Anda di halaman 1dari 6

PILIHAN

Aku percaya tak ada peristiwa yang terjadi di muka bumi ini diluar kehendak Sang
Khalik, walaupun mereka berkata bahwa diri ini seorang ateis yang tidak berhati. Sungguh pun
demikian, aku tidak pernah terganggu dengan anggapan itu. Detik ini aku punya agama dan
sangat percaya dengan keberadaan Tuhan.
Semua bermula ketika aku dihadapkan pada dua pilihan hidup diulang tahunku dengan lilin
angka dua puluh enam. Saat itu Mama dan Papa untuk kesekian kali menyuruh memperkenalkan
calon pendamping hidup. Aku yang tidak pernah menggoreskan pria pendamping dalam kamus
hidup mencoba untuk pertama kalinya mengutarakan hal itu dihadapan mereka juga keluarga
besarku kalah itu.
Tahun-tahun setelahnya, hidupku berbalik dari yang paling di sayangi dalam keluarga menjadi
terpojok. Kehadiran diri ini dan pilihannya untuk tidak menikah dan melahirkan menjadi
pertentangan besar dalam keluarga. Kenyataan yang sulit di terima keluarga besarku. Tradisi
turun temurun mewajibkan setiap orang untuk menikah begitu dijunjung tinggi - suatu kewajiban
yang tidak ada kata tidak untuk melakukannya.
"Siapa yang akan merawatmu jika Tua nanti? Tidak ada harta yang paling berharga di
dunia ini selain darah daging sendiri.
"Kamu melawan Kodrat manusia, Yudithe!"
" Apa kamu tidak pernah membaca kitab suci?"
"Kamu pikir kami akan terus ada di sini? Kelak siapa yang akan menemanimu jika tak
punya suami?"
"Uang hasil kerjamu itu mau diapakan? Menikahlah segera."

Sejak aku memilih, ungkapan itu nyaris seperti makanan harianku. mama, nenek, papa
dan kakak-kakak bergantian menasehati. Ketika keluarga makan bersama dan aku ada, disitulah
petuah itu tertuang seperti air mengalir. Dan tak ketinggalan, aku yang bersebalahan kamar
dengan nenek harus mendengar terlebih dahulu nasehat pernikahan sebelum masuk atau keluar
kamar. Dari sekian banyak anggota keluarga, tak ada ada yang mau mendengar alasanku.
Aku salah. Tidak ada alasan yang tepat membenarkan pilihanku. Ditinjau dari sudut agama,
tradisi, kemanusiaan, aku salah. Melawan Tuhan, melawan hukum alam. Itu kata mereka.
Dua hari yang lalu, pada usia yang sudah sangat matang aku kembali membuat keluarga dan
tetangga sekitarku ternganga heran dengan kehadiran tiga bayi kecil dirumah. Mereka adalah
Teon, Trika dan Tales. Bayi kembar tiga aku dapat dari panti asuhan pinggiran kota. Anak-anak
dalam stroller ini, tentu aku urus diam-diam dan segala macam pertimbangan. Namun, semuanya
mudah saja karena mengadopsi anak adalah alasan dibalik pilihanku tidak menikah. Lebih
tepatnya, ini adalah bagian dari apa yang ada dalam rencana kehidupanku.
Berita kehadiran Tiga bayi di rumah dengan cepat menyebar. Ada yang menuding bahwa
bayi-bayi itu adalah anak kandungku yang lahir diluar nikah. Tak sedikit pula rumor yang
beredar bahwasanya aku ini tak memiliki otak. Lebih mementingkan anak orang ketimbang
membuat anak sendiri. Dan dari semua ungkapan itu, yang paling membuat perut tergelitik
karena Kamarin sore beberapa kenalan mama yang entah disuruh mama atau bagaimana, tiba-
tiba datang. Berdoa, mendoakan aku agar segera terlepas dari pemikiran tidak waras. Sehabis itu
mereka dengan keras membacakan di hadapanku beberapa ayat kitab suci yang berhubungan
dengan perintah Tuhan untuk berkembangbiak dan berketurunan.
Mungkin karena kedatangan orang-orang di sekitarku pulalah yang membuat mama dan papa
semakin malu. Hati mereka semakin berkeras. Hari ini aku lagi-lagi dihadapkan pada dua pilihan
yang mereka tentukan sendiri. Kembalikan bayiku ke panti atau angkat kaki dari rumah.
"Ma, pa, apa setegah itu kalian? Tak menganggap anak-anakku ini sebagai bagian dari
cucu kalian seperti anak kakakku?"
"Yudith, kita akan menerima anak itu jika kamu punya suami dan bayi sendiri terlebih
dahulu " apa yang dikatakan Mama barusan sungguh membuatku tidak punya harapan untuk
membawa bayiku masuk kedalam keluarga ini.
"Ateis kamu, Dith. Udah ngelawan orang tua, langgar perintah agama lagi." Kakak
pertama dari atas lantai dua menjulurkan kepalanya, lantas berujar demikian. Aku mendongak,
menatapnya sebentar, lalu memberikan senyuman termanis yang kumiliki. "Kamu tidak tahu apa
yang sebenarnya terjadi, kak,' ucapku dalam hati.
"Kalau begitu, Yudith tinggal dikontrakan untuk sementara. Anyway, Yudith tidak
pernah bermaksud melawan kalian apalagi melawan Tuhan."

