Anda di halaman 1dari 18

ILMU PENDIDIKAN ISLAM

“ALAT-ALAT PENDIDIKAN ISLAM”

KELOMPOK I :
1. Nurhidaya Amelia Putri
2. Nurul Aisyah
3. Maya
PRODI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
TAHUN ANGKATAN 2021
UIN ALAUDDIN MAKASSAR

1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Shalawat serta salam semoga senantiasa selalu
tercurah kepada junjungan kita, Nabi besar Muhammad SAW berserta keluarganya dan para sahabatnya,
serta umatnya yang senantiasa selalu mengikuti dan menjalankan syaria’atnya hingga akhir zaman.
Alhamdulillah berkat rahmat dan hidayah-NYA serta karunia-NYA saya dapat menyelesaikan makalah
ini yang disusun berdasarkan hasil pengamatan dan juga darireverensi yang relevan, agar nantinya saya
berharap makalah ini dapat di terima dengan baik di semua kalangan dan dapat memberi manfaat kepada
pembacanya Di dalam pengerjaan makalah ini, saya sudah berusaha sebaik mungkin tapi mungkin dengan
segala keterbatasan waktu, kemampuan dan pengetahuan, saya sadar bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna. Maka dari itu saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak sangat saya harapkan
demi sempurnanya makalah ini di kemudian hari.
Samata , 07 April 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………...2
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………..4
A. Latar Belakang……………………………………………………………………4
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………...5
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………6
A. EksistensiAlat Pendidikan Islam………………………………………………….6
B. Konsep Pergaulan,Wibawah,Hukuman,Sarana,Dan Media Pembelajaran Menurut
Pendidikan Islam…………………………………………………………………..7
BAB III PENUTUP……………………………………………………………………...17
Kesimpulan…………………………………………………………………………...17
Saran………………………………………………………………………………….17
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………18

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan Islam pada dasarnya merupakan upaya pembinaan dan pengembangan potensi
manusia agar tujuan kehadirannya di dunia ini sebagai hamba Allah dan sekaligus khalifah
Allah. Potensi yang dimaksud meliputi potensi jasmaniah dan rohaniah seperti akal, perasaan,
kehendak dan aspek rohaniah lainnya. Dalam wujudnya, pendidikan Islam dapat menjadi upaya
umat secara bersama, atau upaya lembaga kemasyarakatan yang memberikan jasa pendidikan
bahkan dapat pula menjadi usaha manusia itu sendiri untuk mendidik dirinya sendiri.
Pendidikan Islam juga merupakan suatu sistem terjadinya proses kependidikan yang berusaha
untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan pendidikan adalah suatu nilai ideal
yang hendak diwujudkan melalui proses kependidikan itu. Pendidikan apapun senantiasa
kontekstual dengan nilai-nilai atau bahkan commitment dengan tata nilai. Pendidikan Islam yang
membawakan dan menanamkan nilai-nilai Islami, lebih banyak berorientasi kepada nilai-nilai
ajaran Islam.
Cara atau alat yang paling efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikan ialah
pengajaran. Karena pengajaran sering diidentikkan dengan pendidikan, meskipun kalau istilah ini
sebenarnya tidak sama. Pengajaran ialah poros membuat jadi terpelajar (tahu, mengerti,
menguasai, ahli; belum tentu menghayati dan meyakini); sedang pendidikan ilahi membuat
terang jadi terdidik (mempribadi, menjadi adat kebiasaan). Maka pengajaran agama seharusnya
mencapai tujuan Pendidikan Agama Islam.
Dalam perkembangannya istilah pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan
dengan sengaja terhadap peserta didik oleh orang dewasa agar menjadi dewasa. Dalam
perkembangan selanjutnya, pendidikan berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau
sekelompok orang untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar menjadi dewasa
atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.
Oleh karena itu, pendidikan Islam mengutamakan pengajaran ilmu dan pembentukan akhlak,
maka alat untuk mencapai ilmu adalah alat-alat pendidikan ilmu sedangkan alat untuk
pembentukan akhlak adalah pergaulan. Dalam pergaulan edukatif, guru dapat menyuruh atau
melarang peserta didik mengerja-kan sesuatu. Ia dapat menghukum peserta didik sebagai koreksi
terhadap tingkah lakunya yang salah dan memberi hadiah sebagai pendorong untuk berbuat yang
lebih baik lagi. Hukuman berupa pukulan umpamanya dapat digunakan bagi anak umur sepuluh
tahun ke atas bila ia meninggalkan sembahyang.

4
Guru harus mampu menyajikan informasi dengan menarik, dan asing bagi peserta didiknya.
Sesuatu informasi yang disampaikan dengan teknik yang baru, dengan kemasan yang bagus
didukung oleh alat-alat berupa sarana atau media yang belum pernah dikenal oleh peserta didik
sebelumnya sehingga menarik perhatian bagi mereka untuk belajar, misalnya guru
menyampaikan informasi dengan alat yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.
Alat pendidikan Islam merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan
pendidikan Islam, dengan demikian alat ini mencakup apa saja yang dapat digunakan termasuk
di dalamnya terdapat metode pendidikan Islam. Metode dan alat pendidikan Islam berfungsi
untuk menuntun, membimbing peserta didik dalam proses pembelajaran. Maka dari itu metode
dan alat pendidikan Islam harus se arah dengan Al-Qur’an dan Hadis.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan
yang akan menjadi pembahasan dalam makalah ini yaitu:
1. Bagaimana eksistensi alat pendidikan Islam?
2. Bagaimana konsep pergaulan, wibawa, hukuman, sarana, dan media pembelajaran
menurut pendidikan Islam?

