Anda di halaman 1dari 21

PROPOSAL PENELITIAN

KARAKTERISTIK PASIEN DENGAN GANGGUAN


AMBLYOPIA (LAZY EYES) PADA MATA DI RUMAH SAKIT
X KOTA JAMBI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Nilai UAS Mata Kuliah Metodologi
Penelitian

Dosen Pengampu : Deny Sutrisno, M.Pd

Disusun Oleh :
Nama : Bettya Untari
NIM : 2048201113
Kelas : Farmasi 5B

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HARAPAN IBU JAMBI
TAHUN 2022/2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat
dan karunia-Nya tim peneliti dapat menyelesaikan Proposal Penelitian yang
berjudul: “KARAKTERISTIK PASIEN DENGAN GANGGUAN AMBLYOPIA
(LAZY EYES) PADA MATA DI RUMAH SAKIT X KOTA JAMBI”.

Proposal Penelitian ini disusun sebagai salah satu bentuk


pertanggungjawaban atas kegiatan penelitian yang dilakukan oleh Tim Penulis di
STIKES Harapan Ibu Jambi.

Proposal Penelitian ini kami buat dengan menggunakan bahasa yang


sederhana supaya dapat dimengerti oleh pembacanya. Proposal ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca. Penulis tak lupa menyampaikan permohonan maaf
jika dalam penulisan Proposal Penelitian ini terdapat kekeliruan dan kekurangan.

Demikian, dan terima kasih.

Jambi, Januari 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 2
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................... 2
BAB II .................................................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 3
2.1 Gambaran Umum ..................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi ............................................................................................ 3
2.3 Etiologi ..................................................................................................... 4
2.4 Faktor Resiko ........................................................................................... 4
2.5 Patofisiologi.............................................................................................. 5
2.6 Klasifikasi ................................................................................................. 5
2.7 Gejala Klinis dan Penegakan Diagnosis ................................................... 7
2.8 Penatalaksanaan ........................................................................................ 9
2.9 Prognosis ................................................................................................ 10
BAB III ................................................................................................................. 11
KONSEP PENELITIAN .................................................................................... 11
3.1 Kerangka Konsep Penelitian .................................................................. 11
3.2 Definisi Operasional ............................................................................... 11
BAB IV ................................................................................................................. 15
METODE PENELITIAN ................................................................................... 15
4.1 Jenis Penelitian ....................................................................................... 15
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. 15
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ............................................................. 15
4.4 Metode Pengumpulan Data .................................................................... 15
4.5 Pengolahan dan Penyajian Data ............................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mata merupakan salah satu indra penting bagi manusia yang berfungsi
sebagai indra penglihatan yang juga membantu dalam perkembangan identitas
diri, kepandaian dan keterampilan (Saputri et al., 2016). Menurut Panjaitan dkk
(2022) mata adalah alat indra dengan sistem optik kompleks yang
mengumpulkan cahaya dari lingkungan sekitarnya, mengatur intensitasnya
melalui diafragma, memfokuskan melalui penyesuaikan lensa untuk
membentuk sebuah gambar, mengkonversi gambar tersebut menjadi satu
himpunan sinyal listrik, dan mentransmisikan sinyal-sinyal ke otak melalui
jalur saraf kompleks yang menghubungkan mata melalui saraf optik menuju
korteks visual dan area lain dari otak.
Kelainan refraksi mata merupakan gangguan mata yang sering terjadi
pada seseorang. Gangguan ini terjadi ketika mata tidak dapat melihat/ fokus
dengan jelas pada suatu area terbuka sehingga pandangan menjadi kabur dan
untuk kasus yang parah, gangguan ini dapat menjadikan visual impairment
(melemahnya penglihatan) (Fauzi & Lindra, Anggorowat, 2016).
Ambliopia merupakan gangguan akibat penurunan visus meskipun
dengan koreksi terbaik ketajaman visual (juga disebut sebagai koreksi
ketajaman visual jarak jauh) (Chaerunnisya et al 2022). Amblyopia, dikenal
juga dengan istilah "mata malas" (lazy eye), adalah masalah dalam penglihatan
yang memang hanya mengenai 2-3% populasi, tapi bila dibiarkan akan sangat
merugikan nantinya bagi kehidupan si penderita. Ambliopia tidak dapat
sembuh dengan sendirinya, dan ambliopia yang tidak diterapi dapat
menyebabkan gangguan penglihatan permanen. Jika nantinya pada mata yang
baik itu timbul suatu penyakit ataupun trauma , maka penderita akan
bergantung pada penglihatan buruk mata yang amblyopia , oleh karena itu
amblyopia harus ditatalaksana secepat mungkin.² dan bersifat reversibel
(Siregar et al., 2009).

