(0761) 23411
PANDUAN RESUSITASI
RUMAH SAKIT NUR HIDAYAH
TAHUN 2019
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat dan ridho-Nya telah tersusun buku
Panduan Pelayanan Resusitasi Jantung Paru (RJP) di Rumah Sakit Ibu dan Anak Annisa
Pekanbaru.
Henti jantung menjadi penyebab kematian terbanyak baik pada laki-laki maupun
perempuan di dunia. Tingginya angka kematian akibat henti jantung menuntut tenaga medis
untuk dapat memberikan resusitasi jantung paru (RJP) yang optimal. Sehingga, kemampuan
mendeteksi kasus henti jantung harus diketahui baik oleh tenaga awam dan medis di Rumah
Sakit Ibu dan Anak Annisa Pekanbaru. Oleh karena itu, diperlukan buku panduan pelayanan
resusitasi jantung paru di Rumah Sakit Ibu dan Anak Annisa Pekanbaru agar dapat dijadikan
acuan bagi tenaga awam dan medis di Rumah Sakit Ibu dan Anak Annisa Pekanbaru.
Penyempurnaan dan pengembangan buku panduan ini akan terus dilakukan sesuai
dengan tuntutan program, kemajuan ilmu dan teknologi dibidang kedokteran serta standar
pelayanan rumah sakit. Dengan demikian Rumah Sakit Ibu dan Anak Annisa Pekanbaru dapat
senantiasa meningkatkan dan mempertahankan mutu yang telah dicapainya dalam memberikan
pelayanan kepada pasien.
Terima kasih.
Wassalamualaikum Wr.Wb
Tim Penyusun
i
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii
PERATURAN DIREKTUR TENTANG PANDUAN PELAYANAN
RESUSITASI JANTUNG PARU (RJP)...........................................................................iii
BAB I DEFINISI............................................................................................................... 1
BAB II RUANG LINGKUP................................................................................................2
BAB III TATALAKSANA...................................................................................................3
A. RESUSITASI JANTUNG PARU.......................................................................3
B. FASE RESUSITASI JANTUNG PARU.............................................................4
C. RANTAI KELANGSUNGAN HIDUP (CHAIN OF SURVIVAL)..........................4
D. LANGKAH-LANGKAH BANTUAN HIDUP DASAR (BHD)...............................6
E. BANTUAN HIDUP LANJUT............................................................................17
F. PERLENGKAPAN...........................................................................................21
G. BANTUAN HIDUP LANJUT PADA ANAK........................................................22
H. RESUSITASI JANTUNG PARU PADA METODE TIM.....................................33
I. KEPUTUSAN UNTUK MENGAKHIRI UPAYA RESUSITASI.............................35
J. KOMPLIKASI RESUSITASI JANTUNG PARU..................................................37
BAB IV DOKUMENTASI...................................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 39
ii
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
Menimbang : a. Bahwa untuk mencapai mutu asuhan di Rumah Sakit Ibu dan Anak
Annisa Pekanbaru, maka perlu adanya sebuah Panduan Pelayanan
Resusitasi Jantung Paru (RJP) sebagai acuan bagi dokter dan perawat
dalam memberikan resusitasi jantung paru pada pasien;
b. Bahwa Panduan Pelayanan Resusitasi Jantung Paru (RJP) terdiri dari
Bantuan Hidup Dasar (BHD) yang dapat dilakukan oleh penolong
awam yang telah terlatih dan Bantuan Hidup Lanjut (BHL) yang
dilaksanakan oleh petugas medis yaitu dokter, perawat yang
memberikan pelayanan resusitasi jantung paru kepada pasien di
Rumah Sakit Ibu dan Anak Annisa Pekanbaru;
c. Bahwa atas pertimbangan hal-hal diatas maka diperlukan peraturan
direktur tentang Panduan Pelayanan Resusitasi Jantung Paru (RJP) di
Rumah Sakit Ibu dan Anak Annisa Pekanbaru.
Mengingat : 1. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan.
2. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang
Rumah Sakit,
3. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran.
4. Fatwa MUI Nomor L07/DSN-MUIIX/2016 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Rumah Sakit Berdasarkan Prinsip Syariah.
rsannisapku https://www.annisapekanbaru.com
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK ANNISA
PEKANBARU TENTANG PANDUAN PELAYANAN RESUSITASI
JANTUNG PARU (RJP) DI RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK
ANNISA PEKANBARU.
KESATU : Panduan Pelayanan Resusitasi Jantung Paru (RJP) merupakan
acuan bagi dokter, perawat, bidan dan petugas non medis yang
terlatih untuk memberikan pertolongan RJP kepada pasien di
Rumah Sakit Ibu dan Anak Annisa Pekanbaru.
