Anda di halaman 1dari 62

SKRIPSI

PENGARUH VARIASI MASA PENGOBATAN OBAT ANTI


TUBERKULOSIS (OAT) TERHADAP BILLIRUBIN DALAM
URINE PENDERITA TUBERKULOSIS METODE CARIK
CELUP

OLEH :

RISKA NOVITASARI
NIM.P07134115045

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MATARAM
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
PROGRAM STUDI D-IV
MATARAM
2019
PERSETUJUAN
SKRIPSI

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program


Pendidikan Diploma IV (D. IV) Kesehatan Jurusan Analis Kesehatan
Tahun Akademik 2018/2019

Oleh :

RISKA NOVITASARI
P07134115045

Mataram, Mei 2019

Mengetahui,

Pembimbing I Pembimbing II

Maruni Wiwin Diarti,S.Si.,M.Kes. Drs. Urip, M.Kes

NIP.19794011519940120001 NIP. 196412311991031046

ii
PENGESAHAN

Dipertahankan di depan Tim Penguji Skripsi Politeknik Kesehatan


Kemenkes Mataram Jurusan Analis Kesehatan
dan Diterima untuk Menyelesaikan Program Pendidikan
Diploma IV (D. IV) Kesehatan Jurusan Analis Kesehatan
Tahun Akademik 2018/2019

Mengesahkan:
Ketua Jurusan Analis Kesehatan
Politeknik Kesehatan Mataram Kemenkes RI

Zainal Fikri,SKM.,M.Sc
NIP. 197512311994021001

1. Maruni Wiwin Diarti,S.Si.,M.Kes.


Penguji I (___________________)

2. Drs. Urip, M.Kes.


Penguji II (___________________)

3. Erlin Yustin Tatontos,SKM.,M.Kes.


Penguji Independent (___________________)

Tanggal Lulus : Mei 2019

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
segala karunia, rahmat dan bimbingan-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Variasi Masa Pengobatan
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terhadap Billirubin dalam Urine Penderita
Tuberkulosis Metode Carik Celup” tepat pada waktunya. Dalam penulisan
skripsi ini, penulis banyak mendapat bimbingan, saran, dorongan serta
bantuan baik moril maupun materil dari berbagai pihak, maka dalam
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes Mataram.
2. Ketua Jurusan Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan Kemenkes
Mataram.
3. Ketua Program Studi Diploma IV Jurusan Analis Kesehatan Politeknik
Kesehatan Kemenkes Mataram.
4. Ibu Maruni Wiwin Diarti, S.Si.,M.Kes. selaku pembimbing utama yang
telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga
proposal skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
5. Bapak Drs. Urip, M.Kes. selaku pembimbing pendamping yang juga
telah banyak memberikan bimbingan dan masukan terhadap penulisan
proposal skripsi ini.
6. Kedua orang tua dan semua saudara yang sudah bersusah payah
mendukung penulis serta selalu memberikan motivasi tiada hentinya.
7. Teman-teman yang telah banyak membantu dan memberikan
semangat dalam penyusunan dan penyelsaian skripsi ini.
8. Semua pihak terutama pihak Puskesmas Ampenan yang telah
membantu dalam melakukan penelitian, penyusunan dan penyelesaian
skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, oleh
karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan untuk perbaikan selanjutnya.

iv
Demikian, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah
wawasan bagi penulis dan para pembaca pada umumnya.

Mataram, Mei 2019

Penulis

v
ABSTRAK

RISKA NOVITASARI. Pengaruh Variasi Masa Pengobatan Obat Anti


Tuberkulosis (OAT) terhadap Billirubin dalam Urine Penderita
Tuberkulosis Metode Carik Celup (Di bawah bimbingan Maruni Wiwin
Diarti,S.Si.,M.Kes dan Drs. Urip, M.Kes )

Latar Belakang: Pengobatan Tuberkulosis menggunakan Obat Anti


Tuberkulosis (OAT) memilik efek hepatoksik yang dapat mengakibatkan
gangguan fungsi hati, salah satunya billirubin. Pemeriksaan billirubin
dapat menggunakan darah dan urine. Pemeriksaan billirubin secara
kualitatif dan semi kuantitatif dalam urine dengan reaksi diazo dengan
metode dipstick atau carik celup banyak dipakai karena penggunaannya
cepat, lebih praktis dan lebih sensitif.
Tujuan: Untuk mengetahui adanya pengaruh variasi masa pengobatan
obat anti tuberkulosis (oat) terhadap billirubin dalam urine penderita
tuberkulosis
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian Observasional Analitik.
Sampel dalam penelitian ini berjumlah 20 orang dalam masa pengobatan
awal dan lanjutan. Sampel urin pada penderita tuberkulosis diperiksa
kadar billirubin urine menggunakan metode carik celup.
Hasil: Kadar billirubin dalam urine secara kualitatif pada tahap awal yang
memiliki nilai positif yaitu 5 dari 9 pasien tuberkulosis (56%) dengan kadar
positif 1 (+1) secara semi kuantitatif. Kadar billirubin dalam urine secara
kualitatif pada tahap lanjutan yang memiliki nilai positif yaitu 1 dari 11
pasien tuberkulosis (9%) dengan kadar positif 1 (+1) secara semi
kuantitatif. Hasil uji Chi Square billirubin dalam urine secara kualitatif dan
semi kuantitatif menunjukkan nilai p = 0,024 < α = 0,05.
Kesimpulan: Variasi masa pengobatan obat anti tuberkulosis (oat)
berpengaruh terhadap billirubin dalam urine penderita tuberkulosis.

Kata Kunci : Billirubin Urin, Carik Celup, Obat Anti Tuberkulosis


(OAT), Penderita Tuberkulosis

vi
ABSTRACT

RISKA NOVITASARI. Treatment Period Effect of Anti-Tuberculosis Drugs


(OAT) on Bilirubin in Urine Tuberculosis Patients Dipstick Method (Under
the guidance of Maruni Wiwin Diarti, S.Si., M.Kes and Drs. Urip, M.Kes)

Background: Treatment of tuberculosis using anti-tuberculosis drugs


(OAT) has a hepatoxic effect that can cause liver dysfunction, one of
which is billirubin. Check billirubin using blood and urine. Qualitatively and
semi-quantitative billirubin examination in urine with diazo reaction using
dipstick method is widely used because its use is fast, more practical and
more sensitive.

Purpose Of Research: To determine the influence of variations in the


period of anti-tuberculosis (OAT) medication treatment on billirubin in the
urine of tuberculosis patients.

Research Method: This study is a study Analytical Observational. The


sample in this study amounted to 20 people during the initial and
advanced treatment period. Urine samples in tuberculosis patients were
examined for urine billirubin levels using the dipstick method.

Research Result: Qualitatively, the level of billirubin in urine in the initial


stage has a positive value of 5 out of 9 tuberculosis patients (56%) with a
positive level of 1 (+1) semi-quantitative. Qualitatively, the level of billirubin
in urine in the advanced stage has a positive value of 1 out of 11
tuberculosis patients (9%) with a positive level of 1 (+1) semi-quantitative.
The results of the Chi Square billirubin test in urine qualitatively and semi-
quantitatively show the value of p = 0.024 <α = 0.05.

Conclusion: There is an influence of variations in the period of anti-


tuberculosis (OAT) drug treatment on billirubin in the urine of tuberculosis
patients.

