Disusun oleh:
KELOMPOK IX
Pertemuan 11
1. Yakuba Namsa NIM: 220401018
2. Muh. Khoirul Abror NIM: 220401035
PASCASARJANA
PRODI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
AMBON
T/A 2022-202
0
KATA PENGANTAR
هّٰللا
ِ بِس ِْم ِ الرَّحْ مٰ ِن الر
َّحي ِْم
Penyusun
1
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang ...................................................................................................... 3
Rumusan Masalah ................................................................................................ 3
Tujuan Penulisan .................................................................................................. 3
BAB II
PEMBAHASAN
1. Plato .................................................................................................... 6
2. Jhon Locke .................................................................................................. 7
3. Benjamin S. Bloom ..................................................................................... 9
4. Mohammad Syafei ...................................................................................... 11
5. Ki Hadjar Dewantara ..................................................................................... 13
6. K.H Ahmad Dahlan ....................................................................................... 15
7. KH. Hasyim Asy’ari....................................................................................... 17
BAB III
PENUTUP
Simpulan ................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah, penggalan
kalimat ini populer disampaikan oleh Ir. Soekarno sebagai founding father bangsa
Indonesia. Historis dalam kejadian apa pun adalah hal yang harus dikenang dengan
mengambil segala nilai-nilai baik di dalamnya dan dijadikan refleksi untuk menghadapi
kejadian di masa sekarang dan masa yang akan datang. Kajian historis hadir dalam setiap
aspek, termasuk pendidika
Standar nasional pendidikan diciptakan untuk membatasi kriteria minimum
tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh
desentralisasi sistem pendidikan dalam kerangka pemerintahan Indonesia yang menganut
asas otonomi daerah. Terciptanya mekanisme ini tidak lepas dari perjalanan pendidikan
Indonesia yang dipengaruhi oleh berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Hal ini
menyebabkan mengarah pada historis pendidikan Indonesia yang menganut berbagai
paham, aliran, dan konsep-konsep pendidikan dari berbagai tokoh-tokoh Indonesia
sendiri.
Di era modernisasi yang kita rasakan saat ini tidak banyak generasi muda yang
mengenal dan mengetahui perjuangan para pahlawan pendidikan yang telah merintis
serta memajukan pendidikan di Indonesia. Para generasi muda lebih memilih untuk
bergelut dengan teknologi dan kemajuan zaman. Bahkan mereka tidak menyadari mereka
bisa menikmati pendidikan seperti sekarang ini berkat para pahlawan dan pejuang bangsa
yang dengan segenap kekuatannya memperjuangkan pendidikan yang layak bagi bangsa
dan negaranya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latarbelakang diatas maka dapat ditarik sebuah pertanyaan sebagai
berikut :
C. Tujuan Penulisan
3
BAB II
PEMBAHASAN
Bab ini menjelaskan mengenai risalah garis waktu zaman pendidikan yang ada di dunia
dan tokoh-tokoh pendidikan di dunia, di Indonesia secara historis, identitas dan
sumbangsih bagi pemikiran para tokoh untuk kebijakan pendidikan hari ini dan
kedepannya. Bagian ini dimulai dari bahasan mengkaji tokoh-tokoh pendidikan dunia
lalu Indonesia.
Pidarta (2007: 110) menjelaskan tentang perjalanan pendidikan dunia yang telah
berlangsung mulai dari zaman Hellenisme (150 SM -500), zaman pertengahan (500-
1500), zaman Humanisme atau Renaissance serta zaman Reformasi (1600an). Namun
pendidikan pada zaman ini belum cukup memberikan kontribusinya.
