Anda di halaman 1dari 135

FAKTOR-FAKTOR RISIKO PENULARAN TB PARU

PADA KELUARGA YANG TINGGAL SERUMAH


DI KABUPATEN ACEH TIMUR

TESIS

OLEH

SASILIA
NIM:107027001

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEDOKTERAN TROPIS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013

Universitas Sumatera Utara


FAKTOR-FAKTOR RISIKO PENULARAN TB PARU
PADA KELUARGA YANG TINGGAL SERUMAH
DI KABUPATEN ACEH TIMUR

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Magister Kedokteran Tropis dalam Program Studi Ilmu
Kedokteran Tropis pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara

OLEH

SASILIA
NIM:107027001

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEDOKTERAN TROPIS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013

Universitas Sumatera Utara


Judul Tesis : FAKTOR-FAKTOR PENULARAN TB PARU PADA
KELUARGA YANG TINGGAL SERUMAH
DI KABUPATEN ACEH TIMUR
Nama Mahasiswa : SASILIA
Nomor Pokok : 107027001
Program Studi : Magister Ilmu Kedokteran Tropis

Menyetujui
Komisi Pembimbing

(dr. H. Zainuddin Amir,M.Ked(Paru),Sp.P(K)) (dr. Tetty Aman Nst, M.Med, Sc)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof.dr.Chairuddin P.Lubis,DTM&H,Sp.A(K)) (Prof.dr.Gontar.A.Siregar,Sp.PD-KGEH)


NIP. 19540220 198011 1 001

Tanggal lulus: 31 Mei 2013

Universitas Sumatera Utara


Telah diuji pada
Tanggal : 31 Mei 2013

PANITIA PENGUJI TESIS


Ketua : dr. H. Zainuddin Amir, M.Ked(Paru), Sp.P(K)
Anggota : 1. dr. Tetty Aman Nst, M.Med, Sc
2. dr. H. Hilaluddin Sembiring, Sp.P(K), DTM&H
3. dr. Widi Rahardjo, Sp.P(K)

Universitas Sumatera Utara


PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah penulis

nyatakan dengan benar.

Nama : Sasilia

NIM : 1070270001

Tanda tangan :

Universitas Sumatera Utara


PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda


tangan di bawah ini:
Nama : Sasilia
NIM : 107027001
Program Studi : Ilmu Kedokteran Tropis
Jenis Karya Ilmiah : Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive Royalty
Free Right) atas Tesis saya yang berjudul:
FAKTOR-FAKTOR RISIKO PENULARAN TB PARU PADA KELUARGA
YANG TINGGAL SERUMAH DI KABUPATEN ACEH TIMUR
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-
Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media,
memformat, mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan Tesis
saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan
Pada tanggal : 29 Maret 2013
Yang menyatakan

(Sasilia)

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Tuberkulosis paru (TB paru) merupakan penyakit menular yang menjadi


masalah kesehatan di Kabupaten Aceh Timur, kasus TB paru di Kabupaten Aceh Timur
menunjukkan angka peningkatan dari jumlah kasus 210 (36,4%) kasus TB paru BTA
(+) pada tahun 2010, terjadi peningkatan menjadi 236 (40,9%) tahun 2011 dan data
laporan triwulan penemuan kasus baru BTA (+) tahun 2012 pada triwulan I 60 kasus,
triwulan II 63 kasus dan triwulan III ditemukan 51 kasus
TB paru BTA (+) dengan jumlah penduduk 360.465 jiwa.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang
berhubungan dengan penularan TB paru pada keluarga yang tinggal serumah
di Kabupaten Aceh Timur. Jenis penelitian ini merupakan penelitian analitik
observasional menggunakan metode cross sectional. Populasi dalam penelitian ini
adalah semua anggota keluarga yang tinggal serumah dengan penderita BTA positif
yang berobat di Puskesmas dalam wilayah kerja Kabupaten Aceh Timur, dengan
jumlah sampel 140 orang. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji regresi
logistik pada tingkat kepercayaan 95%.
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan signifikan antara variabel umur
(p=0,0001), pengetahuan (p=0,0001), penyakit penyerta (p=0,0001) dan status gizi
(p=0,002) dengan penularan TB paru pada keluarga yang tinggal serumah. Sedangkan
jenis kelamin (p=0,810), pekerjaan (p=0,533), kebiasaan merokok (p=0,281) tidak
berhubungan. Faktor-faktor risiko yang paling besar pengaruh atau kontribusinya
terhadap penularan TB paru pada keluarga yang tinggal serumah adalah faktor umur
(umur < 15 tahun, PR 78,228), status gizi (status gizi kurus, PR 17,174) dan
pengetahuan (pengetahuan kurang, PR 15,802).
Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur beserta seluruh
jajarannya untuk bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat yang fokus pada
penyakit menular dengan cara melakukan penyuluhan dan pelatihan yang ditujukan
untuk meningkatkan pengetahuan keluarga yang akan berdampak pada peningkatan
kemampuan keluarga dalam tindakan pencegahan penyakit TB.

