) pembangunan.
Mengenai pajak daerah ini. pemerintah menetapkan berbagai kebijakan perpajakan
daerah, diantaranya dengan menetapkan UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah yang disahkan oleh DPR pada 18 Agustus 2009 (selanjutnya disebut UU
PDRD).
Tujuan perubahan UU PDRD antara lain adalah untuk memperbaiki sistem pemungutan
pajak daerah, penguatan perpajakan lokal (local taxing empowerment ). (Andrianto Dwi
Nugroho: Malinda Eka Yuniza, 2012). Salah satu jenis pajak baru yang dalam UU PDRD yang
disahkan pada 18 Agustus 2009 adalah Pajak Rokok. Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai
rokok yang dipungut oleh pemerintah. Secara efektif pemberlakuan Pajak Rokok ini diterapkan
pada tahun 2014. Dasar Pengenaan Pajak Rokok adalah cukai rokok dan besarnya tarif
ditetapkan sebesar 10 persen dari cukai rokok. Pajak Rokok masuk dalam kategori pajak provinsi
yang menjadi penyempurna kebijakan dan peraturan pajak daerah dalam bentuk perluasaan objek
pajak daerah. Artinya, Pajak Rokok ini nantinya akan menjadi sumber pendapatan asli daerah
(PAD). Dalam pajak rokok ini disamping terdapat fungsi budgeter (fungsi keuangan), juga
terdapat fungsi reguler, yaitu alokasi (earmarking tax) paling sedikit 50 persen dari hasil
penarikan Pajak Rokok, dipakai untuk mendanai fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat dan
penegakan hukum (Pasal 31 ayat 1 UU PDRD).
Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahannya adalah bagaimana fungsi reguler
pajak rokok yang tercermin dalam alokasi (earmarking tax) dilakukan oleh pemerintah daerah
khususnya dalam pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum.
64
PEMBAHASAN
1. Beberapa Jenis Pajak Terhadap Rokok
Berbagai jenis pungutan terhadap rokok di Indonesia sampai saat ini, adalah : (a) Cukai,
(b) Pajak Pertambahan Nilai dan (c) Pajak Rokok.
Ad. A. Cukai
Salah satu pungutan pemerintah terhadap rokok yaitu cukai. Berdasarkan UU Nomor 11
Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana diubah dengan UU Nomor 39 Tahun 2007tentang
Perubahan atas Undang- undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap Barang Kena Cukai.
Barang Kena Cukai tersebut adalah antara lain adalah hasil tembakau, yang meliputi
sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan. tembakau lainnya, dengan tidak
mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam
pembuatannya.
Berdasarkan hal di atas. maka terhadap rokok dikenakan cukai. Dasar pengenaan Cukai
Rokok adalah Harga Dasar yang digunakan untuk perhitungan cukai atas Barang Kena Cukai
yang dibuat di Indonesia yaitu Harga Jual Pabrik atau Harga Jual Eceran. Besarnya tarip cukai
rokok terutang dengan sistem kombinasi, yaitu menggunakan tarif spesifik dan tarif advalorum.
Mengenai tarif cukai rokok ini dalam perkembangannya mengalami kenaikan. Kenaikan
cukai rokok ini didasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.010/2017
tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Menurut PMK ini, tarif cukai hasil tembakau ditetapkan
dengan menggunakan jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan batang atau gram hasil tembakau.
Besaran tarif cukai hasil tembakau sebagaimana dimaksud didasarkan pada: a. jenis hasil
tembakau; b. golongan pengusaha: dan c. Batasan Harga
Jual Eceran per batang atau gram, yang ditetapkan oleh Menteri. Khusus untuk jenis
HPTI. (Hasil Pengolah Tembakau Lainnya), tarif cukai hasil tembakau ditetapkan sebesar 57%
dari Harga Jual Eceran yang diajukan oleh Pengusaha Pabrik hasil tembakau atau Importir
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri.(Dani Jumadil Akhir, 2017)
Rokok
Rokok juga merupakan salah satu obyek PPN. Dasar hukum PPN atas rokok adalah
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 174/PMK.03/2015 yang menjelaskan bahwa hasil dari
tembakau disini termasuk rokok.
Berdasarkan ketentuan PMK tersebut yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah harga
jual, Nilai impor, Nilai ekspor, penggantian atau 'nilai lain" yang dipergunakan sebagai dasar
penghitungan pajak terutang. Pengertian Nilai Lain" adalah nilai berupa uang yang ditetapkan
sebagai Dasar Pengenaan pajak. Harga Jual Eceran merupakan harga yang ditetapkan sebagai
dasar perhitungan besarnya cukai dan Tarif Efektif adalah tarif yang diterapkan untuk
menghitung dan memungut Pajak Pertambahan Nilai yang dikenai atas penyerahan hasil
tembakau.
Pengenaan Pajak untuk menghitung PPN yang terutang atas penyerahan hasil tembakau
adalah "Nilai Lain”
65
PPN atas penyerahan hasil tembakau dihitung dengan menerapkan tarif efektif dikalikan
dengan Nilai Lain. Besarnya tarif efektif ditetapkan sebesar 8.7 % (delapan koma tujuh persen).
Misalnya dalam kemasan rokok tercantum harga jual eceran Rp 18.000 maka si pembeli rokok
tersebut sudah membayar PPN sebesar Rp 18.000 x 8,7% = Rp 1.566.-
Atas penyerahan hasil tembakau mulai dari tingkat produsen dan/atau importir,
pengusaha penyalur hingga ke konsumen akhir dilakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
satu kali saja pada tingkat produsen dan/atau importir.
Mengenai PPN atas rokok ini dalam perkembangannya mengalami kenaikan. Kenaikan
PPN atas rokok ini didasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 207/PMK.010/2016
tentang Tata Cara Perhitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Atas
Penyerahan Hasil Tembakau. Berdasarkan PMK ini menetapkan besaran tarif PPN rokok naik
menjadi sebesar 9,1 persen per 1 Januari 2017. Tarip PPN atas rokok sebesar 9,1 % ini masih di
bawah harga normal PPN pada umunya yaitu 10%.
Selama ini PPN atas rokok dipungut oleh Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) bersamaan
dengan pemungutan cukai. Dalam perkembangan yang akan datang. mengenai pemungutan PPN
atas rokok ini akan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Selain cukai, PPN, jenis pajak lain yang dikenakan terhadap rokok adalah pajak daerah.
Dasar hukum pajak daerah atas rokok ini adalah Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan retribusi Daerah (untuk selanjutnya disebut PDRD). Pasal 2 ayat (1) UU
PDRD, diatur bahwa pajak rokok merupakan salah satu jenis pajak propinsi.
Pajak Rokok ini merupakan salah satu jenis pajak baru yang diatur dalam UU PDRD
yang sebelumnya tidak ada dalam UU PDRD sebelumnya ( UU Nomor 34 Tahun 2000).
Berlakunya pajak rokok pada tanggal 1 Januari 2014. Selanjutnya untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 2 ayat (1) UU PDRD dikeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
115 /PMK 07/2013 tentang tatacara pemungutan dan penyetoran pajak rokok yang dalam
perkembangan selanjutnya diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 102 tahun 2017
Pengertian pajak rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah.
Obyeknya adalah konsumsi rokok. Konsumsi rokok dalam hal ini adalah sigaret, cerutu dan
rokok daun. Dikecualikan sebagai obyek pajak rokok adalah rokok yang tidak dikenai cukai
berdasarkan UU nomor 39 tentang Cukai.
Mengenai pemungutan pajak, meskipun pajak rokok berdasarkan UU PDRD merupakan
pajak daerah, namun saat ini pemungut pajaknya dilakukan oleh instansi pemerintah pusat yang
berwenang memungut cukai (Direktorat Bea dan Cukai). Dasar pengenaan pajak rokok adalah
cukai yang ditetapkan pemerintah terhadap rokok. Besarnya tarip pajak rokok adalah 10 %
dikalikan cukai rokok.Penerapan pajak rokok sebesar 10% dari cukai rokok dimaksudkan juga
untuk memberikan peran yang optimal bagi pemerintah daerah dalam menyediakan
masyarakat.(Andi pelayanan Asmy Nurhikmah; Mattalatta: Hasan Nongkeng, 2016)
Pelaksanaan Fungsi Reguler Pajak Rokok oleh Pemerintah Daerah
Pajak rokok yang merupakan pajak daerah (pajak propinsi) sebagaimana pajak pada
umumnya, mempunyai fungsi budgeter dan fungsi reguler. Pajak daerah sebagai salah satu sektor
Pendapatan asli daerah memegang peranan yang sangat penting dalam mendukung
penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahan dan pembangunan daerah. Berdasarkan UU
66
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan retribusi daerah, seperti diuraikan di muka
pemerintah propinsi mendapatkan satu jenis pajak baru yaitu pajak rokok. Penetapan pajak rokok
sebagai pajak propinsi bertujuan agar pemerintah daerah propinsi, pemerintah kabupaten/kota
menjalankan otonomi secara lebih nyata, dinamis dan bertanggungjawab serta dalam rangka
perluasan PAD agar daerah tidak bergantung pada pemerintah pusat.
Pajak rokok sebagai pajak daerah, mempunyai fungsi budgeter yaitu memasukan dana ke
kas daerah. Peranannya dalam menyumbang penerimaan daerah mempunyai arti yang cukup
penting khususnya terhadap PAD pemerintah propinsi. Pemerintah Propinsi Jawa tengah sebagai
salah satu contohnya, pajak rokok menempati urutan ke empat diantara lima jenis pajak daerah
propinsi terhadap PAD propinsi Jawa tengah. Disamping itu, sesuai dengan bagi hasil dari pajak
rokok, maka pemerintah kabupaten/kota juga mendapatkan dana yang berasal dari pajak rokok.
Bagi hasil Pajak merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan perimbangan
keuangan sebagai bagian dari skema desentralisasi fiskal.
Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa pajak rokok yang merupakan pajak propinsi,
taripnya adalah 10 % dari cukai rokok. Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 102 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
115 Tahun 2013 tentang Tatacara pemungutan Pajak Rokok, disebutkan bahwa Gubernur
menetapkan jumlah bagi hasil pajak rokok kabupaten/kota.
Berdasarkan ketentuan di atas maka dapat diketahui bahwa penetapan bagi hasil pajak
rokok kepada kabupaten/kota ditentukan oleh gubernur. Contoh penetapan bagi hasil rokok
untuk kabupaten/kota di propinsi Jawa Tengah diatur dalam Pergub Jawa tengah Nomor 23
Tahun 2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pajak Rokok Propinsi Jawa Tengah, di dalam Pasal
7ayat (1) ditetapkan bahwa pemerintah propinsi diharuskan membagi realisasi penerimaan pajak
rokok kepada pemerintah kota/kabupaten dengan bagian sedangkan sisanya 30 % untuk
pemerintah propinsi.
Berkaitan dengan fungsi reguler dari pajak rokok dapat dilihat dari earmarking
tax(pengalokasian dana bagi hasil pajak rokok). Mengenai earmarking tax ini. disebutkan dalam
Pasal 31 A ayat (1) UU PDRD No 28 tahun 2009 tentang PDRD bahwa:
Penerimaan Pajak Rokok, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota,
dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan
masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang. Berdasarkan ketentuan ini, maka
masing-masing pemerintah propinsi maupun pemerintah kabupaten/kota yang telah mendapatkan
bagian dari bagi hasil dana rokok, harus membagi dana tersebut yaitu minimal 50 % nya untuk
mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa mengenai fungsi reguler dari
pajak rokok, antara lain sebagai berikut :
Ad.1. Pelayanan di bidang kesehatan akibat bahaya yang ditimbulkan dari rokok
Sebagaimana diketahui bahwa rokok, membawa dampak kesehatan yang tidak baik bagi
perokok itu sendiri maupun orang lain. Pemerintah daerah berkewajiban untuk menjaga
kesehatan masyarakat. Selain itu pemda juga harus melakukan pengawasan terhadap rokok di
67
daerah masing-masing termasuk rokok ilegal. Adanya kewajiban pajak rokok pemerintah
menimbulkan untuk mengoptimalkan kesehatan masyarakat bisa menjadi lebih baik.
Merokok dalam pandangan kesehatan menjadi penyebab munculnya berbagai penyakit
atau masalah kesehatan lainnya. Akibat rokok kurang lebih 25 jenis penyakit yang menyerang
berbagai organ tubuh manusia. Merokok disamping menimbulkan dampak negatif terhadap
perokok itu sendiri, juga menimbulkan dampak terhadap perokok pasif. Hal ini tentunya
mengakibatkan juga biaya kesehatan akibat rokok menjadi lebih. besar.(Nugroho Pratomo: Sita
Wardhani. 2017) Oleh karena itulah, maka dengan adanya pajak rokok ini diharapkan antara lain
dapat menambah dana di bidang kesehatan untuk membiayai dampak negatif yang ditimbulkan
dari rokok.
Tujuan utama penerapan Pajak Rokok adalah untuk melindungi masyarakat terhadap bahaya
rokok. Penerapan Pajak Rokok sebesar 10 persen dari nilai cukai juga dimaksudkan untuk
memberikan optimalisasi pelayanan pemerintah daerah dalam menjaga masyarakat. Penerimaan
dialokasikan kesehatan Rokok Untuk mendanai bidang pelayanan kesehatan
(pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan,
penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok (smoking area). kegiatan
memasyarakatkan tentang bahaya merokok, dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya
merokok).
Alternatif Penggunaan Pajak Rokok untuk Kegiatan Kesehatan Masyarakat yang terkait Promosi
dan Prevensi Kesehatan PP No. 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yg Mengandung Zat
Adiktif Berupa Rokok Tembakau Bagi Kesehatan antara lain mengatur : (Setyakarioriansyah,
2015)
a. Tanggung jawab Pemda (dan pemerintah)
mengatur, membina dan yg menyelenggarakan, mengawasi pengamanan bahan mengandung Zat
Adiktif berupa Rokok Tembakau bagi Kesehatan.
Penggunaan pajak rokok untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat oleh provinsi
kabupaten/kota dilakukan dengan berpedoman pada petunjuk teknis yang ditetapkan Peraturan
Menteri Kesehatan No 40 Tahun 2016 tentang petunjuk tekhnis pengunaan pajak rokok untuk
pendanaan pelayanan kesehatan masyarakat. Berdasarkan ketentuan tersebut, penggunaan pajak
rokok dapat dipergunakan untuk meningkatkan upaya promotif untuk menurunkan resiko
penyakit menular maupun penyakit tidak menular, promosi kesehatan keluarga maupun
lingkungan.pengendalian konsumsi rokok. pelayanan kesehatan tingkat pertama dansebagainya.
Penggunaan dana rokok diperuntukan untuk kegiatan penanganan masalah kesehatan yang belum
68
didanai sumber pembiayaan lain seperti APBN, APBD,DAU,DAK, dan sebagainya. Ad.2.
Penegakan hukum yang berkaitan dengan rokok ilegal dan peraturan larangan merokok
Fungsi reguler dari pajak rokok selain untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat,
juga dipergunakan untuk membiayai penegakan hukum, Pembiayaan penegakan hukum dari
dana pajak rokok ini dilakukan sesuai dengan kewenangan pemerintah daerah yang dapat
dikerjasamakan dengan instansi lain, antara lain:
Rokok ilegal sudah tidak asing lagi di telinga kita, peredaran rokok ilegal di Indonesia
menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi pemerintah. Beberapa modus rokok ilegal antara
lain tanpa pita cukai. menggunakan pita cukai tetapi dipalsukan atau menggunakan pita cukai
bekas yang tujuannya adalah menghindari pemungutan cukai dari pemerintah. Potensi kerugian
negara akibat adanya mokok ilegal diperkirakan mencapai kisaran Rp.3,5 triliun sampai dengan
Rp.6 triliun per tahun (Bambang. 2006). Bahkan menurut ketua harian FORMASI (Forum
Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia) kerugian negara akibat adanya rokok ilegal bisa
mencapai Rp.11 Triliun/tahun (Choirul Anam, 2015). Oleh karena itu penegakan hukum
terhadap peredaran rokok ilegal ini sangat penting dilakukan pemerintah untuk
mencegah/mengurangi kerugian yang ditimbulkan akibat adanya rokok ilegal.
Direktur Jenderal Bea Cukai. Heru Pambudi menyatakan bahwa dalam memberantas
peredaran rokok ilegal. Bea Cukai telah melakukan berbagai penindakan yang dilakukan
serentak di berbagai daerah. Bea Cukai berkomitmen untuk selalu mengawasi pabrik rokok dan
peredaran hasil produksinya, berkoordinasi dengan instansi penegak hukum dan mengharapkan
peran aktif dari seluruh elemen masyarakat. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian
Keuangan (DJBC Kemenkeu) semakin agresif melakukan penutupan pabrik rokok yang
diketahui tidak patuh. menyetor cukai hasil tembakau, Data dari DJBC menyebutkan sebanyak
3.915 pabrik mkok di seluruh Indonesia ditutup pemerintah selama kurun waktu 2007-2016
setelah menjalani pengawasan administrasi maupun fisik di lapangan.(Gentur Putra Jati, 2016).
Selain itu beberapa daerah, secara gencar terus melakukan pengawasan dan pemberantasan
terhadap rokok ilegal, ribuan bahkan jutaan rokok ilegal telah dimusnahkan. Sebagai salah satu
contohnya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kudus, Jawa Tengah, memusnahkan
jutaan batang rokok ilegal tanpa pita cukai yang merupakan hasil penindakan sepanjang
Februari- Juli 2017. Atas upaya penindakan ini, penerimaan perpajakan yang berhasil
diselamatkan mencapai Rp 3,98 miliar.(Fiki Ariyanti, 2017)
Berkaitan dengan penegakan hukum diatas, maka dana bagi hasil pajak rokok yang
diperoleh daerah dipergunakan untuk pembiayaan penegakan hukum tersebut sesuai dengan
kewenangan pemerintah daerah yang bersangkutan (Hal ini sesuai ketentuan bahwa minimal
50% dana bagi hasil rokok diperuntukan untuk pelayanan kesehatan dan penegakan hukum).
Contoh penggunaan dana bagi hasil rokok untuk penegakan hukum, di propinsi Jawa
tengah dana hagi hasil pajak rokok untuk penegakan hukum dialokasikan pada Biro Hukum
Sekretariat Daerah Propinsi Jawa tengah dan Satuan Pamong Praja Propinsi Jawa Tengah.
69
Penggunaan dana bagi hasil rokok itu, sesuai dengan tupoksi masing-masing, pada umumnya
digunakan untuk pembiayaan operasional pemberantasan rokok ilegal.
Penegakan hukum lainnya berkaitan dengan rokok ini adalah penegakan peraturan
larangan merokok di area tertentu yang dikenal dengan istilah Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan
merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan dan/atau mempromosikan produk
tembakau. Oleh karena itu semua tempat yang telah ditetapkan sebagai KTR harus bebas dari
asap rokok, penjualan, produksi, promosi dan sponsor rokok.KTR ini meliputi: fasilitas
pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain. tempat ibadali,
angkutan umum. tempat kerja, tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan. KTR
dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari bahaya racun rokok yang diisap orang
lain.Pemerintah Daerah harus aktif menjaga daerah-daerah KTR tersebut dari pelanggaran
peraturan tersebut. Biaya yang berkaitan dengan penegakan hukum di KTR tersebut dapat
dibiayai oleh dana bagi hasil pajak rokok sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pajak rokok disamping mempunyai
fungsi budgeter untuk memasukan uang ke kas daerah, mempunyai fungsi reguler yaitu untuk
melindungi masyarakat dari bahaya yang ditimbulkan akibat rokok dan mencegah dan
memberantas peredaran rokok ilegal. Hal ini dilakukan dengan mengalokasikan dana minimal
50% dari dana bagi hasil pajak rokok yang diterima daerah harus dipergunakan untuk pelayanan
kesehatan dan penegakan hukum. Fungsi reguler. pelayanan kesehatan masyarakat dari bahaya
merokok, antara lain memberikan optimalisasi pelayanan pemerintah daerah dalam menjaga
masyarakat.
Penerimaan kesehatan Rokok Pajak dialokasikan Untuk mendanai bidang pelayanan
kesehatan (pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan
kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok (smoking area). kegiatan
memasyarakatkan tentang bahaya merokok, dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya
merokok). dan sebagainya. Fungsi reguler pajak rokok untuk penegakan hukum dilakukan
dengan penggunaan dana untuk pemberantasan rokok ilegal dan penegakan aturan mengenai
larangan merokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Penggunaan pajak rokok untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat oleh provinsi
kabupaten/kota dilakukan dengan berpedoman pada petunjuk teknis yang ditetapkan Peraturan
Menteri Kesehatan No 40 Tahun 2016 tentang petunjuk tekhnis pengunaan pajak rokok untuk
pendanaan pelayanan kesehatan masyarakat. Disamping itu Pemerintah daerah (pemerintah
propinsi (pemerintah kota) dalam menggunakan dana pelayanan kesehatan dan penegakan
hukum harus sesuai dengan UU PDRD, Peraturan Menteri keuangan Nomor 102/PMK.07/2015.
Saran
Berdasarkan undang-undang yang berlaku yaitu UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Rokok adalah pajak daerah (pajak propinsi). Kewenangan
pemungutan pajak rokok saat ini masih ada pada pemerintah pusat (Ditjen Bea Cukai),
seharusnya pajak mokok sebagai pajak daerah dipungut oleh pemerintah daerah.
70
Bab 8
MALPRAKTIK TENAGA KESEHATAN
A. Defenisi Malpraktik
Malpraktik adalah sikaptindak profesional yang salah dari seseorang yang berprofesi,
seperti dokter, perawat, ahli hukum, akuntan, dokter gigi, dokter hewan dan sebagainya.
