Anda di halaman 1dari 23

JUDUL

Kajian Historis Tokoh Pendidikan danTeoriBelajarnya dalam pembelajaran


Kontemporer.

Ditulis untuk Memenuhi Tugas Kelompok Pada Mata


Kuliah Landasan Pedagogik dan Teori Belajar.

Dosen Pengampu Mata Kuliah:


Dr. Anasufi Banawi,M.Pd dan DR.Kapraja Sangadji,M.Pd

Disusun oleh:
KELOMPOK IX
Pertemuan 11
1. Yakuba Namsa NIM: 220401018
2. Muh. Khoirul Abror NIM: 220401035

PASCASARJANA
PRODI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
AMBON
T/A 2022-202

0
KATA PENGANTAR
‫هّٰللا‬
ِ ‫بِس ِْم ِ الرَّحْ مٰ ِن الر‬
‫َّحي ِْم‬

Bismillahi Ar Rahmaan Ar Rahiim Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah


SWT, yang telah melimpahkan rakmat, taufik serta hidayah-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan Kajian Historis Tokoh Pendidikan
makalah
danTeoriBelajarnya dalam pembelajaran Kontemporer.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW yang telah menunjukan kita ke jalan yang benar. Makalah ini memuat
informasi terkait dengan Kajian Historis Tokoh Pendidikan
danTeoriBelajarnya dalam pembelajaran Kontemporer yang penulis
dapatkan dalam studi kepustakaaan. Makalah ini kami tulis untuk memenuhi nilai tugas
pada mata kuliah Studi Tafsir Hadis Tarbawiy yang diampu oleh Dr. Anasufi
Banawi,M.Pd dan DR.Kapraja Sangadji,M.Pd
Akhirnya kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini bukanlah proses akhir,
tetapi merupakan langkah awal yang masih banyak memerlukan perbaikan. Kritik dan
saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan dan kami terima dengan tangan
terbuka. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis
dan umumnya bagi pembaca. Penyusun

Penyusun

1
DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang ...................................................................................................... 3
Rumusan Masalah ................................................................................................ 3
Tujuan Penulisan .................................................................................................. 3

BAB II
PEMBAHASAN

Tokoh Pendidikan danTeori Belajarnya dalam pembelajaran


Kontemporer secara Historis. ............................................................................... 4

1. Plato .................................................................................................... 6
2. Jhon Locke .................................................................................................. 7
3. Benjamin S. Bloom ..................................................................................... 9
4. Mohammad Syafei ...................................................................................... 11
5. Ki Hadjar Dewantara ..................................................................................... 13
6. K.H Ahmad Dahlan ....................................................................................... 15
7. KH. Hasyim Asy’ari....................................................................................... 17

BAB III
PENUTUP
Simpulan ................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah, penggalan
kalimat ini populer disampaikan oleh Ir. Soekarno sebagai founding father bangsa
Indonesia. Historis dalam kejadian apa pun adalah hal yang harus dikenang dengan
mengambil segala nilai-nilai baik di dalamnya dan dijadikan refleksi untuk menghadapi
kejadian di masa sekarang dan masa yang akan datang. Kajian historis hadir dalam setiap
aspek, termasuk pendidika
Standar nasional pendidikan diciptakan untuk membatasi kriteria minimum
tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh
desentralisasi sistem pendidikan dalam kerangka pemerintahan Indonesia yang menganut
asas otonomi daerah. Terciptanya mekanisme ini tidak lepas dari perjalanan pendidikan
Indonesia yang dipengaruhi oleh berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Hal ini
menyebabkan mengarah pada historis pendidikan Indonesia yang menganut berbagai
paham, aliran, dan konsep-konsep pendidikan dari berbagai tokoh-tokoh Indonesia
sendiri.
Di era modernisasi yang kita rasakan saat ini tidak banyak generasi muda yang
mengenal dan mengetahui perjuangan para pahlawan pendidikan yang telah merintis
serta memajukan pendidikan di Indonesia. Para generasi muda lebih memilih untuk
bergelut dengan teknologi dan kemajuan zaman. Bahkan mereka tidak menyadari mereka
bisa menikmati pendidikan seperti sekarang ini berkat para pahlawan dan pejuang bangsa
yang dengan segenap kekuatannya memperjuangkan pendidikan yang layak bagi bangsa
dan negaranya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latarbelakang diatas maka dapat ditarik sebuah pertanyaan sebagai
berikut :

1. Siapakah Tokoh Pendidikan danTeori Belajarnya dalam pembelajaran


Kontemporer secara Historis
2. Apa teori – teori belajar yang di kembang oleh tokoh-tokoh pendidikan
Kontemporer..?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui siapa Tokoh Pendidikan Kontemporer danTeori Belajarnya


dalam pembelajaran Kontemporer secara Historis
2. Untuk mengetahui teori – teori belajar yang di kembang oleh tokoh-tokoh
pendidikan Montemporer.

3
BAB II
PEMBAHASAN

Bab ini menjelaskan mengenai risalah garis waktu zaman pendidikan yang ada di dunia
dan tokoh-tokoh pendidikan di dunia, di Indonesia secara historis, identitas dan
sumbangsih bagi pemikiran para tokoh untuk kebijakan pendidikan hari ini dan
kedepannya. Bagian ini dimulai dari bahasan mengkaji tokoh-tokoh pendidikan dunia
lalu Indonesia.

A. Tokoh Pendidikan danTeori Belajarnya dalam pembelajaran Kontemporer secara


Historis

1. Garis Waktu Historis Pendidikan Dunia

Pidarta (2007: 110) menjelaskan tentang perjalanan pendidikan dunia yang telah
berlangsung mulai dari zaman Hellenisme (150 SM -500), zaman pertengahan (500-
1500), zaman Humanisme atau Renaissance serta zaman Reformasi (1600an). Namun
pendidikan pada zaman ini belum cukup memberikan kontribusinya.

Sejarah pendidikan dunia yang banyak dibahas dalam beberapa literatur mengemukakan
tentang periodisasi pendidikan dunia yang terdiri dari:

a) Zaman Realisme

1. Tokoh-tokoh zaman ini ialah Francis Bacon dan Johann Amos Comenius.
2. Menurut aliran ini, pengetahuan yang benar diperoleh tidak hanya melalui pengindraan
semata tetapi juga melalui persepsi pengindraan (Mudyahardjo, 2008: 117)

b) Zaman Rasionalisme

1. Tokoh pada zaman ini adalah John Locke


2. Aliran ini memberikan kekuasaan kepada manusia untuk berpikir sendiri dan bertindak
untuk dirinya, karena itu latihan sangat diperlukan pengetahuannya sendiri dan bertindak
untuk dirinya.

c. Zaman Naturalisme

1. Tokoh pendidikan pada zaman ini ialah J.J. Rousseau


2. Aliran ini menentang kehidupan yang tidak wajar seperti korupsi, gaya hidup yang
dibuat-buat dan sebagainya.
3. Aliran ini menyatakan bahwa manusia didorong oleh kebutuhankebutuhannya, dan
dapat menemukan jalan kebenaran di dalam dirinya sendiri.

d. Zaman Develomentalisme

1. Aliran ini memandang pendidikan sebagai suatu proses perkembangan jiwa sehingga

4
sering disebut sebagai gerakan psikologis dalam pendidikan
2. Tokohnya ialah Pestalozzi, Johan Frederich Herbart, Stanley Hall

e) Zaman Nasionalisme

1. Dibentuk sebagai upaya membentuk patriot bangsa dalam mempertahankan bangsa


dari kaum imperialis
2. Tokohnya adalah La Chatolais, Fichte, dan Jefferson

f. Zaman Liberalisme, Positivisme, dan Individualisme

1. Liberalisme berpendapat bahwa pendidikan adalah alat untuk memperkuat kedudukan


penguasa/pemerintahan, dipelopori oleh Adam Smith
2. Positivisme percaya kebenaran yang dapat diamati oleh panca indra sehingga
kepercayaan terhadap agama semakin melemah, tokohnya August Comte

f. Zaman Sosialisme

1. Aliran ini berpendapat bahwa masyarakat memiliki arti yang lebih penting daripada
individu. Oleh karena itu pendidikan harus diabdikan untuk tujuan-tujuan sosial
2. Tokohnya Paul Nartrop, George Kerchensteiner, dan John Dewey