Kata kunci: Faktor risiko, TB paru, penularan TB

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

Pulmonary tuberculosis (Pulmonary TB) is an infectious disease a public


health problem in East Aceh, the cases of pulmonary tuberculosis in East Aceh district
tend to increase in numbers. There were 210 (36.4%) cases of pulmonary TB smear
(+) in 2010. In 2011, however, the cases increased to 236 (40.9%). According to the
quarterly data reports of 2012, there were 60 new cases of pulmonary TB smear (+)
found in the first quarter, and 63 cases were found in second quarter and meanwhile,
in the third quarter, there were 51 cases of pulmonary TB smear (+) with a population
of 360,465 inhabitants.
The purpose of the research is to determine the risk factors associated with
pulmonary TB transmission in families who live together at home in East Aceh. This
research is an observational analytic study using cross sectional method. The
population of the research are all members of the family who live together at home
with smear-positive sufferers who seek the treatment at the health center in the
working area of East Aceh district. Meanwhile, The total samples of the research are
140. Data analysis is performed using logistic regression at 95% confidence level.
The result shows significant association between the variables age (p= 0,0001),
knowledge (p= 0,0001), comorbidities (p = 0,0001) and nutritional status (p= 0,002)
with pulmonary TB transmission in families who live together at home. While gender
(p= 0,810), occupation (p= 0,533), smoking habits (p= 0,281) are not related. The risk
factors of greatest influence or contribute to the spread on pulmonary TB transmission
in families who live together at home are age factor (age < 15 years, PR 78,228),
nutritional status (underweight nutritional status, PR 17,174) and knowledge (lack of
knowledge, PR 15,802).
It is suggested to the Head of District Health Office in East Aceh and all of his
staff to cooperate with non-governmental organizations that focus on infectious
diseases by conducting education and training aimed at improving family knowledge
that in turn will impact on increasing the ability of the family in preventing of TB
disease.

Keywords: Risk factors, Pulmonary tuberculosis, TB transmission

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan dan penyusunan tesis yang
berjudul: “Faktor-Faktor Risiko Penularan TB Paru pada Keluarga yang Tinggal
Serumah di Kabupaten Aceh Timur” sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan
jenjang pendidikan strata-2 pada Program Magister Ilmu Kedokteran Tropis Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Kami ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten Aceh Timur yang telah memberikan kesempatan Tugas Belajar dan
bantuan dana sehingga kami dapat melaksanakan Program Magister Ilmu Kedokteran
Tropis di Universitas Sumatera Utara.
Kami juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Dinas
Kesehatan Kabupaten Aceh Timur beserta jajarannya yang telah memberikan
kesempatan Tugas Belajar sehingga kami dapat melaksanakan Program Magister Ilmu
Kedokteran Tropis di Universitas Sumatera Utara.
Dengan selesainya penelitian dan penyusunan tesis ini, penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
dr. H. Zainuddin Amir, M.Ked(Paru), Sp.P(K)) dan dr. Tetty Aman Nst,
M.Med, Sc sebagai dosen pembimbing, yang dengan penuh perhatian dan kesabaran
memberikan motivasi, bimbingan dan saran-sarannya dalam penelitian dan penulisan
tesis ini.
Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,
M.Sc (CTM), Sp.A(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis
untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar A.
Siregar, SPPD-KGEH atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu
Kedokteran Tropis pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Ketua Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, SpA(K) dan
seluruh komisi penguji dr. H. Hilaluddin Sembiring, Sp.P(K), DTM&H dan dr. Widi
Rahardjo, Sp.P(K) beserta Staf Pengajar dan Staf Administrasi pada Program Studi