Malpraktik bisa diakibatkan karena sikap tindak yang bersifat tidak peduli, kelalaian, atau
kekurang-ketrampilan atau kehati- hatian dalam pelaksanaan kewajiban profesionalnya, tindakan
salah yang sengaja atau praktek yang bersifat tidak etis.
B. Malpraktik Administrasi
Pelanggaran hukum administrasi adalah sebagai jalan menuju malpraktik. Dad aspek
hukum administrasi, pelanggaran hukum admistrasi akan dikenai sanksi admistrasi. Scnksi
administrasi yang diberikan dapat berupa pencabutan izin dan denda administrasi. Seperti yang
tertera dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 188 ayat (1) yang menyatakan
bahwa "Menteri dapat mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan fasilitas
pelayanan kesehatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Lebih lanjut pada ayat (3) "tindakan administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat berupa:
1. peringatan secara tertulis
2. pencabutan izin sementara atau izin tetap.
C. Malpraktik Perdata
Hukum perdata, hubungan hukum yang terjadi antara tenaga kesehatan dan pasien yaitu
hubungan perikatan (verbintenis). Perikatan hukum adalah suatu ikatan antara dua subjek hukum
atau lebih untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu atau memberikan sesuatu
prestasi.
Dilihat dari sumber lahirnya perikatan, terdapat dua kelompok perikatan hukum. Pertama yaitu
perikatan yang disebabkan oleh suatu kesepakatan dan apabila kesepakatan ini dilanggar akan
menyebabkan wanprestasi. Kedua yaitu perikatan yang disebabkan oleh Undang- Undang,
apabila hal ini dilanggar akan menyebabkan perbuatan melawan bukum. Selain itu, ada yang
disebut zaakwaarneming yaitu pelanggaran suatu kewajiban hukum dapat terjadi karena UU.
D. Malpraktik Pidana
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala
perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni: (1) perlakuan (asuhan keperawatan),
(2) sikap batin, (3) mengenai hal akibat. Pada dasarnya perlakuan adalah perlakuan yang
menyimpang. Mengenai sikap batin adalah kesengajaan atau culpa. Mengenai hal akibat adalah
mengenai timbulnya kerugian bagi kesehatan atau nyawa pasien.
71
Jurnal Bab 8.
AKIBAT HUKUM MALPRAKTIK YANG DILAKUKAN OLEH TENAGA
MEDIS
Julius Roland Lajar, Anak Agung Sagung Laksmi Dewi, I Made Minggu Widyantara
Fakultas Hukum Universitas Warmadewa, Denpasar - Bali, Indonesia
Abstrak
Malpraktik merupakan suatu tindakan kelalaian atau suatu tindakan dengan standar
operasional prosedur yang benar tetapi mengakibatkan kerugian pada konsumen dalam ini adalah
pasien dan ini dapat mengancam kesehatan dan keselamatan pasien. Malpraktik yang dilakukan
oleh tenaga medis tentunya sangat merugikan pihak-pihak yang membutuhkan penanganan
medis dan sangat mempengaruhi kaulitas rumah sakit yang tentunya merupakan central dari
segala tindakan medis. Berdasarkan hal ini, penelitian ini mengkaji tentang bagaimana
pengaturan hukum bagi tenaga medis yang melakukan malpraktik dan bagaimana sanksi
pidannya. Untuk menjawab permasalahan ini digunakan metode penelitian normatif dengan
melakukan pendekatan perundang-undangan yang mengkaji peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan pendekatan konseptual untuk mengkaji bahan-bahan kepustakaan dalam bentuk
teori-teori dan para pendapat pakar hukum. Pengaturan hukum bagi tindakan malpraktik oleh
tenaga medis diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang memberikan dasar-
dasar pedoman seputar tindakan malpraktik yang dilakukan oleh tenaga medis. Adapun peraturan
tersebut ditemukan dalam undang-undang kedokteran dan undang-undang kesehatan dimana
memberikan suatu kepastian hukum bagi yang dirugikan. Hal ini merupakan ciri dari hukum itu
sendiri dalam menegakkan keadilan. Perbuatan malpraktik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
sudah diatur hukumnya dalam peraturan perundang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan dan Kode Etik Kedokteran yang berlaku. Selain itu terdapat sanksi terhadap perbuatan
tindakan tenaga medis yang melakukan malpraktik, antara lain yaitu sanksi pidana, sanksi
perdata, sanksi administrasi dan sanksi moral.
Abstract
Malpractice refers to an act of negligence or an act with the correct standard operating
procedures but causes harm to consumers, in this case the patients and this can threaten the
health and safety of the patient. Malpractice committed by medical personnel is certainly very
detrimental to those who need medical treatment and greatly affects the hospital's integrity which
is certainly the center for all medical actions. Based on this, this study examines what the legal
regulatory for medical personnel who commit malpractice and how to sanction his speech are.
To uncover the issues a normative research method is used by applying the legislative approach
that examines the applicable laws and regulations and a conceptual approach to reviewing library
nuaterials in the form of theories and opinions of legal experts. The legal regulatory for
malpractice actions by medical personnel are regulated in several laws and regulations providing
basic guidelines regarding malpractice actions committed by medical personnel. The regulations
are found in the medical and health laws which provide legal certainty for the injured. This is a
72
characteristic of the law itself in upholding justice. Malpractice acts committed by health
workers have been regulated in the legislation No. 23 of 1992 concerning Health and the Medical
Code of Conduct in force. In addition there are sanctions for the actions of medical personnel
commiting malpractice, including criminal sanctions, civil sanctions, administrative sanctions
and moral sanctions
PENDAHULUAN
Tindakan malpraktik merupakan kesalahan atau kelalaian yang dibuat secara sengaja
maupun tidak sengaja oleh tenaga medis dapat mengakibatkan kerugian kesehatan dan
keselamatan seorang pasien yang sedang ditanganinya (Sibarani, 2017). Hal ini sangat
mempengaruhi kualitas tenaga medis di mata masyarakat luas dan tindakan ini juga dapat
mempengaruhi kualistas rumah sakit dalam menanggani masyarakat pada umumnya. Di samping
itu malpraktik juga sangat bertentangan dengan hukum tidak sesuai dengan Standar Operasional
Prosedur (SOP) (Michel & Mangkey, 2014), dimas tenaga medis diharuskan dan berkewajiban
untuk selalu memberikan pelayanan terbaik bagi pa membutuhkan penanganan medis, karena ini
merupakan salah satu standar operasional prose yang harus dan wajib dilakukan oleh tenaga
medis dalam menangani para pasien sesuai Perundang-undangan yang berlaku.
Profesionalisme dari penanganan tenaga medis terhadap pasien sangat menentukan
kinerja seorang tenaga medis di mata masyarakat luas oleh karena itu dibutuhkan tenaga medis
yang profesional dan berpengalaman dalam menangani pasien agar tidak terjadi dugaan
malpraktik oleh masyarakat atau kesalahan dalam menangani para pasien sehingga merugikan
pasien. Dilihat dari kejadian-kejadian sebelumnya hingga Maret 2011 Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) telah menanggani 127 pengaduan kasus pelanggaran
disiplin yang dilakukan oleh dokter maupun tenaga medis (Andryawan, 2016). Dari angka
tersebut sekitar 80 persen disebabkan kurangnya komunikasi antara dokter atau tenaga medis
dengan pasien. Bila dirinci disiplin ilmu yang diadukan, yang paling banyak adalah dokter umum
(48 kasus) pengaduan oleh masyarakat. Dalam hal ini dokter dan pasien harus saling terbuka
dalam melakukan penanganan medis tersebut sehingga terhindar dari kesalahan dan atau
kelalaian yang diduga sebagai malpraktik dilakukan oleh tenaga medis, sehingga perlu adanya
payung hukum untuk mengatur tindakan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan.
Untuk itu keberadaan hukum kesehatan sangatlah membawa pengaruh yang besar terhadap
pembangunan, khususnya di bidang kesehatan termasuk hukum Lex Specialis yang melindungi
secara khusus tugas profesi kesehatan (provider) dalam program pelayanan kesehatan manusia
ke arah tujuan deklarasi Health For All dan perlindungan secara khusus terhadap pasien
(receiver) untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (Kijanti, 2009; 14). Dan Undang-undang No
36 Tahun 2009 tentang tenaga kesehatan merupakan peraturan terhadap tenaga medis atau tenaga
kesehatan yang melakukan tindakan malpraktik.
Beberapa kajian tentang malpraktik telah mendominasi kajian di bidang kesehatan dalam
sau dekade terakhir. Sebagai tenaga kesehatan, dokter juga perlu mendapat perlindungan hukum
dalam memberikan pelayanan kesehatan (Michel & Mangkey, 2014). Kajian lain mengkaji
tentang perlindungan hukum bagi pasien layanan medis yang menjadi korban malpraktik
(Nurdin. 2015). Hukum malpraktik wajib mendapat penegakan melalui mediasi penal (Fitriono
dkk, 2016). Kajian lain mengkaji tentang perlindungan hukum hagi profesi dokter dalam
penyelesaian sengketa medis (Trisnadi, 2016). Perlindungan hukum terhadap pasien korban
73
tindakan malpraktik juga perlu ditinjau dari sudut pandang hukum Indonesia (Sibarani, 2017).
Tanggung jawab dokter atas tindakan malpraktik dalam memberikan pelayanan medis juga dapat
dilihat dari perspektif hukum perdata (Riza, 2018), Tindakan melawan hukum dan malpraktik
oleh dokter wajib dipertanggungjawabkan oleh tenaga kesehatan yang bersangkutan (Hadi,
2018).
Kajian kali ini mengkaji tentang: (1) Bagaimana pengaturan hukum bagi tenaga medis
yang melakukan malpraktik? (2) Bagaimana sanksi pidana bagi tenaga medis yang melakukan
tindakan malpraktik? Adapun tujuan penelitian terdiri dari tujuan yang umum dan tujuan khusus.
Tujuan umum meliputi: (1) untuk melatih kemampuan mahasiswa dalam menyatakan pikiran
secara tertulis; (2) untuk menerapkan setiap ilmu yang diperoleh selama dalam perkuliahan; (3)
untuk melaksanakan Tri Dharma perguruan tinggi khususnya pada bidang penelitian yang
dilakukan oleh mahasiswa. Tujuan khusunya meliputi (1) untuk mengetahui mengenai
pengaturan hukum bagi tenaga medis yang melakukan malpraktik: (2) untuk mengetahui akibat
hukum bagi tenaga medis yang melakukan malpraktik.
Beberapa menfaat dari penelitian terbagi dalam dua jenis, yaitu manfaat teoretis dan
manfaat praktis. Manfaat teoretis mencakup (1) agar penelitian ini dapat memberikan manfaat
kepada pengembangan ilmu pengetahuan dibidang ilmu hukum; (2) agar hasil penelitian ini
dapat menambah refrensi atau literature mengenai suatu tindakan malpraktik yang dilakukan
oleh tenaga medis dalam melakukan praktik kesehatan. Manfaat praktis terdiri dari (1) tulisan ini
bagi peneliti untuk menerapkan ilmu yang diperoleh pada bangku kuliah sekaligus melatih dan
mengembangkan pengetahuan maupun wawasan hukum; (2) bagi masyarakat hasil penelitian ini
diharapkan menjadi informasi yang bermanfaat kedepannya dalam menggunakan tenaga medis:
dan (3) bagi pemerintah dari hasil penelitian ini diharapkan memperjelas pengaturan pekerjaan
tenaga medis khususnya dokter dalam melakukan pengawasan terhadap tindakan malpraktik dari
tenaga medis.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif, tujuannya ialah menemukan
peraturan perundang-undangan yang selanjutnya dikaji dengan permasalahan yang sesuai dengan
masalah pokok dalam penelitian tersebut. Sedangkan pendekatan masalahnya ialah pendekatan
perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Pendekatan perundang-undangan dimaksud
adalah pendekatan yang dilakukan atas dasar ketentuan hukum positif Indonesia dan norma-
norma yang berlaku. Sedangkan pendekatan konseptual adalah mengacu pada asas-asas konsep
seputar permasalahan yang menjadi pembahasan 1. Sumber bahan hukum primer yaitu bahan
hukum yang mengikat meliputi peraturan pokok dalam hukum pidana dan pengaturan pokok
Undang-undang kesehatan yang menjadi landasan bagi pelaku malpraktik yang dilakukan oleh
tenaga medis berupa sanksi dan standar operasional prosedur atau (SOP). 2. Bahan Hukum
sekunder yaitu dikaji literatur yang berupa buku-buku hukum, pendapat para serjuna atau ahli
yang sesuai dengan pokok masalah yang dibahas 3. Bahan hukum tersier yaitu meliputi kamus
hukum, majalah hukum yang dapat menunjang pokok pembahasan tersebut. Teknik
pengumpulan bahan hukum yang dimaksud adalah pengumpulan datadengan cara studi
kepustakaan dimana penulis memperolehnya dengan cara membaca, memahami,
mengidentifikasi. mempelajari dan pemahaman terhadap apa yang dilihat di dalam hahan-bahan
hukum sesuai dengan topik permasalahan yang dikaji penulis tersebut. Analisis yang dimaksud
yaitu deskriptif, di mana penulis menjabarkan permasalahan, memberikan pandangan dan
menyelesaikan permasalahan tersebut dengan menarik kesimpulan.
74
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pengaturan Hukum bagi Tenaga Medis yang Melakukan Malpraktik
Malpraktik pada dasarnya tidak hanya dilakukan oleh profesi kedokteran melainkan juga
diprofesi lain seperti perbankan, pengacara, akuntan publik dan wartawan dan lain sebagainya.
Hal ini didasari dengan adanya potensi-potensi untuk melakukan hal yang dapat merugikan pihak
lain, menurut kamus hukum Black Law Dictionary merumuskan malpraktik sebagai Any
Professional misconduct, Unreasonable lack of Skill or Fidelity in Professional or judiacry
duties, evil or illegal or immoral conduct artinya perbuatan jahat dari seseorang ahli, kekurangan
dalam keterampilan di bawah standar atau tidak cermatnya seorang ahli dalam menjalankan
kewajibannya secara hukum, praktek salah atau illegal atau perbuatan yang tidak bermoral
(Arifko, 2014, 107). Secara etimologi Malpraktik berasal dari kata malpractice artinya cara
mengobati yang salah atau tindakan tidak benar dan tidak sesuai dengan standar operasioanl
prosedur yang ada.
Dalam bidang kesehatan, malpraktik medis merupakan tindakan dari tenaga medis yang
profesional tetapi tindakan tersebut merugikan seseorang atau pasien yang sedang ditanganinya.
Ini merupakan bagian dari pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh tenaga medis dalam
melakukan kewajibannya dalam melayani pasien. Sedangkan defenisi dari malpraktik itu adalah:
kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan atau tenaga medis dalam
melaksanakan profesinya yang tidak sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional, akibat kelakian atau kesalahan tersebut pasien memderita luka berat, cacat bahkan
meninggal dunia.
Perkembangan Indonesia saat ini kalau dilihat dari kasus malpraktik dilakukan oleh
tenaga medis schagai pelaku yang melakukan pelanggaran bisa bersifat pidana, perdata dan
administrasi, dengan demikian malpraktik dibagi menjadi tiga (3) golongan besar yaitu
Malpraktik medik (medical malpractice), malpraktik etik (Ethical malpractice) dan malpraktik
yuridik (juridical malpractice). dimana malpraktik yuridik dibagi menjadi tiga yaitu: Malpraktik
perdata, malpraktik pidana dan milpraktik administrasi dimana masing-masing memiliki sifat
sama dimana merugikan pihak lain dan melanggar standar operasional prosedur yang berlaku
(Mucthar, 2016, 177). Sejak tahun 2006 hingga 2012, tercatat ada 183 kasus kelalaian medis atau
malpraktik medis yang dilakukan oleh tenaga medis dalam hal ini dokter maupun perawat
diseluruh Indonesia dan ada berbagai macam hal dan faktor yang menyebapkan timbulnya
malpraktik tersebut adalah standar profesi kedokteran, dimana harus memliki kemampuan diatas
rata-rata dan ketentuan umum yang mumpuni sehingga apa yang dilakukan oleh tenaga medis
atau dokter betul-betul dapat memberikan hasil yang baik. Selain itu standar operasional
prosedur juga merupakan suatu perangkat instruksi langkah-langkah yang dilakukan untuk
menyelesaikan suatu proses kerja rutinitas tertentu dan informasi antara dokter dan pasien agar
saling terbuka dalam pelayanan medis tersebut.
Selain itu juga ada beberapa faktor lain penyebab terjadinya tindak pidana malpraktik
seperti kelalaian yang dilakukan dengan kurangnya kehati-hatian dan adanya kesengajaan yang
sebenarnya tidak dikehendaki oleh tenaga medis itu sendiri dan kurangnya pengetahuan dan
pengalaman dari seorang tenaga medis tentu saja di harapkan memiliki kemampuan,
pengetahuan dan keterampilan dibidang kesehatan, ada juga faktor ekonomi dan rutinitas dapat
menimbukan terjadinya malpraktik tersebut. Selain dari pada faktor dan hal lain yang
menyebabkan terjadinya malpraktik ada juga unsur- unsur melawan hukum, seperti adanya unsur
kesengajaan, unsur kelalaian, dan tidak ada alasan pembenar atau pemaaf seperti, membela diri,
alasan tidak waras dan lain-lain, unsur kelalaian tersebut diatas terjadi ketika terpenuhinya
75
beberapa hal pokok seperti, adanya perbuatan atau mengabaikan sesuatu yang harus dilakukan,
tidak menjalankan kewajiban ketidak hati-hatian dan adanya kerugian bagi orang lain
(Badirujaman, 2001; 47). Akibat hukum ketika orang mengalami kerugian terhadap malpraktik
tersebut, orang karena kesalahanya tersebut menerbitkan kerugian itu untuk mengantikan
kerugian tersebut, dari segi yuridis ganti rugi dalam hukum itu ada dua hal antara lain konsep
ganti rugi karena wanprestasi dan konsep ganti rugi Karena perikatan berdasarkan Undang-
undang termasuk perbuatan melawan hukum, kerugian tersebut memang harus dibuktikan
sehingga seseorang diwajibkan untuk membayarnya, dimana dalam perbuatan melanggar hukum
dapat berupa ganti rugi meterill dan non materill.
Pengaturan hukum merupakan sebuah dasar landasan untuk memberikan jaminan hukum
terhadap adanya kepastian hukum agar terciptanya cita-cita hukum yaitu keadilan, dan
sebaliknya setiap pelanggaran hukum sudah tentu mendapatkan sanksi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dengan demikian setiap tindakan malpraktik yang dilakukan
oleh tenaga medis yang dapat merugikan pasien atau menimbulkan luka berat pada tubuh pasien
merupakan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pelanggaran
terhadap kode etik kedokteran. Hal ini juga dapat menimbulkan berbagai macam tangapan
negatif dari masyarakat sehingga dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap tenaga
medis maupun rumah sakit, selain itu efek dari pada tindakan malpraktik oleh tenaga medis ini
dapat menimbulkan tanggung jawab besar terhadap, pribadi, kelompok dan institusi sehingga
mempunyai tanggung jawab bersama dalam menghadapi masalah tersebut.
76
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan uraian-uraian dalam bab-bab terdahulu, maka ditarik kesimpulan sebagai
berikut: a. Malpraktik merupakan tindakan profesional dari pelayanan kesehatan yang merugikan
pihak lain dalam bentuk materil maupun non materil. Malpraktik sendiri timbul akibat dari
kurangnya pengetahuan, faktor ekonomi, dan faktor rutinitas, hal ini sangat berpotensi terjadinya
malpraktik dalam tindakan medis itu sendiri, dan akibat hukum itu terjadi apabila tenaga medis
terbukti melakukan tindakan malpraktik atau perbuatan pelanggaran hukum dalam profesi
kedokteran, maka tenaga medis tersebut akan dituntut secara hukum adminitrasi, hukum perdata
dan hukum pidana. selain itu juga ada sanksi hukum terhadap tindakan malpraktik oleh tenaga
medis yakni, sanksi pidana, sanksi perdata, sanksi administrasi dan sanksi moral, dimana semua
sanksi ini akan di terima oleh tenaga medis yang melakukan kelalaian atau pelanggaran hukum
terhadap pasien. Untuk mengurangi terjadi malpraktik oleh tenaga medis harus terus
meningkatkan pengetahuan terhadap tenaga medis dalam melakukan tindakan kesehatan
terhadap masyarakat dan pelayanan kesehatan yang sudah sesuai dengan standar operasional
yang berlaku dan menyediakan sarana prasarana yang lengkap untuk menunjang kinerja dari
tenaga medis itu sendiri dalam melakukan pelayanan medis terhadap pasien.
Saran
Adapun saran yang dapat diberikan berdasarkan pembahasan masalah antara lain:
1.Perlu diperhatikan secara menyeluruh terhadap sarana prasana dalam rumah sakit untuk
menunjang tenaga medis dalam bekerja, agar kecil kemungkinan terjadinya malpraktik tersebut.
2. Perlu adanya sinergitas dalam pelayanan kesehatan antara pasien dan tenaga medis, agar
saling terbuka dalam kegiatan pelayanan kesehatan tersebut.