1
Walauppun ambliopia hanya mengenai 2-3% populasi, tapi bila
dibiarkan akan sangat merugikan nantinya bagi kehidupan penderita.7
Prevalensi ambliopia yang terdeteksi pada anak-anak diperkirakan antara 0,2-
5,4% dan pada dewasa antara 0,35-3,6% (Saputri et al., 2016).
Oleh karena itu, dibutuhkan terapi yang efektif dalam mengatasi
gangguan amblyopia tersebut. Dalam proposal ini penulis mencoba
menjabarkan hal-hal terkait amblyopia dan melakukan survei karakteristik
pasien yang mengalami gangguan tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan suatu masalah yaitu:
Bagaimanakah Karakteristik Pasien dengan Gangguan Amblyopia (Lazy Eyes)
pada Mata di Rumah Sakit X Kota Jambi?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Karakteristik Pasien
dengan Gangguan Amblyopia (Lazy Eyes) pada Mata di Rumah Sakit X Kota
Jambi pada periode yang telah ditentukan.

1.4 Manfaat Penelitian


Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi tentang
Karakteristik Pasien dengan Gangguan Amblyopia (Lazy Eyes) pada Mata
di Rumah Sakit X Kota Jambi.
2. Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini akan menjadi sumber bacaan untuk
penelitian berikutnya.
3. Bagi peneliti sendiri, dapat dijadikan bahan masukan dan pembelajaran
yang bermanfaat untuk perkembangan keilmuan peneliti.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum


Ambliopia dikenal juga dengan istilah “mata malas” (lazy eye), adalah
berkurangnya ketajaman penglihatan pada satu atau kedua mata walaupun
sudah dengan koreksi kacamata terbaik tanpa ditemukan kelainan struktur pada
mata maupun lintasan penglihatan bagian belakang (Saputri et al., 2016).
Ambliopia diklasifikasikan berdasarkan penyebab yang mendasari kelainan,
yaitu: ambliopia strabismik, ambliopia refraktif, dan ambliopia deprivasi
visual. Ambliopia refraktif merupakan bentuk umum lain ambliopia dengan
konsistensi defokus pada retina sebgai penyebab pada satu atau kedua mata dan
dibagi menjadi 2 tipe, yaitu anisometropik dan isoametropik (Rares, 2016).
Secara global, prevalensi ambliopia berkisar antara 0,2 % - 6,2 % dan
sangat umum pada anak-anak (Silmi Chairna Andi, 2022). Ambliopia tidak
dapat sembuh dengan sendirinya dan bila tidak diterapi dapat menyebabkan
gangguan penglihatan permanen. Jika nantinya pada mata yang baik itu timbul
suatu penyakit atau trauma, maka penderita akan bergantung pada penglihatan
buruk dari mata yang ambliopia; oleh karena itu ambliopia harus ditatalaksana
secepat mungkin. Hampir seluruh ambliopia dapat dicegah dan bersifat
reversibel dengan deteksi dini dan intervensi yang tepat. Anak dengan
ambliopia atau yang beresiko ambliopia hendaknya dapat diidentifikasi pada
usia dini, dimana prognosis keberhasilan terapi akan lebih baik (Saputri et al.,
2016).

2.2 Epidemiologi
Sebuah penelitian terbaru memperkirakan 99,2 juta orang dengan
ambliopia pada tahun 2019 di seluruh dunia, meningkat menjadi 175,2 juta
pada tahun 2030 dan 221,9 juta pada tahun 2040.4 Prevalensi kejadian
ambliopia pada beberapa penelitian global hasilnya bervariasi dari 0,2 hingga
6,2% pada anak-anak dan 1,44 - 5,6% pada orang dewasa. Prevalensi ambliopia
meningkat hingga empat kali lipat pada kelahiran prematur, kecil menurut usia

3
kehamilan, perkembangan terhambat, dan adanya riwayat keluarga dengan
ambliopia (Yuliana, 2022).