Keywords: Anti Tuberculosis Drug (OAT), Dipstick Method,


Tuberculosis Patients, Urine Billirubin

vii
DAFTAR ISI

BAB Halaman
HALAMAN JUDUL ...

i
LEMBAR PERSETUJUAN..........................................................................ii

LEMBAR PENGESAHAN...........................................................................iii

KATA PENGANTAR...................................................................................iv

ABSTRAK...................................................................................................vi

DAFTAR ISI................................................................................................vii

DAFTAR TABEL.........................................................................................xi

DAFTAR GAMBAR....................................................................................xii

DAFTAR LAMPIRAN................................................................................xiii

DAFTAR SINGKATAN..............................................................................xiv

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1

A. Latar Belakang..................................................................................1

B. Perumusan Masalah.........................................................................5

C. Tujuan Penelitian...............................................................................5

1. Tujuan Umum................................................................................5

2. Tujuan Khusus..............................................................................5

D. Hipotesis............................................................................................6

E. Manfaat Penelitian.............................................................................6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................8

A. Kerangka Teoritis..............................................................................8

1. Tuberkulosis..................................................................................8

2. Pengobatan Tuberkulosis...........................................................14

viii
3. Billirubin.......................................................................................22

4. Pemeriksaan Biliirubin Urine Metode Carik Celup......................31

a. Pemeriksaan Urine Metode Carik Celup....................................31

B. Kerangka Konsep............................................................................34

BAB III METODE PENELITIAN................................................................35

A. Tempat dan Waktu Penelitian.........................................................35

1. Tempat Penelitian.......................................................................35

2. Waktu Penelitian.........................................................................35

B. Rancangan Penelitian.....................................................................35

C. Populasi...........................................................................................36

D. Sampel.............................................................................................36

E. Besar Sampel..................................................................................36

F. Cara Pengambilan Sampel.............................................................37

F. Variabel Penelitian...........................................................................38

G. Definisi Operasional........................................................................38

H. Jenis Data dan Skala Data..............................................................39

I. Alur Penelitian.................................................................................40

J. Cara Pengumpulan Data.................................................................41

1. Alat dan Bahan Penelitian...........................................................41

2. Prosedur Pengambilan Sampel Urine........................................41

3. Prosedur Pemeriksaan Billirubin Urine dengan Menggunakan


Metode Carik Celup.........................................................................43

K. Cara Pengolahan Data dan Analisis Data.......................................43

1. Cara Pengolahan Data................................................................43

2. Analisis Data...............................................................................44

BAB IV HASIL PENELITIAN…………………………………………………46

ix
A. Gambaran Umum Penelitian………………………………………….46
B. Hasil Pemeriksaan Billirubin Urine Pengobatan Tahap Awal……..47
C. Hasil Pemeriksaan Billirubin Urine Pengobatan Tahap Lanjutan…
48
D. Hasil Uji Statistik……………………………………………………….49
BAB V PEMBAHASAN……………………………………………………….51
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………….57
A. Kesimpulan…………………………………………………………….57
B. Saran……………………………………………………………………57
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..59
LAMPIRAN……………………………………………………………………..61

x
DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman


1. Tabel 2.1 Dosis Panduan OAT KDT Kategori 1 ……………………. 16
2. Tabel 2.2 Dosis Panduan OAT KDT Kategori 2 ……………………. 17
3. Tabel 2.3 Perbedaan Billirubin Indirect dan Billirubin
Direct………………………………………………………... 25

4. Tabel 3.1 Hasil Pemeriksaan Gambaran Billirubin Urine Secara


Kualitatif dan Semi Kuantitatif Metode Carik
Celup………………………………….................................
44
.
5 Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Billirubin Urine secara Kualitatif dan
Semi Kulitatif Pada Penderita Tuberkulosis dalam Masa
Pengobatan Tahap Awal ………………………………… 47

6 Tabel 4.2 Hasil Pemeriksaan Billirubin Urine secara Kualitatif


dan Semi Kulitatif Pada Penderita Tuberkulosis dalam
Masa Pengobatan Tahap Lanjutan………………………
48

7 Tabel 4.3 Uji Chi-Square Hasil Pemeriksaan Billirubin Urine


Secara Kualitatif ………………………..........................
49

8 Tabel 4.4 Uji Chi-Square Hasil Pemeriksaan Billirubin Urine 49


Secara Semi Kuantitatif………………………................

xi
DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman


1 Gambar 2.1 Alur Diagnosis Tuberkulosis………………………….. 14
2 Gambar 2.2 Alur pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
…………………………………………………… 17
3 Gambar 2.3 Metabolisme Billirubin…………………………………. 26
4 Gambar 2.4 Carik Celup…………………………………………….. 32
5 Gambar 2.5 Standar warna yang terdapat pada label wadah
carik celup………………………………………………
32
6 Gambar 3.1 Indikator hasil pemeriksaan billrubin urine pada
43
carik celup……………………………………………

xii
DAFTAR LAMPIRAN

No. Teks Halaman

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian………………………………………… 59


Lampiran 2 Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)…… 62
Lampiran 3 Hasil Pemeriksaan Billirubin Urine Secara Kualitatif dan
Semi Kuantitatif Metode Carik Celup……………………… 65
Lampiran 4 Hasil Uji Statistik Mann-Whitney……………………………
66
Lampiran 5 Dokumentasi…………………………………………………. 67

xiii
DAFTAR SINGKATAN

BTA : Bakteri Tahan Asam


KDT : Kombinasi Dosis Tetap
Kg : Kilogram
mg : Miligram
OAT : Obat Anti Tuberkulosis
PMO : Pengawas Minum Obat
SGOT : Serum Glutamic Oxaloacetat Transaminase
SGPT : Serum Glutamic Pyruvat Transaminase
SP : Sewaktu Pagi
SSP : Sistem Saraf Pusat
TBC/TB : Tuberkulosis
WHO : World Health Organization

xiv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberkulosis yang juga dikenal dengan singkatan TBC adalah

penyakit infeksi pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh

bakteri Mycobacterium Tuberculosis. Bakteri ini merupakan bakteri

basil yang sangat kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk

mengobati Tuberkulosis (TBC). Bakteri ini lebih sering menginfeksi

organ paru-paru (90%) dibandingkan bagian lain tubuh manusia.

(Dikes NTB, 2016) ini pun cukup tinggi (Dikes Provinsi NTB, 2016).

Dalam Global Tuberculosis Report WHO 2017, pada tahun 2017

terdapat 10,4 juta insiden Tuberkulosis (TBC) yang setara dengan 120

kasus per 100.000 penduduk. Sebagian besar estimasi insiden

Tuberkulosis (TBC) pada tahun 2017 terjadi di kawasan Asia

Tenggara (45%) dimana Indonesia merupakan salah satu di dalamnya

(WHO, 2017).

Jumlah seluruh pasien Tuberkulosis (TBC) di Provinsi Nusa

Tenggara Barat (NTB) mencapai 6.644 orang, dengan 4.149 orang

merupakan kasus Tuberkulosis baru positif BTA (BTA+). Apabila

dibandingkan dengan tahun 2016, maka kasus Tuberkulosis pada

tahun 2017 mengalami peningkatan sebesar 14,04% (Dikes NTB,

2016).

1
2

Angka kematian selama pengobatan yang ditimbulkan akibat

Tuberkulosis paru pada tahun 2017 mengalami peningkatan

dibandingkan tahun 2016, yakni dari 8 per 100.000 penduduk tahun

2016 menjadi 9 per 100.000 penduduk tahun 2017. Oleh karena itu,

program penanggulangan Tuberkulosis sangat perlu untuk

memperhatikan jumlah pasien dengan hasil pengobatan lengkap,

meninggal, gagal, default dan pindah (Dikes NTB, 2016)(Dikes

Provinsi NTB, 2016).

Pengobatan Tuberkulosis menggunakan Obat Anti Tuberkulosis

(OAT) diberikan secara oral dan intramuskular. Obat Anti Tuberkulosis

(OAT) yang diberikan secara oral terdiri dari Isoniazid (INH),

Rifampisin (R), Pirazinamid (PZA), dan Etambutol (E). OAT yang

diberikan secara Intramuskular adalah Streptomisin (S). Obat

Tuberkulosis oral diberikan selama 6-9 bulan. Pengobatan yang cukup

lama ini sering memberikan efek samping obat yang harus

diperhatikan bagi pasien yang menjalani pengobatan anti

Tuberkulosis. (Nursidika et al., 2017)Salah satu efek samping

pengobatan anti Tuberkulosis yaitu efek hepatoksik yang dapat

mengakibatkan gangguan hati (Nursidika et al., 2017).

Pengobatan anti Tuberkulosis yang memiliki efek hepatotoksik

adalah Isoniazid (INH), Pirazinamid (PZA), dan Rifampisin (Prihatni,

dkk, 2012). Isoniazid dimetabolisme di hati menghasilkan senyawa

diasetilhidrazi. Pirazinamid dapat mengubah tahap enzim nikotinamid

asetil dehidrogenase. Kedua senyawa obat ini dapat menghasilkan


3

senyawa radikal bebas yang dapat merusak sel-sel hepatosit.

Sedangkan Rifampisin dapat mengganggu transportasi billirubin yang

menyebabkan hiperbillirubinemia yang terkonjugasi kemudian

merusak sel-sel hepatosit. Kerusakan sel-sel hepatosit mengakibatkan

gangguan fungsi hati (Nursidika et al., 2017)(Nursidika et al., 2017).