3.Terhadap tenaga medis agar tetap fokus pada profesinya dan terus menerus mengembangkan
dan meningatkan profesionalisme dalam bidang kesehatan untuk memberikan yang terbaik
sesuai harapan semua masyarakat, dan terhadap kelalaian dan kesengajaan tenaga medis dalam
melakukan tindakan malpraktik harus diberikan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
77
Bab. 9
Kesalahan dan Kelalalaian Tenaga kesehatan
A. Kesalahan (Error)
Error adalah sebagai suatu ketidakberhasilan untuk menyelesaikan suatu tindakan yang terencana
atau penggunaan suatu rencana yang keliru untuk mencapai suatu tujuan, tetapi tidak termasuk
tindakan yang dilakukan dengan sengaja atau tindakan sembarangan sehingga mencelakaan
pasien. Sedangkan, menurut Institute of Medicine:
B. Kelalaian (Negligence)
Negligence di bidang kesehatan adalah ketentuan legal yang terdin atas 3 unsur: a) terdapat
hubungan antara tenaga kesehatan dan pasien, b) tenaga kesehatan itu telah melanggar
kewajibannya, karena tidak memenuhi standar pemberian pelayanan kesehatan, dan c)
pelanggaran ini telah menyebabkan pasien menderita kerugian yang sebenarnya dapat
dibayangkan dan secara wajar dapat dicegah.
Ada 4 (empat) unsur kelalaian sebagai tolok ukur di dalam HukuPidana, yaitu: a) bertentangan
dengan hukum (wederrechtelijkheid); b) akibatnyadapat dibayangkan (voorzienbaarheid); c)
akibatnya dapat dihindarkan (vermijdbaarheid); dan d) sehingga perbuatannya dapat
dipersalahkan kepadanya (verwijtbaarheid). 5. Negligence adalah kekurangan perhatian menurut
ukuran wajar.
Kegagalan untuk melakukan apa yang seseorang yang bersifat hati-hati secara wajar akan
melakukan atau justru melakukanapa yang seseorang yang wajar tidak akan melakukan di dalam
kasus tersebut.
Negligence adalah suatu kegagalan untuk bersikap hati-hati yang umumnya seseorang yang
wajar dan hati-hati akan melakukan di dalam keadaan tersebut, is merupakan suatu tindakan
yang seorang dengan hati-hati yang wajar tidak akan melakukan di dalam keadaan yang sama
atau kegagalan untuk melakukan apa yang seseorang lain secara hati-hati yang wajar justru akan
melakukan di dalam keadaan yang sama.
Dari uraian tersebut diatas dapat dirumuskan mengenai negligence yaitu suatu kegagalan untuk
bersikap hati-hati dan kurang waspada yang mana pada umumnya seseorang akan melakukannya
dalam keadaan tersebut. Yang harus diperhatikan dalam kelalaian adalah standar kehatihatian
supaya kealpaan tersebut terhindar dari sikap tindaknya.
78
Kelalaian dapat dipersalahkan dan digugat menurut hukum apabilasudah memenuhi unsur 4D,
yaitu:
1. Duty (kewajiban) Duty adalah kewajiban dari profesi dibidang kesehatan untuk
mempergunakan segala ilmu dan kepandaiannya untuk penyembuhan. Atau setidak-tidaknya
meringankan beban penderitaan pasiennya (to cure and to care) berdasarkan standard profesinya
masing-masing.
2. Derelicition of that duty (Penyimpangan dari kewajiban
Untuk menentukan penyimpangan harus didasarkan fakta-fakta yang meliputi kasusnya dengan
bantuan ahli dan saksi ahli
3. Direct Causation ( Kausa atau akibat langsung
Suatu kekeliruan dalam menegakkan diagnosis saja tidaklah cukup untuk meminta
pertanggungjawaban seorang tenaga kesehatan
4. Damage (Kerugian
Untuk dapat dipersalahkan, harus ada hubungan kausal (secara langsung) antara penyebab
(causa) dengan kerugian (demage) yang diderita oleh karenannya dan tidak ada peristiwa atas
tindakan sela diantaranya. Dan hal ini harus dibuktikan dengan jelas. Tidak bisa hanya karena
hasil (outcome) yang negatif, lantas hal ini langsung saja tenaga kesehatannya dianggap salah
atau lalai.
A. Defenisi Malpraktik
malpraktik adalah sikaptindak profesional yang salah dari seseorang yang berprofesi, seperti
dokter, perawat, ahli hukum, akuntan, dokter gigi, dokter hewan dan sebagainya. Malpraktik bisa
diakibatkan karena sikap tindak yang bersifat tidak peduli, kelalaian, atau kekurang-ketrampilan
atau kehati- hatian dalam pelaksanaan kewajiban profesionalnya, tindakan salah yang sengaja
atau praktek yang bersifat tidak etis.
B. Malpraktik Administrasi
Pelanggaran hukum administrasi adalah sebagai jalan menuju malpraktik. Dad aspek hukum
administrasi, pelanggaran hukum admistrasi akan dikenai sanksi admistrasi. Scnksi administrasi
yang diberikan dapat berupa pencabutan izin dan denda administrasi. Seperti yang tertera dalam
UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 188 ayat (1) yang menyatakan bahwa "Menteri
dapat mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan
kesehatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Lebih lanjut pada ayat (3) "tindakan administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat berupa:
1. peringatan secara tertulis
2. pencabutan izin sementara atau izin tetap.
C. Malpraktik Perdata
Hukum perdata, hubungan hukum yang terjadi antara tenaga kesehatan dan pasien yaitu
hubungan perikatan (verbintenis). Perikatan hukum adalah suatu ikatan antara dua subjek hukum
atau lebih untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu atau memberikan sesuatu
prestasi.
Dilihat dari sumber lahirnya perikatan, terdapat dua kelompok perikatan hukum. Pertama yaitu
perikatan yang disebabkan oleh suatu kesepakatan dan apabila kesepakatan ini dilanggar akan
menyebabkan wanprestasi. Kedua yaitu perikatan yang disebabkan oleh Undang- Undang,
79
apabila hal ini dilanggar akan menyebabkan perbuatan melawan bukum. Selain itu, ada yang
disebut zaakwaarneming yaitu pelanggaran suatu kewajiban hukum dapat terjadi karena UU.
D. Malpraktik Pidana
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan
tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni: (1) perlakuan (asuhan keperawatan), (2) sikap
batin, (3) mengenai hal akibat. Pada dasarnya perlakuan adalah perlakuan yang menyimpang.
Mengenai sikap batin adalah kesengajaan atau culpa. Mengenai hal akibat adalah mengenai
timbulnya kerugian bagi kesehatan atau nyawa pasien.
Jurnal Bab 9.
Olch
ABSTRAK
Kesehatan merupakan hak seluruh masyarakat dengan memperoleh pelayanan kesehatan yang
aman, bermutu, terjangkau, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam mewujudkan
kesejahteraan dalam masyarakat, negara memenuhi hak- hak masyarakatnya dalam
menggunakan pelayanan kesehatan sebagai sebuah bentuk perlindungan. Salah satu perlindungan
yang dimaksud yaitu hak atas ganti kerugian jika dalam menggunakan pelayanan kesehatan
menimbulkan kesalahan dan atau kelalain terhadap pasien yang disebabkan oleh tenaga
kesehatan baik secara fisik maupun nonfisik. Kerugian secara fisik yang dimaksudkan dapat
berupa luka, cidera, cacat, maupun meninggal sedangkan kerugian secara non fisik dimaksudkan
kerugian finansial yang dialami pasien. Ganti kerugian merupakan upaya yang diberikan
terhadap pasien yang telah menderita kerugian secara materiil, Hal ini didukung dalam pasal 58
Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa Setiap
orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara
kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan
kesehatan yang diterimanya. Sehingga pasien dapat melakukan tuntutan secara perdata atas
kerugian yang mereka alami.
ABSTRACT
Health is the right of all people to obtain safe, quality, affordable, and accountable health
services. In realizing prosperity in society, the state fulfills the rights of its people in using health
80
services as a form of protection. One of the safeguards in question is the right to compensation if
the use of health services cause errors and /or negligence of the patient caused by health
personnel both physically and nonphysically. Physical harm may mean injury, injury, disability,
or death while non physical losses are intended financial loss suffered by the patient.
Indemnification is an effort given to patients who have suffered a material loss. This is supported
in Article 58 of Law Number 36 Year 2009 on Health stipulating that Everyone has the right to
claim compensation against a person, health worker, and/ or health provider who incur losses due
to errors or negligence in the health services it receives. So patients can make civil claims for
losses they face.
I. PENDAHULUAN
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagai salah satu kewajiban negara untuk memenuhi
kesejahteraan masyarakat dan untuk mendukung penyelenggaraan pelayanan kesehatan
dibutuhkan tenaga kesehatan yang berkopeten dibidangnya dalam rangka memaksimalkan
kesehatan masyarakat.
Masyarakat yang merupakan sentral terpenting dalam sebuah negara hendaknya memperoleh
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, merata serta dapat dipertanggung jawabkan guna
meningkatkan mutu kehidupan masyarakat baik secara sosial maupun ekonomi.
Tanggung jawab pemerintah dalam menyediakan sumber daya manusia yaitu tenaga kesehatan
yang memiliki keterampilan dan kemampuan dibidangnya minimal harus memenuhi kualifikasi
yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Disamping harus memenuhi kualifikasi
tersebut, tenaga kesehatan mempunyai kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan
kesehatan yang sesuai dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki.
2. Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari
pemerintah.
Ada kalanya dunia kesehatan tak selalu berjalan sesuai dengan harapan seluruh para
pihak terutama keinginan pasien dalam menggunakan jasa pelayanan kesehatan hendak
menginginkan pemulihan atas penyakitnya. Kegagalan akan pemberian pelayanan kesehatan ini
dapat berupa menimbulkan cacat, cindera, luka maupun kematian tanpa disengaja maupun tidak
disengaja ataupun itu merupakan kesalahan ataukah sebuah kelalaian yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan..
81
Oleh sebab itu, pemerintah mewujudkan sebuah upaya dalam melindungi pasien yaitu menerima
hak ganti kerugian sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan tersebut. Selama ini tenaga
kesehatan yang melakukan kesalahan maupun kelalaian bertamggung jawab memenuhi secara
pidana.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penulisan ini adalah penelitian normatif yaitu
mengkaji melalui pendekatan perundang- undangan (The Statute Approach) dengan melihat
bentuk peraturan perundang undangan dan menelah materi muatannya. Beserta melalui metode
kepustakaan yang di analisis dari bahan- bahan pustaka yang terkait permasalahan diatas.
Pada umunya yang dapat menjadi penyebab terjadinya kegagalan atau ketidaksesuaian
dalam memberikan pelayanan keschatan oleh tenaga kesehatan adalah ketidakmampuan dalam
melakukan pelayanan tersebut ataupun tidak memiliki keterampilan serta tidak pernah
menempuh pendidikan ataupun pelatihan yang berkaitan dengan profesi kesehatan.
Tidak hanya tenaga kesehatan yang tidak memiliki kemampuan ataupun keterampilan,
tenaga kesehatan yang sudah menempuh pendidikan dan pelatihan seperti dokter, dokter gigi,
perawat, bidan, dll tidak luput dari kegagalan maupun ketidaksesuaian dalam melaksanakan
pelayanan kesehatan, hal ini dapat disebabkan karena kesalahan atau kelalaian yang dilakukan
karena tak sesuai prosedur medis yang berlaku.
Tenaga kesehatan yang dapat dikatakan melakukan kelalaian apabila tidak
memperhatikan keadaan pasien dengan bersikap acuh, tak perduli, maupun tidak memperhatikan
pergaulan-pergaulan hidup dalam masyrakat khususnya pergaulan-pergaulan si pasien sendiri.
Kelalaian yang ditimbulkan tenaga kesehatan karena disebabkan hal-hal sepele tidak
dikatagorikan sebagai akibat hukum dan jika sebaliknya mengancam keselamatan pasien sifat
kelalaian tersebut akan menjadi delik.
Sedangkan untuk tenaga kesehatan yang dapat dikatakan melakukan kesalahan pada
umunya disebabkan karena kurangnya pengetahuan, pengalaman, maupun pengertian dalam
melakukan atau memberikan pelayanan kesehatan. Kesalahan dapat dilakukan dengan sengaja
atau tidak sengaja. Dengan sengaja dilakukan dengan melakukan perbuatan yang dilarang
peraturan perundang-undangan, sedangkan dengan tidak sengaja karena kelalaian seperti
menelantarkan pengobatan pasien karena
Tanggung Jawab Tenaga Kesehatan Dalam Memenuhi Hak Pasien Dalam Memperoleh
Ganti Kerugian Akibat Kesalahan Maupun Kelalaian
Untuk dapat melaksanakan sebuah tanggung jawab tenaga kesehatan harus memiliki
kecakapan, beban kewajiban sebagai bentuk prestasi, dan perbuatan. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, tanggung jawab merupakan "keadaan wajib menanggung segala sesuatu
(kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahakan, diperkarakan, dan sebagainya)"."
Tanggung jawab ini dapat berupa secara pidana maupun perdata yang dimana memiliki sebuah
82
hubungan. Hubungan ini bersifat positif dalam arti bahwa suatu perbuatan dari jenis ini dapat
dikenakan hukuman perdata maupun hukuman pidana.
Karena dalam kesalahan atau kelalain yang dilakukan oleh tenaga kesehatan bisa berupa
bentuk kriminal ataupun wanpretasi.
Pemberian hak atas ganti rugi merupakan bentuk tanggung jawab dalam memberikan
perlindungan bagi setiap orang atas akibat yang timbul baik fisik maupun nonfisik karena
kesalahan dan kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan. Fisik yang dirugikan dimaksudkan
hilangnya fungsi organ tubuh baik sebagaian maupun secara keseluruhan, sedangkan yang
maksud dengan kerugian non fisik berkaitan dengan kerugian materiil yang dialami pasien.
Tuntutan untuk memperoleh pertanggungjwaban dalam hal kerugaian materiil merupakan
tuntutan atas sebuah keluhan atau ketidakpuasan atas apa yang telah dirasakan dalam menerima
pelayanan kesehatan. Untuk itu si penggugat yakni pasien atau keluarga pasien dapat
mengajukan sebuah tuntutan secara perdata dengan cara pengajuan diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Selain hak ganti rugi yang telah termuat dalma Pasal 58 Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan, tuntutan secara perdata khususnya dalam hak memperoleh ganti
kerugian dapat dilihat secara rinci dalam Pasal 4 huruf h Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan hak untuk mendapatkan kompensasi ganti
rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya, Ganti kerugian tersebut dapat berupa pengembalian uang atau
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang undangan yang berlaku (Pasal 19 ayat (2)). Hak untuk mendapatkan ganti rugi
merupakan hak yang dapat diperoleh jika dalam melakukan pelayanan kesehatan tenaga
kesehatan melakukan kelalaian, kesalahan, maupun wanprestasi. Pemberian ganti rugi tersebut
dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi, dengan adanya ganti
rugi ini tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih
lanjut mengenai adanya unsur kesalahan (Pasal 19 ayat 3 dan 4).
Dalam penyelesaian perselisihan antara tenaga kesehatan dengan pasien dengan sudah
terpenuhinya unsur-unsur kelalaian atau kesalahan dalam bentuk sebuah tuntutan pidana yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan sebelum masuk keranah pengadilan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan maupun Undang-Undang Nomor 36 Tahun. 2009
Tentang Kesehatan menegaskan agar terlebih dahulu diselesaikan diluar pengadilan melalui
mediasi (Pasal 78 Undang Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan jo Pasal
29 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan).
KESIMPULAN
Penyebab terjadinya kegagalan atau ketidaksesuaian dalam memberikan pelayanan
kesehatan oleh tenaga kesehatan adalah ketidakmampuan dalam melakukan pelayanan tersebut
ataupun tidak memiliki keterampilan serta tidak pernah menempuh pendidikan ataupun pelatihan
yang berkaitan dengan profesi kesehatan yang merupakan sebuah kesalahan. Kesalahan ini
dibagi 2 (dua) yaitu dengan sengaja dan dengan tidak sengaja. Dengan sengaja dilakukan dengan
melakukan perbuatan yang dilarang peraturan perundang-undangan, sedangkan dengan tidak
sengaja karena kelalaian seperti menelantarkan pengobatan pasien karena lupa. Kemudian
penyebab yang ditimbulkan oleh tenaga kesehatan yang telah menempuh pendidikan khusus
merupakan bentuk sebuah kelalaian, kelalaian ini timbul jika tenaga kesehatan bersikap acuh dan
tidak perduli atas kondisi pasien.
83
Pemberian hak dalam memperoleh ganti kerugain atas kesalahan atau kelalaian yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan merupakan sebuah bentuk tanggung jawab. Tuntutan
pertanggungjawaban ini dapat dilakukan pasien dengan mengajukan tuntutan perdata, walaupun
telah diatur dalam pasal 58 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, namun
secara rinci hak ganti rugi tersebut termuat dalam dalam Pasal 4 huruf h Undang- Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan hak untuk
mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/jasa yang diterima
tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya, hak untuk mendapatkan ganti
rugi merupakan hak yang dapat diperoleh jika dalam melakukan pelayanan kesehatan tenaga
kesehatan melakukan kelalaian, kesalahan, maupun wanprestasi. Pemberian ganti rugi tersebut
dilaksanakan. dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi, dengan adanya
ganti rugi ini tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian
lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan (Pasal 19 ayat 3 dan 4) dan jika unsur-unsur
kesalahan maupun kelalaian telah dipenuhin pasien dapat melakukan tuntutan pidana melalui
ranah pengadilan, sebelum masuk ranah pengadilan pihak berselisih ditegaskan agar terlebih
dahulu melalui mediasi (Pasal 78 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga
Kesehatan jo Pasal 29 Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan).
SARAN
Dengan hubungan saling membutuhkan tenaga kesehatan diharapkan dalam memberikan
pelayanan kesehatan, diharapkan lebih memperhatikan kondisi pasien secara teliti dan mematuhi
prosedur medis masing-masing profesi. Dan untuk bagi tenaga kesehatan yang tidak memiliki
kemampuan dan keterampilan dalam bidang kesehatan diharapkan agar tidak menyelenggarakan
pelayanan kesehatan yang belum tentu bisa lakukan agar tidak. mengancam keselamatan jiwa
orang banyak.
Dengan telah mewujudkan pemenuhan hak pasien yaitu hak memperoleh ganti rugi atas
kesalahan maupun kelalaian yang disebabkan oleh tenaga kesehatan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan itu belum cukup, harus adanya sebuah pengawasan atau pembinaan dalam
pengadaan tenaga kesehatan yang berkopeten di bidangnya.
84
BAB 10
ASPEK HUKUM KESEHATAN LINGKUNGAN
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup kesehatan lingkungan terdiri dari 12 poin, yaitu:
Penyediaan air minum
Pengelolaan dan pembuangan limbah cair, gas dan padat.
Mencegah kecelakaan.
Mecegah penyebaran penyakit bawaan air, udara, makanan, dan
Pengelolaan kualitas lingkungan, air, udara, makanan, pemukiman, dan bahan berbahaya
Pengelolaan keamanan dan sanitasi transportasi
Pengelolaan kepariwisataan
85
Pengelolaan tempat makan umum
Pengelolaan pelabuhan.
Mencegah dan memberi pertolongan pada bencana
Pengelolaan lingkungan kerja
86
Jamban adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang dan mengumpulkan kotoran
manusia dalam suatu tempat tertentu, sehingga kotoran tersebut tidak menjadi penyebab penyakit
dan mengotori lingkungan pemukiman.
Jamban berfungsi sebagai pengisolasi tinja dari lingkungan jamban yang baik dan
memenuhi syarat kesehatan akan menjamin beberapa hal yaitu
Melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit
Menlindungi dari gangguan estetika, bau dan penggunaan sarana yang aman
Bukan tempat berkembangbiakan serangga sebagai vektor penyakit
Melindungi pencemaran pada penyediaan air bersilh dan lingkungan
Pembuangan akhir sampah di atas permukaan tanah apabila tidak dilakukan dengan perencanaan
yang baik serta pengawasan pada lokasi landpill akan menimbulkan permasalahan pada daerah
sekitarnya. Agar pembuangan sampah tidak menimbulkan permasalahan maka menurut Arwar
(1979) tempat pembuangan sampah harus memenuhi syarat yaitu:
Tidak dekat dengan sumber air minum atau sumber lain yang dipergunakan manusia (mandi,
mencuci dan sebagainya)
Tidak pada tempat yang sering terkena banjir.
Di tempat yang jauh dari tempat tinggal manusia, jarak yang dipak sebagai pedoman adalah
sekitar 2 km dari perumahan pendu atau sekitar 15 km dari laut.
F. Masalah-masalah Kesehatan Lingkungan di Indonesia
Masalah Kesehatan lingkungan merupakan masalah kompleks yang untuk mengatasinya
dibutuhkan integrasi dari berbagai sekinterkat Di Indonesia permasalah permasalahan dalam
lingkup kesehatan lingkungan antara lain:
Air Bersih
Kesehatan Pemukiman
87
Jurnal Bab 10.
ASPEK HUKUM BAHAYA PLASTIK TERHADAP KESEHATAN DAN
LINGKUNGAN SERTA SOLUSINYA
Oleh:
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisis aspek hukum bahaya plastik
terhadap kesehatan dan lingkungan serta solusinya. Sejalan dengan permasalahan penelitian ini,
maka jenis penelitian hukum yang digunakan bersifat penelitian hukum normatif dengan
pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Penelitian ini akan menjadikan
pengelolaan sampah di Kabupaten Sleman sebagai model. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa (1)) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah tidak secara
jelas mengatur mengenai sampah plastik dan larangan untuk menghasilkan sampah plastik. Oleh
karena itu Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah belum dapat
mencegah penggunaan plastik yang dapat menimbulkan sampah plastik yang berbahaya bagi
manusia dan lingkungan; (2) Sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang
melarang penggunaan plastik yang membahayakan bagi kesehatan manusia dan lingkungan; dan
(3) Solusi belum diaturnya larangan penggunaan plastik yang membahayakan kesehatan dan
lingkungan maka sampah plastik bisa digunakan sebagai bahan untuk membuat kerajinan seperti
aneka jenis tas, dompet, topi tempat koran, map, dan sebagainya seperti yang telah dilakukan
oleh masyarakat Desa Sukunan, Kabupaten Sleman selama ini.
