Idoc - Pub - Proposal Otak Otak Ikan
Idoc - Pub - Proposal Otak Otak Ikan
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Produk perikanan yang sering dikonsumsi oleh masyarakat adalah ikan bandeng.
Menurut Saprianto (2007), potensi akuakultur air payau, yakni dengan sistem tambak di
pekirakan mencapai 931.000 ha dan hampir telah dimanfaatkan potensinya hingga 100%
dan sebagian besar digunakan untuk memelihara ikan bandeng (Chanos chanos) dan
udang (Pennaeus sp). Ikan bandeng merupakan suatu komoditas perikanan yang memiliki
rasa cukup enak dan gurih sehingga banyak digemari masyarakat, harganya juga terjangkau
oleh segala lapisan masyarakat. Ikan bandeng digolongkan sebagai ikan berpotensi tinggi
dan berkadar lemak rendah.
Salah satu bentuk pengolahan ikan adalah pembuatan otak-otak ikan, dimana
daging ikan dikerok kemudian dihaluskan dan dicampur dengan bahan-bahan, setelah itu
kemudian dikukus dan digoreng (Puspitaningati, 2016). Tujuan pengukusan adalah agar
produk tidak cepat membusuk. Ikan bandeng sebagai bahan mentah untuk diolah lebih
lanjut memerlukan persyaratan mutu kesegaran yang baik, sebab daya kesegarannya hanya
beberapa jam saja, namun bila ikan bandeng diolah dalam bentuk lain akan dapat
dikonsumsi dalam waktu lebih lama.
Otak-otak ikan merupakan olahan hasil perikanan yang mulai digemari masyarakat.
Otak-otak ikan memiliki kelebihan yaitu mempunyai cita rasa yang tinggi dan bernilai
ekonomis, Ikan bandeng sebagai bahan bakunya juga mempunyai banyak kandunan gizi.
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis ingin mengetahui lebih banyak mengenai proses
pengolahan otak-otak ikan melalui Praktik Kerja Lapang IV di CV. Fania Food Yogyakarta.
1.2 Tujuan
Praktik Kerja Lapangan ini bertujuan untuk:
1) Melakukan proses pengolahan otak – otak ikan bandeng
2) Mengetahui penerapan rantai dingin dan suhu tinggi pada proses pengolahan otak –
otak ikan bandeng
3) Mengetahui rendemen pada proses pembuatan otak – otak ikan
4) Mengetahui mutu bahan baku dan produk akhir pada proses pembuatan otak – otak ikan
bandeng
5) Mengetahui kelayakan usaha pembuatan otak – otak ikan bandeng
6) Mengetahui kelayakan dasar di CV. Fania Food
1
1.3 Batasan Masalah
Praktik Kerja Lapangan ini dibatasi dengan batasan masalah:
1) Mengamati alur proses pembuatan otak – otak ikan mulai dari penerimaan sampai
produk akhir
2) Mengamati penerapan rantai dingin dan suhu tinggi pada pembuatan otak – otak ikan
mulai dari penerimaan bahan baku sampai penyimpanan produk akhir
3) Mengamati rendemen pada pembuatan otak – otak ikan mulai dari tahap penyiangan
sampai pengambilan daging
4) Mengamati mutu bahan baku dan produk akhir pada proses pembuatan otak – otak ikan
5) Mengamati kelayakan usaha pembuatan otak – otak ikan bandeng di CV. Fania Food
6) Mengamati kelayakan dasar GMP dan SSOP di CV. Fania Food
2
2. Tinjauan Pustaka
2.1 Tinjauan Umum Ikan Bandeng (Chanos chanos)
Ikan bandeng adalah ikan yang sering dijumpai di Indonesia. Ikan bandeng sering
dibudidayakan oleh orang Indonesia. Bandeng (Chanos chanos) di Asia Tenggara adalah
ikan yang populer dikonsumsi. Ikan bandeng merupakan spesies satu-satunya yang masih
ada dalam familia Chanidae. Bahasa Bugis dan Makasar dikenal sebagai ikan bolu, dan
dalam bahasa Inggris milkfish (Novianto, 2011 dalam Waryanti, 2013). Ikan bandeng
memiliki karakteristik berbadan langsing, sirip bercabang serta lincah di air, memiliki sisik
seperti kaca dan berdaging putih. Ikan bandeng memiliki keunikan, yaitu mulutnya tidak
bergigi dan makanannya adalah tumbuh-tumbuhan dasar laut. Panjang usus bandeng 9 kali
panjang badannya (Murtijo, 1989 dalam Waryanti, 2013). Ikan bandeng hidup di perairan
pantai, muara sungai, hamparan hutan bakau, lagon, daerah genangan pasang surut dan
sungai. Ikan bandeng dewasa biasanya berada di perairan littoral (Novianto, 2011 dalam
Waryanti, 2013). Pemijahan secara alami berlangsung dalam kelompok kecil tersebar di
sekitar pantai dengan karakteristik habitat perairan jernih, dasar perairan berpasir dan
berkarang dengan kedalaman antara 10-30 meter (Muslim, 2004 dalam Waryanti, 2013).
3
Gambar 1. Ikan Bandeng (Chanos chanos)
Sumber : Adelaide (2011)
4
bandeng banyak digemari oleh sebagian besar masyarakat Indonesia karena memiliki
kandungan gizi tinggi dan protein yang lengkap dan penting untuk tubuh. Zat gizi utama
pada ikan antara lain protein, lemak, vitamin dan mineral. Zat gizi ini tidak akan bernilai
tinggi dan turun mutunya apabila tidak ditangani dengan baik setelah penangkapan atau
pemanenan.
Kandungan gizi pada setiap ikan akan berbeda beda tergantung pada faktor internal
dan eksternal. Faktor internal berupa jenis atau spesies ikan, jenis kelamin, umur dan fase
reproduksi pada ikan. Faktor eksternal berupa faktor yang ada pada lingkungan hidup ikan
berupa habitat, ketersediaan pakan dan kualitas perairan tempat ikan hidup.
mengemukakan bahwa habitat ikan berpengaruh terhadap kandungan kimia di dalam
dagingnya seperti proksimat, asam amino dan asam lemak.
Menurut USDA National Nutrient Database for Standard Reference (2009), ikan
bandeng mempunyai nutrisi yang lengkap, terdiri dari proksimat, mineral lemak dan asam
amino yang bermanfat bagi pemenuhan nutrisi manusia, dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nutrisi Ikan Bandeng (100 gr daging)
Nutrisi Unit Nilai
Proksimat
Air gr 70.85
Energi kcl 148
Energi kj 619
Protein gr 20.53
Lemak gr 6.73
Abu gr 1.14
Karbohidrat gr 0.00
Fiber,total diet gr 0.0
Mineral
Kalsium,ca mg 51
Besi. fe mg 0.32
Magnesium, mg mg 30
Fosfor,p mg 162
Kalium mg 292
Natrium,na mg 72
Seng,zn mg 0.82
Tembaga,cu mg 0.034
Mangan,mn mg 0.020
Selesnium,se mg 12.6
5
Lanjutan
Nutrisi Unit Nilai
Vitamins
Thiamin mg 0.013
Robolvafin mg 0.054
Niacin mg 6.440
Pantothenic acid mg 0.750
Vitamin B6 mg 0.423
Folate,total mcg 16
Asam folat mcg 0
Folate food mcg 16
folateDFE mcg_dfe 16
vitamin B12 mcg 3.40
vitamin A,RAE mcg_rae 30
retinol mcg 30
Vitamin A,IU iu 100
Lemak
Asam lemak,total saturated gr 1.660
Asam lemak,total gr 2.580
monounsaturated gr 1.840
Asam lemak, total mg 52
poliyunsaturated
Kolesterol
Asam amino
Tryptophan gr 0.230
Threonin gr 0.900
Isoleousin gr 0.946
Leusin gr 1.669
Lisin gr 1.886
Methionin gr 0.608
Sistin gr 0.220
Phenylalanin gr 0.802
Tyrosin gr 0.693
Valin gr 1.058
Sumber : USDA National Nutrient Database for Standard Reference (2009)
6
Menurut Agustini et al. (2006) dalam Putra et al. (2015), otak-otak ikan merupakan
produk gel dari daging ikan yang dicampur dengan tapioka dan bumbu-bumbu seperti
garam, gula, santan kental, bawang putih, bawang merah, dan lada. Produk otak-otak ikan
berasal dari daerah Sumatra, kemudian berkembang ke daerah lain. Produk otak-otak ikan
yang paling terkenal adalah otak-otak ikan terbuat dari ikan tenggiri. Fungsi teknologi
pembuatan otakotak ikan adalah sebagai upaya diversifikasi produk olahan ikan berbentuk
gel yang diharapkan memiliki nilai tambah (Putra et al., 2015). Tujuan dari pembuatan otak-
otak adalah untuk mendapatkan produk gel yang memiliki cita rasa khas dan digemari oleh
masyarakat. Produksi otak-otak ikan dapat dilakukan dalam skala rumah tangga maupun
industri.
