Anda di halaman 1dari 43

MATERI I

ILMU PENGETAHUAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN HUBUNGAN DENGAN


ILMU PERUNDANG-UNDANGAN

Ilmu pengetahuan perundang-undangan tumbuh dan berkembang di Eropa


Kontinental sejak tahun tujuh puluhan. Hal itu disebabkan oleh sistem hukum yang dianut
disana, yaitu sistem hukum kodifikasi (kodified lawsystem). Perkembangan teori hukum
positif (legisme) yang lebih “mengedepankan” hukum yang disusun dan bentuk oleh badan
yang berwenang membentuknya (baik sifat legislatif yang berada pada legislatif atau pada
yudikatif) dari pada hukum yang berkembang dari kasus-kasus dan dibentuk oleh pengadilan.
Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan dialih bahasakan dari bahasa Jerman
Gesetzgebungswissenschaft, digunakan oleh Burkens Krems. Ilmu perundang-undangan
dialih bahasakan dari istilah Gesetzsgebungslehre yang digunakan oleh Peter Noll. Burkhardt
Krems menegaskan bahwa Ilmu Perundang-undangan (Gesetzgebungswissenschaft)
merupakan Ilmu Pengetahuan Interdisipliner mengenai pembentukan hukum oleh negara. Di
Belanda dikenal dengan wetgevingswetenschap, wetgevingsleer atau wetgevingskunde. Di
dalam literatur Inggris Ilmu Perundang-undangan disebut Science Of Lagislation.
Burkens Krems membedakan Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan
(Gesetzgebungswissenschaft) ke dalam dua bagian yakni:
1. Ilmu perundang-undangan (Gesetzsgebungslehre);
Ruang lingkup ilmu perundang-undangan (Gesetzsgebungslehre) yakni melakukan
perbuatan yang bersifat normatif mulai dari proses, metode dan teknik. Untuk lebih jelas
dijabarkan sebagai berikut:
a. Proses perundang-undangan (Gesetzgebungsverfahren) difahami sebagai bentuk
aktivitas membahas, menganalisis mulai dari proses pembentukan sampai
pengawasan dan pengujian peraturan perundang-undangan.
b. Metode Perundang-undangan (Gesetzgebungsmethode); difahami sebagai bentuk
aktivitas membahas, menganalisis, dan cara menemukan materi muatan (het
onderwerp) peraturan perundang-undangan.
c. Teknik Perundang-undangan (Gesetzgebungstechnik) difahami sebagai bentuk
aktivitas membahas dan menganalisis struktur bentuk peraturan perundang-undangan
mulai dari bentuk luar dan bagian-bagian esensial dari peraturan perundang-
undangan.

1
2. Teori Perundang - undangan (Gesetzsgebungstheorie).
Teori Perundang-undangan (Gesetzsgebungstheorie) merupakan titik awal melangkah
untuk memahami ilmu perundang-undangan. Hal ini didasarkan pada pendapat Bruggink
menyatakan bahwa setiap teori baru bisa dikatakan ilmu jika telah terpenuhi tiga syarat
utama yakni:
a. penetapan masalah (hipotesa),
b. metode, dan
c. pernyataan konsepsional (statement).

Istilah legal drafting memiliki makna luas yang berkekuatan hukum atau berakibat
hukum (legal effects), tidak hanya sebatas pembentukan draft peraturan perundang-undangan,
melainkan masuk dalam ruang lingkup hukum perdata materil dan perdata formil. Dalam
hubungan dengan legal drafting perdata materil seperti kontrak jual beli, sewa-menyewa,
penjam-meminjam, pemboronagan kerja, pemberian kuasa dan bahkan sampai pada
pembuatan kwiransi. Dalam hubungan dengan legal drafting perdata formil seperti surat
dakwaan, surat tuntutan ganti kerugian (gugatan), tuntutan jaksa, keputusan hakim dan
sebagainya. Karena itu berbagai produk legal drafting dari tiap tiga lembaga tersebut
dibedakan secara absolut berdasarkan bentuk dan sifatnya yakni:
a) perundang-undangan (wettlijk regeling);
b) peraturan kebijakan (beleidregels);
c) keputusan/penetapan (Beschikking).

Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan (Gesetzgebungswissenschaft) memiliki posisi


central dalam membentuk pemahaman untuk melakukan legal drafting, sehingga para pelaku
legal drafting memiliki arah dan panduan dalam membuat draf hukum. Oleh karenanya, Ilmu
Pengetahuan Perundang-undangan (Gesetzgebungswissenschaft) merupakan pengetahuan
dasar (besic knowledge), dan pengetahuan siap pakai bagi pelaku legal drafting.

2
MATERI II
"PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN,
SERTA CIRI-CIRI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN"

Istilah perundang-undangan dan peraturan perundang-undangan berasal dari kata yang


sama yaitu Undang-undang yang menujuk kepada jenis atau bentuk peraturan yang dibuat
oleh negara. Asal kata Undang-undang dari “Undang” yang mengalami perubahan struktur
kata (morfemis). Undang-undang dengan penambahan imbuhan per- dan akhiran –an
sehingga dapat dimaknai dengan kata benda (nomina) baik yang bersifat kebendaan atau
aktivitas, perilaku maupun benda itu sendiri dari hasil aktivitas atau perilaku. Oleh
karenanya, istilah “Undang” berkonotasi lain dari Undang-undang yang dimaksud dalam
konsteks penggunaan, karena “Undang” difahami sebagai panggilan, ajakan, peraturan dan
penghulu. Sedangkan Undang-undang difahami sebagai kumpulan atau susunan peraturan,
panggilan atau ajakan-ajakan yang dibentuk secara sistematis dengan teknik tertentu oleh
lembaga negara.
Seiring dengan pengertian di atas, Maria Farida Indrati Soeprapto mendefenisikan
istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving, Gesetzgebung) ke dalam dua kelompok
yakni sebagai nomina dalam arti aktivitas atau proses pembentukan dan nomina dalam arti
hasil aktivitas atau proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Nomina dalam arti
aktivitas atau proses pembentukan peraturan perundang-undangan dapat difahami
mulai dari proses awal pembentukan sampai pengawasan dan pengujian setiap levelitas
peraturan perundang-undangan mulai dari pusat sampai ke daerah. Sedangkan nomina
dalam arti hasil aktivitas atau proses pembentukan peraturan perundang-undangan
dapat difahami sebagai segala bentuk produk peraturan perundang-undangan mulai dari pusat
sampai daerah.
Menurut Amirudin Syarif ada tiga istilah yang dijumpai dalam berbagai referensi
yang membicarakan tentang pembentukan dan struktur hukum yakni:
a. Peraturan perundang-undangan, yang dialih bahasakan dari bahasa Belanda
wettelijkeregelingen.
b. Peraturan perundangan, yang dipergunakan dalam TAP MPRS Nomor XX tahun
1966 mengatur tata urutan perundang-undangan.
c. Perundang-undangan, yang dipergunakan dalam Konstitusi RIS bagian II dan
Undang-undadang Dasar Sementara (UUDS) 1950 Bab II.

1
Di Indonesia dikenal berbagai istilah berkenaan tersebut yaitu perundangan,
perundang-undangan, peraturan perundangan, peraturan perundang-undangan, dan peraturan
negara. Di Belanda dikenal dengan istilah Wet, wetgeving, wettelijke regels atau wettelijke
regeling(en). Istilah Wet merujuk kepada undang-undang tertulis yang difahami sebagai
undang-undang formal (wet in formale zain) dan undang-undang materil (wet in materiale
zin).
Dalam tata hukum dikenal adanya Undang-undang Formal tidak materil, Undang-
undang tidak formal yang materil, dan Undang-undang yang formal materil.
a. Undang-undang formal yang tidak materil adalah peraturan yang dibentuk dengan
persetujuan DPR dan pengesahan dari pemerintah (Presiden), tetapi isinya tidak
langsung mengikat kehidupan rakyat. Misalnya adanya Undang-undang tentang
APBN dan undang-undang tentang ratifikasi perjanjian dengan negara lain.
b. Undang-undang tidak formal tetapi materil ialah peraturan yang terbentuk tidak
dengan persetujuan DPR dan pengesahan pemerintah, seperti peraturan yang
dikeluarkan oleh Kepala Daerah, akan tetapi isinya langsung mengikat penghidupan
rakyat. Ini termasuk dalam pengertian perundang-undangan.
c. Undang-undang formal yang materil adalah undang-undang yang dibentuk atas
persetujuan DPR dan disahkan oleh Presiden, yang isinya mengikat kepada rakyat.
Istilah peraturan perundangan pernah digunakan dalam ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1996 sebagaimana tercantum dalam judul ketetapan tersebut yaitu Sumber
tertib hukum RI.

Istilah perundang-undangan dan peraturan perundang-undangan terjemahan dari


wettelijke regels, peraturan negara terjemahan dari staatsregeling. Peraturan Negara
difahami sebagai peraturan-peraturan tertulis yang diterbitkan oleh instansi resmi, baik dalam
pengertian lembaga atau pejabat tertentu yang meliputi: Undang-undang, Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Surat
keputusan dan Instruksi. Sedangkan yang dimaksud dengan Peraturan Perundangan adalah
peraturan mengenai tata cara pembuatan peraturan negara.
Amiroeddin Syarief menggunakan istilah Perundang-undangan dengan alasan bahwa
istilah tersebut lebih pendek dan oleh karenanya sangat ekonomis . Selain itu, istilah tersebut
pernah digunakan di dalam konstitusi RIS 1949 sebagaimana dimuat didalam pasal 51 ayat
(3) dengan rumusan “perundang-undangan federal” dan dalam UUDS 1950 sebagaimana
dimuat dalam bagian II Judul “Perundang-undangan dalam pasal 89 yang menyebut
2
kekuasaan perundang-undangan”. Penggunaan Istilah Perundang-undangan menurut penulis
lebih tepat secara bahasa menyatakan proses dan jenis atau bentuk peraturan hukum.
Peraturan perundang-undangan (wettelijk regeling) sebagai salah satu sumber hukum formal
tertulis mengandung tiga esensial yakni :
a. Sebagai norma hukum (rechtsnormen) yang difahami sebagai objek berprilaku dan
objek benda karya tertulis yang disusun secara sistematis.
b. Sebagai norma berlaku keluar (naar buiten warken) yang dapat difahami bahwa
hukum mengatur klasifikasi organ negara dan masyarakat dan hubungan-
hubungannya, sehingga hukum dijalankan dan ditegakkan di luar diri hukum atau di
dunia kenyataan.
c. Norma hukum bersifat umum dalam arti luas dapat difahami bahwa norma hukum
ditetapkan dan diharuskan untuk semua subjek yang diatur di dalam hukum dan bukan
untuk individu.
Sebagaimana disinggung dimuka, bahwa perundang-undangan (legislation,
wetgeving, Gesetzgebung) dapat difahami sebagai nomina dalam arti aktivitas atau proses
pembentukan dan nomina dalam arti hasil aktivitas atau proses pembentukan peraturan
perundang-undangan. Oleh karenanya, Peraturan perundang-undangan (Undang-undang
dalam arti materil) dapat difahami sebagai keputusan tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat
berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat dan mengikat secara umum.
Bagir Manan dan Kuntana Magnar memberikan pengertian peraturan perundang-
undangan ialah setiap putusan tertulis yang dibuat, ditetapkan dan dikelaurkan oleh lembaga
dan atau pejabat negara yang mempunyai dan menjalankan fungsi legislatif sesuai dengan
tata cara yang berlaku. Ciri-ciri peraturan perundang-undangan tidak bisa terlepas dari
teori jenjang norma Hans Kelsen (Strufentheorie) dan jenjang norma Hans Nawiasky
(die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen) dan teori perundang-undangan Jhon
Austin dan Jeremy Bentham (Theory of legislation). Dalam kedua teori tersebut
dinyatakan bahwa produk hukum harus dibentuk oleh lembaga negara yang berwenang
sebagai bentuk otoritas. Dalam teori jenjang norma (Strufennaubau Theorie) dinyatakan
bahwa kesatuan norma hukum berbentuk berlapis-lapis dan berkelompok-kelompok dalam
suatu ikatan hierarki. Karena itu, ada aturan yang tertinggi dibentuk dipusat dan aturan
terendah dibentuk di daerah.
A hamid S Attamimi memberi batasan peraturan perundang-undangan adalah
peraturan negara ditingkat pusat dan ditingkat daerah yang dibentuk berdasarkan kewenangan
perundang-undangan baik bersifat atribusi maupun bersifat delegasi. Lainnya A hamid S
3
Attamimi memberikan batasan perundang-undangan sebagai aturan hukum yang dibentuk
bedasarkan levelitas atau tingkatan lembaga yang masing-masing diberi identitas dengan
nomenklatur tertentu sehingga dapat difahami masing-masing peraturan tersebut sebagai
bentuk tertentu dan prosedur tertentu, dan materi muatannya disertai sanksi yang berlaku
umum serta mengikat rakyat.
TJ Buys menyatakan sebagai peraturan-peraturan yang mengikat secara umum
(algemeen bindende voorschriften). Pendapat tersebut oleh JHA Logemen ditambah dengan
“naar buiten werkendevoorschiften”, sehingga peraturan perundang-undangan merupakan
peraturan yang mengikat secara umum dan berdaya laku ke luar (algemeen bindende en naar
buiten werkendevoorschiften). Pengertian “berdaya laku ke laur” adalah bahwa peraturan
tersebut diajukan kepada masyarakat (umum) dan tidak ditujukan ke dalam pembentuknya.
Di dalam hukum posistif Indonesia yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
peradilan tata usaha negara, pada pasal 1 butir 2 terdapat rumusan mengenai peraturan
perundang-undangan, yaitu semua peraturan perundang-undangan bersifat mengikat secara
umum yang dikeluarkan oleh badan perwakilan rakyat bersama pemerintah, baik ditingkat
pusat ataupun daerah, serta semua keputusan badan atau pejabat tata usaha negara baik
ditingkat pusat ataupun ditingkat daerah yang juga bersifat mengikat secara umum.
Jika didasarkan pada batasan dan pengertian peraturan perundang-undangan
sebagaimana dikemukan di atas dapat difahami sifat-sifat atau ciri-ciri peraturan perundang-
undangan yaitu:
1. Berupa keputusan hukum tertulis yang dibentuk dengan proses tertentu (khusus dan
spesifik);
2. Berupa keputusan hukum tertulis yang mempunyai bentuk, format dan simbol bahasa
tertentu. Karena itu, format dan simbol bahasa perundang-undangan (wettlijk
regeling) tidak sama dengan peraturan kebijakan (beleidregels) dan
keputusan/penetapan (Beschikking);
3. Berupa keputusan hukum tertulis yang terhimpun dalam kesatuan hirarki norma atau
sistem norma hukum mulai dari pusat sampai daerah. Karena itu sistem norma
berbentuk berlapis-lapis dan berkelompok-kelompok;
4. Berupa keputusan hukum tertulis yang dibentuk, ditetapkan dan dikeluarkan oleh
pejabat yang berwenang, baik ditingkat pusat atau daerah. Yang dimaksud dengan
pejabat yang berwenang adalah pejabat yang ditetapkan berdasarkan ketentuan yang
berlaku, baik berdasarkan atribusi ataupun delegasi.