KEDUA : Penerapan isi Panduan Pelayanan Resusitasi Jantung Paru
(RJP) dilakukan melalui monitoring dan evaluasi terhadap
pelayanan resusitasi jantung paru yang telah dilakukan agar sesuai
dengan prosedur serta peraturan yang berlaku di Rumah Sakit Ibu
dan Anak Annisa Pekanbaru.
KETIGA : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dan apabila di
kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam penetapan ini
akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di Bantul
Pada Tanggal 11 Jumadil Akhir 1440 H
16 Februari 2019 M
DIREKTUR
Tembusan :
rsannisapku https://www.annisapekanbaru.com
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
Lampiran
Peraturan Direktur RS Nur Hidayah
Nomor : 71/RSNH/PDNH/II/2019
Tanggal : 11 Jumadil Akhir 1440 H
16 Februari 2019 M
BAB I
DEFINISI
1
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
BAB II
RUANG LINGKUP
1. Panduan ini mengatur untuk melakukan tindakan resusitasi jantung paru (RJP) baik berupa
bantuan hidup dasar maupun bantuan hidup lanjutan.
2. Panduan ini diterapkan kepada semua pasien yang mengalami kegawatan berupa henti
jantung dan henti nafas apapun penyebabnya baik di rawat jalan maupun rawat inap.
3. Bantuan hidup dasar boleh dilakukan oleh semua petugas di Rumah Sakit Ibu dan Anak
Annisa Pekanbaru yang telah mendapatkan pelatihan Bantuan Hidup Dasar (BHD)
sedangkan Bantuan hidup lanjutan hanya boleh dilakukan oleh dokter dan perawat.
4. Panduan ini berisi pembahasan mengenai :
A. RESUSITASI JANTUNG PARU
B. FASE RESUSITASI JANTUNG PARU
C. RANTAI KELANGSUNGAN HIDUP (CHAIN OF SURVIVAL)
D. LANGKAH-LANGKAH BANTUAN HIDUP DASAR (BHD)
E. BANTUAN HIDUP LANJUT
F. PERLENGKAPAN
G. BANTUAN HIDUP LANJUT PADA ANAK
H. RESUSITASI JANTUNG PARU PADA METODE TIM
I. KEPUTUSAN UNTUK MENGAKHIRI UPAYA RESUSITASI
J. KOMPLIKASI RESUSITASI JANTUNG PARU
2
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
BAB III
TATALAKSANA
Irama jantung yang dapat teramati saat pasien yang mengalami henti jantung yaitu:
a. Takikardia ventrikel tanpa nadi (pulseless ventricular tachycardia atau VT), dimana EKG
menunjukkan kompleks QRS lebar yang masih teratur dengan frekuensi lebih dari 120
kali/menit.
b. Fibrilasi ventrikel (ventricular fibrillation atau VF), dimana EKG menunjukkan gelombang
yang tidak teratur dengan bentuk yang berbeda-beda yang menunjukkan terjadinya
kontraksi ventrikel yang tidak terkoordinasi.
c. Asistol, dimana EKG menunjukkan tidak adanya aktivitas listrik yang berlangsung pada
jantung.
d. Aktivitas listrik tanpa nadi (pulseless electrical activity atau PEA), dimana aktivitas listrik
pada jantung menunjukkan adanya gelombang EKG, tapi nadi sentral (karotis) tidak
teraba. Irama VT dan VF dikategorikan sebagai irama shockable, yang artinya irama-
3
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
irama ini dapat diberikan kejut listrik (shock) dengan menggunakan defibrilator untuk mengakhiri
irama tersebut. Sedangkan irama asistol dan PEA dikategorikan sebagai irama nonshockable.
Saat ini hipotermia terapeutik telah dimasukkan sebagai bagian dari strategi terapi
standar pada korban henti jantung yang mengalami koma. Hipotermia terapeutik akan
memberikan manfaat sebagai berikut, yaitu:
a.Penghambatan atau supresi reaksi-reaksi kimia yang dipicu oleh cedera reperfusi
b.Memperbaiki pengiriman oksigen ke otak
c. Menurunkan frekuensi jantung dan meningkatkan resistensi vaskuler sistemik tetapi
tetap mempertahankan volume sekuncup dan tekanan darah arteri.
4
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
5
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
6
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
Bila terjadi henti nafas primer, jantung dapat terus memompa darah selama beberapa
menit dan sisa O2 yang ada dalam paru dan darah akan terus beredar ke otak dan organ vital
lainnya. penanganan dini pada korban dengan henti nafas atau sumbatan jalan nafas dapat
mencegah henti jantung. Bila terjadi henti jantung primer, O2 tidak beredar dan O2 yang tersisa
dalam organ vital akan habis dalam beberapa detik. Henti hantung dapat disertai oleh fenomena
listrik berikut : fibrilasi venttrikular takikardia ventrikularm asistol ventrikular atau disosiasi
elektromekanis.
