Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

HUBUNGAN MODIFIKASI DIET DAN RESTRIKSI CAIRAN DENGAN


HIPERTENSI PADA GNAPS ANAK

Pembimbing:

dr. Hendy Halim, Sp. A, M.Sc

Disusun Oleh :

Serline 201906010151

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU
KESEHATAN UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA
ATMA JAYA PERIODE 03 OKTOBER - 29 OKTOBER
2022 JAKARTA
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus oleh karena berkat dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat ini tepat pada waktunya. Referat
berjudul “Hubungan Modifikasi Diet dan Restriksi Cairan dengan Hipertensi pada GNAPS
Anak” dibuat dengan tujuan untuk memberikan informasi kepada pembaca dan sebagai salah
satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Universitas
Katolik Indonesia Atma Jaya.
Keberhasilan dalam penulisan referat ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak
khususnya dr. Hendy Halim, Sp.A, M.Sc, selaku pembimbing, seluruh dosen dan teman-
teman yang telah mendukung terlaksananya penulisan referat ini serta setiap pihak yang telah
memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu,
penulis berharap untuk bisa mendapatkan saran ataupun kritikan yang membangun dari para
pembaca untuk kemajuan bersama. Akhir kata penulis ucapkan, semoga referat ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak.

Jakarta, 10 Oktober 2022

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I LATAR BELAKANG 3
1.1. Latar Belakang 3
1.2. Rumusan Masalah 4
1.3. Tujuan Penelitian 4
1.3.1. Tujuan Umum 4
1.3.2. Tujuan Khusus 4
1.4. Manfaat Penelitian 4
1.4.1. Bidang Akademik 4
1.4.2. Bidang Pengembangan Penelitian 4
1.4.3. Bidang Masyarakat 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1. Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus (GNAPS) 5
2.1.1. Definisi 5
2.1.2. Epidemiologi 5
2.1.3. Etiologi 5
2.1.4. Patogenesis 6
2.1.4.1. Patogenesis GNAPS dengan Hipertensi 7
2.1.6. Manifestasi Klinis 8
2.1.7. Diagnosis 10
2.1.9. Tatalaksana 11
2.1.10. Komplikasi 13
2.2. Hubungan Modifikasi Diet dan Restriksi Cairan dengan Hipertensi GNAPS Anak 14
2.2.1. Modifikasi Diet pada Pasien GNAPS Anak dengan Hipertensi 14
2.2.2. Restriksi Cairan pada Pasien GNAPS Anak dengan Hipertensi 17
BAB III KESIMPULAN 19
DAFTAR PUSTAKA 20

2
BAB I
LATAR BELAKANG

1.1. Latar Belakang


Glomerulonefritis akut (GNA) merupakan penyakit yang kejadiannya cukup banyak
ditemukan pada anak. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun paling sering
ditemukan pada anak usia 2-10 tahun, ditandai dengan sindrom nefritik akut berupa
hematuria, hipertensi, edema, dan penurunan fungsi ginjal akibat dari penurunan laju filtrasi
glomerulus disertai retensi natrium dan air.1 Bakteri, virus, dan proses imunologis bisa
menyebabkan GNA namun bentuk GNA yang paling sering terjadi pada anak didahului oleh
infeksi Streptococcus β haemolyticus yaitu GNAPS. Diketahui terdapat 472.000 kasus baru
GNAPS setiap tahunnya dengan jumlah kematian 5.000 jiwa per tahun dan hal inilah yang
menyebabkan GNAPS masih menjadi salah satu beban global hingga kini. 2,3 Hasil ini sejalan
dengan hasil penelitian yang dikemukakan oleh VanDeVoorde III di tahun 2015 dengan
estimasi lebih dari 450.000 kasus GNAPS per tahun dengan mayoritas terjadi pada anak.4
Mortalitas dari GNAPS dikatakan kurang dari 0.5%, tapi tidak menutup kemungkinan
GNAPS bisa jatuh ke komplikasi yang membahayakan jiwa. Hipertensi ensefalopati
merupakan salah satu temuan yang cukup sering pada pasien GNAPS dimana hipertensi berat
yang terjadi pada masa anak-anak sangat erat kaitannya dengan hipertensi pada masa dewasa
dan bisa berujung pada kerusakan organ target yang memerlukan tatalaksana segera.6
Komplikasi lain yang bisa terjadi, seperti gangguan ginjal akut (Acute Kidney Injury), edema
paru, efusi pleura, dan kurang dari 2.0% progresivitas ke gagal ginjal terminal.7
Sebuah penelitian di Australia terhadap 200 orang dengan riwayat GNAPS
menyebutkan bahwa lebih besar kecenderungan seseorang dengan riwayat GNAPS untuk
menjadi penyakit ginjal kronis maupun hipertensi di kemudian hari.7 Maka itu penting
dipelajari dan diketahui secara dini tentang GNAPS dan hubungan tatalaksananya yaitu
modifikasi diet dan restriksi cairan terhadap hipertensi pada GNAPS anak sebelum jatuh ke
komplikasi yang mengancam jiwa seperti AKI, edema paru akut, dan hipertensi ensefalopati.
Keterbatasan studi tentang hubungan modifikasi diet dan restriksi cairan dengan hipertensi
pada GNAPS anak terutama di Indonesia membuat penulis ingin mengangkat topik
“Hubungan Modifikasi Diet dan Restriksi Cairan dengan Hipertensi pada GNAPS Anak” di
bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Atma Jaya Jakarta mengingat modifikasi diet dan restriksi
cairan krusial dilakukan untuk mencegah pasien masuk ke komplikasi yang lebih lanjut.

3
1.2. Rumusan Masalah
- Bagaimana hubungan modifikasi diet dan restriksi cairan dengan hipertensi pada
GNAPS anak?