2. Garis Waktu Historis Pendidikan Indonesi

Pendidikan di Indonesia dimulai sejak zaman Hindu Budha, kemudian diikuti


oleh perkembangan pengaruh Islam, zaman penjajahan, hingga zaman
kemerdekaan. (Krisdiyanto et al., 2019) dan (Sultani, Z. I.M & Kristanti,
2020)menguraikan masing-masing zaman tersebut, yaitu

a) Zaman Hindu Budha Tujuan pendidikan pada zaman ini sama dengan tujuan
kedua agama tersebut. Pendidikan dilaksanakan dalam rangka penyebaran dan
pembinaan kehidupan beragama Hindu dan Budha

b) Zaman Pengaruh Islam Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia sejalan


dengan perkembangan penyebaran Islam di nusantara, baik sebagai agama
maupun sebagai arus kebudayaan. Pendidikan Islam ini tidak diselenggarakan
secara terpusat, namun banyak diupayakan secara perorangan.

c) Zaman Pengaruh Nasrani (Katolik dan Kristen) Orde ini mempunyai


organisasi pendidikan yang seragam, sama di mana pun, dan bebas untuk semua.
Xaverius memandang pendidikan sebagai alat yang ampuh untuk penyebaran
agama (Tety & Wiraatmadja, 2017)

d) Zaman Kolonial Belanda Sejalan dengan Politik Etis yang dijalankan belanda,
tampak kemajuan yang lebih pesat dalam bidang pendidikan. Tokoh-tokoh
pendidik pada zaman ini ialah Mohamad Syafei, Ki Hajar Dewantara, dan K.H
Ahmad Dahlan.

5
e) Zaman Kolonial Jepang Di bidang pendidikan, Jepang telah menghapus
dualisme pendidikan dari penjajah Belanda dan menggantikannya dengan
pendidikan yang sama bagi semua orang. Selain itu, pemakaian bahasa Indonesia
secara luas diinstruksikan oleh Jepang untuk di pakai di lembaga-lembaga
pendidikan, di kantor-kantor, dan dalam pergaulan sehari-hari.
f) Zaman Kemerdekaan Tujuan pendidikan belum dirumuskan dalam suatu
undang-undang yang mengatur pendidikan.

g) Zaman Orde Lama Pendidikan Nasional zaman ‘Orde Lama’ adalah


pendidikan yang dapat membangun bangsa agar mandiri sehingga dapat
menyelesaikan revolusinya baik di dalam maupun di luar h)

h) Zaman Orde Baru Menurut Orde Baru, pendidikan adalah usaha sadar untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam sekolah dan di luar
sekolah dan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan
rumah tangga, sekolah dan masyarakat i) Zaman Reformasi Dalam bidang
pendidikan ada perubahan-perubahan dengan munculnya UndangUndang
Pendidikan yang baru dan mengubah system pendidikan sentralisasi menjadi
desentralisasi, di samping itu kesejahteraan tenaga kependidikan perlahanlahan
meningkat. Hal ini memicu peningkatan kualitas profesional mereka. Instrumen-
instrumen untuk mewujudkan desentralisasi pendidikan juga diupayakan,
misalnya MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), Life Skills (Lima Ketrampilan
Hidup), dan TQM (Total Quality Management).

1.1..........................................................................................................................Tokoh-
Tokoh Pendidikan Dunia
a. Plato
Plato adalah seorang filsuf yang lahir sekitar 427 SM dari keluarga terkemuka di
Athena, ayahnya bernama Ariston dan ibunya bernama Periktione. Saat ayahnya
meninggal ibunya menikah kembali dengan adik ayahnya Plato yang bernama
Pyrilampes yang tidak lain adalah seorang politikus, dan Plato banyak
terpengaruh dengan kehadiran pamannya ini. Karena sejak kehadiran pamannya
ini ia banyak bergaul dengan para politikus Athena (Heckel, 2017) . Plato adalah
filsuf Yunani yang sangat berpengaruh, murid Socrates dan guru dari Aristoteles.
Karya Plato yang paling terkenal ialah Republik, di mana ia menguraikan garis
besar pandangannya tentang keadaan “Ideal”..

Pemikiran Plato

Pemikiran Plato tentang pendidikan yang terkenal adalah munculnya mengenai


filsafat pandangannya yang merupakan filsafat pendidikan yang lahir pada abad
kedua puluh, sebagai suatu kritik terhadap pendidikan progresif. Perenialisme
menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu
yang baru (Jack & Hamshire, 2019). Teori dan konsep pendidikan perenialisme
dilatarbelakangi oleh filsafat-filsafat Plato sebagai Bapak Realisme Klasik. Plato
berpandangan bahwa realitas yang hakiki itu tetap tidak berubah. Realitas atau
kenyataan-kenyataan itu telah ada pada diri manusia sejak dari asalnya, yang
berasal dari realitas yang hakiki.
6
Menurut Plato, “dunia ideal”, bersumber dari ide mutlak, yaitu Tuhan.
Kebenaran, pengetahuan, dan nilai sudah ada sebelum manusia lahir yang
semuanya bersumber dari ide yang mutlak tadi. Manusia tidak mengusahakan
dalam arti menciptakan kebenaran. Dalam pendidikan, perenialisme
berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak menentu, penuh kekacauan, serta
membahayakan (Putri, 2021), seperti yang kita hadapi dewasa ini, tidak ada satu
pun yang lebih bermanfaat daripada kepastian tujuan pendidikan, serta kestabilan
dalam perilaku pendidikan.

Implikasi Pendidikan Plato

Menurut Plato, pendidikan didasarkan pada pengertian logis psikologi manusia. Ia


memberikan ilustrasi logis psikologi manusia. Ia memberikan ilustrasi : pengalaman bayi
atas segala sesuatu bermula dengan sensasi kenikmatan dan rasa sakit. Anak harus belajar
merasakan kenikmatan dan rasa sakit, mencintai dan membenci secara tepat (Ibrahim,
2018). Ketika tumbuh mereka akan memahami alasan yang mendasari latihan yang telah
diterima. Sistem pendidikan yang logis memerlukan integrasi intelek dan emosi.

Cita-cita pendidikan plato dalam (Diener, 2020) adalah: (a) Tugas individu
mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi. Pendidikan harus
diselenggarakan untuk dan oleh Negara. Jenis pedagogisnya adalah pedagogik Negara
yang diarahkan kepada Negara yang susila; (b) Plato membedakan tiga 9 fungsi pada
manusia: pikiran, keinginan, dan kemauan. Di mana ketiga fungsi itu disejajarkan dengan
tiga golongan dalam masyarakat, yaitu : (1) golongan yang mengutamakan pikiran yaitu
golongan pengajar, (2) golongan yang mengutamakan keinginan yaitu golongan
pengusaha, (3) golongan yang mengutamakan kemauan yang membawa mereka pada
keberanian yaitu golongan militer. Melalui pendidikan, Plato bermaksud mendapatkan
(a) orang-orang yang baik, (b) orangorang yang baik itu untuk menduduki tempatnya (the
right men in the right place) dalam golongannya masing-masing.

Menurut Plato, dalam pendidikan bisa membuka pengertian kebijakan yang baik
membawa akibat perbuatan yang baik pula (Jack & Hamshire, 2019). Perbuatan yang
tidak baik adalah akibat dari pengertian yang salah. Plato menempatkan kebijakan
intelektual di tempat tertinggi. Dalam rencana-rencana pendidikannya kemukakan,
ditekankan pula kebijakan moral dan Latihan kemauan. Juga pendidikan-pendidikan fisik
dan jasmani seperti gimnastik, menari dan permainan-permainan sebab mereka
berpendapat bahwa kekuatan jasmani membantu kekuatan moral dan intelektual. Karena,
semuanya berhubungan dengan kebaikan, disiplin dan keselarasan dalam pikiran dan
tabiat dengan keutamaan yang sama dalam tubuh manusia.