Penilaian tahapan BHD sangat penting. Tindakan resusitasi (yaitu posisi, pembukaan
jalan nafas, nafas buatan dan kompresi dada luar) dilakukan kalau memang betul dibutuhkan.
Ini ditentukan penilaian yang tepat. Setiap langkah ABC RJP dimulai dengan : penentuan tidak
ada respon, tidak ada nafas dan tidak ada nadi.
Pada korban yang tiba-tiba kolaps, kesadaran harus segera ditentukan dengan tindakan
“goncangan dan teriak” yang terdiri dari : menggoncangkan korban dengan lembut dan
memanggil keras-keras. Sejak tahun 1966, American Heart Assocation (AHA) telah menetapkan
pedoman resusitasi dengan urutan langkah-langkah (sekuens) BHD dengan akronim “A-B-C”
yaitu membuka jalan napas korban (Airway), memberikan bantuan napas (Breathing) dan
kemudian memberikan kompresi dada (Circulation). Namun ternyata sekuens ini berdampak
pada penundaan bermakna sekitar 30 detik untuk memberikan kompresi dada lebih awal untuk
mempertahankan sirkulasi pada korban. Pada menit-menit awal korban/pasien mengalami henti
jantung, dalam darah pasien masih terkandung residu oksigen dalam bentuk ikatan
oksihemoglobin yang dapat diedarkan dengan bantuan sirkulasi buatan melalui kompresi dada.
Sehingga dalam Guidelines 2015, AHA mengatur ulang sekuens RJP dari “A-B-C” menjadi “C-
A-B”, sehingga memungkinkan setiap penolong memulai kompresi dada sesegera mungkin.
7
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
8
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
Kompresi dada dilakukan dengan kedalaman minimal 2 inci (5 cm) dan kedalaman
maksimal 2,4 inci (6 cm). Pembatasan kedalaman kompresi maksimal diperuntukkan
mengurangi potensi cedera akibat kedalaman kompresi yang berlebihan. Pada pasien
bayi minimal sepertiga dari diameter anterior-posterior dada atau sekitar 1 ½ inchi (4 cm)
dan untuk anak sekitar 2 inchi (5 cm). Pada pasien anak dalam masa pubertas (remaja),
kedalam kompresi dilakukan seperti pada pasien dewasa.
Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah sternum). Petugas
berlutut jika korban terbaring di bawah, atau berdiri disamping korban jika korban berada
di tempat tidur. Tabel 1 mencantumkan beberapa hal yang perlu diperhatikan selama
melakukan kompresi dada dan pemberian ventilasi:
Menunggu recoil dada yang sempurna dalam sela kompresi. Selama melakukan siklus
kompresi dada, penolong harus membolej\hkan rekoil dada penuh dinding dada setelah
setiap kompresi; dan untuk melakukan hal tersebut penolong tidak boleh bertumpu di
atas dada pasien setelah setiap kompresi.
Meminimalisir interupsi dalam sela kompresi. Penolong harus berupaya meminimalkan
frekuensi dan durasi gangguan dalam kompresi untuk mengoptimalkan jumlah kompresi
yang dilakukan per menit.
Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan
nafas melalui head tilt – chin lift. Namun jika korban dicurigai cedera tulang belakang
maka bebaskan jalan nafas melalui jaw thrust.
9
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
Jika pasien mempunyai denyut nadi namun membutuhkan pernapasan bantuan, ventilasi
dilakukan dengan kecepatan 5-6 detik/nafas atau sekitar 10-12 nafas/menit dan memeriksa
denyut nadi kembali setiap 2 menit. Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi
adalah 30 : 2.
RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis datang, pasien bangun, atau petugas
ahli datang. Bila harus terjadi interupsi, petugas kesehatan sebaiknya tidak memakan lebih dari
10 detik, kecuali untuk pemasangan alat defirbilasi otomatis atau pemasangan advance airway.
10
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
Pada pasien pediatri, algoritma RJP bergantung apakah ada satu orang penolong atau
dua (atau lebih) orang penolong (gambar 6 dan 7). Bila ada satu orang penolong, rasio kompresi
dada dan ventilasi seperti pasien dewasa yaitu 30 : 2; tetapi bila ada dua orang penolong maka
rasio kompresi dada dan ventilasi menjadi 15 : 2. Jika anak/bayi mempunyai denyut nadi namun
membutuhkan pernapasan bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 3-5 detik/nafas atau
sekitar 12-20 nafas/menit dan memeriksa denyut nadi kembali setiap 2 menit. Untuk satu siklus
perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2 untuk satu orang penolong dan 15 : 2 untuk
dua orang atau lebih penolong.