Sejarah pendidikan dunia yang banyak dibahas dalam beberapa literatur mengemukakan
tentang periodisasi pendidikan dunia yang terdiri dari:
a) Zaman Realisme
1. Tokoh-tokoh zaman ini ialah Francis Bacon dan Johann Amos Comenius.
2. Menurut aliran ini, pengetahuan yang benar diperoleh tidak hanya melalui pengindraan
semata tetapi juga melalui persepsi pengindraan (Mudyahardjo, 2008: 117)
b) Zaman Rasionalisme
c. Zaman Naturalisme
d. Zaman Develomentalisme
1. Aliran ini memandang pendidikan sebagai suatu proses perkembangan jiwa sehingga
4
sering disebut sebagai gerakan psikologis dalam pendidikan
2. Tokohnya ialah Pestalozzi, Johan Frederich Herbart, Stanley Hall
e) Zaman Nasionalisme
f. Zaman Sosialisme
1. Aliran ini berpendapat bahwa masyarakat memiliki arti yang lebih penting daripada
individu. Oleh karena itu pendidikan harus diabdikan untuk tujuan-tujuan sosial
2. Tokohnya Paul Nartrop, George Kerchensteiner, dan John Dewey
a) Zaman Hindu Budha Tujuan pendidikan pada zaman ini sama dengan tujuan
kedua agama tersebut. Pendidikan dilaksanakan dalam rangka penyebaran dan
pembinaan kehidupan beragama Hindu dan Budha
d) Zaman Kolonial Belanda Sejalan dengan Politik Etis yang dijalankan belanda,
tampak kemajuan yang lebih pesat dalam bidang pendidikan. Tokoh-tokoh
pendidik pada zaman ini ialah Mohamad Syafei, Ki Hajar Dewantara, dan K.H
Ahmad Dahlan.
5
e) Zaman Kolonial Jepang Di bidang pendidikan, Jepang telah menghapus
dualisme pendidikan dari penjajah Belanda dan menggantikannya dengan
pendidikan yang sama bagi semua orang. Selain itu, pemakaian bahasa Indonesia
secara luas diinstruksikan oleh Jepang untuk di pakai di lembaga-lembaga
pendidikan, di kantor-kantor, dan dalam pergaulan sehari-hari.
f) Zaman Kemerdekaan Tujuan pendidikan belum dirumuskan dalam suatu
undang-undang yang mengatur pendidikan.
h) Zaman Orde Baru Menurut Orde Baru, pendidikan adalah usaha sadar untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam sekolah dan di luar
sekolah dan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan
rumah tangga, sekolah dan masyarakat i) Zaman Reformasi Dalam bidang
pendidikan ada perubahan-perubahan dengan munculnya UndangUndang
Pendidikan yang baru dan mengubah system pendidikan sentralisasi menjadi
desentralisasi, di samping itu kesejahteraan tenaga kependidikan perlahanlahan
meningkat. Hal ini memicu peningkatan kualitas profesional mereka. Instrumen-
instrumen untuk mewujudkan desentralisasi pendidikan juga diupayakan,
misalnya MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), Life Skills (Lima Ketrampilan
Hidup), dan TQM (Total Quality Management).
1.1..........................................................................................................................Tokoh-
Tokoh Pendidikan Dunia
a. Plato
Plato adalah seorang filsuf yang lahir sekitar 427 SM dari keluarga terkemuka di
Athena, ayahnya bernama Ariston dan ibunya bernama Periktione. Saat ayahnya
meninggal ibunya menikah kembali dengan adik ayahnya Plato yang bernama
Pyrilampes yang tidak lain adalah seorang politikus, dan Plato banyak
terpengaruh dengan kehadiran pamannya ini. Karena sejak kehadiran pamannya
ini ia banyak bergaul dengan para politikus Athena (Heckel, 2017) . Plato adalah
filsuf Yunani yang sangat berpengaruh, murid Socrates dan guru dari Aristoteles.
Karya Plato yang paling terkenal ialah Republik, di mana ia menguraikan garis
besar pandangannya tentang keadaan “Ideal”..
Pemikiran Plato
Cita-cita pendidikan plato dalam (Diener, 2020) adalah: (a) Tugas individu
mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi. Pendidikan harus
diselenggarakan untuk dan oleh Negara. Jenis pedagogisnya adalah pedagogik Negara
yang diarahkan kepada Negara yang susila; (b) Plato membedakan tiga 9 fungsi pada
manusia: pikiran, keinginan, dan kemauan. Di mana ketiga fungsi itu disejajarkan dengan
tiga golongan dalam masyarakat, yaitu : (1) golongan yang mengutamakan pikiran yaitu
golongan pengajar, (2) golongan yang mengutamakan keinginan yaitu golongan
pengusaha, (3) golongan yang mengutamakan kemauan yang membawa mereka pada
keberanian yaitu golongan militer. Melalui pendidikan, Plato bermaksud mendapatkan
(a) orang-orang yang baik, (b) orangorang yang baik itu untuk menduduki tempatnya (the
right men in the right place) dalam golongannya masing-masing.
