Anda di halaman 1dari 3

PENDAHULUAN

Status mahasiswa merupakan masa memasuki  perkembangan yang kritis karena terjadi
perubahan transisi dari remaja menjadi dewasa. Masa ini banyak mengalami perubahan baik
secara biologis, psikologis, kognitif, maupun sosio-emosional serta kepribadian yang banyak
mengalami perkembangan. Perubahan tersebut memerlukan adanya adaptasi agar remaja tetap
bisa mengembangkan potensi mereka dan menjalankan tugasnya untuk mencari jati diri.

Mahasiswa Perguruan Tinggi rentan mengalami permasalahan dan tekanan dalam hidup
mereka seiring berjalannya waktu. Menurut studi oleh Trimawati dan Wahid (2018) yang
melakukan riset pada 76 responden Universitas Waluyo Semarang memberikan hasil bahwa
terdapat perilaku emotional eating pada mahasiswa yang mengalami tuntutan baik secara eksternal
maupun internal. Emotional eating adalah praktik dalam mengonsumsi makanan untuk
mengatasi emosi positif maupun emosi negative. Brackney dan Karabenick menerangkan
bahwa tekanan yang tidak mampu dikendalikan individu akan memberikan dampak negatif baik
secara kognitif maupun emosional. Adapun yang dimaksud dari dampak negatif secara kognitif
antara lain adanya gangguan konsentrasi, mengalami kesulitan dalam mengingat pelajaran, dan
mengalami hambatan dalam memahami pelajaran. Sedangkan dampak negatif secara emosional
yaitu hilangnya rasa percaya diri, timbulnya perasaan marah, cemas, sedih, bahkan frustasi.
Heiman dan Keiv (Alfian, 2014) mengatakan bahwa sumber tekanan cenderung berasal dari
masalah akademik.

Kondisi emosi dapat mempengaruhi perilaku makan. Respon dari emosi bisa
berakibat pada peningkatan nafsu makan ataupun sebaliknya. Tekanan psikologis
memiliki keterkaitan yang kuat dengan perilaku makan secara emosional. Pada wanita,
ketika hormon steroid tinggi dapat berakibat pada peningkatan gula darah sehingga
berdampak pada pola makan yang berlebih. Ketika pada kondisi emosi negatif, umumnya
individu akan lebih memilih konsumsi makanan dengan tinggi kalori, berlemak, dan
memiliki rasa manis. Baccot (2012) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa sepertiga dari
mahasiswa dalam mengatasi situasi emosional atau tekanan yang mereka alami dengan cara
emotional eating. (Trimawati dan Wahid, 2019) mengatakan bahwa emotional eating dapat
terjadi karena seseorang mengalami suatu peristiwa yang dapat menyebabkan respon emosional,
sehingga menimbulkan rasa ketidaknyamanan emosional. Maka dari itu, seseorang mengalihkan
rasa ketidaknyamanannya dengan mencari kesenangan yaitu mengonsumsi makanan, terutama
asupan makanan yang manis dan asin. Sehingga, dalam diri orang tersebut akan membentuk
sebuah persepsi bahwa makanan adalah solusinya dan merasakan segala sesuatu yang dialaminya
akan baik-baik saja.

Menurut studi riset hasil Gori dan Kustanti (2018) mengungkap bahwa mahasiswa
STIKES Bethesda Yakkum Yogyakarta mengalami emotional eating karena terdapat perasaan
negatif yang dirasakan. Salah satu bentuk pelampiasannya yaitu dengan makan berlebihan ketika
tertimpa banyak masalah. Emotional eating dilakukan dengan tujuan untuk mengalihkan
individu dari pengaruh emosi negatif menuju ke arah emosi yang positif agar individu merasa
lebih baik. Keadaan emosi yang tidak stabil tidak menutup kemungkinan individu menggunakan
perilaku makan sebagai strategi dalam menghadapi emosi negatifnya. Dalam kondisi ini,
individu akan menggunakan porsi makan diluar kebutuhan fisik mereka, dimana mereka makan
bukan untuk memenuhi rasa laparnya, melainkan untuk memuaskan rasa emosi yang
dilampiaskan dengan makanan.

Pada penelitian oleh Deva Rifa’a Fassah dan Sofia Retnowati dalam jurnal yang berjudul
Hubungan Antara Emotional Distress dengan Perilaku Makan Tidak Sehat Pada Mahassiswa
Baru, mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat emotional distress dengan
perilaku makan mahasiswa baru. Hasil uji korelasi ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
tingkat emotional distress yang dialami mahasiswa baru, maka semakin buruk pula perilaku
makan mereka. Mahasiswa yang mengalami emotional distress akan melakukan usaha untuk
mengurangi emosi negatif yang muncul. Usaha untuk menangani emotional distress tersebut
dapat dilakukan menggunakan strategi kognitif dan behavioral. Dalam penelitian ini, pola makan
dijadikan sebagai strategi behavioral untuk mengatasi perasaan tidak nyaman.

Berdasarkan hasil beberapa review tersebut, sehingga perlu untuk dilakukan penelitian
perihal hubungan antara pola makan dengan kondisi emosi menggunakan subjek penelitian yang
berbeda yaitu mahasiswa dari rentang usia 17- 24 tahun. Berdasarkan penelitian sebelumnya
banyak membahas mengenai bentuk-bentuk emosi negatif yang mempengaruhi pola makan dan
mereka kebanyakan menggunakan emotional eating sebagai strategi penyelesaian. Sedangkan .
permasalahan utama penelitian ini adalah bagaimana kondisi emosi dapat mempengaruhi pola
makan pada mahasiswa. Pada penelitian ini penulis memfokuskan permasalahan mengenai
seberapa besar kondisi emosi positif dan negatif mempengaruhi pola makan pada mahasiswa
beserta alasan yang mendominasi mereka melakukan perilaku makan tertentu dalam kondisi
emosi, dan bagaimana pola makan yang diterapkan mahasiswa saat dihadapkan dengan tugas
yang menumpuk dengan deadline yang berdekatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pola makan yang diterapkan mahasiswa dalam kondisi emosi. Hasil penelitian ini secara teoritis
diharapkan dapat memberikan manfaat dan wawasan baru, serta sumbangsih pengetahuan
mengenai faktor emosi yang mempengaruhi pola makan. Secara praktis, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan pengertian dan himbauan kepada mahasiswa agar lebih baik lagi
dalam mengelola emosi. Saat mereka dihadapkan dengan emosi yang sulit dikendalikan, mereka
belajar untuk memahaminya sehingga mempengaruhi pola makan mereka.

METODE PENELITIAN

Anda mungkin juga menyukai