Otak-otak merupakan modifikasi produk olahan antara bakso dan kamaboko, yang
terbuat dari ikan berdaging putih dengan penambahan tepung, santan, putih telur dan
bumbunya, yang dibungkus memanjang dengan daun kemudian dimasak sesuai dengan
selera bisa dikukus dipanggang dan digoreng (Karim et al., 2013). Pembuatan otak-otak
tidak jauh berbeda dengan pembuatan makanan yang berbahan dasar surimi, seperti bakso,
nugget, sosis, empek-empek, dan lain-lain. Ikan yang biasa digunakan untuk membuat otak-
otak adalah ikan laut.
7
Tabel 2. Persyaratan Mutu dan Keamanan Ikan Segar Menurut SNI 2729:2013
Parameter uji Satuan Persyaratan
a Organoleptik - Min. 7 (Skor 1 – 9)
b Cemaran mikroba*
- ALT
- Escherichia coli
Koloni/g 5,0 x 105
APM/g <3
- Salmonella
- Negatif/25 g
- Vibrio cholera
- Negatif/25 g
- Vibrio
APM/g <3
parahaemolyticus
c Cemaran logam*
mg/kg Maks. 1,0
- Arsen (As)
mg/kg Maks. 0,1
- Kadmium (Cd)
mg/kg Maks. 0,5 **
mg/kg Maks. 0,5
- Merkuri (Hg)
mg/kg Maks. 1,0 **
mg/kg Maks. 40,0
- Timah (Sn)
mg/kg Maks. 0,3
- Timbal (Pb)
mg/kg Maks. 0,4 **
d Kimia*
- Histamin*** mg/kg Maks. 100
e Residu kimia*
- Kloramfenikol****
- Tidak boleh
- Malachite green dan
- Tidak boleh
leuchomalachite
green****
- Nitrofuran (SEM, AHD,
- Tidak boleh
AOZ, AMOZ)****
f Racun Hayati*
- Ciguatoksin***** - Tidak boleh
g Parasit* - Tidak boleh
CATATAN * Bila diperlukan
** untuk ikan predator
*** untuk ikan scombroidae (scombroid), clupeidae, pomatomidae,
coryphaenedae
**** untuk ikan hasil budidaya
***** untuk ikan karang
Sumber : BSN (2013)
8
2) Bahan Penyedap
Bahan penyedap berfungsi sebagai bahan penambah cita rasa dan penyedap agar
menjadi semakin enak. Penggunaan bahan tersebut diusahakan seminimal mungkin
dikarenakan dapat mempengaruhi produk otak-otak ikan tersebut, jika penggunaan bahan
penyedap terlalu banyak maka dapat menghilangkan rasa asli dari ikan yang menjadi bahan
utama dalam pembuatan otak-otak ikan.
3) Garam
Garam digunakan sebagai pemberi rasa pada produk otak-otak ikan. Penggunaan
garam dalam otak-otak ikan hanya 4-5% dari bahan utama yaitu daging ikan. Garam juga
digunakan untuk proses gelling yang menjadikan otak-otak ikan tersebut kenyal. Garam
harus diberikan pada awal penggilingan hal ini dilakukan untuk meningkatkan kerekatan
pasta ikan dalam proses pembentukan gel ikan, jika garam diberikan pada akhir
penggilingan maka akan menurunkan tingkat kerekatan gel ikan (Tanikawa, 1985).
4) Bahan Penghomogen (Air)
Air berfungsi sebagai bahan pelunak adonan atau menghomogenkan adonan.
Penggunaan air yang dianjurkan hanyalah sedikit, hal ini disebabkan karena adonan otak-
otak ikan telah mendapat air dari es yang digunakan selama proses pengadukan daging
dengan garam. Penggunaan air yang terlalu banyak dapat menyebabkan adonan menjadi
lembek sehingga sulit untuk pembentukan otak-otak ikan.
5) Telur
Telur dalam pembuatan otak-otak ikan berfungsi sebagai bahan pengempuk dan
sebagai bahan agar otak – otak ikan tersebut tidak menjadi keras. Telur juga berfungsi
sebagai penambah cita rasa pada otak-otak ikan. Telur yang digunakan adalah bagian putih
telur. Putih telur banyak mengandung protein sehingga dapat menambah kandungan gizi
pada otak-otak ikan. Telur juga dapat berfungsi sebagai bahan pengembang adonan pada
otak-otak ikan.
6) Es
Penggunaan es ini sangat penting dalam pembentukan tekstur otak-otak. Suhu
dapat dipertahankan agar tetap rendah dengan adanya es ini,sehingga protein daging tidak
terdenaturasi akibat gerakan mesin penggiling dan ekstraksi protein berjalan dengan baik.
Penggunaan es juga berfungsi untuk menambahkan air ke dalam adonan sehingga adonan
tidak kering selama pembentukan adonan maupun selama perebusan. Es batu dicampur
pada saat proses penggilingan, hal ini dimaksudkan agar selama proses pengilingan daya
elastisitas daging tetap terjaga sehingga otak-otak ikan yang dihasilkan akan lebih kenyal.
7) Rempah- rempah
Rempah–rempah yang ditambahkan bertujuan memberi aroma dan rasa yang dapat
membangkitkan selera makan. Jenis rempah–rempah yang digunakan adalah bawang
9
merah, bawang putih, cabe, kemiri, ketumbar, laos, sereh, dan daun salam. Manfaat lain
dari penggunaan rempah–rempah adalah sebagai pengawet karena beberapa jenis rempah
dapat membunuh bakteri.
2.3.3.2 Sortasi
Bahan baku harus dipisahkan berdasarkan mutu dan jenis agar mendapatkan bahan
baku yang sesuai dengan spesifikasi. Sortasi mutu dilakukan secara hati-hati, cepat, cermat
dan saniter dengan mempertahankan rantai dingin (0°C – 5°C).
2.3.3.3 Pencucian 1
Bahan baku dicuci menggunakan air mengalir secara cepat, cermat dan saniter
dalam kondisi suhu dingin (0°C – 5°C) agar bahan baku yang diperoleh bersih dan sesuai
dengan spesifikasi.