4
5. Berupa keputusan hukum tertulis yang berisi kumpulan aturan yang memiliki materi
muatan tentang Perintah (Gebod), Larangan (Verbod), Pengizinan (Toestemming),
Pembebasan (Vrijstelling) dan anjuran karena itu sifatnya mengatur (regulerend),
tidak bersifat sekali jalan (einmahlig).
6. Perauran perundang-undangan mengikat secara umum (karena ditujukan kepada
umum) artinya tidak ditujukan kepada seseorang atau individu tertentu (tidak bersifat
individual).

5
MATERI III
SISTEM HUKUM DAN TRADISI HUKUM

Istilah “sistem” berarti suatu kesatuan atau kebulatan yang terdiri bagian-bagian,
dimana bagian yang satu dengan bagian lainnya saling berkaitan tidak boleh terjadi konflik,
tidak boleh tumpang tindih (overlapping). Bagian-bagian dalam satu kesatuan yang utuh
saling berkaitan, saling mendukung dan tidak boleh saling bertentangan. Pengertian system
hukum dalam makna luas (in ruime zin) dan yang sempit atau terbatas (in enge zin). Jika
istilah “sistem” diderivasi secara polisemik kepada “hukum” maka hukum disebut sebagai
sistem konseptual, karena sistem merujuk pada suatu yang keseluruhan yang saling berkaitan.
Karena itu, hukum sebagai sistem konseptual akan menggambarkan kehidupan rohani
manusia, namun direfleksikan secara indrawi melalui simbol bahasa atau ekspresi bahasa,
sehingga nyata dilihat. Aktivitas seperti tersebut sebagai produk dari fikiran rasional atau
kesadaran hukum manusia.
Jadi, Sistem digabungkan dengan hukum maka menjadi sistem hukum, yang dapat
diartikan secara sempit, ialah semua perangkat hukum yang berlaku, baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis, baik produk Pemerintah Pusat maupun produk Pemerintah
Daerah. Sedangkan mengenai system hukum dalam arti luas yakni semua instrumen yang
dapat mendukung mulai dari pembentukan, pelaksanaan dan penegakan hukum.
Bruggink mendefenisikan sistem hukum secara yuridik, memberi tiga syarat sebagai
batasan yang saling berkaitan dalam unsur sistem hukum yakni :
1. Unsur ideal, unsur yang terbentuk oleh sistem makna dari yang terdiri dari atas
aturan-aturan, kaidah-kaidah, dan asas-asas hukum. Unsur sistem hukum ini dari
persfektif para pelaku hukum yang memahami sistem sebagai sistem makna dari
hukum dan berbeda dari sosiolog dan Psikolog;
2. Unsur operasional yang dapat difahami sebagai keseluruhan organisasi-organisasi dan
lembaga-lembaga yang didirikan dalam aturan-aturan hukum, yang merupakan
pengemban jabatan-jabatan dan individu-individu yang berfungsi mengoperasikan
organisasi suatu lembaga.
3. Unsur aktual, dapat difahami keseluruhan putusan-putusan atau perbuatan-perbuatan
konkret yang berkaitan dengan sistem makna dari hukum baik dari institusi atau
lembaga maupun dari masyarakat yang terdapat dalam sistem itu.

1
Lawrence M. Friedman mendefenisikan sistem hukum dari perspektif sosiologis,
membagi bagian-bagian yang saling berhubungan dan berkatian dalam kesatuan sistem
hukum ke dalam tiga bagian yakni :
1. Legal structure (struktur hukum)
Yaitu tingkatan atau susunan hukum, pelaksana hukum, peradilan, lembaga-
lembaga hukum, dan pembuat hukum.
2. Legal substance (substansi hukum)
Yaitu hakikat dari isi yang dikandung dalam peraturan perundang-undangan.
Substansi hukum mencakup semua aturan hukum, baik berupa aturan yang tertulis
maupun yang tidak tertulis.
3. Legal culture (budaya hukum)
Merupakan bagian-bagian dari budaya pada umunya, kebiasaan-kebiasaan, opini
warga masyarakat dan pelaksana hukum, cara-cara bertindak dan berpikir atau bersikap,
baik yang berdimensi untuk membelokkan kekuatan-kekuatan social menuju hukum atau
menjauhi hukum. Budaya hukum merupakan gambaran dari sikap perilaku terhadap
hukum, serta keseluruhan factor-faktor yang menentukan bagaimana system hukum
memperoleh tempat yang sesuai dan dapat diterima oleh warga masyarakat dalam
kerangka budaya masyarakat.

Jika disimpulkan defenisi sistem hukum perspektif yuridik dengan dengan perspektif
sosiologis maka dapat difahami bahwa argumen sistem hukum dari perspektif yuridik
mengkehendaki bahwa norma hukum atau unsur ideal yang menciptakan atau melegitimasi
keberadaan organisasi lembaga negara dan organisasi lembaga negara berkewajiban atau
mengikatkan diri mengaktualisasi norma hukum, sebagaimana ditegaskan dalam selbts
bidungtheorie. Aktualisasi akan mempengaruhi terbentuknya pembaharuan hukum. Jadi
sistem dari perspektif yuridik mengkehendaki pemahaman hukum harus difahami sebagai
sifat keniscayaan normatif yang sepenuhnya merupakan kategoris imperatif yang
mengandung kebenaran koherensi.
Sedangkan sistem hukum dari perspektif sosiologis menghendaki bahwa keberadaan
organisasi lembaga negara mempengaruhi terbentuknya norma hukum dan norma hukum
mepengaruhi terbentuknya budaya hukum. Sikap-sikap dalam sosial dan budaya hukum yang
diabstraksi oleh organisasi lembaga negara akan mempengaruhi terbentuknya keputusan-
keputusan hukum baru. Jadi sistem dari perspektif sosial harus difahami sebagai sifat

2
keniscayaan kebijaksanaan organisasi lembaga negara yang sepenuhnya mengandung
kebenaran pragmatis.
Sistem hukum yang dioperasikan dalam ruang dan waktu yang sangat luas atau global
difahami sebagai sistem hukum di dunia yang diderivasi dan dioperasikan menjadi sistem
hukum negara-negara. Dalam hal ini, Peter de Cruz, seorang ahli ilmu hukum Staffordshire
University mengkomparasikan tiga sistem hukum dunia yakni common law, civil law dan
socialist law dan lalu mencoba membedakan antara istilah ‘tradisi hukum’ dengan istilah
‘sistem hukum’. Klasifikasi sistem hukum di dunia ke dalam tiga tradisi hukum atau keluarga
hukum yakni common law, civil law dan socialist law.
Istilah tradisi hukum didefenisikan sebagai suatu kumpulan sikap yang telah
mengakar kuat dan terkondisi secara historis terhadap hakikat hukum, aturan hukum dalam
masyarakat dan ideologi politik, organisasi serta penyelenggaraan sistem hukum. Sedangkan
istilah sistem hukum didefenisikan dengan pengoperasian atau menjalankan sekumpulan
institusi, prosedur, dan peraturan-peraturan hukum.
Tradisi hukum (law tradition), yakni sikap kultural-politis yang mendasari politik
hukum (legal policy) dan tradisi ini lahir sebagai hasil perjalanan sejarah yang diambil oleh
Negara yang bersangkutan. Tradisi hukum adalah salah satu subsistem dalam sistem hukum,
sistem hukum merupakan subsistem pula didalam system nasional. System nasional yang
dimaksud dalam tulisan ini nama lengkapnya adalah Sistem Pengelolaan Kehidupan Nasional
(Managerial System of National Life) yang meliputi manajemen untuk semua bidang
kehidupan bangsa seperti social politik, social ekonomi, social budaya dan Hankamnas,
dengan segala subsistem di bidangnya masing-masing.
Melalui Kongres Hukum Komperatif Pertama (First International Congress of
Comperatif Law) tahun 1900 di Paris diusahakan mencari formulasi penyatuan sistem hukum
dunia terutama pada bagian-bagian subtansial. Kegiatan tersebut mengarah pada
pengklasifikasian sistem hukum dunia ke dalam keluarga hukum. Esmein mengklasifikasi
sistem hukum ke dalam lima keluarga hukum yakni: Romanistik, Jermanistik, Anglo Saxon,
dan Islamik. Klasifikasi di atas tidak didasarkan pada kekhususan subtansi sebagai indikator.
Oleh karenanya, David dan Brierley mengklasifikasi sistem hukum yang didasarkan pada
teknik hukum dan idiologi sehingga keluarga hukum diklasifkasi menjadi Romano-
Germanik, Common Law, Sosialis Law, Islamik, Hindu, Budha dan Yahudi. Kelompok
tradisi hukum di dunia, yaitu :Tradisi hukum continental (Civil Law Tradition), Tradisi
hukum Anglo-Saxon (Common Law Tradition), Tradisi hukum sosialis (Socialist Law

3
Tradition), Tradisi hukum gabungan antara unsur 3 tradisi tersebut (kombinasi), Tradisi
hukum menurut ajaran agama Islam (The Moslem Legal Tradition).
Pertama, Sistem hukum Eropa Kontinental disebut civil law, yang berkembang
dinegara-negara Eropa seperti di Prancis, Jerman dan Belanda. Sistem hukum Eropa
Kontinental lebih mengutamakan perundang-undangan sebagai sendi utamanya, dalam sistem
ini hukum lebih banyak dibentuk melalui peraturan perundang-undangan bahkan ada
kecendrungan untuk melakukan Kodifikasi, Unifikasi atau sekurang-kurangnya dilakukan
kompilasi hukum. Itulah sebabnya sistem hukum ini disebut juga “codifiet legal system” atau
sistem hukum Kodifikasi. Dengan ditetepkannya hukum dalam perundang-undangan maka
kasus-kasus yang terjadi disesuaikan dengan perinsif-perinsif umum yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan pada sisi lainnya melalui peraturan perundang-undangan
dapat dilakukan “social enginering” atau “social modification” hal itu berkaitan dengan slah
satu fungsi hukum yaitu “law as a tool of social enginering” atau hukum sebagai sarana
pembaharuan, dalam hal inilah hukum berfungsi secara direktif.
Pada sistem hukum Eropa Kontinental disebut civil law, bertumpu konsep negara
hukum rechtsstaat (negara berdasarkan atas hukum) yang mana konsep ini pertama kali
diperkenalkan Immanuel Kant tentang konsep negara hukum arti sempit (formal) yang ingin
menempatkan fungsi hukum pada negara untuk melindungi hak-hak individu. Oleh sebab
itulah, konsep negara ini disebut tumbuh dan berkembang dari geist liberalisme, dan akhirnya
disebut negara hukum formal dengan karakteristik utama yang diberikan F.J Stahl yakni :
1) Adanya jaminan Hak Asasi Manusia;
2) Penyelenggaan negara berdasarkan trias politika (pemisahan kekuasaan);
3) Pemerintahan didasarkan pada undang-undang (wetmatigheid van het bestuur);
4) Adanya peradilan administrasi Kedua,

