Anda di halaman 1dari 16

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Penelitian

Penelitian pengaruh variasi masa pengobatan Obat Anti

Tuberkulosis (OAT) terhadap billirubin dalam urine penderita

tuberkulosis metode carik celup ini dilaksanakan pada tanggal 28

Februari 2019 sampai dengan 15 Mei 2019 di wilayah kerja

Puskesmas Ampenan. Penelitian dilakukan setiap hari Rabu

mengikuti pelayanan di Puskesmas Ampenan karena responden

setiap hari rabu melakukan pengambilan Obat Anti Tuberkulosis

(OAT) di Poli TB. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah

urin sewaktu responden dan memenuhi kriteria inklusi. Jumlah

responden dalam penelitian ini, yaitu sebanyak 20 responden yang

sedang dalam masa pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan.

Jumlah responden yang sedang dalam masa pengobatan tahap awal

yaitu 9 responden dan tahap lanjutan yaitu 11 responden. Sampel urin

diperiksa langsung di laboratorium Puskesmas Ampenan dengan

menggunakan metode carik celup untuk melihat kadar billirubin dalam

urine secara kualitatif dan semi kuantitatif. Data yang diperoleh

dilakukan analisis uji statistik.

46
47

B. Hasil Pemeriksaan Billirubin Urine Pada Penderita Tuberkulosis

Hasil pemeriksaan billirubin dalam urine secara kualitatif dan

semi kuantitatif dengan metode carik celup terhadap 20 responden

pasien tuberkulosis yang dalam masa pengobatan tahap awal dan

tahap lanjutan dapat dilihat pada tabel di bawah ini .

Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Billirubin Urine secara Kualitatif Pada


Penderita Tuberkulosis dalam Masa Pengobatan Tahap
Awal dan Tahap Lanjutan
Tahap Awal Tahap Lanjutan
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Hasil Positif 5 56% 1 9%
Hasil Negatif 4 44% 10 91%
Total 9 100 % 11 100 %

Berdasarkan tabel 4.1 menunjukkan bahwa kadar billirubin

secara kualitatif yang memiki nilai positif pada billirubin dalam urine

metode carik celup yaitu sebanyak 6 sampel (30%). Pada masa

pengobatan tahap awal, kadar billirubin secara kualitatif yang memiki

nilai positif pada billirubin dalam urine yaitu sebanyak 5 sampel dari 9

sampel (56%) sedangkan pada masa pengobatan tahap lanjutan,

kadar billirubin secara kualitatif yang memiki nilai positif pada billirubin

dalam urine yaitu sebanyak 1 sampel dari 11 sampel (9%).

Tabel 4.2 Hasil Pemeriksaan Billirubin Urine secara Semi Kuantitatifi


Pada Penderita Tuberkulosis dalam Masa Pengobatan
Tahap Awal dan Tahap Lanjutan
Tahap Awal Tahap Lanjutan
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Hasil Negatif 4 44% 10 91%
Hasil Positif 1 5 56% 1 9%
Hasil Positif 2 0 0% 0 0%
Hasil Positif 3 0 0% 0 0%
Total 9 100 % 11 100 %
48

Berdasarkan tabel 4.2 menunjukkan bahwa kadar billirubin

secara semi kuantitatif yang memiki nilai positif 1 (+1) pada billirubin

dalam urine metode carik celup yaitu sebanyak 6 sampel (30%),

positif 2 (+2) sebanyak 0 sampel (0%), Positif 3(+3) sebanyak 0

sampel (0%), dan Negatif (-) sebanyak 14 sampel (70%). Pada masa

pengobatan tahap awal, kadar billirubin secara semi kuantitatif 5

sampel dari 9 sampel (56%) yang memiki nilai positif seluruhnya

memiliki kadar billirubin dalam urine positif 1 (+1), sedangkan pada

masa pengobatan tahap lanjutan, kadar billirubin secara semi

kuantitatif 1 sampel dari 11 sampel (9%) yang memiki nilai positif

seluruhnya memiliki kadar billirubin dalam urine positif 1 (+1) .