Menurut Plato, dalam pendidikan bisa membuka pengertian kebijakan yang baik
membawa akibat perbuatan yang baik pula (Jack & Hamshire, 2019). Perbuatan yang
tidak baik adalah akibat dari pengertian yang salah. Plato menempatkan kebijakan
intelektual di tempat tertinggi. Dalam rencana-rencana pendidikannya kemukakan,
ditekankan pula kebijakan moral dan Latihan kemauan. Juga pendidikan-pendidikan fisik
dan jasmani seperti gimnastik, menari dan permainan-permainan sebab mereka
berpendapat bahwa kekuatan jasmani membantu kekuatan moral dan intelektual. Karena,
semuanya berhubungan dengan kebaikan, disiplin dan keselarasan dalam pikiran dan
tabiat dengan keutamaan yang sama dalam tubuh manusia.
b. Jhon Locke
7
John Locke lahir pada tanggal 29 Agustus 1632 di sebuah kota Wrington ,
Somersetshire kira-kira dua belas mil dari Bristol Inggris, sebagai anak seorang
sarjana hukum bernama Locke (Muslim, 2018), ayahnya seorang pengacara
Negara dan pegawai kepada Hakim perdamaian di Chew Magna yang pernah
menjabat sebagai kapten kavaleri untuk parlemen pasukan pada awal bagian dari
perang saudara Inggris.
John Locke adalah filsuf dari Inggris dengan pandangan empirisme (Sholichah,
2018), Ia sering disebut sebagai tokoh yang memberikan titik terang dalam
perkembangan psikologi. Menurut empirisme, yang menjadi sumber pengetahuan
adalah empiri, atau pengalaman, baik pengalaman batiniah maupun pengalaman
lahiriah, Pengikut empirisme tidak puas dengan teori pengetahuan rasionalis,
mereka mencoba untuk mencari teori pengetahuan lainnya yang konsisten dengan
pengalaman manusia dalam kehidupannya sehari-hari.
Kaum empiris bertitik tolak dari pengalaman alat dirinya sebagai sumber dan
dasar bagi apa yang kita ketahui. Selanjutnya pengalaman mengajarkan bahwa
prinsip-prinsip moral tertentu dan pengertian tentang Allah (Djamaluddin, 2014),
jauh dari bawaan, berbeda dengan orang yang berbeda dan pada waktu yang
berbeda. Oleh karena itu tidak terdapat ide bawaan; intelek kita, pada saat
pertama keberadaannya adalah sebuah tabularasa, sebuah kertas bersih yang
belum ditulis.
Locke menjelaskan bahwa pengalaman ada dua yaitu eksternal dan internal.
Dengan demikian gagasan mengenai sebuah apel itu kompleks karena merupakan
kombinasi dari ide-ide sederhana warna, bulat, rasa dan sebagainya. Semangat
regas pasif sebagai ide sederhana, tidak ada yang bias memiliki ide suara,
misalnya, jika tidak dilengkapi kepadanya. Sebaliknya, semangat aktif tentang
ide– ide kompleks karena dapat mengurangi mereka untuk unsur-unsur yang
sederhana dan dapat membuat ide-ide kompleks baru dari elemen-elemen ini
John Locke mengutamakan pendidikan jasmani. Dia juga menganjurkan pakaian yang
cocok , tidak terlalu panas dan tidak terlalu sempit , makanan sehat tanpa pedas, sering
menghirup udara segar, melakukan gerak olah raga , serta kepala dan kaki harus selalu
8
dingin. John Locke mengutamakan pendidikan di rumah daripada di sekolah, karena
pendidikan di rumah member kesempatan mengenal dari dekat kepribadian anak (Asih,
2018).