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Eksistensi Alat Pendidikan Islam


Alat pembelajaran merupakan tindakan, perbuatan, perbuatan, situasi, dan atau benda yang dengan
sengaja diadakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Pengertian alat mengarah pada objek benda mati.
Sementara istilah tindakan atau perbuatan merujuk pada objek yang hidup atau berubah itu, tindakan atau
perbuatan manusia. Oleh sebab itu, tindakan atau perbuatan manusia dalam pendidikan dibahas dalam
unsur metode pendidikan.
Sebaliknya, istilah alat dalam pembahasan ini merujuk pada barang yang dipakai untuk mengerjakan
sesuatu. Alat pendidikan dapat berupa fisik atau non fisik (situasi) yang dalam proses kependidikan perlu
didayagunakan secara bervariasi sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Tujuan utama
mempergunakan alat tersebut ialah untuk mencapai hasil yang optimal dalam proses kependidikan.
Oleh sebab itu, istilah alat lebih tepat digunakan untuk objek yang non manusia. Contohnya; papan tulis,
kapur, OHP, buku, tempat belajar, situasi, dan kondisi ruangan, dan seterusnya akan sangat membantu
proses pembelajaran.
Agar tujuan pendidikan bisa tercapai, maka perlu diperhatikan segala sesuatu yang mendukung
keberhasilan program pendidikan itu. Faktor penunjang keberhasilan tujuan pendidikan, kesuksesan
dalam proses pembelajaran merupakan salah satu faktor yang sangat dominan. Sebab di dalam proses
pembelajaran itulah terjadi internalisasi nilai-nilai dan pewarisan budaya maupun norma-norma secara
langsung. Karena itu kegiatan pembelajaran merupakan “ujung tombak” untuk tercapainya pewarisan
nilai-nilai. Untuk itu perlu sekali dalam proses pembelajaran itu diciptakan suasana yang kondusif, agar
peserta didik benar-benar tertarik dan ikut aktif dalam proses itu.
Dalam kaitannya dengan usaha menciptakan suasana yang kondusif itu, alat/media pendidikan atau
pengajaran mempunyai peranan yang sangat penting. Sebab alat/media merupakan sarana yang membantu
dalam proses pembelajaran, terutama yang berkaitan dengan indera pendengaran dan penglihatan. Adanya
alat/media bahkan dapat mempercepat proses pembelajaran peserta didik, karena dapat membuat
pemahaman peserta didik lebih cepat pula.
Dalam pengelolaan kelas, harus diperhatikan tersedianya alat-alat yang diperlukan dalam pelaksanaan
proses pembelajaran. Alat-alat (means) digunakan untuk mencapai tujuan, oleh sebab itu bagaimanapun
lengkap tersedianya alat-alat pendidikan, tidak akan menjamin hasil gunanya, jika tidak dapat digunakan
sebagaimana mestinya.
Agar alat-alat yang tersedia dapat menjadi alat mencapai tujuan, maka pertama, harus dikenal dulu alat-
alat itu sebaik-baiknya, mengerti fungsinya, dan apa yang dapat dicapai dengan alat tersebut. Kedua,
harus jelas tujuan yang hendak dicapai melalui alat tersebut. Ketiga, harus terampil dalam penggunaan
alat. Keempat, harus sanggup memelihara/memanfaatkan alat-alat yang ada.

6
Alat dapat berfungsi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam proses pembelajaran, tetapi
semua alat harus diuji sejauh mana nilai pakai atau manfaatnya dengan jalan menggunakannya secara
aktual dalam proses pembelajaran. Sebagai acuan atau kriteria yang digunakan dalam penilaian pada
tahap ini, antara lain:
1. Dapat menarik perhatian peserta didik ketika menyajikan informasi dan gagasan-gagasan.
2. Memberikan informasi penting dan baru.
3. Mempermudah pemilikan keterampilan khusus, sikap-sikap atau apresiasi
4. Membawa hasil yang memuaskan terhadap upaya pencapaian tujuan instruksional khusus.
Pada waktu menggunakan alat peraga di sekolah guru harus ingat yang penting bukanlah banyaknya alat
peraga yang digunakan tetapi adalah cara menggunakannya yang tepat, dan nilai alat peraga pada
pelajaran yang diberikan. Pemakaian alat peraga jangan terlampau lama karena mungkin akan membosan-
kan dan jangan pula terlampau sedikit karena peserta didik belum memahami apa yang diberikan
kepadanya.
Penggunaan alat peraga sering meminta aktivitas yang banyak dari guru dan peserta didik, baik dalam
mencari bahan maupun dalam membuat, serta pelaksanaannya. Oleh karena itu guru harus belajar dan
mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan setiap zaman. dia tidak boleh ragu terhadap kemajuan yang
telah dicapai, karena sebagian alat-alat peraga akan tercipta dan diciptakan dari ilmu yang baru.
Alat-alat pendidikan Islam harus bernilai mendukung norma-norma Islami an mampu berfungsi
memperlancar proses pencapaian tujuan pendidikan Islam. Oleh karena itu, suatu alat atau metode harus
mengandung nilai intrinsik dan ekstrinsik sejalan dengan tujuan pendidikan yang ideal Islami dan dapat
diterapkan alam bahan/materi kependidikan yang sesuai dengan tujuan pendidik-an Islam.
Oleh karena itu, dalam penggunaan alat pendidikan Islam perlu diseleksi terlebih dahulu sebelum
digunakan dalam proses pembelajaran, mana yang tepat digunakan dan mana yang kurang tepat
digunakan, harus diukur dari tujuan pendidikan yang hendak dicapai dalam proses. Alat-alat pendidikan
baik yang serba-guna maupun tunggal guna sekurang-kurangnya harus mengandung nilai yang bersifat
mendidik.