PENDAHULUAN
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (selanjutnya disebut
Undang-undang Sampah) menggolongkan sampah terdiri atas (a) sampah rumah tangga; (b)
sampah sejenis sampah rumah tangga; dan (c) sampah spesifik. Sampah rumah tangga berasal
dari kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga, tidak termasuk tinja dan sampah spesifik. Sampah
spesifik meliputi: (a) sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun; (b) sampah yang
mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun; (c) sampah yang timbul akibat bencana; (d)
puing bongkaran bangunan; (e) sampah yang secara teknologi belum dapat diolah; dan/atau (f)
sampah yang timbul secara tidak periodik (Pasal 2 ayat (1) sampai dengan ayat (4) Undang-
undang Sampah). Undang-undang Sampah tidak mengatur pengelolaan sampah berdasarkan
sifatnya yang mudah diurai atau tidak terurai, bahkan dalam Undang-undang Sampah tersebut
tidak ditemukan kata "sampah plastik".
Demikian juga Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah
Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (selanjutnya disebut PP Sampah)
juga tidak mengatur mengenai sampah plastik. Kata "plastik ditemukan dalam penjelasan Pasal
11 PP Sampah dalam kaitannya dengan contoh implementasi pembatasan timbulan sampah
88
antara lain: penggunaan barang dan/atau kemasan yang dapat didaur ulang dan mudah. terurai
oleh proses alam; membatasi penggunaan kantong plastik; dan/atau menghindari penggunaan
barang dan/atau kemasan sekali pakai. Berdasarkan kondisi ini, dapat dikatakan baik Undang-
undang Sampah maupun PP Sampah belum mengatur secara spesifik mengenal sampah plastik.
Jenis sampah yang paling potensial merusak lingkungan adalah jenis sampah anorganik,
khususnya sampah plastik. Hal ini dikarenakan sampah jenis ini tidak dapat mengalami
pembusukan secara alami sebagaimana sampah organik sehingga materi ini akan terus terkumpul
selama beribu tahun di tanah tanpa adanya proses penguraian oleh bakteri dekomposer. Selain
itu, hal ini juga disebabkan budaya masa kini yang serba instan dimana penggunaan materi
berbahan plastik, dari sektor rumah tangga (konsumen) dan sektor industri (pelaku usaha),
semakin meningkat yang pada akhimya semakin banyak pula sampah plastik yang sulit terurai.
Peringatan mengenai larangan untuk menggunakan kantong plastik hitam oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) masih diindahkan oleh masyarakat. Banyak masyarakat
yang menggunakan kantong plastik hitam dalam kehidupan sehari-hari tanpa mengetahui bahaya
yang ditimbulkan dari penggunaan kantong plastik hitam tersebut. Husni Syawali dan Neni Sri
Imaniyati menjelaskan bahwa rendahnya kesadaran dan pengetahuan konsumen, tidak mustahil
dijadikan lahan bagi pelaku usaha dalam transaksi yang tidak mempunyai itikad baik dalam
menjalankan usahanya, yaitu berprinsip mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan
memanfaatkan seefisien mungkin sumber daya yang ada. Dengan demikian, konsumen seolah
dipaksa oleh pelaku usaha untuk terus menggunakan barang-barang dari plastik termasuk
pemakaian kantong plastik hitam, yang tidak bisa terurai, yang pada akhirnya konsumenlah yang
dikorbankan.
Informasi yang tidak dicantumkan mengenai cara pembuatan dan kandungan zat yang
ada didalam kantong plastik hitam, membuat konsumen tidak mengetahui dengan pasti bahan-
bahan yang digunakan dalam pembuatan kantong plastik hitam tersebut. Bahaya yang
ditimbulkan dari penggunaan kantong plastik hitam memang tidak dapat dirasakan secara
langsung namun dampaknya baru dapat dirasakan dalam jangka waktu yang lama. Meskipun
demikian mengkonsumsi atau menggunakan kantong plastik dalam memenuhi kebutuhan sehari-
hari dalam jangka waktu yang terlalu lama sangatlah berbahaya bagi kesehatan dan kehidupan
konsumen pengguna kantong plastik kresek tersebut. Menurut Celina Tri Siwi Kristianti
kenyamanan dan keamanan konsumen harus diperhatikan karena pada umumnya konsumen tidak
mengetahui dari bahan apa suatu produk itu dibuat, bagaimana proses pembuatannya serta
strategi pasar apa yang dijalankan untuk mendistribusikannya, maka diperlukan kaidah hukum
yang dapat melindungi. Produk hukum yang diciptakan pemerintah untuk mengatur mengenal
perlindungan konsumen yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen (selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen). Undang-Undang
Perlindungan Konsumen tersebut telah memberikan hak dan kewajiban pelaku usaha serta
konsumen dalam rangka menciptakan pelaku usaha yang bertanggungjawab dan memberi
kenyamanan serta keamanan pada konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk barang atau
jasa sebagai upaya dalam melakukan perlindungan terhadap konsumen, tetapi masih banyak
masyarakat yang tidak mengetahui hak-haknya sebagai konsumen. Masyarakat tentunya harus
mengetahui hak-haknya sebagai konsumen agar dapat terhindar dari berbagai bahaya yang
ditimbulkan oleh produk-produk yang pembuatannya tidak memenuhi standar kelayakan dan
beredar luas di masyarakat serta dikonsumsi oleh sebagian besar konsumen, salah satunya yaitu
dalam mengkonsumsi kantong plastik hitam (plastik kresek) untuk memenuhi kebutuhan mereka.
89
Meskipun Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara implisit sudah melarang
penggunaan plastik mengingat akan bahayanya (das sollen), namun pada kenyataannya (das
sein), baik pemerintah maupun konsumen sendiri seolah tidak peduli. Buktinya konsumen tidak
ada yang protes saat diberikan bahan plastik, sebagai kemasan bagi makanan yang mereka bell.
Pemerintah pun tidak melarang secara tegas penggunaan produk-produk plastik yang berbahaya
bagi kesehatan konsumen, sehingga, pelaku usaha dapat dengan bebas menggunakan produk
plastik yang berbahaya bagi kesehatan konsumennya.
Hingga saat ini, peneliti belum menemukan adanya Putusan Pengadilan yang mengadili
pemakaian bahan plastik dikaitkan dengan bahaya plastik bagi kesehatan dan lingkungan. Hal ini
disebabkan belum adanya aturan yang tegas mengenai bahaya dalam penggunaan bahan plastik.
Selain itu, belum juga ditemukan adanya tuntutan ganti rugi sebagai akibat kerugian penggunaan
bahan plastik.
Dengan demikian peran serta pemerintah, masyarakat dan perusahaan dalam pengelolaan
lingkungan ini akan membuat kesehatan dan lingkungan terjaga dengan baik. Cara lain dalam
rangka mengurangi keberadaan plastik dan sampah plastik adalah dengan cara mengurangi
penggunaan barang-barang berbahan baku plastik atau menggantinya dengan barang yang non-
plastik. Substitusi bahan plastik dengan bahan yang mudah diurai dan dihancurkan oleh
lingkungan seperti bahan-bahan alami, misal: plastik dari jagung, kentang, dan lain-lain.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, permasalahan dalam penelitian
ini dapat dirumuskan dalam bentuk research questions yaitu apakah aturan dalam Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah belum dapat mencegah penggunaan
plastik yang dapat menimbulkan sampah plastik yang berbahaya, mengapa belum ada peraturan
perundang-undangan yang melarang penggunaan plastik yang membahayakan kesehatan dan
lingkungan, serta bagaimana solusi belum diaturnya larangan menggunakan plastic yang
membahayakan kesehatan dan lingkungan.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif (normative legal research)
merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu. Penelitian normatif
seringkali disebut dengan penelitian doktrinal, yaitu penelitian yang objek kajiannya adalah
dokumen 11 peraturan perundang-undangan dan bahan pustaka." Dalam peneltian normatif
hukum dipandang identik dengan norma-norma tertulis, yang dibuat dan diundangkan oleh
lembaga atau pejabat yang berwenang dan meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif yang
otonom, mandiri, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat nyata.
Jenis pendekatan yang digunakan oleh peneliti adalah jenis pendekatan perundang-
undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach), mengingat permasalahan
yang diteliti dan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai aspek hukum bahaya plastik
terhadap kesehatan dan lingkungan serta solusinya. Penelitian ini akan menjadikan pengelolaan
sampah di Kabupaten Sleman sebagai model.
90
HASIL DAN PEMBAHASAN
Aturan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah Terkait
dengan Pencegahan Penggunaan Plastik yang Dapat Menimbulkan Sampah Plastik yang
Berbahaya
91
berbahaya dan beracun meliputi bateri, bohlam listrik. elektronik, pestisida, bahan pemutih,
bahan pembersih, kaleng pestisida (aerosol), obat-obatan yang terpakai, yang membahayakan
manusia dan lingkungan). Sedangkan menurut S. Fairhust yang dimaksud dengan limbah B3
disini adalah setiap limbah yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena
sifat dan latau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung
dapat merusak dan/atau mencemarkan lingkungan hidup dan/atau membahayakan.
Berdasarkan pengertian sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun di atas,
maka dapat disimpulkan apakah plastik termasuk ke dalam kategori bahan berbahaya dan
beracun masih debatable. Terlebih lagi Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Sampah menyebutkan
ketentuan lebih lanjut mengenai jenis sampah spesifik di luar ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang lingkungan hidup. Dalam peraturan setingkat menteripun belum ditemukan yang
mengatur mengenai sampah plastik.
Terkait dengan larangan penggunaan plastik yang dapat menimbulkan sampah plastik,
Undang-Undang Sampah juga tidak mengatumya. Pasal 29 ayat (1) huruf (c) dan huruf (d) hanya
mengatur mengenai larangan bagi setiap orang untuk mencampur sampah dengan limbah
berbahaya dan beracun dan mengelola sampah yang menyebabkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan. Ketentuan ini juga menimbulkan pertanyaan apakah sampah plastik
plastik termasuk sampah yang dilarang oleh ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf (c) dan huruf (d)
Undang-Undang Sampah tersebut. Larangan seperti yang diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang
Sampah tidak diikuti dengan adaanya sanksi baik sanksi administrasi maupun sanksi pidana. Hal
ini menunjukkan bahwa larangan yang diatur dalam Pasal 29 Undang- Undang Sampah tersebut
menjadi tidak efektif.
Tidak adanya sampah plastik dalam Undang-Undang Sampah menyebabkan orang
merasa bebas dan tidak takut untuk mengahasilkan dan membuang sampah plastik. Mereka
beranggapan untuk menghasilkan dan membuang sampah plastik tidak ada larangannya apalagi
sanksinya. Meskipun mereka tahu kalau sampah plastik itu berbahaya baik terhadap lingkungan
maupun terhadap manusia, namun mereka tetap saja menghasilkan dan membuang sampah
plastik disembarang tempat.
Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa
Undang-Undang Sampah tidak secara jelas mengatur mengenai sampah plastik dan larangan
untuk menghasilkan sampah plastic yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan.
Sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang melarang penggunaan
plastik yang membahayakan bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Larangan penggunaan
plastik baru sebatas plastik sebagai kemasan bahan pangan diatur dalam Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Nomor : Hk 00.05.55.6497 tentang Bahan Kemasan Pangan
(selanjutnya disebut Peraturan Kepala Badan POM tentang Bahan Kemasan Plastik). Pasal 1
angka 1 Peraturan Kepala Badan POM tentang Bahan Kemasan Plastik menyebutkan bahwa
kemasan pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus pangan
baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun tidak. Sementara itu Pasal 1 angka 3
mendefinisikan plastik sebagai senyawa makromolekul organik yang diperoleh dengan cara
92
polimerisasi, polikondensasi, poliadisi, atau proses serupa lainnya dari monomer atau oligomer
atau dengan perubahan kimiawi makromolekul alami.
Pasal 3 ayat (1) Peraturan Kepala Badan POM tentang Bahan Kemasan Plastik mengatur
Bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan kemasan pangan adalah bahan tambahan seperti
yang tercantum dalam Lampiran 1. Plastik yang tidak dapat didaur ulang termasuk salah satu
dalam Lampiran 1 Peraturan Kepala Badan POM tentang Bahan Kemasan Plastik. Oleh karena
itu plastik yang tidak dapat didaur ulang dilarang untuk digunakan sebagai bahan kemasan
pangan. Selanjutnya Pasal 3 ayat (2) Peraturan Kepala Badan POM tentang Bahan Kemasan
Plastik menyebutkan bahan yang diizinkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf b terdiri
dari bahan dasar dan bahan tambahan. Pasal 3 ayat (3) Peraturan Kepala Badan POM tentang
Bahan Kemasan Plastik mengatur bahan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) seperti
tercantum dalam Lampiran 2A. Plastik yang dapat diatur ulang termasuk salah satu dalam
Lampiran 2A. Oleh karena itu, plastik yang dapat didaur ulang dapat digunakan sebagai bahan
kemasan pangan setelah mendapat izin. Izin yang dimaksudkan disini berasal dari Kepala Badan
POM. Hal ini diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan Kepala Badan POM tentang Bahan
Kemasan Plastik yang mengatur dilarang menggunakan kemasan pangan dari bahan plastik daur
ulang sebelum diperiksa keamanannya dan mendapat persetujuan dari Kepala Badan POM.
Sanksi bagi yang melanggar larangan tersebut di atas diatur dalam Pasal 11 ayat (1)
Peraturan Kepala Badan POM tentang Bahan Kemasan Plastik yang menyebutkan pelanggaran
terhadap peraturan ini dikenai sanksi administratif dan atau sanksi pidana sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan tertulis;
b. larangan mengedarkan untuk sementara waktu:
c. perintah menarik produk dari peredaran;
d. pemusnahan jika terbukti menimbulkan risiko terhadap kesehatan;
e. pencabutan persetujuan pendaftaran produk pangan. (Pasal 11 ayat (2) Peraturan Kepala
Badan POM tentang Bahan Kemasan Plastik)
Solusi Belum Diaturnya Larangan Penggunaan Plastik yang Membahayakan Kesehatan dan
Lingkungan
Sampah yang terus bertambah di Kabupaten Sleman dan tidak dikelola dengan baik dapat
menimbulkan masalah baik pada pemerintah, sosial masyarakat, kesehatan, dan lingkungan.
Sampah yang dibuang oleh masyarakat di Kabupaten Sleman setiap harinya berasal dari kegiatan
pertanian, pasar, rumah tangga, hiburan dan industri. Salah satu bentuk sampah adalah sampah
dometik yang merupakan salah satu kegiatan rumah tangga yang menyisakan limbah domestik
atau sampah masyarakat. Bertambahnya sampah domestik sejalan dengan perkembangan
pembangunan fisik, dan pertambahan peningkatan sarana dan prasarana yang memadai. Akibat
dari pencemaran tersebut keseimbangan lingkungan terganggu, misalnya terjangkitnya penyakit
menular.
Kebiasaan membuang sampah sembarangan dilakukan hampir di semua kalangan
masyarakat di Kabupaten Sleman, tidak hanya warga miskin, bahkan mereka yang berpendidikan
tinggi juga melakukannya, Ini sangat menyedihkan karena minimnya pengetahuan tentang
sampah dan dampaknya. Perilaku buruk ini semakin menjadi karena minimnya sarana kebersihan
yang mudah dijangkau oleh masyarakat di tempat umum.
93
KESIMPULAN
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah tidak secara jelas
mengatur mengenai sampah plastik dan larangan untuk menghasilkan sampah plastik.
Ketidakjelasan pengaturan sampah plastik ini dapat ditunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2008 tersebut hanya mengkategorikan sampah menjadi 3 (tiga) yaitu sampah rumah
tangga, sampah sejenis sampah rumah tangga dan sampah spesifik (Pasal 2 ayat (1)). Penjelasan
mengenai sampah spesifik itu tidak memasukkan sampah plastik sebagai sampah spesifik (Pasal
2 ayat (1)). Oleh karena itu Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah belum dapat mencegah penggunaan plastik yang dapat menimbulkan sampah plastik
yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan.
Sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang melarang penggunaan
plastik yang membahayakan bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Larangan penggunaan
plastik baru sebatas plastik sebagai kemasan bahan pangan diatur dalam Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Nomor: Hk 00.05.55.6497 tentang Bahan Kemasan Pangan.
Mengingat plastik yang tidak bisa terurai membahayakan bagi lingkungan hidup, maka secara
eksplisit Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup melarang pembuangan barang-barang termasuk sampah plastik yang dapat
merusak lingkungan hidup. Sementara itu, plastik jika didaur ulang berbahaya bagi manusia
sehingga pemerintah dan DPR selaku pembuat undang-undang harus segera membuat peraturan
singkat undang-undang untuk mencegah penggunaan plastik yang sampah plastiknya berbahaya
bagi kesehatan dan lingkungan.
Solusi belum diaturnya larangan penggunaan plastic yang membahayakan kesehatan dan
lingkungan maka sampah plastik bisa digunakan sebagai bahan untuk membuat kerajinan seperti
aneka jenis tas, dompet, topi tempat koran, map, dan sebagainya seperti yang telah dilakukan
oleh masyarakat Desa Sukunan, Kabupaten Sleman selama ini.
Terkait dengan hal-hal tersebut, Pemerintah bersama-sama DPR selaku pembuat undang-
undang disarankan untuk segera membuat undang-undang yang melarang penggunaan plastik
yang nyata-nyata membahayakan kesehatan dan lingkungan dan juga membuat undang-undang
yang mengatur pengelolaan sampah plastik agar tidak membahayakan kesehatan dan lingkungan.
Selain itu, pemerintah daerah disarankan untuk terus memotivasi masyarakat untuk berpartisipasi
dalam pengelolaan sampah plastik agar masyarakat selalu yakin dan taat untuk ikut mengelola
sampah yang ada. Kemauan masyarakat ini akan muncul dengan bantuan dorongan dari
pemerintah daerah berupa kemudahan-kemudahan dalam pengadaan sarana dan prasarana dalam
menunjang kebersihan. Masyarakat disarankan untuk mengurangi penggunaan bahan-bahan dari
plastik secara bertahap seperti misalnya tidak lagi menggunakan styrofoam dan kantong plastik
sebagai pembungkus makanan serta menggantinya dengan daun atau bahan-bahan alami lainnya
yang tidak membahayakan bagi manusia dan lingkungan.
94
BAB 11
ASPEK HUKUM KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Setiap tahun tercatat ribuan kecelakaan terjadi di tempat kerja. Pada tahun 2007 menurut
Jamsostek tercatat 65.474 kecelakaan yang mengakibatkan 1.451 orang meninggal, 5.326 orang
cacat tetap dan 58.697 orang cendera. Data kecelakaan tersebut mencakup seluruh perusahaan
yang menjadi anggota Jamsostek dengan jumblah perserta sekitar 7 juta orang atau sekitar 10 %
dari seluruh perkerja di Indonesia. Dengan demikian, angka kecelakaan mencapai 930 kejadian
untuk setiap 100.000 perkerja setiap tahun. Artinya, dalam skala industri, kecelakaan dan
penyakit akibat kerja menimbulkan kerugian 4 persen dari biaya produksi berupa pemborosan
terselubung yang dapat mengurangi produktivitas yang akhirnya dapat mempengaruhi daya saing
suatu Negara. Hasil survey World Econonic Forum tersebut juga mengkaitkan antara daya saing
dengan tingkat kecelakaan.
Kondisi ini disebabkan karena masih kurangnya kesadaran dan pemahaman kalangan
usaha di Indonesia akan pentingnya aspek keselamatan dan kesehatan kerja sebagai salah satu
unsur untuk meningkatkan daya saing. K3 secara praktis/hukum, di lain sisi, merupakan suatu
upaya perlindungan agar tenaga kerja selalu dalam keadaan selamat dan sehat selama melakukan
pekerjaan di tempat kerja serta begitu pala bagi orang lain yang memasuki tempat kerja maupun
sumber dari proses produksi dapat secara aman dan efisien dalam pemakaiannya.
Ditinjau dari segi keilmuan, K3 dapat diartikan sebagai ilma pengetahuan dan penerapan guna
mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan
lingkungan kerja. K3 merupakan segala daya atau pemikiran yang ditujukan untuk menjamin
keutuhan dan kesempurnaan balk jasmani maupun rohaniah tenaga kerja pada khusunya dan
manusia pada umumnya hasil karya budayanya, untuk meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja
menuju masyarakat adil dam makmur.
B. Tujuan K3
Secara umum tujuan K3 adalah untuk menciptakan tenaga kerja yang sehat dan produktif. Selain
itu, untuk menciptakan lingkungan kerja yang higienis, aman, dan nyaman yang dikelola oleh
tenaga kerja sehingga sehat, selamat, dan poduktif. Sementara itu, para ahli ada yang
membedakan tujuan K3 berdasarkan keselamatan kerja dan kesehatan kerja.
Mencegah timbulnya gangguan kesehatan masyarakat pekerja yang diakibatkan oleh kondisi
lingkungan kerjanya
Menempatkan dan memelihara pekerja disuatu lingkungan pekerjaan yang sesuai dengan
kemampuan fisik dan psikispekerjaannya. Untuk mewujudkan tenaga kerja yang sehat
danproduktif dapat digunakan dua pendekatan, yakni pendekatanpengendalian pengaruh faktor
fisik, kimia, dan biologi terhadaptenaga kerja dengan sasaran lingkungan kerja bersifat teknis
Sedangkan pendekatan konsep kesehatan kerja untukmenciptakan tenaga kerja yang sehat dan
produktif, dengansasaran mencegah penyakit akibat kerja yang bersifat medis.