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
- Mengetahui hubungan modifikasi diet dan restriksi cairan dengan hipertensi
pada GNAPS anak.
1.3.2. Tujuan Khusus
- Mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis,
diagnosis, tatalaksana, dan komplikasi Glomerulonefritis Akut Pasca
Streptokokus (GNAPS) pada anak.
- Mengetahui modifikasi diet dan restriksi cairan yang direkomendasikan untuk
pasien GNAPS pada anak dengan hipertensi.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Bidang Akademik
- Menambah pengetahuan mengenai hubungan modifikasi diet dan restriksi
cairan dengan hipertensi pada GNAPS anak
1.4.2. Bidang Pengembangan Penelitian
- Menjadi referensi penelitian lebih lanjut yang dapat dilaksanakan di kemudian
hari mengenai hubungan modifikasi diet dan restriksi cairan dengan hipertensi
pada GNAPS anak.
1.4.3. Bidang Masyarakat
- Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai GNAPS dan
rekomendasi modifikasi diet dan restriksi cairan untuk hipertensi pada
GNAPS anak.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus (GNAPS)


2.1.1. Definisi
Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus (GNAPS) atau poststreptococcal
glomerulonephritis (PSGN) adalah salah satu bentuk glomerulonefritis atau
peradangan glomerulus akut yang didahului oleh infeksi group A β-hemolytic
streptococci (GABHS) atau yang dikenal juga sebagai Streptococcus pyogenes di
saluran napas bagian atas atau kulit yang secara klasik ditandai dengan gejala sindrom
nefritik akut (SNA) seperti hematuria, edema, hipertensi, dan oliguria. 8,9 Istilah GNA
merupakan istilah yang lebih bersifat histologik yang menunjukkan adanya proliferasi
dan inflamasi glomerulus, sedangkan istilah SNA merupakan istilah yang lebih
bersifat klinik, berupa proteinuria, hematuria, azotemia, red blood cast, oliguria &
hipertensi (PHAROH) yang terjadi secara akut.10

2.1.2. Epidemiologi
GNAPS merupakan bentuk glomerulonefritis yang paling banyak dijumpai
pada anak di seluruh dunia. GNAPS sebenarnya dapat terjadi pada semua usia, paling
sering pada usia 5-12 tahun dan usia di atas 60 tahun, jarang menyerang anak usia < 3
tahun. Laki-laki lebih sering daripada perempuan dengan perbandingan 2:1. Kini,
insiden GNAPS di negara maju semakin berkurang akibat sanitasi yang lebih baik dan
pengobatan dini penyakit infeksi, sedangkan 97% kasus ditemukan di negara
berkembang, terutama pada golongan sosial ekonomi rendah.11

2.1.3. Etiologi
GNAPS didahului oleh infeksi saluran napas atas, yang dapat berupa tonsilitis
maupun faringitis atau infeksi kulit (pioderma) oleh serotipe GABHS yang
nefritogenik.9 Tipe antigen protein M berkaitan erat dengan tipe nefritogenik. Serotipe
streptokokus beta hemolitik yang paling sering dihubungkan dengan GNAPS yang
didahului faringitis adalah serotipe M1, M4, dan M25. Pada kasus GNAPS yang
didahului oleh infeksi kulit atau pioderma, serotipe M49 merupakan serotipe yang

5
paling sering dijumpai. Beberapa protein antigen pada GABHS nefritogenik antara
lain nephritis-associated plasmin receptor dan streptococcal pyrogenic exotoxin.8,10

2.1.4. Patogenesis
Patogenesis GNAPS belum diketahui dengan pasti. GNAPS diduga
merupakan penyakit ginjal yang disebabkan oleh mekanisme imunologis.10 Namun,
masih terdapat banyak teori akan antigen GABHS pasti yang menyebabkan
pembentukan kompleks imun dan bagaimana kompleks imun tersebut muncul di
glomerulus.12 Beberapa bukti yang mengarahkan bahwa GNAPS disebabkan oleh
proses imunologis, antara lain:
1. Adanya periode laten antara infeksi streptokokus dan gejala klinik yang
disebabkan oleh kelainan glomerulus
2. Kadar komplemen C3 dan IgG yang menurun dalam darah
3. Adanya endapan IgG dan C3 pada glomerulus.
4. Titer anti-streptolisin O (ASO) yang meningkat dalam darah.13
Terdapat 3 teori mekanisme munculnya kompleks imun pada glomerulus.
Teori pertama adalah pembentukan kompleks antigen dan antibodi dalam sirkulasi
yang kemudian terperangkap di glomeruli. Teori kedua adalah adanya deposisi
antigen GABHS ke dalam glomerulus yang kemudian terjadi pengikatan antibodi,
menghasilkan kompleks imun in situ. Teori ketiga adalah adanya beberapa antigen
GABHS dalam serum yang menyerupai komponen membran basal glomerulus
(mimikri molekuler), yang menyebabkan pembentukan antibodi yang bereaksi silang
dan pembentukan kompleks di glomerulus.12 Proses inflamasi dan proliferasi yang
terjadi di sel glomerulus juga akan merusak dinding kapiler glomerulus sehingga
permeabilitas glomerulus terhadap protein dan eritrosit dalam darah meningkat
membuat protein plasma dan eritrosit dapat terfiltrasi keluar ke dalam urin dan
menyebabkan manifestasi klinis berupa proteinuria dan hematuria.13 Proteinuria dapat
bersifat masif maupun tidak dan hematuria dapat bersifat gross maupun mikroskopis.
Selain itu, eritrosit yang menempel ke hyaline cast di segmen tubular akan membuat
hasil urinalisa ditemukan adanya sedimen eritrosit secara mikroskopis dan dismorfik
eritrosit akibat kerusakan osmotik di segmen tubular yang bersifat hipotonis membuat
eritrosit lisis.9

6
Gambar 2.1. Mekanisme Glomerulonefritis

Terlepas dari mekanisme pasti yang mengarah pada pembentukan dan


deposisi kompleks imun, terjadi respon inflamasi di glomerulus, yang
akhirnya menyebabkan tanda dan gejala klinis penyakit. Kompleks imun yang
beredar dalam darah dalam jumlah yang banyak dan waktu yang singkat
melekat pada kapiler-kapiler glomerulus dan terjadi kerusakan mekanis
melalui aktivasi sistem komplemen, reaksi peradangan dan mikrokoagulasi
dimana terjadi deposisi komplemen, infiltrasi leukosit yang melepaskan
lisosom yang merusak glomerulus, dan proliferasi sel mesangial glomerulus
yang kemudian menyebabkan gangguan perfusi kapiler sehingga terjadi
penurunan filtrasi glomerulus.9 Penurunan laju filtrasi glomerulus ini
kemudian dapat berlanjut menjadi gangguan ginjal dengan manifestasi oliguria
atau anuria yaitu pada kasus Acute Kidney Injury (AKI) maupun Chronic
Kidney Disease (CKD) yang dapat berujung dengan gagal ginjal stadium V
yaitu End Stage Renal Disease sebagai komplikasi dari GNAPS.10