B. Konsep Pergaulan, Wibawa, Hukuman, Sarana, dan Media Pembelajaran Menurut Pendidikan Islam

a. Hukuman
Efektivitas metode hukuman dan ganjaran berasal dari fakta yang menyatakan bahwa metode ini secara
kuat berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan individu. Seorang peserta didik yang menerima ganjaran
akan memahaminya sebagai tanda penerimaan kepribadiannya yang membuat merasa aman. Keamanan
merupakan salah satu kebutuhan psikologis, sementara hukuman yang berkaitan dengan hal-hal yang
tidak disukainya akan dapat menguatkan rasa aman.
Karena pengajaran merupakan aktivitas kependidikan, maka pendidik atau guru harus memberi yang
terbaik untuk memotivasi setiap anak didiknya dengan memiliki metode yang berguna. Di samping itu,
pendidik boleh saja mempergunakan ganjaran dan hukuman sebagai kekuatan-kekuatan yang memberi
motivasi. Fitrah manusia yang baik lebih mengutamakan ganjaran daripada hukuman. Kedudukan

7
pendidik muslim yang tinggi ini menjadikan ganjaran lebih menarik perhatian. Ketika hukuman itu
dilakukan dalam kesempatan-kesempatan, kiranya harus dihubungkan dengan tujuan-tujuan pendidikan.
Adanya asas hukuman jasmani tidak diletakkan sebagai alasan mempergunakan metode hukuman
badaniah dengan tanpa pandang bulu.
Hukuman adalah salah satu alat pendidikan yang juga diperlukan dalam pendidikan. Hukuman diberikan
sebagai akibat dari pelanggaran, kejahatan, atau kesalahan yang dilakukan peserta didik. Tidak seperti
akibat yang ditimbulkan oleh ganjaran, hukuman mengakibatkan penderitaan atau kedukaan bagi peserta
didik yang menerimanya.
Siapa saja dapat melakukan penyiksaan terhadap orang lain, tetapi dalam soal memberikan hukuman
hanya orang tertentu saja yang dapat melekukkannya. Apalagi dalam konteks pendidikan, tidak semua
orang berhak melakukannya. Karena hukuman yang diberikan itu harus didekati dengan pendekatan
edukatif, yang menjunjung tinggi tata susila dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Di sekolah,
terutama dapat dilakukan oleh guru, sedangkan di rumah, terutama dilakukan oleh orangtua.
Hukuman tidak boleh merusak baik antara guru dan peserta didik. Untuk itu hukuman yang diberikan itu
diupayakan untuk dapat dipahami oleh peserta didik. Peserta didik dalam hatinya menerima hukuman itu
dan merasa keadilan hukuman itu. Peserta didik hendaknya memahami bahwa hukuman itu akibat yang
sewajarnya dari pelanggaran yang diperbuatnya. Peserta didik mengerti, bahwa hukuman itu tergantung
dari kemauan guru, tetapi dengan berat ringannya kesalahan.
Dari satu jalur logika “teori” itu ada benarnya dan logis, bahwa setiap orang yang bersalah harus
mendapat hukuman, setiap orang yang berbuat baik harus mendapat ganjaran.
Penghargaan dan hukuman yang merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh guru dalam mendidik
peserta didiknya. Penghargaan untuk perbuatan yang baik dan hukuman untuk perbuatan yang salah yang
telah dilakukan peserta didiknya. Keduanya merupakan alat pendidikan dan keduanya timbul sebagai
usaha untuk memperbaiki kelakuan dan budi pekerti peserta didiknya. Penghargaan diberikan sebagai
ungkapan rasa senang dan bangga atas perbuatan baik dan prestasi yang diraih peserta didiknya, tetapi
jangan sampai menebalkan sifat materialisnya. Sedang Hukuman dalam pendidikan diberikan bertujuan
untuk menuntun dan memperbaiki, bukan untuk menyakiti atau balas dendam, bahkan jiwa santun sangat
diperlukan dalam siasat mendidik anak.
Dari penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa metode mengajar harus dilaksanakan sejak dini,
bertahap, berkesinambungan dan tuntas, serta dengan cara bijaksana, penuh kasih sayang, teladan yang
baik, sesuai dengan perkembangan peserta didik, yang dapat membangkitkan minat dan dengan cara yang
praktis.

8
b. Pergaulan

Guru hendaknya memelihara akhlak yang mulia dalam pergaulannya dengan orang banyak dan
menghindarkan diri dari akhlak yang buruk. Sebagai pewaris Rasulullah saw sudah sepantasnya seorang
pendidik untuk memperlihat-kan akhlak yang terpuji, sebagaimana peran yang dimainkan oleh Ralulullah
dalam menghadapi umatnya (sebagai teladan atau panutan).
Sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. al-Hujurat/49: 13.
Terjemahnya:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di
antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Kemudian selaras dengan ayat di atas yang berkaitan dengan masalah pergaulan juga dijelaskan lagi
dalam firman Allah Q.S. al-Hujurat/49: 6.
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka
periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

Ayat-ayat di atas memberi petunjuk tentang perlunya keteladanan dalam memberi pengajaran. Artinya
apa yang disampaikan dan diajarkan harus lebih dahulu dicontohkan dalam bentuk perbuatan. Peserta
didik akan mencontoh apa yang dilakukan atau dipraktekkan. Dengan demikian, peserta didik belajar
tidak hanya mendengarkan apa yang diucapkan tetapi melihat apa yang diperbuat. Cara seperti ini banyak
memberi pengaruh atau lebih efektif dibandingkan dengan cara memberi nasehat-nasehat dan petunjuk-
petunjuk secara lisan. Terutama bagi anak-anak, contoh perbuatan atau keteladanan ini sangat efektif dan
menentukan. Sudah menjadi tabiat anak-anak untuk meniru apa yang dilihat dari masyarakat di
sekitarnya, baik atau buruk. Anak dapat meniru orang-orang yang ditemaninya bergaul dan bermain
(termasuk kedua orang tua dan saudara-saudaranya).
Interpretasi tersebut sejalan dengan paham behaviourisme (yang bersumber dari sarjana psikologi dan
pendidikan Amerika Serikat) yang berpandangan bahwa manusia tidak dilahirkan menjadi baik atau
buruk, sebagai-mana Skiner yang menyatakan bahwa lingkungan sekitar menentukan perkem-bangan
hidup seseorang, namun ia sendiri dapat mengubah lingkungan tersebut. Lingkungan sekitar berperan
sangat crucial (rumit) dalam proses pembentukan kepribadian seseorang.
Pendidikan tidak lepas dari tanggung jawab keluarga, sekolah, dan masyarakat. Orang tua sebagai
pendidik dalam lingkungan keluarga karena pada hakekatnya orang tualah yang mempunyai harapan-
harapan agar anak-anaknya tumbuh dan berkembang menjadi anak yang baik. Dari didikan orang tua
itulah sehingga seorang anak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk dan tidak
terjerumus dalam perbuatan yang merugikan dirinya dan orang lain.

