Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

RETINAL DETACHMENT

Waktu (Hari/Tanggal/Tahun) : 21 November 2022


Nama Ko-Ners : Vitaludin Mohammad Baly
NIM : 202214901004
Judul Kasus : Retinal Detachment (Ablasio Retina)
Ruangan Dinas : Ruang IBS (Instalasi Bedah Central)

PENGERTIAN
Retina merupakan bagian yang sensitif terhadap cahaya. Bagian luar lapisan retina
dilapisi oleh sel fotoreseptor yang berguna untuk mengaktifkan sinyal pada cahaya. Pada kondisi
normal, lapisan sel fotoreseptor ini berdekatan dengan koroid dan epitel pigmen retina. Sel
fotoreseptor ini bergantung pada epitel untuk metabolisme. Apabila sel ini terlepas dari koroid
oleh karena ablasio retina, maka hal ini dapat menimbulkan kerusakan yang irreversibel.
Lepasnya retina ini terjadi ketika cairan vitreus masuk melalui robeknya retina yang memicu
terjadinya perdarahan antara retina dengan koroid (Yorston, 2018 : Kwok, et al. 2020).
Ablasio retina merupakan pemecahan sel neurosensori retina dari epitel retina di
bawahnya. Ablasio retina merupakan permasalahan mata yang serius dan dapat menyebabkan
hilangnya penglihatan yang permanen. Ketika lapisan neurosensori terpisah dengan lapisan
epitel, maka bagian tersebut akan kehilangan sumber oksigen dan nutrisi yang dapat
menyebabkan kematian jaringan (Blair & Cyzy, 2021; Steel, 2014).
Ablasio retina adalah salah satu kelainan mata yang dapat mengancam penglihatan dan
dapat menyebabkan kebutaan. Pada ablasio retina terjadi lepasnya perlekatan lapisan
neurosensoris retina dari lapisan epitel pigmen retina.
Ablasio retina regmatogen merupakan jenis ablasio yang paling sering ditemukan dan
memerlukan penatalaksanaan bedah yang segera dan komprehensif untuk mencegah terjadinya
gangguan penglihatan dan kebutaan yang permanen
Insiden terjadinya ablasio retina pada populasi umum sekitar 0,01-0,02% dan
berkaitan dengan sosioekonomi seseorang. Laki-laki ditemukan dua kali lebih banyak daripada
perempuan. Mata kanan lebih sering terjadi dibandingkan dengan mata kiri. Puncak insidensi
kejadian ablasio retina ini pada dekade keenam kehidupan. Populasi Asia memiliki umur awal
yang lebih muda dibandingkan dengan etnis lainnya (Qureshi & Steel,2020).
Ablasio retina sering terjadi pada orang dengan usia lanjut, riwayat miopia, riwayat
operasi, dan riwayat trauma. Pasien dengan miopia lebih dari dengan -3D meningkatkan risiko
terjadinya ablasio retina sepuluh kali dibandingkan orang normal. Miopia menyebabkan
pencairan vitreous humor yang lebih cepat, sehingga menyebabkan ablasio retina lebih sering
terjadi pada pasien dengan rabun jauh dibandingkan dengan orang tanpa gangguan refraksi.