95
Secara garis besar, faktor yang perlu mendapat perhatian dalam K3 yaitu 1) lingkungan kerja, 2)
peralatan yang digunakan, 3) bahan yang digunakan, 4) keadaan dan kondisi tenaga kerja, dan 5)
metode kerja,
1. Lingkungan kerja.
Lingkungan kerja adalah setiap ruangan atau lapangan, terbuka atau tertutup, bergerak atau
tetap, tempat orang bekerja atau melakukan aktivitas kerja dan sering dimasuki tenaga kerja
untuk keperluan suatu usaha yang mengandung berbagai sumber bahaya. Undang- Undang
Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja Pasal 21 telah menjamin perlindungan dan
keselamatan dan kesehatan kerja terhadap karyawan disuatu tempat kerja dengan memberi hak
dan kewajiban.
2. Peralatan yang digunakan.
Mesin dan peralatan kerja yang dipergunakan dapat berpengaruh baik secara langsung maupun
tidak langsung terhadap kemungkinan timbulnya kasus kecelakaan kerja. Sehubungan dengan
ini, sangat penting untuk memperhatikan mesin dan alat kerja yang digunakan, yaitu: a kondisi
perlindungan atau penanganan mesin-mesin dan perkakas b. kondisi alat-alat kerja.
3. Bahan yang digunakan.
Sangat penting untuk meperhatikan bahan-bahan yang digunakan, misalnya penggunaan bahan-
bahan kimia.
5 Metode kerja
Metode kerja sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan cara kerja yang benar. Pengalam dan cara
kerja yang benar harus memperhatikan beberpa aspek antara lain peralatan, posisi kerja, dan
penggunaan peralatan. Hampir 25% kecelakaan yang diderita oleh tenaga kerja disebabkan
dalam penanganan material. Beberapa keluhan seperti hernia, keseleo, ketegangan, luka-luka
disebabkan oleh cara kerja atau mengangkat dan membawa yang kurang benar.
D. Kecelakaan Kerja
Kecelakaan adalah kejadian yang tidakterduga, tidakdikehendaki dan menimbulkan akibat yang
buruk. Bertolak dari pemikiran ini maka sesungguhnya kecelakaan itu dapat dihindari dengan
cara melakukan upaya-upaya pencegahan, sehingga dengan demikian akibat yang lebih buruk
yang mungkin akan terjadi di masa depan itu menjadi tidak pernah terjadi sama
sekali. Kecelakaan kerja, dengan demikian, merupakan kecelakaan yang berkaitan dengan
hubungan kerja. Kecelakaan kerja meliputi juga kecelakaan tenaga kerja yang terjadi pada saat
perjalanan ke dan dari tempat kerja serta meliputi penyakit yang timbul karena hubungan kerja.
96
Kecelakaan kerja adalah setiap perbuatan atau kondisi tidak selamat yang dapat mengakibatkan
kecelakaan. Kecelakaan kerja merupakan suatu kejadian atau peristiwa yang tidak diinginkan
yang merugikan terhadap manusia, merusak harta benda atau kerugian terhadap proses. Sistem
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja penggunaan alat pelindung diri . Semua jenis upaya
pengendalian ini dapat digunakan secara bersamasama, tetapi harus diberikan prioritas kepada
pengendalian teknik sebelum metoda pengendalian yang lain yang digunakan.
Sebagai dasar pencegahan kecelakaan kerja yang dipakai oleh setiap perusahaan adalah Undang-
undang Republik Indonesia. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dalam pasal 86 ayat
perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama, kemudian
pada ayat untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja
yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja, «.
E. Penyakit Kerja
Penyakit akibat kerja, di lain sisi, didefinisikan sebagai penyakit yang timbul dan diderita oleh
tenaga kerja dalam pekerjaannya, setelah terbukti bahwa sebelum bekerja tenaga kerja tidak
mengalami gangguan kesehatan atau terkena penyakit tersebut. Penyakit akibat kerja mencakup
semua kondisi patologis yang terjadi karena bekerja dalam jangka waktu lama, misalnya akibat
penggunaan tenaga berlebih atau terpapar faktor berbahaya pada material, peralatan, atau
lingkungan kerja.
1. penyakit akibat kerja adalah penyakit yang mempunyai penyebab yang spesifik atau asosianya
yang diakut,
2. penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan adalah penyakit yang terjadi pada populasi
pekerja tanpa adanya agen penyebab ditempat kerja, namun dapat diperberat oleh kondisi yang
buruk bagi kesehatan.
97
jawab, tanggung gugat, konsultasi motivasi dan kesadaran, pelatihan dan kompetensi
kerja. Kegiatan pendukung yang meliputi
komunikasi, pelaporan, pendokumentasian, pengendalian dokumen, pencatatan, dan manajemen
informasi. Perusahaan harus menetapkan dan memelihara prosedur inspeksi, pengujian, dan
pamantauan yang berkaitan dengan tujuan dan sasaran K3.
Audit harus dilaksanakan secara sistematis dan independen oleh personil yang memilik
kompetensi kerja dengan menggunakan metodologi yang sudah ditetapkan. Pimpinan yang
ditunjuk harus melaksanakan tinjauan ulang SMK3 secara berkala untuk menjamin kesesuaian
dan keefektifan yang berkesinambungan dalam pencapaian kebijakan dan tujuan K3.
Pasal 86 menyebutkan bahwa setiap organisasi wajib menerapkan upaya keselamtan dan
kesehatan kerja untuk melindungi keselamtan tenaga kerja. Pasal 87 mewajibkan setiap
organisasi melaksanakan sistem manajemen K3 yang terintegrasi dengan manajemen organisasi
lainya.
Pengelola tempat kerja wajib menaati standar kesehatan kerja yang diatur oleh ketentuan yang
berlaku dan menjamin lingkungan kerja yang sehat serta bertanggung jawab atas terjadinya
kecelakaan kerja. Pengelolahan tempat kerja wajib melakukan segala bentuk upaya kesehatan
melalui pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan magi tenaga kerja. Majikan atau
pengusaha wajib menjamin kesehatan perkerja melalui upaya
pencegahan, peningkatan, pengobatan, dan pemulihan serta wajib menanggung seluruh biaya
pemelihara dan kesehatan kerja.
98
Jurnal Bab 11.
ASPEK HUKUM KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3) BAGI TENAGA
MEDIS DAN KESEHATAN DI MASA PANDEMI
(Legal Aspects of Occupational Safety and Health for Medical
and Health Workers During the Pandemic)
M Nur Sholikin
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
Puri Imperium Office Plaza G-9, Kuningan, Jakarta Selatan 12980
e-mail: nur.sholikin@pshk.or.id
Herawati
Anggota IDI Tangerang Selatan.
Pondok Safari Indah, Jurangmangu Barat, Tangerang Selatan 15223
e-mail: herateaku@gmail.com
Abstrak
Sejumlah data menunjukkan kejadian tenaga medis dan tenaga kesehatan yang terkena
penyakit akibat kerja karena COVID-19. Sejumlah potensi bahaya bagi pekerja di rumah sakit
menempatkan pada risiko tinggi keselamatan kerja saat pandemi ini. Bagaimana peraturan
perundang-undangan mengatur perlindungan kerja bagi tenaga medis dan kesehatan terutama
pada masa pandemi? Untuk menjawab permasalahan tersebut dilakukan melalui identifikasi dan
analisis terhadap peraturan perundang-undangan terkait. Terdapat sejumlah peraturan perundang-
undangan telah mengatur aspek keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit. Bahkan terkait
dengan jaminan kesehatan kerja terdapat juga pengaturan program pencegahan dan pengendalian
infeksi. Sementara itu dalam hal perlindungan jaminan keselamatan dan kesehatan kerja pada
masa pandemi, masih terdapat beberapa kelemahan dalam pengaturan yang menimbulkan
ketidakpastian pemenuhan jaminan perlindungan tersebut. Untuk mengoptimalkan perlindungan
tenaga medis dan tenaga ksehatan pada saat pandemi pemerintah perlu melakukan pengawasan
dan pemberian dukungan bagi pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja dan pelaksanaan
program pencegahan dan pengendalian infeksi. Selain itu, diperlukan juga pengaturan teknis
pemberian penghargaan, kompensasi dan pendayagunaan tenaga kesehatan dengan memastikan
pemenuhan hak tersebut bagi tenaga kesehatan yang mempunyai tugas penanganan COVID-19
dan bagi pekerja yang terkena penyakit akibat kerja karena COVID-19.
Kata kunci: Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), tenaga kesehatan, pandemi COVID-19.
Abstract
A number of data shows the incidence of medical workers and health workers affected by
occupational diseases due to COVID-19. There are a number of potential hazards for hospital
workers caused by various factors. How do laws and regulations regulote protection for medis
and health workers, especially during a pandemic? This research done through identification and
analysis of the relevant lows and regulations. There are a number of lows and regulations that
have regulate on occupational safety and health in hospitals. Meanwhile in the case of during the
99
pandemic, there are still some weaknesses in the regulation that cause uncertainty in the
fulfillment of the protection. The government needs to conduct supervision and provide support
for the implementation, Compensating health workers are also needed to ensure the fulfillment of
rights for health workers who have task of handling COVID-19 and affected by occupational
illness due to COVID-19.
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Pada 31 Desember 2019, World Health Organization (WHO) melaporkan kasus
pneumonia yang belum diketahui etiologinya di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Selanjutnya,
pada 2 Januari 2020 Cina mengidentifikasi kasus tersebut sebagai jenis coronavirus (novel
coronavirus, 2019-nCoV). Corona Virus (COVID-19) ini merupakan keluarga besar virus yang
menyebabkan penyakit mulai dari gejala ringan sampai berat. Tanda dan gejala umum infeksi
COVID-19 antara lain gejala gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk dan. sesak napas.
Kasus COVID-19 yang berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal
ginjal dan bahkan kematian.
COVID-19 yang pertama kali ditemukan di Wuhan, dengan cepat menyebar ke negara
lain... Kasus pertama diluar Cina ditemukandi Thailand. Pada 13 Januari 2020, Thailand
melaporkan kasus konfirmasi pertama COVID-19. Pada 16 Januari 2020, Jepang melaporkan
kasus warga Tiongkok positif COVID-19 saat dirawat di rumah sakit. Thailand melaporkan
kasus positif COVID-19 kedua pada 17 Januari 2020. Kasus ini terjadi pada perempuan usia 74
tahun yang mendarat di Bangkok usai dari Wuhan. Selanjutnya pada 20 Januari 2020, Korea
Selatan melaporkan satu kasus konfirmasi positif COVID-19. Setelah itu dengan cepat kasus
COVID-19 ditemukan di Perancis, Uni Emirat Arab, Australia dan silih berganti berbagai negara
melaporkan kasus ini. Pada 11 Maret 2020, WHO menetapkan COVID-19 sebagai pandemi.
Kasus pertama di Indonesia diumumkan pada 2 Maret 2020 oleh Presiden Joko Widodo.
Hingga kini kasus positif COVID-19 di Indonesia terus bertambah. Data di situs Kementerian
Kesehatan pada 13 Juni 2020 menunjukkan jumlah kasus positif sebanyak 37.420 kasus,
sebanyak 13.776 kasus positif yang sembuh dan 2.091 meninggal. Sementara itu, kasus positif
COVID-19 di dunia telah mencapai 36.406, dengan 1.901.079 sembuh dan 328.227 meninggal.
COVID-19 ini telah menyebar di 216 negara. Jumlah tersebut semakin bertambah.
Penyebaran COVID-19 semakin luas di berbagai negara dan dampak yang ditimbulkan
sangat besar baik ada aspek kesehatan, sosial maupun ekonomi, Pembatasan aktifitas warga pun
dilakukan. Untuk mempercepat penanganan terhadap COVID-19, Presiden membentuk gugus
tugas percepatan penanganan COVID-19. Pembentukan gugus tugas tersebut dilakukan melalui
penerbitan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan
Penanganan Corona Virus Disease-2019 (COVID-19). Keppres ini kemudian direvisi dengan
Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun) 2020 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 7
Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease-2019 (COVID-
19). Penanganan COVID-19 menempatkan tenaga medis dan tenaga kesehatan menjadi unsur
utama dalam menghadapi serangan virus ini. Selain itu, ketersediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan peralatan medis menjadi faktor penting yang dapat menentukan keberhasilan
penanganan. COVID-19 ini. Di tengah keterbatasan fasilitas layanan dan peralatan medis, tenaga
kesehatan memiliki risiko tinggi dalam menangani pasien COVID-19 ini. Ikatan Dokter
100
Indonesia (IDI) pada 7 Juni 2020 menyebutkan sebanyak 32 Dokter meninggal akibat COVID-
19. Sedangkan jumlah perawat yang meninggal terpapar COVID-19 ini juga telah mencapai 20
kasus.
Penulis perlu menjelaskan terlebih dahulu bahwa berdasarkan peraturan perundang-
undangan dan putusan Mahkamah Konstitusi terdapat pembedaan antara tenaga medis. Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan memberikan definisi bahwa tenaga
kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis
tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Pengertian ini
memasukkan dokter, dokter gigi dan dokter spesialis sebagai tenaga kesehatan. Namun, definisi
dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan pengujian undang-undang nomor 82/PUU-
XIII/2015 dengan mengeluarkan dokter. dokter gigi dan dokter spesialis sebagai tenaga
kesehatan. Penyebutan untuk ketiga profesi tersebut menjadi tenaga medis. Masih tingginya
kasus sebaran COVID-19, menempatkan tenaga kesehatan baik dokter, perawat maupun tenaga
kesehatan lainnya pada risiko terpapar COVID-19 ini. Risiko ini bisa terjadi di fasilitas layanan
kesehatan yang menjadi rujukan penanganan COVID-19 maupun pada fasilitas layanan
kesehatan yang bukan merupakan rujukan penangana COVID-19. Fasilitas layanan kesehatan
terutama rumah sakit merupakan jenis industri dengan karakteristik khusus diantaranya jumlah
tenaga kerja yang banyak, penggunaan teknologi tinggi, frekuensi pekerjaan yang terus menerus,
keleluasaan akses masyarakat atau bukan pekerja untuk masuk di rumah sakit. Karakteristik
tersebut menunjukkan semakin kompleksnya mitigasi risiko pekerjaan pada tenaga kesehatan.
Dimensi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) rumah sakit tidak hanya terletak pada pekerja di
rumah sakit saja, namun paparan risiko pekerjaan rumah sakit juga bisa menjangkau pada
masyarakat dan lingkungan. Risiko- risiko tersebut pada kondisi darurat seperti pandemi
COVID-19 ini menunjukkan pentingnya penerapan K3 pada fasilitas layanan kesehatan terutama
rumah sakit.
Hak pekerja atas K3 telah dijamin di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), Pasal 86 UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa
setiap pekerja/buruh mempunyai hak memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan.
kerja. Upaya K3 ditujukan untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat
kesehatan para pekerja/buruh dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja,
pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi. K3
memiliki peran, pertama, menciptakan lingkungan kerja yang selamat dengan melakukan
penilaian secara kualitatif dan kuantitatif. Kedua, menciptakan kondisi yang sehat bagi
karyawan, keluarga dan masyarakat sekitarnya melalui upaya promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif."
Berkaitan dengan hal tersebut, tulisan ini mengkaji pengaturan jaminan K3 di rumah sakit
yang memiliki karakteristik khusus pada lingkungan kerjanya dengan rumusan pertanyaan
meliputi: Pertama, bagaimana konsepsi dan pegaturan K3 dalam hubungan ketenagakerjaan?
Kedua, bagaimana kerangka hukum pengaturan K3 pada fasilitas layanan kesehatan? Ketiga,
bagaimana jaminan perlindungan bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan pada masa pandemi?
METODE PENELITIAN
Penulisan artikel ini menggunakan metode yuridis normatif dengan mengkaji berbagai
literatur yang relevan dengan tema yang dikaji. Pengumpulan data dilakukan melalui studi
pustaka untuk menemukan bahan hukum. sekunder yang relevan yang bersumber dari peraturan
101
perundang-undangan, literatur baik buku, artikel jurnal, artikel berita dari internet yang relevan
dengan topik penulisan. Sejumlah peraturan yang menjadi fokus dalam penulisan artikel ini yaitu
UU Ketenagakerjaan, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 66 Tahun 2016 tentang Keselamatan
dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit (Permenkes K3RS), dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
27 Tahun 2017 tentang Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (Permenkes PPI). Pendekatan yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah deskriptif preskriptif dengan memberikan gambaran dan
analisis terhadap kerangka hukum perlindungan bagi tenaga medis dan kesehatan serta saran bagi
optimalisasi implementasi peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan efektifitas
perlindungan tenaga medis dan kesehatan pada masa pandemi.
102
dapat merugikan kesehatan, penempatan dan pemeliharaan pekerja di lingkungan kerja yang
sesuai dengan kondisi fisiologis dan psikologis pekerja dan untuk menciptakan kesesuaian antara
pekerjaan dengan pekerja dan setiap pekerja dengan pekerjaannya.¹ K3 berupaya untuk
mewujudkan data tahan jasmani dan rohani atau fisik dan mental dalam lingkup ketenagakerjaan.
Dengan pengelolaan K3 yang baik diharapkan tenaga kerja dapat melakukan pekerjaan dengan
aman dan nyaman serta mencapai ketahanan fisik, daya kerja, dan tingkat kesehatan yang
tinggi."
Pengelolaan K3 memiliki dampak langsung terhadap kondisi pekerja, pekerjaan dan
lingkungan. Selain itu, pengelolaan K3 juga akan berdampak secara tidak langsung pada
perekonomian diantaranya menurunkan produkifitas dan menambah beban pengeluaran terkait
dengan biaya kesehatan. Jangkauan pengaruh K3 tidak hanya terletak pada internal perusahaan
dalam lingkup hubungan kerja semata, namun juga memiliki jangkauan keluar dengan
dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat. Salah satunya terkait dengan limbah yang
dihasilkan dari kegiatan industri atau perusahaan. Beberapa kasus menunjukkan pencemaran
sungai yang diakibatkan oleh kegiatan industri. Sebagai contoh di Kabupaten Tangerang terdapat
empat sungai yang tercemar akibat limbah industri. Oleh karena itu, kebijakan ketenagakerjaan
menempatkan jaminan K3 menjadi faktor yang penting dalam menjalankan hubungan kerja.
Jaminan pelaksanaan K3 merupakan hak normatif bagi setiap pekerja yaitu hak yang
pemenuhannya dijamin dalam peraturan perundang-undangan.
103
sangat banyak (labour intensive), padat modal dan padat teknologi sehingga risiko terjadinya
Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) sangat tinggi, oleh karena itu
upaya K3 sudah menjadi suatu keharusan. Karakteristik lainnya dalam pelayanan rumah sakit
adalah sifat pelaksanaan pekerjaannya yang terus menerus selama 24 jam dan akses masuknya
orang di luar pekerja ke dalam area tempat kerja seperti pasien, pendamping pasien dan
pengunjung. Hal ini menyebabkan risiko pekerja rumah sakit terhadap PAK dan KAK semakin
tinggi. Dalam lampiran Permenkes K3RS dijelaskan tiga hal yang mendasari semakin tingginya
kebutuhan terhadap penyelenggaraan K3 Rumah Sakit (K3RS), yaitu:
a. tuntutan terhadap mutu pelayanan Rumah Sakit semakin meningkat, sejalan dengan tuntutan
masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang terbaik..
b. Rumah Sakit mempunyai karakteristik khusus antara lain banyak menyerap tenaga kerja (labor
intensive), padat modal, padat teknologi, padat pakar, bidang pekerjaan dengan tingkat
keterlibatan manusia yang tinggi dan terbukanya akses bagi bukan pekerja Rumah Sakit (pasien,
pengantar dan pengunjung), serta kegiatan yang terus menerus setiap hari.
c. SDM Rumah Sakit, pasien, pendamping pasien, pengunjung, maupun lingkungan Rumah Sakit
harus mendapatkan perlindungan dari gangguan kesehatan dan kecelakaan, baik sebagai dampak
proses kegiatan pemberian pelayanan maupun karena kondisi sarana dan prasarana yang ada di
Rumah Sakit yang tidak memenuhi standar.
Jenis pelayanan atau kegiatan yang dilakukan di rumah sakit juga memiliki bahaya yang
sifatnya potensial di Rumah Sakit. Bahaya-bahaya potensial di rumah sakit dapat mengakibatkan
terjadinya penyakit atau kecelakaan akibat kerja. bahaya potensial tersebut disebabkan oleh (i)
faktor biologi seperti virus, bakteri, jamur, parasit; (ii) faktor kimia seperti antiseptik, reagent,
gas anestesi; (ii) faktor ergonomi seperti lingkungan kerja, cara kerja, dan posisi kerja yang
salah; (iv) faktor fisik seperti suhu, cahaya, bising, listrik, getaran dan radiasi; dan (v) faktor
psikososial seperti kerja bergilir, beban kerja, penerimaan pasien gawat darurat, bangsal penyakit
jiwa, dan ketegangan di kamar bedah.
KESIMPULAN
K3 merupakan aspek penting dalam pelaksanaan hubungan kerja yang telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan sebagai salah satu jenis hak normatif pekerja/buruh. Pemenuhan
K3 merupakan tanggung jawab atau kewajiban pemberi kerja atau perusahaan. sebagai upaya
pencegahan terjadinya KAK dan PAK. Pelaksanaan K3 diupayakan untuk kondisi lingkungan
kerja yang sehat bagi pekerja sehingga memberikan pengaruh positif bagi produktifitas pekerja.