2.1.4.1. Patogenesis GNAPS dengan Hipertensi


Selain itu, penurunan laju filtrasi ginjal juga dapat mengaktifkan Renin
Angiotensin Aldosterone System (RAAS) yang merupakan sistem endokrin
penting dalam pengontrolan tekanan darah. Renin disekresi oleh
juxtaglomerulus aparantus ginjal sebagai respon glomerulus underperfusion
yang akan mencetuskan terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh
angiotensin converting enzyme (ACE). ACE memegang peranan fisiologis
penting dalam pengaturan tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen

7
yang diproduksi hati, kemudian oleh hormon renin yang diproduksi ginjal
akan diubah menjadi angiotensin I.9 Angiotensin I diubah menjadi angiotensin
II oleh ACE yang terdapat di paru-paru. Angiotensin II merupakan suatu
vasokonstriktor kuat utama yang menyebabkan vasokontriksi arteri
menyebabkan peningkatan resistensi pada aliran darah dan peningkatan
tekanan darah. Angiotensin II bersirkulasi menuju kelenjar adrenal dan
menyebabkan sel korteks adrenal membentuk hormone lain yaitu aldosteron.
Aldosteron merupakan hormon steroid yang berperan penting pada ginjal
untuk mengatur volume cairan ekstraseluler. Aldosteron mengurangi ekskresi
NaCl dengan cara reabsorbsi di tubulus proksimal yang berkurang sehingga
proses reabsorbsi di tubulus distal akan meningkat dan menyebabkan
terjadinya retensi air dan natrium. Hal ini akan menyebabkan peningkatan
volume ekstraseluler dan kelebihan cairan.9
Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara
meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada akhirnya meningkatkan
volume dan tekanan darah. Hal ini membuat manifestasi klinis hipertensi pada
pasien GNAPS dan edema yang awalnya dimulai dari kelopak mata (edema
periorbital) kemudian dapat berlanjut menjadi pretibial hingga cairan keluar ke
peritoneum menyebabkan asites.10 Selain itu, produk sampingan metabolisme
yang biasanya disaring dalam urin, seperti kalium, urea, dan asam organik
juga dapat terakumulasi dalam serum darah karena tidak tersaring sehingga
dapat menyebabkan azotemia sebagai salah satu komplikasi lain.12

Gambar 2.2. Sindroma Nefritik

8
2.1.6. Manifestasi Klinis
Gejala klinik GNAPS sangat bervariasi dari bentuk asimtomatik sampai gejala
yang khas. Bentuk asimtomatik lebih banyak (lebih dari 50% kasus GNAPS) daripada
bentuk simptomatik. Bentuk asimtomatik diketahui bila terdapat kelainan sedimen
urin terutama hematuria mikroskopik yang disertai riwayat kontak dengan penderita
GNAPS simtomatik. Kasus GNAPS yang simtomatik:10
a. Edema yang terjadi bersifat pitting. Edema yang muncul akan lebih tampak
pada pagi hari setelah bangun, dan berkurang atau menghilang pada siang atau
sore hari akibat adanya gaya gravitasi.10
b. Hematuria hanya dijumpai pada pemeriksaan mikroskopis pada GNAPS
asimtomatik sedangkan pada GNAPS simtomatik hematuria dapat terjadi
secara gross atau makroskopis pada 30-50% pasien yang dirawat. Urin akan
tampak berwarna coklat kemerah-merahan atau seperti teh pekat, air cucian
daging atau berwarna seperti cola. Hematuria makroskopik biasanya timbul
dalam minggu pertama dan berlangsung beberapa hari, tetapi dapat pula
berlangsung sampai beberapa minggu, sedangkan hematuria mikroskopik
dapat berlangsung lebih lama, umumnya menghilang dalam waktu 6 bulan.
Kadang-kadang masih dijumpai hematuria mikroskopik dan proteinuria
walaupun secara klinik GNAPS sudah sembuh. Bahkan hematuria
mikroskopik bisa menetap lebih dari satu tahun, sedangkan proteinuria sudah
menghilang. Keadaan terakhir ini merupakan indikasi untuk dilakukan biopsi
ginjal, mengingat kemungkinan adanya glomerulonefritis kronik.10
c. Hipertensi didefinisikan sebagai level tekanan darah sistolik atau diastolik
pada persentil ke-95 atau lebih dengan minimal tiga kali pengukuran dan dapat
dijumpai pada 60-70% kasus di minggu pertama. Umumnya hipertensi yang
dijumpai bersifat ringan atau sedang. Hipertensi pada GNAPS dapat
mendadak tinggi selama 3-5 hari, kemudian menurun perlahan dalam waktu 1-
2 minggu. Sebagian kasus GNAPS, dapat dijumpai hipertensi berat yang
menyebabkan ensefalopati hipertensi yang disertai gejala serebral, seperti sakit
kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun dan kejang.10
d. Oliguria pada sebagian kecil kasus GNAPS (5-10%) akibat fungsi ginjal yang
menurun (penurunan laju filtrasi glomerulus) atau anuria akibat timbulnya
gagal ginjal akut dan menandakan prognosis yang buruk. Seperti edema,

9
hematuria, dan hipertensi, keadaan oliguria juga umumnya timbul pada
minggu pertama dengan produksi urin <0,5 cc/kgBB/hari. Gejala ini umumnya
menghilang bersama dengan timbulnya diuresis pada akhir minggu pertama.10
e. Gejala kardiovaskuler seperti edema paru, kardiomegali dan efusi pleura yang
dikenal dengan nephritic lung.10

