Anda di halaman 1dari 10

Jurnal Psikologi Talenta Mahasiswa

Volume 2, No 1, Juli 2022


e-ISSN 2807-789X

Hubungan Coping Stress dengan Perilaku Makan pada


Usia Dewasa Awal yang Mengalami Stres

Aida Nurwahidah1*, Rohmah Rifani2, Hilwa Anwar3


123
Fakultas Psikologi, Universitas Negeri Makassar, Indonesia.
*
E-mail: aidalatif12@gmail.com

Abstract

In early adulthood, individuals experience pressure on themselves caused by work, school, and
the environment. Individuals make efforts to divert the pressure they are experiencing temporarily
by means of coping. This is related to the eating behavior experienced by the individual. This
study aims to determine the relationship between coping stress and eating behavior in early
adulthood. Respondents in this study amounted to 30 respondents, with criteria aged 18 to 25
years, working or studying and experiencing stress. The measuring instrument used in this
research is the scale of coping stress and eating behavior, which is analyzed using path analysis
test. The results showed that there was no relationship between coping stress and eating behavior
in early adulthood. Each shows the PFC value with external eating of 0.312 and the EFC value
with external eating of 0.778. The PFC value with emotional eating is 0.715 and the EFC value
with emotional eating is 0.614. The PFC value with restrained eating is 0.101 and the EFC value
with restrained eating is 0.240.
Keywords: Coping Stress, Eating Behavior, Stress.

Abstrak

Pada usia dewasa awal, individu mengalami tekanan pada diri yang sebabkan oleh pekerjaan,
sekolah, dan lingkungan. Individu melakukan upaya untuk mengalihkan tekanan yang di alami
untuk sementara dengan cara coping. Hal tersebut berhubungan dengan perilaku makan yang
dialami oleh individu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara coping stress
terhadap perilaku makan pada usia dewasa awal. Responden pada penelitian ini berjumlah 30
responden, dengan kriteria berusia 18 hingga 25 tahun, bekerja atau kuliah dan sedang
mengalami stress. Alat ukur yang digunakan pada penelitian ini adalah skala coping stress dan
perilaku makan, yang di analisis menggunakan Uji analisis jalur. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan antara coping stress dengan perilaku makan pada usia dewasa
awal. Masing-masing menunjukkan nilai PFC dengan external eating sebesar 0.312 dan nilai
EFC dengan external eating sebesar 0.778. Nilai PFC dengan emotional eating sebesar 0.715
dan nilai EFC dengan emotional eating sebesar 0.614. Nilai PFC dengan restrained eating
sebesar 0.101 dan nilai EFC dengan restrained eating sebesar 0.240.

Kata kunci: Coping Stress, Perilaku Makan. Stres.