Pengaturan tentang kesehatan kerja dalam peraturan perundang- undangan di Indonesia
diberlakukan bagi pekerjaan sektor formal maupun pekerjaan sektor non-formal. Pada masa
pandemi seperti COVID-19 penerapan K3 perlu mendapatkan perhatian yang serius dari
perusahaan atau pemberi kerja. Rumah sakit sebagai salah satu bentuk lingkugan kerja memiliki
karakteristik khusus yang menempatkan pada situasi risiko tinggi terjadinya PAK akibat
COVID-19. Untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan melindungi pekerja dari
paparan risiko potensi bahaya di rumah sakit telah diatur penerapan K3RS dan program PPI.
Penerapan K3RS dan program PPI mempunyai sasaran utama bagi pekerja/karyawan rumah
sakit. Namun penerapannya juga berdampak pada pihak lain yang bukan merupakan karyawan
104
rumah sakit yaitu pasien, pendamping pasien dan pengunjung rumah sakit. Pada situasi pandemi
COVID-19 ini kinerja K3RS dan PPI menjadi unsur penting dalam memberikan perlindungan
bagi pekerja/karyawan rumah sakit dan masyarakat.
Pada masa pandemi COVID-19, tenaga: medis dan tenaga kesehatan memiliki peran
utama dalam penanganan COVID-19. Posisi ini menempatkannya pada risiko tinggi terpapar
COVID-19. Tingginya risiko pekerja/ karyawan rumah sakit terhadap PAK karena COVID-19
belum diimbangi dengan pengaturan terkait jaminan perlindungan kerja. Ada empat jenis
perlindungan yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan yaitu pemberian
penghargaan, perlindungan atas K3, pendayagunaan tenaga kesehatan dan jaminan kecelakaan
kerja. Dari empat perlindungan tersebut baru perindungan atas K3 yang diatur secara rinci dalam
peraturan perundang-undangan. Dua bentuk K3 merupakan aspek penting dalam pelaksanaan
hubungan kerja yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagai salah satu jenis
hak normatif pekerja/buruh. Pemenuhan K3 merupakan tanggung jawab atau kewajiban pemberi
kerja atau perusahaan. sebagai upaya pencegahan terjadinya KAK dan PAK. Pelaksanaan K3
diupayakan untuk kondisi lingkungan kerja yang sehat bagi pekerja sehingga memberikan
pengaruh positif bagi produktifitas pekerja. Pengaturan tentang kesehatan kerja dalam peraturan
perundang- undangan di Indonesia diberlakukan bagi pekerjaan sektor formal maupun pekerjaan
sektor non-formal. Pada masa pandemi seperti COVID-19 penerapan K3 perlu mendapatkan
perhatian yang serius dari perusahaan atau pemberi kerja. Rumah sakit sebagai salah satu bentuk
lingkugan kerja memiliki karakteristik khusus yang menempatkan pada situasi risiko
perlindungan yaitu pemberian penghargaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan belum
ditemukan aturan yang menjamin implementasi perlindungannya. Sementara itu, jaminan
kecelakaan kerja dimasukkan ke dalam skema BPJS Ketenagakerjaan dan akan menjadi beban
perusahaan apabila belum terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.
105
BAB 12
ASPEK HUKUM PENYAKIT MENULAR
Menurut Notoatmojo , penyakit menular adalah penyakit yang dapat ditularkan dari satu Lorang
ke orang yang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyakit menular ini ditandai
dengan adanya organ atau penyebab penyakit yang hidup dan dapat berpindah. Patogen
merupakan sumber atau penyebab penyakit menular. Patogen adalah organisme atau substansi
seperti bakteri, virus atau parasit yang menimbulkan penyakit.
Penularan penyakit merupakan mekanisme dimana penyakit infeksi ditularkan dari suatu sumber
atau reservoir kepada seseorang Cara penularan merupakan gambaran mekanisme bagaimana
agen penyebab penyakit bisa menuiar kepada manusia. Mekanisme ini bisa langsung, tidak
langsung atau melalui udara.
1.Penularan langsung merupakan mekanisme yang menularkan bibit penyakit langsung dari
sumbernya
2. Penularan Tidak Langsung
Penularan tidak langsung terbagi menjadi 2 yaitu:
a.Vehicle-borne, merupakan penularan melalui alat-alat yang terkontaminasi seperti mainan
anak-anak, saputangan, kain kotor, tempat tidur, alat masak atau alat makan, instrumen bedah
atauduk; air, makanan, susu, produk biologis seperti darah, serum, plasma, jaringan organ
tubuh, atau segala sesuatu yang berperan sebagai perantara dimana bibit penyakit di »angkut«
dibawa kepada orang/ binatang yang rentan dan masuk melalui »Port d'entre«» yang sesuai. Bibit
penyakit tersebut bisa saja berkembang biak atau tidak pada alat tersebut sebelum ditularkan
kepada orang/binatang yang rentan.
b. Vector borne, merupakan penularan melalui vektor. Cara penularan vector borne terbagi
menjadi dua yaitu (1.)mekanis, cara mekanis ini meliputi hal-hal yang sederhana seperti
terbawanya bibit penyakit pada saat serangga merayap ditanah balk terbawa pada kakinya atau
pada belalainya, begitu pula bibit penyakit terbawa dalam saluran pencernaan serangga. Bibit
penyakit tidak mengalami perkembangbiakan. (2.)biologis, cara ini meliputi
terjadinyaperkembangbiakan , maupunmelalui siklus perkembangbiakan atau kombinasi kedua-
duanya sebelum bibit penyakit ditularkan oleh serangga kepada orang/binatang lain. Masa
inkubasi ekstrinsik diperlukan sebelum serangga menjadi infektif. Bibit penyakit bisa ditularkan
secara vertikal dari induk serangga kepada anaknya melalui telur ; atau melalui
transmistranstadial yaitu Pasasi dari satu stadium ke stadium berikutnya dari sikius hidup parasit
didalam tubuh serangga dari bentuk nimfe ke serangga dewasa. Penularan dapat juga terjadi pada
saat serangga menyuntikkan air liurnya waktu menggigit atau dengan cara regurgitasi atau
dengan cara deposisi kotoran serangga pada kulit sehingga bibit penyakit dapat masuk kedalam
tubuh manusia melalui luka gigitan serangga, luka garukan. Cara penularan seperti ini bukanlah
cara penularan mekanis yang sederhana sehingga serangga yang menularkan penyakit dengan
cara ini masih bisa disebut sebagai vektor penyakit.
106
3. Penularan melalui udara, yaitu penyebaran bibit penyakit melalui «Port d'entre» yang
sesuai, biasanya saluran pernafasan. Aerosol berupa berupa partikel ini sebagian atau
keseluruhannya mengandung mikro organisme. Partikel ini bisa tetap melayang-layang diudara
dalam waktu yang lama sebagian tetap infektif dan sebagian lagi ada yang kehilangan
virulensinya. Partikel yang berukuran 1-5 micron dengan mudah masuk kedalam alveoli dan
tertahan disana. Percikan dan partikel besar lainnya tidak dianggap sebagai penularan melalu
udara ; .
a Droplet Nuclei, biasanya berupa residu ukuran kecil sebagai hasil penguapan dari cairan
percikan yang dikeluarkan oleh inang yang terinfeksi. Droplet Nuclei ini bisa secara sengaja
dibuat dengan semacam alat, atau secara tidak sengaja terjadi di labortorium mikrobiologi dan
tempat pemotongan hewan, di tempat perawatan tanaman atau di kamar otopsi. Biasanya droplet
nuclei ini bertahan cukup lama di udara.
b. Debu, merupakan partikel dengan ukuran yang berbeda yang muncul dari tanah , dari
pakaian, dari tempat tidur atau kutu yang tercemar.
Jenis-jenis penyakit menular telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1501 Tahun 2010.
1. Kolera merupakan kejadian diare yang ditandai dengan buang air besar yang mengucur seperti
cairan besar dan berbau khas sehingga dalam waktu singkat tubuh kekurangan cairan . Pada
pemeriksaan spesimen tinja ditemukan kuman kolera dan atau dalam darah ditemukan zat
antinya.
2.Pes bubo
Pes bubo merupakan penyakit yang mempunyai gejala demam tinggi, tubuh
dingin, menggigil, nyeri otot, sakit kepala hebat dan ditandai dengan pembengkakan kelenjar
getah bening dilipat paha, ketiak, dan leher . Pada pemeriksaan cairan bubo di laboratorium
ditemukan kuman pes . Pes pneumonik adalah penyakit yang mempunyai gejala batuk secara
tiba-tiba dan keluar dahak, sakit dada, sesak nafas, demam, muntah darah. Pada pemeriksaan
sputum atau usap tenggorokan ditemukan kuman pes, dan bila perlu dilakukan pemeriksaan
darah untuk menemukan zat antinya.
3. Demam berdarah dengue DBD mempunyai gejala demam tinggi mendadak 2-7 hari disertai
tanda-tanda perdarahan berupa bintik-bintik merah, mimisan, perdarahan pada gusi, muntah
darah, berak darah, pemeriksaan laboratorium dari sediaan darah hematokrit naik 20%, dan
trombosit 100.000/mm'dan serologis positif.
4. Polio memiliki gejala demam disertai dengan kelumpuhan layhmendadak dan pada
pemeriksaan ulasan ditemukan virus polio.
5. Campak mempunyai gejala panas tinggi dengan kemerahan (rash) diserta salah satu gejala
(conjungtivitis).
107
6. Difteri mempunyai gejala demam disertai adanya selaput tipis putih keabu-abuan pada
tenggorokan yang tak mudah lepas, tetapi mudah berdarah.
7. Pertusis merupakan penyakit yang mempunyai gejala batuk beruntun bisanya pada malam hari
dengan suara khas yang pada akhir batuk menarik nafas panjang dan terdengar suara 'hup .
8. Malaria
Penyakit yang mempunyai gejala demam, menggigil dan sakit kepala. Pemeriksaan darah
terdapat parasit plamodium
9. Rabies mempunyai gejala patognomonik takut air . takut sinar matahari , takut suara, dan takut
udara . Gejala tersebut disertai dengan air mata berlebihan , air liur berlebihan , timbul kejang
bila ada rangsangan, kemudian lumpuh dan terdapat tanda bekas gigitan hewan penular rabies.
10. Avian influenza H5N1 Avian influenza HSN1 adalah penyakt yang menyerang saluran
pernapasan yang disebabkan oleh virus influenza A H5N1. 11.
11. Penyakit antraks terdiri dari 3 tipe yaitu: a. Antraks kulit mempunyai gejala dan tanda-tanda
timbulnya eschar, yaitu jaringan nekrotik yang berbentuk ulkus dengan kerak berwarna hitam di
tengah dan kering.
b. Antraks pencernaan mempunyai gejala dan tanda-tanda sakit perut hebat, mual, muntah, suhu
meningkat, yang dapat diikuti diare akut berdarah dan muntah darah setelah mengkonsumsi
daging ternak. Pada pemeriksaan laboratorium dari feces ditemukan Bacillus anthracis.
c. Antraks pernapasan mempunyai gejala dan tanda-tanda sesak napas dan batuk darah. Pada
salah satu pemeriksaan laboratorium sediaan dari darah, lesi, tinja ditemukan Bacillus anthracis
atau pada sediaan darah ditemukan zat anti.
12. Leptospirosis adalah penyakit yang mempunyai gejala demam tinggi, jaundice, nyeri otot
betis dan air kencing berwarna cokiat. Pemeriksaan laboratorium darah ditemukan zat antinya.
13. Hepatitis adalah penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis dengan gejala klinis
demam, badan lemas, mual, selaput mata berwarna kuning, atau air kencing berwarna seperti air
teh.
14. Influenza A baru InfluenzaA baru adalah penyakit pada saluran pernapasan yang ditandai
dengan demam > 38°C dan spektrum penyakit mulai dari influenza-like illness sampai
pneumonia.
15. Meningitis adalah peradangan pada selaput otak dan syaraf spinal yang dapat disebabkan
oleh virus, bakteri, atau jamur yang menyebar melalui peredaran darah dan berpindah ke dalam
cairan otak. Meningitis lebih sering disebabkan Neisseria meningitidis.
108
perut, muntah, dan dehidrasi. Pada kasus yang berat, dapat terjadi syok, perdarahan
internal, ikterik, dan kegagalan organ.
17. Chikungunya adalah penyakit viral yang ditularkan oleh nyamuk, dengan gejala khas berupa
demam mendadak, rash, dan nyeri sendi. Gejala lain yang mungkin menyertai adalah nyeri
otot, sakit kepala, mual, rasa lelah, dan timbul ruam. Nyeri seridi dirasakan sebagai gejala yang
menonjol, biasanya hilang dalam beberapa hari atau minggu. penyakit ini tergolong self
limiting, tidak ada pengobatan yang spesifik. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan gejala
termasuk nyeri sendi.
Wabah merupakan kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang
jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan yang lazim pada waktu
dan daerah tertentu yang dapat menimbulkan malapetaka. Adapun yang dimaksud kejadian luar
biasa yaitu timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan dan/ atau kematian yang bermakna
secara epidemiologi pada suatu daeran dalam kurun waktu tertentu dan merupakan kejadian yang
dapat menjurus pada terjadinya wabah.
Pemerintah bertanggung jawab terhadap kejadian penyakit menular.
109
Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya
daam kurun waktu jam, hari, atau minggu menurut jenis penyakitnya.
Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 bulan menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih
dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya.
Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 menunjukkan kenaikan dua kali atau
lebih dibandingkan dengan rata- rata jumlah kejadian kesakitan per bulan pada tahun
sebelumnya.
Angka kematian kasus suatu penyakit dalam 1 kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50%
atau lebih dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode sebelumnya dalam
kurun waktu yang sama.
Angka proporsi penyakit penderita baru padasatu periode menunjukkan kenaikan dua kali atau
lebih dibandingsatu periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
Secara epidemiologis data penyakit menunjukkan peningkatan angka kesaitan dan/atau angka
kematian
1.Penyelidikan epidemiologis
2.Penatalaksanaan penderita yang mencakup kegiatan pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan
isolasi penderita, termasuk tindakan karantina,
3. Pencegahan dan pengebalan 4. Pemusnahan penyebab penyakit
5. Penyuluhan kepada masyarakat,
6. Penanganan jenazah akibat wabah
7. Upaya penanggulangan lainnya.
Pada ayat (3) dijelaskan bahwa upaya penanggulangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf g antara lain berupa meliburkan sekolah untuk sementara waktu, menutup fasilitas
umum untuk sementara waktu, melakukan pengamatan secara intensif/ surveilans selama terjadi
KLB serta melakukan evaluasi terhadap upaya penanggulangan secara keseluruhan.
PMS dikenal dengan sebutan Penyakit akibat Hubungan Seksual atau Sexually Transmitted
Diseases merupakan penyakit yang mengenal organ reproduksi laki-laki atau
perempuan, terutama akibat hubungan seksual dengan orang yang sudah terjangkit penyakit
kelamin, bisa menyebabkanpenderitaan, kemandulan dan kematian, Gejala penyakit ini mudah
dikenali, dilihat dan dirasakan pada laki-laki. sedangkan pada perempuan sebagian besar tanpa
gejala sehingga sering tidak disadari HIV adalah suatu virus yang menyebabkan AIDS, virus ini
menyerang sel darah putih manusia yang merupakan bagian paling utama dari sistem kekebalan
tubuh. Ketika HIV masuk ke dalam tubuh maka dapat ditemukan di dalam darah, cairan sperma
dan cairan vaginal.
110
Di dunia setiap hari lebih dari 5000 kaum muda usia 15-24 tahun terjangkit HIV, Perserikatan
Bangsa-Bangsa memperkirakan setengah dari kasus HIV/AIDS terjadi pada usia remaja 15-24
tahun yang merupakan usia produktif dan sebagian dari mereka tinggal di negara
berkembang. Tingginya kasus HIV/ AIDS di kalangan usia produktif merupakan persoalan yang
sangat serius bagi sebuah bangsa, segala upaya harus dilakukan untuk penanggulangannya
mengingat informasi thengenai HIV/AIDS masih sangat terbatas, disebabkan akses remaja untuk
mendapatkan informasi masih sangat kurang.
Menurut. Piot (2005) Indonesia merupakan negara baru yang menjadi sorotan dalam upaya
pemberantasan HIV/AIDS di dunia. Indonesia dikatakan berada di tepi jurang epidemi
HIV/AIDS. Meski pun angka prevalensi HIV/AIDS di Indonesia terbilang kecil, akan tetapi
proses transmisinya terbilang cukup cepat. Belum lagi banyak pakar berpendapat penyebarang
kasus HIV/AIDS seperti fenomena gunung es dimana angka yang sesungguhnya jauh lebih besar
daripada angka yang ada sekarang ini. Sejak ditemukannya kasus HIV/AIDS pertama kali di
Indonesia tahun 1987, kini tercatat sedikitnya ada lebih 8000 kasus, yaitu 4065 HIV dan 4186
AIDS partisipasi sedini mungkin sekelompok remaja dan pemuda dalam proses pembangunan
perlu ditingkatkan.
Setiap lima menit remaja di bawah 25 tahun terinfeksi HIV dan setiap menit 10 perempuan usia
15-29 tahun melakukan aborsi.
Hasil penelitian yang dilakukan Lembaga Demografi FEU! (2002) menyebutkan secara umum
terlihat ada ketimpangan pengetahuan HIV/ AIDS dan PMS lainnya. Untuk itu
diperlukankomunikasi informasi dan edukasi berkaitan dengan PMS lain selain
HIV/AIDS. Pengetahuan ini diperlukan karena banya'<PMS yang sangat berbahaya.
111
Jurnal Bab 12.
KAJIAN HUKUM MENGENAI KRIMINALISASI TERHADAP
SESEORANG YANG MENULARKAN PENYAKIT DITINJAU DARI
UNDANG-UNDANG NOMOR 36
TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN
ABSTRAK
Upaya pencegahan dan pemberantasan wahah penyakit ada diatur dalam Pasal 152 Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Namun, undang-undang ini tidak memuat
sanksi atas pelanggarannya. Hal ini dapat menyebabkan kegiatan mencegah dan memberantas
wabah penyakit tidak efektif karena kurang memiliki daya paksa. Untuk mengefektifkan
kebijakan ini perlu diberikan daya paksa mengacu Pasal 351 Ayat (4) KUHP yang mengancam
pidana penjara atau pidana denda terhadap pelaku penganiayaan yang disamakan sengaja
merusak kesehatan. Penelitian difokuskan pada ketentuan hukum terhadap penyakit menular dari
pihak terlantar di jalanan yang seharusnya dipelihara oleh negara dan ketentuan hukum terhadap
pihak yang menularkan penyakit dalam perpektif Pasal 152 Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan juncto Pasal 351 Ayat (4) KUHP. Penelitian ini merupakan penelitian
normatif, yaitu mengkaji undang- undang dan bahan pustaka terkait perlindungan bagi pihak
terlantar di jalanan dari kriminalisasi akibat terjadi wabah penyakit dan penegakan hukum bagi
pihak yang terbukti dengan sengaja menyebabkan menular penyakit. Dari penelitian didapat hasil
bahwa ketentuan hukum tentang penyakit menular dari pihak terlantar di jalanan yang
seharusnya dipelihara oleh negara merujuk pada hak-hak dasar warga pada stuasi wabah, status
kedaruratann kesehatan, karantina rumah atau wilayah, Pemerintah harus memprioritaskan
bantuan dan mitigasi pencegahan wabah penyakit kepada pihak rentan tertular penyakit. Karena
itu orang terlantar tidak semestinya dikriminalisasi karena ketidaktahuan atau
ketidakberdayaannya, perbuatan yang demikian dimaafkan dan tidak dipersalahkan. Namun
apabila bisa dibuktikan ada unsur kesengajaan menularkan penyakit kepada orang lain,
berdasarkan Pasal 152 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan jo. Pasal 351
Ayat (4) KUHP kepada pelaku dapat dikriminalisasikan sebagai pelaku penganiayaan yang
disamakan sengaja merusak kesehatan karena memenuhi unsur menimbulkan rasa sakit pada
orang lain, atau luka pada tubuh orang lain, atau merugikan kesehatan orang lain, diancam
pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah.
Kata kunci: kajian hukum, kriminalisasi, seseorang, menularkan penyakit, Undang- Undang
Kesehatan.
ABSTRACT
Prevention and eradication of disease outbreaks is regulated in article 152 of Law Number 36 of
2009 Concerning Health. However, this law does not contain sanction for violations. This can
lead to efforts to prevent and eradicate outbreaks of desease. ineffectively due to lack of forced
112
power. To make this policy effective it is necessary to give force based on article 351 paragraph
(4) of KUHP which threatens a maximum of 2 years and 8 months imprisonment or a maximum
fine of Rp 4.000 against perpetrators who are equated deliberately intentionally damaging health.