9
Pada dasarnya pendidikan agama pad anak serta pembentukan dan penanaman akhlak tidak terlepas dari
tri pusat pendidikan, yaitu pendidikan keluarga, sekolah, dan masyarakat baik langsung maupun tidak
langsung dengan saling menopang kegiatan yang sama secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
Dengan kata lain, perbuatan mendidik oleh orang tua terhadap anak, juga dilakukan oleh sekolah dengan
memperkuatnya, serta dikontrol oleh masyarakat sebagai lingkungan sosial anak. Maka dari itu ketiganya
sangat berperan dalam di lingkungan pendidikan dan diuraikan sebagai berikut:

1. Peran keluarga (orang tua) dalam pendidikan Islam


Orang tua merupakan pendidik pertama dan utama bagi anak-anak mereka, karena dari merekalah anak
mulai menerima pendidikan yang terdapat dalam kehidupan keluarga.
Seorang anak dididik dengan pendidikan agama, sejak anak dalam kandungan, setelah lahir hingga
dewasa masih perlu dibimbing. Menurut hasil penelitian ilmu modern mengatakan bahwa yang dominan
membentuk jiwa anak adalah lingkungan. Lingkungan pertama yang dialami sang anak adalah ibu dan
ayah.
Di samping itu, pangkal ketenteraman dan kedamaian hidup terletak dalam keluarga. Mengingat
pentingnya hidup keluarga yang demikian, maka Islam memandang keluarga bukan hanya sebagai
persekutuan hidup terkecil saja melainkan dari itu, yakni sebagai lembaga hidup manusia yang memberi
peluang kepada para anggotanya untuk hidup celaka atau bahagia di dunia dan di akhirat.
Pendidikan dalam rumah tangga itu bukan berpangkal dari kesadaran dan pengertian yang lahir dari
pengetahuan mendidik, melainkan secara kodrati suasana dan strukturnya memberikan kemungkinan
alamiah membangun sitauasi pendidikan. Situasi pendidikan itu terwujud berkat adanya pergaulan dan
hubungan pengaruh mempengaruhi secara timbal balik antara orang tua dan anak.

2. Peranan lingkungan sekolah/madrasah dalam pendidikan Islam


Pada dasarnya pendidikan di sekolah merupakan bagian dari pendidikan dalam keluarga, yang sekaligus
merupakan lanjutan dari pendidikan keluarga. Di samping itu kehidupan di sekolah adalah jembatan bagi
anak yang menghubungi-kan kehidupan dalam keluarga dengan kehidupan dalam masyarakat kelak.
Usaha pembinaan dan rasa tanggung jawab pendidikan yang dilakukan oleh sekolah sebagai lembaga
pendidikan formal. Diselenggarakan secara sengaja, berencana, terarah dan sistematis melalui suatu
lembaga pendidikan.
Sekolah melakukan pembinaan pendidikan untuk peserta didiknya didasarkan atas kepercayaan dan
tuntunan lingkungan keluarga dengan masyarakat yang tidak mampu atau mempunyai kesempatan untuk
mengembang-kan pendidikan di lingkungan masing-masing, mengingat berbagai keterbatasan yang
dimiliki oleh orang tua anak. Namun tanggung jawab utama pendidikan khususnya pendidikan Islam tetap
di tangan kedua orang tua. Sekolah hanya meneruskan dan mengembangkan pendidikan yang telah
diletakkan dasar-dasar oleh pendidikan keluarga sebagai pendidik informal.

10
Sekolah (guru-guru) lebih bertanggung jawab terhadap pendidikan intelek (kognitif) serta pendidikan
keterampilan (psikomotorik) yang berhubungan dengan kebutuhan anak di dalam masyarakat nanti dan
yang sesuai dengan tuntutan masyarakat nanti. Tentu saja dalam hal itu tidak berarti bahwa guru boleh
mengabaikan begitu saja pendidikan untuk anak didiknya. Sekolah berkewajiban dan bertanggung jawab
atas hasil pelajaran yang telah diberikan kepada peserta didiknya, yang umumnya keluarga tidak mampu
memberikannya. Sedangkan pendidikan yang telah dilaksanakan oleh keluarga.

3. Peranan masyarakat dalam pendidikan islam


Pendidikan masyarakat biasa disebut dengan pendidikan non-formal, yaitu pendidikan yang
diselenggarakan secara sengaja dan berencana tetapi tidak sistematis di luar lingkungan keluarga dan
sekolah.
Masyarakat adalah sekumpulan orang banyak dengan berbagai ragam kualitas diri, mulai dari yang tidak
berpendidikan sampai kepada yang ber-pendidikan tinggi. Masyarakat besar pengaruhnya dalam
memberikan arah terhadap pendidikan anak, terutama para pemimpin masyarakat muslim tentu saja
menghendaki agar setiap anak didik menjadi anggota masyarakat yang taat dan patuh menjalankan
agamanya, baik dalam lingkungan keluarga, kelompok kelas dan sekolahnya. Bila anak besar diharapkan
menjadi anggota yang baik pula sebagai warga desa, warga kota dan warga negara.
Pendidikan Islam akan berhasil apabila terwujud hubungan serta kerja sama antara keluarga, sekolah dan
masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung dengan menopang kegiatan saling mendidik,
karena ketiganya masing-masing memiliki peranan dalam membina dan mendidik anak-anak
(anggotanya), meskipun keluarga merupakan lingkungan yang mempunyai pengaruh lebih besar daripada
di sekolah dan di masyarakat.