2.3.3.4 Penyiangan
Bahan baku yang digunakan harus dibersihkan bersihkan yaitu ikan disiangi dengan
cara membuang kepala, sisik dan isi perut. Penyiangan dilakukan secara cepat, cermat dan
saniter dan dalam kondisi suhu dingin (0°C – 5°C)
2.3.3.5 Pencucian 2
Kemunduran mutu pada ikan biasanya terjadi akibat kesalahan penanganan dan
kontaminasi bakteri karena kurangnya sanitasi dan hygiene dengan itu perlu adanya
pencucian ulang untuk mendapatkan bahan baku yang bersi, yaitu dengan cara bahan baku
10
dicuci dengan menggunakan air mengalir secara cepat, cermat dan saniter dalam kondisi
suhu dingin (0°C – 5°C)
2.3.3.8 Pencampuran
Proses pencampuran adonan bertujuan untuk mendapatkan adonan baik dan rata
yaitu dengan cara lumatan daging dimasukkan ke dalam alat pencampur, ditambahkan
garam dan dicampur hingga mendapatkan adonan yang lengket (sticky), selanjutnya
dilakukan penambahan bumbu lainnya, dicampur sampai homogen, secara cepat, cermat
dan saniter dalam kondisi suhu dingin.
2.3.3.10 Perebusan
Pertumbuhan bakteri dan cacat mutu biasanya disebabkan karena suhu dan
pemasakan yang tidak sesuai untuk mendapatkan mutu dan keamanan otak-otak ikan
sesuai. otak-otak ikan direbus atau dipanggang sesuai dengan suhu dan waktu yang
ditentukan.
2.3.3.11 Pendinginan
Otak-otak ikan yang telah direbus didinginkan dengan cara ditiriskan atau dibantu
dengan blower atau kipas angin, dilakukan secara cermat dan saniter yang bertujuan untuk
menurunkan suhu pada otak-otak ikan.
11
2.3.3.12 Pembekuan
Pembekuan yang tidak sempurna dapat mengakibatkan kemunduran mutu, untuk itu
perlu dilakukan pembekuan agar dapat mempertahankan mutu. Pembekuan dilakukan
dengan cara otak-otak ikan yang telah didinginkan disusun dalam pan sedemikian rupa di
dalam alat pembeku agar udara dingin tersebar merata, dilakukan secara cermat dan
saniter.
2.3.3.15 Pemuatan
Produk dalam kemasan dimuat dalam alat transportasi agar terhindar dari penyebab
yang dapat merusak atau menurunkan mutu produk, yang bertujuan untuk mendapatkan
produk yang aman dikonsumsi dan melindungi produk dari kerusakan fisik selama
pemuatan.
12
Lanjutan
13
Pendinginan atau refrigerasi adalah proses pengambilan panas dari suatu bahan
sehingga suhunya akan menjadi lebih rendah dari sekelilingnya. Suatu medium pendingin
kontak dengan benda lain misalnya bahan pangan, maka akan terjadi pemindahan panas
dari bahan pangan tersebut ke medium pendingin sampai suhu keduanya sama atau hampir
sama. Pendinginan telah lama digunakan sebagai salah satu upaya pengawetan bahan
pangan, karena dengan pendinginan tidak hanya cita rasa yang dapat dipertahankan, tetapi
juga kerusakan-kerusakan kimia dan mikrobiologis dapat dihambat.
14
media pendingin. Media air dingin ini dapat menyerap panas lebih besar dari dalam tubuh
ikan sehingga tubuh ikan lebih cepat dingin.
2.4.1.3 Jenis-Jenis Es
1) Es Curai
Es curai merupakan es yang berbentuk butiran-butiran yang sangat halus dengan
diameter 2 mm dan tekstur lembek, umumnya sedikit berair. Es ini lebih cepat meleleh
sehingga proses pendinginan lebih cepat terjadi (perlu disimpan dan diangkut di dalam kotak
yang berinsulasi atau jika memungkinkan dengan mesin pendingin. Ukuran es yang semakin
kecil menyebabkan ikan akan lebih cepat dalam proses pendinginannya. Es curai lebih
mudah penggunaannya, tidak perlu dihancurkan dulu sebelum digunakan sedangkan
kelemahan es curai memerlukan ruang penyimpanan yang lebih besar, karena permukaan
es lebih luas dan banyak rongga udara, meleleh lebih cepat karena dalam proses
pembuatannya kurang dari titik beku (Adawyah 2007 dalam Napitupulu, 2017). Es curai
(small ice atau fragmentary ice) adalah istilah yang diberikan pada banyak es yang dibuat
dalam bentuk kepingan kecil, yang dalam perdagangan dikenal dengan nama es keping
(flake ice), es potongan atau es lempeng (slice ice), es tabung (tube ice), es kubus (cube
ice), es pelat (plate ice), es pita (ribbon ice) dan lain-lain (Ilyas 1998 dalam Napitupulu,
2017).
2) Es Balok
Es balok merupakan es yang berbentuk balok berukuran 12-60 kg/balok. Es ini
adalah jenis es yang paling banyak atau umum untuk digunakan dalam pendinginan ikan
karena harganya murah dan mudah dalam pengangkutannya. Es balok lebih lama mencair
dan menghemat penggunaan tempat pada palka, es balok ditransportasikan dan disimpan
dalam bentuk balok dan dihancurkan bila akan digunakan (Napitupulu, 2017).
2.4.2 Pembekuan
2.4.2.1 Definisi Pembekuan
Pembekuan merupakan salah satu metode pengawetan pangan, dimana produk
pangan diturunkan suhunya sehingga berada dibawah suhu bekunya, terjadi pelepasan
energi (panas sensible dan panas laten) selama pembekuan. Pembekuan menurunkan
aktivitas air dan mengehntikan aktivitas mikroba (bahkan beberapa dirusak, reaksi
enzimatis, kimia dan biokimia, dengan demikian produk beku dapat memiliki daya awet yang
lama (Kusnandar, 2010 dalam Puspita, 2014). Suhu produk pangan menurun hingga di
bawah titik bekunya selama pembekuan, dan sebagian dari air berubah wujud dari fase cair
ke fase padat dan membentuk kristal es. Adanya kristalisasi air ini menyebabkan mobilitas
air terba-tas sehingga aktivitas air pun menurun. Penurunan aktivitas air ini berpengaruh
15
pada penghambatan pertumbuhan mikroba, serta reaksi-reaksi kimia dan biokimia yang
mempengaruhi mutu dan keawetan produk pangan, dengan demikian pengawetan oleh
proses pembekuan disebabkan oleh adanya kombinasi penurunan suhu dan penurunan
aktivitas air (Kusnandar, 2010 dalam Puspita, 2014).
Suhu yang digunakan untuk membekukan bahan pangan umumnya dibawah -2°C.
Pembekuan bahan pangan biasanya digunakan untuk pengawetan bahan dan produk
olahan yang mudah rusak (biasanya memiliki kadar air atau aktivitas air yang tinggi) seperti
buah, sayur, ikan, daging dan unggas. Sebagian besar air yang ada di dalam bahan pangan
(90%-95%) membeku pada suhu beku (Kusnandar, 2010 dalam Puspita, 2014).
Proses pembekuan terjadi secara bertahap dari permukaan sampai pusat bahan.
Pembekuan berlangsung cepat pada permukaan bahan, sedangkan pada bagian yang lebih
dalam, proses pembekuan berlangsung lebih lambat. Terjadi fase precooling pada awal
proses pembekuan dimana suhu bahan diturunkan dari awal ke suhu titik beku, pada tahap
ini semua kandungan air bahan berada dalam keadaan cair. Tahap perubahan fase terjadi
setelah tahap precooling, pada tahap ini terjadi pembentukan kristal es (Heldman dan Singh,
1981 dalam Puspita, 2014). Laju pembekuan ada dalam 3 golongan yaitu :
1) Pembekuan lambat, jika waktu pembekuan adalah 30 menit atau lebih untuk 1 cm bahan
yang dibekukan
2) Pembekuan sedang, jika waktu pembekuan adalah 20-30 menit atau lebihuntuk 1 cm
bahan yang dibekukan
3) Pembekuan cepat jika waktu pembekuan adalah kurang dari 20 menit untuk 1 cm bahan
yang dibekukan. Prinsip dasar dari semua proses pembekuan cepat adalah cepatnya
pengambilan panas dari bahan pangan (Rohanah, 2002 dalam Puspita, 2014).