Kedua, Sistem hukum Anglo Saxon disebut common law, berkembang di negara-
negara bekas kolonial Inggris seperti: Amerika Serikat, Malaysia, Canada, Australia dan lain
sebagainya. Ciri khas dari sistem hukum ini, memulai penegakan hukum dari kasus-kasus
yang konkrit untuk kemudian ditarik asas-asas hukum dan kaedah-kaedah hukum umum.
Dengan demikian putusan-putusan hakim (yurisprudensi) menjadi tolak ukur dalam menilai
suatu kasus yang lahir kemudian. Putusan hakim menajdi sendi utama dalam pembentukan
hukum. oleh karena berangkat dari kasus-kasus yang konkrit maka sistem ini disebut juga
“case law system”. Sistem hukum Anglo Saxon disebut common law bertumpu negara
hukum yang disebut The Rule of Law (negara berdasarkan hukum), yang merupakan konsep
4
negara hukum dari arti luas. Negara hukum ini merupakan pergeseran asas legalitas menjadi
lebih longgar yang dinamika penalarannya dimulai dari wetmatigheid van het bestuur ke
rechtsmatigheid van het bestuur dan ke doelmatigheid van het bestuur.
A.V Dicey mengemukakan tiga karakteristik dari negara hukum The Rule of Law
yakni :
1) Supermasi hukum absolut sebgai dominasi hukum dalam negara
2) Persamaan dihadapan hukum (equality before the law);
3) Hak-hak individu dijamin konstitusi dan dapt ditegakkan hakim dipengadilan.

Ketiga, Gabungan dari beberapa sistem hukum dengan teknik transplantasi atau
konvergensi dapat disebut sebagai “mixed system”. Sistem hukum seperti ini merupakna
usaha mengambil jalan tengah dan mengambil sisi terbaik dari sistem hukum yang ada dan
disatukan kedalam sistem hukum negaranya yang akan disempurnakan sehingga menjadi
bentuk sistem hukum baru. Sebenarnya sistem hukum bentuk ini dapat diidentifikasi sistem
hukum yang paling dominan dipergunakan dengan mengidentifikasi bentuk-bentuk subtansi
operasional sistem hukumnya. Contoh sistem hukum Indonesia disebut sistem hukum
Pancasila bahwa menurut Mahfud MD, berbentuk prismatik yang ditopang sisi-sisi terbaik
oleh empat sistem hukum yakni: Civil Law, Common Law, Hukum Adat dan Hukum Agama.
Sebagai bahan tinjauan bahwa metode penalaran negara hukum berbentuk prismatik
inkoheren jika ditunjau dari bagunan simbolik metode penalaran Pancasila sebagai
Staatfundmentalnorm yang berdampak pada refleksi simbolik derevatif norma.
Keempat, Socialist Law Tradition (sistem hukum sosialis) dapat difahami sebagai
bentuk Sistem hukum dari negara-negara yang pemerintahannya secara resmi memandang
negara tersebut sebagai sosialis atau bergerak dari kapitalisme menuju sosialisme, dan
menganggap sebuah masyarakat komunistik sebagai tujuan puncaknya. Hukum digunakan
sebagai sarana dalam merencanakan dan mengorganisasikan struktur ekonomi dan sosial
tersebut, dan ia hanya sekedar bagian dari struktur ideologis yang mengontrol realitas materi
dari sarana produksi, ia ditentukan dan didefinisikan dalam kaitannya dengan fungsi
politisnya. Bahwa seluruh cita hukum berkaitan dengan negara dan karena itu merupakan
sarana dengan mana mereka yang mengawasi alat-alat produksi tetap mengawasi mereka
yang dicabut hak miliknya. Dengan berpindahnya pemilikan alat-alat produksi ke tangan
masyarakat, individu akan dilibatkan, seperti halnya negara dengan hukum, yang dibenarkan
hanya oleh kebutuhan dengan paksaan.

5
Fitur-fitur sebagai ciri khas hukum sosialis sebagai antara lain :
1. Hukum Sosialis diprogramkan untuk lenyap secara perlahan-lahan bersamaan dengan
hilangnya hak kepemilikan privat dan kelas-kelas sosial serta transisi menuju sebuah
tatanan sosial komunistik;
2. negara-negara didominasi oleh sebuah partai politik tunggal;
3. subordinasi (tatanan kelas kedudukan) untuk menciptakan sebuah tatanan ekonomi
baru dimana dalamnya hukum privat diabsorbsi oleh hukum publik;
4. hukum sosialis memiliki sebuah karakter agama palsu (pseudo religius) ;
5. menjalankan pemerintahan bersifat prerogatif dari pada sifat normatif.

Kelima, The Moslem Legal Tradition (tradisi hukum menurut ajaran islam) dalam
kenyataan negara-negara islam banyak dijumpai mempraktekkan berbagai macam variasi
atau kombinasi dari ciri-ciri sistem hukum yang ada didunia disamping hukum islam. Begitu
juga dengan negara-negara yang dominan masyarakatnya memeluk agama lain. Tidak ada
negara di dunia benar-benar menerapkan pola ketatanegaraan agamanya secara dominan
dalam negaranya kecuali islam. Karena itu sistem hukum islam dimasukkan kedalam
klasifikasi sistem hukum yang berpengaruh dalam negara-negara yang ada di dunia. Sistem
hukum islam dapat difahami sebagai suatu sistem kaidah-kaidah yang didasarkan pada wahyu
Allah SWT dan Sunnah Rasul mengenai tingkah laku mukalaf (orang yang sudah dapat
dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini, yang mengikat bagi semua
pemeluknya.Sumber-sumber hukum islam Alquran, Hadist, ijma’ dan Qiyas.
Sistem pemerintahan negara Indonesia sebelum amandemen UUD 1945 akan terlihat
jelas sangat dominan mempengaruhi prosedur dan peraturan hukum, hal itu dinyatakan dalam
penjelasan UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan atas
hukum (rechtsstaat) bukan berdasarkan atas kekuasaan (machtsstaat). Akan tetapi karena
pengabaian hukum, penyalahgunaan hukum telah membuat gelombang reformasi di seluruh
Indonesia semakin besar dan akhirnya bermuara pada MPR membentuk Panitia Ad Hoc
untuk merumuskan perubahan pundamental sebagaimana tuntutan reformasi tersebut. Adanya
usaha untuk memahami hukum secara komprehensif sebagai suatu sistem yang terintegrasi
sangat penting dilakukan pada masa itu. Hukum harus difahami sebagai suatu sistem mulai
dari keseluruhan elemen, komponen, hirarki dan aspek-aspek bersifat sistematik dan saling
berkaitan satu sama lain dalam kerangkan negara hukum yang akan dimuat dalam UUD

6
1945. Strategi tersebut tidak lain adalah untuk pembangunan hukum ataupun pembangunan
nasional untuk mewujudkan gagasan negara hukum Rechtsstaat dan The Rule of Law.
Penegasan Indonesia negara rechtsstaat bukan machtsstaat, yang telah diatur dalam
Penjelasan UUD 1945, telah diangkat dan dimasukkan ke dalam batang tubuh UUD 1945
perubahan menjadi “Indonesia adalah Negara Hukum”, sebagai konsekwensi setiap sikap,
kebijakan, dan prilaku alat negara dan penduduk harus berdasarkan dan sesuai hukum. Yang
memimpin dalam penyelenggaraan negara adalah hukum (nomos) itu sendiri sesuai dengan
prinsip “The Rule Of Law”, and not of Man. Prinsip supermasi hukum dan kedaulatan hukum
itu sendiri pada pokoknya berasal dari kedaulatan rakyat.
Hasil dari pembahasan yang dilakukan MPR maka dilakukan penetapan amandemen
ke tiga 9 November 2001 Pasal 1 UUD 1945 berubah menjadi :
1. Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik
2. Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
3. Negara Indonesia adalah negara hukum.

Menurut Mahfud MD, sistem hukum Indonesia pasca amandemen ke-tiga UUD 1945
dinamakan Sistem Hukum Pancasila yang memakai ‘konsep prismatik’, yakni konsep yang
mengambil segi-segi yang terbaik dari dua konsep yang bertentangan (antara Rechtstaat dan
The Rule Of Law) yang kemudian disatukan sebagai konsep tersendiri sehingga dapat selalu
dapat diterapkan sesuai kehidupan masyarakat Indonesia dan setiap dinamikanya. Sistem
hukum Pancasila berbeda jauh dengan sitem hukum Eropa Kontinental dan Anglo Saxon
karena sistem hukum Pancasila merupakan integratif hukum secara besar-besaran antara
sitem hukum Eropa Kontinental dan Anglo Saxon yang mana integrasinya dengan cara
mengambil segi-segi terbaik dari Rechtstaat (Eropa Kontinental) dan The Rule Of Law
(Anglo Saxon) yang di dalamnya ada pertautan prismatik dan integratif prinsif kepastian
hukum dan keadilan hukum substansial. Sedangkan dalam sistem hukum Eropa Kontinental
menekankan pada civil law, legisme, adminstrasi, kepastian hukum dan hukum-hukum
tertulis yang mana negara hukumnya disebut Rechtstaat. Dan dalam sistem hukum Anglo
Saxon hanya menekankan pada peranan yudisial, common law, dan subtansi keadilam yang
mana negara hukumnya disebut The Rule of Law.
Dalam kenyataannya pelaksanaan sistem hukum Pancasila masih tercari-cari bentuk
metode penalaran logis, dimana Indonesia masih mencari bentuk konstitusionalisme yang
baik untuk dirinya sendiri, sehingga terjadi peristiwa pergeseran ketatanegaraan melalui
perubahan konstitusi yang telah dimulai dari zaman orde lama dan sampai reformasi. Di
7
zaman reformasi yang serba transparan dan terbuka ini masih kencang menghembuskan
perubahan-berubahan tersebut.
Oleh karena itu, penulis menyatakan bahwa pelaksanaan Sistem hukum Indonesia
sebelum dan sesudah reformasi masih dalam ambiguitas metode penalaran. Ranah ambiguitas
sebelum reformasi berada pada bidang dealektika idea rechtsstaat yang berdasarkan atas
hukum yang menjunjung tinggi kepastian hukum bergeser menjadi otoritarian. Politik hukum
kodifikasi dan unifikasi tidak bisa terlepas dari ajara hukum empiris dimana hukum sebagai
alat rekayasa dan perubahan sosial (law is a tool social engineering). Muncul bentuk politik
hukum kodifikasi dan unifikasi dalam negara hukum rechtsstaat pada mulanya merupakan
propaganda politik hukum modern yang dilakukan Belanda untuk menjamin dan sekaligus
menembus hak dipertuan (beschikkingsrecht) hukum di nusantara. Lama-kelamaan politik
hukum tersebut mepengaruhi pola fikir pendiri bangsa sehingga menjadi pintu untuk
memperjuangkan kemerdekaan. Oleh karenanya, tidak bisa disangkal bahwa, sistem
Indonesia memiliki spirit (geist) sistem hukum penjaja Belanda yang menganut sistem hukum
Eropa Kontinental.
Pada aplikasinya dapat dilihat bahwa metode penalaran dalam sistem hukum tersebut
menjadi sendi utama dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Skematis “politik
hukum” tersebut dapat difahami sebagaimana tertuang dalam GBHN Tahun 1973. Dalm Bab
IV yang berjudul Pola Umum Pelita Kedua Bgian A Pragrap c yang berjudul bidang politik,
Aparatur peemerintah, Hukum dan hubungan luar negeri menyatakan bahwa adanya
peningkatan dan penyempurnaan Hukum Nasioanal dengan antara lain mengadakan
pembaharuan. Kodifikasi dan Unifikasi hukum dibidang-bidang tertentu dangan jalan
memperhatikan kesadaran hukum di dalam masyarakat. Di dalam GBHN-GBHN selanjutnya
kebijakan seperti itu semakin tersamar (implisit). Di dalam GBHN 1993, walaupun bidang
hukum dijadikan bagian tersendiri, kebijakan tersebut dapat difahami sebagai pembentukan
hukum diselenggarakan melalui proses secara terpadu. Pelaksanaan demokratis bersarkan
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, serta menghasilkan produk hukum hingga kepada
peraturan tingkat pelaksanaannya.
Ranah ambiguitas metode penalaran sistem hukum Indonesia setelah reformasi
menurut penulis berada pada tanda yang menyimbolkan puncak berhukum yang mengarah
pada kepastian hukum dan keadilan hukum akan inkoheren jika ditinjau dari bangunan
simbolik metode penalaran Pancasila sebagai Staatfundmentalnorm yang berbentuk piramid
(limas) maka inkoheren ini akan berdampak pada refleksi simbolik derevatif atas sistem
norma. Dua bidang istilah ini tetap menjadi bentuk wacana yang saling kejar mengejar dan
8
dahului mendahului. Pola pemahaman ini tersimpan dalam mindset penegak hukum sehingga
selalu difahami bahwa kebenaran tertinggi dalam penegakan hukum adalah pengakuan secara
absolut salah satu dari bidang tersebut. Setiap bentuk negara hukum akan mempengaruhi
derivasi bentuk-bentuk norma hukumnya.