2.3 Etiologi
Etiologi atau penyebab gangguan ambliopia ini diantaranya : Strabismus
(50%), Anisometropia (17%), Kombinasi strabismus dan anisometropia (30%),
Ametropia (< 3%), Deprivasi stimulus atau penglihatan (< 3%) dan Gangguan
organik pada retina atau saraf optik (< 3%). Beberapa penelitian menunjukkan
kejadian ambliopia lebih banyak akibat kelainan refraktif (anisometropia dan
isometropia). Anisometropia lebih dari 1 D (dioptri) pada penderita hiperopia
dan 2,5 D pada penderita miopia dapat menyebabkan ambliopia dan penurunan
kemampuan penglihatan binokular, sedangkan ambliopia meridional terjadi
jika astigmatisme lebih dari 1,5 D. Ambliopia ametropik terjadi pada anak-
anak dengan hiperopia lebih dari 4 - 5 D dan miopia lebih dari 5 – 6 D (Yuliana,
2022).

2.4 Faktor Resiko


Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yonanda (2022), faktor-
faktor yang memengaruhi terjadinya ambliopia antara lain :
• Kelainan refraksi
• Kelahiran prematur
• Perkembangan terhambat
• riwayat keluarga dengan ambliopia
Dalam penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa strabismus dan
kelainan refraksi merupakan faktor yang signifikan untuk ambliopia unilateral.
Astigmatisme/ Silindris bilateral dan hyperopia bilateral adalah faktor risiko
yang signifikan untuk ambliopia bilateral. Perkembangan visual yang menjadi
hal penting dalam terjadinya ambliopia juga dipengaruhi oleh faktor kehamilan
dan kelahiran. Kelahiran prematur mungkin memiliki efek buruk pada
perkembangan mata yang selanjutnya menjadi faktor risiko untuk terjadinya
ambliopia.

4
2.5 Patofisiologi
Patofisiologi ambliopia dibagi menjadi tiga berdasarkan penyebabnya,
yaitu yang disebabkan oleh strabismus, kelainan refraksi dan deprivasi visual
(Silmi Chairna Andi, 2022).

Starbismus Kelainan refraksi Deprivasi visual

Kebingungan Patologi apapun


visual dan Perbedaan Kelainan pada awal
terjadi diplopia refraksi pada refraksi pada kehidupan yang
kedua mata kedua mata dapat
saat visus turun menghambat
bilateral jalur visual
Supresi korteks
visual pada Bayangan di
mata yang fovea kedua
kurang fokus mata berlainan Jaras Obstruksi
bentuk dan penglihatan cahaya pada
ukuran terganggu mata bayi
sehingga jaras
Mengabaikan penglihatan
seluruh atau tidak dapat
sebagian Sehingga berkembang
gambar terjadi
gangguan fusi

Jika berlanjut,
maka mata
tersebut akan
kehilangan
kemampuan
penglihatan

AMBLYOPIA

Gambar 1. Patofisiologi Amblyipia.

2.6 Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya ambliopia bisa digolongkan menjadi
strabismik, refraktif, dan deprivasi (Yuliana, 2022).
a. Ambliopia Strabismik
Strabismus adalah deviasi salah satu mata dengan hilangnya
kesejajaran mata. Akibatnya, mata tidak menerima gambar yang sama,