PENDAHULUAN
Hurlock (1993) mengemukakan bahwa dewasa awal berada pada usia 18 tahun hingga 40
tahun, pada usia tersebut berbagai masalah juga muncul dengan bertambahnya usia pada masa
dewasa awal. Ketegangan emosional, ketakutan dan kekhawatiran timbul terhadap persoalan
yang dihadapi pada saat tertentu yang dapat meningkatkan stres. Erikson (Monks, Knoers &
Haditono, 2001), mengemukakan masa dewasa awal yakni antara 20 serta 30 tahun. Pada masa
ini, individu mulai menyambut serta memikul tanggung jawab yang lebih berat. Johnstone
(2018) mengemukakan bahwa usia dewasa awal mengalami perubahan gaya hidup seperti
kuliah, menikah, hingga menjadi orang tua dapat mendorong terjadinya kenaikan berat badan.
Kehidupan masyarakat pada umumnya memiliki aktivitas yang padat. Individu yang aktif
akan berangkat dari rumah pagi hari dan beraktivitas di luar rumah sampai malam hari, keadaan
tersebut menunjukkan sulit untuk mempunyai waktu bersama keluarga dan menyantap
makanan menu lengkap. Kondisi tersebut menyebabkan individu akan sering mengonsumsi
cemilan dan makanan siap saji sebagai pengganti makanan lengkap saat waktu makan tiba.
Kebiasaan makan tersebut dapat menimbulkan masalah baru, makanan siap saji mengandung
lemak, karbohidrat, dan garam yang cukup tinggi tetapi sedikit kandungan vitamin larut air dan
serat. Bila mengonsumsi makanan jenis tersebut secara berlebihan akan menimbulkan masalah
gizi berlebih serta faktor risiko penyakit seperti obesitas, hipertensi, diabetes melitus, dan
hiperkolesterol (Purwaningrum, 2008).
Tubuh mengirimkan sinyal rasa lapar yang kuat ketika individu mengonsumsi kurang dari
kebutuhan energi, namun sering diabaikan. Gaya hidup sehat akan mencerminkan pola sikap
sehari-hari yang mengarah pada upaya guna melindungi kondisi fisik, psikologis, serta sosial
dalam kondisi positif. Gaya hidup sehat mencakup kebiasaan tidur, kebiasaan makan, pola
makan, tidak merokok serta tidak minum, kegiatan fisik ataupun berolahraga tertib, serta
terampil mengatur stres yang dirasakan (Syahlani, Mochdari, dan Brawijawa, 2015). Perubahan
pola makan yang dipicu oleh stres, gairah (depresi versus kemarahan dan ketakutan), intensitas
(tinggi versus rendah) dan valensi (positif versus negatif) dari emosi atau pemicu stres dapat
memengaruhi perilaku makan emosional (Macht, 2008). Snooks (Fassah dan Retnowati, 2014)
mengemukakan bahwa perilaku makan adalah sikap yang dipelajari oleh individu semenjak
kecil perihal itu melingkupi ketetapan apa, kapan, berapa banyak, dimana, serta dengan siapa
orang hendak makan buat penuhi keinginan biologis orang. Sikap makan dipengaruhi oleh
aspek biologis, intelektual, serta sosial adat.

70
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fassah & Retnowati (2014) pada 62 orang subjek
mahasiswa baru di Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada Yogyakarta, menunjukkan
bahwa semakin tinggi tingkat emosional distres yang dialami oleh mahasiswa baru, maka
semakin buruk perilaku makan mereka. Emotional distress menyumbang angka sebesar 8.3%
terhadap perilaku makan yang tidak sehat. Hasil penelitian Pettit, Jacob, Page, dan Porras
(2010) mendapatkan jika perubahan semacam perubahan lingkungan serta tempat tinggal,
berjumpa dengan orang yang belum diketahui, serta perihal yang berhubungan dengan
pekerjaan, perkuliahan akan tingkatkan kecondongan guna hadapi emotional distress, seperti
takut serta tertekan. Mahasiswa yang hadapi emotional distress hendak melaksanakan usaha
untuk kurangi emosi negatif yang dialami.
Van Strien et al. (Van Strien, Frijters, Bergers & Defares, 1986) mendefinisikan tiga perilaku
makan yang berbeda. Teori psikosomatik menekankan peran makan emosional, merujuk pada
makan selaku jawaban kepada emosi negatif guna menghilangkan tekanan pikiran sembari
mengabaikan tanda fisiologis dalam kelaparan. Teori eksternalitas merujuk pada makan selaku
reaksi kepada rangsangan yang berhubungan dengan makanan (pandangan ataupun bau
makanan) terbebas dari keadaan dalam rasa lapar serta kenyang. Teori menahan makan
mencerminkan tingkatan pemisahan makanan dengan cara sadar dalam upaya buat menahan
diri dari makan guna menurunkan ataupun menjaga berat badan khusus. Ketiga perilaku makan
ini terkait dengan indeks massa tubuh (IMT), sifat konsumsi makanan, dan hasil psikologis
seperti depresi, stres, kecemasan, dan harga diri tubuh. Notoatmodjo (2007) mengemukakan
bahwa perilaku makan adalah reaksi individu terhadap makanan untuk kebutuhan vital untuk
kehidupan. Perilaku mencakup wawasan, anggapan, tindakan, pengolahan kepada makanan,
unsur- unsur yang tercantum serta pengolahan makanan.
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan coping
stress terhadap perilaku makan. Perilaku makan dalam penelitian ini jadi strategi behavioral
untuk mengurangi perasaan tidak aman akibat tekanan dari luar. Hal tersebut sesuai dengan arti
perilaku makan menurut Babcock (Grunert dan Willis, 2007) perilaku makan adalah upaya
untuk meredakan keresahan, tingkatkan penerimaan diri, keamanan kepada diri, serta
memengaruhi orang lain.