16
Proses ini berlangsung selama beberapa jam, tergantung pada kondisi bahan
pangan yang akan dibekukan, di industri pangan telah dikembangkan metode pembekuan
lainnya untuk mempercepat proses pembekuan yang memungkinkan produk membeku
dalam waktu yang pendek. Pembekuan cepat akan menghasilkan kristal es berukuran kecil
sehingga akan meminimalkan kerusakan tekstur bahan yang dibekukan (Syamsir, 2008
dalam Dewayani, 2016).
17
2.4.2.4 Metode Pembekuan
Metode pembekuan udang yang lazim digunakan adalah sebagai berikut (Hadiwiyoto
1993 dalam Saulina, 2009):
1) Air Blast Freezing (ABF)
Metode pembekuan ini dilakukan dengan cara menempatkan produk pada rak-rak
pembeku di dalam ruang pembekuan, kemudian udara bersuhu rendah dihembuskan ke
sekitar produk yang disimpan pada rak-rak pembekuan tersebut. Prinsip dari teknik ini
adalah pembekuan dilakukan dengan menghembuskan udara dingin melewati pipa-pipa
pendingin ke permukaan produk dengan kecepatan yang tinggi.
2) Contact Plate Freezing (CPF)
Prinsip teknik pembekuan ini yaitu kontak langsung produk dengan plat logam
evaporator yang dapat digerakkan, sehingga terjadi perpindahan panas yang cepat dari
produk ke plat logam tersebut.
3) Individually Quick Freezing (IQF)
Pembekuan dengan IQF bertujuan agar tiap udang menjadi beku tanpa menempel
satu sama lain. Proses pembekuan dengan Metode IQF biasanya berjalan dengan cara
terus menerus (continous) dan tidak terpotong-potong (batch process).
4) Immersion Freezing
Metode pembekuan ini adalah dengan mencelupkan produk ke dalam cairan yang
dingin. Larutan yang biasa digunakan adalah garam (NaCl), campuran gliserol, larutan
alkohol atau larutan gula.
5) Cryogenic Freezing
Prinsip teknik pembekuan ini adalah kontak langsung antara bahan cair kriogenik
dengan produk, dengan cara mencelupkan produk ke dalam nitrogen cair atau
karbondioksida cair.
6) Spray Freezing
Pembekuan dengan cara penyemprotan bahan pendingin berbentuk cairan.
7) Pembekuan konvensional
Cara pembekuannya menggunakan alat pendinginan sederhana yang tradisional
atau konvensional sifatnya.
18
2.5 Pengolahan Suhu Tinggi
1) Blanching
Blanching merupakan suatu cara pemanasan pendahuluan atau perlakukan
pemanasan tipe pasteurisasi yang dilakukan pada suhu kurang dari 100°C selama beberapa
menit, dengan menggunakan air panas atau uap. Suhu yang digunakan biasanya sekitar 82-
93°C selama 3-5 menit. Contoh blanching misalnya mencelupkan sayuran atau buah dalam
air mendidih selama 3-5 menit atau mengukusnya selama 3-5 menit. Tujuan utama
blanching ialah menginaktifkan enzim diantaranya enzim peroksidase dan katalase,
walaupun sebagian dari mikroba yang ada dalam bahan juga turut mati (mengurangi jumlah
mikroba), menghilangkan beberapa substansi pada bahan pangan yang dapat
menyebabkan adanya off flavor (flavor yang tidak diinginkan), mempertahankan warna alami
dari bahan pangan
2) Pasteurisasi
Pasteurisasi adalah suatu proses pemanasan yang dilakukan pada suhu kurang dari
100°C, tetapi dengan waktu yang bervariasi dari beberapa detik sampai beberapa menit
tergantung pada tingginya suhu yang digunakan. Semakin tinggi suhu pasteurisasi, semakin
singkat waktu yang dibutuhkan untuk pemanasannya. Tujuan utama dari proses pasteurisasi
adalah untuk menginaktifkan sel-sel vegetatif mikroba patogen, mikroba pembentuk toksin
maupun kiroba pembusuk atau penyebab penyakit seperti bakteri penyebab TBC, disentri,
diare dan penyakit perut lainnya. Pasteurisasi juga bertujuan untuk mengurangi populasi
bakteri sehingga memperpanjang daya simpan (Abubakar, 2008).
3) Sterilisasi
Sterilisasi merupakan salah satu cara pengolahan bahan pangan yang bersifat
mengawetkan. Sterilisasi juga merupakan istilah untuk setiap proses yang menghasilkan
kondisi steril dalam bahan pangan. Sterilisasi adalah cara atau langkah atau usaha yang
dilakukan untuk membunuh semua mikroba yang hidup dalam bahan pangan.
4) Perebusan
Perebusan adalah pemasakan makanan dengan cara memanaskan makanan dalam
air bersuhu sekitar 100°C. Perebusan biasanya dipakai untuk memasak daging dan sayur.
5) Penggorengan
Penggorengan adalah suatu operasi mengubah eating quality suatu makanan,
memberikan efek preservasi akibat destruksi termal pada mikroorganisme dan enzim, serta
mengurangi aktivitas air (aW) (Fellows, 1990). Shelf life makanan goreng hampir semuanya
ditentukan oleh kadar air setelah penggorengan. Panas yang diterima bahan dipergunakan
untuk berbagai proses dalam bahan, antara lain untuk penguapan air, gelatinisasi pati,
denaturasi protein, reaksi pencoklatan dan karamelisasi (Suyitno, 1991).
19
6) Pemanggangan
Pemanggangan merupakan proses pengolahan pangan yang digunakan untuk
mengubah mutu bahan pangan dengan cara mengurangi kadar air yang ada dalam bahan
pangan, menggunakan udara panas sebagai media panas. Memanggang merupakan
proses pengolahan makanan dengan cara pemanasan tidak langsung. Alat-alat yang biasa
digunakan dalam proses pemanggangan yaitu oven yang biasanya menggunakan suhu
tinggi yaitu antara suhu 180-200°C.
7) Penggorengan
Penggorengan merupakan salah satu metode memasak klasik untuk menghasilkan
produk yang kering dan bercita rasa khas. Bahan makanan menjadi kering karena ada
proses hidrasi sebagai akibat pindah panas dari minyak goreng ke bahan. Ciri dari produk
goreng adalah permukaannya kering dan menyerap minyak goreng. Produk goreng
umumnya mengandung proporsi resapan minyak goreng yang tinggi sebagai akibat kontak
bahan pangan dengan minyak goreng selama proses penggorengan.
Proses ini dilakukan dengan cara merendamkan produk pangan pada minyak goreng
bersuhu tinggi. Metode ini banyak digunakan di industri makanan ringan, industri mie instan,
nugget dan lain-lain. Keuntungan dari penggunaan deep fat frying antara lain metode
pemasakan yang cepat, mudah, menghasilkan tekstur yang menarik dan renyah serta
menghasilkan warna yang bagus. Kekurangan dari metode ini deep fat frying adalah lebih
berbahaya dari metode penggorengan lainnya jika tidak ditangani secara benar, minyak
yang digunakan dalam jumlah besar sehingga biayanya lebih tinggi.