Selain itu riwayat operasi sebelumnya, terutama operasi katarak juga mempercepat pencairan
vitreus sehingga menyebabkan insidensi terjadinya. Trauma tumor pada mata dapat
menyebabkan robekan yang luas pada retina. Pada usia tua juga menyebabkan vitreous menjadi
cair dan kemudian kolaps. Ketika ini terjadi dapat menyebabkan penarikan pada retina yang
menyebabkan robekan retina (Yorston, 2018 : Feltgen & Walter, 2014).
Ablasio retina terbagi menjadi tiga, yaitu ablasi regmatogenosa, ablasi traksi, dan
ablasi serosa atau hemoragik. Ablasi regmatogenosa merupakan bentuk tersering dari ablasio
retina, ditandai dengan adanya pemutusan total sel sensorik retina, traksi vitreus dengan derajat
bervariasi, dan mengalirnya cairan vitreus melalui robekan ke ruang subretina. Ablasi traksi
merupakan lepasnya jaringan retina yang terjadi akubat tarikan jaringan parut pada badan kaca
yang akan menyebabkan ablasio retina dan penurunan penglihatan tanpa rasa sakit. Ablasi serosa
atau hemoragik merupakan ablasi yang terjadi akibat penimbunan cairan di bawah retina
sensorik dan terutama disebabkan oleh penyakit epitel pigmen retina dan koroid (Riordan &
Whitcher, 2009; Ilyas, 2010).
Klasifikasi Ablasio Retina :
 Ablasio Regmatigenosa
Ablasio Retina Regmatogenosa merupakan jenis ablasion retina yang paling
sering terjadi. Ablasi retina jenis ini terjadi ketika robekan pada retina membuat
cairan di tengah bola mata (Cairan Vitreus) merembes masuk dan menumpuk
dibelakang retina. Kondisi tersebut membuat lapisan retina terlepas dari retina.
 Abalsio Retina Eksudatif
Ablasio Retina Eksudatif terjadi ketika terdapat cairan atau darah yang
menumpuk dibelakang retina sehingga retina terlepas. Akan tetapi, pada jenis ini,
cairan yang menumpuk tidak menimbulkan robekan pada retina.
Penumpukan cairan umumnya terjadi karena pembocoran pembuluh darah
atau adanya pembengkakan dibagian belakang mata.
Penyebabnya bisa berupa :
- Cedera atau trauma pada mata
- Degenerasi Makula
- Tumor Mata
- Peradangan pada mata
- Penyakit Coats, yaitu penyakit langka yang menimbulkan kelainan
perkembangan retina mata.
 Ablasio Retina Traksional
Jenis ini terjadi ketika terdapat jaringan parut yang membuat retina tertarik
dan lepas. Jaringan parut ini umumnya terbentuk akibat Retinopati Diabetik, yaitu
gangguan mata yang terjadi pada gangguan diabetes. Retinopati Diabetik dapat
menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah mata.
Dengan kata lain, ablasio retina traksional lebih sering dijumpai pada penderita
diabetes yang kadar gulanya tidak terkontrol.