11
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
12
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
13
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
d. Pengaturan Posisi
1) Posisi Pasien
Pasien terlentang pada permukaan keras dan rata. Jika ditemukan tidak dalam
posisi terlentang, terlentangkan pasien dengan teknik log roll, yaitu digulingkan
secara bersamaan kepala, leher dan punggung.
2) Posisi Penolong
Berlutut sejajar dengan bahu pasien agar dapat memberikan resusitasi jantung
paru (RJP) secara efektif tanpa harus mengubah posisi atau menggeser lutut.
Setelah melakukan prosedur dasar, maka langkah-langkah prosedur BHD selanjutnya yang
harus dilakukan, yaitu:
a. Airway
Penolong memastikan jalan napas bersih dan terbuka sehingga memungkinkan pasien
dapat diberi bantuan napas, sehingga langkah ini terdiri atas dua tahapan, yaitu:
1) Membersihkan jalan napas
a. Membuka mulut dengan cara jari silang (cross finger), ibu jari
diletakkan berlawanan dengan jari telunjuk pada mulut korban.
b. Memeriksa adanya sumbatan pada jalan napas. Jika ditemukan
sumbatan benda cair, bersihkan dengan teknik finger sweep
14
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
(sapuan jari) yaitu menyusuri rongga mulut dengan dua jari, bisa
dilapisi dengan kasaatau potongan kain untuk menyerap cairan. Jika ditemukan sumbatan
benda padat, dapat dikorek dengan menggunakan jari telunjuk yang dibengkokkan. Namun
teknik ini harus dilakukan dengan hati-hati, karena teknik ini dapat mendorong sumbatan
semakin dalam. Semua prosedur ini tidak boleh dilakukan lebih dari 10 detik.
2) Membuka jalan napas
Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing, jalan napas
pasien/korban harus dibuka. Bia sanya pada korban yang tidak sadar tonus otot-
ototnya menghilang termasuk tonus otot pada palatum sehingga palatum dapat turun
dan menempel pada epiglotis. Kondisi ini menjadi penyebab sumbatan jalan napas
pada pasien tidak sadar. Pembebasan jalan napas dapat dilakukan dengan
menggunakan tiga teknik yaitu head tilt (tengadah kepala), chin lift (angkat dagu) dan
jaw thrust (dorongan rahang). Ketiga teknik ini dikenal dengan Triple Airway Manuveur.
AHA Guideline 2015 merekomendasikan untuk :
a) Menggunakan head tilt-chin lift untuk membuka jalan napas pada pasien yang tidak
ada kecurigaan trauma kepala dan leher. Sekitar 0,12-3,7% mengalami cedera
spinal dan risiko cedera spinal meningkat jika pasien mengalami cedera kraniofasial
dan/atau GCS <8.
b) Gunakan jaw thrust jika pasien dicurigai mengalami cedera servikal. Pasien suspek
cedera spinal lebih diutamakan dilakukan restriksi manual (menempatkan 1 tangan
di tiap sisi kepala pasien) dari pada menggunakan spinal immobilization devices
karena dapat mengganggu jalan napas, namun alat ini bermanfaat mempertahankan
kesejajaran spinal selama transportasi.
b. Breathing
Bantuan napas dapat dilakukan melalui mulut ke mulut, mulut ke hidung atau mulut ke
stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan) dengan cara memberikan hembusan napas
sebanyak 2 kali hembusan. Waktu yang dibutuhkan untuk tiap kali hembusan adalah 1,5–2
detik dan volume udara yang dihembuskan adalah 400 -600 ml (10 ml/kg) atau sampai
dada pasien/korban tampak mengembang. Jika mengalami kesulitan untuk memberikan
hembusan napas yang efektif, periksa apakah masih ada sumbatan di mulut pasien serta
perbaiki posisi tengadah kepala dan angkat dagu pasien/korban. Pemberian bantuan
pernapasan, terdiri atas 3 (tiga) teknik yaitu:
1) Mouth to Mouth (Mulut ke Mulut)
Teknik ini merupakan cara yang cepat dan efektif untuk memberikan udara ke paru–
paru korban / pasien. Pada saat dilakukan hembusan napas
penolong harus mengambil napas terlebih dahulu dan mulut
penolong harus dapat menutup seluruh mulut pasien/korban
dengan baik agar tidak terjadi kebocoran saat menghembuskan
napas dan juga penolong harus menutup lubang hidung
pasien/korban dengan ibu jari dan jari telunjuk untuk mencegah
udara keluar kembali dari hidung.