C. Hasil Uji statistik

Untuk mengetahui pengaruh variasi masa pengobatan terhadap

billirubin dalam urine pada penderita tuberkulosis metode carik celup,

dilakukan analisis data secara statistik menggunakan uji non-

parametrik uji Mann-Whitney dengan bantuan komputer program

SPSS dapat dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3 Hasil Uji Mann-Whitney

Masa Jumlah P
Pengobatan
Kadar Tahap Awal 0.028
Billirubin 9
secara Tahap Lanjutan
Kualitatif 11
Kadar Tahap Awal 9 0.028
Billirubin Tahap Lanjutan 11
secara
Semi
Kuantitati
49

Test Statisticsb

Kadar
Kadar Billirubin
Billirubin Semi
Kualitatif Kuantitatif

Mann-Whitney U 26.500 26.500

Wilcoxon W 92.500 92.500

Z -2.199 -2.199

Asymp. Sig. (2-tailed) .028 .028

Exact Sig. [2*(1-tailed


.080a .080a
Sig.)]

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Masa Pengobatan

Signifikan p<0.05
50

Berdasarkan hasil uji statistik dengan uji non-parametrik uji

Mann-Whitney pada tabel 4.3 di atas, hasil pemeriksaan kadar

billirubin dalam urine secara kualitatif dan semi kuantitatif pada

penderita tuberkulosis dalam masa pegobatan tahap awal dan tahap

lanjutan nilai probabilitas 0.028 < 0.05 artinya, terdapat pengaruh

variasi masa pengobatan obat anti tuberkulosis (OAT) terhadap

billirubin dalam urine penderita tuberkulosis secara kualitatif dan semi

kuantitatif.
BAB V
PEMBAHASAN

A. Billirubin Dalam Urine Pasien Tuberkulosis Pengobatan OAT

Tahap Awal (Intensif)

Berdasarkan masa pengobatan, sebagian besar pasien yang

mengalami bilirubinuria berdasarkan hasil pemeriksaan billirubin urine

metode carik celup secara kualitatif adalah pasien pengobatan

pengobatan pada tahap awal (intensif), yaitu sebanyak 5 dari 9 pasien

(56%) dengan jumlah kadar kecil (small) yaitu positif 1 (+1) yang dapat

dilihat dari pengukuran kadar billirubin urine dengan metode carik

celup secara semi kuantitatif. Hal ini sejalan dengan penelitian

Nursidika,dkk. yang menemukan bahwa pasien mengalami hepatitis

imbas OAT pada 2 bulan pertama terapi dengan proporsi terbesar

terjadi pada bulan pertama yaitu dari 30 sampel pada lama

pengobatan >2 bulan terdapat sebanyak 16 orang (84,21%) memiliki

aktivitas enzim SGOT normal dan sebanyak 3 orang (15,79%)

memiliki aktivitas enzim SGOT abnormal. Pada lama pengobatan ≤

2bulan terdapat sebanyak 4 orang (36,36%) memiliki aktivitas enzim

SGOT normal dan sebanyak 7 orang (63,63%) memiliki aktivitas

enzim SGOT abnormal (Nursidika, Furqon, Hanifah, & Anggarini,

2017).

50
51

Bilirubinuria ditemukan lebih banyak pada pasien pengobatan

pada tahap awal (intensif) yaitu bulan I dan II karena pengobatan

pertama atau tahap awal selama 2 bulan harus dievaluasi karena

pada fase pertama Obat anti Tuberkulosis yang dikomsumsi yaitu 4

obat sekaligus oleh penderita tuberkulosis dan diminum setiap hari

selama 2 bulan (Nursidika et al., 2017). Selain itu 4 obat pada tahap

awal (intensif) terdiri dari Isoniazid, Rifampisin, Pyrazinamide, dan

Ethambutol dimana ketiga OAT yaitu isoniazid, rifampisin, dan

pirazinamid merupakan obat yang dapat menyebabkan

hepatotoksisitas yang dapat menyebabkan kerusakan hati.