8) Penyangraian
Penyangraian adalah proses pindah panas baik tanpa media maupun menggunakan
pasir dengan tujuan mendapatkan cita rasa tertentu, saat proses penyangraian, uap air yang
keluar dari bahan pangan pada saat penggorengan akan dilepaskan ke udara bebas
(Mawaddah, 2012). Penguapan air menyebabkan kadar air pada permukaan bahan pengan
yang digoreng menjadi rendah, yang menyebabkan tekstur yang renyah. Minyak juga akan
melepaskan hasil degradasi yang bersifat volatil ke udara.
2.6 Rendemen
Rendemen merupakan perbandingan antara berat akhir produk yang diinginkan
dengan berat semula. Rendemen dinyatakan dalam % berat, yang angkanya didapat
berdasarkan perhitungan berat awal dibagi berat bahan mentah yang dihasilkan, dikalikan
100. Tujuan dari perhitungan ini adalah untuk mengetahui berat bersih dari ikan yang
digunakan dalam optimalisasi produksi dibandingkan berat kotor yang tidak terpakai.
Faktor yang mempengaruhi rendemen antara lain adalah faktor ukuran ikan, serta
faktor kesegaran merupakan faktor utama. Semakin segar bahan baku, maka semakin
20
mudah dikerjakan karena daging masih elastis sehingga persentase yang diperoleh lebih
tinggi, faktor keahlian pekerja juga mempengaruhi besar kecilnya persentase rendemen ikan
yang dihasilkan karena masing-masing pekerja memiliki tingkat keahlian yang berbeda-beda
pada setiap tahapnya, selain itu karyawan yang tergolong ahli karena telah mempunyai
pengalaman dan mengikuti latihan, ketekunan dan ketelitian bekerja sehingga akan
menghasilkan rendemen yang lebih besar (Ilyas, 1993 dalam Hidayah, 2008).
2.7 Perhitungan Kelayakan Usaha
2.7.1 Analisis Keuangan
Analisis keuangan adalah analisis mengenai dua daftar yang disusun oleh akuntan
pada akhir periode untuk suatu perusahaan. Kedua daftar itu adalah daftar neraca/laporan
posisi keuangan dan daftar pendapatan atau daftar laba rugi. Laporan keuangan merupakan
salah satu informasi penting bagi para pemakai laporan keuangan dalam rangka
pengambilan keputusan ekonomi. Hasil analisis laporan keuangan akan mampu
menginterpretasikan berbagai hubungan dan kecenderungan yang dapat memberikan
pertimbangan terhadap keberhasilan perusahaan di masa datang.
21
2.7.2 Analisis Keuntungan
2.7.2.1 Laba/Rugi
Analisis laba/rugi diketahui dari selisih pendapatan dengan biaya variable dan biaya
tetap (Nurhasanah, 2008). Laporan laba/rugi adalah laporan yang menunjukkan jumlah
pendapatan yang diperoleh dan biaya–biaya yang dikeluarkan dalam suatu periode tertentu
(Kasmir dan Jakfar 2006 dalam Nurhasanah 2008). Menurut Efendi dan Oktariza (2006)
dalam Hengga (2009), analisa laba/rugi bertujuan untuk mengetahui besar keuntungan atau
kerugian dari usaha yang dikelola. Usaha yang menguntungkan akan memiliki nilai
penerimaan lebih besar dari total pengeluaran.
22
pemilihan jenis produk atau proses dengan mengidentifikasi produk atau proses yang
mempunyai total biaya terendah untuk suatu volume (Nurhasanah, 2008).
23
2) Jalan menuju unit pengolahan seharusnya tidak menimbulkan debu atau genangan air,
dengan disemen, dipasang batu atau paving block dan dibuat saluran air yang mudah
dibersihkan.
3) Lingkungan unit pengolahan harus bersih dan tidak ada sampah teronggok.
4) Unit pengolahan seharusnya tidak berada di daerah yang mudah tergenang air atau
daerah banjir.
5) Unit pengolahan seharusnya bebas dari semak-semak atau daerah sarang hama.
6) Unit pengolahan seharusnya jauh dari tempat pembuangan sampah umum, limbah atau
pemukiman penduduk kumuh, tempat rongsokan dan tempat-tempat lain yang dapat
menjadi sumber cemaran.
2.8.1.2 Bangunan
Hal utama yang perlu diperhatikan dalam unit pengolahan yang baik, adalah
konstruksi bangunannya. Menurut Taufiqullah (2018), bangunan secara umum harus
memenuhi hal-hal berikut ini :
1) Bangunan dan ruangan sesuai persyaratan teknik dan higiene (jenis makanan yang
diproduksi dan urutan proses)
2) Mudah dibersihkan, mudah dilakukan kegiatan sanitasi, mudah dipelihara dan tidak
terjadi kontaminasi silang.
3) Bangunan terdiri dari ruang pokok (proses produksi), ruang penunjang (administrasi,
toilet, tempat cuci, dan lain-lain).
4) Ruang pokok dan ruang penunjang harus terpisah untuk mencegah pencemaran
terhadap makanan.
5) Ruangan proses produksi cukup luas, tata letak ruangan sesuai urutan proses, sekat
antara ruang bahan dan proses/pengemasan.
Konstruksi bangunan unit pengolahan meliputi dinding, lantai, langit-langit, ventilasi,
dan pencahayaan (Nurhidayat, 2014).
1) Dinding
Letak dinding minimal 20 cm diatas dan dibawah permukaan lantai terbuat dari
bahan yang tahan lama, kedap air, bagian dalam halus, rata, tidak berlubang, berwarna
terang, tidak mudah terkelupas, mudah dibersihkan, apabila digunakan pelapis dinding
maka bahannya harus tidak beracun (nontonic) (Nurhidayat, 2014).
2) Lantai
Terbuat dari bahan yang harus kedap air, keras dan padat, tahan air, garam, asam
dan basa serta bahan kimia lainnya. Kondisi permukaan lantai rata dan mudah mengalirkan
air pencucian atau pembuangan. Lantai juga dapat dibuat miring ke arah area pembuangan
air, untuk mencegah adanya genangan air dalam dapur halus, tidak licin dan mudah
24
dibersihkan, pertemuan lantai dan dinding tidak boleh bersudut mati (harus lengkung),
kedap air (Nurhidayat, 2014). Pemakaian karpet sebagai penutup lantai harus dari bahan
yang mudah dibersihkan. Karpet tidak boleh digunakan pada area preparasi makanan,
ruang penyimpanan, dan area pencucian peralatan karena akan terekspos air atau minyak.
3) Langit-Langit
Terbuat dari bahan yang tahan lama dan mudah dibersihkan. Letak langit-langit
minimal 2,5 meter di atas lantai dan disesuaikan dengan peralatan. Kondisi langit-langit
bebas dari kemungkinan catnya rontok/jatuh atau dalam keadaan kotor dan tidak terawat,
tidak rata, retak atau berlubang (Nurhidayat, 2014).
4) Ventilasi
Kondisi ventilasi harus memiliki sirkulasi udara pada ruang proses produksi yang
baik (tidak pengap), lubang ventilasi harus mencegah masuknya serangga, hama, dan
mencegah menumpuknya debu atau kotoran, mudah dibersihkan. Ventilasi terbuat dari
bahan yang dapat menghilangkan kondesat uap asap, bau, debu dan panas, mudah
dibersihkan, dilengkapi alat penghisap (exhaust fan), atau paling tidak dilengkapi dengan
cerobong (Nurhidayat, 2014).