I. FAKTOR RESIKO
Terdapat jumlah faktor yang dapat meningkatkan resiko seseorang terserang ablasi retina,
yaitu :
 Berusia diatas 50 Tahun
 Pernah mengalami ablasio retina sebelumnya.
 Memiliki riwayat ablasi retina dalam keluarga
 Menderita rabun jauh (Miopia) yang parah.
 Pernah menjalani operasi pada mata, misalnya operasi katarak.
 Menderita penyakit pada mata, misalnya radang pada lapisan tengah mata (Uveitis)

II. ETIOLOGI
1. Trauma
2. Operasi Katarak
3. Degenerasi Retina Perifer
4. Miopia
5. Posterior Vitreous Detachment
6. Usia
Apabila penderita dengan usia lebih 60 tahun, maka tajam penglihatan paska
operasi akan lebih buruk dibandingkan dengan penderita dengan usia yang lebih muda.

III. PATOFISIOLOGI
 Anatomi
Retina merupakan lapisan saraf mata yang bersifat transparan dan tipis yang
terletak pada bagian dalam bola mata. Secara garis besar, retina dibentuk oleh dua lapisan
laminer yaitu Epitel Pigmen Retina (EPR) pada bagian terluar retina dan neurosensoris
retina pada bagian dalam.
Kedua lapisan ini berasal dari Neuroektoderm yang melapisi vesikel optik saat
embriogenesis. Saat vesikel optik berinvaginasi membentuk optik cup, kedua lapisan ini
saling beraposisi. Bagian dalam berdiferensiasi menjadi lapisan neurosensoris dan lapisan
luar menjadi EPR. Tidak ada ikatan antar sel yang menghubungkan, sehingga terdapat
ruang potensial diantara kedua lapisan ini. Bila terdapat cairan pada rongga ini, cairan ini
disebut dengan subretina.
 Patogenesis
Ablasio retina terjadi bila perlekatan antara lapisan EPR dan neurosensoris
terlepas. Berdasarkan mekanismenya, ablasio retina dapat diklasifikasikan menjadi
ablasio retina regmatogen, traksional, eksudatif dan traksional-regmatogen.
Ablasio retina regmatogen terjadi karena tiga faktor, yaitu adanya gel vitreus yang
mencair, traksi yang menjaga robekan tetap terbuka dan robekan full thickness (break)
dari retina yang cukup untuk membuat cairan masuk ke rongga subretina. Ketiga faktor
ini harus ditemukan bersamaan agar terjadi ablasio retina regmatogen. Break yang ada
dibuka oleh traksi dari vitreoretina sehingga akumulasi cairan vitreus dapat masuk dan
kemudian memisahkan lapisan neurosensoris dan lapisan EPR retina.
IV. MANIFESTASI KLINIS
 Adanya floaters secara tiba-tiba, yaitu titik-titik kecil yang tampak melayang pada
penglihatan
 Kelihatan flashes/kilatah cahaya pada satu atau kedua mata, dari satu sisi yang berulang
 Munculnya bayangan seperti tirai menutupi sebagian penglihatan.
 Ada semacam tirai tipis berbentuk parabola yang naik perlahan-lahan dari mulai bagian
bawah bola mata dan akhirnya menutup pandangan
 Gejala Subyektif
Penderita mengeluh dan merasa seperti ada tirai yang menutupi sebagian
lapangan pandangan pada mata yang menderita ablasio retina.
Dengan anamnesis yang teliti kita dapat mengetahui ada banyak penderita
yang sering meraskan melihat adanya kilatan-kilatan cahaya (Fotopsia) pada mata
yang menderita ablasio beberapa hari sampai beberapa minggu sebelumnya (Ilyas,
2008). Metamorfopsi berupa mikropsi dan makropsi karena cairan ablasi bergerak
mencari tempat yang rendah, maka penderita merasakan seolah melihat suatu tirai
yang bergerak ke suatu arah. Bila terjadi di bagian temporal, dimana terletak
makula lutea. Maka visus sentral lenyap. Sedangkan bila terdapat dibagian nasal.
Visus sentral lebih lambat terganggu. Lambat laun tirai makin turun dan menutupi
sama sekali matanya, karena terdapat ablasi retina total, sehingga persepsi
cahayanya menjadi 0 (Nol) (Wijana. N, 2007).
 Gejala Objektif
Dengan Ofalmoskop kita dapat melihat retina yang berwarna abu-abu
dengan lipatan-lipatan yang berwarna putih, gambaran koroid yang normal tidak
tampak. Terlihat retina yang berlipat-lipat, yang berubah-ubah bentuknya bila
kepada digerakan. Lipatan ini menetap bila disebabkan tarikan oleh badan kaca,
walaupun kedudukan kepala berubah. Pembuluh darah menjadi berwarna lebih
gelap, berkelok-kelok dan tampak tidak dalam satu daratan(Ilyass S, 2008).
V. PATHWAY KEPERAWATAN

- Miopi Tinggi - Diabetes Retinopati - Miopi Tinggi


- Trauma berkembang biak - Trauma
- Operasi Katarak - Retinopati Prematuritas - Operasi Katarak
- Sel Sabit Poliferatif

Robekan atau Lubang Peradangan


pada Retina Tersedianya jaringan parut
fibrosis yang melekat pada
korpus vitreus atau badan kaca
Cairan Vitreus masuk Pembentukan Transudat
melalui lubang ke ruang dan Eksudat
subretina Retina Terangkat & Tertarik dari
koroid
Pembentukan transudat
Adanya tekanan tinggi & Eksudat terkumpul
sehingga tidak bisa dalam ruang sub retina
Terjadi gangguan retina dari
mempertahankan
koroid
pelekatan retina

Retina Terangkat

Terjadi agresi retina


Ablasio Retina Traksi
dari koroid
Terjadi agresi retina
dari koroid
ABLASIO RETINA
Ablasio
Rhematogeneus
Ablasio Retina
Pembedahan Eksudatif