c. Wibawa
Wibawa adalah sifat yang memperlihatkan kemampuan untuk mempengaruhi orang lain melalui sikap
dan tingkah laku yang mengandung kepemimpinan dan daya tarik (KBBI, 2000). Guru yang berwibawa
berarti guru yang dapat membuat siswanya terpengaruh oleh tutur katanya, pengajarannya, patuh kepada
nasehatnya, dan mampu menjadi magnet bagi siswanya sehingga siswanya akan terkesima dan tekun
menyimak pengajarannya.
Pada era 1960-an, wibawa guru masih kental dan terasa. Sosok guru selalu dipuja, dihormati, dan sikap
serta pemikirannya senantiasa diteladani. Apa yang disampaikan gurunya selalu dianggap sebagai amanat
yang wajib dilaksanakan. Siswa menjunjung tinggi gurunya, bahkan melebihi orang tua kandungnya
sendiri. Pada era itu, siswa tidak berani berbicara sambil menatap langsung mata gurunya, tetapi berbicara
sambil menunduk dengan suara yang pelan. Begitu tingginya derajat guru kala itu, siswa akan gugup dan
berkeringat dingin ketika diajak bicara oleh sang guru.
Perubahan dan pergeseran perilaku generasi muda pada era 2000-an telah berimbas kepada merosotnya
wibawa guru. Idiom guru ialah sosok yang digugu dan ditiru tidak berlaku lagi. Siswa cenderung
memandang enteng gurunya. Untuk menegakkan wibawa yang runtuh itu, diperlukan kebesaran hati guru
itu sendiri dengan mau berjuang untuk memperbaiki kinerja dan meningkatkan kompetensi serta
profesionalismenya.

11
Dengan membaca beberapa kajian, kita dapat melihat sketsa kehidupan yang terjadi di sekitar kita. Nilai-
nilai budi pekerti dapat dipetik dalam karya sastra. Sebaliknya, unsur negatif dan kerusakan moral yang
terjadi di bumi ini pun dapat terekam dalam karya sastra. Karya sastra era 1960-an dan karya sastra era
2000-an memiliki perbedaan yang mencolok apabila dikontraskan.
Dalam kajian ini, ditemukan pertentangan wibawa guru antara sosok guru dalam era 1960-an dan era
2000-an. Terlihat dalam data dan analisis sebagai berikut.
Pada era 1960-an, wibawa guru masih terpancar. Murid masih mengagumi gurunya, menaruh hormat, dan
menempatkan guru pada derajat yang tinggi. Murid berlomba-lomba menolong gurunya supaya mendapat
pahala. Sosok guru dijadikan gantungan untuk bertanya, baik masalah pelajaran, keluarga, bahkan
masalah persawahan. Dengan demikian, guru masih dianggap orang yang ahli, banyak ilmu, dan bijak. Di
mata murid dan masyarakat, guru lebih tinggi derajatnya dibandingkan orang tua bahkan pemuka
masyarakat. Bisa berkomunikasi dan berinteraksi dengan sang guru merupakan suatu kebanggaan.
Jadi, dalam pada era 1960, citra guru sangat positif. Akan tetapi, pada era 2000-an, wibawa guru
memudar. Guru malah diperolokolokkan, dicemoohi, dan menjadi sosok yang dihindari. Murid tidak
menempatkan guru sebagai mitra yang dapat diajak bekerja sama. Murid malahan menempatkan gurunya
pada tempat yang negatif. Guru disimbolkan sebagai sosok yang menakutkan, jahat, dan mengerikan.
Persepsi murid terhadap guru itu muncul karena ketiadaan wibawa yang melekat pada gurunya. Pelecehan
murid kepada guru bukanlah sekedar isapan jempol. Pada kenyataan, ada fakta yang menyebutkan
seorang murid tega memukuli gurunya sampai babak belur karena merasa sakit hati ketika ditegur di
kelas. Ada juga murid yang tega menggembosi ban sepeda motor gurunya karena mendapat nilai jelek.
Ada pula murid yang berani mengancam gurunya dengan pisau supaya ia diluluskan. Perubahan perilaku
di atas terjadi karena terjadinya kemunduran moral dan akhlak.

Ditinjau dari daya mempengaruhi seseorang, kewibawaan dapat dibeda-kan menjadi dua, yaitu:

1. Kewibawaan lahir
Kewibawaan lahir merupakan kewibawaan yang nampak dan terlihat pada diri seorang pendidik atau
seorang guru. Kewibawaan lahir bisa nampak dari cara berpakaiannya, cara berbicaranya dan dari cara dia
bertindak. Kewibawaan lahir ini bisa diraih dengan cara pembentukan fisik dan gerak yang kharismatik
ketika berhadapan dengan peserta didik.

2. Kewibawaan Batin;
Kewibawaan bathin merupakan kewibawaan yang dimiliki oleh seorang guru atau pendidik yang tak
nampak atau tidak terlihat, namun ketika ia hadir maka setiap siswa dapat merasakan bahwa ia adalah
sosok yang mengagumkan dan sosok yang patut untuk dipatuhi perintahnya, harus didengarkan setiap
perkataannya dan harus senantiasa menaruh hormat kepadanya. Meskipun pendidik tak melakukan atau
berbicara apapun, namun karena kewibawaan yang terpancar dari dalam dirinya maka ia akan senantiasa
dihormati oleh peserta didik atau muridnya.