The research is focused on discussing the legal provisions for an infectious disease from
neglected parties on the streets should be maintained by the state, and the legal provisions for the
party that transmits the disease in the perspective of 152 Law Number 36 of 2009 Concerning
Health and article 351 paragraph (4) KUHP. This research is a descriptive normative research by
means of study of laws and library marterials. This research seeks to explain the truth that should
apply to the legal vacuum regarding the protection of people who are displaced on the streets
from criminalization doe to epidemics and the enforcement of law against people proven to have
caused. From the research, it is found that positive legal provisions regarding an infectious
disease of displaced people on the streets that should be maintained by the state referring to the
basic rights of citizens in situations of epidemic. health emergency status, quarantine of homes or
regions, the government must prioritize assistance and mitigation of disease outbreak prevention
especially to groups susceptible to contracting the disease. Therefore displaced people should not
be criminalized because of the element of ignorance or powerlessness, such acts are forgiven and
are not to blame. But if can be proven that there is an intentional element to infect others, then
according to article 152 Law Number 36 of 2009 Concerning Health and article 351 paragraph
(4) KUHP that the perpetrators can be criminalized as persecutors who are equated with
deliberately damaging health because they fulfill the element of causing pain to others. or
harming the health of others, threatened with imprisonment for a maximum of 2 years and 8
months or a maximum fine of Rp 4.000.
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Kesehatan adalah sebagai salah satu sektor utama yang dapat mempengaruhi tingkat
kesejahteraan, sekaligus gambaran kualitas kenyamanan masyarakat atas serangan penyakit.
Karena itu pembangunan kesehatan masyarakat mutlak menjadi kewajiban pemerintah seperti
amanah konstitusi. Pembangunan kesehatan nasional dihadapkan pada masalah disparitas status
kesehatan, beban ganda penyakit, mutu, pemerataan keterjangkauan layanan kesehatan;
perlindungan masyrakat dibidang obat. dan makanan, prilaku hidup yang bersih dan sehat,
peningkatan akses penduduk akan pelayanan kesehatan dan gizi, serta pemenuhan jmlah, dan
penyebaran tenaga kesehatan.
Peristiwa bertambahnya penderita, atau kematian yang disebabkan penyakit menular di
suatu wilayah kadang dapat menjadi peristiwa membuat heboh masyarakat. Umumnya kejadian
ini disebut sebagai kejadian luar biasa, dan dapat menimbulkan wabah yang menyerang
masyarakat luas dlam waktu singkat. Wabah memberikan dampak terhadap aspek sosial dan
ekonomi. Misal, hilangnya produktifitas, penderita membutuhkan pengobatan, dan bila terjadi
banyak kematian akan menimbulkan kepanikan, dan bahkan berdampak pada menurunnya
perekonomian negara. Demikian aspek regulasi mengalami perubahan seperti terbitnya undang-
undang kedaruratan kesehatan, undang-undang otonomi daerah, undang-undang jaring pengaman
sosial, dan lain-lain.
Mengingat seriusnya dampak dari wabah pandemic, Center for Disease Control and
Prevention (CDC) Amerika Serikat pernah membuat simulasi tentang serangan antraks oleh
113
teroris di kota yang berpenduduk 100,000 jiwa. Bila serangan segera diketahui dan dalam waktu
24 jam penduduk yang terpapar diberi antibiotika, akan menelan korban sebanyak 5,000 dan
kerugian ekonomi sebesar 128 juta dolar. Bila penyerangan baru diketahui setelah enam hari,
diperkirakan akan terjadi 33.000 korban jiwa dan kerugian ekonomi mencapai 26.2 miliar dolar.
Jadi menurut CDC peningkatan kemampuan tersebut akan menyelamatkan 28.000 jiwa dan 26
miliar dolar Amerika.
Dari aspek hukum perlu antisipasi atau menetapkan perundang-undangan bersifat khusus
terkait penanganan penyakit menular. Contohnya dalam pandemik COVID-19. Kejadian
semacam ini mungkin terjadi seiring timbulnya penyakit baru yang epidemiologi dan
patofisiologi serta riwayat alamiahnya belum diketahui. Dengan sendirinya surveilansnya dan
tenaga kesehatan membutuhkan kerjasama lintas sektor agar dapat menangkal penyebaran luas
wabah dan mencegah korban lebih besar.
Mengenai pencegahan menularnya wabah dapat bercermin dari fenomena pasien dlam
pengawasan (PDP) Covid-19 yang diambil paksa anggota keluarga. Tragisnya tidak sdikit
jenazah pasien dalam pengawasan dinyatakan positif Covid-19 berdasarkan hasil tes swab.
Sementara itu dari pihak keluarga tdak memakamkan jenazah sesuai dengan protokol kesehatan
pencgahan Covid-19. Polisi merespon serius aksi nekat warga yang terjadi di sejumlah daerah
karena dinilai membahayakan keselamatan orang lain. Sebagai upaya penegakan hukum
beberapa pelakunya ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat Pasal 214 KUHP jo. Pasal 335
KUHP jo. Pasal 336 KUHP jo. Pasal 93 KUHP (UU No.6 Tahun 2018).
Permasalahan untuk pencegahan, dan pemberantasan wabah penyakit dalam Pasal 152
UU Kesehatan di atas disayangkan tidak memuat ketentuan sanksinya. Hal ini dapat
menyebabkan upaya pencegahan dan pemberantasan wabah penyakit tidak efektif karena kurang
memiliki daya paksa. Karena itu untuk mengefektifkan kebijakan perlu diberikan daya paksa
berupa saksi pidana seperti ketentuan Pasal 351 Ayat 4 KUHP yang mengancam pidana penjara
atau pidana denda terhadap pelaku penganiayaan yang disamakan dengan sengaja merusak
kesehatan orang lain.
2. Rumusan Masalah
Agar pembahasan skripsi hukum ini fokus dan sistematis maka ditetapkan rumusan
masalahnya sebagai berikut:
a. Bagaimanakah ketentuan hukum terhadap suatu penyakit menular dari pihak terlantar di
jalanan yang seharusnya dipelihara oleh negara?
b. Bagaimana ketentuan hukum terhadap pihak yang menularkan penyakit dalam perpektif Pasal
152 Undang-Undang Kesehatan juncto Pasal 351 Ayat 4 KUHP?
3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan msalah tersebut maka ditetapkan tujuan dari kegiatan penelitian
skripsi hukum ini sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis mengenai ketentuan hukum terhadap suatu penyakit menular dari pihak
terlantar di jalanan yang seharusnya dipelihara oleh negara. 2. Untuk menganalisis mengenai
ketentuan hukum terhadap pihak yang menularkan penyakit dalam perpektif Pasal 152 Undang-
Undang Kesehatan juncto Pasal 351 ayat (4) KUHP.
114
Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian herjenis penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan kajian pustaka yang mendukung menjawab permasdalahan
penelitian. Dalam penelitian ini yang diteliti adalah ketentuan hukum penyakit menular dari
pihak terlantar di jalanan yang seharusnya dipelihara oleh negara dan ketentuan terhadap pihak
yang menularkan penyakit dalam perpektif Pasal 152 Undang-Undang Kesehatan juncto Pasal
351 Ayat (4) KUHP.
2. Sifat Penelitian
Penelitian bersifat deskriptif analitis, yaitu berusaha mendeskripsikan ketentuan hukum
penyakit menular dari pihak terlantar di jalanan yang seharusnya dipelihara oleh negara dan
ketentuan hukum terhadap pihak yang menularkan penyakit dalam perpektif Pasal 152 Undang-
Undang Kesehatan juncto Pasal 351 Ayat (4) KUHP.
3. Tipe Penelitian
Penelitian bertipe pendekatan undang-undang (statute approach) berkaitan dengan
ketentuan hukum penyakit menular dari pihak terlantar di jalanan yang seharusnya dipelihara
negara dan ketentuan terhadap pihak yang menularkan penyakit dalam perpektif Pasal 152
Undang-Undang Kesehatan juncto Pasal 351 Ayat (4) KUHP.
4. Bahan Hukum
Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian terbagi tiga yaitu:
a. Bahan hukum primer, terdiri atas: UUD 1945, KUHPerdata, KUHP, Undang- Undang No 4
Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan peraturan perundang-
undang lainnya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.
b. Bahan hukum sekunder berupa literatur buku, jurnal ilmiah, laporan hasil penelitian ilmiah,
skripsi, tesis, buletin dan majalah hukum, makalah, surat kabar, dan bahan-bahan hasil kegiatan
ilmiah lainnya yang berkaitan permasalahan.
c. Bahan Hukum tersier, yaitu bahan hukum yg diambil dari Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Kamus Hukum, ensiklopedi, dan situs web yang memberikan pengertian atau penjelasan
berkaitan permasalahan penelitian dan sepanjang memuat atau memberikan informasi yang
relevan.
115
b. Studi kepustakaan, yakni bahan hukum sekunder dikumpulkan melalui studi pustaka dengan
menggunakan sistem kartu yng di susun brdasarkan nama pengarang, kemudian dalam
pembahasan disusun berdasarkan pokok masalah.
Kajian Pustaka
116
Upaya penyelidikan dan penanggulangan meliputi: a) Persiapan Penyelidikan dan
Penanggulangan KLB, b) Memastikan adanya KLB, c) Menegakkan Etiologi KLB. d)
Identifikasi Gambaran Epidemiologi KLB, e) Mengetahui Sumber dan Cara Penyebaran KLB, f)
Menetapkan Cara Penanggulangan KLB, dan g) Rekomendasi.
117
optimal yaitu terpenuhi hak hidup sehat jasmani dan rohani, serta kebutuhan dasarnya. Hak atas
pelayanan kesehatan ini bersumber dari hak asasi manusia yang pada hakikatnya melekat pada
diri karena keberadaan sebagai makluk Tuhan Yang Maha Esa, merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi negara, hukum, pemerintahan dan setiap orang.
Demikian Hukum Kesehatan jelas mengamanahkan pemerintah bertanggung jawab
memenuhi dan menjamin terwujud hak-hak dasar masyarakat mengenai pelayanan kesehatan,
berupa pemeliharaan dan peningkatan pelayanan kesehatan bermutu, merata dan terjangkau
masyarakat umum.
Untuk mewujudkan hak hidup sehat bagi masyarakat dibutuhkan pembiayaan kesehatan
yang dalam rumusan Pasal 170 diatur mengenai pembiayaan kesehatan yang bertujuan
penyediaan pembiayaan kesehatan berkelanjutan dengan jumlah mencukupi. teralokasi secara
adil, termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk menjamin terselenggara
pembangunan kesehatan agar meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya.
Sumber pembiayaan kesehatan dapat berasal dari pemerintah (pemerintah daerah), masyarakat,
swasta dan sumber pembiayaan lainnya.
Demikian pula dalam kondisi darurat kesehatan, Pemerintah wajib memenuhi hak dasar
warga negara, terutama masyarakat terlantar di jalanan yang rentan tertular dan menular
menyakit. Dengan adanya kewenangan menerapkan pemberlakuan status kedaruratan kesehatan
masyarakat, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), maupun Karantina Wilayah (lockdown)
dari akibat pandemik (seperti Covid-19). Dalam konteks ini apabila merujuk kepada ketentuan
Pasal 7. Pasal 8, Pasal 39, Pasal 52, Pasal 55 dan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018
tentang Kekarantinaan Kesehatan dan Pasal 8 jo Pasal 5 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984
tentang Wabah Penyakit Menular, yang di dalamnya menyatakan secara jelas hal-hal yang
menjadi hak warga negara yang wajib dipenuhi oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah
Daerah beserta instansi-instansi terkait lainnya pada saat terjadi wabah penyakit menular, situasi
kedaruratan kesehatan masyarakat, dan berada dalam situasi Karantina Wilayah maupun
Karantina Rumah maupun dalam status PSBB, yang meliputi:
118
memiliki tempat tinggal dimana pemenuhan hak-hak dasar tersebut mutlak dikarenakan mereka
adaah kelompok yang beresiko tinggi tertular dan menularkan penyakit dari dan kepada
masyarakat lainnya. Pemerintah juga harus memprioritaskan bantuan dan mitigasi pencegahan
wabah penyakit, terutama kepada kelompok rentan, khususnya warga miskin kota yang tinggal di
permukiman padat penduduk maupun kelompok warga miskin pedesaan yang tinggal di wilayah
pinggiran, perempuan, anak, tunawisma, pekerja informal, pedagang biasa dan pedagang klaki
lima, kelompok disabilitas, kelompok minoritas gender dan seksual, dan lainnya.
Demikian bagi masyarakat terlantar perlu mendapatkan hak perlindungan hukum dari
kriminalisasi, karena ketidaktahuan, ketidakmampuan atau kertidakberdayaan mereka. Dalam
konteks kriminalisasi bahwa seseorang dapat dipidana karena ikut serta secara langsung atau
tidak langsung dalam penularan penyakit secara masal (KLB). Asas hukum dari kriminalisasi
adalah konsepsi dasar, norma etis, dan prinsip dasar penggunaan hukum pidana sebagai sarana
penanggulangan kejahatan atau hal yang merugikan negara dan masyarakat. Asas kriminalisasi
yang paling penting menentukan perbuatan tergolong kriminalisasi adalah asas legalitas.
Demikian dari pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa ketentuan hukum positif tentang
penyakit menular dari pihak terlantar di jalanan yang seharusnya dipelihara oleh Negara merujuk
kepada hak-hak dasar warga negara pada saat situasi wabah, status kedaruratan kesehatan
masyarakat, karantina rumah, dan karantina wilayah, maka Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah harus memprioritaskan bantuan dan mitigasi pencegahan wabah penyakit, terutama
kepada kelompok rentan yang kerap terabaikan dan kesulitan mendapatkan akses hak-hak
dasarnya. Dalam hal terjadi penularan wabah yang diakibatkan oleh orang terlantar, maka tidak
semestinya mereka dikriminalisasi mengingat berdasarkan subyek hukum, orang yang terlantar
adalah kelompok yang semestinya mendapatkan perlindungan karena sangat rentan tertular dan
menularkan wabah, atau dalam situasi Karantina Wilayah atau Karantina Rumah ataupun PSBB
mestinya mendapatkan pelayanan kesehatan dasar dan pelayanan dari Pejabat Karantina
Kesehatan terkait pencegahan dan penanggulangan wabah; ataupun karena unsur ketidaktahuan
atau ketidakberdayaan mereka maka perbuatan yang demikian dapat dimaafkan dan tidak
dipersalahkan (unsur pemaaf). Kecuali untuk perbuatan yang sengaja, misalnya pelanggaran
Pasal 152 UU Kesehatan juncto Pasal 351 Ayat (4) KUHP yaitu perbuatan yang dapat
membahayakan kesehatan orang dapat dipidanakan dan apalagi kalau terbukti dengan sengaja
menularkan penyakit kepada orang.
Ketentuan Hukum Pihak yang Menularkan Penyakit dalam Perpektif Pasal 152 Undang-
Undang Kesehatan juncto Pasal 351 Ayat (4) KUHP
Suatu pelanggaran atau tindak pidana harus dirumuskan dalam undang-undang yang ada
konsekuensi bahwa perbuatan seseorang yang tidak ada dalam undang-undang sebagai suatu
tindak pidana, tidak dapat dipidanakan. Dengan asas ini hukum yang tak tertulis tidak
berkekuatan untuk diterapkan. Tetapi dibenarkan untuk memperluas berlakunya peraturan
dengan mengabstraksikan menjadi aturan hukum yang menjadi dasar penerapan aturan bersifat
umum kepada perbuatan konkrit yang tidak diatur dalam perundang-undangan, dikenal dengan
'penetapan peraturan secara analogi'guna mengisi adanya kekosongan dalam undang-undang
untuk perbuatan yang mirip dengan yang diatur undang-undang. Misalnya. Hakim memilih
alternatif untuk menentukan jenis pidana yang pantas diterapkan kepada si pelaku dengan
mempertimbangkan faktor- faktor perbuatannya, orangnya, kesan masyarakat atas kejahatan itu,
berat ringannya korban atau kerugian, dan proyeksi efektivitas pemidanaannya.
119
Seseorang yang melakukan tindak pidana belum tentu orang itu dapat dipidanakan karena
sebelum menentukan terdakwa dipidanakan, lebih dahulu harus ditetapkan dua hal: apakah
perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana atau bukan, dan apakah terdakwa dapat
dipertanggungjawabkan atau tidak. Menentukan adanya tindak pidana didasarkan pada asas
legalitas dan dalam menentukan pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan.
Istilah lain dari asas kesalahan adalah "asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan", asas
culpabilitas, Geen straf zonder schuld. Asas legalitas berkaitan dengan tindak pidana dan asas
kesalahan berkaitan dengan orang yang berbuat atau dengan pertanggungjawaban pidana
seseorang. Pertanggungjawaban pidana ini disebut toerekenbaarheid, atau criminal liability.
Pertanggungjawaban pidana disini dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersangka
atau terdakwa dipertanggungjawabkan terhadap suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau
tidak.
Konsekuensi dari dipisahkannya tindak pidana dengan orang yang melakukan tindak
pidana adalah untuk penjatuhan pidana atas kesalahan seseorang harus dilengkapi bahwa orang
itu bisa mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Selanjutnya apabila ditelaah kembali
berdasarkan pembagian pelanggaran dan kejahartan atau tindak pidama dalam KUHP tersebut,
dapat dikatakan perbuatan penyebaran virus (seperti HIV/AIDS atau Covid-19) dapat
dikategorikan sebagai suatu kejahatan terhadap tubuh seseorang yg dilakukan secara sengaja. Hal
ini didasari oleh adanya suatu kesengajaan untuk menyebarkan vinus kepada orang lain. Maka
dapat dikatakan perbuatan menyebar virus dapat disamakan atau dianalogikan dengan kejahatan
terhadap tubuh seseorang yang dilakukan dengan sengaja atau penganiayaan sehingga timbulnya
rasa sakit atau suatu penderitaan. Namun, untuk memperjelas pemahaman penganiayaan
mengacu pendapat R. Soesilo bahwa yang dinamakan unsur-unsur penganiayaan adalah sengaja
menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), menyebabkan rasa sakit dan menyebabkan
luka-luka kepada seseorang. Sedangkan rumusan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan yaitu:
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Dari rumusan pasal diatas, dapat dilihat bahwa perundang-undangan hanya berbicara
mengenai penganiayaan terhadap seseorang tanpa menyebutkan unsur- unsurnya dari tindak
pidana penganiayaan itu, kecuali menjelaskan kesengajaan merugikan kesehatan (orang lain)
adalah disamakan dengan penganiayaan. Demikian untuk menyebut seorang telah melakukan
penganiaayan terhadap orang lain, maka orang itu harus memiliki kesengajaan untuk:
1) menimbulkan rasa sakit pada orang lain,
2) menimbulkan luka pada tubuh orang lain, atau
3) merugikan kesehatan orang lain.
Demikian apabila seseorang dengan men rea dalam wujud 'mengetahui semisal seseorang
tahu sedang mengidap penyakit dan dengan penyakitnya dapat menyebabkan orang lain tertular
penyakit. Maka berdasarkan penjabaran dalam rumusan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan,
dapat dilihat bahwa perbuatan menyebar virus (Covid-19) memenuhi unsur dari Pasal 351 ayat
(4) KUHP yaitu penganiayaan yang disamakan sengaja merusak kesehatan. Hal ini terlihat
120
dengan adanya kesengajaan menyebar virus kepada orang lain dan mengakibatkan terganggu
kesehatan orang yang terinfeksi virus. Demikian sebaliknya, seseorang yang karena
ketidaktahuan, ketidakmampuan dan/ atau kertidakberdayaannya tidak layak untuk
dikriminalisasikan dalam terjadinya penularan penyakit di masyarakat ataupun dalam KLB.
Mengingat asas kriminalisasi yang paling penting untuk menentukan perbuatan seseorang
tergolong kriminalisasi adalah asas legalitas.
Selanjutnya untuk mengantisipasi kelemahan sanksi pidana atas si pelaku dalam perpektif
Pasal 152 UU Kesehatan yang tidak memuat ketentuan hukumnya, dan agar pelanggaran atau
tindak pidana ini dapat dikriminalisasikan kepada si pelaku, maka harus bisa diterapkan
'penetapan peraturan secara analogi guna mengisi kekosongan undang-undang untuk perbuatan
mirip dengan diatur undang-undang yaitu memilih alternatif untuk menentukan jenis pidana yang
pantas diterapkan dengan pertimbangan pada faktor-faktor perbuatan, orangnya, kesan
masyarakat atas kejahatan, berat ringannya korban atau kerugian dan proyeksi efektivitas
pemidanaan.
Demikian dapat disimpulkan bahwa tidak patut seseorang karena ketidaktahuan atau
ketidakmampuan ataupun kertidakberdayaannya terjadi penularan penyakit dari dirinya kepada
orang lain untuk dikriminalisasikan, sebab adanya alasan pembenar atau pemaaf yang berakibat
si pelaku perbuatan melangar hukum dapat tidak dikenakan sanksi pidana. Akan tetapi, apabila
dapat dibuktikan adanya unsur kesengajaan, maka bersadarkan Pasal 152 Undang-Undang
Kesehatan juncto Pasal 351 Ayat (4) KUHP kepada si pelaku dapat dikriminalisasikan sebagai
pelaku penganiayaan yang disamakan sengaja merusak kesehatan karena memenuhi unsur
menimbulkan rasa sakit pada orang lain, menimbulkan luka pada tubuh orang lain, atau
merugikan kesehatan orang lain. yang diancam pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Simpulan
Ketentuan hukum positif tentang suatu penyakit menular dari pihak terlantar di jalanan
yang seharusnya dipelihara oleh Negara merujuk kepada hak-hak dasar warga negara pada
situasi wabah, status kedaruratan kesehatan, karantina rumah atau wilayah, Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah harus memprioritaskan bantuan dan mitigasi pencegahan wabah penyakit
terutama kepada kelompok rentan tertular penyakit. Dalam hal terjadi penularan wabah yang
diakibatkan oleh orang terlantar, maka mereka tidak semestinya dikriminalisasi karena
berdasarkan subyek hukum, orang terlantar adalah orang yang harus mendapatkan pelayanan
kesehatan dasar dan perlindungan dari Pejabat Karantina Kesehatan terkait pencegahan dan
penanggulangan wabah; atau karena unsur ketidaktahuan atau ketidakberdayaannya. perbuatan
demikian dimaafkan dan tidak dipersalahkan (unsur pemaaf). Kecuali dilakukan dengan sengaja
seperti pelanggaran Pasal 152, bagi pelakunya dapat dikrimalisasikan dengan ancaman pidana.