Cahaya tidak tepat pada


Fovea
Retina Robek
Pra-Operasi

Persepsi bayangan
seperti tirai (Hitam Pigmen darah dan sel
Yakin) epitel retina masuk ke
MK : Ansietas
badan korpus vitreus

MK : Resiko Jatuh Pasca Operasi Vitreous keruh oleh


darah

MK : Resiko Infeksi Adanya bayangan gelap


pada oenglihatan
(Floater)

MK : Nyeri Akut
VI. PENATALAKSANAAN
 Profilaksis
Profilaksis yang dapat digunakan untuk mencegah ablasio retina adalah dengan
menutup break, menggunakan cryotherapy atau fotokoagulasi laser. Cryotherapy pada
area yang luas meningkatkan risiko lepasnya epitel pigmen yang dapat memicu
pembentukan membran epiretinal. Oleh sebab itu, laser dipilih pada lesi yang lebih luas,
namun sulit untuk lesi sangat perifer. Cryotherapy lebih dipilih pada media yang keruh,
ukuran pupil lebih kecil dan lesi dianterior. Terapi yang digunakan juga berdasarkan
pilihan, pengalaman operator, serta ketersediaan alat.
 Operasi
Prinsip operasi dari ablasio retina regmatogen adalah dengan menemukan semua
break, membuat iritasi korioretina (skar) di sekitar setiap break dan melekatkan antara
retina dan EPR dalam waktu yang cukup agar ruang subretina tertutup secara permanen,
dan mengurangi atau menghilangkan traksi retina. Tindakan operatif untuk ablasio
retina ini dilakukan oleh dokter mata dengan keahlian khusus vitreoretina. Tindakan
operatif yang dilakukan dapat dilakukan baik dengan lokal anestesi maupun anestesi
umum, tergantung hasil evaluasi dokter terhadap kondisi pasien.
 Vitrektomi
Vitrektomi merupakan operasi yang membebaskan traksi retina dengan
menghilangkan vitreus, terutama yang menyebabkan tarikan pada robekan retina,
sehingga terjadi perlekatan kembali antara retina dan lapisan EPR. Kemudian
robekan dapat ditutup dengan retinopexy.
Pars plana vitrectomy menggunakan 3 probe. Probe yang pertama untuk
infus balanced salin solution (BSS), probe kedua untuk iluminasi segmen posterior,
probe ketiga untuk bermacam-macam instrumen operasi. Operasi ini dilakukan
menggunakan operating microscope dengan retinal viewing system.
Indikasi Vitrektomi :
 Primary Vitrectomy pada Ablasio Retina (Semua Stadium)
 Ablasio dengan kekeruhan Vitreus
 Ablasio dengan Giant Retinal Break
 Ablasio dengan PVR
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan Laboratorium
Tujuannya untuk mengetahui penyakit penyerta seperti glaukoma, diabetes melitus,
maupun kelainan darah
 Pemeriksaan Ultrasonografi
Tujuannya untuk mendiagnosis ablasio retina dan mengetahui patologis penyerta
lainnya seperti poliveratif vitreoretinopati, benda asing intraokuler, selain untuk
mengetahui kelainan, yang menyebabkan ablasio retina seperti tumor dan posterior
skleretis.
 Scleral Indentation
 Goldman Triple-Mirror
 Indirect Slit Lamp Biomicroscopy
 Tes Refraksi
Bertujuan untuk mengetahui seberapa jelas penglihatan pasien ketika suatu ketika
melihat suatu objek pada jarak tertentu. Tes ketajaman penglihatan umumnya dilakukan
menggunakan kartu snellen yang terdiri dari beberapa huruf dan angka dengan ukuran
yang bervariasi.
 Respon Reflek Pupil

VIII. PENGKAJIAN FOKUS


- Pengkajian
Pengkajian secara umum yang dapat dilakukan pada pasien dengan Ablasio
Retina dimulai dari identitas yang meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, diagnosa
medis.