12
Kewibawaan batin ini bisa didapatkan dengan senantiasa mengoptimalkan potensi yang ada dalam diri
kita atau dengan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah swt. Imam Al-Ghazali pernah berkata jika
manusia ingin disebut sebagai manusia yang sesungguhnya maka ia harus senantiasa memperkuat ruhnya
dengan amalan-amalan ukhrowi, karena ruh adalah sumber kebahagiaan, ruh adalah pemancar ketenangan
dan harapan dan ruh ialah sumber dari kekuatan. Maka, untuk mengoptimalkan potensi ruhaniah yang ada
pada diri kita hendaknya seorang pendidik harus senantiasa berdoa dan mengingat Allah dalam setiap
aktivitasnya, terutama saat mendidik.
Wibawa adalah pengaruh yang baik secara abadi dari seseorang kepada orang lain yang tercermin pada
pribadi dan perilaku kehidupannya. Wibawa menumbuhkan ketaatan dengan kesadaran, pengertian, dan
persetujuan. Wibawa guru penting untuk memudahkan memberi pengaruh dalam penularan atau
penyampaian pembelajaran. Selain itu, wibawa guru akan cenderung menyadari keberhasilan kerjanya.
Wibawa guru menunjukkan pengakuan martabat dirinya yang tidak perlu dukungan dari orang lain.
Seperti dengan cara intimidasi atau memberikan tekanan pada siswanya.
Oleh karena itu, guru yang berwibawa akan memberikan pendidikan dengan layanan prima dan tanpa
pamrih. Siswa akan dididik dengan tulus agar dapat menjalani hidup yang sukses. Perilaku guru pun
menunjukkan pribadi yang jujur, adil, taat asas, tulus, dan bijaksana. Sebaliknya, guru yang melakukan
pendidikan dengan penekanan cenderung bersifat indoktrinasi yang dipandang bukan pendidikan lagi.
Dengan demikian, siswa tidak dididik untuk memiliki kemandirian yang bebas, etis, dan bertanggung
jawab sendiri.
Fungsi dan tanggung jawab mendidik dalam masyarakat merupakan kewajiban setap warga masyarakat.
Setiap warga masyarakat sadar akan nilai dan peranan pendidikan bagi generasi muda, khususnya anak-
anak dalam lingkungan keluarga sendiri. Secara kodrati, apa pun namanya, tiap orangtua merasa
berkepentingan dan berharap supaya anak-anaknya menjadi manusia yang mampu berdiri sendiri. Oleh
karena itu, kewajiban mendidik ini merupakan panggilan sebagai moral tiap manusia.
Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan, dan identifikasi bagi peserta didik, dan
lingkungannya. Oleh karena itu, guru harus memiliki standar kualitas pribadi tertentu, yang mencakup
tanggung jawab, wibawa, mandiri, dan disiplin.
Berkenaan dengan wibawa; guru harus memiliki kelebihan dalam merealisasikan nilai spiritual,
emosional, moral, sosial, dan intelektual dalam pribadinya, serta memiliki kelebihan dalam pemahaman
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni sesuai dengan bidang yang dikembangkan.
Pelaksanaan metode yang tepat guna ini selain memudahkan bahan pengajaran ini untuk diterima peserta
didik, juga hubungan guru dan peserta didik tidak terputus. Hubungan yang demikian itu sangat penting
untuk membina karakter peserta didik dan kewibawaan guru sebagai pendidikan yang harus dihormati
dan dimuliakan. Peserta didik akan mengenal gurunya dan guru akan mengenal peserta didiknya dengan
seksama. Saling menghormati hanya akan tercipta kalau ada saling mengenal.
Pendidikan merupakan hubungan antar pribadi pendidik dan peserta didik. Dalam pergaulan terjadi
kontak atau komunikasi antar masing-masing pribadi. Hubungan ini jika meningkat ke taraf hubungan
pendidikan, maka menjadi hubungan antar pribadi pendidik dan pribadi peserta didik, yang pada akhirnya
melahirkan tanggung jawab pendidikan dan kewibawaan pendidikan. Pendidik bertindak demi
kepentingan dan keselamatan peserta didik, dan peserta didik mengakui kewibawaan pendidik dan
bergantung padanya.

13
Tindakan atau perbuatan mendidik, menuntun peserta didik untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, dan
hal ini tampak pada perubahan-perubahan dalam diri peserta didik. Perubahan sebagai hasil pendidikan
merupakan gejala kedewasaan yang secara terus-menerus mengalami peningkatan sampai penentu-an diri
atas tanggung jawab sendiri oleh anak didik atau terbentuknya pribadi dewasa susila.
Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa kewibawaan yang dimiliki oleh pendidik apabila cara
mendidiknya dengan memperlihatkan sifat-sifat lembut, melindungi, menyayangi, kerjasama, berdiskusi,
keramahan dan sebagainya. Prinsipnya sangat sederhana; orang yang dikerasi akan menjadi keras, orang
yang didekati akan jadi dekat, orang yang dikawini akan mengawani, orang yang diramahi akan menjadi
ramah, orang yang dikasih lemah lembut akan menjadi lemah lembut pula.

d. Sarana
Proses pembelajaran di sekolah akan berjalan dengan lancar jika ditunjang dengan sarana yang memadai,
baik jumlah, keadaan, maupun kelengkapannya. Jumlah yang dimaksud adalah keberadaan dan banyak
sedikitnya sarana yang dimiliki.
Sarana pendidikan adalah semua fasilitas yang diperlukan dalam proses pembelajaran, baik yang bergerak
maupun tidak bergerak agar pencapaian tujuan pendidikan dapat berjalan dengan lancar , teratur, efektif
dan efisien.
Lebih luas fasilitas dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat memudahkan dan melancarkan
pelaksanaan suatu usaha dapat berupa benda-benda maupun uang.
Jadi dalam hal ini fasilitas disamakan dengan sarana. Fasilitas atau sarana menurut Suharsimin AK,
dibedakan menjadi dua jenis:

 Fasilitas fisik yaitu segala sesuatu yang berupa benda atau yang dapat dibendakan yang
mempunyai peranan untuk memudahkan atau melancarkan suatu usaha.
 Fasilitas uang yaitu segala sesuatu yang bersifat mempermudah suatu kegiatan sebagai akibat
bekerjanya nilai uang.
Sedang sarana seperti alat langsung seperti alat langsung untuk mencapai tujuan pendidikan. Misalnya:
ruang, buku, perpustakaan, laboratorium dan sebagainya.

Sedangkan menurut keputusan Menteri P dan K No. 079/1975, sarana pendidikan terdiri dari tiga
kelompok besar yaitu:

 Bangunan dan perabot sekolah.


 Alat pelajaran yang terdiri, pembukuan dan alat-alat peraga dan laboratorium.
 Media pendidikan yang dapat dikelompokkan menjadi audiovisual yang menggunakan alat
penampil dan media yang tidak menggunakan alat penampil.
Aspek sarana dan prasarana pendidikan berkenaan juga dengan fasilitas dan kemudahan dalam
pelaksanaan pendidikan yang tersedia. Sarana dan prasarana pendidikan masih sangat tergantung
pengadaannya dari pemerintah pusat, sementara pendistribusiannya belum terjamin merata sampai ke
tujuannya sehingga kemandirian dan rasa turut bertanggung jawab daerah masih dirasakan kurang
maksimal.