Universitas Sumatera Utara


Magister Ilmu Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
yang telah memberikan pengajaran, bimbingan dan pengarahan serta bantuan selama
pendidikan.
Dr. dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, selaku konsultan statistik yang dengan
penuh kesabaran telah memberikan masukan, arahan dan bimbingan kepada penulis
untuk menyelesaikan tesis ini.
Seluruh rekan-rekan mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Kedokteran
Tropis Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang tidak dapat saya
sebutkan satu persatu dimana kami selalu berdiskusi.
Kepala UPT. Pelayanan Kesehatan Masyarakat dalam wilayah kerja
Kabupaten Aceh Timur dan khususnya Kepala UPT. Pelayanan Kesehatan Masyarakat
Peureulak beserta jajarannya yang memberikan ijin penelitian dalam wilayah kerjanya.
dr. Liswati Harahap, M.Kes yang telah memberikan do’a, masukan dan
motivasi dengan penuh kasih sayang kepada penulis.
Nurhasni, AMK, “Melayani pasien TB adalah Ibadah“ yang mendampingi,
mendo’akan dan memberikan semangat kepada penulis mulai dari awal pendidikan
sampai proses penyusunan tesis ini hingga selesai.
Hormat dan baktiku untuk Abah Daniel Yoseph. RH , ibuku Khadijah, bapak
M. Yusuf Husen dan Alm. Jida Mariani binti Ibrahim yang telah tulus memberikan
kasih sayang, mendo’akan kami anak-anaknya untuk selalu hidup dalam ridho Allah.
Abah adalah motivator terbaikku yang senantiasa menasehatiku, “ Buat dulu orang
lain senang baru kita senang belakangan, orang jujur dan rendah hati akan mewarisi
bumi”. Ibuku memotivasiku untuk kemandirianku. Bapak adalah penyejuk hatiku
dengan kasih sayangnya mengajariku untuk menikmati, “hidup bahagia”. Jida semasa
hidupnya selalu mendo’akan untuk keberhasilanku. Terima kasih yang tiada batas
untuk semuanya.
Hormat dan kasihku untuk suamiku Sufril Mahdi,SE dan ketiga anak-anakku
Khemal Mubaraq Buah Hatiku, Farid Alghaffar Malaikatku, Ziedane
Al Akhtar Matahatiku yang telah memberi izin kepada mama untuk melanjutkan
pendidikan ini dan terima kasih yang tiada terhingga atas segala doa, ketulusan, kasih
sayang, kesabaran dan pengorbanan, yang selalu setia dalam suka dan duka, telah
memberi semangat dan kekuatan cinta Allah untuk mama, semoga kalian anak-anakku

Universitas Sumatera Utara


dalam Ridho Allah juga akan mengikuti jejak mamanya melanjutkan pendidikan
hingga ke jenjang yang setinggi-tingginya, “ Menjadikan Keberadaan diri ini
bermanfaat untuk kehidupan orang lain”.
Semua pihak yang banyak membantu yang namanya tidak tersebutkan, penulis
ucapkan terimakasih.
Penulis menyadari penulisan ini jauh dari kesempurnaan baik dari materi,
kedalaman pembahasan, maupun penulisan. Dengan segala kerendahan hati, penulis
mohon maaf untuk itu, saran dan koreksi sangat penulis harapkan . Dalam
keterbatasannya karya ini penulis persembahkan untuk masyarakat penderita TB paru
di Kabupaten Aceh Timur khususnya masyarakat penderita TB paru di Peureulak.
Semoga semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis mendapatkan
balasan dari Allah SWT. Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.