Di antara kebijakan-kebijakan intelektualnya, Plato masukkan juga kepandaian


(kesanggupan untuk membuat barang) dan kebijakan praktis (kesanggupan menimbang
secara tepat terutama dalam mencapai tujuan-tujuan yang baik dalam kehidupan sehari-
hari). Kebijakan praktis atau prudensial merupakan hal yang esensial dalam kehidupan
moral dan dalam diri seorang warga negara yang bertanggung jawab.

b. Jhon Locke

7
John Locke lahir pada tanggal 29 Agustus 1632 di sebuah kota Wrington ,
Somersetshire kira-kira dua belas mil dari Bristol Inggris, sebagai anak seorang
sarjana hukum bernama Locke (Muslim, 2018), ayahnya seorang pengacara
Negara dan pegawai kepada Hakim perdamaian di Chew Magna yang pernah
menjabat sebagai kapten kavaleri untuk parlemen pasukan pada awal bagian dari
perang saudara Inggris.

Pandangan Filsafat Pendidikan Menurut Jhon Locke

John Locke adalah filsuf dari Inggris dengan pandangan empirisme (Sholichah,
2018), Ia sering disebut sebagai tokoh yang memberikan titik terang dalam
perkembangan psikologi. Menurut empirisme, yang menjadi sumber pengetahuan
adalah empiri, atau pengalaman, baik pengalaman batiniah maupun pengalaman
lahiriah, Pengikut empirisme tidak puas dengan teori pengetahuan rasionalis,
mereka mencoba untuk mencari teori pengetahuan lainnya yang konsisten dengan
pengalaman manusia dalam kehidupannya sehari-hari.

Kaum empiris bertitik tolak dari pengalaman alat dirinya sebagai sumber dan
dasar bagi apa yang kita ketahui. Selanjutnya pengalaman mengajarkan bahwa
prinsip-prinsip moral tertentu dan pengertian tentang Allah (Djamaluddin, 2014),
jauh dari bawaan, berbeda dengan orang yang berbeda dan pada waktu yang
berbeda. Oleh karena itu tidak terdapat ide bawaan; intelek kita, pada saat
pertama keberadaannya adalah sebuah tabularasa, sebuah kertas bersih yang
belum ditulis.

Locke menjelaskan bahwa pengalaman ada dua yaitu eksternal dan internal.

1. Pengalaman eksternal, yang disebut sensasi, memberi kita ide-ide yang


seharusnya obyek eksternal , seperti warna, suara, ekstensi, gerak . dll. Locke
mengatakan “ seharusnya objek “ karena keberadaan mereka belum terbukti .

2. Pengalaman internal, yang disebut refleksi, membuat kita memahami


pengoperasian sangat pada objek sensasi, seperti tahu, ragu, percaya dsb. Bagi
Locke , sensasi dan refleksi diklasifikasikan sebagai sederhana dan kompleks,
menurutnya dapat diminimalkan unsur, seperti warna putih , kugendutkan atau
dikembalikan pada elemen lebih sederhana.

Dengan demikian gagasan mengenai sebuah apel itu kompleks karena merupakan
kombinasi dari ide-ide sederhana warna, bulat, rasa dan sebagainya. Semangat
regas pasif sebagai ide sederhana, tidak ada yang bias memiliki ide suara,
misalnya, jika tidak dilengkapi kepadanya. Sebaliknya, semangat aktif tentang
ide– ide kompleks karena dapat mengurangi mereka untuk unsur-unsur yang
sederhana dan dapat membuat ide-ide kompleks baru dari elemen-elemen ini

Implikasi Pendidikan menurut Jhon Locke

John Locke mengutamakan pendidikan jasmani. Dia juga menganjurkan pakaian yang
cocok , tidak terlalu panas dan tidak terlalu sempit , makanan sehat tanpa pedas, sering
menghirup udara segar, melakukan gerak olah raga , serta kepala dan kaki harus selalu
8
dingin. John Locke mengutamakan pendidikan di rumah daripada di sekolah, karena
pendidikan di rumah member kesempatan mengenal dari dekat kepribadian anak (Asih,
2018).

Ciri didaktik John Locke adalah: 1. Belajar seperti bermain, 2. Mengajarkan mata
pelajaran berturut-turut, tidak sama , 3. Mengutamakan pengalaman dan pengamatan, 4.
Mengutamakan pendidikan budi pekert.

Perihal pendidikan budi pekerti , John Locke menekankan soal menahan diri dan
membangkitkan rasa harga diri, pendapat orang harus menjadi salah satu alas an penting
untuk perbuatan susila . Selain itu anak harus memperhatikan apakah orang lain
menyetujui atau mencela.

John Locke mementingkan kepatuhan si anak. Dari permulaan anak harus dibiasakan
kepada yang baik – baik. Pendidikan harus dapat mempertahankan kewibawaannya. Ia
menolak hukuman – hukuman dan hadiah. Ia pun menolak pendidikan agama yang
berlebihan. John Locke tidak setuju anak diberi Kitab Injil. Menurutnya, anak lebih baik
disuruh membaca cerita-cerita Bibel.

John Locke adalah filsuf yang mengabdikan dirinya bukan hanya kepada dunia
kedokteran tetapi ia juga pakar dalam pendidikan (Nuzulah et al., 1997), ia sangat tertarik
dalam pembentukan kemampuan yang dimiliki oleh anak, bahwa segala sesuatu sangat
dipengaruhi oleh lingkungan yang memadai baik dari sarana maupun oleh latih yang
terus menerus. Itu semua dianggap benar karena tanpa ada lingkungan luar anak tidak
akan kelihatan kemampuan baik kemampuan nyata (actualty ability) yang langsung dapat
diketahui pada saat individu telah mengalami proses belajar.

c. Benjamin S. Bloom

Benjamin S. Bloom lahir pada 21 Februari 1913 di Lansford Pennsylvania, dan


meninggal pada tanggal 13 September 1999. Dia menerima gelar sarjana dan gelar
master dari Pennsylvania State University (Aziz et al., 2017)pada tahun 1935 dan Ph.D.
Pendidikan dari University of Chicago Maret 1942. Ia menjadi anggota staf Board of
Examinations di University of Chicago pada tahun 1940 dan bertugas sampai 1959. Ia
juga adalah seorang guru, penasihat pendidikan dan psikologi pendidikan.

Penunjukan awalnya sebagai instruktur di Departemen Pendidikan University of Chicago


dimulai tahun 1944 dan akhirnya ia ditunjuk Charles H. Swift Distinguished Service
sebagai Profesor pada tahun 1970. Ia menjabat sebagai penasihat pendidikan pemerintah
Israel, India dan banyak negara lain.

Pada tahun 2001 Lorin W. Anderson mantan siswa Bloom bekerja sama dengan salah
satu mitra Bloom yaitu David Krathwohl menulis A Taxonomy for Learning, Teaching,
and Assessing (A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives). Mereka
adalah orang-orang yang ahli di bidang psikologi kognitif, kurikulum dan pengajaran,
dan pendidikan pengujian, pengukuran, dan penilaian.

Implikasi Pendidikan menurut Benjamin S. Bloom

Taksonomi berasal dari bahasa Yunani tassein berarti untuk mengklasifikasi dan nomos
yang berarti aturan. Taksonomi berarti klasifikasi berhierarkis dari sesuatu atau prinsip
yang mendasari klasifikasi. Semua hal yang bergerak, benda diam, tempat, dan kejadian
sampai pada kemampuan berpikir dapat diklasifikasikan menurut beberapa skema
taksonomi.
9
Konsep Taksonomi Bloom dikembangkan pada tahun 1956 oleh Benjamin S. Bloom,
seorang psikolog bidang pendidikan (Sun et al., 2017). Konsep ini mengklasifikasikan
tujuan pendidikan dalam tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Konsep
tersebut mengalami perbaikan seiring dengan perkembangan dan kemajuan jaman serta
teknologi.

Salah seorang murid Bloom yang bernama Lorin Anderson merevisi taksonomi Bloom
pada tahun 1990. Hasil perbaikannya dipublikasikan pada tahun 2001 dengan nama
Revisi Taksonomi Bloom, dalam revisi ini ada perubahan kata kunci, pada kategori dari
kata benda menjadi kata kerja. Masing-masing kategori masih diurutkan secara hierarkis,
dari urutan terendah ke yang lebih tinggi (Setiyowati & Arifianto, 2020). Pada ranah
kognitif kemampuan berpikir analisis dan sintesis diintegrasikan menjadi analisis saja.
Dari jumlah enam kategori pada konsep terdahulu tidak berubah jumlahnya karena Lorin
memasukkan kategori baru yaitu creating yang sebelumnya tidak ada.