2) Mouth to Nose (Mulut ke Hidung)
15
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
16
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
17
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
Selain itu, kompresi yang dilakukan memungkinkan terjadinya complete chest recoil
atau pengembangan dada seperti semula setelah kompresi sebelum memulai kompresi
kembali. Dari tindakan kompresi yang benar hanya akan mencapai tekanan sistolik 60–80
mmHg, dan diastolik yang sangat rendah, sedangkan curah jantung (cardiac output) hanya
25% dari curah jantung normal. Selang waktu mulai dari menemukan pasien dan dilakukan
prosedur dasar sampai dilakukannya tindakan bantuan sirkulasi (kompresi dada) tidak boleh
melebihi 30 detik.
18
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
d. Defibrilation
Defibrilation atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan istilah defibrilasi adalah
suatu terapi kejut jantung dengan memberikan energi listrik. Hal ini dilakukan jika
penyebab henti jantung (cardiac arrest) adalah kelainan irama jantung yang disebut
dengan Fibrilasi Ventrikel. Dimasa sekarang ini sudah tersedia alat untuk defibrilasi
(defibrilator) yang dapat digunakan oleh orang awam yang disebut Automatic External
Defibrilation, dimana alat tersebut dapat mengetahui korban henti jantung ini harus
dilakukan defibrilasi atau tidak, jika perlu dilakukan defibrilasi alat tersebut dapat
memberikan tanda kepada penolong untuk melakukan defibrilasi atau melanjutkan
bantuan napas dan bantuan sirkulasi.
(0761) 23411
20
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
21
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
Bantuan hidup lanjut terdiri atas bantuan hidup dasar ditambah dengan D (drugs) yaitu
pemberian obat-obatan yang menunjang pertolongan resusitasi jantung paru. Obat-obatan
tersebut dibagi menjadi 2 golongan yaitu :
1. Penting
a. Adrenalin
22
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
(0761) 23411
F. PERLENGKAPAN
Di rumah sakit perlengkapan dan obat-obatan untuk BHL biasanya di disimpan pada
kereta yang dapat didorong dan diletakkan pada daerah yang strategism termasuk kamar
operasi dan ruang pulih. Perlengkapan pada kereta ini hendaknya mencakup tabung
oksigen, pipa jalan nafas orofaringeal, sungkup, alat balon dan katup untuk ventilasi paru,
perlengkapan pengisapan faring, perlengkapan intravena, monitor EKG, defribilator arus
24
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
(0761) 23411
23
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
24
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
e. Ambil nafas lagi dan ulangi urutan ini sebanyak lima kali.
Baik pada bayi dan anak-anak, jika anda memiliki kesulitan untuk memberikan nafas
yang efektif, jalan nafas mungkin mengalami obstruksi:
a. Buka mulut anak dan hilangkan setiap obstruksi yang terlihat. Jangan melakukan
sapuan jari buta.
b. Pastikan bahwa posisi kepala mendongak dan dagu terangkat dalam keadaan
memadai tetapi juga leher tidak dalam keadaan ekstensi berlebihan.
c. Jika kepala mendongak dan dagu terangkat belum membuka jalan nafas, cobalah
metode mendorong rahang.
d. Berikan lima kali upaya untuk memberikan bantuan nafas yang efektif, jika masih
tidak berhasil, lanjutkan ke kompresi dada.
8. Penilaian sirkulasi anak dalam waktu tidak lebih dari 10 detik dengan cara:
a. Perhatikan ada tidaknya tanda-tanda kehidupan- termasuk setiap pergerakan, batuk
atau pernafasan normal (nafas tidak normal atau jarang, nafas tidak teratur).
b. Jika anda memeriksa denyut nadi, pastikan tidak lebih dari 10 detik.
c. Pada anak berusia lebih dari 1 tahun- periksa denyut arteri karotis pada leher.
d. Pada bayi- periksa denyut arteri brakialis pada bagian medial lengan atas.
e. Denyut arteri femoralis di daerah selangkangan, yang terletak di pertengahan antara
spina iliaka anterior superior dan simfisis pubis, juga dapat digunakan pada bayi dan
anak-anak.
9. Jika anda yakin bahwa anda dapat mendeteksi tanda-tanda kehidupan dalam 10 detik:
a. Lanjutkan bantuan pernafasan jika dibutuhkan, sampai anak mulai bernafas efektif
sendiri.
b. Atur posisi anak ke samping (ke posisi pemulihan) jika dia tetap sadar.
c. Nilai kembali keadaan anak sesering mungkin.