Medan, Maret 2013


Penulis

Sasilia

Universitas Sumatera Utara


RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : Sasilia
Tempat/Tanggal Lahir : Rantau Panjang Peureulak, 28 Januari 1970
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Nama Ayah : Daniel Yoseph. RH
Nama Ibu : Khadijah
Nama Suami : Sufril Mahdi,SE
Nama Anak : 1. Khemal Mubaraq
2. Farid Alghaffar
3. Ziedane Al Akhtar
Alamat Rumah : Dusun Kesehatan Desa Lhok Dalam
Kec.Peureulak Kab. Aceh Timur-24453
e-mail : Sasiliakhemal@yahoo.co.id

RIWAYAT PENDIDIKAN

SD : SD Negeri No.I Peureulak Tamat : 1983


SMP : SMP Negeri No.1 Peureulak Tamat : 1986
SMA : SMA Negeri Kw. Simpang Tamat : 1989
Strata-1 : Fakultas Kedokteran UISU Medan Tamat : 1999

RIWAYAT PEKERJAAN
Dokter PTT Puskesmas Peureulak Tahun : 2000 – 2004
Kepala Puskesmas Ranto Peureulak Tahun : 2005 – 2008
Kepala Puskesmas Peureulak Tahun : 2008 – 2010

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman

Abstrak …………....................................................................................... i
Abstract ………………………………………………………………… ii
Kata Pengantar ……………………………………………………………. iii
Daftar Isi …................................................................................................. vii
Daftar Tabel ……....................................................................................... ix
Daftar Gambar ………................................................................................. xi
Daftar Singkatan ......................................................................................... xii
Daftar Lampiran ……….............................................................................. xv

BAB I PENDAHULUAN …......................................................... 1


1.1. Latar belakang ............................................................... 1
1.2. Permasalahan ………………………………………… 5
1.3. Tujuan Penelitian ………………………………………. 5
1.3.1. Tujuan Umum ………………………………… 5
1.3.2. Tujuan Khusus ………………………………… 5
1.4. Hipotesis ……………………………………………… 6
1.5. Manfaat Penelitian …………………………………… 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................... 8


2.1. Tuberkulosis ................................................................... 8
2.1.1. Penyebab .…………………............................... 8
2.1.2. Cara Penularan ………………………………… 9
2.1.3. Tatalaksana Pasien TB ………………………… 11
2.1.4. Penemuan Pasien TB ………………………… 11
2.1.5. Gejala Klinis Pasien TB ...……………………. 11
2.1.6. Pemeriksaan Dahak Mikroskopis ……………. 12
2.1.7. Pemeriksaan Biakan ………………………….. 12
2.1.8. Pemeriksaan Tes Resistensi ………………….. 13
2.1.9. Diagnosa TB …………………………………. 13
2.1.10. Indikasi Pemeriksaan Foto Toraks …………… 14
2.1.11. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien ................ 15
2.1.12. Tatalaksana TB anak …………………………. 19
2.1.13. Pemberantasan Tuberkulosis di Indonesia ……. 23
2.2. Beberapa Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru ... 23
2.2.1. Umur ……………………………………….. ... 23
2.2.2. Jenis Kelamin ………………………………… 25
2.2.3. Pekerjaan .…………………………………….. 25
2.2.4. Status Ekonomi ………………………………. 26
2.2.5. Pengetahuan ………………………………….. 27
2.2.6. Sanitasi Perumahan dan Lingkungan ………… 28
2.2.7. Kebiasaan Merokok ………………………… 31
2.2.8. Penyakit Penyerta …………………………….. 32
2.2.9. Riwayat Kontak ………………………………. 33
2.2.10. Status Gizi ……………………………………. 34