- Riwayat Kesehatan
Keluhan utama klien dengan Ablasio Retina biasanya adalah nyeri pada mata ,
pandangan kabur seperti melihat tirai.. Riwayat penyakit sekarang menjelaskan
mengenai riwayat penyakit yang dialami biasanya klien dengan Ablasio Retina
mengalami gejala nyeri pada mata dimana mata mengalami nyeri yang hebat selama
beberapa hari yang diselingi dengan pandangan gelap yang tertutup seperti tirai selama
beberapa hari atau beberapa minggu.

- Perubahan Pola Fungsi


Aktivitas/istirahat biasanya klien mengeluh badannya lemas, klien tampak lemah,
sirkulasi biasanya klien mengatakan nadinya berdenyut kencang, nadi klien lebih dari
100 kali/menit, Hb : dibawah 10 gr/dl, status nutrisi biasanya klien mengatakan nafsu
makannya menurun, klien tidak dapat menghabiskan satu porsi makanannya, bunyi usus
klien terdengar hiperaktif, konjungtiva dan membran mukosa pucat, status neurosensori
biasanya klien mengatakan sakit kepala, klien tampak gelisah, nyeri/kenyamanan
biasanya klien mengatakan mengalami nyeri pada saat istirahat maupun aktivitas,
tampak sistem pernafasan biasanya klien mengatakan normal, klien tampak batuk,
respirasi rate diatas normal, status keamanan biasanya klien mengatakan tidak
mengalami demam, klien teraba hangat, suhu tubuh klien lebih 36,5oC.

- Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi keadaan umum tingkat kesadaran dan GCS pasien
biasanya compos mentis, sistem integumen kaji ada tidaknya luka lesi, bengkak, edema,
dan nyeri tekan, kepala kaji bentuk, apakah terdapat benjolan, apakah ada nyeri kepala,
leher kaji ada tidaknya pembesaran kelenjar teroid dan reflek menelan, muka : kaji
ekspresi wajah pasien, ada tidaknya perubahan fungsi maupun bentuk ada tidak lesi dan
edema, mata kaji konjungtiva anemis atau tidak (karena tidak terjadi perdarahan), mata
kanan sulit melihat, telinga kaji ada tidaknya lesi, nyeri tekan, dan penggunaan alat
bantu pendengaran, hidung kaji ada tidaknya deformitas dan pernapasan cuping hidung,
mulut dan faring kaji ada tidaknya pembesaran tonsil, perdarahan gusi, kaji mukosa
bibir pucat atau tidak, pemeriksaan dada pada paru-paru kaji pernapasan meningkat atau
tidak, kaji pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama, kaji ada tidaknya redup
atau suara tambahan, kaji ada tidaknya suara napas tambahan, pada jantung kaji ada
tidaknya iktus jantung, kaji ada tidaknya nadi meningkat, iktus teraba atau tidak, kaji
suara perkusi pada jantung, kaji ada tidaknya suara tambahan, abdomen kaji
kesimetrisan, ada atau tidaknya hernia, kaji suara peristaltik usus, kaji adanya suara
timpani, ada atau tidak nyeri tekan, ekstremitas atas kaji kekuatan otot, rom kanan dan
kiri, capillary refile, dan perubahan bentuk tulang ekstremitas bawah kaji kekuatan otot,
rom kanan dan kiri, capillary refile, dan perubahan bentuk tulang.

- Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang mencakup USG sering digunakan untuk melihat
pembesaran kelenjar getah bening, foto thorak digunakan untuk menentukan
keterlibatan kelenjar getah bening mediastina, CT- Scan digunakan untuk diagnosa dan
evaluasi pertumbuhan limfoma, pemeriksaan laboratorium (pemeriksaan Hb, DL,
pemeriksaan uji fungsi hati / ginjal secara rutin), laparatomi rongga abdomen sering
dilakukan untuk melihat kondisi kelenjar getah bening pada illiaka, para aortal dan
mesentrium dengan tujuan menentukan stadiumnya
IX. DIAGNOSA KEPERAWATAN
 Ansietas
 Nyeri Akut
 Resiko Jatuh
 Resiko Infeksi
X. PETA ANALISIS DATA DAN MASALAH KEPERAWATAN
No DATA MASALAH
Ds : Nyeri Akut
- Pasien mengatakan nyeri pada area mata