Gangguan fungsi hati ditandai dengan meningkatnya enzim-

enzim hati dan billirubin didalam darah. Test Laboratorium untuk

menilai fungsi hati adalah dengan pemeriksaan Gamma GT, Alkali

Phospatase (ALP), Lactate Dehydrogenase (LDH), Serum Glutamic

Oxaloacetat Transaminase (SGOT), Serum Glutamic Pyruvat

Transaminase (SGPT), dan billirubin (Nursidika et al., 2017)(Nursidika

et al., 2017).

Berdasarkan hasil penelitian Liviana G. Pontoh, dkk. Mengenai

gambaran kadar billirubin darah pasien Tuberkulosis paru selama

pengobatan di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari

2012 – Desember 2014 ditemukan sebesar (47%) terjadi peningkatan

kadar billirubin total, ditemukan sebanyak (56%) terjadi peningkatan

kadar billirubin direct dan kadar billirubin indirect ditemukan normal

pada (91%) pada pasien Tuberkulosis paru selama pengobatan di

RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari 2012 –

Desember 2014 (Pontoh, Polii and Gosal, 2016).

Billirubin adalah pigmen kuning yang berasal dari perombakan

heme dari hemoglobin dalam proses pemecahan eritrosit oleh sel

retikuloendotel. Sel retikuloendotel membuat billirubin tidak larut


4

dalam air, billirubin yang disekresikan dalam darah harus diikatkan

albumin untuk diangkut dalam plasma menuju hati. Meningkatnya

billirubin didalam darah yang disebabkan karena efek hepatoksik dari

pengobatan obat anti Tuberkulosis ini menyebabkan billirubin tidak

terikat dengan albumin, sehingga mudah difiltrasi oleh glomerulus dan

dieksresikan ke dalam urine (Azma, 2016).

Pemeriksaan billirubin selain menggunakan bahan pemeriksaan

berupa serum, dapat juga menggunakan urine. Pemeriksaan billirubin

dalam urine dapat dilakukan dengan menggunakan reaksi diazo

(dengan tablet atau dipstick), atau uji Fouchet (Harison spot test)

dengan feri klorida asam (FeCl 2). Pemeriksaan billirubin dalam urine

dengan reaksi diazo banyak dipakai karena penggunaannya cepat,

lebih praktis dan lebih sensitif. Pemeriksaan dengan menggunakan

reaksi diazo ini lebih dikenal dengan metode dipstick atau carik celup

(Tristyanto, 2015).

Pemeriksaan urine menggunakan metode carik celup merupakan

alat diagnostik dasar yang digunakan untuk menentukan patologis

dalam urin pada urinalisis standar. Pemeriksaan billirubin dalam urine

dengan metode carik celup dapat memberikan hasil pemeriksaan

billirubin secara kualitatif dan semi kuantitatif (Tristyanto, 2015).

Derajat perubahan warna yang terbentuk dari reaksi diazo pada

pemeriksaan billirubine dalam urine metode carik celup menjadi

ukuran kualitatif dan semi kuantitatif pada billirubin urin. Hasil

pemeriksaan secara kualitatif merupakan pemeriksaan untuk


5

mengidentifikasi keberadaan billirubin dalam urine sedangkan hasil

pemeriksaan secara semi kuantitatif merupakan pemeriksaan untuk

memperkirakan hasil dalam bentuk jumlah (Gandasoebrata R, 2007).

Data mengenai gambaran billirubin urine secara kualitatif dan

semi kuantitatif pada penderita Tuberkulosis yang sedang menjalani

pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dalam beberapa variasi

masa pengobatan belum pernah dilaporkan, sedangkan secara teori

bahwa Obat Anti Tuberkulosis (OAT) termasuk obat yang toksik bagi

hepar apalagi digunakan dalam jangka waktu yang panjang. Untuk

mendapatkan gambaran billirubin urine seara kualitatif dan semi

kuantitatif maka perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh variasi

masa pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terhadap billirubin

dalam urine penderita Tuberkulosis metode carik celup.

B. Perumusan Masalah

Apakah variasi masa pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

berpengaruh terhadap billirubin dalam urine pasien Tuberkulosis

metode carik celup?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh variasi masa pengobatan Obat

Anti Tuberkulosis (OAT) terhadap billirubin dalam urine pasien

Tuberkulosis menggunakan metode carik celup.


6

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi billirubin dalam urine secara kualitatif dan

semi kuantitatif pada pasien Tuberkulosis yang sedang

menjalani masa pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

tahap awal (intensif) menggunakan metode carik celup.

b. Mengidentifikasi billirubin dalam urine secara kualitatif dan

semi kuantitatif pada pasien Tuberkulosis yang sedang

menjalani masa pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

tahap lanjutan menggunakan metode carik celup.

c. Menganalisis pengaruh variasi masa pengobatan Obat Anti

Tuberkulosis (OAT) terhadap billirubin dalam urine secara

kualitatif dan semi kuantitatif pada pasien Tuberkulosis

menggunakan metode carik celup.

D. Hipotesis

Ada pengaruh masa pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

terhadap billirubin dalam urine penderita Tuberkulosis metode carik

celup.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Hasil ini diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan,

wawasan, serta pengalaman mengenai pengaruh variasi masa

pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terhadap billirubin

dalam urine pasien Tuberkulosis metode carik celup.

2. Bagi Masyarakat
7

Memberikan tambahan informasi tentang efek

hepatotoksisitas pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

terhadap resiko terjadinya gangguan fungsi hati yang sangat

merugikan.

3. Bagi Peneliti Lain

Diharapkan dengan adanya hasil penelitian ini, dapat

dilakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan efek pengobatan

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) pada organ yang lain.


2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teoritis

1. Tuberkulosis

a. Definisi Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang disebabkan

oleh bakteri Mycobacterium Tuberkulosis. Tuberkulosis paru

(Tb paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama

menyerang penyakit parenkim paru.

Nama Tuberkulosis berasal dari tuberkel yang berarti

tonjolan kecil dan keras yang terbentuk waktu sistem

kekebalan membangun tembok mengelilingi bakteri dalam

paru. Tuberkulosis sendiri, selain dapat menginfeksi paru

tetapi dapat juga menginfeksi organ lainnya. Mycobacterium

Tuberculosis ditularkan melalui percikan dahak (droplet) dari

penderita Tuberkulosis kepada individu yang rentan (Pontoh,

Polii and Gosal, 2016).

b. Klasifikasi Tuberkulosis

Ada beberapa klasifikasi Tuberkulosis paru menurut

Depkes (2014) yaitu:

1) Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena :

8
9

a) Tuberkulosis paru

Tuberkulosis paru adalah Tuberkulosis yang

menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk

pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

b) Tuberkulosis ekstra paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain

selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput

jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang,

persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat

kelamin, dan lain-lain.

2) Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak

mikroskopis, yaitu pada Tuberculosis paru :

a) Tuberkulosis paru BTA positif

(1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak

Sewaktu Pagi (SP) hasilnya BTA positif.

(2) 1 spesimen dahak Sewaktu Pagi (SP) hasilnya

BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan

gambaran Tuberkulosis.

(3) 1 spesimen dahak Sewaktu Pagi (SP) hasilnya

BTA positif dan biakan kuman Tuberkulosis positif.

(4) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif

setelah 3 spesimen dahak Sewaktu Pagi (SP)

pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA


10

negatif dan tidak ada perbaikan setelah

pemberian antibiotika non OAT.

b) Tuberkulosis paru BTA negatif

Kriteria diagnostik Tuberkulosis paru BTA negatif

harus meliputi :

(1) Paling tidak 3 spesimen dahak Sewaktu Pagi (SP)

hasilnya BTA negatif.

(2) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran

Tuberkulosis.

(3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika

non OAT.

(4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk

diberi pengobatan.

3) Klasifikasi berdasarkan tipe pasien ditentukan

berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada

beberapa tipe pasien yaitu :

a) Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati

dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang

dari satu bulan (4 minggu).

b) Kasus kambuh (relaps)

Adalah pasien Tuberkulosis yang sebelumnya

pernah mendapat pengobatan Tuberkulosis dan telah

dinyatakan sembuh tetapi kambuh lagi.


11

c) Kasus setelah putus berobat (default)

Adalah pasien yang telah berobat dan putus

berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

d) Kasus setelah gagal (failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahak

tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan

kelima atau lebih selama pengobatan.

e) Kasus lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi

ketentuan diatas, dalam kelompok ini termasuk kasus

kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih

BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

(Depkes, 2014)

c. Gejala Klinis

1) Gejala sistemik/umum

a) Penurunan nafsu makan dan berat badan.

b) Perasaan tidak enak (malaise), lemah.

c) Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama,

biasanya dirasakan malam hari disertai keringat

malam.

d) Kadang-kadang serangan demam seperti influenza

dan bersifat hilang timbul.