Jika sebelumnya, Bloom mengklasifikasi tujuan kognitif dalam enam level, yaitu
pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), aplikasi (apply), analisis
(analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation) dalam satu dimensi, maka
Anderson dan Kratwohl merevisinya menjadi dua dimensi, yaitu proses dan isi atau jenis.
Pada dimensi proses, terdiri atas mengingat (remember), memahami (understand),
menerapkan (apply), menganalisis (analyze), menilai (evaluate), dan berkreasi (create).

Sedangkan pada dimensi isinya terdiri atas pengetahuan faktual (factual


knowlwdge),pengetahuan konseptual (conceptual knowledge), pengetahuan prosedural
(procedural knowledge), dan pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge).

Aplikasi dalam Kegiatan Pembelajaran

Taksonomi Bloom tetap menggambarkan suatu proses pembelajaran, cara kita


memproses suatu informasi sehingga dapat dimanfaat dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa prinsip didalamnnya adalah :
1. Sebelum kita memahami sebuah konsep maka kita harus mengingatnya terlebih
dahulu
2. Sebelum kita menerapkan maka kita harus memahaminya terlebih dahulu
3. Sebelum kita mengevaluasi dampaknya maka kita harus mengukur atau menilai
4. Sebelum kita berkreasi sesuatu maka kita harus mengingat, memahami,
mengaplikasikan, menganalisis dan mengevaluasi, serta memperbaharui

Penahapan berpikir seperti itu mendapat sanggahan dari sebagian orang, karena tidak
semua tahap tersebut diperlukan. Contohnya dalam menciptakan sesuatu tidak harus
melalui semua tahapan tersebut. Hal itu tergantung pada kreativitas individu. Proses
pembelajaran dapat dimulai dari tahap mana saja. Pada kenyataannya peserta didik
seharusnya berpikir secara holistik, tapi ketika kemampuan itu dipisah-pisah maka
peserta didik dapat kehilangan kemampuannya untuk menyatukan kembali komponen-
komponen yang sudah terpisah. Pembuatan suatu produk baru atau dalam menyelesaikan
suatu proyek tertentu, peserta didik lebih baik diberikan tantangan terpadu yang dapat
mendorong peserta didik untuk berpikir secara kritis (L., 2019).

Untuk membantu pengembangan kognitif, anak perlu dibekali dengan pengalaman


belajar yang dirancang melalui kegiatan mengobservasi dan mendengarkan dengan tepat.

Macam-macam metode yang dapat digunakan untuk pengembangan kognitif anak:

10
1.Bermain
2. Pemberian tugas
3. Demonstrasi
4. Tanya jawab
5. Mengucapkan syair
6. Percobaan atau eksperimen
7. Bercerita
8. Karyawisata
9. Dramatisasi

Taksonomi Bloom mengenai sasaran pendidikan ranah kognitif merupakan model yang
relatif sederhana untuk diterapkan dan sangat bermanfaat bagi yang menggunakannya.
Anak dapat mengembangkan dan menggunakan keterampilan berpikir mereka dan guru
dapat mendiferensiasikan pembelajaran tanpa perlu memisahkan anak berbakat dari anak
yang lain.

Guru hanya perlu menyesuaikan jumlah waktu untuk setiap tingkat taksonomi dengan
tingkat kemampuan anak. Anak yang cepat menguasai tingkattingkat rendah taksonomi
dapat menggunakan lebih banyak waktu untuk tingkat pemikiran yang lebih tinggi.
Dengan demikian, semua anak memperoleh pembelajaran yang sesuai dalam kerangka
kerja yang sama.

Adapun manfaat Model Taksonomi Bloom yaitu:

1. Sebagai sistem klasifikasi sasaran belajar


2. Cara untuk mengembangkan dan mengevaluasi pertanyaan yang diajukan guru kepada
anak
3. Untuk mengembangkan kegiatan serta menulis soal-soal ujian
4. Guru dapat mendiferensiasikan pembelajaran tanpa perlu memisahkan siswa berbakat
dan anak yang lain.

1.2. Tokoh-Tokoh Pendidikan Indonesia

Selain mengenal para tokoh yang memberikan implikasi pedagogik di Dunia,


terdapat tokoh-tokoh yang membangun pemikiran, sumbangsih dan kecerdasan
landasan pendidikan anak-bangsa dengan membangun sesuai keadaban dan nilai
keluhuran bangsa Indonesia hingga dampaknya terasa sampai hari ini untuk
pembangunan pendidikan bangsa.

a. Mohammad Syafei
Mohammad Syafei lahir tahun 1893 di Ketapang (Kalimantan Barat) dan
diangkat jadi anak oleh Ibrahim Marah Sutan dan ibunya Andung Chalijah,
kemudian di bawah pindah ke Sumatra Barat dan menetap Bukit Tinggi .Dia
sudah mengajar di berbagai daerah di nusantara, pindah ke Batavia pada
tahun1912 dan disini aktif dalam kegiatan penertiban dan Indische Partij.
Pendidikan yang ditempuh Moh. Syafei adalah sekolah raja di Bukit Tinggi, dan
kemudian belajar melukis di Batavia (kini Jakarta), sambil mengajar disekolah
Kartini (Yusuf et al., 2021).

Pada tahun 1922 Moh. Syafei menuntut ilmu di Negeri Belanda dengan biaya
sendiri. Disini ia bergabung dengan ”Perhimpunan Indonesia “,sebagai ketua
11
seksi Pendidikan. Di negeri Belanda ini ia akrab dengan Moh. Hatta, yang
memiliki banyak kesamaan dan karakteristik dan gagasan dengannya, terutama
tentang pendidikan bagi pengembangan nasionalisme di Indonesia (Daulay,
2007). Dia berpendapat bahwa agar gerakan nasionalis dapat berhasil dalam
menentang penjajahan Belanda, maka pendidikan rakyat haruslah diperluas dan
diperdalam.

Semasa di negeri Belanda ia pernah ditawari untuk mengajar dan menduduki


Jabatan disekolah pemerintah. Tapi Syafei menolak dan kembali ke Sumatra
Barat pada tahun1925.Ia bertekad mendirikan sebuah sekolah yang dapat
mengembangkan bakat murid-muridnya dan disesuaikan dengan kebutuhan
rakyat Indonesia, baik yang hidup di kota maupun di pedalaman (Mohamad
Noor, 2021).

Mohamad Syafei mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama Indonesische


Nederland School (INS) pada tanggal 31 Oktober 1926. Di Kayu Tanam, sekitar
60 Km di sebelah Utara kota Padang. Sekolah ini didirikan di atas lahan seluas
18 hektar dan dipinggir jalan raya Padang Bukit Tinggi. Ia menolak subsidi
untuk sekolahnya, seperti halnya Thalib dan Diniyah, tapi ia membiaya sekolah
itu dengan menerbitkan buku-buku kependidikan yang ditulisnya. Sumber
keuangan juga berasal dari sumbangan –sumbangan yang diberikan ayahnya dan
simpatisan-simpatisan serta dari berbagai acara pengumpulan dana seperti
mengadakan pertunjukan teater, pertandingan sepak bola, menerbitkan lotre dan
menjual hasil karya seni buatan murid-muridnya.

Filsafat Pendidikan Nasionalisme

Mohammad Syafei mendasarkan konsep pendidikannya pada nasionalisme


dalam arti konsep dan praktik penyelenggara pendidikan INS kayu tanam
didasarkan pada cita-cita menghidupkan jiwa bangsa Indonesia dengan cara
mempersenjatai dirinya dengan alat daya upaya yang dinamakan aktif kreatif
untuk menguasai alam. Semangat nasionalisme Mohammad Syafei dipengaruhi
oleh pandangan–pandangan Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker dan
Perhimpunan di negeri Belanda. Semangat nasionalismenya yang sedang tumbuh
menimbulkan pertanyaan, mengapa bangsa Belanda yang jumlahnya sedikit
dapat menguasai bangsa Indonesia yang jumlahnya sangat besar

Jelas kiranya bahwa nasionalisme Mohammad Syafei adalah nasionalisme


pragmatis yang didasarkan pada agama, yaitu nasionalisme yang tertuju pada
membangun bangsa melalui pendidikan agar menjadi bangsa yang pandai
berbuat untuk kehidupan manusia atas segala sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan
(Apriani et al., 2017). Mohammad Syafei menyatakan bahwa Tuhan tidak sia –
sia menciptakan manusia dan alam lainnya. Setiap halnya mesti berguna, dan
kalau ini tidak berguna hal itu disebabkan karena kita yang tidak pandai
menggunakannya.