2.1.7. Diagnosis
Melalui anamnesis, GNAPS sering terjadi pada anak usia 6-15 tahun dan
jarang terjadi pada anak < 2 tahun didahului oleh infeksi Grup A beta hemolitik
streptokokus yang biasanya melalui infeksi saluran pernapasan akut, faringitis,
tonsilitis, atau infeksi kulit dengan periode 2 minggu setelah terjadi ISPA, atau 3
minggu pada pioderma. Keluhan urin berwarna gelap (coklat, teh, atau cola)
seringkali merupakan manifestasi klinis pertama dengan edema pada tubuh terutama
daerah kelopak mata merupakan gejala yang paling sering pada GNAPS.
Penumpukan cairan di paru seringkali membuat pasien mengeluh batuk dan sesak.9
Pemeriksaan fisik dapat terlihat trias klasik dari glomerulonefritis yaitu
hematuria gross, edema, dan hipertensi. Asites biasanya tidak ada karena penyebab
edema adalah retensi cairan dan natrium yang berlebihan bukan kehilangan protein
yang masif dalam urin.9 Hipertensi sering mencerminkan edema karena memiliki asal
yang sama yaitu retensi cairan dan garam yang berlebihan. Hipertensi dapat terjadi
pada 60% hingga 80% pasien dengan GNAPS dan membutuhkan perawatan pada
sekitar setengah dari semua kasus. Hipertensi juga cenderung sangat akut dalam
durasi, biasanya sembuh setelah kira-kira 10 hari. Namun, hipertensi bisa sangat parah
selama durasi singkat ini.11
Pemeriksaan penunjang dengan urinalisis tampak dilihat adanya proteinuria
dan hematuria. Hematuria makroskopis maupun mikroskopis dijumpai pada hampir
semua pasien. Proteinuria biasanya sebanding dengan derajat hematuria dan ekskresi
protein umumnya tidak melebihi 2 g/m2 luas permukaan tubuh perhari. Sekitar 2-5%
anak disertai proteinuria masif seperti gambaran nefrotik. Secara kualitatif proteinuria
berkisar antara negatif sampai dengan ++. Pemeriksaan serologis juga umum
dilakukan dengan hasil peningkatan titer serum protein GAS mengindikasikan
kemungkinan infeksi dengan titer antistreptolisin O (ASO) yang paling umum
digunakan. Kenaikan titer ini dimulai pada hari ke-10 hingga 14 sesudah infeksi

10
streptokokus dan mencapai puncaknya pada minggu ke- 3 hingga 5 dan mulai
menurun pada bulan ke-2 hingga 6 dan dapat menjadi pedoman diagnostik.13
Pemeriksaan aktivitas komplemen umumnya ditemukan komplemen serum
hampir selalu menurun pada GNAPS karena turut serta berperan dalam proses
antigen-antibodi sesudah terjadi infeksi streptokokus yang nefritogenik. Komplemen
C3 (B1C globulin) yang paling sering diperiksa kadarnya karena cara pengukurannya
mudah. Kadar elektrolit seringkali normal, tetapi hiponatremia dapat terlihat dari
hemodilusi dengan kelebihan cairan tubuh total. Hiperkalemia dan asidosis anion gap
dapat terlihat jika fungsi ginjal terganggu secara signifikan. Peningkatan kadar
nitrogen urea darah juga dapat terlihat pada dua pertiga pasien, meskipun peningkatan
kadar kreatinin serum hanya terjadi pada 20% pasien. Namun, jika ada peningkatan
kreatinin yang signifikan (peningkatan >50% di atas normal), pemantauan serial
kreatinin setiap 12 jam diindikasikan karena dapat merupakan bentuk nefritis
progresif cepat yang mungkin memerlukan intervensi darurat.14
Pemeriksaan pasti untuk memastikan adanya kerusakan ginjal adalah dengan
melakukan pemeriksaan histopatologi. Biopsi ginjal biasanya tidak diperlukan untuk
membuat diagnosis dan hanya akan diindikasikan jika ada kelainan yang tidak khas
seperti tingkat komplemen normal atau sindrom nefrotik, tidak ada bukti infeksi
streptokokus, perbaikan yang lama dengan hipertensi yang menetap, azotemia, gross
hematuria setelah 3 minggu, kadar C3 yang rendah setelah 6 minggu, proteinuria yang
menetap setelah 6 bulan dan hematuria yang menetap setelah 12 bulan. Biopsi
diperlukan segera jika ada perkembangan penyakit yang cepat dengan peningkatan
cepat yang berkelanjutan pada serum kreatinin atau oliguria berat. Temuan biopsi
GNAPS yang khas termasuk yang diharapkan dari patogenesis penyakit yaitu
pembesaran glomeruli dengan peningkatan seluleritas dan infiltrasi leukosit, termasuk
neutrofil. Dengan gambaran kresen pada kerusakan ginjal yang berat.13,14

Gambar 2.4. Histopatologi GNAPS

11
2.1.9. Tatalaksana
Penyembuhan komplit terjadi pada lebih dari 95% anak dengan GNAPS, Pada
umumnya perjalanan penyakit GNAPS ditandai dengan fase akut yang berlangsung 1-
2 minggu. Pada akhir minggu pertama atau kedua gejala- gejala seperti edema,
hematuria, hipertensi dan oliguria mulai menghilang, sebaliknya gejala-gejala
laboratorium menghilang dalam waktu 1-12 bulan.10 Tatalaksana umum berupa:
a. Istirahat :
Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang
biasanya timbul dalam minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS. 10
b. Antibiotik:
Pemberian antibiotik pada GNAPS sampai sekarang masih sering
dipertentangkan. Terapi medikamentosa golongan penisilin diberikan untuk
eradikasi kuman, yaitu Amoksisilin 50 mg/kgBB dibagi dalam 3 dosis selama
10 hari. Jika terdapat alergi terhadap golongan penisilin, dapat diberi
eritromisin dosis 30 mg/kgBB/hari.10
c. Diuretik:
Hal paling penting dalam menangani sirkulasi adalah pembatasan
cairan dengan kata lain asupan harus sesuai dengan keluaran. Bila terjadi
edema berat atau tanda-tanda edema paru akut, harus diberi diuretik. Diuretik
tiazid mungkin merupakan agen lini pertama yang efektif sedangkan diuretik
loop harus dipertimbangkan pada mereka dengan edema yang lebih signifikan
atau derajat disfungsi ginjal yang tinggi untuk memastikan potensi aksi,
karena tiazid tidak terlalu efektif bila fungsi ginjal kurang dari 30 mL/
min/1,73 m2. . Diuretik loop saja telah terbukti lebih efektif daripada agen
antihipertensi tunggal lainnya.10
d. Dialisis:
Hiperkalemia yang tidak terkontrol, kelebihan cairan yang
mengganggu fungsi pernapasan, atau peningkatan kadar nitrogen urea darah
dengan cepat (>100 mg/dL) merupakan indikasi untuk dialisis pada pasien
GNAPS. Dialisis seringkali hanya diperlukan secara akut sampai peradangan
glomerulus mulai teratasi dan beberapa fungsi ginjal telah pulih.10