METODE
Variabel dalam penelitian kuantitatif ini adalah coping stress dan perilaku makan. Penelitian
ini melibatkan 30 orang responden yang berusia 18-25 tahun, sedang bekerja atau kuliah dan
sedang mengalami stres. Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel yaitu
71
purposive sampling. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala coping
stress, skala perilaku makan dan skala stres yang dibuat oleh peneliti sendiri yang telah melalui
tahap validasi Aikens V dan uji coba. Peneliti membuat skala dalam bentuk google form yang
kemudian disebar melalui sosial media, sehingga responden yang memenuhi kriteria dapat
mengisi skala.
Skala coping stress terdiri dari 24 aitem dari dimensi problem focused coping dan emotional
focused coping. Skala ini memiliki nilai diskriminasi aitem yang bergerak dari angka 0,300-
0,622 dan dan memiliki nilai reliabilitas 0,807. Skala perilaku makan terdiri dari 9 aitem dari
dimensi external eating, emotional eating dan restrained eating. Skala ini memiliki nilai
diskriminasi aitem yang bergerak dari angka 0,308-0,527 dan memiliki nilai reliabilitas 0,658.
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif dan uji hipotesis. Analisis data
dilakukan dengan bantuan Microsoft Excel 2010 for Macbook. Uji hipotesis dalam penelitian
ini menggunakan analisis jalur dengan bantuan SPSS 26.00 for Macbook.

HASIL
Responden penelitian ini terdiri atas 4 orang laki-laki dan 26 orang perempuan yang berasal
dari Kota Makassar.
Tabel 1. Deskripsi responden penelitian

Karakteristik
Frekuensi Persentase (%)
Responden
Jenis Kelamin
Laki-laki 4 13,3%
Perempuan 26 86,7%
Usia
20 tahun 1 3,3%
21 tahun 1 3,3%
22 tahun 2 6,6%
23 tahun 7 23,7%
24 tahun 11 36,7%
25 tahun 8 26,6%
Total 30 100

Pada tabel 1 menunjukkan bahwa responden dalam penelitian ini didominasi oleh jenis
kelamin perempuan sebanyak 26 orang (86,7%) dan usia 24 tahun sebanyak 11 orang (36,7%).

72
Tabel 2. Deskripsi dimensi varibel coping stress
Hipotetik Standar Empirik Standar
Dimensi
Min Max Mean Deviasi Min Max Mean Deviasi
Problem
focused 12 60 36 12 37 53 44,3 4,08
copimg
Emotional
focused 12 60 36 12 36 58 47 5,27
coping

Berdasarkan tabel 2 diatas, peneliti kemudian mengkategorisasikan responden kedalam


dimensi coping stress, yaitu problem focused coping dan emotional focused coping.

Tabel 3. Kategorisasi coping stress


Dimensi Frekuensi Persentase
Problem focused coping 18 60%
Emotional focused coping 12 40%
Total 30 100%

Dari tabel 3 dapat disimpulkan bahwa terdapat 18 orang (60%) dikategorikan dalam problem
focused coping dan 12 orang (40%) dikategorikan dalam emotional focused coping Hasil
kategorisasi menunjukkan tingkat responden tergolong problem focused coping lebih banyak
dari emotional focused coping.

Tabel 4. Deskripsi dimensi variabel perilaku makan


Hipotetik Standar Empirik Standar
Dimensi
Min Max Mean Deviasi Min Max Mean Deviasi
External
2 10 6 1,69 3 10 7,4 1,9
eating
Emotional
4 20 12 4,48 4 20 11,9 4,1
eating
Restrained
3 15 9 3,73 3 15 7,1 3,9
eating

Berdasarkan tabel 4 diatas, peneliti kemudian mengkategorisasikan responden kedalam


dimensi perilaku makan, yaitu external eating, emotional eating, dan restrained eating.

Tabel 5. Kategorisasi perilaku makan


Dimensi Frekuensi Persentase
External eating 8 26,6%
Emotional eating 11 36,6%
Restrained eating 11 36,6%
Total 30 100%

73
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat 8 orang (26,6%) dikategorikan dalam
external eating, 11 orang (36,6%) dikategorikan dalam emotional eating, dan 11 orang (36,6%)
dikategorikan dalam restrained eating. Hasil kategorisasi menunjukkan tingkat responden
tergolong emotional eating dan restrained eating lebih banyak dari external eating.