Pada keadaan hepatotoksik terdapat kerusakan sel hati yang

akan menyebabkan terjadinya mikro-obstruksi di hepar. Obstruksi

akan menyebabkan berkurangnya bilirubin yang diekskresikan ke

dalam usus sehingga menyebabkan pembentukan urobilinogen

berkurang. Sementara bilirubin terkonjugasi dalam hepar akan masuk

kembali ke dalam darah karena pengosongan langsung ke saluran

limfe yang meninggalkan hepar serta pecahnya kanalikuli biliaris yang

terbendung. Bilirubin terkonjugasi dalam darah kemudian akan

dieksresikan ginjal ke dalam urin. Pada urin akan ditemukan

menurunnya kadar urobilinogen urin dan terdapat bilirubin urin (Prof,

Manado, & Wowor, 2016).


52

B. Billirubin Dalam Urine Pasien Tuberkulosis Pengobatan OAT

Tahap Lanjutan

Pada fase atau masa pengobatan lanjutan, sebagian besar

pasien tidak mengalami bilirubinuria berdasarkan hasil pemeriksaan

billirubin urine metode carik celup secara kualitatif. Kadar billirubin

secara kualitatif yang memiki nilai positif pada billirubin dalam urine

yaitu sebanyak 1 sampel dari 11 sampel (9%) dengan kadar billirubin

secara semi kuantitatif yaitu positif 1 (+1).

Fase Pengobatan lanjutan yaitu 3-6 bulan. Pada masa

pengobatan lanjutan penderita meminum obat anti tuberkulosis (OAT)

tiga kali dalam seminggu, sehingga sebagian besar penderita

tuberkulosis dapat menyelesaikan pengobatannya tanpa efek

samping, dan sebagian kecil dapat mengalami efek samping (Adriani

et al., 2015).

C. Pengaruh Variasi Masa Pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

terhadap Billirubin dalam Urine Pasien Tuberkulosis

Penderita Tuberkulosis paru (TB paru) yang dinyatakan positif

dari hasil pemeriksaan laboratorium dapat dilihat adanya perbedaan

kadar billirubin dalam urine dari 20 subjek penelitian pada tahap awal

dan tahap lanjutan pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan

menggunakan metode carik celup. Berdasarkan hasil pemeriksaan

pada Tabel 4.1 dan 4.2, dari 20 pasien TB paru yang melakukan

pemeriksaan bilirubin urin, terdapat 6 pasien (30,0%) mengalami

bilirubinuria dan 14 pasien (70,0%) dengan kadar bilirubin urin negatif


53

(normal). Bilirubinuria pada 6 pasien tersebut dalam jumlah kadar kecil

(small) yaitu positif 1 yang dapat dilihat dari pengukuran kadar

billirubin urine dengan metode carik celup secara semi kuantitatif.

Peningkatan kadar bilirubin urin yang tidak terlalu signifikan pada

penelitian ini tidak terlalu berbeda dengan penelitian Widya dkk yang

menemukan hanya 10 dari 59 pasien (16,7%) yang mengalami

hepatotoksik akibat terapi OAT berdasarkan nilai SGOT dan hanya 7

dari 62 pasien (11,3%) yang mengalami hepatotoksik akibat terapi

OAT berdasarkan nilai SGPT (Adriani, Fauzi, & Rahayu, 2015).

Sebagian besar pasien yang mengalami bilirubinuria

berdasarkan hasil pemeriksaan billirubin urine metode carik celup

secara kualitatif adalah pasien pengobatan pada tahap awal

(intensif), yaitu sebanyak 5 dari 9 pasien (56%). Pengobatan OAT

tahap awal meliputi Isoniazid, Rifampisin, Pyrazinamide, dan

Ethambutol dengan dosis dosis BB 30-37 kg sebanyak 2 tablet, BB

38-54 kg sebanyak 3 tablet, BB 55-70 kg sebayak 4 tablet, dan BB

lebih dari 70 kg sebanyak 5 tablet dan diberikan setiap hari selama

dua bulan, sedangkan pengobatan OAT tahap lanjutan meliputi

Rifampicin dan Isoniazid dengan dosis BB 30-37 kg sebanyak 2 tablet,

BB 38-54 kg sebanyak 3 tablet, BB 55-70 kg sebayak 4 tablet dan

diberikan selama 4 bulan dan diminum 3x seminggu, dengan kondisi

pemberian obat yang banyak dapat bersifat hepatotoksik.