12
e. Modifikasi Diet dan Restriksi Cairan
Jumlah pemberian garam juga perlu diperhatikan untuk mencegah
retensi natrium dan cairan. Bila pasien terdapat edema berat dengan edema
generalisata atau asites perlu diberikan makanan tanpa garam, sedangkan bila
edema ringan pemberian garam dibatasi sebanyak 0,5-1 g/hari. Selain itu,
pemberian protein dibatasi bila kadar ureum meninggi, yaitu hanya diberikan
sebanyak 0,5-1 g/kgBB/hari. Asupan cairan harus diperhitungkan dengan baik,
terutama pada penderita oliguria atau anuria, yaitu jumlah cairan yang masuk
harus seimbang dengan pengeluaran, berarti asupan cairan = jumlah urin +
insensible water loss (20-25 ml/kgBB/hari) + jumlah keperluan cairan pada
setiap kenaikan suhu dari normal (10 ml/kgBB/hari) dengan monitor yang
ketat terhadap diuresis pasien apakah sebanding dengan cairan yang diberikan.
Percobaan furosemid dapat dilakukan untuk menginduksi diuresis dan
mengubah AKI dari bentuk oligurik ke bentuk non oliguri sehingga
menyederhanakan manajemen cairan dan nutrisi.10

2.1.9.1 Tatalaksana GNAPS dengan Hipertensi


Tidak semua hipertensi harus mendapat pengobatan. Pada hipertensi
ringan dengan istirahat cukup, pembatasan garam dan cairan yang baik, dan
memantau diet pasien, tekanan darah bisa kembali normal dalam waktu 1
minggu. Hipertensi dapat ditegakkan dengan melihat kurva tekanan darah
pasien sesuai usia. Pada hipertensi sedang atau berat tanpa tanda-tanda
serebral dapat diberi kaptopril (0,3-2 mg/kgBB/hari) atau furosemid atau
kombinasi keduanya. Selain obat-obat tersebut diatas, pada keadaan asupan
oral cukup baik dapat juga diberi nifedipin secara sublingual dengan dosis
0,25-0,5 mg/kgBB/hari yang dapat diulangi setiap 30-60 menit bila
diperlukan. Pada hipertensi berat atau hipertensi dengan gejala serebral
(ensefalopati hipertensi) dapat diberi klonidin (0,002-0,006 mg/kgBB) yang
dapat diulangi hingga 3 kali atau diazoxide 5 mg/kgBB/hari secara intravena
(IV). Kedua obat tersebut dapat digabung dengan furosemid (1–3
mg/kgBB).10,12

13
2.1.10. Komplikasi
Hipertensi merupakan manifestasi yang dapat dilihat pada pasien GNAPS dan
berasosiasi dengan hipertensi ensefalopati pada 10% pasien yang ditandai dengan
nyeri kepala hebat, kejang, pandangan kabur, dan perubahan status mental. Sequelae
neurologis sering terjadi pada pasien hipertensi ensefalopati, namun sequelae ini dapat
reversible dengan tatalaksana yang tepat. Hipertensi parah yang lama dapat
menyebabkan perdarahan intrakranial. Komplikasi lainnya berupa gagal jantung,
penyakit ginjal kronis, hiperkalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis, kejang,
dan uremia.10 Glomerulosclerosis dan gagal ginjal kronis dapat terjadi pada kurang
dari 2% anak yang menderita GNAPS.11

2.2. Hubungan Modifikasi Diet dan Restriksi Cairan dengan Hipertensi GNAPS Anak
2.2.1. Modifikasi Diet pada Pasien GNAPS Anak dengan Hipertensi
Berbagai modifikasi diet bermanfaat dalam pengobatan hipertensi termasuk
pengurangan asupan natrium, diet kaya buah-buahan, sayuran, kacang - kacangan, dan
produk susu rendah lemak dan menghindari makanan ringan, permen, daging dan
makanan yang mengandung banyak lemak jenuh. Banyak penelitian telah meneliti
efek dari modifikasi diet komprehensif dimana menguji pola diet yang menekankan
makanan nabati dan tidak menekankan makanan hewani terhadap tekanan darah.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pola diet DASH ( Dietary Approaches to Stop
Hypertension) dan pola diet lacto-ovo vegetarian (vegetarian yang menggabungkan
telur dan produk susu sebagai sumber protein) memiliki dampak terbesar pada
penurunan tekanan darah.14 Dalam penelitian meta-analisis, dari 41 percobaan, diet
DASH dan diet vegetarian lacto-ovo mengurangi tekanan darah sistolik sebesar 5,5
mmHg dan diastolik 3,0 mmHg dimana efek ini lebih besar dari yang didapatkan diet
buah dan sayuran, diet tinggi serat, dan diet vegan.15
Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) adalah pola makan untuk
menurunkan atau mengontrol tekanan darah tinggi dan dapat mengurangi stress ginjal
yang sudah tidak 100% bekerja dimana diet ini menekankan makanan yang lebih
rendah sodium serta buah-buahan, sayuran, biji-bijian, protein tanpa lemak, produk
susu rendah lemak, makanan yang kaya akan nutrisi penurun tekanan darah seperti
kalium, magnesium, dan serat. Diet DASH standar membatasi natrium hingga 2.300
mg sehari dan hal ini memenuhi rekomendasi dari pedoman diet hipertensi untuk