Ciri didaktik John Locke adalah: 1. Belajar seperti bermain, 2. Mengajarkan mata
pelajaran berturut-turut, tidak sama , 3. Mengutamakan pengalaman dan pengamatan, 4.
Mengutamakan pendidikan budi pekert.
Perihal pendidikan budi pekerti , John Locke menekankan soal menahan diri dan
membangkitkan rasa harga diri, pendapat orang harus menjadi salah satu alas an penting
untuk perbuatan susila . Selain itu anak harus memperhatikan apakah orang lain
menyetujui atau mencela.
John Locke mementingkan kepatuhan si anak. Dari permulaan anak harus dibiasakan
kepada yang baik – baik. Pendidikan harus dapat mempertahankan kewibawaannya. Ia
menolak hukuman – hukuman dan hadiah. Ia pun menolak pendidikan agama yang
berlebihan. John Locke tidak setuju anak diberi Kitab Injil. Menurutnya, anak lebih baik
disuruh membaca cerita-cerita Bibel.
John Locke adalah filsuf yang mengabdikan dirinya bukan hanya kepada dunia
kedokteran tetapi ia juga pakar dalam pendidikan (Nuzulah et al., 1997), ia sangat tertarik
dalam pembentukan kemampuan yang dimiliki oleh anak, bahwa segala sesuatu sangat
dipengaruhi oleh lingkungan yang memadai baik dari sarana maupun oleh latih yang
terus menerus. Itu semua dianggap benar karena tanpa ada lingkungan luar anak tidak
akan kelihatan kemampuan baik kemampuan nyata (actualty ability) yang langsung dapat
diketahui pada saat individu telah mengalami proses belajar.
c. Benjamin S. Bloom
Pada tahun 2001 Lorin W. Anderson mantan siswa Bloom bekerja sama dengan salah
satu mitra Bloom yaitu David Krathwohl menulis A Taxonomy for Learning, Teaching,
and Assessing (A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives). Mereka
adalah orang-orang yang ahli di bidang psikologi kognitif, kurikulum dan pengajaran,
dan pendidikan pengujian, pengukuran, dan penilaian.
Taksonomi berasal dari bahasa Yunani tassein berarti untuk mengklasifikasi dan nomos
yang berarti aturan. Taksonomi berarti klasifikasi berhierarkis dari sesuatu atau prinsip
yang mendasari klasifikasi. Semua hal yang bergerak, benda diam, tempat, dan kejadian
sampai pada kemampuan berpikir dapat diklasifikasikan menurut beberapa skema
taksonomi.
9
Konsep Taksonomi Bloom dikembangkan pada tahun 1956 oleh Benjamin S. Bloom,
seorang psikolog bidang pendidikan (Sun et al., 2017). Konsep ini mengklasifikasikan
tujuan pendidikan dalam tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Konsep
tersebut mengalami perbaikan seiring dengan perkembangan dan kemajuan jaman serta
teknologi.
Salah seorang murid Bloom yang bernama Lorin Anderson merevisi taksonomi Bloom
pada tahun 1990. Hasil perbaikannya dipublikasikan pada tahun 2001 dengan nama
Revisi Taksonomi Bloom, dalam revisi ini ada perubahan kata kunci, pada kategori dari
kata benda menjadi kata kerja. Masing-masing kategori masih diurutkan secara hierarkis,
dari urutan terendah ke yang lebih tinggi (Setiyowati & Arifianto, 2020). Pada ranah
kognitif kemampuan berpikir analisis dan sintesis diintegrasikan menjadi analisis saja.
Dari jumlah enam kategori pada konsep terdahulu tidak berubah jumlahnya karena Lorin
memasukkan kategori baru yaitu creating yang sebelumnya tidak ada.
Jika sebelumnya, Bloom mengklasifikasi tujuan kognitif dalam enam level, yaitu
pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), aplikasi (apply), analisis
(analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation) dalam satu dimensi, maka
Anderson dan Kratwohl merevisinya menjadi dua dimensi, yaitu proses dan isi atau jenis.
Pada dimensi proses, terdiri atas mengingat (remember), memahami (understand),
menerapkan (apply), menganalisis (analyze), menilai (evaluate), dan berkreasi (create).