10. Jika tidak ada tanda-tanda kehidupan, kecuali anda PASTIKAN bahwa anda dapat
memeriksa denyut nadi lebih dari 60 denyut/min dalam waktu 10 detik:
a. Mulai kompresi dada.
b. Kombinasikan bantuan pernafasan dan kompresi dada:
24
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
(0761) 23411
26
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
c. Batuk efektif
1) Menangis atau respon verbal terhadap pertanyaan
2) Batuk keras
3) Dapat bernafas sebelum batuk
4) Berespon dengan baik
27
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
(0761) 23411
d. Pernafasan.
1) Berikan oksigen pada konsentrasi tertinggi (mis. 100%) selama resusitasi awal.
2) Setelah sirkulasi dipulihkan, berikan oksigen yang cukup untuk mempertahankan
saturasi oksigen arteri (SaO2) pada kisaran 94-98%.
3) Hiperventilasi menyebabkan peningkatan tekanan intra torakal, penurunan
perfusi otak dan koroner, dan angka kelangsungan hidup yang rendah baik pada
hewan maupn orang dewasa.
4) Setelah jalan nafas terjamin dengan intubasi trakea, lanjutkan dengan ventilasi
tekanan positif pada kecepatan 10-12 nafas/menit tanpa mengganggu kompresi
dada.
5) Pemantauan end-tidal CO2 (ETCO2) dengan detektor kolorimetri atau capnometer
dapat memastikan penempatan tube trakea pada anak dengan berat lebih dari 2
kg, dan dapat digunakan pada perawatan pra dan di dalam rumah sakit, serta
selama transport anak.
29
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
e. Sirkulasi
1) Pasang monitoring jantung [first line-pulse oximetry (SpO2), ECG dan non-
invasive blood pressure (NIBP)].
2) Memperoleh akses vaskular. Dapat berupa IV perifer atau kanulasi IO. Jika telah
terpasang, kateter intravena sentral harus digunakan.
3) Berikan cairan bolus (20 ml /kg) dan atau obat-obatan (misalnya , inotropik,
vasopressors, anti-aritmia) sesuai kebutuhan.
4) Cairan kristaloid isotonik direkomendasikan sebagai cairan resusitasi awal pada
bayi dan anak-anak dengan semua jenis syok, termasuk syok septik
5) Menilai dan menilai ulang anak kontinyu, dimulai setiap kali dengan jalan nafas
sebelum melanjutkan ke pernafasan dan kemudian sirkulasi.
6) Selama perawatan, kapnografi, monitoring tekanan darah arteri invasif, analisis
gas darah, monitoring curah jantung, echokardiografi, dan saturasi oksigen vena
sentral (ScvO2) mungkin berguna untuk memandu pengelolaan gagal nafas dan
atau gagal sirkulasi.
f. Akses vaskular.
Akses vena dapat sulit untuk diperoleh selama resusitasi bayi atau anak: jika upaya
mendapatkan akses IV tidak berhasil setelah satu menit, masukkan jarum IO
sebagai gantinya. Untuk ute pemberian obat, akses intraosseous atau IV adalah
yang banyak dipilih dibanding via trakea.
g. Adrenalin.
Dosis adrenalin IV / IO yang direkomendasikan pada anak-anak untuk dosis awal
dan dosis selanjutnya adalah 10 µg /kg. Dosis tunggal maksimum adalah 1 mg. Jika
perlu, dapat diberikan adrenalin dosis lanjutan setiap 3-5 menit. Adrenalin
intratrakeal tidak lagi dianjurkan tetapi jika rute ini digunakan, dosisnya adalah
sepuluh kali ini (100 µg /kg).
Non-shockable—asystole, PEA
1) Berikan adrenalin IV atau IO (10 µg/kg) dan ulangi setiap 3-5 menit.
30
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
Shockable—VF/pulseless VT
1) Usaha defibrilasi segera (4J/kg):
2) Charge defibrilator, sementara penolong lain terus melakukan kompresi dada.
3) Setelah defibrilator charged, hentikan sementara kompresi dada, pastikan bahwa
semua penolong menjauh dari pasien. Minimalkan penundaan antara
penghentian kompresi dada dan pemberian kejutan listrik- bahkan keterlambatan
5-10 detik akan mengurangi kemungkinan keberhasilan kejutan listrik.
4) Berikan satu kejutan listrik.
5) Lanjutkan RKP sesegera mungkin tanpa menilai kembali irama jantung.