2) Gejala khusus
12

a) Bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran

yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan

kelenjar getah bening yang membesar, akan

menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah

yang disertai sesak.

b) Jika ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-

paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada.

d. Diagnosis Tuberkulosis Paru

1) Foto thorax

Pemeriksaan radiologi (foto thorax) untuk

menegakkan diagnosa Tuberkulosis paru dilakukan bila

pemeriksaan sputum hampir selalu negatif. Lesi

Tuberkulosis umumnya berada di apeks paru, tetapi dapat

juga pada lobus bawah bagian inferior atau di daerah

hilus. Gambaran radiologik berupa bercak-bercak seperti

awan dan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi telah

diliputi jaringan ikat maka bayangan akan terlihat berupa

bulatan dengan batas yang tegas disebut tuberkuloma

(Suganda and Majdawati, 2013)

2) Mikroskopi

Pemeriksaan sputum sangat penting untuk diagnosis

Tuberkulosis yaitu dengan ditemukannya Basil Tahan

Asam (BTA). Pemeriksaan secara mikroskopi dilakukan 3

kali dengan menggunakan sputum sewaktu-pagi-sewaktu.


13

Untuk menemukan BTA, pembuatan apusan

dilakukan dengan pewarnaan tahan asam dengan metode

Ziehl-Neelsen. Pembacaan hasil pemeriksaan sediaan

sputum untuk BTA dilakukan dengan skala International

Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD),

yakni

a) BTA (-) : BTA tidak ditemukan (0/100 LP)

b) Scanty : 1-9/100 LP

c) + : 10-99/100 LP

d) ++ : 1-10/LP

e) +++ : >10/LP (periksa minimal 20 LP)

(Pantekosta, 2013)

3) Kultur media padat

Secara tradisional, kultur Mycobacterial dilakukan

pada media padat, biasanya menggunakan media

Lowenstein-Jensen. Kultur memiliki sensitivitas yang tinggi

dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopi dengan

kemampuan mendeksi 102 basil per milliliter, meskipun

membutuhkan waktu 4-6 minggu (Widhiasnasir, 2017).

Dalam upaya pengendalian Tuberkulosis secara

nasional, maka diagnosis Tuberkulosis paru pada orang

dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan dengan

pemeriksaan bakteriologis. Apabila pemeriksaan secara

bakteriologis diperoleh hasil negatif, maka penegakan


14

diagnosis Tuberkulosis dapat dilakukan secara klinis

menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan foto thorax

(Ermanta, Abidin and Jamaluddin, 2001). Alur diagnosis

Tuberkulosis di laboratorium dapat dilihat pada Gambar

2.1.

Gambar 2.1 Alur Diagnosis Tuberkulosis (Kemenkes RI, 2014)

2. Pengobatan Tuberkulosis

a. Tujuan pengobatan

Tujuan pengobatan Tuberkulosis adalah sebagai berikut:

1) Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas

serta kualitas hidup.

2) Mencegah terjadinya kematian oleh karena Tuberkulosis

atau dampak buruk selanjutnya.

3) Mencegah terjadinya kekambuhan Tuberkulosis.

4) Menurunkan penularan Tuberkulosis.

5) Mencegah terjadinya dan penularan Tuberkulosis resisten

obat.

(Kemenkes RI, 2014)


15

b. Prinsip pengobatan

Menurut Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis

Tahun 2014, pengobatan yang adekuat harus memenuhi

prinsip :

1) Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang

tepat mengandung 4 macam obat untuk mencegah

terjadinya resistensi.

2) Diberikan dalam dosis tepat.

3) Ditelan secara teratur dan diawasi langsung oleh

pengawas minum obat (PMO) sampai selesai

pengobatan.

4) Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup

terbagi dalam tahap awal serta tahap lanjutan untuk

mencegah kekambuhan.

c. Tahapan pengobatan

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pengobatan

Tuberkulosis terbagi menjadi tahap awal dan tahap lanjutan.

Pada tahap awal, pengobatan diberikan setiap hari selama 2

bulan agar secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada

dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari

sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak

sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Sedangkan, tahap

lanjutan bertujuan untuk membunuh sisa kuman yang masih


16

ada dalam tubuh sehingga dapat sembuh dan mencegah

terjadinya kekambuhan (Kemenkes RI, 2014).

d. Paduan OAT

OAT yang digunakan oleh Program Nasional

Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah :

1) Kategori 1

Pasien Tuberkulosis paru dengan BTA positif dan

merupakan kasus baru. Pengobatan tahap awal terdiri

atas Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z),

Etambutol (E) masing-masing 2 tablet diberian setiap hari

selama 2 bulan. Tahap lanjutan diberikan 4(HR)3E3.

Panduan dosis OAT KDT kategori 1 dapat dilihat pada

Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Dosis Panduan OAT KDT Kategori 1

Berat Badan Tahap Awal tiap hari Tahap Lanjutan 3


selama 56 hari HRZE kali seminggu
(150/75/400/275) selama 16 minggu
RH (150/150)

30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

≥71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

2) Kategori 2

Diberikan pada pasien kambuh, gagal terapi atau

diobati kembali setelah putus berobat. Tahap awal

diberikan 2 (HRZE) Streptomisin (S) atau HRZE, dimana


17

HRZE diberian setiap hari selama 3 bulan dan S diberikan

hanya 2 bulan pertama. Bila sputum BTA masih positif

maka tahap awal dengan HRZE diteruskan lagi selama 1

bulan. Tahap lanjutan diberikan 5(HR)3E3. Panduan dosis

OAT KDT kategori 2 dapat dilihat pada Table 2.2

Tabel 2.2 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2

Berat Tahap Awal tiap hari HRZE Tahap Lanjutan 3 kali


Badan (150/75/400/275) + S seminggu selama 16
Selama 56 Hari Selama 28 minggu RH (150/150)
Hari
30-37 2 tablet 4KDT + 500 2 tablet 2 tablet 2KDT + 2 tablet
kg mg Streptomisin inj. 4KDT Etambutol
38-54 3 tablet 4KDT + 750 3 tablet 3 tablet 2KDT + 3 tablet
kg mg Streptomisin inj. 4KDT Etambutol
55-70 4 tablet 4KDT + 4 tablet 4 tablet 2KDT + 4 tablet
kg 1000 mg 4KDT Etambutol
Streptomisin inj.
≥71 kg 5 tablet 4KDT + 5 tablet 5 tablet 2KDT + 25 tablet
1000 mg 4KDT Etambutol
Streptomisin inj. (>dosis
maks)

e. Alur Pengobatan

Alur pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dapat

dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Alur pengobatan OAT (Obat Anti Tuberkulosis)


(Depkes, 2014)
f. Obat-obat Anti Tuberkulosis serta Efek Samping Obat
18

1) Obat-obat primer

Obat-obat ini paling efektif dan paling rendah

toksisitasnya tetapi, menimbulkan resistensi dengan

cepat bila di gunakan sebagai obat tunggal. Oleh karena

itu, terapi selalu di lakukan dengan kombinasi dari 2-4

macam obat, untuk kuman Tuberkulosis yang sensitif.

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang termasuk obat-

obat primer adalah:

a) Isoniazid

Isoniazid merupakan derivat asam isonikotinat

yang berkhasiat untuk obat Tuberkulosis yang paling

kuat terhadap Mycobacterium Tuberculosis (dalam

fase istirahat) dan bersifat bakterisid terhadap basil

yang tumbuh pesat. Obat ini masih tetap merupakan

obat kemoterapi terpenting terhadap berbagai tipe

Tuberkulosis dan selalu dalam bentuk kombinasi

dengan rifampisin dan pirazinamid.

Indikasi dari isoniazid adalah Tuberkulosis dalam

kombinasi dengan obat lain, sedangkan kontra

indikasinya adalah penyakit hati yang aktif

hipersensitifitas terhadap isoniazid.

Efek samping dari isoniazid adalah mual,

muntah, neuritis perifer, neuritis optic, kejang, demam,

purpura, hiperglikemia, dan ginekomastia. Dosis


19

isoniazid yang diberikan umumnya per oral, tapi dapat

diberikan secara intramuscular atau intravena.