Pandangan pendidikan Mohammad Syafei sangat dipengaruhi oleh aliran


Develomentalisme ,terutama oleh gagasan sekolah kerja yang dikembangkan
John Dewey dan George Kerschensteiner, serta pendidikan alam sekitar yang
12
dikembangkan Jan Lightar (Hamid et al., 2018). John Dewey berpendapat bahwa
pendidikan bahwa pendidikan terarah pada tujuan yang tidak berakhir,
pendidikan merupakan sesuatu yang terus berlangsung, suatu rekonstruksi
pengalaman yang terus bertambah.

Tujuan pendidikan sebagaimana adanya, terkandung dalam proses pendidikan,


dan seperti cakrawala, tujuan pendidikan yang dibayangkan ada sebelum
terjadinya proses pendidikan ternyata tidak pernah dicapai seperti cakrawala
yang tidak pernah terjangkau. Oleh karena itu, seperti yang dinyatakan oleh John
Dewey, rekonstruksi pengalaman kita harus diarahkan pada mencapai efisiensi
sosial, dengan demikian pendidikan harus merupakan proses sosial. Sekolah
yang baik harus aktif dan dinamis, dengan demikian anak belajar melalui
pengalamannya dalam hubungan dengan orang lain.

Implikasi Pendapat Muhammad Syafei tentang Pendidikan

Pemikiran Syafei tentang pendidikan banyak dipengaruhi oleh pemikiran pendidikan


awal abad 20 di Eropa, yaitu pemikiran pendidikan yang dikembangkan berdasarkan
konsep sekolah kerja atau sekolah hidup atau sekolah masyarakat. Menurut konsep ini
sekolah hendaknya tidak mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat. Untuk itu
Syafei mengutip pemikiran Guning;”sebagian sekolah, karena kesalahannya sendiri
dan ada pula sebagian yang tidak salah ,telah mengasingkan diri dari kehidupan sejati
dan telah membentuk dunianya sendiri. Mengukur segala-galanya menurut pahamnya
sendiri. Selama hal itu tidak berubah, maka sekolah tidak dapat memenuhi
kewajibannya. Ia selalu memaksakan kehendaknya sendiri kepada masyarakat yang
seharusnya ia mengabdi kepada masyarakat. Pada tempatnyalah “Sekolah cara baru
“bukan saja menghendaki sekolah kerja, tetapi akan berubah menjadi “Sekolah hidup”
atau “Sekolah Masyarakat”.

Dasar pendidikan yang dikembangkan oleh Moh. Syafei adalah kemasyarakatan,


keaktifan, kepraktisan, serta berpikir logis dan rasional. Berkenan dengan itulah maka
isi pendidikan yang dikembangkannya adalah bahan yang dapat mengembangkan
pikiran, perasaan, dan ketrampilan atau yang dikenal dengan istilah 3 H, yaitu
Head,Heart dan Hand.

Implikasi terhadap pendidikan adalah ;


1. Mendidik anak-anak agar mampu berpikir secara rasional
2. Mendidik anak-anak agar mampu bekerja secara teratur dan bersungguh sungguh.
3. Mendidik anak –anak agar menjadi manusia yang berwatak baik.
4. Menanamkan rasa cinta tanah air.
5. Mendidik anak agar mandiri tanpa tergantung pada orang lain.

Dalam pelajaran, anak hendaknya menjadi subyek(pelaku) bukan dikenai


(obyek).Dengan menjadi subyek seluruh tubuh anak terlibat, juga emosi, dan
pemikiran dan daya khayalnya (Syaputra & Nasution, 2018). Keasyikan emosi ,dan
spontanitas anak ketika bermain hendaknya dapat dialihkan kedalam proses belajar
mengajar.

Peranan guru adalah sebagai manajer belajar yang mengupayakan bagaimana


13
menciptakan situasi aga siswa menjadi aktif berbuat. Dengan demikian, guru juga
berperan sebagai fasilitator belajar yang memperlancar aktivitas anak dalam belajar.
Guru yang demikian dituntut untuk memahami anak sebagai makhluk yang selalu
bergerak dan memahami psikologi belajar, serta psikologi perkembangan.

b. Ki Hadjar Dewantara

Beliau lahir dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, Ki Hadjar
Dewantara terlahir dalam keluarga kraton Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889
dan wafat pada tanggal 26 April 1959. Sebagai golongan ningrat, Ki Hadjar
Dewantara memperoleh hak untuk mengenyam pendidikan yang layak dari
kolonial Belanda. Setelah menamatkan ELS (Sekolah Dasar Belanda), beliau
meneruskan pelajarannya ke STOVIA (Sekolah Dasar Bumiputera), sayang
sekali karena sakit ia tidak dapat meneruskan pendidikannya di STOVIA
(Mudana, 2019).

Pada tanggal 3 Juli 1922 beliau mendirikan Perguruan Taman Siswa dan sampai
saat wafatnya terus memimpin perguruan tersebut. Taman Siswa merupakan
sebuah perguruan yang bercorak nasional yang menekankan rasa kebangsaan dan
cinta tanah air serta semangat berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Perjuangan Ki Hadjar Dewantoro tak hanya melalui Taman Siswa, sebagai
penulis, Ki Hadjar Dewantara tetap produktif menulis untuk berbagai surat kabar.
Tulisan Ki Hadjar Dewantara berisi konsep-konsep pendidikan dan kebudayaan
yang berwawasan kebangsaan, dan melalui konsep-konsep itulah dia berhasil
meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.

Implikasi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Membaca tulisan-tulisan Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan, teringat pada


pendekatan konstruktivisme dalam pendidikan (Yunan & Andriani, 2019).
Keduanya sama-sama menekankan bahwa titik berat proses belajar mengajar
terletak pada murid. Pengajar berperan sebagai fasilitator atau instruktur yang
membantu murid mengonstruksi konseptualisasi dan solusi dari masalah yang
dihadapi. Jadi pembelajaran yang optimal adalah pembelajaran yang berpusat
pada murid (student center learning).

Konstruktivisme yang sudah besar pengaruhnya sejak periode 1930-an dan 1940-
an di Amerika, juga di Eropa, secara langsung atau tidak langsung dasardasarnya
pernah dipelajari oleh Ki Hadjar Dewantara. Dasar pertama dari pendekatan
konstruktivisme dalam pendidikan adalah “teori konvergensi” yang menyatakan
bahwa “pengetahuan manusia merupakan hasil interaksi dari faktor bawaan
(nature) dan faktor pengasuhan (nurture). Menurutnya, baik “dasar” (faktor
bawaan) maupun “ajar” (pendidikan) berperan dalam pembentukan watak
seseorang (Yunan & Andriani, 2019).

Dalam penerapannya di bidang pendidikan, oleh Ki Hadjar teori konvergensi


diturunkan menjadi sistem pendidikan yang memerdekakan siswa atau yang
disebutnya “sistem merdeka”. Ki Hadjar menunjukkan bahwa pendidikan
diselenggarakan dengan tujuan membantu siswa menjadi manusia yang merdeka
14
dan mandiri, serta mampu memberi kontribusi kepada masyarakatnya. Menjadi
manusia merdeka berarti : (a) tidak hidup terperintah; (b) berdiri tegak karena
kekuatan sendiri; dan (c) cakap mengatur hidupnya dengan tertib.

