Anda di halaman 1dari 3

Senja Terakhir Sang Bahadur

Oleh : Risalah Devi Anugrah

Bun, kini petang membalut siang

Telah letih petani menyiang perkebunan

Namun kau setia disana, di batas amerta

Pudar di legamnya pekat candramawa

Bun, takkah kau merindu ranjang usang di pembaringan

Berteman Ayah yang meninabobokan cucu di pangkuan

Renjana !

Sadrah resah nan kasih tak jua menyapa harap secercah

Semerbak kanthil belum usai beranjak

Amboi, sungguh lengket aromanya

Melesap di udara, di kursi, di lemari, di pintu

Bahkan di tembikar tempat lauk pauk terhidang

Tak selera, merampas nandita dari sukma

Temaram rembulan pasrah

Bun, pergimu lama sekali

Sejak peluit ambulans merengkuhmu dari sisian

Puisi kesakitan dari rona senyum yang kau lukiskan, tak lagi bersua

Guratan wajah dari lengkungan molek Sang Kuasa

Telah bersimpuh menuju haribaan


Tanpa temu melangitkan pisah untuk temu sampai kapan

Ketika hendak kusajikan sepotong prosa untuk kau lanjutkan

Aku ditegur tabir kesaksian

“Hentikan! Tuntaskan yang kau mulai”

Bagaimana mungkin ia selesai, bila bait terakhir adalah dirimu

Aku kembali melanting sepucuk lagu

Aku dihentikan lagi, entah kini tak berupa

“Senandungkan dalam senyap! Berdendanglah tanpa gaduh”

Duhai Bun, bagaimana ku melantun

Bila irama adalah dirimu, takat kebahagiaan

Bun, bukankah mati adalah pesta pergi amat dinanti?

Kerabat berpora, tetangga ripuh unjuk sua

Mati adalah menjamu keabadian, pulang

Ke dekap tanpa taksa, dalam kamar selesa

Namun mengapa pengantar enggan menghantar

Matimu mencekam, dicampakkan hingar bingar tiada kedatangan

Nun di luar sana, mereka bergidik

Melayangkan pandangan ngeri

Bun, kembalilah pada Sang Kuasa pemilik abu nan merah jambu

Yang sempurnakah Ia segala, niskala nan rahasia


Dengan suka cita menanggalkan rindu seksama

Menjemputmu dayita

Di batas amerta

Anda mungkin juga menyukai