14
Permasalahan-permasalahan yang menyangkut fasilitas pendidikan ini, erat kaitannya dengan kondisi
tanah, bangunan dan perabot yang menjadi penunjang terlaksananya proses pendidikan. Dalam aspek
tanah, berkaitan dengan status hukum kepemilikan tanah yang menjadi tempat pendidikan, letaknya yang
kurang memenuhi persyaratan lancarnya proses pendidikan (sempit, ramai, terpencil, kumuh, labil, dan
lain-lain) . aspek bangunan berkenaan dengan kondisi gedung sekolah yang kurang memadai untuk
lancarnya proses pendidikan (lembaga, gelap, sempit, rapuh, bahkan banyak yang sudah ambruk, dan
lain-lain) sampai membahayakan keselamatan. Aspek perabot berkenaan dengan sarana yang kurang
memadai bagi pelaksanaan proses pendidikan (meja-kursi yang reyot, alat peraga yang tidak lengkap,
buku paket yang tidak cukup, sarana kesehatan yang kurang memadai, dan lain-lain), termasuk fasilitas
untuk kebutuhan ekstrakurikuler.
Menata lahan, bangunan, perabot dan perlengkapan serta arsip untuk lembaga pendidikan tidak jauh
berbeda dengan penataan yang dilaksanakan dalam “Shool Plant” Administration. Lahan adalah area
lokasi atau tanah yang akan digunakan sebagai tempat/bangunan. Gedung meliputi sarana dan prasarana
yang menjadi tempat dalam melaksanakan berbagai kegiatan. Perabot dan perlengkapan adalah benda dan
alat yang bergerak maupun tidak bergerak yang dipergunakan untuk menunjang kelancaran
penyelenggaraan kegiatan pendidikan. Arsip merupakan hasil surat menyurat, dan dokumen kegiatan
pekerjaan yang dijalankan.
Sarana dan prasarana yang baik apabila dapat menciptakan keadaan sekolah yang bersih, rapi, indah
sehingga menciptakan kondisi yang menyenang-kan baik bagi guru maupun murid di sekolah. Di
samping itu juga diharapkan tersedianya alat-alat atau fasilitas belajar yang memadai secara kuantitatif,
kualitatif, dan relevan dengan kebutuhan serta dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan
proses pendidikan dan pengajaran, baik oleh guru sebagai pengajar maupun murid-murid sebagai pelajar.
Sarana dan prasarana pendidikan juga merupakan alat-alat bantu dalam proses pembelajaran. Umumnya
berbentuk perangkat keras yang dibutuhkan untuk kelancaran proses pembelajaran. Misalnya, papan tulis
dan perlengkapan-nya, meja kursi baik untuk pelatihan atau peserta pelatihan, besar ruangan belajar,
lampu penerangan, media pembelajaran (Radio, TV, OHP, LCD) perlu ditetapkan dengan standarnya
berbeda dengan yang digunakan di setiap jenjang pendidikan. Begitu pula tempat duduk, seting ruang dan
media-media lain yang digunakan. Adanya keanekaragaman dalam jenis dan jenjang pendidikan dan
usaha-usaha yang dilakukan berguna untuk menentukan kelancaran dalam proses pembelajaran maupun
untuk menentukan standar mutu pendidikan, dalam penyelenggaraan tersebut perlu dilakukan secara
terus-menerus.

e. Media Pembelajaran
Kata media berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harfiah
berarti perantara atau pengantar.[34] Kalau dilihat perkembangannya, pada mulanya media hanya
dianggap sebagai alat bantu mengajar guru (teaching aids). Alat bantu yang dipakai adalah alat bantu
visual, misalnya gambar, model, objek dan alat-alat lain yang dapat memberikan pengalaman kongkret,
motivasi belajar serta mempertinggi daya serap dan retensi belajar peserta didik. Namun sayang, karena
terlalu memusatkan perhatian pada alat bantu visual yang dipakainya orang kurang memperhatikan aspek
desain, pengembangan pembelajaran (instruction) produksi dan evaluasinya. Dengan masuknya pengaruh

15
teknologi audio pada sekitar pertengah-an abad ke-20, alat visual untuk mengkongkretkan ajaran ini
dilengkapi dengan alat audio sehingga dikenal adanya audio visual atau audio visual aids (AVA).
Di dalam pendidikan Islam, alat/media itu jelas diperlukan. Sebab/alat media pembelajaran itu
mempunyai peranan yang besar yang berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendidikan yang
diinginkan.
Supaya penggunaan media dapat berjalan dengan baik, maka perlu dibuat membuat persiapan yang baik
pula. Pertama-tama pelajari buku petunjuk yang telah disediakan. Kemudian ikuti petunjuk-petunjuk itu.
Apabila pada petunjuk disarankan untuk membaca buku atau bahan belajar lain yang sesuai dengan tujuan
yang akan dicapai, seyogyanya hal tersebut dilakukan. Hal tersebut akan memudahkan pendidik dalam
pembelajaran dengan media itu.
Peralatan yang diperlukan untuk menggunakan media itu juga perlu dipersiapkan sebelumnya. Dengan
demikian, pada saat mengunakan media, pendidik tidak akan terganggu dengan hal-hal yang mengurangi
kelancaran penggunaan media itu. Jika media itu digunakan secara berkelompok, sebaiknya tujuan yang
akan dicapai dibicarakan terlebih dahulu dengan semua anggota kelompok. Hal itu penting supaya
perhatian dan pikiran terarah ke hal yang sama.