Dewasa dan anak-anak: 5mg/kg (4-6mg/kg) per hari,

maksimum 300mg/hari;10mg/kg tiga kali seminggu

atau 15mg/kg dua kali seminggu.

Pada terapi pencegahan untuk orang-orang yang

ada kontak dengan penderita atau yang berada di

daerah endemik penyakit Tuberkulosis maka diberikan

dosis 300mg/hari selama 6 bulan atau lebih, untuk

anak : 5mg/kg/hari (maksimum 300mg/kg/hari) selama

6 bulan atau lebih (Irianti et al., 2016).

b) Rifampisin

Rifampisin menghambat mekanisme kerja RNA-

polimerase yang tergantung pada DNA dari

mikrobakteri dan beberapa mikroorganisme.

Penggunaan pada konsentrasi tinggi untuk

menginsibisi enzim bakteri dapat pula sekaligus

menghinsibisi sintesis RNA dalam mitokondria

mamalia.

Indikasi dari rifampisin adalah Tuberkulosis dan

lepra sedangkan kontraindikasinya tidak boleh

digunakan pada keadaan sirosis, insufisiensi hati,

pecandu alkohol dan pada kehamilan muda. Efek

samping pada rifampisin adalah gangguan saluran


20

cerna, terjadi sindrom influenza, gangguan respirasi,

udem, kelemahan otot, gangguan menstruasi, warna

kemerahan pada urin (Irianti et al., 2016).

c) Pirazinamid

Pirazinamid ini bekerja sebagai bakterisida (pada

suasana asam ph 5-6 atau bakteriostatis, tergantung

pada PH dan kadarnya di dalam darah. Pirazinamid

memiliki spektrum kerja yang sangat sempit dan

hanya meliputi Mycobacterium Tuberculosis,

berdasarkan perubahannya menjadi asam pirazinat

oleh enzim pyrazinamidase yang berasal dari basil

TBC. Begitu PH dalam makrograf diturunkan, maka

kuman yang berada di sarang infeksi yang menjadi

asam akan mati.

Indikasi dari pirazinamid adalah Tuberkulosis

dalam kombinasi dengan obat lain sedangkan

kontraindikasi gangguan fungsi hati, gangguan fungsi

ginjal, diabetes. Efek samping dari pirazinamid adalah

hepatotoksisitas, temasuk demam anoreksia,

hepatomegali, ikterus, gagal hati, mual, muntah,

artlagia, anemia, urtikaria (Irianti et al., 2016).

d) Etambutol
21

Derivat etilendiamin berkhasiat spesifik terhadap

Mycobacterium Tuberculosis dan Mycobacterium

atipis tetapi pada dosis terapi kurang efektif dibanding

obat-obat primer. Dengan mekanisme kerjanya adalah

penghambatan sintesa RNA pada kuman yang

sedang membelah, juga menghindarkan terbentuknya

mycolic acid pada dinding sel.

Indikasi dari etambutanol adalah Tuberkulosis

dalam kombinasi dengan obat lain, sedangkan

kontraindikasinya anak di bawah 6 tahun, neuritis

optic, dan gangguan visual. Efek samping dari

etambutanol adalah neuritis optik, buta warna

merah/hijau, neuritis primer.

Resistensi etambutol timbul apabila digunakan

secara tunggal tidak dengan kombinasi dengan

antibiotik lain. Etambutol dapat berinteraksi dengan

sulfinpirazon di mana efek urikosurik dari sufinpirazon

dapat tidak timbul karena pengaruh etambutol (Irianti

et al., 2016).

e) Setreptomisin

Saat ini sudah jarang digunakan kecuali untuk

kasus resistensi, kadar obatnya dalam plasma harus

diukur terutama pada pasien dengan gangguan fungsi

ginjal.
22

Aminoglikosida ini bersifat bakterosida dan tidak

diserap melalui saluran cerna sehingga harus

diberikan secara parentral. Toksisitasnya sangat

besar karena dapat merusak saraf otak yang melalui

organ keseimbangan dan pendengaran (Irianti et al.,

2016).

2) Obat-obat sekunder

Obat-obat sekunder diberikan untuk Tuberkulosis

yang disebabkan oleh kuman yang resisten atau bila obat

primer menimbulkan efek samping yang tidak dapat

ditoleransi. Obat yang termasuk obat sekunder adalah

kapreomisin, sikloserin, makrolide generasi baru

(asotromisin dan klaritromisin), quinolon dan protionamid

(Irianti et al., 2016).

3. Billirubin

a. Definisi

Billirubin adalah pigmen kuning yang berasal dari

perombakan heme dari hemoglobin dalam proses pemecahan

eritrosit oleh sel retikuloendotel. Di samping itu sekitar 20%

billirubin berasal dari perombakan zat-zat lain. Sel

retikuloendotel membuat billirubin tidak larut dalam air,

billirubin yang disekresikan dalam darah harus diikatkan

albumin untuk diangkut dalam plasma menuju hati.


23

Di dalam hati, hepatosit melepaskan ikatan dan

mengkonjugasinya dengan asam glukoronat sehingga bersifat

larut air, sehingga disebut billirubin direct atau billirubin

terkonjugasi. Proses konjugasi melibatkan enzim

glukoroniltransferase, selain dalam bentuk diglukoronida dapat

juga dalam bentuk monoglukoronida atau ikatan dengan

glukosa, xylosa dan sulfat. Billirubin terkonjugasi dikeluarkan

melalui proses energi kedalam sistem bilier.

b. Macam dan Sifat Billirubin

1) Billirubin terkonjugasi/direct

Billirubin terkonjugasi/direct adalah billirubin bebas

yang bersifat larut dalam air sehingga dalam

pemeriksaan mudah bereaksi. Billirubin terkonjugasi

(billirubin glukoronida atau hepatobillirubin) masuk ke

saluran empedu dan diekskresikan ke usus. Selanjutnya

flora usus akan mengubahnya menjadi urobilinogen.

Billirubin terkonjugasi bereaksi cepat dengan asam

sulfanilat yang terdiazotasi membentuk azobillirubin.

Peningkatan kadar billirubin direct atau billirubin

terkonjugasi dapat disebabkan oleh gangguan ekskresi

billirubin intrahepatik antara lain Sindroma Dubin Johson

dan Rotor, Recurrent (benign) intrahepatic cholestasis,

Nekrosis hepatoseluler, Obstruks saluran empedu.


24

Diagnosis tersebut diperkuat dengan pemeriksaan

urobilin dalam tinja dan urin dengan hasil negatif.

2) Billirubin tak terkonjugasi/ indirect

Billirubin tak terkonjugasi (hematobillirubin)

merupakan billirubin bebas yang terikat albumin,

billirubin yang sukar larut dalam air sehingga untuk

memudahkan bereaksi dalam pemeriksaan harus lebih

dulu dicampur dengan alkohol, kafein atau pelarut lain

sebelum dapat bereaksi, karena itu dinamakan billirubin

indirect.

Peningkatan kadar billirubin indirect mempunyai arti

dalam diagnosis penyakit billirubinemia karena payah

jantung akibat gangguan dari delivery billirubin ke dalam

peredaran darah. Pada keadaan ini disertai dengan

tanda-tanda payah jantung, setelah payah jantung

diatasi maka kadar billirubin akan normal kembali dan

harus dibedakan dengan chardiac chirrhosis yang tidak

selalu disertai billirubinemia.

Peningkatan yang lain terjadi pada billirubinemia

akibat hemolisis atau eritropoesis yang tidak sempurna,

biasanya ditandai dari anemi hemolitik yaitu gambaran

apusan darah tepi yang abnormal, umur eritrosit yang

pendek.
25

Perbedaan billirubin Indirect dan billirubin direct dapat

dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.3 Perbedaan Billirubin Indirect dan Billirubin Direct

Billirubin Indirect Billirubin Direct


- terikat albumin - terikat glukuronat
- non-polar - polar
- dibawa ke hepar - disekresikan dari hepar
- Hiperbillirubinemia; - Hiperbillirubinemia;
> retensi > regurgitasi
> bisa masuk ke SSP > tidak bisa ke SSP
> tidak ada dlm urine > bisa masuk ke urine

c. Metabolisme Billirubin

Billirubin adalah produk dari eritrosit yang rusak.

Kerusakan eritrosit akan menyebabkan keluarnya billirubin.

Billirubin ini adalah billirubin tak terkonjugasi yang tidak larut

dalam air. Billirubin tak terkonjugasi ini diikat oleh albumin dan

protein lain, kemudian beredar melalui peredaran darah.