Kadar bilirubin urin akan meningkat jika terjadi efek samping

hepatotoksik yang akan menyebabkan hepatitis imbas obat. Adanya


54

bilirubin di urin selalu mendahului tanda-tanda lain dari kelainan fungsi

hepar, seperti jaundice.

Hasil analisis secara statistik menggunakan uji non-parametrik uji

Mann-Whitney dengan bantuan komputer program SPSS pada tingkat

kepercayaan 95 % menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan/

bermakna variasi masa pengobatan obat anti tuberkulosis terhadap

kadar billirubin dalam urine penderita tuberkulosis. Hal ini

menunjukkan bahwa sebelum pemberian pengobatan obat anti

tuberkulosis (OAT) pada tahap awal maupun tahap lanjutan perlu di

lakukan adanya evaluasi terhadap fungsi hati penderita tuberkulosis

untuk melihat efek hepatoksik yang di akibatkan oleh obat anti

tuberkulosis (OAT) sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan

hepatotoksik.

D. Keunggulan dan Kelemahan Penelitian

Keunggulan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian untuk

pemeriksaan billirubin dalam urine secara kualitatif dan semi

kuantitatif untuk mengidentifikasi keberadaan billirubin dalam urine

dengan metode carik celup atau dispstik mudah dilaksanakan, hasil

cepat, relatif murah, dan lebih praktis.

Kelemahan dalam penelitian ini yaitu sampel yang digunakan

untuk pengukuran kadar billirubin dalam urine pada pasien

tuberkulosis dalam masa pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan


55

berbeda sehingga tidak dapat melihat perbedaan billirubin pada

pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan pada satu pasien.


BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, dapat

disimpulkan bahwa :

1. Billirubin dalam urine penderita tuberkulosis yang memiki nilai

positif secara kualitatif pada billirubin dalam urine penderita

tuberkulosis dalam masa pengobatan tahap awal (intensif) metode

carik celup yaitu sebanyak 5 sampel dari 9 sampel (56%) dengan

billirubin dalam urine secara semi kuantitatif yaitu positif 1 (+1).

2. Billirubin dalam urine penderita tuberkulosis yang memiki nilai

positif secara kualitatif pada billirubin dalam urine penderita

tuberkulosis dalam masa pengobatan tahap lanjutan metode carik

celup yaitu sebanyak 1 sampel dari 11 sampel (9%) dengan

billirubin dalam urine secara semi kuantitatif yaitu positif 1 (+1).

3. Variasi masa pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

berpengaruh terhadap billirubin dalam urine secara kualitatif dan

semi kuantitatif pada pasien tuberkulosis.

B. Saran

1. Bagi masyarakat atau penderita tuberkulosis diharapkan untuk

melakukan pemeriksaan fungsi hati selama terapi pengobatan

obat anti tuberkulosis (OAT) untuk mencegah terjadinya

hepatotoksitas yang berat, untuk pemantauan pengobatan

56
57

dilakukan pemeriksaan fungsi hati secara periodik mulai dari 2

bulan, 5 bulan, dan pada akhir pengobatan.