Penahapan berpikir seperti itu mendapat sanggahan dari sebagian orang, karena tidak
semua tahap tersebut diperlukan. Contohnya dalam menciptakan sesuatu tidak harus
melalui semua tahapan tersebut. Hal itu tergantung pada kreativitas individu. Proses
pembelajaran dapat dimulai dari tahap mana saja. Pada kenyataannya peserta didik
seharusnya berpikir secara holistik, tapi ketika kemampuan itu dipisah-pisah maka
peserta didik dapat kehilangan kemampuannya untuk menyatukan kembali komponen-
komponen yang sudah terpisah. Pembuatan suatu produk baru atau dalam menyelesaikan
suatu proyek tertentu, peserta didik lebih baik diberikan tantangan terpadu yang dapat
mendorong peserta didik untuk berpikir secara kritis (L., 2019).
10
1.Bermain
2. Pemberian tugas
3. Demonstrasi
4. Tanya jawab
5. Mengucapkan syair
6. Percobaan atau eksperimen
7. Bercerita
8. Karyawisata
9. Dramatisasi
Taksonomi Bloom mengenai sasaran pendidikan ranah kognitif merupakan model yang
relatif sederhana untuk diterapkan dan sangat bermanfaat bagi yang menggunakannya.
Anak dapat mengembangkan dan menggunakan keterampilan berpikir mereka dan guru
dapat mendiferensiasikan pembelajaran tanpa perlu memisahkan anak berbakat dari anak
yang lain.
Guru hanya perlu menyesuaikan jumlah waktu untuk setiap tingkat taksonomi dengan
tingkat kemampuan anak. Anak yang cepat menguasai tingkattingkat rendah taksonomi
dapat menggunakan lebih banyak waktu untuk tingkat pemikiran yang lebih tinggi.
Dengan demikian, semua anak memperoleh pembelajaran yang sesuai dalam kerangka
kerja yang sama.
a. Mohammad Syafei
Mohammad Syafei lahir tahun 1893 di Ketapang (Kalimantan Barat) dan
diangkat jadi anak oleh Ibrahim Marah Sutan dan ibunya Andung Chalijah,
kemudian di bawah pindah ke Sumatra Barat dan menetap Bukit Tinggi .Dia
sudah mengajar di berbagai daerah di nusantara, pindah ke Batavia pada
tahun1912 dan disini aktif dalam kegiatan penertiban dan Indische Partij.
Pendidikan yang ditempuh Moh. Syafei adalah sekolah raja di Bukit Tinggi, dan
kemudian belajar melukis di Batavia (kini Jakarta), sambil mengajar disekolah
Kartini (Yusuf et al., 2021).
Pada tahun 1922 Moh. Syafei menuntut ilmu di Negeri Belanda dengan biaya
sendiri. Disini ia bergabung dengan ”Perhimpunan Indonesia “,sebagai ketua
11
seksi Pendidikan. Di negeri Belanda ini ia akrab dengan Moh. Hatta, yang
memiliki banyak kesamaan dan karakteristik dan gagasan dengannya, terutama
tentang pendidikan bagi pengembangan nasionalisme di Indonesia (Daulay,
2007). Dia berpendapat bahwa agar gerakan nasionalis dapat berhasil dalam
menentang penjajahan Belanda, maka pendidikan rakyat haruslah diperluas dan
diperdalam.
b. Ki Hadjar Dewantara
Beliau lahir dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, Ki Hadjar
Dewantara terlahir dalam keluarga kraton Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889
dan wafat pada tanggal 26 April 1959. Sebagai golongan ningrat, Ki Hadjar
Dewantara memperoleh hak untuk mengenyam pendidikan yang layak dari
kolonial Belanda. Setelah menamatkan ELS (Sekolah Dasar Belanda), beliau
meneruskan pelajarannya ke STOVIA (Sekolah Dasar Bumiputera), sayang
sekali karena sakit ia tidak dapat meneruskan pendidikannya di STOVIA
(Mudana, 2019).