Universitas Sumatera Utara


2.3. Kerangka Konsep Penelitian …….................................. 38

BAB III METODE PENELITIAN ................................................. 39


3.1 Jenis Penelitian ……………............................................ 39
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ……………..................... 39
3.3. Populasi dan Sampel ……………................................. . 39
3.4. Perkiraan Besar Sampel ................................................. 39
3.5. Kriteria inklusi dan eksklusi .......................................... 40
3.5.1. Kriteria Inklusi .................................................. 40
3.5.2. Kriteria Eksklusi ............................................... 40
3.6. Defenisi Operasional ...…............................................... 40
3.7. Variabel Penelitian ………............................................. 43
3.7.1. Variabel Dependen ..……................................ 43
3.7.2. Variabel Independen ………………………….. 43
3.8. Manajemen Data ............................................................ 44
3.8.1. Uji Validitas dan Reliabilitas …………………. 44
3.8.2. Sumber data ………………………………….. 46
3.9. Cara Kerja …………………………………………….. 46
3.9.1. Pemeriksaan pada Anggota Keluarga ………… 46
3.9.2. Pengisian Kuesioner yang sudah disiapkan …... 51
3.10.Analisa Data ………………………………………….. 54
3.11.Masalah Etika ……........................................................ 54

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………… 55


4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ………………….... 55
4.2 Analisis Univariat ……………………………………… 55
4.3 Analisis Bivariat ………………………………………. 61
4.4 Analisis Multivariat …………………………………… 67
4.5 Pembahasan ……………………………………………. 70
4.6 Keterbatasan Penelitian ………………………………… 78

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN …………………………… 79


5.1 Kesimpulan ……………………………………………. 79
5.2 Saran …………………………………………………… 80

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 81

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

2.1 Kategori Pengobatan TB Menurut WHO ............................. 18

2.2 Sistem Skoring (scoring system) Gejala dan Pemeriksaan


Penunjang TB …………...................................................... 20

3.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ……………. 45

3.2 Hasil Pemeriksaan Mikroskopis dengan Mengacu kepada

Skala IUATLD (International Union Against To Lung

Diseases) ………………………………………………….. 47

4.1 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Umur, Jenis

Kelamin dan Pekerjaan .............................…………….. 56

4.2 Distribusi Pengetahuan Responden Tentang TB Paru …….. 57

4.3 Distribusi Kebiasaan Merokok ………….………………. 57

4.4 Distribusi Penyakit Penyerta ……………………………… 58

4.5 Distribusi Status Gizi Responden …………………………. 58

4.6 Distribusi Riwayat Kontak Responden ………………….. 59

4.7 Distribusi Hasil Pemeriksaan …………………………….. 59

4.8 Distribusi Penularan TB Pada Keluarga ………………….. 60

4.9 Hubungan Umur dengan Penularan TB paru pada Keluarga


Yang Tinggal Serumah ……………………………………. 61

4.10 Hubungan Jenis Kelamin dengan Penularan TB paru pada


Keluarga yang Tinggal Serumah ………………………….. 62

4.11 Hubungan Pekerjaan dengan Penularan TB paru pada


Keluarga yang Tinggal Serumah ………………………….. 63

4.12 Hubungan Pengetahuan dengan Penularan TB paru pada


Keluarga yang Tinggal Serumah …………………………. 64

Universitas Sumatera Utara


4.13 Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Penularan TB paru
Pada Keluarga yang Tinggal Serumah …………………… 65