6) Setelah 2 menit, periksa sebentar ritme jantung pada monitor
a) Berikan kejutan listrik kedua (4J/kg) jika masih VF / VT tanpa nadi
b) Berikan RJP selama 2 menit secepat mungkin tanpa menilai kembali irama
jantung.
c) Berhenti sebentar untuk menilai irama jantung, jika masih VF / VT tanpa nadi,
berikan kejutan listrik ketiga sebesar 4J/kg.
d) Berikan adrenalin 10 µg/kg dan amiodarone 5 mg/kg setelah kejutan listrik
ketiga setelah RKP dilakukan kembali.
e) Berikan adrenalin setiap siklus alternatif (misal, setiap 3-5 menit selama RKP)
f) Berikan dosis kedua amiodarone 5mg/kg jika masih VF / VT tanpa nadi
setelah kejutan listrik kelima.
g) Jika anak masih VF / VT tanpa nadi, lanjutkan kejutan listrik 4J/kg dengan
RKP 2 menit secara bergantian. Jika terdapat tanda-tanda kehidupan yang
jelas, periksa monitor untuk ritme teratur, jika hal ini ada, periksa tanda-tanda
kehidupan dan pulsasi sentral dan evaluasi hemodinamik anak (tekanan
darah, denyut nadi perifer, waktu pengisian kapiler).
h) Identifikasi dan obati penyebab reversibel (4HS & 4TS) mengingat bahwa 2HS
pertama (hipoksia dan hipovolemia) memiliki prevalensi tertinggi pada anak
yang sakit atau cedera kritis.
i) Jika defibrilasi berhasil tapi VF / VT tanpa nadi berulang, lanjutkan RKP,
berikan amiodarone dan defibrilasi lagi pada dosis yang efektif sebelumnya.
j) Mulai infus amiodarone kontinyu.
k) Echocardiography dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyebab potensial
henti jantung
31
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
i. Aritmia
Aritmia tidak stabil. Periksa tanda-tanda kehidupan dan denyut nadi utama dari
setiap anak dengan aritmia, jika tidak ada tanda-tanda kehidupan, perlakukan
sebagai cardiopulmonary arrest. Jika anak mengalami tanda-tanda kehidupan dan
terdapat denyut nadi utama, evaluasi status hemodinamik. Setiap kali status
hemodinamik terganggu, maka langkah pertama adalah:
1) Buka jalan nafas.
2) Berikan bantuan oksigen dan ventilasi jika diperlukan.
32
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
j. Bradikardia
1) Umumnya disebabkan oleh hipoksia, asidosis, dan atau hipotensi berat, ini dapat
berkembang menjadi cardiopulmonary arrest.
2) Berikan oksigen 100%, dan ventilasi tekanan positif jika diperlukan, untuk setiap
anak yang mengalami bradiaritmia dan kegagalan sirkulasi.
3) Jika seorang anak dengan perfusi buruk memiliki denyut jantung <60 denyut
/menit, dan tidak berespon dengan cepat terhadap ventilasi dengan oksigen,
mulai kompresi dada dan berikan adrenalin.
4) Jika bradikardia disebabkan oleh stimulasi vagal (misalnya setelah pemasangan
selang nasogastrik), atropin mungkin efektif.
5) Alat pacu jantung (baik transvenous atau eksternal) umumnya tidak berguna
selama resusitasi. Alat ini dapat dipertimbangkan pada kasus AV blok atau
disfungsi sinus node tidak berespon terhadap oksigenasi, ventilasi, kompresi
dada dan obat lain, alat pacu jantung tidak efektif pada asistol atau aritmia yang
disebabkan oleh hipoksia atau iskemia.
k. SVT
1) Manuver vagal (valsava atau refleks menyelam) pada anak-anak dengan
hemodinamik stabil.
2) Ini juga dapat digunakan pada anak-anak dengan hemodinamik tidak stabil, tetapi
hanya jika hal ini tidak mengganggu pemberian obat-obatan (misalnya ,
Adenosin) atau kardioversi listrik.
3) Jika anak tidak stabil dengan penurunan tingkat kesadaran, upayakan kardioversi
listrik yang disinkronkan dengan segera.
4) Kardioversi listrik (disinkronkan dengan gelombang R) juga diindikasikan jika
akses vaskular tidak tersedia, atau ketika adenosin gagal untuk mengubah irama
jantung.
5) Jumlah energi pertama untuk kardioversi listrik SVT adalah 0,5-1 J/kg dan dosis
kedua adalah 2 J/kg.
l. Aritmia stabil.
1) Pertahankan jalan nafas anak, pernafasan dan sirkulasi, hubungi ahli sebelum
memulai terapi.