Pada tanggal 3 Juli 1922 beliau mendirikan Perguruan Taman Siswa dan sampai
saat wafatnya terus memimpin perguruan tersebut. Taman Siswa merupakan
sebuah perguruan yang bercorak nasional yang menekankan rasa kebangsaan dan
cinta tanah air serta semangat berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Perjuangan Ki Hadjar Dewantoro tak hanya melalui Taman Siswa, sebagai
penulis, Ki Hadjar Dewantara tetap produktif menulis untuk berbagai surat kabar.
Tulisan Ki Hadjar Dewantara berisi konsep-konsep pendidikan dan kebudayaan
yang berwawasan kebangsaan, dan melalui konsep-konsep itulah dia berhasil
meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Konstruktivisme yang sudah besar pengaruhnya sejak periode 1930-an dan 1940-
an di Amerika, juga di Eropa, secara langsung atau tidak langsung dasardasarnya
pernah dipelajari oleh Ki Hadjar Dewantara. Dasar pertama dari pendekatan
konstruktivisme dalam pendidikan adalah “teori konvergensi” yang menyatakan
bahwa “pengetahuan manusia merupakan hasil interaksi dari faktor bawaan
(nature) dan faktor pengasuhan (nurture). Menurutnya, baik “dasar” (faktor
bawaan) maupun “ajar” (pendidikan) berperan dalam pembentukan watak
seseorang (Yunan & Andriani, 2019).
Singkatnya, pendidikan menjadikan orang mudah diatur tetapi tidak dapat disetir.
Pandangan konstruktivisme tentang pendidikan sejalan dengan pandangan Ki
Hadjar Dewantara yang menekankan pentingnya siswa menyadari alasan dan
tujuan ia belajar. Ki Hadjar mengartikan mendidik sebagai “berdaya upaya
dengan sengaja untuk memajukan hidup tumbuhnya budi pekerti dan badan anak
dengan jalan pengajaran, teladan dan pembiasaan”.
Menurut Ki Hajar Dewantoro, manusia memiliki daya cipta, karsa dan karya.
Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara
seimbang. Pengembangan yang terlalu menitik beratkan pada satu daya saja akan
menghasilkan ketidak utuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau
mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual saja
hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Ternyata pendidikan
sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan
kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika ini berlanjut
akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.
KH Ahmad Dahlan lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta pada tahun 1868 dan
Meninggal pada Tanggal 23 Februari 1923 dengan nama Muhammad Darwis.
15
Ayahnya KH Abu Bakar bin Kiai Sulaiman adalah imam dan Khatib Masjid
Besar Kauman Yogyakarta, sementara ibunya Siti Aminah adalah anak KH
Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta (Komala, 2021). Menurut salah satu
silsilah, keluarga Muhammad Darwis dapat dihubungkan dengan Maulana Malik
Ibrahim, salah seorang wali penyebar agama Islam yang telah dikenal di Pulau
Jawa.
K.H Ahmad Dahlan merupakan tokoh nasional yang memiliki tipe man of action
(Agustang et al., 2021) artinya K.H Ahmad Dahlan lebih menonjol ke urusan
masalah praktik maka dari ini warisan dari K.H Ahmad Dahlan lebih condong ke
kegiatan-kegiatan di luar kelas yang lebih banyak ke teori, sehingga ia tidak
banyak memiliki karya tulisan. Cita- cita pendidikan yang digagas oleh K.H
Ahmad Dahlan adalah lahirnya manusia- manusia baru yang mampu tampil
sebagai "intelektual” memiliki keteguhan iman dan berpikiran luas.
Maka dari itu, ide pendidikan yang digagas K.H Ahmad Dahlan menyelamatkan
umat Islam dari cara berpikir statis menuju pemikiran yang dinamis, kreatif dan
inovatif, itu merupakan satu-satunya jalan mencapai tujuan tersebut dan melalui
pendidikan dan pengolahan pendidikan agama Islam secara modern dan
profesional, sehingga pendidikan yang dilaksanakan mampu memenuhi atau
menghadapi dinamika pada zamannya.
16
Menurut Ahmad Dahlan, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang sesuai
dengan tuntunan zaman. seperti contoh, pada awal abad 20-an, Ahmad Dahlan
melihat umat Muslim di Indonesia tertinggal secara ekonomi oleh kolonialisme
Belanda. Ketika itu ekonomi Muslim sangat tidak mempunyai akses ke sektor-
sektor pemerintahan atau perusahaan-perusahaan swasta.