Setibanya di dalam hepar, billirubin tak terkonjugasi

dilepas oleh hepar dari albumin, kemudian digabung dengan

glukoronid sehingga dapat melarut dalam air dan disebut

billirubin terkonjugasi. Melalui kana kuli, billirubin terkonjugasi

ikut dengan empedu dan masuk ke kandung empedu dan

duodenum.

Dalam duodenum, billirubin terkonjugasi diubah menjadi

urobilinogen. Sebagian urobilinogen ini dikeluarkan melalui

feses dalam bentuk sterkobilin yang memberi warna pada

feses, dan sebagian diabsorbsi. Setelah itu, direabsorbsi,


26

setibanya di dalam hepar. Hepar melepaskannya ke dalam

darah untuk diambil kembali, yang lain dikeluarkan melalui

urine (Baradero et. al., 2008). Metabolisme billirubin dapat

dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Metabolisme Billirubin (Beckingham, I J et al. BMJ, 2001)

d. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Stabilitas Billirubin Total

Dalam suatu pemeriksaan billirubin total, sampel akan

selalu berbubungan langsung dengan faktor luar. Hal ini erat

sekali terhadap kestabilan kadar sampel yang akan diperiksa,

sehingga dalam pemeriksaan tersebut harus memperhatikan

faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas kadar billirubin

total dalam serum diantaranya yaitu :

1) Sinar

Stabilitas billirubin dalam serum pada suhu kamar

tidak stabil dan mudah terjadi kerusakan terutama oleh

sinar, baik sinar lampu ataupun sinar matahari. Serum

atau plasma heparin boleh digunakan, hindari sampel

yang hemolisis dan sinar matahari langsung.


27

Sinar matahari langsung dapat menyebabkan

penurunan kadar billirubin serum sampai 50% dalam

satu jam, dan pengukuran billirubin total hendaknya

dikerjakan dalam waktu dua hingga tiga jam setelah

pengumpulan darah.

Bila dilakukan penyimpanan serum hendaknya

disimpan di tempat yang gelap, dan tabung atau botol

yang berisi serum di bungkus dengan kertas hitam atau

aluminium foil untuk menjaga stabilitas serum dan

disimpan pada suhu yang rendah atau lemari pendingin.

2) Suhu Penyimpanan

Suhu merupakan faktor luar yang selalu

berhubungan langsung terhadap sampel, baik saat

penyimpanan maupun saat pemeriksaan. Pemeriksaan

kadar billirubin total sebaiknya diperiksa segera, tapi

dalam keaadaan tertentu pemeriksaan kadar billirubin

total bisa dilakukan penyimpanan.

Stabilitas serum masih stabil dalam waktu satu hari

bila disimpan pada suhu 15ºC-25ºC, empat hari pada

suhu 2ºC-8ºC, dan tiga bulan pada penyimpanan -20ºC.

Lamanya sampel kontak dengan faktor-faktor di atas

berpengaruh terhadap kadar billirubin didalam sampel

sehingga perlu upaya mengurangi pengaruh tersebut

serta mengoptimalkan kadar billirubin total di dalam


28

serum agar dapat bereaksi dengan zat pereaksi secara

sempurna.

Reagen billirubin total akan tetap stabil berada

pada suhu 2-8ºC dalam keadaan tertutup, terhindar dari

kontaminan dan sinar. Dalam hal ini dapat dimungkinkan

bahwa penurunan kadar billirubin dipengaruhi oleh

kenaikan suhu dan pengaruh sinar yang berintensitas

tinggi .

e. Manifestasi Klinis

Hiperbillirubinemia neonatal atau ikterus fisiologis, suatu

kadar billirubin serum total yang lebih dari 5mg/dl, disebabkan

oleh predisposisi neonatal untuk memproduksi billirubin dan

keterbatasan kemampuannya untuk mengekskresinya.

Berdasarkan definisinya, tidak ada ketidaknormalan lain

atau proses patologis yang mengakibatkan ikterus. Warna

kuning pada kulit dan membrane mukosa adalah karena

deposisi pigmen billirubin tak terkonjugasi.

Sumber utama billirubin adalah dari pemecahan

hemoglobin yang sudah tua atau sel darah merah yang

mengalami hemolisis. Pada neonates, sel darah merah

mengalami pergantian yang lebih tingi dan waktu hidup yang

lebih pendek, yang meningkatkan kecepatan produksi

billirubin lebih tinggi. Ketidakmatangan hepar neonatal


29

merupakan faktor yang membatasi ekskresi billirubin (Betz &

Sowden, 2009).

Hiperbillirubinemia terkonjugasi yang berkepanjangan,

seperti pada ikterus obstruktif, menyebabkan terjadinya

penggabungan kovalen billirubin terkonjugasi dengan albumin.

Jenis billirubin ini adalah billirubin delta, yang bermigrasi lebih

cepat daripada albumin normal sehingga memperlebar pita

albumin ke arah anoda. Billirubin delta memilki waktu paruh

plasma lebih lama dari pada billirubin terkonjugasi lain karena

berikatan kovalen dengan albumin sehingga tertahan lebih

lama dalam sirkulasi (Sacher dan McPherson, 2004).

Nilai normal : billirubin indirect 0,3 – 1,1 mg/dl, billirubin

direct 0,1 – 0,4 mg/dl.  Berdasarkan penyebabnya, ikterus

dapat dibedakan menjadi 3, yaitu:

1) Ikterus Pre-Hepatic

Ikterus jenis ini terjadi karena adanya kerusakan sel

darah merah atau intravaskular hemolisis, misalnya pada

kasus anemia hemolitik menyebabkan terjadinya

pembentukan billirubin yang berlebih. Hemolisis dapat

disebabkan oleh parasit darah, contoh: Babesia

sp., dan Anaplasma sp. Ikterus yang disebabkan oleh

hiperbillirubinemia tak terkonjugasi bersifat ringan dan

berwarna kuning pucat.


30

2) Ikterus Hepatic

Ikterus jenis ini terjadi di dalam hati karena

penurunan pengambilan dan konjugasi oleh hepatosit

sehingga gagal membentuk billirubin terkonjugasi.

Kegagalan tersebut disebabkan rusaknya sel-sel

hepatosit, hepatitis akut atau kronis dan pemakaian obat

yang berpengaruh terhadap pengambilan billirubin oleh

sel hati.

Gangguan konjugasi billirubin dapat disebabkan

karena defisiensi enzim glukoronil transferase sebagai

katalisator.

3) Ikterus Post-Hepatic

Mekanisme terjadinya ikterus post hepatic adalah

terjadinya penurunan sekresi billirubin terkonjugasi

sehinga mengakibatkan hiperbillirubinemia terkonjugasi.

Billirubin terkonjugasi bersifat larut di dalam air, sehingga

diekskresikan ke dalam urin (billirubinuria) melalui ginjal,

tetapi urobilinogen menjadi berkurang sehingga warna

feses terlihat pucat.

Faktor penyebab gangguan sekresi billirubin dapat

berupa faktor fungsional maupun obstruksi duktus

choledocus yang disebabkan oleh cholelithiasis, infestasi

parasit, tumor hati, dan inflamasi yang mengakibatkan

fibrosis.
31

4. Pemeriksaan Biliirubin Urine Metode Carik Celup

a. Pemeriksaan Urine Metode Carik Celup

Saat ini, banyak jenis pemeriksaan penyaring yang

dilakukan dengan menggunakan metode carik celup (dipstik,

strip reagen, strip tes urin). Sebuah carik celup atau dipstik

merupakan alat diagnostik dasar yang digunakan untuk

menentukan perubahan patologis dalam urin pada urinalisis

standar. Alat pemeriksaan urine menggunakan carik celup

(dipstik) dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Carik celup berupa carik plastik tipis kaku yang pada

sebelah sisinya dilekati dengan satu sampai sembilan kertas

isap atau bahan penyerap lain (kertas seluloid) yang masing-

masing mengandung reagens spesifik, skala warna yang

menyertai carik celup memungkinkan penilaian kualitatif dan

semi kuantitatif. Standar warna yang terdapat pada label

wadah carik celup untuk penilaian kualitatif dan semi

kuantitatif dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Tes carik celup dapat terdiri dari hingga 10 bantalan

kimia yang berbeda atau reagen yang bereaksi (berubah

warna) ketika direndam, dan kemudian dihapus dari sebuah

sampel urin. Pemeriksaan yang menggunakan carik celup

biasanya sangat cepat, mudah dan spesifik. Tes ini dapat

dibaca antara 60 dan 120 detik setelah pencelupan.