 Abu bakar Muhammad, berpendapat bahwa kegunaan alat/media itu antara lain adalah:
 Mampu mengatasi kesulitan-kesulitan dan memperjelas materi pelajaran yang sulit.
 Mampu mempermudah pemahaman, dan menjadikan pelajaran lebih hidup dan menarik.
 Merangsang anak untuk bekerja dan menggerakkan naluri kecintaan menelaah (belajar) dan
menimbulkan kemauan keras untuk mempelajari sesuatu.
 Membantu pembentukan kebiasaan, melahirkan pendapat, memperhati-kan dan memikirkan
suatu pelajaran, serta
 Menimbulkan kekuatan perhatian (ingatan) mempertajam, indera, melatihnya, memperluas
perasaan dan cepat belajar.
Media pembelajaran yang dirancang dengan baik dapat merangsang timbulnya proses atau dialog mental
pada diri peserta didik. Dengan perkataan lain, terjadi komunikasi antara peserta didik dengan media atau
secara tidak langsung antara peserta didik dengan guru.
Disadari bahwa setiap alat bantu pembelajaran memiliki kemampuannya masing-masing, maka
diharapkan kepada guru agar menentukan pilihannya sesuai dengan kebutuhan pada saat itu. Hal ini
dimaksudkan jangan sampai penggunaan alat bantu itu menjadi penghalang kegiatan interaksi edukatif
yang akan guru lakukan di kelas. Malahan sebaliknya, menjadi pembantu yang dapat
mempercepat/mempermudah pencapaian tujuan pembelajaran.
Media pembelajaran dapat memperjelas penyajian pesan dan informasi sehingga dapat memperlancar dan
meningkatkan proses dan hasil pembelajaran. Media pembelajaran juga dapat meningkatkan dan
mengarahkan perhatian peserta didik sehingga dapat menimbulkan motivasi belajar.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Alat pendidikan Islam yaitu cara dan segala apa saja yang dapat digunakan untuk menuntun atau
membimbing peserta didik dalam proses pertumbuhan agar kelak menjadi manusia yang berkepribadian
muslim. Alat pendidikan juga untuk menunjang keberhasilan mengajar dan memperkembangkan metode-
metode yang dipakai untuk memanfaatkan daya guna media pembelajaran. Alat pendidikan Islam menjadi
bermakna bagi pertumbuhan pengetahuan, keterampilan dan pembentukan sikap keagamaan peserta didik.
Untuk menjadikan peserta didik yang berkualitas pendidikannya maka harus didukung dari berbagai cara,
strategi maupun bentuk lainnya yang bermanfaat dalam proses pembelajaran. Pergaulan, hukuman,
sarana, media pembelajaran maupun lainnya, ini sangat menunjang dan berkaitan dalam meraih
keberhasilan dan pendidikan yang berkualitas.

B. Saran

 Diharapkan bagi guru bisa memilih dan pergunakan alat pendidikan secara tepat dan efisien.
 Diharapkan bagi guru harus memperhatikan pergaulan peserta didiknya, karena pergaulan sangat
berpengaruh dalam motivasi belajar peserta didiknya.
 Sosok seorang guru harus bisa menjaga kewibawaan di sekolah, di masyarakat maupun di tempat
lainnya. Derajat guru sangat tinggi, mulia, dan dihormati apabila secara terus-menerus bisa
menjaga kewibawaannya.
 Diharapkan bagi pembaca makalah ini kritik dan saran yang bersifat membangun, guna perbaikan
selanjutnya.

17
DAFTAR PUSTAKA

Rahman Getting. Pendidikan Islam dalam Pembangunan: Moral, Remaja, Wanita, Pembangunan. Ujung
Pandang: Yayasan Al-Ahkam, 1997.Abdullah, Abdurahman Saleh. Teori-teori Pendidikan Berdasarkan
Al-Quran. Cet. II. Jakarta: PT Reneka Cipta, 2005.Ahmad Tafsir. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif
Islam. Cet. VI; Bandung: PT Remaja Rosda Karya Offset, 2005.Arief S. Sadiman, R. Raharjo, Anung
Haryono, Rahardjito. Media Pembelajaran: Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Cet. XII;
Jakarta: Rajawali Press, 2009.Chaeruddin B. Metodologi Pengajaran Agama Islam Luar Sekolah. Cet.
Yogyakarta: Lanarka Publisher, 2009.Daryanto. Asdministrasi Pendidikan. Cet. IV; Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2006.Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: PT Karya Toha Putra,
1995.Hasbullah. Dasar-dasar Ilmu pendidikan. Cet. I; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), h. 5-6.
http://sultanmp.blogspot.com/2010/04/keluarga-sekolah-dan-masyarakat-dalam . html, dikutip tgl. 29 Mei
2012. Arifin. Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner. Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara, 1996.——-. Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoretis dan
Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Cet. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008.Martinis Yamin.
Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi. Cet. VI; Jakarta: Gaung Persada Press, 2009.Muh. Safei.
Media Pembelajaran. Cet. I; Makassar, Alauddin University Pess, 2011.Muliawan, Jasa Ungguh.
Pendidikan Islam Integratif: Upaya Mengintegrasikan Kembali Dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam. Cet.
I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.Mulyasa. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan
Implementasi. Cet. XI; Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2007.——-. Menjadi Guru Profesional:
Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Cet. VIII; Bandung: PT Remaja Rosda Karya,
2008.Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. IV; Jakarta: Kalam Mulia, 2004.Searchhttp://fdj-
indrakurnawan.blogspot.com/2010/04/wibawa-dalam-pendidikan seorang.html, dikutip tgl. 29-12-2112,
jam 09.20.Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah (Cet. I; Jakarta: PT Rineka Cipta,
2002.Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif: Suatu Pendekatan
Psikologis (Cet. III; Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h. 196-197.Tim Dosen Administrasi Pendidikan
Universitas Pendidikan Indonesia. Manajemen Pendidikan. Cet. I; Bandung: Alfabeta, 2009.Zakiah
Daradjat, dkk. Pengajaran Agama Islam. Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1996.——-. Ilmu Pendidikan
Islam. Cet. VII; Jakarta: Bumi Aksara, 2008.Zakiah Daradjat. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. III; Jakarta:
Bumi Aksara, 1996.A. Rahman Getting, Pendidikan Islam dalam Pembangunan: Moral, Remaja, Wanita,
Pembangunan (Ujung Pandang: Yayasan Al-Ahkam, 1997), h. 25.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam:
Suatu Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner (Cet. IV; Jakarta: Bumi
Aksara, 1996), h. 147.Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam (Cet. VII; Jakarta: Bumi Aksara,
2008), h. 30.Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. IV; Jakarta; Kalam Mulia, 2004), h. 1.Zakiah
Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 80.

18

Anda mungkin juga menyukai