5
menyebabkan sistem visual beradaptasi dengan perubahan ini. Persepsi
gambar yang tidak sama pada kedua mata menyebabkan penglihatan ganda,
tetapi ketika sistem visual berada dalam masa kritis perkembangannya (di
masa kanak-kanak), otak masih mampu menggunakan mekanismenya untuk
menghindari diplopia atau persaingan dengan menghambat aktivasi jalur
retinocortical yang berasal dari fovea mata yang berdeviasi (Roberta M
Benetti Zagui, MD, 2019).
b. Ambliopia Refraktif
Ambliopia refraktif merupakan bentuk umum lain ambliopia dengan
konsistensi defokus pada retina sebgai penyebab pada satu atau kedua mata
dan dibagi menjadi 2 tipe, yaitu anisometropik dan isoametropik (Rares,
2016).
• Ambliopia Anisometropik
Ambliopia anisometropia merupakan gangguan penglihatan
akibat kelainan refraksi tanpa disertai adanya kelainan anatomik pada
mata. Sering terjadi pada masa perkembangan anak. Prognosis sangat
tergantung pada derajat ambliopia, penanganan, kepatuhan pasien
terhadap penanganan, dan usia pasien. Ambliopia anisometropik
terjadi ketika adanya perbedaan refraksi antara kedua mata yang
menyebabkan lama kelamaan bayangan pada satu retina tidak fokus.
Jika bayangan di fovea pada kedua mata berlainan bentuk dan ukuran
yang disebabkan karena kelainan refraksi yang tidak sama antara kiri
dan kanan, maka terjadi rintangan untuk fusi. Terlebih lagi, fovea
mata yang lebih ametropik akan menghalangi pembentukan bayangan
(formed vision) (Rares, 2016).
• Ambliopia Isoametropik
Ambliopia isoametropik atau disebut juga ambliopia
ametropik bilateral merupakan jenis ambliopia yang jarang; terjadi
pada anak-anak dengan kelainan refraksi hampir sama besar pada
kedua mata walaupun sudah dikoreksi maksimal. Penurunan
penglihatan terjadi pada kedua mata karena akomodasi sering tidak
adekuat untuk membentuk gambaran yang jelas pada retina,

6
menyebabkan perkembangan subnormal korteks visual. Faktor risiko
antara lain hiperopia lebih dari 4 – 5 D dan miopia lebih dari 5 – 6 D
(Yuliana, 2022).
c. Ambliopia Deprivasi
Ambliopia Deprivasi atau dengan istilah lama ambliopia ex anopsia
atau disuse ambliopia merupakan jenis ambliopia yang sangat jarang
ditemui dan sangat sulit untuk diobati. Ambliopia deprivasi selalu dikaitkan
dengan kekeruhan media kongenital yang akan menyebabkan pembentukan
bayangan menjadi menurun. Kasus ambliopia ini lebih parah dibandingkan
dengan ambliopia unilateral maupun bilateral. Ambliopia deprivasi
biasanya ditandai dengan opak pada kornea, kerusakan retina, dan
kekeruhan lensa. Kekeruhan lensa yang terbentuk saat usia >6 tahun
dianggap lebih tidak bahaya dibandingkan dengan gangguan ini (Yonanda,
2022).

2.7 Gejala Klinis dan Penegakan Diagnosis


• Gejala
Anak-anak mungkin jarang menyadari bila mereka menderita
gangguan penglihatan sehingga mata malas sulit dideteksi. Oleh sebab itu,
orang tua sebaiknya mewaspadai gejala dan tanda berikut ini (Nainggolan,
2022).
a. Mata terlihat tidak bekerja secara bersamaan.
b. Salah satu mata sering bergerak ke arah dalam atau luar.
c. Anak sulit memperkirakan jarak.
d. Anak sering memicingkan mata atau menutup salah satu mata
ketika melihat.
e. Anak sering memiringkan kepala agar dapat melihat dengan lebih
jelas.
f. Hasil tes penglihatan yang buruk.
• Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan oftalmologik, dan
pemeriksaan penunjang (Rares, 2016).

7
1. Anamnesis
Bila menemui pasien amblyopia , ada 4 pertanyaan penting yang
harus kita tanyakan dan harus dijawab dengan lengkap yaitu :
- Kapan pertama kali ditemukan kelainan amblyogenik ? ( seperti
strabismus , anisometropia , dll )
- Kapan penatalaksanaan pertama kali dilakukan ?
- Terdiri dari apa saja penatalaksanaan itu ?
- Bagaimana kedisiplinan pasien terhadap penatalaksanaan itu ?
Selanjutnya, jawaban dari pertanyaan diatas akan membantu kita
dalam menentukan prognosis nya (Siregar et al., 2009).
2. Pemeriksaan oftalmologik
Menurut jural penelitian Yuliana (2022), Ambliopia didiagnosis
berdasarkan adanya penurunan tajam penglihatan yang tidak dapat
dikoreksi maksimal disertai adanya faktor risiko ambliopia dan tanpa
abnomalitas struktur okuler. Tajam penglihatan pada anak-anak
tersebut dapat diperiksa dengan preferential looking technique (Teller
acuity cards; Cardiff acuity test), fixation preference tests atau bagan
gambar (Kay charts dan Lea symbols).
Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan dengan bagan huruf
seperti Snellen dan logMar. Pemeriksaan dengan bagan logMar lebih
disarankan karena pada bagan ini setiap baris memiliki 5 huruf dengan
jeda antar baris dan huruf yang sama.