9
MATERI III
SISTEM NORMA DAN PERKEMBANGAN SISTEM NORMA DI INDONESIA

Istilah norma diserap dari bahasa Yunani “nomos” diartikan aturan untuk menjadi
petunjuk hidup dunia riil. Istilah norma dalam bahasa Arab disebut “kaidah”, dalam bahasa
Inggris disebut “Norm”. Norma diartikan sebagai pedoman, patokan atau aturan untuk
bertindak dan bertingkah laku dalam bahasa Indonesia. Secara historis, istilah “nomos”
(hukum) menurut Protogoras merupakan suatu eksponen sofis yang bisa tampil dalam bentuk
kebiasaan-kebisaan dan juga dalam bentuk aturan-aturan tertulis yang disebut UU.
Manusia adalah makhluk sosial, zoon politicon demikian ujar Aristoteles. Manusia
tidak hidup terasing dari manusia lainnya, antara manusia yang satu dengan manusia yang
lainnya saling memerlukan. Manusia adalah satu kesatuan sosial dengan yang lainnya dan
merupakan suatu komponen dari suatu sistem sosial. Adanya faktor kebutuhan baik rohani
ataupun jasmani menyebabkan manusia harus hidup dalam lingkungan sosial yang diatur oleh
norma-norma yang terus direkayasa sesuai perkembangan zamannya. Masyarakat hukum
dapat difahami sebagai suatu masyarakat dapat menentukan hukumnya sendiri untuk
mengikatkan dirinya. Keluarga (somah) sebagai masyarakat hukum terkecil, dan masyarakat
hukum terbesar adalah Negara. Hans Kelsen menyatakan bahwa Negara (state) dapat
difahami sebagai organisasi masyarakat politik yang diatur hukum (a political society
organized by law). Jadi mayarakat dan hukum merupakan dua unsur dalam negara yang tidak
dapat dipisahkan. Pernyataan tersebut dapat difahami berdasarkan pernyataan Cicero, ubi
societas ibi ius, dimana ada masyarakat disana ada hukum. Dalam pergaulan hidup, manusia
memerlukan norma atau kaidah yaitu suatu yang diperlukan dalam pergaulan hidup yang
memberikan arahan kepada manusia bagaimana ia harus hidup agar kepentingan bersama
dalam kesatuan sosial dapat terjamin. Norma menjamin adanya tata tertib norma atau kaidah,
yaitu patokan atau ukuran sebagai pedoman bagi manusia dalam berprilaku dan bertindak
dalam hidupnya.
Pada garis besarnya norma dibedakan menjadi norma etika dan norma hokum. Norma
etika meliputi norma susila, norma agama dan norma kesopanan. Pada dasarnya norma etika
datang dari dalam diri manusia itu sendiri, yaitu berupa hasrat untuk hidup pantas, untuk
hidup seyogyanya. Walaupun demikian tidak jarang norma etika merupakan norma yang
datang dari luar misalnya datang dari tuhan, yakni norma agama yang diajarkan melalui
Rasul. Kadang-kadang kaidah itu lahir karena adanya hubungan manusia dengan manusia,
karena hidup manusia mempunyai dua dimensi yaitu dimensi hidup pribadi dan dimensi
1
hidup antar pribadi. Jadi ada kaidah yang berkaitan dengan kehidupan pribadi manusia
(kehidupan interen) seperti kaidah kepercayaan atau agama. Dan ada juga kaidah yang
berkaitan dengan kehidupan antar pribadi, termasuk dalam hal ini adalah norma susila, norma
kesopanan, sebagian norma agama, dan norma hukum.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka kaidah-kaidah yang ada dapat digolongkan
dalam :
a. Kaidah kepercayaan atau disebut juga kaidah agama yaitu untuk mencapai kesucian
hidup beriman.
b. Kaidah kesusilaan atau moral yang tertuju pada kebaikan hidup pribadi atau
kebersihan hati nurani dan akhlak.
c. Kaidah sopan santun yang maksudnya adalah untuk kesedapan hidup bersama
(pleasant living together)
d. kaidah hukum yang tertuju pada kedamaian hidup bersama (peaceful living together).

Ajaran tentang asal usul terciptanya norma hukum modern pertama kali diperkenalkan
Immanuel Kant dalam bukunya “Critique of Praktical Reason” dalam rangka menganatomi
akal yang dibagi atas dua yakni : akal murni dan akal praktis. Akal murni merupakan media
memahami “ada” atau materi yakni bidang “sein”, dan akal praktis merupakan media
memahami “harus” atau form (bentuk) yakni bidang “sollen”. Norma-norma dipandang
“formal” karena sifat mewajibkan yang masuk dalam bidang kategoris “imperatif”. Materi
adalah isi dari form-form (bentuk). Oleh karena itu, materi muatan norma harus memiliki
prinsip “keharusan” (ougt to do). Pembagian materi dan formal oleh Kant menjadi dasar
membentuk klasifikasi sumber hukum modern.
Apa yang dirintis abad ke-18 dilanjutkan oleh Neo-Kantian antara lain Hans Kelsen,
Gustav Rudburg dan lainnnya. Hans Kelsen memandang bahwa bentuk-bentuk sifat norma
tersebut mengandung makna “keharusan” yang difahami sebagai perintah dan menjadi fungsi
satu-satunya norma. Norma dalam kata sifat (adjektif) bukan suatu keharusan (ougt to do)
tetapi sesuatu “ada” dan Nyata (“is”), mengandung makna bahwa sesuatu adalah normal jika
ia biasanya sungguh-sungguh terjadi. “Ada” (“is”) mengandung makna harus (must) yang
mengekspresikan keniscayaan kausalitas. Akan tetapi, keharusan (ougt to do)
mengekspresikan keniscayaan normatif yang digunakan bukan hanya sebagai kewajiban akan
tetapi sebagai sebuah fakta hukum (rule of fact), bahwasanya dapat difahami sebagai validitas
suatu norma merupakan prediksi yang akan terjadi (to happen as a rule), juga menjadi apa

2
yang seharusnya terjadi, artinya apa yang diperintahkan dalam hukum terhadap subjek maka
itulah yang akan dilakukan oleh subjek.
Hans Kelsen menegaskan bahwa dalam “Pure Theory of Law” ditujukan pada
subtansi yakni “objeknya”, untuk menjawab persoalan apa hukum itu dan bagaimana hukum
dibuat, bukan berbicara apa seharusnya dan bagaimana seharusnya hukum dibuat. Oleh
karenanya, sebuah norma hukum dikatakan sah jika norma dibuat dengan cara tertentu dan
dibuat dengan aturan tertentu, dikeluarkan dan ditetapkan menurut sebuah metode spesifik.
Sesuai dengan bentuk kategoris imperatifnya, setiap norma mengandung sifat Perintah
(Gebod), Larangan (Verbod), Pengizinan (Toestemming), dan Pembebasan (Vrijstelling).
Norma hukum menurut Reberto Unger dapat difahami sebagai bentuk alat penanda
pembagian kerja atau aktivitas dan hierarki subjek hukum dalam masyarakat. Oleh
karenanya, secara umum bahwa norma hukum sebagai alat klasifikasi dalam segala lapangan
kehidupan, baik pengklasifikasian negara dan masyarakat, komunitas, aktivitas, dan birokrasi.
Norma hukum terdiri bagian-bagian yang berlapis-lapis dan bertingkat-tingkat saling
berhubungan dalam sebuah kesatuan norma yang disebut sistem norma.
Setiap bagian-bagian dalam sistem norma akan yang saling membangun hubungan
simbolik, dinamis, koheren dan saling mendukung, yang mana sistem dinamis koheren dapat
diskematis dalam dua bentuk yakni :
a. Sistem norma dinamik
Sistem norma dinamik dapat difahami bahwa hukum dibentuk dan dihapus oleh
lembaga-lembaga otoritas berwenang membentuknya. Norma dilihat dari segi berlakunya
dan pembentuknya, dimana norma sah (valid) jika dibentuk lembaga yang berwenang
berdasarkan teknik hierarki norma yang berjenjang dan berlapis-lapis.
b. Sistem norma statik
Sistem norma statik dapat difahami bahwa hukum dilihat dari segi isinya, dimana
keabsahan norma jika ditarik dari norma lainnya seperti norma umum ditarik menjadi
norma khusus.

Norma hukum merupakan bentuk alat penanda, pedoman, patokan atau aturan untuk
bertindak dan bertingkah yang melambangkan klasifikasi perintah. Oleh karenanya, norma
hukum dibentuk dengan tanda tertentu secara berlapis-lapis, bertingkat-tingkat, berkelompok-
kelompok dalam sebuah kesatuan koheren yang dinamik. Tentu norma hukum
melambangkan bentuk-bentuk dinamik yang direfleksikan dari tanda tersebut yang dapat
diidentifikasi ke dalam beberapa bentuk klasifikasi yakni :
3
1. Dinamika norma vertikal dan harizontal
2. Norma hukum umum dan norma hukum individual;
3. Norma hukum abstrak dan norma hukum konkrit;
4. Norma hukum berlaku sesekali dan norma hukum terus menerus;
5. Norma hukum tunggal dan norma hukum berpasangan;
6. Norma hukum primer dan norma hukum sekunder;
7. Norma hukum karena hubungan sebab akibat dan norma hukum karena hubungan
pertanggungjawaban;
8. Norma hukum yang berkeabsahan dan norma hukum berdaya guna.