32

Gambar 2.4 Carik Celup (Donoseputro and Suhadi, 2013)

Gambar 2.5 Standar warna yang terdapat pada label wadah carik celup
(Donoseputro and Suhadi, 2013)

b. Pemeriksaan Billirubin Metode Carik Celup

Prinsip : Billirubin dengan garam diazonium (2-6

diclorobenzene-diazonium floroborat) dalam suasana asam

membentuk azobillirubin yang berwarna merah violet.

Billirubin yang dapat dijumpai dalam urine adalah

billirubin direct (terkonjugasi), karena tidak terkait dengan

albumin, sehingga mudah difiltrasi oleh glomerulus dan

diekskresikan ke dalam urine bila kadar dalam darah


33

meningkat. Billirubinuria dijumpai pada ikterus parenkimatosa

(hepatitis infeksiosa, toksik hepar), ikterus obstruktif, kanker

hati (sekunder), CHF disertai ikterik. Secara normal, billirubin

tidak dijumpai di urin.

Billirubin terbentuk dari penguraian hemoglobin dan

ditranspor ke hati, tempat billirubin berkonjugasi dan

diekskresi dalam bentuk empedu. Billirubin terkonjugasi

(billirubin direct) ini larut dalam air dan diekskresikan ke dalam

urin jika terjadi peningkatan kadar di serum. Billirubin tak

terkonjugasi (billirubin indirect) bersifat larut dalam lemak,

sehingga tidak dapat diekskresikan ke dalam urin. Uji

billirubinuria dapat menggunakan reaksi diazo (dengan tablet

atau dipstick).

Faktor yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium

yang diuji dengan reaksi diazo yaitu :

1) Reaksi negatif palsu terjadi bila urin mengandung

banyak asam askorbat (vitamin C), kadar nitrit dalam

urine meningkat, asam urat tinggi, serta bila billirubin

teroksidasi menjadi biliverdin akibat spesimen urin

terpajan sinar matahari (ultraviolet) langsung.

2) Hasil positif palsu dapat dijumpai pada pemakaian obat

yang menyebabkan urine menjadi berwarna merah.


34

B. Kerangka Konsep

Infeksi TB

Variasi Masa
Pengobatan TB

Tahap Awal (Intensif) Tahap Lanjutan


(1-2 bulan) (3-6 bulan)

Faktor internal
Faktor Eksternal
 Urine mengandung Billirubin
banyak asam Direct  Sinar matahari
askorbat (vitamin c) Urine
 Suhu
 Riwayat Asam urat
tinggi
 Riwayat gangguan
fungsi hati

Keterangan :

= Variabel Yang diteliti

= Variabel Yang Tidak Diteliti

= Bagian Dari

= Mempengaruhi
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas

Ampenan.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari 2019 sampai

dengan bulan Mei 2019.

B. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat observasional

analitik yaitu suatu bentuk penelitian yang mencoba menggali

bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi. Kemudian

melakukan analisis korelasi antara fenomena atau faktor resiko

dengan faktor efek. Dalam penelitian ini lebih ditekankan pada

pengaruh variasi masa pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

terhadap billirubin dalam urine pada penderita Tuberkulosis

(Notoatmodjo, 2012).

Berdasarkan waktu penelitian ini bersifat Cross Sectional artinya

korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek dengan cara

pendekatan, observasi atau pengumpulan data yang dilakukan

sekaligus pada saat tertentu.

35
36

Setiap subjek penelitian diobservasi sekali saja dan pengukuran

dilakukan terhadap status karakter atau variabel subjek pada saat

penelitian diamati pada waktu yang sama (Notoatmodjo, 2012).

C. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien Tuberkulosis

di wilayah kerja Puskesmas Ampenan yang sedang dalam masa

pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) tahap awal (intensif) dan

tahap lanjutan dengan bahan pemeriksaan urine pasien.

D. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian pasien

Tuberkulosis di wilayah kerja Puskesmas Ampenan yang sedang

dalam masa pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) tahap awal

(intensif) dan tahap lanjutan dengan bahan pemeriksaan urine pasien.

E. Besar Sampel

Besar sampel dalam penelitian ini menggunakan sampel jenuh,

yaitu berapapun jumlah sampel yang memenuhi kriteria penelitian di

Puskesmas Ampenan yang sedang dalam masa pengobatan tahap

awal (intensif) dan tahap lanjutan selama bulan Januari 2019 sampai

dengan Mei 2019 diambil sebagai sampel (Sugiyono, 2016).


37

F. Cara Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dalam penelitian ini diambil dengan metode

Non-Random Accidental Sampling yang didasarkan pada suatu

pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan

ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya dimana

pengambilan sampel diambil dari responden atau kasus yang

kebetulan ada di suatu tempat atau keadaaan tertentu (Notoatmodjo,

2012).

Kriteria inklusi sampel dalam penelitian ini adalah

1. Penderita Tuberkulosis yang sedang menjalani masa pengobatan

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) tahap awal (intensif) dan tahap

lanjutan.

2. Tidak membedakan jenis kelamin.

3. Tidak membedakan usia.

4. Bersedia menjadi subjek penelitian.

Kriteria eksklusi sampel dalam penelitian ini adalah

1. Penderita Tuberkulosis yang sedang menjalani masa pengobatan

OAT tahap awal (intensif) dan tahap lanjutan tidak bersedia

diambil urinenya.

2. Penderita Tuberkulosis yang sedang menjalani pengobatan OAT

tahap awal (intensif) dan tahap lanjutan yang mengalami

komplikasi dengan penyakit lain yang berkaitan dengan fungsi

hati.
38

F. Variabel Penelitian

1. Variable bebas (Independent) : Variasi masa pengobatan Obat

Anti Tuberkulosis (OAT).

2. Variabel terikat (Dependent) : Hasil pemeriksaan billirubin.

G. Definisi Operasional

1. Variasi masa pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah

pasien Tuberkulosis yang sedang menjalani pengobatan Obat Anti

Tuberculosis (OAT) tahap awal (intensif) (1-2 bulan) dan tahap

lanjutan (3-6 bulan).

2. Hasil pemeriksaan billirubin dalam urine adalah hasil pemeriksaan

billirubin dalam urine pasien Tuberkulosis secara kualitatif dan

semi kuantitatif dengan menggunakan metode carik celup sebagai

indikator dalam menentukan kondisi organ hati efek dari

pengobatan OAT. Hasil pemeriksaan billirubin dalam urine secara

kualitatif adalah pemeriksaan untuk mengidentifikasi keberadaan

billirubin dalam urine tersebut yang dinyatakan dengan positif atau

negatif dan Hasil pemeriksaan billirubin dalam urine secara semi

kuantitatif adalah pemeriksaan untuk memperkirakan hasil dalam

bentuk jumlah, yang biasanya dinyatakan dengan 1+, 2+, dan 3+.

3. Metode carik celup adalah pemeriksaan kualitatif dan semi

kuantitatif berupa secarik plastik kaku yang pada satu sisinya

dilekati dengan satu sampai sembilan kertas isap atau bahan

penyerap lain yang masing-masing mengandung reagen-reagen


39

spesifik terhadap salah satu zat yang mungkin ada dalam urin,

berdasarkan indikator reagen tersebut.

H. Jenis Data dan Skala Data

1. Data dalam penelitian ini untuk variabel bebas (independent)

berupa data pasien Tuberkulosis yang sedang menjalani masa

pengobatan OAT tahap awal (intensif) dan tahap lanjutan

merupakan data sekunder dan untuk variabel terikat (dependent)

yang diperoleh dari hasil pemeriksaan billirubin dalam urine

secara kualitatif dan semi kuantitatif dalam penderita Tuberkulosis

menggunakan metode carik celup merupakan data primer.

2. Skala data dalam penelitian ini adalah untuk variabel bebas

(independent) berupa data pasien Tuberkulosis yang sedang

menjalani masa pengobatan tahap awal (intensif) dan tahap

lanjutan menggunakan skala data nominal dan untuk variable

terikat (dependent) berupa hasil pemeriksaan billirubin dalam

urine secara kualitatif menggunakan skala data nominal dan hasil

pemeriksaan billirubin dalam urine secara semi kuantitatif

menggunakan skala data ordinal.