Tabel 6. Hasil uji analisis data


Variabel p Keterangan

Problem focused
0,312 Tidak signifikan
coping
External eating
Emotional focused
0,778 Tidak signifikan
coping

Problem focused
0,715 Tidak signifikan
Emotional coping
eating Emotional focused
0,614 Tidak signifikan
coping

Problem focused
0,101 Tidak signifikan
Restrained coping
eating Emotional focused
0,240 Tidak signifikan
coping

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai signifikansi PFC dengan External eating sebesar
0,312>0,05 sehingga hipotesis dalam penelitian ini ditolak dan nilai signifikansi EFC dengan
external eating sebesar 0,778>0,05 sehingga hipotesis dalam penelitian ini ditolak. Hasil
analisis menunjukkan bahwa nilai signifikansi PFC dengan emotional eating sebesar
0,715>0,05 sehingga hipotesis dalam penelitian ini ditolak dan nilai signifikansi EFC dengan
emotional eating sebesar 0,614>0,05 sehingga hipotesis dalam penelitian ini ditolak. Hasil
analisis menunjukkan bahwa nilai signifikansi PFC dengan restrained eating sebesar
0,101>0,05 sehingga hipotesis dalam penelitian ini ditolak dan nilai signifikansi EFC dengan
restrained eating sebesar 0,240>0,05 sehingga hipotesis dalam penelitian ini ditolak.
Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel coping stress tidak memiliki
hubungan positif dengan perilaku makan pada usia dewasa awal.

DISKUSI

Hasil analisis pada tabel 3 dalam penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 18 orang (60%)
dikategorikan dalam problem focused coping dan 12 orang (40%) dikategorikan dalam
emotional focused coping. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar responden dalam

74
penelitian ini digolongkan dalam problem focused coping. Lazarus & Folkman (1984)
mengemukakan bahwa coping adalah proses individu pada waktu tertentu bergantung pada satu
bentuk strategi defensif dan pada waktu lain bergantung pada satu strategi pemecahan masalah.
Hal tersebut terjadi jika hubungan antara individu atau lingkungan berubah dan mengalami
tekanan. Park dan Armeli (2004) mengemukakan bahwa baik problem-focused coping dan
emotional-focused coping memiliki potensi bersifat adaptif pada situasi stres, jika yang
digunakan sesuai, maka individu memiliki symptoms psikologis yang lebih rendah daripada
penggunaan strategi coping yang tidak sesuai.
Hasil analisis pada tabel 5 dalam penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 8 orang
(26,6%) dikategorikan dalam external eating, 11 orang (36,6%) dikategorikan dalam emotional
eating, dan 11 orang (36,6%) dikategorikan dalam restrained eating. Hal tersebut menunjukkan
bahwa sebagian besar responden dalam penelitian ini digolongkan dalam emotional eating dan
restrained eating. Snooks (2009) mengemukakan bahwa perilaku makan terjadi guna penuhi
kebutuhan biologis individu. Perilaku makan dipengaruhi oleh aspek biologis, psikologis, serta
sosial budaya. Interaksi itu mengganti makna sikap makan selaku keinginan hendak nutrisi jadi
sesuatu perilaku kebiasaan makan yang lingkungan. Gahagan (2012) mengemukakan bahwa
perilaku makan individu dipengaruhi oleh kebutuhan energi, terutama karakteristik makanan
yang tersedia dan lingkungan. Rasa, bau, tekstur, suhu dan penyajian makanan juga merupakan
salah satu penentu penting. Selain itu, faktor sosial memengaruhi perkembangan perilaku
makan pada individu.
Berdasarkan hasil uji analisis data ditemukan bahwa tidak terdapat hubungan antara coping
stress dan perilaku makan pada usia dewasa awal yang sedang mengalami stres. Hasil analisis
menunjukkan bahwa nilai signifikansi PFC dengan emotional eating sebesar 0,715>0,05
sehingga hipotesis dalam penelitian ini ditolak dan nilai signifikansi EFC dengan emotional
eating sebesar 0,614>0,05 sehingga hipotesis dalam penelitian ini ditolak. Hasil nilai
signifikansi PFC dengan restrained eating sebesar 0,101>0,05 dan nilai signifikansi EFC
dengan restrained eating sebesar 0,240>0,05 sehingga hipotesis dalam penelitian ini ditolak.
Hasil penelitian Gryzela dan Ariana (2021) menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat stres
pada wanita maka semakin tinggi pula emotional eating yang dialami. Perempuan cenderung
memiliki dorongan untuk makan ketika merasa emosional seperti marah, jengkel, bosan, dan
sedih. Penelitian Putri (2015) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat emotional eating
pada laki-laki dan perempuan. Perempuan memiliki 39% reseptor mood lebih banyak dibanding
laki-laki yang mengakibatkan perempuan lebih cenderung untuk mengalami emotional eating