Sekali lagi aku masih Yudith yang dulu, masih sangat percaya. Apa yang terjadi dalam
hidupku saat ini adalah bagian dari rancangan Yang Kuasa. Aku sadar dan tahu itu. Diri ini
hanya butuh waktu dan kesabaran. kelak akan ada waktunya pilihan yang saat ini ditentang
semua orang, menjadi bagian dari pilihan biasa sama seperti seorang pelajar memilih jurusan
bahasa atau matematika. Seperti seorang mahasiswa memilih jadi Arsitek atau Teknik. Sejatinya
memilih adalah hak setiap individu dan individu yang lain tidak sepatutnya untuk menghakimi.
Aku mendorong kereta bayi-bayiku keluar halaman, bergegas ke jalan menunggu grab yang
sudah kupesan.
Aku percaya tak ada peristiwa yang terjadi di muka bumi ini diluar kehendak Sang Khalik,
walaupun mereka berkata bahwa diri ini seorang ateis yang tidak berhati. Sungguh pun
demikian, aku tidak pernah terganggu dengan anggapan itu. Detik ini aku punya agama dan
sangat percaya dengan keberadaan Tuhan.
Semua bermula ketika aku dihadapkan pada dua pilihan hidup diulang tahunku dengan lilin
angka dua puluh enam. Saat itu Mama dan Papa untuk kesekian kali menyuruh memperkenalkan
calon pendamping hidup. Aku yang tidak pernah menggoreskan pria pendamping dalam kamus
hidup mencoba untuk pertama kalinya mengutarakan hal itu dihadapan mereka juga keluarga
besarku kalah itu.
Tahun-tahun setelahnya, hidupku berbalik dari yang paling di sayangi dalam keluarga menjadi
terpojok. Kehadiran diri ini dan pilihannya untuk tidak menikah dan melahirkan menjadi
pertentangan besar dalam keluarga. Kenyataan yang sulit di terima keluarga besarku. Tradisi
turun temurun mewajibkan setiap orang untuk menikah begitu dijunjung tinggi - suatu kewajiban
yang tidak ada kata tidak untuk melakukannya.
"Siapa yang akan merawatmu jika Tua nanti? Tidak ada harta yang paling berharga di
dunia ini selain darah daging sendiri."
"Kamu melawan Kodrat manusia, Yudithe!"
" Apa kamu tidak pernah membaca kitab suci?"
"Kamu pikir kami akan terus ada di sini? Kelak siapa yang akan menemanimu jika tak
punya suami?"
"Uang hasil kerjamu itu mau diapakan? Menikahlah segera."
Sejak aku memilih, ungkapan itu nyaris seperti makanan harianku. mama, nenek, papa
dan kakak-kakak bergantian menasehati. Ketika keluarga makan bersama dan aku ada, disitulah
petuah itu tertuang seperti air mengalir. Dan tak ketinggalan, aku yang bersebalahan kamar
dengan nenek harus mendengar terlebih dahulu nasehat pernikahan sebelum masuk atau keluar
kamar. Dari sekian banyak anggota keluarga, tak ada ada yang mau mendengar alasanku.
Aku salah. Tidak ada alasan yang tepat membenarkan pilihanku. Ditinjau dari sudut agama,
tradisi, kemanusiaan, aku salah. Melawan Tuhan, melawan hukum alam. Itu kata mereka.
Dua hari yang lalu, pada usia yang sudah sangat matang aku kembali membuat keluarga
dan tetangga sekitarku ternganga heran dengan kehadiran tiga bayi kecil dirumah. Mereka adalah
Teon, Trika dan Tales. Bayi kembar tiga aku dapat dari panti asuhan pinggiran kota. Anak-anak
dalam stroller ini, tentu aku urus diam-diam dan segala macam pertimbangan. Namun, semuanya
mudah saja karena mengadopsi anak adalah alasan dibalik pilihanku tidak menikah. Lebih
tepatnya, ini adalah bagian dari apa yang ada dalam rencana kehidupanku.
Berita kehadiran Tiga bayi di rumah dengan cepat menyebar. Ada yang menuding bahwa bayi-
bayi itu adalah anak kandungku yang lahir diluar nikah. Tak sedikit pula rumor yang beredar
bahwasanya aku ini tak memiliki otak. Lebih mementingkan anak orang ketimbang membuat
anak sendiri. Dan dari semua ungkapan itu, yang paling membuat perut tergelitik karena
Kamarin sore beberapa kenalan mama yang entah disuruh mama atau bagaimana, tiba- tiba
datang. Berdoa, mendoakan aku agar segera terlepas dari pemikiran tidak waras. Sehabis itu
mereka dengan keras membacakan di hadapanku beberapa ayat kitab suci yang berhubungan
dengan perintah Tuhan untuk berkembangbiak dan berketurunan.
Mungkin karena kedatangan orang-orang di sekitarku pulalah yang membuat mama dan papa
semakin malu. Hati mereka semakin berkeras. Hari ini aku lagi-lagi dihadapkan pada dua pilihan
yang mereka tentukan sendiri. Kembalikan bayiku ke panti atau angkat kaki dari rumah.
"Ma, pa, apa setegah itu kalian? Tak menganggap anak-anakku ini sebagai bagian dari
cucu kalian seperti anak kakakku?"
"Yudith, kita akan menerima anak itu jika kamu punya suami dan bayi sendiri terlebih
dahulu " apa yang dikatakan Mama barusan sungguh membuatku tidak punya harapan untuk
membawa bayiku masuk kedalam keluarga ini.
"Ateis kamu, Dith. Udah ngelawan orang tua, langgar perintah agama lagi." Kakak
pertama dari atas lantai dua menjulurkan kepalanya, lantas berujar demikian. Aku mendongak,
menatapnya sebentar, lalu memberikan senyuman termanis yang kumiliki. "Kamu tidak tahu apa
yang sebenarnya terjadi, kak,' ucapku dalam hati.
“Kalau begitu, Yudith tinggal dikontrakan untuk sementara. Anyway, Yudith tidak
pernah bermaksud melawan kalian apalagi melawan Tuhan."