14
menjaga asupan natrium harian kurang dari 2.300 mg sehari dengan kira-kira setara
dengan jumlah natrium dalam 1 sendok teh garam meja. Versi natrium DASH yang
lebih rendah membatasi natrium hingga 1.500 mg sehari.16 DASH umumnya
dilakukan pada orang dewasa namun telah dimodifikasi untuk anak-anak dengan
memberikan 5 ons biji-bijian, 1,5 cangkir sayuran, 1,5 cangkir buah, 4 ons
daging/kacang tanpa lemak, dan 2 cangkir produk susu rendah lemak setiap hari. Pola
diet ini dapat dilakukan untuk jangka panjang.17
Penelitian di Cambridge melakukan randomised cross-over clinical trial yang
melihat efek diet DASH terhadap sindrom metabolik anak dengan membandingkan
kelompok anak yang diberikan pola diet DASH dan pola diet biasa. Dalam uji klinis
cross-over acak ini, enam puluh gadis remaja secara acak ditugaskan untuk menerima
rekomendasi untuk mengikuti diet DASH dan pola diet biasa selama 6 minggu.
Kelompok DASH direkomendasikan untuk mengkonsumsi makanan yang kaya buah-
buahan, sayuran dan produk susu rendah lemak dan rendah lemak jenuh, lemak total
dan kolesterol. Kelompok pola diet biasa terdiri dari saran umum dan informasi
tertulis tentang pilihan makanan sehat berdasarkan MyPlate yaitu sebuah aplikasi
yang menjadi panduan nutrisi terkini. Kepatuhan dinilai melalui kuantifikasi kadar
vitamin C plasma. Pada kedua kelompok, sampel darah vena puasa diperoleh pada
awal dan pada akhir setiap fase intervensi. Usia rata-rata peserta adalah 14,2 tahun.
Kadar vitamin C serum cenderung lebih tinggi pada fase DASH daripada fase pola
diet biasa. Perubahan tekanan darah sistolik ditemukan signifikan secara statistik
antara kedua kelompok dimana penurunan tekanan darah sistolik pada kelompok diet
DASH lebih besar dibandingkan kelompok dengan pola diet biasa. Rekomendasi
untuk mengikuti pola makan DASH selama 6 minggu di antara remaja menyebabkan
penurunan prevalensi tekanan darah tinggi dan meningkatkan kualitas diet
dibandingkan dengan pola diet biasa.18
Penelitian lain juga meneliti mengenai efek pola diet DASH terhadap
hubungan tekanan-natriuresis yang dikeluarkan oleh AHA (American Heart
Association) terhadap 375 peserta secara acak dengan rentang tensi normal hingga
hipertensi derajat I. Peserta kemudian dibagi ke dalam kelompok kontrol dan
kelompok diet DASH dengan 3 periode pemberian makan intervensi 30 hari berturut-
turut di mana asupan natrium bervariasi di antara 3 tingkat dengan urutan yaitu
rendah, menengah, dan tinggi dengan masing-masing pemberian 50, 100, dan

15
150 mmol/hari untuk diet 2100 kkal. Tingkat ekskresi natrium urin diukur setiap akhir
minggu menggunakan urin 24 jam dan tekanan arteri rata-rata diukur setiap hari.
Hasil penelitian menunjukan bahwa efek diet DASH secara signifikan menurunkan
tekanan darah sistolik dan diastolik dan dipengaruhi oleh tingkat asupan natrium.
Kombinasi diet DASH dengan pengurangan dengan asupan natrium memiliki efek
lebih besar dalam menurunkan tekanan darah dibandingkan hanya diberikan diet
DASH saja atau pengurangan asupan natrium saja. Selain itu, penurunan tekanan
darah akibat DASH lebih besar terlihat pada subjek dengan hipertensi daripada
normotensif dimana diet DASH secara efektif menurunkan tekanan darah pada
kelompok dengan sensitivitas natrium tinggi dimana pola diet ini membuat tekanan
darah tidak sensitif terhadap natrium melalui aksi diuretiknya. Penelitian lain yang
dikeluarkan juga oleh AHA (American Heart Association) kepada 1068 anak-anak di
Belanda usia 5-7 tahun menggunakan studi kohort menemukan bahwa kepatuhan
terhadap pola diet DASH serta profil risiko genetik hipertensi yang rendah dikaitkan
dengan tekanan darah yang lebih rendah pada anak-anak normal, prehipertensi,
maupun hipertensi dari masa sekarang hingga masa mendatang. Kepatuhan terhadap
pola diet DASH ditentukan menggunakan DASH diet score chart.19
Pola diet DASH bekerja menurunkan tekanan darah karena menggabungkan
banyak nutrisi yang telah terbukti membantu mengurangi tekanan darah seperti
kalsium, potasium, magnesium, dan serat, serta menurunkan total lemak dan lemak
jenuh sehingga dapat bekerja sebagai natriuretik/diuretik.17 Selain itu pola diet ini
juga membatasi konsumsi natrium dimana asupan tinggi natrium meningkatkan
volume plasma, curah jantung, dan tekanan darah. Kelebihan asupan natrium akan
meningkatkan cairan dari sel dimana air akan bergerak ke arah larutan elektrolit yang
mempunyai konsentrasi lebih tinggi. Hal ini mengakibatkan peningkatan volume
plasma darah dan akan meningkatkan curah jantung sehingga tekanan darah
meningkat. Selain itu, asupan tinggi natrium dapat mengecilkan diameter arteri
sehingga jantung memompa lebih keras untuk mendorong volume darah yang
meningkat melalui ruang sempit. Pola diet DASH juga meningkatkan kadar kalium
dimana dapat menurunkan produksi vasokonstriktor thromboxane dan meningkatkan
produksi vasodilator kalidin sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah.
Vasodilatasi ini akan menyebabkan penurunan resistensi perifer dan meningkatkan
curah jantung. Kalium sebagai salah satu mineral yang menjaga keseimbangan cairan

16
dan elektrolit mempunyai efek natriuretik dan diuretik yang meningkatkan
pengeluaran natrium dan cairan dari dalam tubuh.16 Kalium juga menghambat
pelepasan renin sehingga mengubah aktivitas sistem renin angiotensin dan mengatur
saraf perifer dan sentral yang mempengaruhi tekanan darah. Selain kalium, pola diet
ini juga meningkatkan kadar kalsium juga berkaitan dengan terjadinya penebalan pada
pembuluh darah ke jantung. Jika asupan kalsium kurang dari kebutuhan tubuh maka
hormon paratiroid menstimulasi pengeluaran kalsium dari tulang dan masuk ke darah
untuk menjaga keseimbangan kalsium dalam darah. Kalsium dalam darah akan
mengikat asam lemak bebas sehingga pembuluh darah menjadi menebal dan
mengeras sehingga dapat mengurangi elastisitas jantung yang akan meningkatkan
tekanan darah. Selain itu, diet DASH juga meningkatkan kadar magnesium dimana
magnesium mempunyai peranan penting dalam upaya pengontrolan tekanan darah
dengan memperkuat jaringan endotel dan menstimulasi prostaglandin. Selain itu,
magnesium juga berperan dalam kontraksi otot jantung sehingga bila konsentrasi
magnesium dalam darah menurun maka otot jantung tidak dapat bekerja secara
maksimal sehingga mempengaruhi tekanan darah.18
Selain itu, pembatasan energi dan penurunan berat badan pada anak-anak
dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan sehingga diet yang tepat untuk
pengelolaan hipertensi masa kanak-kanak sangat penting. Pola diet harus dapat
memenuhi kebutuhan pertumbuhan anak terlepas dari memodifikasi keadaan
hipertensi mereka. Menurut suatu penelitian yang dilakukan terhadap anak-anak yang
memiliki hipertensi di UK, pola diet DASH selain dapat menurunkan tekanan darah
juga meningkatkan jumlah serat makanan, asam folat, vitamin C, karotenoid,
fitosterol, fitokimia, dan antioksidan sehingga cocok untuk mengobati hipertensi pada
GNAPS anak dan tetap mempertahankan pertumbuhan normal pada anak dan
remaja.17