75
dibanding laki-laki. Hal tersebut mendukung pernyataan Hamilton dan Fagot (Lestarianita dan
Fakhrurrozi, 2007) mengemukakan bahwa jenis kelamin laki-laki cenderung menggunakan
problem focused coping dibanding jenis kelamin perempuan yang cenderung menggunakan
emotional focused coping.
Budaya menuntun individu dalam bertingkah laku, menentukan apa yang akan dimakan,
bagaimana pengolahan, persiapan, penyajian makanan. Budaya memengaruhi individu dalam
bisa ataupun tidak mengonsumsi sesuatu makan serta bagaimana makanan itu dikonsumsi
(Sulistyoningsih, 2011). Gibney, Margetts, Kaerney dan Arab (2009) mengemukakan jika
akibat lingkungan sosial seperti media serta iklan tingkatkan wawasan akan merk dagang
produk makanan, memunculkan tindakan serta tindakan orang kepada makanan.
Kepribadian memengaruhi kesehatan individu secara tidak langsung dan bagaimana
individu berperilaku (King, 2010). Penelitian Hong (2013) menjelaskan ada ikatan positif
antara tingkat trait conscientiousness, sikap, serta perilaku makan sehat pada mahasiswa.
Perihal itu membuktikan jika orang dengan tingkatan pemahaman yang tinggi mengarah
mempunyai perilaku makan yang sehat serta tindakan dari orang dengan tingkatan pemahaman
yang kecil, terlepas dari lingkungan sekitar. Penelitian Elfhag dan Morey (2007)
mengungkapkan bahwa individu yang memiliki disiplin diri yang rendah cenderung memiliki
impuls dan kontrol diri yang buruk dalam menanggapi rangsangan makanan sedangkan upaya
untuk mengontrol asupan makanan dan berat badan terlihat pada individu yang ambisi dan gaya
kepribadian yang lebih terbuka dengan emosi yang lebih stabil.
Freeman dan Gil (2003) mengemukakan bahwa wanita yang makan berlebihan menganggap
stresor yang dialami lebih intens dibanding dan mengganggu secara emosional dibanding
wanita yang tidak makan secara berlebihan. Wanita mendapat skor lebih tinggi pada gangguan
gejala makan dan menghindari masalah dengan cara coping yang berorientasi pada emosi. Stres
psikologis ditambah dengan coping yang menghindar akan meningkatkan kemungkinan makan
yang berlebihan pada wanita.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
hubungan antara coping stress dan perilaku makan pada usia dewasa awal yang sedang
mengalami stres. Adapun saran berdasarkan hasil penelitian yang telah ditemukan adalah
sebagai berikut: dari hasil penelitian ditemukan bahwa perempuan lebih banyak mengalami
emotional eating jika menghadapi stresor, sehingga memengaruhi perilaku makannya. Hal
tersebut akan berdampak pada kesehatan diri pada fisiologis individu dalam menjalani
76
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, disarankan agar lebih memperhatikan perilaku makan
dengan baik.
Saran bagi peneliti selanjutnya untuk memasangkan variabel perilaku makan dengan
variabel lain untuk melihat faktor lain yang lebih berpengaruh, seperti jenis kelamin, intensitas
stressor, kepribadian dan sosial budaya. Saran selanjutnya yaitu disarankan untuk meneliti
dengan menggunakan metode lain, seperti metode kualitatif atau eksperimen untuk mengetahui
lebih dalam mengenai variabel coping stress dan variabel perilaku makan