Hierarki norma hukum dapat difahami bahwa hukum sebagai sistem merupakan
sebuah sistem norma hukum, dimana sejumlah norma membentuk sebuah kesatuan atau
sebuah kelompok jika keabsahan (validity) norma dapat dirunut kembali sampai ke norma
tunggal yang menjadi dasar keabsahan terakhir. Sebaliknya, norma dasar sebagai sumber
umum menyatukan bermacam-macam norma membentuk sebuah sistem.
Hierarki norma hukum dapat difahami sebagai struktur hirarkis sistem hukum, dimana
norma hukum mengatur proses untuk menciptakan norma hukum lainnya, sebagai refleksi
keabsahan norma yang diciptakannya. Skematis ini merupakan pengorganisasian norma dari
tingkat tinggi ke tingkat rendah atau pengorganisasian norma pencipta ke norma yang
diciptakan. Oleh karena itu, hirarki norma dapat difahami sebagai tata susunan strata norma
yang bertingkat-tingkat, berdampingan dan berurutan secara hirarkis. Hierarki norma hukum
dapat difahami sebagai susunan levelitas norma hukum baik bertingkat-tingkat dan berlapis-
lapis. Tata susunan akan terskematis secara vertikal dan harizontal. Norma hukum lazim
diskematis juga seperti susunan-susuanan norma yang berbentuk Piramida.
Menurut Adolf Merkel dan Hans Kelsen, setiap tata dan kaidah hukum merupakan
suatu susunan dari kaidah-kaidah (stufenbau des Recht). Dan adapun “Stufen Theorie” dari
Hans Kelsen mengemukakan bahwa puncak dari “stufenbau” terdapat kaidah dasar dari suatu
tata hukum Nasional yang merupakan suatu kaidah yang fundamental. Kaidah dasar tersebut
disebut dengan “grundnorm” atau “ursprungnorm”, norma tersebut merupakan norma yang
bersifat abstrak, umum dan atau hipotesis. Sistem hukum suatu negara merupakan suatu
proses yang terus menerus dimulai dari yang abstrak kepada wujud hukum positif dan
seterusnya sampai kepada nyata. Semua norma merupakan suatu kesatuan dengan struktur
piramida. Dasar keabsahan suatu norma menurut Hans Kelsen, urutan norma itu bertingkat-
tingkat, norma paling tinggi disebut grundnorm, kemudian dipositifkan sampai kepada norma
4
yang nyata yang lebih bersifat Individual. Oleh karena norma positif merupakan sebagai
perantara norma dasar dan norma individual maka disebut juga norma antara (tussennorm).
Hal yang merupakan norma dasar bahwa dimanapun juga orang tidak boleh mencuri,
membunuh dan menghina dsb. Norma dasar tersebut dalam hukum positif indonesia dalam
KUHPidana, misalnya mengenai pencurian diatur dalam pasal 362 yang mengatur tentang
pencurian. Pencuri yang dapat dibuktikan tindakannnya maka akan diadili dan dikenakan
sanksi pidana lewat putusan yang dikelaurkan oleh hakim pada persidangan.
Norma negara diciptakan berjenjang, bertingkat dan merupakan suatu “rengsesus”
demikian menurut Hans Kelsen. Dan pada dasarnya akan dibedakan kepada norma yang
bersifat umum dan norma yang bersifat individual. Hukum yang diciptakan oleh custom
maka disebut “Custom Law” dan norma yang diciptakan oleh Legislatif disebut (law created
by legislative) atau dikenal dengan “Statute”. Kemudian norma-norma individual meliputi
Putusan badan Yudicial atau dikenal dengan istilah “judicial act”, putusan badan administrasi
“administrative act” dan transaksi hukum atau “Legal Taransaction” dalam bentuk rupa
contract dan treaty.
Teori jenjang norma (Stufentheorie) Hans Kelsen mengemukakan bahwa norma
hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarki tata susunan dimana
norma lebih rendah diciptakan berdasarkan norma yang lebih tinggi dan norma yang lebih
tinggi diciptakan berdasarkan norma yang lebih tinggi lagi dan begitu seterusnya sampai pada
norma yang bersifat hipotesis dan fiktif disebut Norma Dasar (Grundnorm). Norma dasar
tempat bergantung norma-norma di bawahnya dan ia menjadi norma tertinggi karena tidak
diciptakan lagi oleh norma yang lebih tinggi lagi, oleh karenanya ia tidak daat ditelusuri lagi
dan sudah besifat hipotesif dan fiktif yang disebut “pre-supposed”.
Adapun skematis tata susunan norma dalam teori jenjang norma (Stufentheorie) Hans
Kelsen sebagai berikut :
1. Norma Dasar (Grundnorm);
2. Norma;
3. Norma;
4. Norma;
5. Selanjutnya.
Teori jenjang norma (Stufentheorie) dikembangkan oleh Adolf Merkl yang
mengemukakan bahwa norma hukum selalu memiliki dua wajah (das Doppelte Rechtsantlitz)
yang dapat difahami bahwa dinamika norma hukum keatas bersumber pada norma diatasnya,
dan dinamika norma hukum di bawah akan menjadi sumber oleh norma hukum di bawahnya
5
lagi, sehingga setiap norma hukum memiliki masa berlaku yang relatif, karena berlaku suatu
noma tergantung pada keberlakuan norma di atasnya. Hal tersebut dapat difahami bahwa jika
norma di tingkat atas dihapus atau dicabut maka norma di bawahnya menjadi tidak sah dan
tidak berlaku lagi karena sudah ikut serta terhapus dan tercabut bersamaan dengan norma
penciptanya.
Teori jenjang norma (Stufentheorie) Hans Kelsen kemudian dikembangkan menjadi
teori jenjang norma hukum (die Theorie vom stufentordnung der Rechtsnormen) oleh Hans
Nawiasky yang berpandangan bahwa norma-norma hukum dalam negara berjenjang-jenjang,
berlapis-lapis dan berkelompok-kelompok secara khusus yang tersusunan dalam suatu
hirarkie seperti berikut :
1. Norma Dasar/ Norma Fundamental Negara (Groundnorm/ Staatfundamentalnorm)
2. Aturan Dasar Negara / Hukum Pokok Negara (Staatgrundgesetz)
3. Aturan Formal dan Undang-undang (Formellegezetz)
4. Peraturan pelaksana di bawah Undang-undang atau aturan otonom (Verordnungen &
Autonom Satzung)
Pada dasarnya urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana diskematiskan
oleh Hans Kelsen, Adolf Merkl dan Hans Nawiasky menjadi dasar penataan norma disetiap
negara bersistem atau tradisi Eropa Kontinental di luar Eropa. Prinsip skematis norma
tersebut sampai ke Indonesia atas pengaruh serapan oleh para pakar dan negarawan Belanda
yang negaranya menganut prinsip sistem atau tradisi Eropa Kontinental dan kemudian
dibawa ke Indonesia dengan propaganda politik hukum modern kolonial yang mengagungkan
kodifikasi dan unifikasi dengan menembus hak dipertuan (beschikkingrecht) masyarakat adat
Indonesia dan akhirnya diserap oleh para sarjana Indonesia sebagai bentuk hukum modern
yang memiliki jiwa (geist) kesatuan dari prinsip unifikasi dan jiwa (geist) kemajuan dari
prinsip kodifikasi. Prinsip itu diterapkan di Indonesia dalam bentuk hukum positif Indonesia.
Para tokoh yang mempelopori teknik berhukum tersebut diantaranya, Soepomo, Muhammad
Yamin, Notonagoro kemudian oleh para ahli berikutnya dikembangkan dan direkayasa
sehingga menjadi suatu model tersendiri. Salah satu diantaranya adalah rekayasa dari A
hamid Attamimi.

Jenis Peraturan Perundang-undangan Indonesia


Jenis Peraturan Perundang-undangan di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh teori
jenjang norma (Stufentheorie) Hans Kelsen dan teori jenjang norma hukum (die Theorie vom
stufentordnung der Rechtsnormen) oleh Hans Nawiasky. Kedua teori itu pada kenyataannya
6
merefleksikan terbentuknya sistem norma hukum Negara Republik Indonesia, dimana norma-
norma hukum di Indonesia dibentuk dalam kesatuan berjenjang-jenjang, berlapis-lapis dan
berkelompok-kelompok. Norma hukum lebih rendah diciptakan berdasarkan norma hukum
yang lebih tinggi dan norma hukum yang lebih tinggi diciptakan berdasarkan norma hukum
yang lebih tinggi lagi dan begitu seterusnya sampai pada norma yang bersifat hipotesis dan
fiktif disebut Norma Dasar (Grundnorm).
Setiap negara yang ada di dunia khususnya di Indonesia terdapat susunan-susunan
norma hukum. Pancasila adalah sebagai norma dasar negara Indonesia
(staatsfundamentalnorm). Dari norma dasar inilah kemudian dijabarkan dalam peraturan
Perundang-undangan yang terdiri dari peraturan dasar dan peraturan pelaksana hingga sampai
kepada norma yang individual. Dalam hukum positif aturan-aturan dasar dituangkan
pembukaan, batang tubuh Undang-undang Dasar dan Ketetapan MPR, sedangkan aturan
formalnya dimuat didalam Undang-undang. Untuk menetapkan jenis-jenis peraturan
perundang-undangan yang ada pada suatu masa dan waktu tertentu, tergantung dasar hukum
yang dipakai acuan serta praktek yang berlaku dalam suatu ketentuan perundang-undangan.
Tetapi didalam praktek diakui dan dijalankan. Norma sebagai dasar pembentukan norma lain
dapat difahami sebagai norma yang superior, sedangkan norma yang dibentuk atau
berasarkan norma lain pembentukannya disebut norma inferior. Oleh sebab itu, kandungan isi
atau materi muatan norma yang lebih tinggi (superior) menjadi alasan validitas bagian-bagian
norma di bawahnya sehingga membentuk keseluruhan tata hukum yang membentuk satu
kesatuan.
Sistem norma hukum Negara Republik Indonesia secara garis besar terdiri dari dua
kelompok norma hukum yakni :
1. Norma hukum yang dibentuk di pusat kekuasaan, antara lain :
a. Pancasila sebagai Norma Dasar/ Norma Fundamental Negara (Groundnorm/
Staatfundamentalnorm);
b. UUD 1945 dan Tap MPR sebagai Aturan Dasar Negara / Hukum Pokok Negara
(Staatgrundgesetz);
c. Kelompok Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
sebagai Aturan Formal dan Undang-undang (Formellegezetz);
d. Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan lembaga negara pusat sebagai Peraturan
pelaksana di bawah Undang-undang (Verordnungen)

7
2. Norma hukum yang dibentuk di daerah, yakni kelompok dan klasifikasi Peraturan
Daerah yang memiliki kewenangan otonomi yang disebut peraturan pelaksana otonom
di bawah Undang-undang (Autonom Satzung) yang dapat diklasifikasi yakni :
a. Peraturan Daerah Peovinsi;
b. Peraturan Gubernur
c. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota;
d. Peraturan Bupati / Wali Kota
e. Peraturan Desa
f. Peraturan Kepala Desa

Setiap lapisan norma hukum dalam sistem norma hukum Negara Republik Indonesia
memiliki hubungan dan berkaitan. Pancasila sebagai Norma Dasar/ Norma Fundamental
Negara (Groundnorm/ Staatfundamentalnorm) memiliki hubungan dengan UUD 1945
sebagai Aturan Dasar Negara / Hukum Pokok Negara (Staatgrundgesetz / Verfassungsnorm),
dimana pasal-pasal UUD 1945 diciptakan atau refleksi penjabaran dari pokok-pokok fikiran
yang mewujudkan cita-cita bangsa (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara baik
hukum dasar tertulis (Groundwet / Verfassungs) atau hukum dasar tidak tertulis
ketatanegaraan (convention). Dalam pembukaan UUD 1945 mengandung atau merefleksikan
nilai-nilai Pancasila sebagai Norma Dasar/ Norma Fundamental Negara (Groundnorm/
Staatfundamentalnorm), dan menjadi norma yang paling utama jika dibandingka dengan
batang tubuh (pasal-pasal) UUD 1945. Hubungan UUD 1945 sebagai Aturan Dasar Negara /
Hukum Pokok Negara (Staatgrundgesetz / Verfassungsnorm) dengan hukum dasar Tap MPR
(Grundgesetz) dapat difahami, bahwa kedua norma hukum dasar tersebut masih bersifat
umum dan dibentuk secara garis besar serta bersifat norma tunggal, karena norma belum
dilekati sangsi-sangsi.
Dilihat dari kedudukannya, UUD 1945 sebagai Aturan Dasar Negara / Hukum Pokok
Negara (Staatgrundgesetz / Verfassungsnorm) lebih tinggi dari Tap MPR (Grundgesetz).
Untuk menjawab hubungan kedua hukum dasar tersebut, dalam hal ini berlaku “teori
pengitan diri lembaga” (selbts bindung theorie) dari George Jellinek, dimana :
a) MPR memiliki fungsi utama sebagai konstituante yakni membentuk dan menetapkan
UUD. UUD sebagai hukum pokok yang melegitimasi keberadaan MPR mulai dari
keberadaan lembaganya sampai menjelaskan fungsi dan hubungnya dengan lembaga
lain. Oleh karena itu, setelah UUD terbentuk dan ditetapkan maka MPR harus tunduk
kepadanya sebagai keabsahan fungsinya.
8
b) MPR memiliki fungsi menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara yang dituangkan
pada Tap MPR (Grundgesetz). Adapun sebagai dasar hukum menetapkan Tap MPR
(Grundgesetz) adalah UUD. Fungsi Tap MPR (Grundgesetz) adalah mengatur lebih
lanjut secara umum dan pokok dan apa yang belum datur atau menjabarkan apa yang
telah diatur dalam UUD.