2.2.2. Restriksi Cairan pada Pasien GNAPS Anak dengan Hipertensi


Restriksi cairan diketahui menjadi salah satu tatalaksana pada GNAPS dimana
harus dilakukan monitoring ketat antara cairan yang masuk dan keluar. Tatalaksana
restriksi cairan pada pasien GNAPS dengan hipertensi umumnya dilakukan pada fase
akut dan hal ini berhubungan dengan penyebab terjadinya hipertensi pada GNAPS
yaitu melalui mekanisme Renin Angiotensin-Aldosterone System (RAAS) dimana

17
terjadi retensi air dan natrium dan membuat stroke volume meningkat sehingga
meningkatkan tekanan darah. Restriksi cairan pada kasus GNAPS dengan hipertensi
diharapkan dapat mengurangi retensi cairan yang terjadi sehingga tidak terjadi
peningkatan cairan di ekstraseluler sehingga diharapkan tidak terjadi peningkatan
tekanan darah.9
Sebuah penelitian eksperimental yang dilakukan di Amerika dan dikeluarkan
oleh AHA (American Heart Society) meneliti mengenai loading dan restriksi cairan
pada pasien hipertensi menggunakan 45 sampel yang dibagi ke dalam 2 kelompok.
Semua obat antihipertensi dihentikan setidaknya 2 minggu sebelum penelitian
dimulai. Saat penelitian dimulai, responden diinstruksikan untuk mengikuti diet 3 hari
yang mengandung natrium 100 mEq/hari, dan kalium 75 mEq/hari. Pada hari ketiga
seluruh responden dirawat di pusat penelitian klinis dan tetap menjalani diet natrium
dan kalium yang sama. Responden terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok 1
terdiri dari 10 orang normotensive dan 13 orang hipertensi grade 1 dan diberikan
loading cairan sedangkan kelompok 2 terdiri dari 10 orang normotensive dan 12
orang hipertensi grade 1 dan dilakukan restriksi cairan. Kelompok dengan loading
cairan dinilai respon terhadap beban air oral dimana diberi loading cairan 20 ml/kgBB
selama periode 30 hingga 45 menit. Pada kelompok 2, setelah pengukuran kontrol
responden diberikan sarapan ringan yang mengandung 97 g air kemudian air dibatasi
selama 24 jam dengan menahan semua cairan dan makanan terhidrasi kecuali yang
diberikan saat makan siang (186 g kadar air) dan makan malam (335 g kadar air).
Semua responden tidak merokok dan tidak minum kopi atau teh setidaknya 12 jam
sebelum tes. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa respons ekskresi ginjal terhadap
loading cairan jangka pendek (beban oral 20 ml/kgBB selama 30-45 menit) pada
kelompok hipertensi mengeluarkan beban air lebih cepat daripada kelompok
normotensif. Tekanan darah rata-rata meningkat secara signifikan pada kelompok
hipertensi yaitu sebesar 16 mm Hg dan bermakna secara statistik dibandingkan
kelompok nomotensive 20 menit setelah loading cairan. Diuresis dan natriuresis
maksimum terjadi bersamaan dengan periode kenaikan tekanan darah paling besar.
Tekanan sistolik dan denyut jantung tidak berubah selama penelitian pada kelompok
normotensive, sedangkan kelompok hipertensi menunjukkan penurunan kecil tapi
signifikan pada tekanan sistolik (7 mmHg) dan diastolik (4 mmHg) setelah 24 jam
pembatasan cairan.20

18
Teori lain bertentangan dengan hasil yang didapatkan pada penelitian
sebelumnya dimana pembatasan cairan yang berlebihan dapat menyebabkan pasien
mengalami dehidrasi dan membuat perfusi ke ginjal semakin rendah. Hal ini akan
membuat iskemik pada sel-sel ginjal yang kemudian juga akan memicu respon Renin-
Angiotensin-Aldosterone System dimana dapat meningkatkan tekanan darah dan
memperparah kondisi hipertensi pada pasien GNAPS dengan hipertensi. Selain itu,
restriksi cairan berlebihan yang menyebabkan dehidrasi membuat kelenjar adrenal
mensekresi vasopresin akibat respon peningkatan konsentrasi natrium di darah. Teori
ini didukung oleh penelitian mengenai dehidrasi dengan tekanan darah pada bayi.
Penelitian dilakukan secara kohort selama 7 tahun dengan mengambil 7834 bayi yang
masuk rumah sakit dengan dehidrasi. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata tekanan
darah diastolik pada kelompok bayi dengan dehidrasi ringan dan sedang meningkat
sekitar 1 mmHg dan pada kelompok dehidrasi berat meningkat 1,5 mmHg dengan
peningkatan rata-rata tekanan sistolik 2 mmHg.21 Hal ini menunjukkan pembatasan
cairan dapat digunakan untuk tatalaksana pasien GNAPS anak dengan hipertensi,
namun tidak boleh dilakukan dalam jangka panjang dan status dehidrasi harus selalu
dipantau dengan memperhatikan input dan output cairan.21

BAB III
KESIMPULAN

Berbagai penelitian telah meneliti manfaat modifikasi diet terhadap pasien anak
dengan hipertensi dan hasilnya menunjukkan modifikasi diet DASH memiliki hasil yang
paling baik dengan penurunan tekanan darah sama efektifnya dengan pemberian obat
antihipertensi pada pasien hipertensi derajat I. Lini awal dari tatalaksana hipertensi adalah
modifikasi gaya hidup termasuk modifikasi diet dan diet DASH direkomendasikan untuk
diaplikasikan pada pasien GNAPS anak dengan hipertensi untuk menurunkan tekanan darah
dan mencegah komplikasi yang dapat terjadi seperti ensefalopati hipertensi. Rekomendasi
untuk mengikuti pola makan DASH selama 6 minggu di antara remaja menyebabkan
penurunan prevalensi tekanan darah tinggi pada pasien GNAPS dengan hipertensi dan dapat