Bahwa penyebab utama kemunduran umat Islam disebabkan pola pikir yang
dimiliki dan cara pandang terhadap masa yang akan datang, sehingga pada masa
tersebut umat Islam tertinggal jauh dengan umat yang lain (Al Faruq, 2020).
Oleh karena itu, kebebasan berpikirlah menjadikan atribut penting yang
menjadikan manusia sebagai pedoman dalam perbuatan dan sedangkan
kemauanlah yang menjadi pendorong perbuatan manusia.
Pada tahun 1918, di sekolah Muhammadiyah yaitu Mulo met de Qur'an Ahmad
Dahlan memasukkan pelajaran bahasa Arab sebagai mata pelajaran wajib, yang
bertujuan peserta didik mampu untuk memahami arti dan makna Al- Quran dan
Hadits secara ilmiah sehingga peserta didik itu sendiri tidak hanya sekedar ikut
dan terhanyut pada pendapat orang lain. Dengan demikian, para peserta didik
diharapkan mampu memperoleh kemampuan untuk memahami maksud dan arti
dari Al-Quran dan Hadits.\
Dengan demikian, peran K.H. Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan adalah
upaya mengompromikan beberapa unsur positif dari sistem pendidikan Islam dan
sistem pendidikan Barat. Model pendidikan ini, dibuktikan dengan karyanya
yang nyata, yaitu lahirnya lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah di
seluruh Nusantara ini, yang kini jumlahnya mencapai puluhan ribu, mulai
PAUD, Pendidikan Dasar dan Menengah, sampai dengan Pendidikan Tinggi
Muhammadiyah..
Selain sosok kiai, pengajar dan pemimpin Pondok Pesantren Tebuireng, KH.
Asy’ari juga seorang manajer handal. Hampir seluruh hidupnya, diabdikan untuk
mengajar, menulis dan memimpin pesantren. K.H. Hasyim Asy’ari lahir pada
tanggal 14 Februari 1871 dan wafat pada 25 Juli 1947 [12]. Masa hidupnya
selama 76 tahun banyak diwarnai oleh momen ataupun fase penting dalam
kondisi sosial dan politik Indonesia. Fase-fase tersebut adalah 1) akhir abad ke-
19 yang sering disebut dengan second Islamic Wave; 2) kebijakan Politik Etis
yang mulai diberlakukan pada tahun 1900; 3) pertumbuhan organisasi modern
seperti Budi Utomo pada tahun 1908; 4) tercapainya konsensus gerakan
nasionalisme sejak tahun 1924; 5) perang Kemerdekaan [13, p. 78]
Seperti santri pada umumnya, KH. Hasyim Asy’ari belajar di pesantren kakeknya
(Kiai Usman) sampai usia 6 tahun. Pada usia tahun ke 7 (1876), Ia kembali ke
pesantren ayahnya di Desa Deras, bagian selatan Jombang. Menginjak usia 15
tahun, Ia berkelana ke berbagai pesantren untuk menuntut ilmu, diantaranya yaitu
pesantren Wonokoyo Probolinggo, Langitan Tuban, Trenggelin Madura,
Demangan Bangkalan Madura. Merasa masih kurang ilmu, Ia pindah ke pondok
pesantren Siwalan Surabaya selama dua tahun. Di pesantren inilah, KH. Hasyim
diambil menantu oleh Kiai Ya’qub sebagai pengasuhnya.
18
Pasca menikah, KH. Hasyim Asy’ari dikirim ke Mekkah untuk belajar ilmu
agama, selama tujuh tahun tidak pulang kecuali tahun pertama kelahiran anaknya
dan kemudian meninggal disusul isterinya. Di Mekkah, beliau berguru kepada
ulama terkenal yaitu Syekh Ail al-Athor, Sayyid Ibnu Sultan Ibnu KH. Hasyim,
Sayyid Ahmad Zawawi, Syekh Mahfuzd al-Tirmasi dan Syekh Khotib
Minangkabau [17, p. 108].