Hubungan UUD 1945 sebagai Aturan Dasar Negara / Hukum Pokok Negara
(Staatgrundgesetz / Verfassungsnorm) dengan kelompok Undang-undang dan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang sebagai Aturan Formal dan Undang-undang
(Formellegezetz) dapat difahami bahwa undang-undang merupakan aturan penyelenggara
UUD, dimana dalam tata cara pembentukannya UU lebih mudah membuat, mengubah dan
mencabutnya. Lain dari pada itu, materi muatan UU telah dilekati norma sekunder yang
mengandung sangsi pidana atau sangsi pemaksaan.
Hubungan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
sebagai Aturan Formal dan Undang-undang (Formellegezetz) dengan Peraturan Presiden,
Peraturan Menteri dan lembaga negara pusat sebagai Peraturan pelaksana di bawah Undang-
undang (Verordnungen) dapat difahami bahwa Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan
lembaga negara pusat merupakan norma hukum pelaksana secara teknis atau administratif
apa yang diatur UU dan Perpu.
Sistem norma hukum Negara Republik Indonesia dibangun secara berlapis-lapis dan
berkelompok-kelompok berbentuk hierarkie, dimana kesatuan rantai norma hukum ini
diaktualisasikan ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan (UU No. 12 Tahun 2011) Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 menyebutkan
mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaran Rakyat (Tap MPR)
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Provinsi Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

9
Selanjutnya, Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 menentukan bahwa kekuatan
hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dalam Pasal 7
ayat (1). Oleh sebab itu, konsekuensinya adalah:
a) UUD NRI Tahun 1945 mengesampingkan semua peraturan yang lebih rendah berlaku
(asas lex superiori derogat legi inferiori).
b) Materi muatan dari UUD NRI Tahun 1945 menjadi sumber dalam pembentukan
segala perundang-undangan, sehingga Ketetapan MPR hingga Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Menurut Ni’matul Huda, apabila peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
bertentangan dengan di atasnya, maka peraturan tersebut dapat dituntut untuk dibatalkan atau
batal demi hukum (van rechtswegenietig). UU No. 12 Tahun 2011 telah memuat asas yuridis
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, namun masih
memunculkan masalah-masalah yuridis dalam penerapannya.
Pertama, UU No. 12 Tahun 2011 mengembalikan posisi/kedudukan Ketetapan MPR
ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU No. 10 Tahun 2004),
kedudukan dari Ketetapan MPR telah dihapuskan dalam hierarki perundang-undangan di
Indonesia. Hal ini kemudian memunculkan pertanyaan dan permasalahan baru karena dengan
adanya Ketetapan MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan, maka secara yuridis
konstitusional, Ketetapan MPR tidak dapat diuji melalui sistem judicial review, baik melalui
Mahkamah Konstitusi (MK) maupun Mahkamah Agung (MA). Artinya, apabila terdapat
materi muatan Ketetapan MPR yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 ataupun
melanggar hak konstitusional warga negara, baik secara potensial maupun secara faktual,
maka akan sangat sulit mekanisme penyelesaiannya.
Kedua, keberadaan Peraturan Presiden (Perpres) yang muatan materinya hampir sama
dengan Peraturan Pemerintah dan dianggap memiliki muatan materi yang tidak menentu,
sehingga berpotensi digunakan oleh presiden untuk melakukan penyalahgunaan kekuasaan
(abuse of power).
Ketiga, di dalam UU No. 12 Tahun 2011 juga dikenal adanya jenis peraturan
perundang-undangan lainnya di luar hierarki sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1).
Peraturan lainnya tersebut berupa Peraturan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Agung (MA),
Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Yudisial (KY),
Bank Indonesia (BI), Menteri, badan atau lembaga yang setingkat yang dibentuk dengan
10
undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, DPRD Provinsi, Gubernur,
DPRD Kabupaten/kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau setingkatnya.
Berdasarkan permasalahan tersebut, perlu dibuat strategi rekonstruksi hierarki
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal ini disebabkan di dalam negara yang
berdasarkan hukum, hierarki perundang-undangan dijadikan sebagai legalitas dalam
menyelesaikan permasalahan di bidang hukum agar tercipta keadilan dan kepastian hukum.
Keberadaan hierarki peraturan perundang-undangan dalam kehidupan ketatanegaraan
Indonesia merupakan sebuah sistem untuk menjaga adanya konsistensi dan ketaatan asas
dalam hukum positif di Indonesia.
Larangan terdapat pertentangan antara suatu norma dengan norma yang lain, semata
demi memberi jaminan kepastian hukum kepada masyarakat. Makna tata urutan atau hierarki
atau tingkatan dalam tata hukum/peraturan perundang-undangan adalah:
1) Peraturan hukum atasan merupakan dasar hukum pembentukan peraturan hukum
bawahan.
2) Peraturan hukum bawahan merupakan pelaksanaan peraturan hukum atasan, oleh
karena itu kedudukannya lebih rendah dan materi muatannya tidak boleh
bertentangan.
3) Manakala terdapat dua peraturan perundang-undangan dengan materi muatan
mengatur materi sama dan dengan kedudukan sama maka berlaku peraturan
perundang-undangan baru.
Selain itu, pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi salah satu upaya
dalam pembangunan hukum nasional. Terealisasinya pembentukan peraturan perundang-
undangan yang komprehensif dan memenuhi asas-asas dan tidak saling tumpang tindih, dapat
mewujudkan tegaknya wibawa hukum dalam pembangunan hukum. Adapun permasalahan
yang dibahas dalam penulisan ini adalah Bagaimana legal historis dan politik Hukum
pembentukan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, Bagaimana rekonstruksi
hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesi. Dua pertanyaan mendasar ini menjadi
alasan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tanpa
melakukan legal historis suatu perataturan perundang-undangan akan kabur dan tidak jelas
dasar rujukan pembentukannya.
Istilah “sifat” berarti watak, ciri, tanda, karakter, rupa atau keadaan yang tampak
dalam suatu nomina (objek) dan orang. Pada umumnya karakater atau ciri khas norma hukum
berisikan: Suruhan (gebod), Larangan (verbod), dan Kebolehan (mogen). Sejalan dengan itu
menurut A Hamid S Attamimi, norma-norma hukum mengandung sifat-sifat: Perintah
11
(Gebod), Larangan (Verbod), Pengizinan (Toestemming), Pembebasan (Vrijstelling). Norma
hukum merupakan klasifikasi tanda-tanda atau patokan yang mencerminkan nilai-nilai untuk
bertindak dalam klasifikasi subjek.
Adapun klasifikasi tanda-tanda atau patokan yang mencerminkan nilai-nilai untuk
bertindak diuraikan sebagai berikut :
1) Norma bersifat Suruhan (gebod) difahami bahwa norma bermateri muatan perintah
harus dilakukan oleh subjek hukum;
2) Larangan (verbod) difahami bahwa norma menyimbolkan materi muatan yang tidak
boleh dilakukan oleh subjek hukum;
3) Kebolehan (mogen) atau mubah difahami bahwa norma bermateri muatan tidak
dilarang dan tidak disuruh;
4) Pengizinan (Toestemming) difahami bahwa norma bermateri muatan membolehkan
subjek hukum melakukan sesuatu dengan klasifikasi tertentu;
5) Pembebasan (Vrijstelling) difahami bahwa norma berisi materi muatan pembebasan
terhadap subjek yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu;
6) Anjuran atau Sunnah difahami bahwa norma berisikan materi muatan anjuran
mengerjakan sesuatu agar mendapat kebaikan sesuai klasifikasi anjuranya;
7) Perintah negatif atau haram difahami bahwa norma bersisikan materi muatan perintah
larangan untuk mengerjakan sesuatu karena akan mendapat keburukan sesuai
klasifikasi larangannya;
8) Perintah positif atau wajib difahami bahwa norma bermateri muatan perintah
mewajibkan untuk melakukan sesuatu agar mendapat kebaikan sesuai klasifikasi
kewajibannya dan jika tidak mengerjakan akan mendapatkan keburukan sesuai
klasifikasi kewajibannya;

Pendapat lain dengan sifat kaidah hukum dikemukan pula oleh Purnadi Purba Caraka
dan Soerjono Soekanto serta Amiruddin Syarif, menyatakan bahwa kaidah hukum memiliki
sifat-sifat antara lain :
1) Imperatif yaitu berupa perintah yang bersifat apriori harus ditaati baik berupa suruhan
ataupun larangan.
2) Fakultatif yaitu tidak secara apriori mengikat atau wajib dipatuhi.
Selain memiliki sifat-sifat tersebut diatas, menurut A Hamid norma hukum
(Khususnya Perundang-undangan) adalah berlaku keluar (naar buiten werken) yaitu bahwa

12
norma hukum perundang-undangan ditujukan kepada masyarakat yang satu sebagai individu
ataupun kelompok dan atau hubungan dengan negara (Pemerintah)stheorie).

13
MATERI IV
HUKUM TERTULIS DAN SUMBER KEWENAGANNYA

A. Sumber Jiwa (geist) dan Kewenangan Hukum Tertulis


Kritik Immanuel Kant tentang akal murni dan akal praktis, telah membawa
pemahaman berhukum modern dalam teknik klasifikasi, yang mana akal murni sebagai
“ada” atau materi merupakan bidang sein, dan akal praktis sebagai“harus” atau formal
(bentuk) merupakan bidang sollen. Norma hukum merupakan bidang sollen yang
berkarakteristik formal (bentuk), karena sifat mewajibkan yang masuk dalam bidang
kategoris imperatif. Materi adalah isi dari forma-forma (bentuk). Oleh karena itu, norma
sebagai formal harus memiliki materi muatan yang prinsip keharusan (ougt to do).
Pembagian materi dan formal oleh Kant menjadi dasar membentuk klasifikasi sumber
hukum modern. Sumber hukum dalam penataan sistem hukum dikenal dalam dua
klasifikasi yakni sumber hukum dalam arti formil dan sumber hukum dalam arti materil.
Sumber hukum dalam arti formil merupakan sumber hukum dimana hukum bisa
ditemukan. Sumber hukum dalam arti materil merupakan sumber yang menentukan isi
kaidah atau materi muatan sumber hukum arti formil.
Sumber hukum dalam arti materil antara lain yakni :
 Ideologi negara sebagai pandangan hidup;
 aktivitas kekuatan politik dalam membentuk peraturan perundang-undangan.

Sumber hukum dalam arti formil antara lain :


 Hukum perundang-undangan
 Kebiasaan (konvensi);
 Yurispudensi;
 Traktat;
 doktrin
Jika diderivasi sumber hukum dalam arti formal di atas ke dalam klasifikasi tertentu
maka hukum dapat diklasifikasikan beberapa kelompok yakni:
1) Klasifikasi berdasarkan pada bentuknya dapat diklasifikasi menjadi hukum tertulis
dan hukum tidak tertulis.
2) Klasifikasi hukum berdasarkan tingkatannya dapat diklasifikasikan menjadi hukum
yang diorganisir dan dibentuk sesuai tingkatan lembaga negara.

1
3) Klasifikasi hukum berdasarkan fungsinya menjadi hukum materil (subtantive law)
dan hukum formil (adjective law, procedural law). Hukum materil (subtantive law)
seperti: perundangan di luar hukum acara. Sedangkan hukum formil (adjective law,
procedural law) seperti berbagai hukum acara.
4) Klasifikasi hukum berdasarkan jenisnya yakni Hukum Publik dan hukum privat.
Hukum publik merupakan yang mgatur kepentingan umum, hukum privat merupakan
hukum yang mengatur kepentingan individu atau khusus. Pembegian ini dikenal
dalam Sistem Eropa Kontinental saja.
5) Klasifikasi hukum berdasarkan bidang atau lapangannya, seperti: hukum Pidana,
Perdata, Acara, Tata Negara, Pidana Khusus dan sebagainya
6) Klasifikasi hukum berdasarkan pada pemberlakuannya yakni hukum umum dan
hukum khusus. Hukum umum merupakan hukum yang berlaku pada masyarakat
umum seperti hukum pidana, perdata; hukum khusu hukum yang berlaku pada
perbuatan tertentu dan kelompok tertentu seperti: peradilan militer, Peradilan Agama,
perdagangan dan sebagainya.
7) Klasifikasi hukum berdasarkan sifat berlakunya yakni hukum imperatif dan hukum
mengatur bersifat melengkapi (anvullend recht).