Demikian pula tidak patut seseorang karena ketidaktahuan, ketidakmampuan atau kertidak-
berdayaannya terjadi penularan penyakit kepada orang lain dikriminalisasikan, sebab adanya
alasan pembenar atau pemaaf yang berakibat pelaku yang melangar hukum dapat tidak
dikenakan sanksi pidana. Akan tetapi, apabila dapat dibuktikan ada unsur kesengajaan
menularkan penyakit kepada orang lain, bersadarkan Pasal 152 Undang-Undang Kesehatan
juncto Pasal 351 Ayat (4) KUHP kepada si pelaku dapat dikriminalisasikan sebagai pelaku
penganiayaan yang disamakan sengaja merusak kesehatan, yang diancam pidana penjara paling
lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
121
BAB 13
ASPEK HUKUM PENGOBATAN TRADISIONAL
A. Pengertian
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1076, pengobatan tradisional
adalah pengobatan dan atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman
dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat di pertanggungjawabkan dan di
terapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
C. Obat Tradisional
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bahwa
obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan,
bahan mineral, sediaan sarian atau campuran bahan tersebut yang secara turun
temurun telah di gunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman serta dapat di terapkan
sesuai dengannorma yang berlaku di masyarakat. Obat tradisional dapat dikelompokkan menjadi
tiga yaitu jamu, obat ekstrak alam dan fitofarmaka.
122
Jurnal Bab 13.
Abstract
Traditional health services in Indonesia have been regulated in the Law No. 36 of 2009 about
Health and in Minister of Health regulated No. 15 of 2018 about the implementation oc
complementary traditional health. This paper isintended to discuss the legal protection of
traditional health services and its forms. This study applies normative juridical methods. The
results show that the level of legal protection for traditional health services is empirically lower
than complementary and integration. This is proven by the absence of the right to obtain legal
protection for traditional empirical health services. The legality of traditional empirical health
servicesis only attested by Traditional Health Registered Letters (STPT) while complementary
and integration is attested by a Certificate of Traditional Health Worker Registration(STRTKT)
and Practice Permit Traditional Health Workers (SIPTKT).
Abstrak
Pelayanan kesehatan tradisional di Indonesia telah diatur dalam peraturan perundang- undangan
Indonesia, yakni dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan diatur secara
lebih rinci dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 15 Tahun 2018 tentang
Penyelenggaraan Kesehatan Tradisional Komplementer. Permasalahan yangdiangkat dalam
penelitian ini adalah tentang aspek legalitas terhadap pelayanan kesehatan tradisional serta
bagaimana bentuk-bentuk perlindungan hukumnya. Penelitian ini menggunakan metode yuridis
normatif Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat legalitas terhadap pelayanan kesehatan
tradisional empiris lebih rendah dibandingkan dengan komplementer dan integrasi. Hal tersebut
dibuktikan dengan tidak adanya hak memperoleh perlindungan hukum bagi pelayanan kesehatan
tradisional empiris dan legalitas pelayanan kesehatan tradisional empiris hanya dibuktikan
dengan Surat Terdaftar Penyehat Tradisional (STPT) sedangkan komplementer dan integrasi
dibuktikan dengan Surat Tanda Registrasi Tenaga Kesehatan Tradisional (STRTKT) danSurat
Izin Praktik Tenaga Kesehatan Tradisional (SIPTKT).
Kata kunci: hak dan legalitas; pelayanan kesehatan tradisional; perlindungan hukum
123
PENDAHULUAN
Kesehatan adalah kebutuhan setiap manusia yang harus dipenuhi.Sebagaimana dimaksud
dalam Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945,
bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia, salah satu unsur kesejahteraan yang harus
diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Meskipun sama fundamentalnya dengan
hak-hak yang lain. hak atas pelayanan kesehatan sering dianggap lebih mendasar. Oleh karena
itu, hak atas pelayanan kesehatan merupakan suatu hal yang harus dimiliki oleh setiap
warganegara Indonesia. Sehingga tidak ada masyarakat yang tidak bisa melakukan pengobatan.
Pengobatan yang dapat dilakukan oleh masyarakat dapat berupa bantuan medis ataupun
pengobatan secara tradisional. Meskipun memiliki metode pengobatan yang berbeda. keduanya
memiliki tujuan yang sama yaitu untuk memberikan pelayanan kesehatan terbaik bagi seorang
pasien.
Pengobatan tradisional pada awalnya telah dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak
munculnya pemahaman pengobatan yang bersifat mistik dan kepercayaan pada tenaga gaib yang
berakar pada animisme. Pada perkembangannya. pengobatan tradisional di Indonesia banyak
dipengaruhi oleh budaya asing. seperti India. Cina, Timur Tengah (Arab) dan Eropa. Seiring
dengan berjalannya waktu, semakin banyak usaha dalam bidang pelayanan kesehatan tradisional
diIndonesia. Umumnya, pengobatan tradisional menawarkan harga yang lebih terjangkau
dibandingkan dengan pengobatan komplementer dan integrasi. Dengan semakin meningkatnya
biaya pengobatan kesehatan, masyarakat banyak beralih kepada pelayanan pengobatan
tradisional.
Sejak tahun 2009. pelayanan kesehatan tradisional diatur dalam peraturan per undang-
undangan, yakni Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 1 angka 16
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menentukan bahwa pelayanan kesehatan
tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada
pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan
dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dijabarkan bahwa pengertian pelayanan kesehatan
tradisional mengandung persyaratan :
1. Adanya aktifitas pengobatan dan atau perawatan:
2. Menggunakan cara atau obat tradisional;
3. Berdasarkan pengalaman dan keterampilan turun-temurun;
4. Dapat dipertanggung jawabkan secara empiris; dan
5. Penerapannya sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Ketentuan mengenai
pengobatan tradisional juga ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 15
Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan pengobatan Tradisional Komplementer.
Adapun tujuan dari KepMenkes tersebut adalah sebagai upaya untuk membina
pengobatan tradisional. memberikan perlindungan kepada masyarakat, menginventarisasikan
jumlah pengobatan tradisional, serta jenis dan cara pengobatannya.
Dengan meningkatnya pemanfaatan layanan kesehatan tradisional tentu saja perlu
dibarengi dengan kajian penguatan hukum terhadapnya. Perannya sebagai salah satu tenaga
kesehatan masyarakat perlu didorong dan dijamin secara legal. Selain isu keamanan dan
keselamatan konsumen, seorang pengobat tradisional perlu mendapatkan perlindungan hukum
terhadap profesinya.
124
Berdasarkan uraian di atas, pelaku pelayanan kesehatan tradisional memberikan
pelayanan berdasarkan pada standar pelayanan kesehatan tradisional yang metodenya telah
memenuhi persyaratan penapisan. pengkajian. penelitian dan pengujian serta terbukti aman dan
bermanfaat bagi kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Akan tetapi, apabila pasien menderita kerugian. cedera fisik dan bahkan kematian maka
pelaku pelayanan kesehatan tradisional bertanggung jawab sepenuhnya atas kerugian tersebut.
Hal tersebut menunjukkan bahwa perlindungan hukum bagi pelayanan kesehatan tradisional
penting untuk dianalisis secara yuridis.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana perlindungan hukum bagi pelayanan kesehatan tradisional dalam struktur
peraturan perundang-undangan Indonesia?
2. 2. Apa saja perlindungan bentuk-bentuk hukum bagi pelayanan kesehatan tradisional dan
masyarakat?
METODE PENELITIAN
Metode Penelitian kajian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Penelitian
ini mengkaji bahan kepustakaan terdiri dari bahan hukum dan ditunjang oleh bahan hukum
sekunder yang menyangkut penelitian menyeluruh baik diantara secara peraturan setingkat atau
diatasnya dimana obyek kajiannya adalah dokumen-dokumen peraturan-peraturan hukum serta
bahan- bahan pustaka, suatu peraturan perundang-undangan yang tergolong dalam bahan hukum
primer dengan meneliti beberapa undang-undang khususnya terkait dengan hukum kesehatan,
pelayanan kesehatan tradisional. konsep hukum serta teori hukum yang ada relevansinya dengan
pelayanan kesehatan tradisional. Adapun selanjutnya penulis menggunakan pendekatan
perundang- undangan dengan menggunakan legislasi dan regulasi. Teknik pengumpulan bahan
hukum menggunakan metode sistematis, yakni berupa pengumpulan bahan peraturan perundang-
undangan yang menyangkut pengaturan mengenai hukum kesehatan, pelayanan kesehatan
tradisional. konsep hukum serta teori hukum yang ada relevansinya dengan pelayanan kesehatan
tradisional. Teknik analisis bahan hukum yang digunakan adalah teknik deskripsi, dengan
digunakannya teknik ini peneliti menguraikan secara apa adanya terhadap suatu kondisi atau
posisi dan proposisi- proposisi hukum atau non-hukum.
125
Aspek legalitas merupakan hak bagi setiap warga negara, dimana setiap warga negara
berhak untuk memperoleh perlindungan hukum tanpa adanya diskriminatif. Adapun hal tersebut
dicantumkan dalam Pasal 28D ayat 1 Bab XA UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara
berkewajiban untuk memberikan pengakuan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum serta
keadilan yang mengarah pada perlindungan hukum terhadap negaranya perlindungan kesehatan,
yang meliputi perlindungan sosial, perlindungan politik, perlindungan budaya, dan perlindungan
lainnya. Adanya campur tangan Negara tersebut mempunyai tujuan untuk meningkatkan
kesejahteraaan bagi warga negara. Hal tersebut dapat diwujudkan melalui pembentukan sarana
hukum, antara lain melalui kebijakan dan penetapan peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan pelayanan kesehatan tradisional.
Secara normatif. dikeluarkannya pengaturan mengenai penyelenggaraan pelayanan
pengobatan tradisional yakni dalam Kepmenkes No. 15 Tahun 2018 Tentang Penyelenggaraan
Pengobatan Tradisional ketentuan Komplementer. tersebut Dalam diatur mengenai penertiban
ijin pengadaan penyelenggaraan pelayanan kesehatan tradsional. Secara administratif, ini
merupakan bentuk perlindungan terhadap para pengguna pelayanan kesehatan tradisional.
Selain dalam Kepmenkes tersebut, Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan telah memberikan pengaturan terhadap pelayanan kesehatan tradisional melalui Pasal
59, 60 dan 61. Pasal 59 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 menyebutkan bahwa:
2. Pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibina dan diawasi oleh
Pemerintah agar dapat dipertanggung jawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak
bertentangan dengan norma agama.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara dan jenis pelayanan kesehatan tradisional baik itu
yang menggunakan keterampilan maupun ramuan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 60 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 menyebutkan bahwa:
1. Setiap orang yang melakukan pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan
teknologi harus mendapat izin dari lembaga kesehatan berwenang. yang
2. Penggunaan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat
dipertanggung jawabkan manfaat dan keamanannya tidak serta bertentangan dengan norma
agama dan kebudayaan masyarakat.
Ada beberapa perlindungansecara hukum, antara lain sebagaiberikut:
Pasal 61 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 menyebutkan bahwa:
1. Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan, meningkatkan dan
menggunakan pelayanan kesehatan tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan
keamanannya.
2. Pemerintah mengatur dan mengawasi pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dengan didasarkan pada keamanan, kepentingan, dan perlindungan masyarakat.
Ketiga Pasal tersebut mengatur tentang jenis pelayanan kesehatan tradisional, perizinan
terhadap penggunaan alat dan teknologi dalam memberikan pelayanan kesehatan, danjuga
adanya pengawasan. Oleh adanya peraturan karena itu,dengan tentangpelayanan kesehatan
tradisional dalamUU No 36 tahun 2009 merupakan suatubentuk komitmen pemerintah dalam
memberikan perlindungan bagi pelayanankesehatan tradisional. Walaupun belum mengatur
126
secara khusus tentang bentuk perlindungannya, namun hal tersebut dapat ditafsirkan secara
tersirat.
1. Membuat peraturan (by givingregulation), yang bertujuan untuk:
a. memberikan hak dan kewajiban:
b. menjamin hak-hak para subyek hukum.
2. Menegakkan peraturan (by the law enforcement)
Pada undang-undang Nomer 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah diturunkan melalui
tahapan Peraturan Pemerintah Nomer 103 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional, namun
pelaksanaan peraturan tersebut oleh pihak yang berwenang perlu dipelajari lebih lanjut untuk
mendapatkan penjelasan bagaimana pelaksnaan perlindungan hukum difasilitasi oleh pemerintah
daerah pada tingkat bawah. Untuk itu diperlukan pengalaman terkait mengenai pelaksanaan
perlindungan hukum bagi penyehat pengobatan tradisional di wilayah kabupaten/kota. dimana
pemerintah daerah kabupaten/kota memiliki tanggungjawab dan wewenang sebagai
pihak/aparatur negara yang diberi amanat untuk melaksanakan perlindungan hukum tersebut dan
berhubungan langsung dengan para penyehat pengobatan tradisional.
Dalam penerapan perkembangannya, kesehatan tradisional berkembang menjadi: (1)
Pelayanan Kesehatan Tradisional Empiris, yang manfaat dan keamanannya terbukti secara
empiris; dan (2) Pelayanan Kesehatan Tradisional Komplementer, yang manfaat dan
keamanannya terbukti secara ilmiah dan memanfaatkan ilmu biomedis. Berdasarkan hal tersebut,
maka pengaturan dalam Peraturan Pemerintah ini mencakup pengaturan dan tata cara serta jenis
Pelayanan Kesehatan Tradisional dan Pelayanan Komplementer.
Kesehatan Tradisional Berdasarkan cara pengobatannya, Pelayanan Kesehatan
Tradisional Empiris dan Pelayanan Kesehatan Tradisional Komplementer terbagi menjadi: (1)
pelayanan yang menggunakan keterampilan; dan (2) pelayanan yang menggunakan ramuan.
Pelayanan Kesehatan Tradisional Empiris dan Pelayanan Kesehatan Tradisional Komplementer
harus dibina dan diawasi oleh Pemerintah agar dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan
keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma agama. Kesehatan merupakan bagian
penting dari kehidupan, sehingga pengobatan terhadap suatu penyakit sangat
dibutuhkan.Berbagai macam pengobatan semakin berkembang, baik pengobatan pengobatan
tradisional. modern maupun
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 1 angka 16 bahwa:
Pelayanan kesehatan tradisional merupakan pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan
obat yang mengacu pada pengalaman dan ketrampilan turun temurun secara empiris yang dapat
dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
Pengobatan tradisional merupakan penyedia jasa bagi masyarakat.Praktik pengobatan
tradisional diharapkan selain menyembuhkan dan memulihkan sakit bagi konsumennya juga
harus menjamin kepastian hukum, bahwa usaha yang dijalankannya menggunakan standar usaha
pengobatan yang layak dan dapat diterima oleh masyarakat. Walaupun Undang- Undang
Perlindungan Konsumen belum sepenuhnya melindungi hak-hak pasien pengobatan tradisional,
karena perlindungan konsumen di Indonesia masih terpaku pada perlindungan terhadap
konsumen pengguna barang dan jasa pada bidang industri.
127
Bentuk-Bentuk Aspek Legalitas Bagi Pelayanan KesehatanTradisional dan Masyarakat
Hukum dikatakan telah memberikan perlindungan apabila sudah ada pengaturan tentang
hak-hak subjek hukumnya. Artinya, bentuk-bentuk perlindungan hukum dapat dimengerti dari
hak-hak subjek hukum yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, Berdasarkan
Pasal 28 Peraturan Pemerintah No. 103 Tahun 2014 tentang hak-hak penyehat tradisional dan
klien serta hak-hak tenaga kesehatan tradisional dan klien, bentuk perlindungan hukum bagi
penyehat tradisional dalam memberikan pelayanan tradisional empiris meliputi: kesehatan
a memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari klien atau keluarganya:
b. menerima imbalan jasa; dan
c. mengikuti pelatihan bidang kesehatan. promotif
Berdasarkan Pasal 29 Peraturan
Pemerintah No. 103 Tahun 2014, aspek hukum bagi tenagakesehatan tradisional dalam
memberikan pelayanan kesehatan tradisional komplementer meliputi:
memperoleh pelindungan hukum
2.sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, dan standar
prosedur operasional;
3. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien/klien atau keluarganya, dan
4. menerima imbalan jasa.
Terdapat perbedaan bentuk aspek legal antara penyehat tradisional dengan tenaga
kesehatan tradisional, yakni penyehat tradisional memiliki hak untuk mengikuti pelatihan
promotif bidang kesehatan sedangkan bagi tenaga tersebut. Tenagakesehatan tradisional
memiliki hak memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan
standar profesi, pelayanan, dan prosedur operasional, sedangkan bagi penyehat tradisional tidak
ada ketentuan tentang hak tersebut.
PENUTUP
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan hukum bagi penyehat tradisional lebih
rendah dibandingkan dengan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan tradisional. Terdapat
perbedaan bentuk perlindungan hukum bagi penyehat tradisional dengan tenaga kesehatan
tradisional dan perbedaan perlindungan hukum bagi klien/pasien penyehat tradisional dengan
klien/pasien tenaga kesehatan tradisional.
Saran
Dengan adanya peraturan tentang pelayanan kesehatan tradisional dalamUU No 36 tahun 2009
merupakan suatu bentuk komitmen pemerintah dalam memberikan perlindungan bagi pelayanan
kesehatan tradisional. Walaupun belum mengatur secara khusus tentang bentuk perlindungannya,
namun hal tersebut dapat ditafsirkan secara tersirat.
128
BAB III
PENUTUP
Kelebihan Kelemahan
Materi yang tertulis sangat lengkap, jelas dan Tidak ada pendahuluan pada buku.
rinci.
Menyajikan teori etika dan kesehatan dari Gambar di dalam buku tidak berwarna
berbagai pendapat ilmuwan sehingga kurang menarik.
Menjelaskan secara lengkap undang- undang
hukum kesehatan
Menjelaskan berbagai masalah serta hukum
kesehatan di Indonesia
B. Kesimpulan
Berdasarkan hasil review, penulisan buku etika dan hukum kesehatan secara keseluruhan buku
ini sangat bagus untuk dijadikan referensi maupun dijadikan buku pedoman untuk mata kuliah
etika dan hukum kesehatan. Di dalam buku ini banyak pendapat ilmuwan dari berbagai referensi
serta hukum undang-undang yang dicantumkan.
C. Saran
Pendahuluan pada awal buku harusnya dibuat, seperti latar belakang etika dan hukum kesehatan.
Jika gambar pada buku dibuat berwarna akan lebih menarik dan mudah dibaca tidak melulu
tulisan saja.
129
DAFTAR PUSTAKA
Dumilah Ayu Ningtyas, R. O. (2018). Etika Kesehatan pada Persalinan Melalui Sectio Cesarea
Tanpa Indikasi Medis. MKMI, 16.
http://dx.doi.org/10.30597/mkmi.v14i1.2110
Sinaga, N. A. (2020). Kode Etik Sebagai Pedoman Pelaksana Profesi Hukum yang Baik. Ilmiah
Hukum Dirgantara, 16.
https://journal.universitassuryadarma.ac.id/index.php/jihd/article/view/460
Muh Amin Dali, Warsito Kasim, Rabia Ajunu. (2019). Aspek Hukum Informed Consent dan
Perjanjian Terapeutik. Akademika.95-105.
https://journal.umgo.ac.id/index.php/akademika/article/view/403
Achmad Busro. (2018). Aspek Hukum Persetujuan Tindakan Medis (Inform Consent) Dalam
Pelayanan Kesehatan. 1-18.
https://doi.org/10.14710/ldjr.v1i1.3570
Luh Titi Handayani. (2018) Kajian Etik Penelitian dalam Bidang Kesehatan dengan Melibatkan
Manusia Sebagai Subyek. The Indonesian Journal of Health Science.
https://doi.org/10.32528/the.v10i1.1454
Budi Ispriyarso. (2018) Fungsi Reguler Pajak Rokok di Bidang Kesehatan Masyarakat dan
Penegakan Hukum. Masalah-Masalah Hukum. 228-240
http://dx.doi.org/10.33387/etnohistori.v7i2.2959
Julius Roland Lajar,A. I. (2020). Akibat Hukum Malpraktik yang Dilakukan oleh Tenaga Medis.
Interpretasi Hukum. 7-12.
http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0
Fakih, M. Yulia Kusuma. (2019). Tanggung Jawab Dokter dan Tenaga Kesehatan dalam
Pelayanan Pasien Hemodialisis.
https://doi.org/10.22225/juinhum.1.1.2177.7-12
Yusma Dewi, Trisno Raharjo. (2019). Aspek Hukum Bahaya Plastik terhadap Kesehatan dan
Lingkungan.
http://repository.lppm.unila.ac.id/id/eprint/13090
M. Nur Sholikin, Herawatu. (2020). Aspek Hukum Keselamatan dan Kesehatan Kerja (k3).
Majalah Hukum Nasional.
https://doi.org/10.33331/mhn.v50i2.74
130
Maulana, Egi (2021. Kajian hukum mengenai kriminalisasi terhadap seseorang yang
menularkan penyakit ditinjau dari undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang
kesehatan. Diploma thesis, Universitas Islam Kalimantan MAB.
http://eprints.uniska-bjm.ac.id/id/eprint/6154
131