Gambar 2. Test Oftalmologik dengan Snellen Chart

8
Pada pemeriksaan tajam penglihatan, fenomena crowding
merupakan tanda khas ambliopia, yaitu kesulitan mengidentifikasi
huruf jika huruf tersebut ditampilkan dalam satu barisan linear bersama
huruf-huruf lain seperti pada bagan Snellen, dibandingkan jika huruf
ditampilkan secara individual.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan lainnya yang telah disebutkan sebelumnya seperti
pemeriksaan refraksi sikloplegik dengan streak retinoscopy pada jarak
50 cm (Rares, 2016).

2.8 Penatalaksanaan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rares (2016),
penatalaksanaan pada gangguan amblyopia dijelaskan pada table berikut.
Tabel 1. Tata laksana pada pasien amblyopia.

Tipe Pasien Jenis Terapi

Deprivasi Konsultasi bedah, koreksi optik (setelah 1 minggu post


Ambliopia op), oklusi (part time, 2 jam /hari), stimulasi visual
Ambliopia • Koreksi kaca mata
Isoametropia • Koreksi kaca mata terapi visus (10 -15x kunjungan)
Ambliopia • Koreksi kaca mata.
Anisometropia • Koreksi kaca mata, oklusi part time, 2–5 jam/hari
• Koreksi kaca mata, oklusi part time, 2–5 jam/hari,
terapi vision (15-25 kunjungan), reevaluasi dan
penanganan residual anomali binokuler ketika visus
20/40-20/60
Ambliopia • Koreksi kaca mata, oklusi(full time bila konstant,
Strabismus part time bila intermittent).
(fiksasi sentral) • Koreksi kaca mata, oklusi(full time bila konstant,
part time bila intermittent), terapi vision (15-25
kunjungan), reevaluasi dan penanganan residual
anomali binokuler ketika visus 20/40-20/60

9
Ambliopia • Koreksi kaca mata, oklusi (full time bila konstant,
Strabismus part time bila intermittent).
(fiksasi • Koreksi kaca mata, oklusi (full time bila konstant,
eksentrik) part time bila intermittent), terapi vision (15-25
kunjungan), reevaluasi dan penanganan residual
anomali binokuler ketika visus 20/40-20/60

2.9 Prognosis
Prognosis ambliopia adalah dubia karena pengembalian penglihatan
normal pada mata ambliopia tergantung beberapa faktor antara lain usia
pertama kali terjadi ambliopia, penyebab, tingkat keparahan, durasi ambliopia,
riwayat dan respons terhadap terapi sebelumnya, dan kepatuhan dalam
menjalankan terapi. Terapi pada masa kritis perkembangan korteks visual akan
memberi prognosis yang lebih baik. Prognosis lebih buruk apabila terdapat
faktor yang berkaitan dengan risiko tinggi kegagalan terapi seperti
ketidakpatuhan, usia 6 tahun atau lebih, astigmatisme setidaknya 1,5 D,
hiperopia lebih dari 3 D, dan tajam penglihatan awal 20/200 atau lebih buruk
(Yuliana, 2022).