4.14 Hubungan Penyakit Penyerta dengan Penularan TB paru


Pada Keluarga yang Tinggal Serumah …………………… 65

4.15 Hubungan Status Gizi dengan Penularan TB paru pada


Keluarga yang Tinggal Serumah …………………………. 66

4.16 Hasil Analisis Risiko Variabel Umur terhadap Penularan


TB Paru pada Keluarga yang Tinggal Serumah ………….. 67

4.17 Hasil Analisis Risiko Variabel Pengetahuan terhadap


Penularan TB Paru pada Keluarga yang Tinggal Serumah ... 68

4.18 Hasil Analisis Risiko Variabel Penyakit Penyerta terhadap


Penularan TB Paru pada Keluarga yang Tinggal Serumah … 68

4.19 Hasil Analisis Risiko Variabel Status Gizi terhadap


Penularan TB Paru pada Keluarga yang Tinggal Serumah … 69

4.20 Hasil Akhir Analisis Multivariat terhadap Penularan TB Paru


pada Keluarga yang Tinggal Serumah …………………… 69

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1 Faktor Risiko Kejadian TB ………………………………… 10

2.2 Alur Diagnosis TB Paru …………………………………… 14

2.3 Alur Tatalaksana Pasien TB Anak pada Unit Pelayanan

Kesehatan Dasar …………………………………………… 22

2.4 Kerangka Konsep Penelitian ……………………………….. 38

3.1 Cara Penyuntikan Tes Tuberkulin ………………………… 51

3.2 Cara Pembacaan Tes Tuberkulin ………………………….. 51

3.3 Alur Ringkasan Pemeriksaan Sampel...................................... 52

3.4 Alur Pemeriksaan sampel ...…………………………….….. 53

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR SINGKATAN

SINGKATAN Nama Pemakaian pertama

kali pada halaman

AIDS Acquired Immune Deficiency Syndrome …………. 10

APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ……….. 23

ARTI Annual Risk Of Tuberculosis Infection ……………. 9

BB/TB Berat Badan/Tinggi Badan ………………………… 34

BB/U Berat Badan/Umur ……………………………….. 20

BCG Bacille Calmete Guerin ………………………… 49

BMI Body Mass Index ……………………………….. 34

BTA Bakteri Tahan Asam ………………………………. 2

BP4 Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru ……………. 1

CDR Case Detection Rate ……………………………… 3

CI Confidence Interval ……………………………… 31

DEPKES RI Departemen Kesehatan Republik Indonesia ……….. 2

DINKES Dinas Kesehatan …………………………………. 55

DITJEN PP& PL Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan


Penyehatan lingkungan …………………………… 3

DM Diabetes mellitus ………………………………… 32

DOTS Directly Observed Treatment Shortcourse …………. 1

E Etambutol …………………………………………. 18

H Isoniasid (INH = Iso Niacid Hydrazide) ………….. 18

HBC High Burden Country ………………………………. 3

HIV Human Immunodeficiency Virus ………………….. 2

IG A Immunoglobulin A …………………………………. 35

Universitas Sumatera Utara


IMT Indeks Massa Tubuh …………………………….. 34

IUATLD International Union Against To Lung Diseases …… 47

ISTC International Standard for TB Care ………………. 1

KEMENKES RI Kementerian Kesehatan Republik Indonesia ……… 3

KEPMENKES Keputusan Kementerian Kesehatan ..……………… 34

KGD Kadar Gula Darah ………………………………… 42

KMS Kartu Menuju Sehat …………………………….. 20

MDR TB Multy Drug Resistant Tuberculosis ……………..... 2

n Jumlah sampel ……………………………………. 56

WHO-NCHS World Health Organization-National Center For


Health Statistic ........……………………………. 34

OAT Obat Anti Tuberkulosis ……………………………. 12

OR Odds Ratio .................……………………………. 28

p Probabilitas ……………………………………….. 3

PA Postero Anterior …………………………………… 48

PDPI Perhimpunan Dokter Paru Indonesia ………………. 49

PMO Pengawas Minum Obat …………………………… 23

PPD Purified Protein Derivate ………………………….. 49

PP IDAI Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia …….. 19