Selain sumber pemikiran yang mengarah pada posisi manusia dengan tuhannya,
dan manusia sesama manusianya, nilai karakter yang hendak disampaikan adalah
nilai-nilai ilahiyah (theology centris) sebagai puncaknya. Segala tindak-tanduk
manusia semata menjadi upaya sadar akan hakikat manusia yang diciptakan oleh
Tuhan, puncak tujuannya, adalah kesadaran penuh tentang hak dak kewajiban
manusia kepada penciptanya. Sumber nilai tarsebut dalam kajian filsafat hukum
Islam disebut dengan transendental.
Pengenalan terhadap jati diri dan tuhan, adalah perintah agama yang tersirat
dalam al-Quran surat al-Alaq sebagai surat pertama kali turun. Demikian dapat
diasumsikan, bahwa tahap pertama pendidikan karakter menurut KH. Hasyim
Asy’ari adalah memperkenalkan agama meliputi pencipta dan penciptaan
manusia (theolgy and antropology) [19, p. 12]. Sehingga dapat dikatakan bahwa
agama merupakan dasar utama dalam melaksanakan pndidikan, sebab dengan
menanamkan nilai-nilai agama akan membantu terbentuknya sikap dan
kepribadian anak kelak.
Dengan demikian, pendidikan karakter yang digagas oleh KH. Hasyim Asy’ari
sebenarnya termaktub dalam kitab al-adb atta’lim wa muta’allim. Secara
spesifik, pendidikan karakter dapat ditempuh dengan beberapa tahapan. Pertama,
tahapan pengetahuan fard ‘ain. Tahapan pertama ini memiliki beberapa eleman;
1) pengetahuan terhadap dzat Allah yang cukup dengan meyakini
19
keberadaannya; 2) pengetahuan tentang sifat Allah; 3) pengetahuan tentang fiqh
yang cukup dengan rukun Islam yang lima; 4) pengetahuan tentang al-ahwal wa
al-maqamat (seperti tipu daya setan, hawa nafsu dan akhlak tidak terpuji).
Kelima, mempelajari kitab hadist induk yang kualitasnya shahih seperti shahih
Bukhari, shahih Muslim dan sebagainya. Yang demikian agar pelajar tidak
mamahami sepotong-potong dan parsial, karena berangkat dari kitab induklah,
kitab-kitab cabang yang lain dapat dipahami secara utuh. Keenam, selalu
mengadakan pembelajaran langsung (al-allaqah bi at-ta’allum.
Yang dimaksud dengan model tokoh adalah sikap moral antara guru dengan
muridnya begitu juga sebaliknya. Kurikulum artinya materi pembelajaran
diarahkan pada kebutuhan manusia kepada tuhannya, masyarakat dan
20
lingkunganya. Sedangkan metode, adalah menggunakan metode musyawarah
dan mengedepankan hasil daripada proses.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
21
DAFTAR PUSTAKA
Bakry, H. Oemar. Tafsir Rahmat. Jakarta: Mutiara, 1983. Danah, Zohar. SQ Spritual
Inteligence: The Ultimate Intelligence. London: Bloomsbry Publishing, 2000.
Hasan, Hasan bin Ali. Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim. Cet. I. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001.
Isma’il SM, Nurul Huda, Abdul Khaliq (eds.). Paradigma Pendidikan Islam, Cet. I. Semarang:
Pustaka Belajar & Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo, 2001.
Langgulung, Hasan. Pendidikan dan Peradaban Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1983. _____.
Manusia dan Pendidikan. Jakarta: Radarjaya Offset, 1986. _____. Asas-asas Pendidikan Islam.
Jakarta: al-Husna, 2000.
Marimbah, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Cet. VIII. Bandung: al-Ma’arif,
1989. Mas’ud, Abdurrahman. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, Humanisme
Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Gema Media, 2002.
Mulkhan, Abdul Munir. Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam
dan Dakwah. Yogyakarta: Sipress, 1993. _____.
Ideologisasi Gerakan Dakwah Episode Kehidupan M. Nafsir dan Azhar Basyir. Yogyakarta:
Sipress, 1996. _____. Nalar Spiritual Pendidikan Solu
22