Singkatnya, pendidikan menjadikan orang mudah diatur tetapi tidak dapat disetir.
Pandangan konstruktivisme tentang pendidikan sejalan dengan pandangan Ki
Hadjar Dewantara yang menekankan pentingnya siswa menyadari alasan dan
tujuan ia belajar. Ki Hadjar mengartikan mendidik sebagai “berdaya upaya
dengan sengaja untuk memajukan hidup tumbuhnya budi pekerti dan badan anak
dengan jalan pengajaran, teladan dan pembiasaan”.

Aplikasi dalam Sistem Pendidikan di Indonesia

Sejalan dengan itu, Ki Hadjar Dewantara memakai semboyan “Tut Wuri


Handayani” (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan
arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, pendidik harus
menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tulada ( di depan, seorang
pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan baik) (Mudana, 2019).
Semboyan ini masih tetap dipakai hingga kini dalam dunia pendidikan dan
terutama di sekolah-sekolah Taman Siswa.

Menurut Ki Hajar Dewantoro, manusia memiliki daya cipta, karsa dan karya.
Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara
seimbang. Pengembangan yang terlalu menitik beratkan pada satu daya saja akan
menghasilkan ketidak utuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau
mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual saja
hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Ternyata pendidikan
sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan
kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika ini berlanjut
akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.

Perjuangan Ki Hajar Dewantoro terhadap pendidikan Indonesia membuat beliau


layak di anugerahi gelar pahlawan pendidikan Indonesia. Tidak berlebihan jika
tanggal lahir beliau, 2 Mei diperingati sebagai hari Pendidikan Nasional untuk
mengenang dan sebagai penyemangat bagi kita untuk meneruskan prakarsa dan
pemikiran-pemikiran beliau terhadap pendidikan Indonesia. Ki Hajar Dewantara
mempunyai semboyan tut wuri handayani, ing madya mangun karsa dan ing
ngarsa sung tulada. Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan.

Pendidikan yang humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi


manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya
sebagai manusia yang utuh berkembang (menurut Ki Hajar Dewantara
menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif).
Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand”.

c. K.H Ahmad Dahlan

KH Ahmad Dahlan lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta pada tahun 1868 dan
Meninggal pada Tanggal 23 Februari 1923 dengan nama Muhammad Darwis.
15
Ayahnya KH Abu Bakar bin Kiai Sulaiman adalah imam dan Khatib Masjid
Besar Kauman Yogyakarta, sementara ibunya Siti Aminah adalah anak KH
Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta (Komala, 2021). Menurut salah satu
silsilah, keluarga Muhammad Darwis dapat dihubungkan dengan Maulana Malik
Ibrahim, salah seorang wali penyebar agama Islam yang telah dikenal di Pulau
Jawa.

KH Ahmad Dahlan menyelesaikan pendidikan dasarnya pada Madrasah dan


Pesantren di Yogyakarta dalam bidang nahu, Fiqih, dan tafsir. Pada tahun 1888,
Ahmad Dahlan disuruh oleh orang tuanya menunaikan ibadah haji. Ia bermukim
di Mekkah selama 5 Tahun untuk menuntut ilmu agama Islam, seperti qiraat,
tauhid, tafsir, Fiqih, tasawuf, ilmu mantik, dan ilmu falaq.

Pada tahun 1903 ia berkesempatan kembali pergi ke Makkah untuk


memperdalam ilmu agama selama 3 tahun . Kali ini ia banyak belajar dengan
Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Di samping itu, ia juga tertarik pada
pemikiran Ibnu Taimiyah, Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh dan
Muhammad Rasyid Rida dan di antara kitab tafsir yang menarik hatinya adalah
Tafsir al- Manar (Zarkasyi et al., 2020). Dari tafsir inilah beliau mendapatkan
inspirasi dan motivasi untuk mengadakan perbaikan dan pembaruan umat Islam
di Indonesia. Selama tinggal di kota Makkah, Ahmad Dahlan bertemu dengan
ide-ide pembaharuan Islam yang dipelopori Jamaluddin Al- Afgani, Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridha. Ahmad Dahlan mulai tertanam benih-benih ide yang
ingin dia terapkan tentang ide-ide pembaharuan. Olehnya itu, dia pun merasa
perlu untuk mendirikan wadah dalam bentuk organisasi untuk menghimpun
orang-orang yang seide dengan dia. Akhirnya, atas dorongan murid-muridnya
serta teman-temannya, pada Tanggal 18 November 1912 (8 Zulhijjah 1330), KH
Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah20. Selain dirinya sendiri,
pengurusnya adalah Abdullah Siradj (Penghulu), Haji Ahmad, Haji
Abdurrahman, R Haji Sarkawi, Haji Muhammad, R H Djaelani, Haji Anis, dan
Haji Muhammad Fakih.

Paradigma Pendidikan KH. Ahmad Dahlan

K.H Ahmad Dahlan merupakan tokoh nasional yang memiliki tipe man of action
(Agustang et al., 2021) artinya K.H Ahmad Dahlan lebih menonjol ke urusan
masalah praktik maka dari ini warisan dari K.H Ahmad Dahlan lebih condong ke
kegiatan-kegiatan di luar kelas yang lebih banyak ke teori, sehingga ia tidak
banyak memiliki karya tulisan. Cita- cita pendidikan yang digagas oleh K.H
Ahmad Dahlan adalah lahirnya manusia- manusia baru yang mampu tampil
sebagai "intelektual” memiliki keteguhan iman dan berpikiran luas.

Maka dari itu, ide pendidikan yang digagas K.H Ahmad Dahlan menyelamatkan
umat Islam dari cara berpikir statis menuju pemikiran yang dinamis, kreatif dan
inovatif, itu merupakan satu-satunya jalan mencapai tujuan tersebut dan melalui
pendidikan dan pengolahan pendidikan agama Islam secara modern dan
profesional, sehingga pendidikan yang dilaksanakan mampu memenuhi atau
menghadapi dinamika pada zamannya.

16
Menurut Ahmad Dahlan, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang sesuai
dengan tuntunan zaman. seperti contoh, pada awal abad 20-an, Ahmad Dahlan
melihat umat Muslim di Indonesia tertinggal secara ekonomi oleh kolonialisme
Belanda. Ketika itu ekonomi Muslim sangat tidak mempunyai akses ke sektor-
sektor pemerintahan atau perusahaan-perusahaan swasta.

Bahwa penyebab utama kemunduran umat Islam disebabkan pola pikir yang
dimiliki dan cara pandang terhadap masa yang akan datang, sehingga pada masa
tersebut umat Islam tertinggal jauh dengan umat yang lain (Al Faruq, 2020).
Oleh karena itu, kebebasan berpikirlah menjadikan atribut penting yang
menjadikan manusia sebagai pedoman dalam perbuatan dan sedangkan
kemauanlah yang menjadi pendorong perbuatan manusia.

Pada tahun 1918, di sekolah Muhammadiyah yaitu Mulo met de Qur'an Ahmad
Dahlan memasukkan pelajaran bahasa Arab sebagai mata pelajaran wajib, yang
bertujuan peserta didik mampu untuk memahami arti dan makna Al- Quran dan
Hadits secara ilmiah sehingga peserta didik itu sendiri tidak hanya sekedar ikut
dan terhanyut pada pendapat orang lain. Dengan demikian, para peserta didik
diharapkan mampu memperoleh kemampuan untuk memahami maksud dan arti
dari Al-Quran dan Hadits.\

Implikasi dalam Dunia Pendidikan menurut Ahmad Dahlan

Pendidikan juga tidak cukup hanya sekedar kecerdasan intelektual, tetapi


pembentukan karakter sangat penting pada peserta didik di kehidupan
sehariharinya. Maka dari itu melalui pendidikan para peserta didik dapat
memenuhi kepribadian yang utuh baik jasmani maupun rohani dan memiliki jiwa
sosial yang baik juga. Ahmad Dahlan sendiri menekankan pembentukan karakter
harus diawali dengan iman, ilmu dan amal. Karena setiap perbuatan yang
dilakukan dengan tujuan baik, kepercayaan diri dan ikhlas maka Allah akan
memberikan kemudahan pada perbuatannya. Dengan adanya ilmu yang kita
miliki, setiap manusia wajib mengamalkan ilmunya, ilmu dan amal adalah dasar
dari pendidikan pembentukan karakter yang diterapkan oleh Ahmad Dahlan.