2) Tergantung pada presentasi klinis, riwayat penyakit dan diagnosis EKG, seorang
anak dengan takikardia stabil, kompleks QRS melebar, dapat ditangani sebagai
33
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
Jika tim resusitasi ini terdiri atas lima personil, maka setiap anggota tim akan
bertanggung jawab menjalankan satu tugas yang telah ditetapkan sebelumnya namun jika
pembagian tugas belum dilakukan maka ketua tim berwenang untuk membagi tanggung jawab
ke setiap anggota tim. Berikut ini diuraikan tugas masing-masing personil dari tim resusitasi
yaitu:
a. Tanggung jawab ketua tim yaitu:
1) Mengkaji pasien
2) Melakukan order perawatan emergensi sesuai protokol
3) Mempertimbangkan alasan dari penyebab henti jantung
4) Mengawasi anggota tim (dan memastikan bahwa setiap anggota tim melaksanakan
tugasnya masing-masing dengan benar dan aman)
5) Mengevaluasi keadekuatan kompresi dada (termasuk posisi tangan, kedalaman,
kompresi, ketepatan frekuensi dan rasio kompresi-ventilasi)
6) Memastikan bahwa pasien mendapatkan terapi oksigen yang tepat
34
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
35
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
Pada praktiknya, seringkali tanggung jawab memberikan defibrilasi dan akses intravena
dijalankan oleh satu orang yaitu oleh circulator dimana circulator selain menjalankan tanggung
jawabnya memberikan akses intravena dan medikasi juga menjalankan tanggung jawab
memberikan defibrilasi, sehingga anggota tim yang terdiri dari empat orang (atau 5 orang
dengan leader) dapat dilakukan oleh 3 orang (atau empat orang dengan leader). Kondisi ini
tergantung ketersediaan staf yang ada atau prosedur standar di rumah sakit.
36
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
Upaya pemberian bantuan hidup dasar dihentikan pada beberapa kondisi di bawah ini, yaitu:
1. Kembalinya sirkulasi & ventilasi spontan
2. Ada yang lebih bertanggung jawab
3. Penolong lelah atau sudah 30 menit tidak ada respon
4. Adanya Do Not Attempt Resuscitation (DNAR)
5. Tanda kematian yang ireversibel
J. KOMPLIKASI RJP
RJP merupakan tindakan yang tidak akan menimbulkan komplikasi jika dilakukan
dengan tepat. Namun komplikasi yang dapat muncul akibat pemberian napas bantuan dan
kompresi dada yaitu:
1. Akibat napas buatan
a. Inflasi gaster
b. Regurgitasi
Bila terjadi inflasi gaster, perbaiki jalan napas dan hindari tidal volume yang besar dan
laju pemberian napas buatan yang terlalu cepat.
2. Akibat kompresi dada
a. Fraktur iga dan sternum. Komplikasi ini sering terjadi terutama pada orang tua. RJP
tetap diteruskan walaupun terasa ada fraktur iga. Posisi tangan yang salah saat
melakukan kompresi dada dapat menyebabkan fraktur iga.
b. Pneumothoraks
c. Hemothoraks
37
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
d. Kontusio paru
e. Laserasi hati dan limpa
Posisi tangan yang terlalu rendah akan menekan procesus xipoideus ke arah
hepar/limpa dan menyebabkan cedera pada hati dan limpa
f. Emboli lemak
38
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
BAB IV
DOKUMENTASI
39
Jl.Garuda No, 66 Pekanbaru-Riau
(0761) 23411
DAFTAR PUSTAKA
1. Aehlert, B. (2012). ACLS Study Guide. 4th Ed. St. Louis, Missouri: Mosby Elsevier.
2. Berg, R.A., Hemphill, R., Abella, B.S., et al. (2015). Part 5: Adult Basic Life Support:
2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation, Journal of American Heart Association,
122, 122;S685-S705.
3. Ignatavicius, D. D., & Workman, M. L. (2006). Medical Surgical Nursing, Critical Thinking
for Collaborative Care. 5th Ed. St.Louis, Missouri: Elsevier Saunders.
4. Jordan, K.S. (2000). Emergency Nursing Core Curriculum, Emergency Nurses
Association. 5th Ed. USA: WB. Saunders Company.
5. Koster, R.W., Baubin, M.A., Bossaert, L.L., et al. (2010). European Resuscitation Council
Guidelines for Resuscitation 2010. Section 2. Adult basic life support and use of
automated external defibrillators. Resuscitation, 81, 1277 – 1292.
6. Lewis, S.L., Heitkemper, M.M., Bucher, L., et al. (2012). Medical Surgical Nursing:
Assesment and Management of Clinical Problems. Vol. 2. 7th Ed. St.Louis, Missouri:
Mosby Elsevier.
7. Neumar, R.W., Otto, C.W., Link, M.S., et al. (2015). Part 8: Adult Advanced
Cardiovascular Life Support: 2010 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation,
Journal of American Heart Association, 122, 122;S729-S767.
8. Travers, A.H., Rea, T.D., Bobrow, B.J., et al. (2010). Part 4: CPR Overview 2015
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation, Journal of American Heart Association,
122, 122;S676-S684.
40