Hukum tertulis merupakan hukum yang masuk dalam klasifikasi berdasarkan pada
bentuknya. Dalam kesatuan hierarki hukum tertulis difahami bahwa sumber hukum
tertinggi atau pondasi hukum negara menjadi sumber dasar penciptaan kesatauan norma.
Oleh karenanya, sumber kewenangan hukum tertulis pada mulanya diderivasi dari nilai-
nilai moral idiologi negara dan dijabarkan dalam Hukum dasar yang disebut Konstitusi
atau UUD. Nilai-nilai yang dijabarkan dan melekat pada institusi negara yang telah
diklasifikasi dalam konstitusi atau UUD akan memperlambangkan kewenangannya
masing-masing yang disebut original power atau “originaire van mach” yang dikenal juga
dengan istilah atrubusi kekuasaan. Atribusi kekuasaan pembentukan peraturan
perundang-undangan (attributie van wetgevendemacht) sering diartikan sebagai
pemberian kewenangan kepada badan atau lembaga atau pejabat negara tertentu, baik
oleh pembentuk Undang-undang dasar maupun wewenang baru untuk dan atas nama
yang diberi wewenang sehingga melahirkan suatau kewenangan dan tanggung jawab
yang mandiri. Atribusi kekuasaan yang original power atau “originaire van mach”
diderivasi menjadi kewenangan baru “original power of delegation” atau “originaire
wetgevendemacht”. Atribusi di bidang perundang-undangan dalam istilah Belanda
2
disebut sebagai “attributie van wetbevoegdheid” atau “attributie van wetgevendemacht”
dalam bahasa Inggris dapat disandingkan dengan istilah “delegation of legislation”. Di
dalam literatur Belanda selain “attributie van wetbevoegdheid” dikenal pula istilah
“attributie van bestuursbevoegdheid”.
Atribusi kekuasaan pembentukan peraturan perundag-undangan dalam Undang-
undang dasar 1945 diberikan kepada :
 MPR dalam menetapkan Undang-undang Dasar (pasal 3);
 Presiden dan DPR dalam membentuk Undang-undang (pasal 5 ayat 1 jo pasal 20 ayat
1)
 Presiden dalam membentuk peraturan pemerinatah dan peraturan pemerintah sebagai
pengganti Undang-undang (pasal 5 ayat 2 dan pasal 22)

Dengan delegasi kewenangan dimaksudakan sebagai sesuatu penyerahan atau


pelimpahan kewenangan ( dalam hal ini kewenangan pembentukan peraturan perundang-
undangan) dari badan atau lembaga atau pejabat negara kepada semula ada pada badan
atau lembaga atau pejabat yang menyerahkan atau melimpahkan wewenang tersebut
(delegasi). Dengan penyerahan tersebut maka kewenangan dan tanggungjawab beralih
kepada penerima kewenangan (delegasi). Dalam delegasi kewenangan yang diserahkan
atau dilimpahkan tersebut sudah ada pada delagasi. Jadi tidak diciptakan wewenang baru.
Mengenai delegasi perundang-undangan misalnya dapat diberikan contoh yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintah di daerah.
Dalam undang-undang tersebut terdapat beberapa materi yang pengaturannya diserahkan/
dilimpahkan kepada mentri dalam negeri antara lain pengaturan tentang: (catatan:
Undang-undang Pemda Terbaru)
 Pemberian keterangan pertanggungjawaban daerah kepada DPRD (Pasal 22 ayat 4);
 Pelaksanaan persetujuan DPRD tentang pengajuan calon wakil kepada daerah (pasal
24 ayat 2, 4 dan 9);
 Tugas dan wewenang kepala daerah (pasal 25 ayat 1);
 Pedoman pengaturan tentang tata tertib DPRD (pasal 34)
Dari ketentuan-ketentuan yang dirumuskan di dalam Undang-undang No 5 Tahun
1974 sebagaimana tersebut diatas ternyata bahwa dalam hal tertentu pembentuk Undang-
undang (Presiden dan DPR) mendelegasikan pembentukan peraturan perundang-
undangan mengenai pelaksanaan lebih lanjut kepada Mentri dalam Negeri. Hal serupa

3
dijumpai juga dalam perundang-undangan yang lain, bahkan dalam perauran pemerintah.
Dalam pendelegasian tersebut ditetapkan materi yang akan diatur dan jenis peraturan
perundang-undangannya. Jika suatu kewenangan yang diberoleh melaui delegasi tersebut
dilimpahkan badan atau pejabat yang lebih rendah melaksanakn wewenang dan
tanggungjawab atas namanya sendiri, maka hal itu dinamakan “sub-delegasi”. Jadi sub-
delegasi adalah pelimpahan atau pengalihan kewenangan dan tanggung jawab kepada
badan pemerintah lain (andere bestuursorgaan).

B. Hukum Tertulis dan Tidak tertulis


Istilah hukum tertulis berpokok pangakal dari kata benda Bahasa Romawi (Latin)
dengan istilah Code berarti sandi, kode (tanda), kitab undang-undang. Jika istilah code
diberi akhiran “x” menjadi Codex berarti naskah kuno. Jika istilah code digabung dengan
imbuhan fication menjadi kata bersifat kebendaan atau aktivitas atau kegiatan yang
bersifat temporal (tahapan-tahapan runut). Codification yang diserap kebahasa Indonesia
menjadi ‘kodifikasi’ yang berarti proses pengkodean, penomoran, penyusunan,
pengumpulan hukum-hukum di wilayah tertentu untuk menghasilkan sebuah kitab
undang-undang. Oleh karena itu, kodifikasi dapat difahami sebagai aktivitas penandaan
atau penomoran klasifikasi-kalsifikasi subjek hukum dan objek hukum yang berhubungan
dengan ruang dan tahapan waktu dalam sebuah kesatuan yang disebut hukum undang-
undang dan hukum tertulis.
Kodifikasi merupakan ciri khas negara-negara dengan sistem hukum sipil. Dalam
sistem hukum Inggris, kodifikasi adalah proses pengubahan hukum yang ditetapkan oleh
hakim menjadi hukum tertulis. Hukum kodifikasi dapat difahami sebagai hukum positif
tertulis. Istilah hukum positif berasal dari bahasa Latin ius positum, berarti hukum yang
ditetapkan (gesteld recht). Hukum positif adalah hukum ditetapkan manusia (stelling
recht). Ius positum dialihbahasakan ke bahasa Inggris dengan positive law artinya: cabang
ilmu hukum yang menyoroti teks dan persoalan fakta dan sejarah dari pada prinsip ide
abstrak. Sedangkan Positivisme berasal dari kata Positivus yang berarti ditetapkan dan /
atau ditentukan oleh kehendak. Istilah ini kembali dimunculkan oleh Aguste Comte
(1759-1857) ketika menulis buku Cours de Phlosophie Positive tahun 1830-1442. Istilah
positivisme bisa juga merujuk pada istilah Latin Ponere posui positus artinya: tindakan
manusia itu adil atau tidak sepenuhnya bergantung pada hukum yang ditetapkan atau
hukum yang diberlakukan.

4
Bagir Manan mendefenisikan hukum positif Indonesia, dengan makna diperluas
karena adanya defenisi keilmuan (rechtwetenschap) mengenai hukum positif yang
menambahkan perlambangan gerak, tempat dan waktu sebagai mana berikut ini: “Hukum
positif adalah kumpulan asas dan kaidah tertulis dan tidak tertulis yang pada saat ini
sedang berlaku dan mengikat secara umum dan khusus dan ditegakkan oleh atau melalui
pemerintah atau pengadilan dalam negara Indonesia.” “Penekanan” pada saat sedang
berlaku”, karena secara keilmuan (rechtwetenschap), pengertian hukum positif diperluas.
Bukan saja sedang berlaku sekarang, melainkan termasuk hukum yang pernah berlaku
dimasa lalu. Hal ini timbul karena dimasukkan unsur “berlaku pada waktu tertentu dan
ditempat tertentu.”

5
MATERI V
LANDASAN DAN ASAS-ASAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A. Landasan Peraturan Perundang-undangan


Istilah landasan berarti alas, tumpuan dan dasar. Solly Lubis mempersamakan istilah
landasan dengan istilah “paradigma” yang artinya suatu parameter, rujukan, acuan. Jika
istilah landasan diikuti istilah “pembentukan peraturan perundang-undangan” berarti
tumpuan, dasar, acuan atau rujukan yang dipergunakan untuk bertindak lebih lanjut
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Setiap pembentuk peraturan
perundang-undangan harus didasarkan pada landasan pembentukan peraturan perundang-
undangan agar mendapatkan out put peraturan perundang-undangan yang baik (good
legislation), berkeabsahan menurut hukum (legal validity) dan dapat berlaku efektif di
dalam masyarakat (efficacy).
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ada beberapa aspek yang harus
ditempuh, yaitu aspek formil dan aspek materiil. Yang dimaksud aspek formil atau aspek
prosedural menyangkut landasan formal konstitusional pembentukan peraturan
perundang-undangan. Sedangkan aspek materiil menyangkut materi muatan yang harus
diatur dalam peraturan perundang undangan sesuai dengan jenis dan tingkatannya
(hierarki sesuai dengan apa yang diperintahkan baik secara tegas maupun secara tersirat
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan / atau
berdasarkan asas konstitusionalisme serta asas negara hukum (rule of law) yang terdiri
atas supremasi, ekualiti, hukum dasar bersumber pada Hak Azasi Manusia atau negara
berdasar hukum (rechtstaat) yang terdiri atas pengakuan Hak Azasi Manusia, pemisahan
kekuasaan, wetmatige bestuur, dan peradilan Tata Usaha Negara.
I Gede Pantja Astawa, untuk mencapai perundang-undangan yang baik (good
legislation), bahwa ada lima landasan pembentukan perundang-undangan yakni: Filosofis,
Yuridis, sosiologis, Politis dan ekonomis. Kelima landasan tersebut dapat difahami dan
dijabarkan sebagai berikut :
a. Landasan Filosofis (filosofische grondslag)
Yakni landasan untuk mendapatkan justifikasi secara filosofis sesuai dengan volkgeist
bangsa yang dalamnya mengandung hakikat cita-cita kebenaran, keadilan dan kesusialaan
b. Landasan sosiologis (sosiologische grondslag)
Yakni untuk membentuk materi muatan peraturan perundang-undagan sesuai dengan
kenyataan hidup dalam masyarakat, keyakinan umum dan kesadaran masyarakat, agar
1
peraturan perundang-undangan ditaati masyarakat dan dapat diterima secara wajar serta
mempunya daya laku efektif
c. Landasan Yuridis ( Juridiche grondslag)
Dapat difahami sebagai landasan untuk memberikan legalitas atau dasar hukum dari
peraturan pembentuknya atau peraturan yang lebih tinggi, yang mana landasan yuridis ini
mengandung esensial formil dan materil. Pada esensial formil mengandung kewenangan
lembaga pembentuk yang sesuai dengan hierarki perundang-undangan yang dibentuk dan
mengikuti prosedur formal pembentukan ( dimensi sistem nomodynamic). Esensial
materil mengandung kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang undangan dengan
materi muatan yang diatur dan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi
(dimensi sistem nomostatic).
d. Landasan Politis (Politische grondslag)
Dapat difahami bahwa peraturan perundang-undangan sejalan dengan politik hukum
negara, dimana terbentuknya hukum harus dapat ditegakkan oleh penegak hukum terlepas
dari diterima atau tidak diterima masyarakat. Hukum tampil sebagai alat legitimasi
pemaksaan negara terhadap rakyat. Perkembangan dunia yang terlalu cepat maka harus
juga diikuti dengan kebijakan-kebijakan hukum (legal policey) yang baik yang harus
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
e. Landasan ekonomis
Dapat difahami bahwa apa yang menjadi materi muatan peraturan perundang-
undangan dapat mencerminkan cita negara welfarestate, dimana negara proaktif hadir
untuk mensejahterakan masyarakat terutama dengan mepertimbangkan pelestarian
sumberdaya alam untuk dimasa yang akan datang. Landasan ini menurut penulis
mengandung kebenaran pragmatis yang harus berbentuk pola penalaran seimbang antara
ekonomi negara dan seluruh masyarakat;

Landasan-landasan pembentukan perundang-undangan yang terdapat dalam Pasal 44


ayat 2 UU No 12 tahun 2011 sebagaimana terlampir pada Lampiran I dapat diauraikan
sebagai berikut :
1. Landasan Filosofis (Filosofische Groundslag)
Falsafah bangsa disebut juga sebagai pandangan hidup suatu bangsa yang diangkat
dari nilai-nilai moral atau etika dari bangsa tersebut. Moral dan etika pada dasarnya berisi
nilai-nilai yang baik dan yang tidak baik. Nilai yang baik merupakan pandangan dan cita-
cita yang ingin diwujudkan dan didalamnya adalah suatu kebenaran, keadilan, kesusilaan
2
dan dan berbagai macam nilai lainnya yang dianggap baik. Hukum yang dibentuk tanpa
memperhatikan moral bangsa akan sia-sia diterapkannya dan tidak akan ditaati dan
dipatuhi oleh masyarakat. semua nilai yang ada di Indonesia terakumulasi didalam
Pancasila sebagai falsafah bangsa yang memuat pandangan hidup dan jalan kehidupan
(way of life) rakyat Indonesia. Jadi Landasan filosofis dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan yaitu peraturan perundang-undangan bisa dikatakan memiliki
landasan filosofis apabila rumusannya ataupun normanya mendapatkan pembenaran
setelah dikaji secara filosofis. Definisi landasan pembentukan peraturan perundang-
undangan yang berupa pertimbangan pandangan hidup ini sesuai dengan cita-cita
pandangan hidup manusia dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan cita-cita kebenaran,
keadilan, jalan kehidupan, filsafat hidup bangsa serta kesusilaan.