PPTI Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia.. 8

PR Prevalence Ratio ...........………………………….. 70

PUSKESMAS Pusat Kesehatan Masyarakat ……………………… 1

R Rifampisin …………………………………………. 18

S Streptomisin ……………………………………….. 18

SPS Sewaktu-Pagi-Sewaktu ………….…………………. 12

Universitas Sumatera Utara


TB Tuberkulosis ……………………………….……… 1

TB/U Tinggi Badan/Umur ……………………………… 34

TB/HIV Tuberculosis/Human Immunodeficiency Virus ….. 2

TB-MDR Tuberculosis-Multy Drug Resistant ………………. 2

TK Taman Kanak-kanak …………………………….. 35

UPK Unit Pelayanan Kesehatan…………………………… 12

WHO World Health Organization ………………………… 2

XDR TB Extensively Drug Resistant Tuberculosis ………… 2

Z Pirazinamid ……………………………………….. 18

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1 Surat Persetujuan Mengikuti Penelitian …………………… 86

2 Status Penelitian ……............................................................ 88

3 Kuesioner Penelitian …………….......................................... 90

4 Master Data Uji Validitas dan Reliabilitas ………………… 94

5 Lampiran Output Validitas dan Reliabilitas ……………….. 95

6 Daftar Hasil Pemeriksaan ………………………………… 97

7 Hasil Penelitian Deskriptif ………………………………… 101

8 Hasil Penelitian Analitik dengan Chi square ...................... 103

9 Hasil Penelitian Analisis Multivariat ……………………… 110

10 Surat Persetujuan Komisi Etik ……………………………. 113

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Tuberkulosis paru (TB paru) merupakan penyakit menular yang menjadi


masalah kesehatan di Kabupaten Aceh Timur, kasus TB paru di Kabupaten Aceh Timur
menunjukkan angka peningkatan dari jumlah kasus 210 (36,4%) kasus TB paru BTA
(+) pada tahun 2010, terjadi peningkatan menjadi 236 (40,9%) tahun 2011 dan data
laporan triwulan penemuan kasus baru BTA (+) tahun 2012 pada triwulan I 60 kasus,
triwulan II 63 kasus dan triwulan III ditemukan 51 kasus
TB paru BTA (+) dengan jumlah penduduk 360.465 jiwa.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang
berhubungan dengan penularan TB paru pada keluarga yang tinggal serumah
di Kabupaten Aceh Timur. Jenis penelitian ini merupakan penelitian analitik
observasional menggunakan metode cross sectional. Populasi dalam penelitian ini
adalah semua anggota keluarga yang tinggal serumah dengan penderita BTA positif
yang berobat di Puskesmas dalam wilayah kerja Kabupaten Aceh Timur, dengan
jumlah sampel 140 orang. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji regresi
logistik pada tingkat kepercayaan 95%.
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan signifikan antara variabel umur
(p=0,0001), pengetahuan (p=0,0001), penyakit penyerta (p=0,0001) dan status gizi
(p=0,002) dengan penularan TB paru pada keluarga yang tinggal serumah. Sedangkan
jenis kelamin (p=0,810), pekerjaan (p=0,533), kebiasaan merokok (p=0,281) tidak
berhubungan. Faktor-faktor risiko yang paling besar pengaruh atau kontribusinya
terhadap penularan TB paru pada keluarga yang tinggal serumah adalah faktor umur
(umur < 15 tahun, PR 78,228), status gizi (status gizi kurus, PR 17,174) dan
pengetahuan (pengetahuan kurang, PR 15,802).
Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur beserta seluruh
jajarannya untuk bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat yang fokus pada
penyakit menular dengan cara melakukan penyuluhan dan pelatihan yang ditujukan
untuk meningkatkan pengetahuan keluarga yang akan berdampak pada peningkatan
kemampuan keluarga dalam tindakan pencegahan penyakit TB.