2. Untuk peneliti lain perlu dilakukan pengukuran kadar billirubin

dalam urine pada pasien sebelum memulai pengobatan anti

tuberkulosis untuk mengetahui apakah terdapat peningkatan

sebelumnya.
58

DAFTAR PUSTAKA

Adriani, W., Fauzi, Z. A., & Rahayu, W. (2015). Gambaran Nilai SGOT dan
SGPT Pasien Tuberkulosis Paru yang Dirawat Inap di RSUD Arifin
Achmad Provinsi Riau Tahun 2013. Journal of Applied Microbiology,
2(3).
Nursidika, P., Furqon, A., Hanifah, F., & Anggarini, D. R. (2017).
Gambaran Abnormalitas Organ Hati dan Ginjal Pasien Tuberkulosis
yang Mendapatkan Pengobatan. Jurnal Kesehatan Kartika, 12(1).
Prof, R., Manado, R. D. K., & Wowor, M. F. (2016). Gambaran bilirubin
dan urobilinogen urin pada pasien tuberkulosis paru, 4, 0–5.
Adriani, W., Fauzi, Z. A., & Rahayu, W. (2015). Gambaran Nilai SGOT dan
SGPT Pasien Tuberkulosis Paru yang Dirawat Inap di RSUD Arifin
Achmad Provinsi Riau Tahun 2013. Journal of Applied Microbiology,
2(3).
Nursidika, P., Furqon, A., Hanifah, F., & Anggarini, D. R. (2017).
Gambaran Abnormalitas Organ Hati dan Ginjal Pasien Tuberkulosis
yang Mendapatkan Pengobatan. Jurnal Kesehatan Kartika, 12(1).
Prof, R., Manado, R. D. K., & Wowor, M. F. (2016). Gambaran bilirubin
dan urobilinogen urin pada pasien tuberkulosis paru, 4, 0–5.
Azma, R. (2016) Perbedaan Kadar Bilirubin Total dengan Menggunakan
Sampel Serum, Plasma EDTA dan Plasma H eparin.

Cadogan, M. (2016) Urinalysis, lifeinthefastlane.com. Available at:


https://lifeinthefastlane.com/investigations/urinalysis/ (Accessed: 15
February 2019).

Depkes (2014) ‘Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien Tuberculosis’, in


Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta.

Dikes NTB (2016) Penyakit Menular Langsung, Profil kesehatan Provinsi


NTB Tahun 2016. Mataram: Dikes NTB.

Dikes RI (2004) Pedoman Praktek Laboratorium Yang Benar. Jakarta:


Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Donoseputro, M. and Suhadi, B. (2013) ‘Dasar Teori Carik Celup’.

Ermanta, K., Abidin, A. and Jamaluddin (2001) Diagnosis Tuberkulosis.


Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
59

Irianti et al. (2016) Obat Anti Tuberkulosis Lini Pertama Obat, Mengenal
Anti tuberkulosis. Yogyakarta: Fakultas Farmasi UGM.

Kemenkes RI (2014) Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia


2010-2014, Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-
2014. Jakarta.

Notoatmodjo, S. (2012) Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka


Cipta.

Nursidika, P. et al. (2017) ‘Gambaran Abnormalitas Organ Hati dan Ginjal


Pasien Tuberkulosis yang Mendapatkan Pengobatan’, Jurnal
Kesehatan Kartika, 12(1).

Pantekosta, H. I. (2013) Hubungan Hasil Pemeriksaan Sputum Basil


Tahan Asam (BTA) Dengan Gambaran Luas Lesi Radiologi pada
Pasien Tuberkulosis Paru di UP4 Provinsi Kalimantan Barat Periode
2011- 2012. Universitas Tanjungpura Pontianak.

Pontoh, L., Polii, E. and Gosal, F. (2016) ‘Gambaran Kadar Bilirubin


Pasien Tuberkulosis Paru Selama Pengobatan di RSUP Proff. Dr. R.
D. Kandou Manado periode Januari 2012 – Desember 2014’, Jurnal
e-Clinic, 4(1).

Suganda, H. P. and Majdawati, A. (2013) ‘Hubungan Gambaran Foto


Thorax dengan Hasil Pemeriksaan Sputum BTA pada Pasien
dengan Klinis Tuberkulosis’, Mutiara Medika, 13(1).

Sugiyono (2016) Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.


Bandung: Alfabeta cv.

Tristyanto, N. (2015) ‘Pola Hubungan antara Kadar Billirubin Serum


dengan Bilirubinuria’, Nugroho Pola Hub, 3(1).

WHO (2017) 2017 Global Tuberculosis Report. doi:


10.1001/jama.2014.11450.

Widhiasnasir, E. R. (2017) Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru di


Kota Parepare Tahun 2016. Universitas Hasanuddin Makasar.
60

Anda mungkin juga menyukai