Sebagaimana pada tahun 1910 Ahmad Dahlan pernah mengajarkan pendidikan


agama Islam kepada para calon guru di Kweekschool Yogyakarta. Ia berharap
bahwa pendidikan para calon guru diharapkan dapat mempercepat proses
transmisi ide-ide yang di gagas oleh Ahmad Dahlan, karena mereka setelah
menjadi guru akan mempunya peserta didik yang banyak dan mengajarkannya
kepada peserta didik. Selain itu para guru kelak akan menjadi orang yang
mempunyai pengaruh luas dan besar kepada peserta didik. Maksudnya peserta
didik akan mempunyai akhlak yang baik tergantung pada pendidik yang
mendidiknya (Al Faruq, 2020).

Berdasarkan kajian di atas, terlihat bahwa K.H. Ahmad Dahlan menggunakan


pendekatan self corrective terhadap umat Islam. Dalam pandangannya muslim
tradisional terlalu menitikberatkan pada aspek spiritual dalam kehidupan sehari-
hari. Sikap semacam ini mengakibatkan terjadinya kelumpuhan dan bahkan
kemunduran Dunia Islam, sementara kelompok yang lain. telah mengalami
17
kemajuan di bidang ekonomi. K.H. Ahmad Dahlan terobsesi dengan kekuatan
sistem pendidikan Barat seperti terlihat pada sekolah-sekolah Belanda. Sistim
pendidikan yang dikembangkan oleh K.H. Ahmad Dahlan mengikuti pola Barat
dengan memberikan penguatan pada nilai-nilai Islam yang berkemajuan.

Dengan demikian, peran K.H. Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan adalah
upaya mengompromikan beberapa unsur positif dari sistem pendidikan Islam dan
sistem pendidikan Barat. Model pendidikan ini, dibuktikan dengan karyanya
yang nyata, yaitu lahirnya lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah di
seluruh Nusantara ini, yang kini jumlahnya mencapai puluhan ribu, mulai
PAUD, Pendidikan Dasar dan Menengah, sampai dengan Pendidikan Tinggi
Muhammadiyah..

d. KH. Hasyim Asy’ari: Metamorfosis Kurikulum Pesantren

Untuk memahami pemikiran tentang pendidikan pesantren menurut KH. Hasyim


Asy’ari tidak hanya didapat dari kitab al-adb wa ta’lim wa muta’allim, ataupun
kiprahnya membangun pesantren Tebuireng, Jombang. Melainkan dibutuhkan
pengetahuan mengenai seluk-beluk pendidikan beliau, yang mempengaruhi dan
lain sebagainya. Untuk itu, sebelum memaparkan tentang pemikiran beliau layak
kiranya penyampaian singkat tentang biografi KH. Hasyim Asy’ari perlu
dijelaskan.

Selain sosok kiai, pengajar dan pemimpin Pondok Pesantren Tebuireng, KH.
Asy’ari juga seorang manajer handal. Hampir seluruh hidupnya, diabdikan untuk
mengajar, menulis dan memimpin pesantren. K.H. Hasyim Asy’ari lahir pada
tanggal 14 Februari 1871 dan wafat pada 25 Juli 1947 [12]. Masa hidupnya
selama 76 tahun banyak diwarnai oleh momen ataupun fase penting dalam
kondisi sosial dan politik Indonesia. Fase-fase tersebut adalah 1) akhir abad ke-
19 yang sering disebut dengan second Islamic Wave; 2) kebijakan Politik Etis
yang mulai diberlakukan pada tahun 1900; 3) pertumbuhan organisasi modern
seperti Budi Utomo pada tahun 1908; 4) tercapainya konsensus gerakan
nasionalisme sejak tahun 1924; 5) perang Kemerdekaan [13, p. 78]

Samsul Nizar menelusuri silsilah keluarga KH. Hasyim Asy’ari, pada


kesimpulannya dari hubungan ayahnya ke atas, ternyata KH. Hasyim Asy’ari
merupakan keturunan langsung Raden Ain al-Yaqin (Sunan Giri) [14, p. 152].
Dalam sejarah tanah Jawa, Sunan Giri adalah keturunan raja Muslim Jawa, Jaka
Tingkir dan raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI [15, p. 14]. Dengan demikian,
KH. Hasyim memiliki trah keturunan raja dari keluarga bangsawan.

Seperti santri pada umumnya, KH. Hasyim Asy’ari belajar di pesantren kakeknya
(Kiai Usman) sampai usia 6 tahun. Pada usia tahun ke 7 (1876), Ia kembali ke
pesantren ayahnya di Desa Deras, bagian selatan Jombang. Menginjak usia 15
tahun, Ia berkelana ke berbagai pesantren untuk menuntut ilmu, diantaranya yaitu
pesantren Wonokoyo Probolinggo, Langitan Tuban, Trenggelin Madura,
Demangan Bangkalan Madura. Merasa masih kurang ilmu, Ia pindah ke pondok
pesantren Siwalan Surabaya selama dua tahun. Di pesantren inilah, KH. Hasyim
diambil menantu oleh Kiai Ya’qub sebagai pengasuhnya.
18
Pasca menikah, KH. Hasyim Asy’ari dikirim ke Mekkah untuk belajar ilmu
agama, selama tujuh tahun tidak pulang kecuali tahun pertama kelahiran anaknya
dan kemudian meninggal disusul isterinya. Di Mekkah, beliau berguru kepada
ulama terkenal yaitu Syekh Ail al-Athor, Sayyid Ibnu Sultan Ibnu KH. Hasyim,
Sayyid Ahmad Zawawi, Syekh Mahfuzd al-Tirmasi dan Syekh Khotib
Minangkabau [17, p. 108].

Selama di Mekkah, lagi gencar-gencarnya paham wahabi dan gerakan


pembaruan Islam yang dibawa oleh Muhammad Abduh. Namun dengan
kecerdasan beliau, gerakan ini tidak mampu bertahan lama dan menuai kritik
pedas ketika mulai dibawa ke Indonesia. Dengan pendidikan demikian, maka
pemikiran KH. Hasyim Asy’ari banyak dipengaruhi oleh kondisi di Mekkah, fiqh
madzhab Syafi’I, Hanafi, Hambali dan Maliki. Sekembalinya beliau ke
Indonesia, K.H. Hasyim Asy’ari mengajar di Pesantren Nggedang, sebuah
pesantren yang didirikan oleh kakeknya, KH. Utsman. Beberapa santri yang
beliau ajar di pesantren tersebut kemudian menjadi “pondasi awal” terbentuknya
pesantren yang didirikan oleh K.H Hasyim Asy’ari di Tebuireng, Jombang.
Pendidikan Karakter dalam Perspektif KH. Hasyim Asy’ari

Pendidikan karakter merupakan ruh utama dalam khazanah pemikiran


pendidikan KH. Hasyim Asy’ari. Bisa dikatakan, sumber seluruh sikap dan
model pendidikannya bermula dari statemen bahwa pendidikan merupakan
sarana untuk mencapai kemanusiaannya, menyadari siapa penciptanya, untuk apa
diciptakan, melakukan segala perintah dan menjauhi larangannya serta berbuat
baik di dunia dengan menegakkan keadilan .

Selain sumber pemikiran yang mengarah pada posisi manusia dengan tuhannya,
dan manusia sesama manusianya, nilai karakter yang hendak disampaikan adalah
nilai-nilai ilahiyah (theology centris) sebagai puncaknya. Segala tindak-tanduk
manusia semata menjadi upaya sadar akan hakikat manusia yang diciptakan oleh
Tuhan, puncak tujuannya, adalah kesadaran penuh tentang hak dak kewajiban
manusia kepada penciptanya. Sumber nilai tarsebut dalam kajian filsafat hukum
Islam disebut dengan transendental.

Pengenalan terhadap jati diri dan tuhan, adalah perintah agama yang tersirat
dalam al-Quran surat al-Alaq sebagai surat pertama kali turun. Demikian dapat
diasumsikan, bahwa tahap pertama pendidikan karakter menurut KH. Hasyim
Asy’ari adalah memperkenalkan agama meliputi pencipta dan penciptaan
manusia (theolgy and antropology) [19, p. 12]. Sehingga dapat dikatakan bahwa
agama merupakan dasar utama dalam melaksanakan pndidikan, sebab dengan
menanamkan nilai-nilai agama akan membantu terbentuknya sikap dan
kepribadian anak kelak.