5) Pencahayaan
Pencahayaan yang memadai sangat penting untuk menjamin bahwa semua
peralatan yang digunakan di dapur dan ruang penyajian dalam keadaan bersih, selain itu
pencahayaan yang memadai juga sangat penting untuk menjamin keberhasilan pekerjaan
preparasi, pengolahan, penyajian, dan penyimpanan produk. Lampu yang dipasang di atas
area prosesing tidak boleh merubah warna. Kondisi pencahayaan cukup mendapat cahaya,
terang sesuai dengan keperluan dan persyaratan kesehatan. Lampu dilengkapi dengan
screen sehingga aman bila jatuh dan bebas serangga (Nurhidayat, 2014).
2.8.1.3 Fasilitas
Fasilitas dalam unit pengolahan sangat penting untuk diperhatikan. Fasilitas tersebut
meliputi toilet, tempat pencucian, tempat sampah, tempat cuci tangan, ruang ganti
karyawan, dan tempat penanganan limbah.
1) Toilet
Lokasi toilet harus tertutup, dekat ruang pengolahan namun terpisah dari ruang
pengolahan tersebut. Kelengkapan di toilet harus terdapat sabun dan handuk yang diganti
secara reguler, saluran pembuangan tertutup, menggunakan air mengalir, tempat sampah
tertutup, serta kondisinya pun harus dibersihkan setiap hari (Direktorat PHP, 2009)
2) Tempat pencucian
Fasilitas pencucian bahan baku harus dilengkapi dengan sistem pemasukan dan
pengeluaran/pembuangan air yang baik dan lancar. Fasilitas pencucian peralatan harus
25
dilengkapi dengan air panas berdaya semprot yang memadai (tekanan 15 psi = 1,2 kg/m²)
(Direktorat PHP, 2009).
3) Tempat sampah
Ruang pengolahan harus disediakan tempat sampah yang tertutup, dengan
kapasitas/jumlah memadai dan di tempatkan di tempat yang mudah dijangkau dan
dibersihkan setiap hari. Ada pemisahan sampah organik dan non organik (Direktorat PHP,
2009)
4) Tempat cuci tangan
Fasilitas tempat cuci tangan harus diletakkan di tempat yang mudah dijangkau.
Tempat cuci tangan 1 buah untuk 10 orang.
5) Ruang ganti pakaian
Unit pengolahan wajib memiliki ruang ganti karyawan yang letaknya di luar ruang
pengolahan agar tidak terjadi kontaminasi dan sanitasi karyawan dapat terjaga.
6) Tempat penanganan limbah
Limbah bahan pangan dikumpulkan dalam wadah khusus yang memiliki tutup.
Mencegah terjadinya pencemaran lingkungan, pembuangan limbah bahan pangan harus
selalu dimonitor oleh seorang operator atau karyawan yang khusus ditugaskan menangani
(Direktorat PHP, 2009)
26
Prinsip-prinsip sanitasi untuk diterapkan dalam SSOP dikelompokkan menjadi 8 aspek kunci
sebagai persyaratan utama sanitasi dan pelaksanaannya. Menurut Winarno dan Surono
(2004), 8 kunci persyaratan sanitasi dalam SSOP terdiri dari :
1) Keamanan air
Air merupakan komponen penting dlm industri pangan yaitu sebagai bagian dari
komposisi; untuk mencuci produk; membuat es/glazing; mencuci peralatan/sarana lain;
untuk minum dan sebagainya, karena itu dijaga agar tidak ada hubungan silang antara air
bersih dan air tidak bersih (pipa saluran air hrs teridentifikasi dengan jelas) (Susiwi, 2009).
Sumber air yang digunakan dalam industri pangan : 1) Air PAM, biasanya memenuhi
standar mutu ; 2) Air sumur, peluang kontaminasinya sangat besar, karena adanya banjir,
septictank, air pertanian dan sebagainya; 3) Air laut (digunakan industri perikanan) harus
sesuai dengan standar air minum, kecuali kadar garam.
2) Kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan
Semua peralatan dan perlengkapan yang kontak dengan bahan pangan harus
didesain dan terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan 2 Peralatan dan perlengkapan
harus dibersihkan dengan metode yang efektif (Triharjono dkk, 2013).
3) Pencegahan kontaminasi silang
Kontaminasi silang sering terjadi pada industri pangan akibat kurang dipahaminya
masalah ini. Beberapa hal untuk pencegahan kontaminasi silang adalah : tindakan karyawan
untuk pencegahan, pemisahan bahan dengan produk siap konsumsi, disain sarana
prasarana (Susiwi, 2009). Pekerja tidak boleh menggunakan perhiasaan selama proses
produksi. Pekerja dilarang berbicara selama proses berlangsung. Pekerja wajib
menggunakan masker, penutup kepala dan sarung tangan (Triharjono dkk, 2013).
4) Menjaga fasilitas pencuci tangan, sanitasi dan toilet
Kondisi fasilitas cuci tangan, toilet dan sanitasi tangan sangat penting untuk
mencegah terjadinya kontaminasi terhadap proses produksi pangan. Kontaminasi akibat
kondisi fasilitas tersebut akan bersifat fatal, karena diakibatkan oleh bakteri patogen (Susiwi,
2009). Fasilitas sanitasi dan cuci tangan harus mudah dijangkau pekerja. Penyediaan mesin
alat pengering tangan. Penyediaan toilet harus cukup untuk pekerja, 50-100 minimal 3 toilet,
dan harus dijaga kebersihannya (Triharjono dkk, 2013).
5) Proteksi dari bahan-bahan kontaminan
Tujuannya adalah untuk menjamin bahwa produk pangan, bahan pengemas, dan
permukaan kontak langsung dengan pangan terlindung dari kontaminasi mikrobial, kimia
dan fisik (Susiwi, 2009). Bahan pangan dan non pangan masing – masing harus terlindungi
dari cemaran fisik, kimia dan biologi. Tempat dapat menampung dan jauh dari lokasi
produksi. Penggunaan bahan kimia harus mengikuti aturan penggunaan (Triharjono dkk,
2013).
27
6) Pelabelan, penyimpanan dan penggunaan bahan toksin yang benar
Tujuan monitoring ini adalah untuk menjamin bahwa pelabelan, penyimpanan dan
penggunaan bahan toksin adalah benar untuk proteksi produk dari kontaminasi (Susiwi,
2009). Bahan pangan dan non pangan harus disimpan terpisah untuk menghindari
kontaminan. Pengemasan harus dapat meminimumkan dari cemaran fisik, kimia dan
biologis (Triharjono dkk, 2013).
7) Pengawasan kondisi kesehatan personil yang dapat mengakibatkan kontaminasi
Tujuan dari kunci ini adalah untuk mengelola personil yang mempunyai tandatanda
penyakit, luka atau kondisi lain yang dapat menjadi sumber kontaminasi mikrobiologi
(Susiwi, 2009). Pengawas dan pengecekan kesehatan karyawan harus dilakukan secara
rutin. Pekerja yang dalam kondisi sakit, luka dapat menjadi sumber kontaminan pada proses
pengolahan, kemasan dan produk akhir tidak boleh masuk sampai kondisinya normal
(Triharjono dkk, 2013).
8) Menghilangkan hama pengganggu dari unit pengolahan
Tujuan dari kunci ini menurut Susiwi (2009) adalah menjamin tidak adanya pest
(hama) dalam bangunan pengolahan pangan. Beberapa pest yang mungkin membawa
penyakit :
a) Lalat dan kecoa : mentransfer Salmonella, Streptococcus, C.botulinum,
Staphyllococcus, C.perfringens, Shigella
b) Binatang pengerat : sumber Salmonella dan parasit
c) Burung : pembawa variasi bakteri patogen Salmonella dan Listeria
28
P2HP melalui Direktorat Pengolahan Hasil melakukan pelayanan penerbitan SKP dengan
cara penilaian kelayakan dasar pengolahan dalam rangka meningkatkan pembinaan kepada
UPI skala besar dan UKM untuk memenuhi penerapan standar kelayakan dasar UPI. Setiap
UPI yang memperoleh SKP memiliki nilai kelayakan dasar antara lain A, B, C, dan D.