Sekali lagi aku masih Yudith yang dulu, masih sangat percaya. Apa yang terjadi dalam
hidupku saat ini adalah bagian dari rancangan Yang Kuasa. Aku sadar dan tahu itu. Diri ini
hanya butuh waktu dan kesabaran. kelak akan ada waktunya pilihan yang saat ini ditentang
semua orang, menjadi bagian dari pilihan biasa sama seperti seorang pelajar memilih jurusan
bahasa atau matematika. Seperti seorang mahasiswa memilih jadi Arsitek atau Teknik. Sejatinya
memilih adalah hak setiap individu dan individu yang lain tidak sepatutnya untuk menghakimi.
Aku mendorong kereta bayi-bayiku keluar halaman, bergegas ke jalan menunggu grab yang
sudah kupesan. Tujuanku saat ini adalah mencari kontrakan. Aku sangat lega, impian terakhir
yang sudah kulangitkan sejak remaja sudah terwujud. Memiliki dan merawat anak-anak.
Aku tidak mempermasalahkan keluarga yang masih menentang apa yang aku pilih dalam
hidupku. Sebagai perempuan, aku tahu perasaan Mama ketika enam memutuskan untuk memilih
jalan ini. Seperti kata nenek, aku seolah-olah tidak bersyukur atas mama yang berjuang
melahirkan diriku. Dengan memilih untuk tidak melahirkan, aku apa bedanya dengan gadis
durhaka.
Juga tetangga dan masyarakat tempat tinggalku. Kebiasaan melahirkan yang memang sudah
kodrat seorang perempuan ditentang olehku, tentulah menjadi suatu fenomena baru yang
mengejutkan. Tanggapan yang muncul pun beragam namun sampai saat ini yang aku dengar
semuanya kontra dengan pilihan ini. Alasannya sama, atas nama agama dan kebiasaan.

Aku ketika melakukan hal ini pun tidak pernah ada niat untuk melanggar nilai-nilai tradisi dan
agama. Aku punya alasan tersendiri yang cukup untuk aku pertanggungjawabkan kelak dengan
Tuhan yang kupercaya dalam agamaku. Dan aku tahu, Tuhan itu maha pengasih, pemurah, dan
penyayang. Tujuh miliar lebih manusia di muka bumi ini. Bertambah terus setiap hari, sedangkan
tanah tempat mereka berpijak, sejengkal pun tidak akan bertambah. Yang ada hanyalah
penyempitan lahan. Bangunan perkantoran, hotel mewah, dan pabrik merenggut tanah untuk
perumahan banyak orang. Tujuh miliar orang di muka bumi ini, lantas esok lusa aku melahirkan.
Beberapa kepala akan bertambah? Tegahkah aku melahirkan manusia baru sementara betapa
banyaknya anak diluar sana yang hidup di panti? Mereka hidup dari belas kasih orang yang
sewaktu-waktu bisa berakhir.