40

I. Alur Penelitian

Persiapan Alat, Reagen, dan


Pasien (sesuai kriteria
sampel)

Pemberian Informed
Concent

Tidak Bersedia Bersedia

Pemberian pot sampel urine

Pengambilan sampel urine oleh


pasien yang sesuai kriteria
sampel

Pemeriksaan billirubin urine


dengan metode carik celup

Pengumpulan data hasil


pemeriksaan billirubin urine

Analisis Data

Kesimpulan
41

J. Cara Pengumpulan Data

Data hasil pemeriksaan billirubin dalam urine secara

kualitatif dan semi kuantitatif dikumpulkan melalui pemeriksaan

kimia urine menggunakan metode carik celup di wilayah kerja

Puskesmas Ampenan melalui beberapa prosedur pemeriksaan.

1. Alat dan Bahan Penelitian

a. Alat

1) Wadah urine

2) Stick Urine

b. Bahan

1) Urine

2. Prosedur Pengambilan Sampel Urine

Pada pengambilan specimen urin porsi tengah yang dilakukan

oleh penderita sendiri, sebelumnya harus diberikan penjelasan

sebagai berikut :

a. Wanita

1) Penderita harus mencuci tangan memakai sabun kemudian

dikeringkan dengan handuk.

2) Tanggalkan pakaian dalam, lebarkan labia dengan satu

tangan.

3) Bersihkan labia dan vulva menggunakan kasa steril dengan

arah dari depan ke belakang.


42

4) Bilas dengan air hangat dan keringkan dengan kasa steril

yang lain.

5) Selama proses ini berlangsung, labia harus tetap terbuka

lebar dan jari tangan jangan menyentuh daerah yang sudah

steril. Keluarkan urin, aliran urin yang pertama keluar

dibuang kemudian aliran urin yang selanjutnya ditampung

dalam wadah yang sudah disediakan. Hindari urin

mengenai lapisan tepi wadah.

6) Pengumpulan urin selesai sebelum aliran urin habis.

7) Wadah ditutup rapat dan segera dikimkan ke laboratorium.

b. Laki-laki

1) Penderita harus mencuci tangan dengan sabun.

2) Jika tidak disunat tarik kulit preputium kebelakang,

keluarkan urin, aliran yang pertama keluar dibuang, aliran

selanjutanya ditampung dalam wadah yang sudah

disediakan. Hindari urin mengenai lapisan tepi wadah.

3) Pengumpulan urin selesai sebelum aliran urin habis.

4) Wadah ditutup rapat dan segera dikirim ke laboratorium.

5) Diberi label yang berisi identitas pasien meliputi : nama, no

registrasi pasien dan waktu pengambilan (dilakukan oleh

petugas laboratorium).

(Dikes RI, 2004)


43

3. Prosedur Pemeriksaan Billirubin Urine dengan Menggunakan

Metode Carik Celup

a. Urin dituang kedalam tabung urin ± 10-12 ml.

b. Dicelup strip carik celup hingga semua parameter mengenai

urin.

c. Membersihkan strip dengan tissu hingga bagian samping dan

belakang strip tidak ada sisa urin.

d. Pembacaan secara manual dengan mencocokkan warna pada

strip (carik celup) dengan warna yang terdapat pada alat untuk

mengetahui kadar billirubin secara kualitatif dan kuantitatif. 1

Indikator hasil pemeriksaan billrubin urine pada carik celup

dapat dilihat pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Indikator hasil pemeriksaan billrubin urine pada

carik celup ( (Cadogan, 2016)

K. Cara Pengolahan Data dan Analisis Data

1. Cara Pengolahan Data

Data hasil pemeriksaan billirubin urine secara kualitatif dan

semi kuantitatif pada penderita Tuberkulosis yang sesuai degan

kriteria berdasarkan variasi masa pengobatan Obat Anti

Tuberkulosis (OAT) metode carik celup disajikan secara lengkap

pada tabel berikut :


44

Tabel 3.1 Hasil Pemeriksaan Billirubin Urin Secara Kualitatif


dan Semi Kuantitatif Metode Carik Celup

No Kod Masa Pengobatan Kadar Billirubin Kadar Billirubin


e (Tahap awal / Urine Urine
Tahap Lanjutan) (Kualitatif) (Semi
Kuantitatif)
1
2
3
Dst
Jumla
h

2. Analisis Data

Untuk mengetahui pengaruh variasi masa pengobatan

Tuberkulosis terhadap billirubin dalam urine penderita Tuberkulosis

metode carik celup dilakukan dengan pengujian statistik. Data

berupa billirubin urine secara kualitatif dan semi kuantitatif yang

diperoleh berdasarkan variasi masa pengobatan Obat Anti

Tuberkulosis (OAT) dianalisis secara statistik menggunakan uji

non-parametrik Chi-Square Test pada tingkat kepercayaan 95%

(Pα = 0,05) dengan menggunakan bantuan komputer program

SPSS.

Hipotesis statistik dari penelitian ini adalah :

H0 : Tidak ada pengaruh variasi masa pengobatan

Tuberkulosis terhadap billirubin dalam urine pasien Tuberkulosis

metode carik celup.


45

Ha : Ada pengaruh variasi masa pengobatan Tuberkulosis

terhadap billirubin dalam urine pasien Tuberkulosis metode carik

celup.

Kriteria pembacaan hasil uji statistik adalah : Jika probabilitas

< ɑ = 0,05 maka H 0 ditolak dan Ha diterima, artinya terdapat

pengaruh variasi masa pengobatan Tuberkulosis terhadap billirubin

dalam urine pasien Tuberkulosis metode carik celup. Tetapi jika

probabilitas > ɑ = 0,05 maka H 0 diterima, artinya tidak ada

pengaruh variasi masa pengobatan Tuberkulosis terhadap billirubin

dalam urine pasien Tuberkulosis metode carik celup.


46

Azma, R. (2016) Perbedaan Kadar Bilirubin Total dengan Menggunakan


Sampel Serum, Plasma EDTA dan Plasma H eparin.

Cadogan, M. (2016) Urinalysis, lifeinthefastlane.com. Available at:


https://lifeinthefastlane.com/investigations/urinalysis/ (Accessed: 15
February 2019).

Depkes (2014) ‘Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien Tuberculosis’, in


Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta.

Dikes NTB (2016) Penyakit Menular Langsung, Profil kesehatan Provinsi


NTB Tahun 2016. Mataram: Dikes NTB.

Dikes RI (2004) Pedoman Praktek Laboratorium Yang Benar. Jakarta:


Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Donoseputro, M. and Suhadi, B. (2013) ‘Dasar Teori Carik Celup’.

Ermanta, K., Abidin, A. and Jamaluddin (2001) Diagnosis Tuberkulosis.


Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Irianti et al. (2016) Obat Anti Tuberkulosis Lini Pertama Obat, Mengenal
Anti tuberkulosis. Yogyakarta: Fakultas Farmasi UGM.

Kemenkes RI (2014) Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia


2010-2014, Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-
2014. Jakarta.

Notoatmodjo, S. (2012) Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka


Cipta.
47

Nursidika, P. et al. (2017) ‘Gambaran Abnormalitas Organ Hati dan Ginjal


Pasien Tuberkulosis yang Mendapatkan Pengobatan’, Jurnal
Kesehatan Kartika, 12(1).

Pantekosta, H. I. (2013) Hubungan Hasil Pemeriksaan Sputum Basil


Tahan Asam (BTA) Dengan Gambaran Luas Lesi Radiologi pada
Pasien Tuberkulosis Paru di UP4 Provinsi Kalimantan Barat Periode
2011- 2012. Universitas Tanjungpura Pontianak.

Pontoh, L., Polii, E. and Gosal, F. (2016) ‘Gambaran Kadar Bilirubin


Pasien Tuberkulosis Paru Selama Pengobatan di RSUP Proff. Dr. R.
D. Kandou Manado periode Januari 2012 – Desember 2014’, Jurnal
e-Clinic, 4(1).

Suganda, H. P. and Majdawati, A. (2013) ‘Hubungan Gambaran Foto


Thorax dengan Hasil Pemeriksaan Sputum BTA pada Pasien
dengan Klinis Tuberkulosis’, Mutiara Medika, 13(1).

Sugiyono (2016) Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.


Bandung: Alfabeta cv.

Tristyanto, N. (2015) ‘Pola Hubungan antara Kadar Billirubin Serum


dengan Bilirubinuria’, Nugroho Pola Hub, 3(1).

WHO (2017) 2017 Global Tuberculosis Report. doi:


10.1001/jama.2014.11450.

Widhiasnasir, E. R. (2017) Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru di


Kota Parepare Tahun 2016. Universitas Hasanuddin Makasar.

Anda mungkin juga menyukai