10
BAB III
KONSEP PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Jenis Kelamin

Usia

Hiperopia
Amblyopia
Riwayat Keluarga

Penyakit Sistemik

Trauma

Gambar 3. Skema Variabel Dependen dan Independen


Keterangan :
= Variabel Dependen (Terikat)

= Variabel Independen (Bebas)

3.2 Definisi Operasional


1. Amblyopia
Definisi : Diagnosis pasien dengan gangguan penglihatan yang
disebabkan oleh kerja otot mata dan saraf otak yang tidak
bekerja sama dengan baik.
Alat Ukur : 1. Snellen Chart
2. Kartu baca dekat
3. Satu set lensa coba
Cara Ukur : Pemeriksaan Oftalmologi (Visus)
Hasil Ukur : 1. Penilaian tajam penglihatan

11
2. Koreksi kelainan refraksi. Diberikan lensa mulai +1
dinaikkan perlahan-lahan sampai terbaca huruf
terkecil pada kartu baca dekat dan kekuatan lensa ini
ditentukan.
2. Jenis Kelamin
Definisi : Perbedaan jenis kelamin dari pasien sesuai dengan yang
tercatat dalam rekam medis.
Alat Ukur : Rekam medis
Cara Ukur : Pencatatan status pasien melalui rekam medis pasien.
Hasil : Berupa data kategorik yaitu:
1. Laki-laki
2. Perempuan
3. Usia
Definisi : Usia pasien yang tercatat pada data rekam medik.
Alat Ukur : Rekam medis
Cara Ukur : Pencatatan status pasien melalui rekam medis pasien.
Hasil : Berupa data kategorik yaitu:
1. 40-45 tahun
2. 46-50 tahun
3. 51-55 tahun
4. 56-60 tahun
5. > 60 tahun
4. Hiperopia
Definisi : Hiperopia (Hipermetropia) atau long-sightedness adalah
suatu keadaan mata dimana sinar sejajar dari jarak tak
terhingga difokuskan di belakang retina tanpa akomodasi.
Oleh karena itu, orang tersebut akan melihat gambaran
yang buram.
Alat Ukur : 1. Snellen Chart
2. Gagang lensa coba
3. Satu set lensa coba

12
Cara Ukur : Pemeriksaan Oftalmologi (Visus)
Hasil : 1. Lensa positif terkecil ditambah pada mata yang diperiksa
dan bila tampak lebih jelas oleh pasien lensa positif
tersebut ditambah kekuatannya perlahan-lahan dan
diminta membaca huruf-huruf pada baris lebih bawah.
2. Pada pasien hipermetropia selamanya diberikan lensa
sferis positif terbesar yang memberikan tajam
penglihatan terbaik.
5. Riwayat Keluarga
Definisi : Salah satu anggota keluarga kandung diatas pasien (Kakek,
nenek, ayah, ibu)
Alat Ukur : Angket
Cara Ukur : Memberikan daftar pertanyaan (kuisioner) Riwayat
gangguan mata pada keluarga pasien
Hasil : Data berupa jawaban terkait riwayat gangguan mata yang
pernah dialami keluarga pasien
6. Penyakit Sistemik
Definisi : Penyakit sistemik adalah penyakit yang berkaitan dengan
adanya kelainan kondisi system metabolisme tubuh
manusia, khususnya berkaitan dengan Amblyopia.
Alat Ukur : Rekam medis
Cara Ukur : Pencatatan status pasien melalui rekam medis pasien.
Hasil : 1. Diabetes Mellitus
2. Penyakit Kardiovaskular
3. Multipel Sklerosis
7. Trauma
Definisi : Trauma mata adalah rusaknya jaringan pada bola mata,
kelopak mata, saraf mata dan atau rongga orbita karena
adanya benda tajam atau tumpul yang mengenai mata
dengan keras/cepat ataupun lambat.
Alat Ukur : Rekam Medis
Cara Ukur : Pencatatan status pasien melalui rekam medis pasien.

13
Hasil : 1. Kerusakan pada lensa
2. Kerusakan pada zonula
3. Kerusakan pada otot silia

14
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif retrospektif
untuk memberikan gambaran fakta mengenai beberapa karakteristik pasien
dengan gangguan Amblyopia di Rumah Sakit X Kota Jambi. Penelitian yang
dilakukan adalah penelitian deskriptif dengan desain cross sectional. Penelitian
ini dilakukan pada periode bulan Januari – Desember 2022.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Lokasi penelitian ini akan dilaksanakan di Rumah Sakit X Kota Jambi.
Adapun waktu penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Januari-Maret
2023.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian


Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien dengan gangguan
amblyopia dan semua rekam medik penderita ambliopia di Rumah Sakit X
Kota Jambi periode Januari – Desember 2022. Pengambilan sampel pada
penelitian ini menggunakan total sampling, yaitu semua pasien ambliopia di
Rumah Sakit X Kota Jambi periode Januari – Desember 2022.