2. Landasan Sosiologis (Sosiologische Graundslag)


Suatu peraturan perundang-undangan mempunyai landasan sosiologis apabila
ketentuan-ketentuan sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat.
hal ini penting agar perundang-undangan yang dibuat ditaati oleh masyarakat tidak
menjadi huruf-huruf mati belaka. Hal ini berarti bahwa peraturan perundang-undangan
yang dibuat harus dipahami oleh masyarakat dan sesuai dengan keyakinan hidup
masyarakat yang bersangkutan. Membuat suatu aturan yang tidak sesuai dengan tata nilai
dan keyakinan serta kesadaran masyarakat tidak ada artinya dan tidak mungkin
diterapkan karena aturan tersebut tetap dilanggar dan tidak ditaati. Hukum yang dibentuk
itu harus sesuai dengan “hukum yang hidup “ (living law) dalam kehidupan masyarakat.
walaupun demikian tidak berarti bahwa apa yang ada dalam satu saat dan dalam suatu
masyarakat akan menjadi nilai kehidupan selankutnya. Perubahan yang terjadi dalam
masyarakat seiring juga dengan perubahan nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat
yang akan menjadi nilai kehidupan selanjutnya. Produk perundang-undangan tidak
sekedar merekam kehidupan masyarakat seketika itu (moment opname). Kecendurungan
perubahan yang terjadi ditengah kehidupan masyarakat harus dapat diprediksi dan
terakumulasi dalam peranturan perundang-undangan yang berorientasi kepada masa
depan.

3. Landasan Yuridis (Juridische Grondslag)


Landasan yuridis adalah landasan hukum yang menjadi dasar kewenangan pembuatan
peraturan perundang-undangan. Apabila kewenangan seorang pejabat atau badan
3
mempunyai dasar hukum yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan atau tidak.
Dasar hukum kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan sangat diperlukan.
Tanpa disebutkan didalam peraturan perundang-undangan seorang bejabat atau badan
adalah tidak berwenang mengeluarkan peraturan. Misalnya pasal 5 ayat 1 UUD 1945
memberikan kewenangan kepada Presiden membentuk undang-undang dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Demikian pula ketentuan pasal 5 ayat 2
memberikan dasar hukum wewenang kepada Presiden dalam menetapkan peraturan
pemerintah untuk menjalankan Undang-undang. Landasan yang demikian itu dapat
disebut sebagai landasan yuridis formal. Didalam landasan yuridis formal selain
menetapkan badan yang berwenang membentuk juga secara garis besar menetapkan
prosedur dan proses penetapannya. Misalnya suatu undang-undang sebelum ditetapkan
atau istilah UUD 1945 disahkan menjadi undang-undang harus mendapat persetujuan
terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat. Walaupun RUU telah disetujui oleh DPR
tetap tidak menjadi Undang-undang sebelum disahkan Oleh Presiden (pasal 21 ayat (2)
UUD 1945). Dan demikian pula peraturan daerah dibentuk oleh kepala Daerah dengan
persetujuan DPRD, kalau suatu peraturan daerah dibuat oleh kepala daerah tanpa
persetujuan DPRD maka peraturan daerah tersebut batal demi hukum (van
rechtwegenietig).
Selain menentukan dasar kewenangan landasan hukum (yuridis) juga merupakan
dasar keberadaan dan pengakuan dari suatu jenis peraturan perundang-undangan.
Landasan yuridis demikian disebut landasan yuridis material. Landasan yuridis material
menunjuk kepada materi muatan tertentu yang harus dimuat didalam suatu peraturan
perundang-undangan tertentu. Pembentuk peraturan menghendaki bahwa suatu materi
tertentu hendaknya diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan pula. Dalam UUD
1945 disebutkan adanya materi-materi tertentu yang diatur dengan Undang-undang. Isi
atau substansi dari peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan wadahnya,
disamping itu isi suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan
Undang-undang yang berada diatasnya. Hal ini berkaitan dengan asas peraturan
perundang-undangan bahwa undang-undanng yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan Undang-undang yang lebih tinggi kedudukannya.
Maka dapat simpulkan bahwa Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan
yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan
hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah

4
ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa
keadilan masyarakat.

B. Asas-asas Peraturan Perundang-Undangan


1. Pengertian Asas Asas
Dalam bahasa Belanda “beginselen” dan dalam bahasa Inggris “Principle” yang
berarti dasar, pedoman, dan cita-cita menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat,
merupakan pandangan hidup, kesadaran, dan cita-cita hukum masyarakat. Von Savigny
menyebutnya volkgeist (jiwa / ruh hukum), yang dapat difahami sebagai sesuatu material
yang dapat membuat hukum bergerak atau dioperasikan dengan baik. Hal tersebut dapat
difahami bahwa asas merupakan pedoman bagi perbuatan subjek yang mana perbuatan
tersebut merupakan sifat-sifat objek hukum itu sendiri. Jika istilah ‘asas’ diikuti dengan
‘hukum’ menjadi asas hukum (rechtsbeginselen) yang berarti dasar-dasar yang menjadi
sumber cita-cita hukum dan pandangan hidup. Dalam istilah Jerman disebut
“Ursprungsnorm” yang terdiri dari dua kata disatukan, “Ursprungs” berari “asal” atau
“asli” dan “norm” berarti “aturan”. Jadi, Ursprungsnorm berarti aturan asal, yang dapat
difahami sebagai tempat diangkatnya nilai-nilai menjadi norma hukum sehingga asas
menjadi sumber hukum materil oleh sumber hukum formil. Berdasarkan defenisi tersebut
asas dapat difahami sebagai Grundnorm yang berarti Aturan Dasar. Jika dihubungkan
dengan konsep hierarki norma hukum dalam suatu negara maka asas dikenal dengan
istilah Staatfundamentalgrundnorm (Aturan Fundamental Negara). Oleh karena itu,
dalam asas-asas hukum tata negara peringkat pertama dan paling utama yakni: Asas
Pancasila.
Satjipto Rahardjo, bahwa asas merupakan jantung perturan hukum. Asas dapat
difahami sebagai pusat penggerak dari peraturan hukum. Disisi lain asas menjadi
landasan lahirnya peraturan hukum dan tempat kembali peraturan hukum tersebut jika
dilaksanakan. Tanpa asas hukum akan kehilangan arah dan berjalan liar. Tanpa asas,
hukum bahkan tidak dapat digerakkan, karena asas menjadi jiwa lahir peraturan hukum,
motor penggerak peraturan hukum, penunjuk arah peraturan hukum dan sekaligus tempat
kembali peraturan hukum. Sedangkan asas hukum lahir dari analis objek-objek konkrit,
lalu diproses melalui bentuk sintetis sehingga mempermudah penyampaian berbagai
objek tersebut dengan singkat dan jelas. Semakin singkat penyampaian tanda
dimunculkan maka semakin tinggi nilai abstrak dari kesatuan objek tersebut dan semakin
mudah untuk mengucapkannya, semakin jauh dari tuntutan praktis hukum dan semakin
5
dekat dengan tuntutan etis hukum. Kegiatan mensisntetiskan berbagai objek tersebut di
atas, merupakan bentuk kegiatan membangun sistem dengan metode penalaran
menyatukan objek-objek yang tidak sama dalam satu kesatuan utuh. Kegiatan ini disebut
abstraksi. Lawan dari kegitan ini disebut konkritasi. Tingkatan abstraksi yang dibangun
dalam suatu sistem hukum dapat menjadi patokan argumen untuk menunjukkan
kekokohan bangunan sistem tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, dapatlah difahami bahwa asas merupakan nilai-nilai
moral yang menjadi spirit lahir, mewadahi, dan mengontrol pembentukan dan
pelaksanaan tuntutan praktis hukum tersebut. Asas dapat difahami sebagai pedoman
konseptual. Sedangkan konseptual dapat difahami sebagai penyusunan bagian-bagian
konkrit menjadi suatu pengertian sifatnya umum atau abstrak. Kegiatan seperti ini disebut
abstraksi yang difahami sebagai pembangunan sistem dari luar ke dalam. Lawan dari
abstraksi adalah konkritasi, dimana kesatuan sistem dinyatakan atau membuat argumetasi/
pernyataan ke dalam bagian-bagian yang konkrit atau khusus yang saling berkaitan.
Kegiatan seperti ini disebut mengkonkritasi (transedental) yang membagun sistem dari
dalam ke luar.
Bruggink mendefenisikan sistem konseptual yaitu memperoleh bentuk tetap dalam
pernyataan-pernyataan atau argumentasi-argumentasi bahasa. Sedangkan teori merupakan
keseluruhan bagian-bagian pernyataan yang berkaitan yang berkenaan dalam sistem
konsep. Asas sebagai sistem konsep maka asas menurut Paul Scholten adalah:
“Pemikiran-pemikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum
masing-masing dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim
yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual
dapat dipandang sebagai penjabaranya.”

2. Asas Peraturan Perundang-undangan


Asas perundang-undangan berarti dasar, pedoman, dan cita-cita menjadi tumpuan
berfikir, berpendapat, beraktivitas dalam membentuk, melaksanakan, mengawasi dan
menguji peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, Asas perundang-undangan
dapat difahami sebagai kaidah yang melahirkan peraturan perundang-undangan baik
dimensi formal atau materil dari peraturan perundang-undangan dan karena itu asas
peraturan perundang-undangan bukan peraturan perundang-undangan itu sendiri akan
tetapi menjadi tujuan dari pembentukan, petetapan, pelaksanaan dan pengujian peraturan
perundang-undangan.
6
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto memperkenalkan enam asas
perundang-undangan, yaitu :
a. Undang-undang tidak berlaku surut
b. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan
yang lebih tinggi pula
c. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-undang yang bersifat
umum (Lex specialis derogat leg generali)
d. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan Undang-undang yang berlaku
terdahulu ( Lex pasteriore derogat lex priori);
e. Udang-undang tidak dapat diganggu gugat
f. Undang-undang merupakan sebagai sarana untuk semaksimal mungkin mencapai
kesejahteraan spritual dan material bagi masyarakat maupun individu melalui
pelestarian dan pembaharuan (asas welvaarstaat).

3. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


Pembentukan peraturan perundang-undangan bertujuan untuk membentuk suatu
peraturan perundang-undangan yang baik. Dalam menyusun peraturan perundang-
undangan yang baik menurut A. Hamid S. Attamimi membagi menjadi 2 (dua)
klasifikasi, yaitu asas-asas yang formal dan asas-asas yang material.
Asas-asas formal antara lain :
a) asas tujuan yang jelas (beginsel van duideleijke doelstelling),
b) asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ);
c) asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
d) asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);
e) asas konsensus (het beginsel van consensus).

Sedangkan asas-asas materiil antara lain :


a) asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke
terminologi enduidelijke systematiek);
b) asas tentang dapat dikenaliatau (het beginsel van de kenbaarheid);
c) asas perlakuanyang sama dalam hukum (het rechtsgelijkheids beginsel);
d) asas kepastian hukum (hetrechtszekerheids beginsel);
e) asas pelaksanakan hukumsesuai keadaan individual (het beginsel van deindividuele
rechtbedeling).
7
Asas formil ditetapkan pada Pasal 5 dan asas materil pada Pasal 6 di dalam UU
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Asas formil dalam Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 yakni :
a. Kejelasan tujuan;
b. Kelembagaan dan pejabat pembentuk yang tepat;
c. Kesesuaian atara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. Kejelasan rumusan; dan
g. Keterbukaan.

Asas materil dalam Pasal 6 UU Nomor 12 Tahun 2011 yakni :


a. Pengayoman;
b. Kemabnusiaan;
c. Kebangsaan;
d. Kekeluargaan;
e. Kenusantaraan;
f. Bhinneka tunggal ika;
g. Keadilan;
h. Kesaaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. Ketetiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. Keseimbangan, keserasian dan keselarasan.

8
MATERI VI
MATERI MUATAN

1. Pengertian Materi Muatan


Istilah “materi muatan” pertama kali digunakan oleh A hamid S Attamimi tahun
1979 sebagaimana dimuat dalam majalah hukum dan pembangunan No. 3 Tahun 1979.
Menurutnya “materi muatan” sebagai pengganti dari istilah kata Belanda “het
onderwerp”. Thorbecke menggunakan istilah“het eigenaardig onderwerp der wet” untuk
memasukkan materi muatan yang khas dari undang-undang yang dipinjam atau
diturunkan dari Grondwet sebagaimana istilah Grondwet sendiri dipinjam atau diderivasi
dari lembaga yang membantuknya. Jika difahami istilah “het eigenaardig onderwerp der
wet” maka setiap materi muatan peraturan perundang undangan mencerminkan levelitas
peraturan perundang-undangannya yang diturunkan lansung dari lembaga pembentuk.
Oleh karena itu, istilah materi muatan mengacu pada kandungan atau substansi
yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan. Setiap jenis peraturan perundang-
undangan memuat materi tertentu, dan berbeda antara satu dengan yang lainya. Secara
substansial pembedaan materi muatan dalam levelitas peraturan perundang-undangan
didasarkan kepada bentuk syarat, cara, isi serta badan pembentukannya. Oleh karenanya
levelitas dan jenis lembaga negara yang membuatnya atau mewadahinya akan
merefleksikan produk hukum yang dibentuknya. Dalam bentuk inilah berlaku asas
hierarki dalam hukum yang diangkat dari levelitas lembaga menjadi levelitas hukum.

Anda mungkin juga menyukai