Penerapan ini meliputi seleksi bahan baku, penanganan dan pengolahan, bahan pembantu,
pengemasan, penyimpanan, distribusi, lokasi, konstruksi bangunan termasuk lantai, dinding,
langit-langit, ventilasi, pintu, tempat cuci tangan, penerangan, toilet, saluran pembuangan,
pasokan air dan es, limbah, bahan pembantu dan bahan tambahan, penanganan bahan
pengemas, deterjen dan bahan kimia, serta higiene personil.
29
3. METODE PRAKTIK
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktik
Praktik Kerja Lapangan pengolahan otak – otak ikan dilaksanakan pada tanggal 10
Desember sampai 21 Desember 2018 di CV Fania Food Jl. Semangu KG-1 No. 16 RT
03/RW 01 Gedongkuning, Rejowinangun, Kota Gede, Yogyakarta.
3.2.2 Bahan
Bahan baku yang digunakan adalah ikan bandeng utuh segar. Bahan tambahan
yang digunakan antara lain tepung tapioka, tepung terigu, bawang putih, garam, merica,
gula pasir, daun bawang, telur, penyedap ikan, dan pengenyal (STPP). Bahan pembantu
yang digunakan yaitu air, es, dan minyak sayur.
30
Penerimaan Bahan Baku
Sortasi
Pencucian 1
Penyiangan
Pencucian 2
Pengambilan Daging
Pelumatan Daging
Pencampuran
Perebusan
Pendinginan
Penyimpanan Beku
Pemuatan
31
3.3.2 Komposisi Bahan
Komposisi bahan yang digunakan pada pembuatan otak – otak ikan menurut
BBP2HP (2017) dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi Bahan
No. Nama Bahan Berat Komposisi
1 Lumatan daging ikan 500 gr 54,20 %
2 Tepung Tapioka 50 gr 5,42 %
3 Gula halus 1 sdt / 15 g 1,63 %
4 Garam secukupnya
5 Daun Bawang 2 tangkai
6 Bawang Putih 4 siung / 20 g 2,17 %
7 Putih telur 1 butir / 50 gr 5,42 %
8 Lada 1 sdm / 30 g 3,25 %
9 Merica halus ½ sdt / 7,5 g 0,81 %
10 Santan kental 250 ml 27,10 %
Sumber : BBP2HP (2017)
∑ni=1(xi – x̅ )2
s=√ n
32
Keterangan :
n adalah banyaknya panelis;
𝑆 2 adalah keragaman nilai mutu;
1,96 adalah koefisien standar deviasi pada taraf 95 %;
𝑥̅ adalah nilai mutu rata-rata;
𝑥𝑖 adalah nilai mutu dari panelis ke i, dimana i = 1,2,3......n;
s adalah simpangan baku nilai mutu.
x1 + x2+ x3 + ...+xn
x̅ =
n
33
3.3.6 Perhitungan Kelayakan Usaha
3.3.6.1 Laba / Rugi
Rumus laba/rugi adalah sebagai berikut :
Total Penerimaan
B/C Ratio =
Total Biaya
3.3.6.3 Payback Period (PP)
Rumus PP adalah sebagai berikut :
Investasi
PP = X 1 tahun
Keuntungan
34
pengemasan, penyimpanan, dan distribusi. Pengamatan GMP dilakukan selama alur proses
pengolahan berlangsung, prosedur, tujuan, pengawasan, tindakan koreksi, serta
pencatatan.
Pengamatan terhadap penerapan teknik sanitasi dan higiene unit pengolahan
dilakukan dengan membahas semua aspek-aspek sesuai dengan keadaan di lapangan.
Aspek-aspek tersebut adalah lokasi, konstruksi bangunan termasuk lantai, dinding, langit-
langit, ventilasi, pintu, tempat cuci tangan, penerangan, toilet, saluran pembuangan,
pasokan air dan es, limbah, bahan pembantu dan bahan tambahan, penanganan bahan
pengemas, deterjen dan bahan kimia, serta higiene personil. Kuisioner Supervisi Sertifikat
Kelayakan Pengolahan dapat dilihat pada Lampiran 6.
35
4. RENCANA KEGIATAN
Praktik Kerja Lapangan dilaksanakan pada tanggal 10 Desember sampai 21
Desember 2018 di CV Fania Food Jl. Semangu KG-1 No. 16 RT 03/RW 01 Gedongkuning,
Rejowinangun, Kota Gede, Yogyakarta. Rencana kegiatan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Rencana Kegiatan
DESEMBER
KEGIATAN
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Pengenalan
lingkungan
pengolahan
Pengenalan
tenaga kerja
Pengenalan bahan
baku
Mengamati proses
penerimaan bahan
baku
Mengamati proses
sortasi
Mengamati proses
pencucian 1
Mengamati proses
penyiangan
Mengamati proses
pencucian 2
Mengamati proses
pengambilan
daging
Mengamati proses
pelumatan daging
Mengamati proses
pencampuran
Mengamati proses
pencetakan tanpa
daun
Mengamati proses
perebusan
Mengamati proses
pendinginan
Mengamati proses
pembekuan
Mengamati proses
pengemasan dan
penimbangan
Mengamati proses
pemuatan
Mengamati proses
penyimpanan beku
Mengamati proses
pemuatan
36
Lanjutan
DESEMBER
KEGIATAN
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Mengamati mutu
bahan baku dan
produk akhir
Mengamati
rendemen
Menganalisa
kelayakan usaha
Mengamati
kelayakan dasar
UPI
Menyusun laporan
hasil pengamatan
Persiapan kembali
ke kampus
37
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar. (2008). Pengaruh Suhu dan Waktu Pasteurisasi Terhadap Mutu Susu
Selama Penyimpanan. Jurnal Badan Peternakan Nasional.
Adelaide MU, Mega M, M. Zaelani, Nico, Siti lulu AM, yudha A. (2011). Identifikasi Parasit
Pada Ikan Bandeng. Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian universitas Sultan
Ageng Tirtaysa, Serang.
Aditya, R. (2015). Media dan Teknik Pendinginan Ikan. Diambil dari :
https://www.scribd.com/doc/257936035/Media-Dan-Teknik-Pendinginan-Ikan.
Diakses pada 21 November 2018.
Afriwanty, M. D. (2008). Mempelajari pengaruh penambahan tepung rumput laut
(Kappaphycus alvarezii) terhadap karakteristik fisik surimi ikan nila
(Oreochromis sp.). Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.
Agustini, T.W, A.S. Fahmi, U. Amalia. (2006). Diversification of Fisheries Products.
Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.
[BBP2HP] Balai Besar Pengujian Penerapan Hasil Perikanan. (2017). Teknologi
Sederhana Pengolahan Hasil Perikanan. Direktorat Jenderal Penguatan Daya
Saing Produk Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. (2013). SNI 2729:2013. Ikan Segar . Badan
Standardisasi Nasional, Jakarta.
__________________________________ __. SNI 7757:2013. Otak – Otak Ikan .
Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Cahyadi, E. (2009). Analisis Kelayakan Usaha Penangkapan Ikan Cakalang
(Kotsuwonus Pelamis) Ditinjau Dari Aspek Teknis Dan Finansial Dengan
Huhate (Pole and Line) Pada Km. Flotim 21 Di Unit Plasma PT. Okhisin
Larantuka NTT. Karya Ilmiah Praktek Akhir. Jurusan Teknologi Penangkapan Ikan.
Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta.