19
dilakukan jangka panjang walaupun pasien sudah sembuh dari GNAPS dengan hipertensi.
Pola diet DASH yang lebih direkomendasikan adalah yang bersamaan dengan pembatasan
asupan natrium dan efeknya lebih terlihat pada pasien hipertensi dibandingkan normotensif.
Restriksi cairan juga merupakan salah satu tatalaksana GNAPS dengan hipertensi.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, tekanan darah rata-rata meningkat secara
signifikan pada kelompok hipertensi dibandingkan kelompok nomotensive 20 menit setelah
loading cairan. Selain itu, menurut penelitian dengan intervensi restriksi cairan, tekanan
sistolik dan denyut jantung tidak berubah pada kelompok normotensive, sedangkan kelompok
hipertensi menunjukkan penurunan kecil tapi signifikan pada tekanan sistolik dan diastolik
setelah 24 jam pembatasan cairan sehingga ditemukan pemberian cairan bermakna dalam
meningkatkan tekanan darah anak termasuk pada GNAPS dengan hipertensi. Restriksi cairan
dengan pemantauan berkala input dan ouput cairan serta memperhatikan status hidrasi pasien
dapat direkomendasikan untuk dilakukan pada pasien GNAPS anak dengan hipertensi
bersamaan dengan pemberian modifikasi diet DASH.

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. The Current Evidence for the Burden of Group A
Streptococcal Diseases. , Department of Child and Adolescent Health and
Development World Health Organization; 2005.
2. Rodriguez-Iturbe B, Najafian B, Silva A, Alpers CE. Acute Postinfectious
Glomerulonephritis in Children. In Avner ED, Harmon E, Niaudet P, Yoshikawa N,
Emma F, Goldstein SL. Pediatric Nephrology 7th Edition.; 2016. p. 1905 - 1921.
3. Pardede SO, Trihono PP, Tambunan T. Gambaran Klinis Glomerulonefritis Akut
pada Anak di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,
Jakarta. Sari Pediatri. 2005 Maret; 6(4): p. 144-148.

20
4. Van De Voorde RG. Acute poststreptococcal glomerulonephritis: The most common
acute glomerulonephritis. Pediatr Rev. 2015;36(1):3–13.
5. Rachmadi D. Diagnosis dan Penatalaksanaan Glomerulonefritis Akut. In Simposium
Nasional II IDAI cabang Lampung 24-25 April 2010; 2010; Bandar Lampung.
6. Hoy WE, White AV, Dowling A, Sharma SK, Bloomfield H, Tipiloura BT, et al.
Post-streptococcal Glomerulonephritis is A Strong Risk Factor for Chronic Kidney
Disease in Later Life. Kidney International. 2012 Februari 1; 81: p. 1026 - 1032.
7. National Kidney Foundation. Childhood Infection and Kidney Disease. [Online].;
2016. Available from:
https://www.kidney.org/atoz/content/childhood-infections-kidney-disease.
8. Nur S, Albar H, Daud D. Prognostic Factors for Mortality in Pediatric Acute
Poststreptococcal Glomerulonephritis.Pediatrica Indonesiana.2016 Mei;56(3):p.166-9.
9. Kliegman R. Stanton B. St Geme J. W. Schor N. F. Behrman R. E. & Nelson W. E.
(2020). Nelson textbook of pediatrics (Edition 21). Elsevier.
10. Rauf S, Husein A, Aras J. Konsensus Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus.
Unit Kerja Koord Nefrol Ikat Dr Anak Indones. 2012;13–4.
11. Lumbanbatu SM. Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus pada Anak. Sari
Pediatri. 2016;5(2):58.
12. IDAI. Pedoman Pelayanan Medis. 2019;
13. Post-Streptococcal Glomerulonephritis (PSGN) | CDC. (n.d.). Retrieved October 8,
2022, from https://www.cdc.gov/groupastrep/diseases-public/post-
streptococcal.html
14. Poststreptococcal glomerulonephritis-UpToDate.(n.d.).Retrieved October 8
2022,from https://www.uptodate.com/contents/poststreptococcal-glomerulonephritis?
search=psg
n&source=search_result&selectedTitle=1~60&usage_type=default&display_rank=1
15. Whelton PK, Carey RM, Aronow WS, et al. 2017
ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/APhA/ASH/ASPC/NMA/PCNA Guideline for
the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High Blood Pressure in
Adults: A Report of the American College of Cardiology/American Heart Association
Task Force on Clinical Practice Guidelines. Hypertension 2018; 71:e13
16. Appel LJ, Moore TJ, Obarzanek E, et al. A clinical trial of the effects of dietary
patterns on blood pressure. DASH Collaborative Research Group. N Engl J Med
1997; 336:1117.

21
17. Sacks FM, Svetkey LP, Vollmer WM, et al. Effects on blood pressure of reduced
dietary sodium and the Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) diet.
DASH-Sodium Collaborative Research Group. N Engl J Med 2001; 344:3.
18. Neaton JD, Grimm RH Jr, Prineas RJ, et al. Treatment of Mild Hypertension Study.
Final results. Treatment of Mild Hypertension Study Research Group. JAMA 1993;
270:713.
19. Appel LJ, Moore TJ, Obarzanek E, Vollmer WM, Svetkey LP, Sacks FM, Bray GA,
Vogt TM, Cutler JA, Windhauser MM, Lin PH, Karanja N. A clinical trial of the
effects of dietary patterns on blood pressure. DASH Collaborative Research Group. N
Engl J Med. 1997; 336: 1117–1124.
20. Velesquez MT, Skeleton MM, Cowley AW. Water Loading and Restriction in
Essential Hypertension. AHA journal. 1987;9(4):407-414
21. Wyler F, Stalder H, Kaeslin M, Robert RP. Hemodynamics in Experimental
Hypernatremic Dehydration with Special Reference to Individual Organ Blood Flow
in Shock After Rehydration. Pediatric Research. Pediat Res. 1983;17: 919-25

22

Anda mungkin juga menyukai