4.4 Metode Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang
diperoleh dari pencatatan pada rekam medik pasien di Rumah Sakit X Kota
Jambi. Rekam medik pasien dengan 20 penderita ambliopia yang dipilih
sebagai sampel, dikumpul dan dilakukan pencatatan tabulasi sesuai dengan
variabel yang akan diteliti.

4.5 Pengolahan dan Penyajian Data


Pengolahan data dilakukan secara elekronik dengan menggunakan
perangkat lunak komputer program Microsoft Excel 2010 dan SPSS 23 - for
windows. Kemudian melakukan analisis data dengan dua cara yaitu dengan

15
analisis univariat untuk mendeskripsikan data secara sederhana dan analisis
bivariat untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yaitu variabel
dependen dan independen.

16
DAFTAR PUSTAKA

Chaerunnisya, P. Y., & Sri Irmandha Kusumardhani, Marzelina Karim, Marliyanti


N.R Akib, N. (2022). Karakteristik Penderita Ambliopia Di Balai Kesehatan
Mata Masyarakat Makassar. FAKUMI MEDICAL JOURNAL ARTIKEL, 2(2),
79–85. https://fmj.fk.umi.ac.id/index.php/fmj Karakteristik
Fauzi, L., & Lindra, Anggorowat, C. H. (2016). SKRINING KELAINAN
REFRAKSI MATA PADA SISWA SEKOLAH DASAR MENURUT
TANDA DAN GEJALA. Journal of Health Education, 1(1).
https://doi.org/10.1007/978-3-642-83864-4_104
Nainggolan, E. C. (2022). ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN PERSEPSI
SENSORI PADA ANAK AMBLIOPIA REFRAKTIF DENGAN
IMPLEMENTASI EYE PATCHING TREATMENT MELALUI TELENURSING
(STUDI DILAKUKAN DI RUMAH SAKIT MATA BALI MANDARA). Diploma
thesis, Poltekkes Kemenkes Denpasar Jurusan Keperawatan 2.
Panjaitan, B., & Syahru Romadhan, Abdul Manaf, L. A. S. (2022). PENGARUH
PEMERIKSAAN STEREOPSIS TERHADAP KELAINAN AMBLYOPIA
DI OPTIK OBS MEDAN. JURNAL DARMA AGUNG, 30(2), 862–870.
Rares, L. (2016). Ambliopia anisometropia. Jurnal Biomedik (Jbm), 8(2), 64–69.
https://doi.org/10.35790/jbm.8.2.2016.12704
Roberta M Benetti Zagui, MD, P. (2019). Amblyopia: Types, Diagnosis, Treatment,
and New Perspectives. The Ophthalmic News and Education Network
AMERICAN ACADEMY OG OPHTHALMOLOGY.
https://www.aao.org/disease-review/amblyopia-types-diagnosis-treatment-
new-perspectiv
Saputri, F. E., Tongku, Y., & Poluan, H. (2016). Angka kejadian ambliopia pada
usia sekolah di SD Negeri 6 Manado. E-CliniC, 4(2).
https://doi.org/10.35790/ecl.4.2.2016.14499
Silmi Chairna Andi. (2022). TERAPI BERBASIS VIDEO UNTUK
MENINGKATKAN KETAJAMAN VISUAL PADA PENDERITA
AMBLIOPIA. JURNAL SYNTAX FUSION, 2(1).
Siregar, N. H., Ilmu, D., Mata, K., Kedokteran, F., & Sumatera, U. (2009).

17
AMBLYOPIA. FAKULTAS KEDOKTERA UNIVERSITAS SUMATERA
UTARA MEDAN.
Yonanda, V. (2022). Ambliopia : Prevalensi, Faktor Resiko, Klasifikasi, dan
Terapi. Jurnal Medika Hutama, 03(02), 402–406.
Yuliana, J. (2022). Aspek Klinis Ambliopia. Cermin Dunia Kedokteran, 49(1), 19.
https://doi.org/10.55175/cdk.v49i1.1639

18

Anda mungkin juga menyukai