Daniati. (2005). Pemanfaatan Sumber Pangan Dengan Penambahan Nilai. Bumi Aksara.
Jakarta.
Dewayani, G. M. (2016). Penerapan Metode Air Blast freezing (ABF) Pada Pembekuan
Ikan Salmon Chum (Oncorhynchus keta). PT. Marine Cipta Agung, Pasuruan.
Jawa Timur
Direktorat Pengolahan dan Bina Mutu. (2017). Latar Belakang Subdit Standarisasi Ditjen
P2HP. Diambil dari http://skp-pdspkp.kkp.go.id/?m=f_latarbelakang_terbit. Diakses
pada 21 November 2018.
Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian. (2009). Konsep Pedoman Sanitasi dan Hygiene
Agroindustri Perdesaan. Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian.
Departemen Pertanahan : Jakarta.
Fellows, P. 1990. Food Processing Technology : Principles and Practise. New York:
Ellis Horwood Limited.
Hengga, H. (2009). Analisis Usaha Dan Teknik Produksi Benih Ikan Koi (Cyprinus
carpio) Di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT)
Sukabumi, Jawa Barat. Karya Ilmiah Praktek Akhir. Jurusan Teknologi Pengelolaan
Sumberdaya Perairan. Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta.
Hidayah, N. (2008). Penanganan dan Pengolahan Udang Windu (Penaeus monodom)
Kaitannya terhadap mutu udang segar beku (Fresh Frozen Shrimp, Head Less)
Di PT Misaja Mitra Tarakan Kalimantan Timur. Karya Ilmiah Praktik Akhir. Jakarta:
Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan, Sekolah Tinggi Perikanan.
Karim, M., Susilowati, A., & Asnidar. (2013). Analisis Tingkat Kesukaan Konsumen
Terhadap Otak-Otak dengan Bahan Baku Ikan Berbeda. Jurnal Balik Diwa, Vol. 4,
No. 1, Hal 25-31.
Mawaddah, A. (2012). Teknologi Pengolahan Pangan. Yogyakarta.
Mudjiman, A. 1998. Makanan Ikan. Penebar Swadaya, Jakarta.
38
Napitupulu, Romauli J. (2017). Es. Teknik Pengolahan Produk Perikanan. Politeknik
Kelautan dan Perikanan Karawang. Karawang.
Nelson, J.S. (1984). Fishes of The World. A Wiley Interscience Publication.
Nurdiyansyah, A. (2010). Evaluasi Aplikasi GMP dan SSOP Serta Penyusunan HACCP
Plan Pada Produksi Yoghurt Drink Di PT Indolakto Factory Pandaan Pasuruan.
Bogor: IPB.
Nurhasanah, (2008). Kelayakan Usaha Pengolahan Kerupuk Cumi Di UD. Pelangi Sari,
Banyuwangi, Jawa Timur. Karya Ilmiah Praktek Akhir. Jurusan Teknologi
Pengolahan Hasil Perikanan. Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta.
Nurhidayat. (2014). Sanitasi Ruang Pengolahan Makanan. Diambil dari
http://nurhidayat.lecture.ub.ac.id/files/2014/09/minggu-08.-SANITASI-RUANG-
PENGOLAHAN-MAKANAN.pdf. Diakses pada 21 November 2018.
Nurjanah, Nitibaskara, R., & Madiah, E. (2015). Pengaruh Penambahan Bahan Pengikat
Terhadap Karakteristik Fisik Otak-Otak Ikan Sapu-Sapu (Liposarcus pardalis).
Buletin Teknologi Hasil Perikanan, Vol VIII, No. 1, Hal 1-11.
Pamijiati, (2009). Pengaruh Ekstrak Daun Selasih (Ocimum basilicum linn) Terhadap
Mutu Kesegaran Ikan Bandeng Selama Penyimpanan Dingin (Chanos
chanos Forsk). Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro.
Pasaribu, A.M. (2004). Kajian Sistem Mudular Pada Usaha Tani Ikan Bandeng (Chanos
chanos, Forskal) di Sulawesi Selatan. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian, 7, 187-192.
Purnomowati, I., Hidayati, D., dan Saparinto, C. (2007). Ragam Olahan Bandeng. Kanisius.
Yogyakarta.
Puspita, F. (2014). Pembekuan dan Pendinginan. Laporan Praktikum Prinsip Teknik
Pangan. Purwokerto: Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman.
Puspitaningati, R. P. (2016). Proses Pengolahan Otak-Otak Ikan Bandeng (Channos
channos) Di UKM Fania Food Yogyakarta. Laporan Praktik Kerja Lapang. Program
Studi Teknik Pengolahan Produk Perikanan. Politeknik Kelautan dan Perikanan
Sidoarjo: Sidoarjo.
Putra, D. A., Agustini, T. W., & Wijayanti, I. (2015). Pengaruh Penambahan Karagenan
Sebagai Stabilizer Terhadap Karakteristik Otak-Otak Ikan Kurisi (Nemipterus
nematophorus). Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan, Vol. 4, No. 2,
Hal 1-10.
Saprianto, Cahyo. (2007). Membuat Aneka Olahan Bandeng. Penebar Swadaya, Jakarta.
Saulina, H. (2009). Pengendalian Mutu Pada Proses Pembekuan Udang Menggunakan
Statistical Process Control (SPC) Studi Kasus : Di Pt Lola Mina Jakarta Utara.
Skripsi. cDepartemen Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan Dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Sulastri, S. (2010). Penerapan Sistem Kelayakan Dasar Pada Pengalenganrajungan
(Portunus pelagicus). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor : Bogor.
Susiwi, S. (2009). Dokumentasi SSOP (Sanitation Standard Operating Procedures) S P
O Sanitasi. Handout. Jurusan Pendidikan Kimia. Universitas Pendidikan Indonesia:
Bandung.
Suyitno. (1991). Dasar - Dasar Fisiologi Tumbuhan. Jilid 1. Bogor: Departemen Botani
Fakultas Pertanian IPB.
Tanikawa, E. (1985). Marine Productc In Japan. Koseisha-Koseikaku Company, Tokyo.
Taufiqullah. (2018). Aspek Lingkungan Produksi (Lokasi). Diambil dari
https://www.tneutron.net/pangan/aspek-lingkungan-produksi-lokasi/. Diakses pada
21 November 2018.
Triharjono, A. Banun D. P., Muhammad F. (2013). Evaluasi Sanitation Standard
Operating Procedures Kerupuk Amplang Di UD Sarina Kecamatan Kalianget
Kabupaten Sumenep. AGROINTEK Vol 7, No.2, Hal 76 - 83.
USDA National Nutrient Database For Standard Reference. (2009). Milkfish List Nutrition.
39
Waryanti, D. (2013). Uji Daya Hambat Secara In Vitro Ekstrak Biji Picung (Pangium
edule) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Pada Ikan Bandeng (Chanos chanos)
Busuk yang Diawetkan dengan Pengasapan. Purwokerto: Program Studi
Pendidikan Biologi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas
Muhammadiyah Purwokerto.
Wijaya, P. (2008). Pengolahan Permen Rumput Laut (Eucheuma cotonii) Serta Analisa
Finansial Dan Strategi Pengembangan Usaha Di UD. Rukhaiyah, Lombok, Nusa
Tenggara Barat. Karya Ilmiah Praktek Akhir. Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil
Perikanan. Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta.
Winarno, F. G. dan Surono. (2004). GMP Cara Pengolahan Pangan yang Baik. M-Brio
Press. Bogor.
Yuwandhana, D. P. (2018). Menghitung Biaya – Biaya Dalam Industri Pengolahan Hasil
Perikanan. Teknik Pengolahan Produk Perikanan. Politeknik Kelautan dan
Perikanan Karawang.
40