Aku yakin, apa yang aku lakukan tidak luput dari rancangan yang Kuasa. Ketiga bayiku, adalah
anak yang dipercayakan untuk aku rawat dan besarkan. Aku tidak terganggu dengan kebenaran
yang dianut tetangga dan orang tuaku. Dimana setiap gadis mutlak untuk melahirkan.
Sayangnya, mereka terganggu dengan pilihanku, tidak setiap gadis lahir untuk melahirkan lagi.
Tidak, aku tidak berharap orang diluar sana menerima pilihanku, tapi seandainya mereka bijak,
mereka tidak akan mendikte suatu kebenaran yang mereka anggap benar, karena boleh jadi ada
kebenaran lain yang mereka tidak tahu.

...

Kontrakan yang aku sewa tidak terlalu jauh dari rumah Mama. Sengaja aku melakukannya
dengan harapan, kelak jika bayiku diterima kembali, mereka bisa dengan mudah menjenguk
kami. Sejauh ini, tidak masalah dalam mengurus segala sesuatu menyangkut bayiku. Semuanya
dipermudah dengan teknologi. Bahkan pengasuhnya sendiri aku dapat diaplikasi khusus.
Perlengkapannya tinggal menekan barang di aplikasi Shoope. Satu-satunya yang menjadi
kesedihanku hanyalah mencari wali baptis mereka. Selain keluarga aku tidak mau
mempercayakan pada sembarang orang untuk menjadi orang tua rohani bayi-bayi ini.

Bersamaan dengan detakan jam di atas dinding kamar kecil kami yang terus bergerak, berlahan
aku sudah melunasi tanah yang diatasnya akan kudirikan rumah tetap. Di sisi lain tiga bayi kecil
sudah besar. Aku sudah beberapa kali Konsul ke psikolog dan mencari panti yang memiliki bayi.
Sudah saatnya anakku bertambah. Kebahagiaan ini tentu masih belum lengkap. Keluargaku
masih bersikukuh menolak kami. Setiap ulang tahunku, kami selalu berusaha mengetuk pintu,
tetapi hingga detik ini perubahan. Usaha ini tak pernah pudar, aku yakin suatu saat kami akan
diterima kembali.

Trika anak gadisku, kini sudah pandai mencuci piring. Kami sudah pindah ke rumah baru yang
lebih luas dan rombongan besar. Tiga pengasuh, tiga balita dan dua bayi. Dua bayi yang baru
bernama Ayara dan Isvaro. Keduanya berarti harapan. Pada mereka diselipkan harapan agar
secepatnya kembali berhubungan baik dengan keluarga.

Suatu sore saat anak-anak tidur, aku tiba-tiba tersenyum legah. Dalam media sosialku
beberapa kali berseliweran gadis-gadis memilih seperti pilihanku. Beberapa juga suami istri yang
memilih freechild. Pada kolom-kolom komentar banyak orang pro, meskipun yang kontra lebih
mendominasi. "Cepat atau lambat yang kontra akan tenggelam sendiri. Peradaban semakin maju,
setiap tindakan sejengkal sekalipun orang-orang akan selalu memikir dan menimbangnya
terlebih dahulu sebelum memilih," ucapku pada diri sendiri. Aku membuang napas lembut
berharap dengan fenomena ini orang tuaku luluh, menerima aku dan pilihanku.
Esoknya bertepatan dengan ulang tahun Ayara dan Isvaro, aku kembali lagi membawah anak-
anak ke rumah. Aku lebih bersemangat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Melihat fenomena
yang ada di masyarakat saat ini, aku lebih percaya diri menemui keluarga.
"Ma, pa? Selamat sore." Tampak pintu terbuka pelan. Didepan terlihat sosok papa yang
sudah semakin menua. Di sampingnya berdiri Erdo, anak kakak pertamaku.
Papa menatapku masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya. " Kamu siapa?"
Aku tersentak kaget. "papa? Ini Yudith," rengekku.
"Kenapa papa berujar seperti itu?" Tatapan papa seperti tidak mengenali kami.
"Aku tidak punya anggota keluarga bernama Yudith." Papa menghardik. Posisiku yang
menggendong Syarat berhalan melangkah mundur. Sebelum-sebelumnya papa tak pernah berujar
seolah aku tidak dikenalnya.

"Papa?"

"Kamu pergi Yudith, keputusan kami sudah bulat. Kamu bukan bagian dari keluarga ini,
kamu sungguh melanggar. Melanggar segalanya. Jangan pernah datang kamu mengganggu
ketenangan kami."

Aku mengelus dada berbalik arah. Aku tidak tahu lagi apakah aku punya harapan atau tidak.
Pilihan ini....

Anda mungkin juga menyukai