Dengan demikian, pendidikan karakter yang digagas oleh KH. Hasyim Asy’ari
sebenarnya termaktub dalam kitab al-adb atta’lim wa muta’allim. Secara
spesifik, pendidikan karakter dapat ditempuh dengan beberapa tahapan. Pertama,
tahapan pengetahuan fard ‘ain. Tahapan pertama ini memiliki beberapa eleman;
1) pengetahuan terhadap dzat Allah yang cukup dengan meyakini
19
keberadaannya; 2) pengetahuan tentang sifat Allah; 3) pengetahuan tentang fiqh
yang cukup dengan rukun Islam yang lima; 4) pengetahuan tentang al-ahwal wa
al-maqamat (seperti tipu daya setan, hawa nafsu dan akhlak tidak terpuji).

Kedua, selepas tahap pertama selanjutnya adalah belajar alQuran (kitab


pedoman). Mempelajari al-Quran dengan car mengungkap ayat-ayat al-Quran
yang berkenaan dengan fard ‘ain di atas. Pelajaran dalam al-Quran didukung oleh
hadits rasulullah, usul fiqh, ilmu alat dan bahasa arab. Pelajar/anak didik
disibukkan untuk mengkaji kitab-kitab tafsir yang mudah dipahami atas
bimbingan guru.

Ketiga, menghindari keterangan (syarah) yang bersifat perbedaan pendapat di


kalangan mufassir maupun fuqaha’. Hal itu bertujuan untuk menjaga keyakinan
dan tidak membingungkan bagi pelajar/murid dikarenakan pemahamannya yang
masih baru dan rentan terhadap pengaruh perbedaan yang mengarah pada
ketidakpahaman. Keempat, melakukan bimbingan dan pendampingan atas hasil
pelajaran baik yang sifatnya pembelajaran maupun hafalan. Hal ini dibutuhkan
untuk menghindari salah paham terhadap ajaran agama.

Kelima, mempelajari kitab hadist induk yang kualitasnya shahih seperti shahih
Bukhari, shahih Muslim dan sebagainya. Yang demikian agar pelajar tidak
mamahami sepotong-potong dan parsial, karena berangkat dari kitab induklah,
kitab-kitab cabang yang lain dapat dipahami secara utuh. Keenam, selalu
mengadakan pembelajaran langsung (al-allaqah bi at-ta’allum.

Keenam langkah tersebut merupakan sari dari pendidikan karakter yang


disampaikan KH. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya aladb ta’lim wa muta’allim
yang sebenarnya masih banyak seperti membiasakan memanggil salam dalam
perkumpulan, sering bertanya bila tidak paham, duduk di hadapan guru, tidak
memotong keterangan guru dan lain sebagainya. Namun secara garis besar, telah
diwakili oleh enam tahapan di atas.

Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi, pendapat KH. Hasyim Asy’ari


memiliki dua tujuan penting, yaitu pembentukan akhlak yang mulia dan kesiapan
generasi muda untuk mengarungi kehidupan dunia dan akhirat. Dengan dua
tujuan ini, maka sikap profesional, roh ilmiah (scientific sprint), teknikal dan
penguasaan terhadap bidang keilmuan tertentu dapat terlaksana.

Abdul Muhaimin –hasil analisanya terhadap langkahlangkah di atas-


menyimpulkan bahwa akar pendidikan karakter KH. Hasyim Asy’ari tersampul
alam dimensi spiritual (batiniyah) dan non spiritual (lahiriyah). Dimensi spiritual
sama dengan penjelasan di atas di mana tujuan dari pendidikan adalah hubungan
hak dan kewajiban manusia kepada tuhannya. Sedangkan dimensi non-spiritual
adalah pendidikan yang berkaitan dengan model tokoh, kurikulum dan
metedologi.

Yang dimaksud dengan model tokoh adalah sikap moral antara guru dengan
muridnya begitu juga sebaliknya. Kurikulum artinya materi pembelajaran
diarahkan pada kebutuhan manusia kepada tuhannya, masyarakat dan
20
lingkunganya. Sedangkan metode, adalah menggunakan metode musyawarah
dan mengedepankan hasil daripada proses.

Dengan demikian, pendidikan karakter yang dikembangkan oleh KH. Hasyim


Asy’ari diawali dengan menanamkan dimensi spiritual di awal perkembangan
anak sebagai bekal pertama untuk mengenal keluarga, lingkungan dan
masyarakat. Pasca tersebut, pendidikan karakter tersimpul dari etika moral antara
guru kepada muridnya sebagai bentuk suri tauladan dan murid kepada gurunya
sebagai bentuk akhlak. Pada gilirannya, barulah memasuki pengembangan
kurikulum, tokoh dan metode berbasis pendidikan karakter.

BAB III
PENUTUP

Simpulan

1. Tokoh Pendidikan danTeori Belajarnya dalam pembelajaran Kontemporer secara


Historis dan emilki pengaruh dintaranya adalah, Plato, ,Jhon Locke ,Benjamin S.
Bloom ,Mohammad Syafei, Ki Hadjar Dewantara , K.H Ahmad Dahlan dan KH.
Hasyim Asy’ari.
1. Plato berpandangan bahwa realitas yang hakiki itu tetap tidak berubah. Realitas
atau kenyataan-kenyataan itu telah ada pada diri manusia sejak dari asalnya, yang
berasal dari realitas yang hakiki.
2. John Locke adalah filsuf dari Inggris dengan pandangan empirisme.
3. Benjamin S. Bloom, Konsep ini mengklasifikasikan tujuan pendidikan dalam tiga ranah,
yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.
4. Mohammad Syafei , Filsafat Pendidikan Nasionalisme.
5. Ki Hadjar Dewantara, oleh Ki Hadjar teori konvergensi diturunkan menjadi
sistem pendidikan yang memerdekakan siswa atau yang disebutnya “sistem
merdeka”. Ki Hadjar menunjukkan bahwa pendidikan diselenggarakan dengan
tujuan membantu siswa menjadi manusia yang merdeka dan mandiri, serta
mampu memberi kontribusi kepada masyarakatnya. Menjadi manusia merdeka
berarti : (a) tidak hidup terperintah; (b) berdiri tegak karena kekuatan sendiri; dan
(c) cakap mengatur hidupnya dengan tertib.
6. Menurut Ahmad Dahlan, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang sesuai
dengan tuntunan zaman. seperti contoh, pada awal abad 20-an, Ahmad Dahlan
melihat umat Muslim di Indonesia tertinggal secara ekonomi oleh kolonialisme
Belanda. Ketika itu ekonomi Muslim sangat tidak mempunyai akses ke sektor-
sektor pemerintahan atau perusahaan-perusahaan swasta.
7. KH. Hasyim Asy’ari: Metamorfosis Kurikulum Pesantren

21
DAFTAR PUSTAKA

Bakry, H. Oemar. Tafsir Rahmat. Jakarta: Mutiara, 1983. Danah, Zohar. SQ Spritual
Inteligence: The Ultimate Intelligence. London: Bloomsbry Publishing, 2000.

Hasan, Hasan bin Ali. Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim. Cet. I. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001.

Isma’il SM, Nurul Huda, Abdul Khaliq (eds.). Paradigma Pendidikan Islam, Cet. I. Semarang:
Pustaka Belajar & Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo, 2001.

Langgulung, Hasan. Pendidikan dan Peradaban Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1983. _____.
Manusia dan Pendidikan. Jakarta: Radarjaya Offset, 1986. _____. Asas-asas Pendidikan Islam.
Jakarta: al-Husna, 2000.

Marimbah, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Cet. VIII. Bandung: al-Ma’arif,
1989. Mas’ud, Abdurrahman. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, Humanisme
Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Gema Media, 2002.

Mulkhan, Abdul Munir. Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam
dan Dakwah. Yogyakarta: Sipress, 1993. _____.

Ideologisasi Gerakan Dakwah Episode Kehidupan M. Nafsir dan Azhar Basyir. Yogyakarta:
Sipress, 1996. _____. Nalar Spiritual Pendidikan Solu

22

Anda mungkin juga menyukai