1 Do :
- Pasien terlihat meringis sambil memegang
area mata.
- Skala nyeri 2
Ds : Resiko Infeksi
- Pasien mengatakan sakit dan sedikit kebas
2 diarea sekitar mata
Do :
- Pasien menggaruk area sekitar area mata
3 Ds : Ansietas
- Pasien mengatakan cemas dan takut
Do
- Pasien terlihat khawatir dan cemas sebelum
operasi
Ds : Resiko Jatuh
- Pasien mengatakan sulit melihat saat
berjalan dikarekan sulit melihat
4
Do :
- Pasien terlihat sulit berjalan karena
penglihatan terganggu.
XI. INTERVENSI KEPERAWATAN
DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA INTERVENSI
No
KEPERAWATAN HASIL KEPERAWATAN
1 Nyeri Akut - Pasien mampu mengontrol - Identifikasi lokasi,
nyeri. karakteristik, durasi,
- Pasien mengatakan nyeri frekuensi, kualitas,
berkurang intensitas nyeri.
- Identifikasi skala
nyeri
- Kolaborasi
pemberian analgesik.
2 Resiko Jatuh - Pasien mengatakan - Periksa kesiapan dan
mampu berjalan dengan 1 kemampuan
mata tertutup menerima informasi
- Klien berlatih berjalan - Ajarkan cara
dengan mata tertutup memeriksa kondisi
sebelah kanan. kondisi luka atau
luka operasi.
- Anjurkan mengelola
antibiotik sesuai
resep.
- Anjurkakan
kecukupan nutrisi ,
cairan, dan istirahat
3 Ansietas - Pasien mampu mengontrol - Anjurkan rileks dan
rasa cemasnya. merasakan sensasi
- Pasien mengatakan cemas relaksasi.
mulai berkurang - Jelaskan tujuan,
manfaat, batasan,
dan jenis relaksasi
yang tersedia.
- Anjurkan
mengambil posisi
nyaman.
- Anjurkan sering
mengulangi atau
melakukan teknik
yang dipilih.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kanski JJ, Gout I, Sehmi K. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach. 6 ed. New
York: Elsevier; 2007.
2. Regillo C, Holekamp N, Johnson MW, Kaiser PK, Schubert HD, Spaide R, et al.
Peripheral retinal abnormalities. Retina and Vitreous. 12. Singapore: American Academy
of Ophthalmology 2011.
3. Group BRRDS. Incidence and epidemiological characteristics of rhegmatogenous retinal
detachment in Beijing, China. Ophthalmology. 2003;110(12):2413-7.
4. Ghazi N, Green W. Pathology and pathogenesis of retinal detachment. Eye. 2002;16(4):
411.
5. Regmatogen pada penderita Myopia di Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo
Perio2d0e1 6 O. ktober 2015- Maret
6. Khurana A. Comprehensive Opthalmology. 4 ed. India: New Age International; 2007.
7. Ideta H, Yonemoto J, Tanaka S, Hirose A, Oka C, Sasaki K. Epidemiologic
characteristics of rhegmatogenous retinal detachment in Kumamoto, Japan. Graefe's
archive for clinical and experimental ophthalmology. 1995;233(12):772-6.
8. Group BRRDS. Incidence and epidemiological characteristics of rhegmatogenous retinal
detachment in Beijing, China. Ophthalmology. 2003;110(12):2413-7.
9. D'amico DJ. Primary retinal detachment. New England Journal of Medicine.
2008;359(22):2346-54.
10. Brinton D, Brinton G. Preventive retinopexy and alternative retinal reattachment
techniques. In: Ryan SJ, editor. Retina. 3rd ed. St. Louis: Mosby; 2001. p. 2047-61.
11. Marmor M. Mechanisms of normal retinal adhesion. In: Ryan SJ, editor. Retina. 3rd ed.
St. Louis: Mosby; 2001. p. 1849-69.

Anda mungkin juga menyukai