REFERENSI

Elfhag, K., & Morey, L. C. (2007). Personality traits and eating behavior in the obese: Poor
self-control in emotional and external eating but personality assets in restrained eating.
Journal of Eating Behaviors, 9 (2008) 285–293. doi:10.1016/j.eatbeh.2007.10.003
Fassah, D. R., & Retnowati, S. (2014). Hubungan antara emotional distress dengan perilaku
makan tidak sehat ada mahasiswa baru. Jurnal psikologi, 10(1), 11-17.
Freeman, L. M., & Gil, K. M. (2004). Daily Stress, Coping, and Dietary Restraint in Binge
Eating. Journal Wiley Periodicals, Inc., 36, 204–212. DOI: 10.1002/eat.20012
Gahagan, S. (2012). The development of eating behavior-biology context. J Dev Behav Pediatr;
33(3), 261-271. doi:10.1097/DBP.0b013e31824a7baa.
Gibney MJ, Margetts BM, Kaerney JM, Arab L (2009). Gizi kesehatan masyarakat. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Grunert K. G. & Wills, J. M. (2007). A review of European research on consumer response to
nutrition information on food labels. Journal Public Health, 15:385–399. DOI
10.1007/s10389-007-0101-9
Gryzela, E., & Ariana, A. D. (2021). Hubungan antara stress dengan emotional eating pada
mahasiswa perempuan yang sedang mengerjakan skripsi. Buletin Penelitian Psikologi
dan Kesehatan Mental, 1(1), 18-26
Hong, R. Y. (2013). From dispositional traits to psychopathological symptops: Social cognitive
vulnerabilities as interventing mechanism. Journal of psychopathology and behavioural
assessment, 35(4), 407-420.
Hurlock,E.B. (1993). Psikologi Perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang
kehidupan (edisi kelima). Jakarta: Erlangga
Johnstone, A. (2018). Bagaimana usia memengaruhi selera makan Anda. BBC Future. Di akses
pada tanggal 16 Juli 2020 https://www.bbc.com/indonesia/vert-fut-44755549.
King, L. (2010). Psikologi umum. Jakarta: Salemba Humanika.
Lazarus, R.S & Folkman, S. (1984). Stress appraisal and coping. New york: Springer
Publishing Company Inc.
Lestarianita, P., & Fakhrurrozi, M. (2007). Pengatasan stress pada perawat pria dan wanita.
Psikologi, 47-51.
Macht, M. (2007). How emotions affect eating: A five-way model. Appetite, 50 (2007), 1-11.
doi:10.1016/j.appet.2007.07.002
Monks, F. J., Knoers, A. M. P., & Haditono, S. R. (2001), Psikologi perkembangan. Pengantar
dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: UGM Press
Notoatmodjo, S. (2007). Promosi kesehatan & ilmu perilaku. Aceh: Rineka Cipta.

77
Park, C. L. & Armeli, S. (2004). Appraisal-Coping Goodness of Fit: A Daily Internet Study.
Personality and Social Psychology Bulletin, 30(5), 558-569. DOI:
10.1177/0146167203262855
Pettit, M. L., Jacobs, S. C., Page, K. S., & Porras, C. V. (2010). An assessment of perceived
emotional intelligence and eating attitudes among college students. American Journal of
Health Education, 41(1), 46-85.
Purwaningrum, N.F. (2008). Skripsi Hubungan antara citra raga dengan perilaku makan pada
remaja putri. Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Putri, H. R. (2015). Perbedaan Tingkat Emotional Eating antara Laki-Laki dan Perempuan pada
Emerging Adults di Jakarta. Skripsi. http://eprints.binus.ac.id/id/eprint/33060.
Snooks, M.K. (2009). Health psychology: biological, psychological, and socialcultural
perspective. London: Jones and Bartlett diakses pada tanggal 12 Februari 2020 dari
www.jblearning.com
Sulistyoningsih, H. (2011). Gizi untuk kesehatan ibu dan anak. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Syahlani, A., Mochdari., & Brawijawa, M. D. S. (2015). Relationship between life style with
the degree of hypertension at public health center Pekauman Banjarmasin. Dinamika
Kesehatan, 6(1), 6-14. ISSN : 2086-3454
Van Strien, T., Frijters, J.E.R., Bergers, G.P.A., & Deares, P.B. (1986). The dutch eating
behavior questionnaire (DEBQ) for assessment of restrained, emotional and external
eating behavior. International Journal Eating Disorder, 5, 295-315.

78

Anda mungkin juga menyukai