Kata kunci: Faktor risiko, TB paru, penularan TB

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

Pulmonary tuberculosis (Pulmonary TB) is an infectious disease a public


health problem in East Aceh, the cases of pulmonary tuberculosis in East Aceh district
tend to increase in numbers. There were 210 (36.4%) cases of pulmonary TB smear
(+) in 2010. In 2011, however, the cases increased to 236 (40.9%). According to the
quarterly data reports of 2012, there were 60 new cases of pulmonary TB smear (+)
found in the first quarter, and 63 cases were found in second quarter and meanwhile,
in the third quarter, there were 51 cases of pulmonary TB smear (+) with a population
of 360,465 inhabitants.
The purpose of the research is to determine the risk factors associated with
pulmonary TB transmission in families who live together at home in East Aceh. This
research is an observational analytic study using cross sectional method. The
population of the research are all members of the family who live together at home
with smear-positive sufferers who seek the treatment at the health center in the
working area of East Aceh district. Meanwhile, The total samples of the research are
140. Data analysis is performed using logistic regression at 95% confidence level.
The result shows significant association between the variables age (p= 0,0001),
knowledge (p= 0,0001), comorbidities (p = 0,0001) and nutritional status (p= 0,002)
with pulmonary TB transmission in families who live together at home. While gender
(p= 0,810), occupation (p= 0,533), smoking habits (p= 0,281) are not related. The risk
factors of greatest influence or contribute to the spread on pulmonary TB transmission
in families who live together at home are age factor (age < 15 years, PR 78,228),
nutritional status (underweight nutritional status, PR 17,174) and knowledge (lack of
knowledge, PR 15,802).
It is suggested to the Head of District Health Office in East Aceh and all of his
staff to cooperate with non-governmental organizations that focus on infectious
diseases by conducting education and training aimed at improving family knowledge
that in turn will impact on increasing the ability of the family in preventing of TB
disease.

Keywords: Risk factors, Pulmonary tuberculosis, TB transmission

Universitas Sumatera Utara


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penanggulangan Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung sejak
zaman penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang
kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP-4).
Sejak tahun 1969 penanggulangan dilakukan secara nasional melalui Puskesmas.
Penatalaksanaan TB meliputi penemuan pasien dan pengobatan yang dikelola dengan
menggunakan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse). Kegiatan
penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi
penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam
kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif
dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan
kesehatan. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan
dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan
sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di
masyarakat (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007).
Keterlambatan diagnosa dan penatalaksanaan akan berpengaruh terhadap
populasi penderita disekitarnya, dimana kemungkinan orang yang tertular akan
semakin banyak hal ini sesuai dengan penularan TB yang umumnya melalui “droplet
nucleus”. International Standard for TB Care (ISTC) menekankan kepada semua
penyelenggara pelayanan kesehatan untuk pasien tuberkulosis seharusnya memastikan
bahwa semua orang yang mempunyai kontak erat dengan pasien tuberkulosis menular
seharusnya dievaluasi dan ditatalaksana sesuai rekomendasi internasional. Penentuan
prioritas penyelidikan kontak didasarkan bahwa kontak : 1) menderita tuberkulosis
yang tidak terdiagnosis; 2) berisiko tinggi menderita tuberkulosis jika terinfeksi; 3)
berisiko menderita tuberkulosis berat jika penyakit berkembang; 4) berisiko tinggi
terinfeksi oleh pasien. Prioritas tertinggi evaluasi kontak adalah :1) orang dengan
gejala yang mendukung ke arah tuberkulosis; 2) anak berusia < 5 tahun; 3) kontak
yang diduga atau diduga menderita imunokompromais, khususnya infeksi HIV
(Human Immunodeficiency Virus); 4) kontak dengan pasien MDR/XDR TB (Multy

Universitas Sumatera Utara


Drug Resistant/Extensively Drug Resistant Tuberculosis). Ditambah lagi prevalensi
infeksi tuberkulosis pada anak-anak di rumah yang kontak dengan penderita TB paru
dewasa jauh lebih banyak dalam populasi, dan ini secara signifikan jauh lebih besar
pada kontak dengan penderita TB paru BTA (Bakteri Tahan Asam) positif. Sementara
kontak erat lainnya merupakan kelompok prioritas yang lebih rendah (Putra, 2010).
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru
dan 3 juta kematian akibat TB di seluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98%
kematian akibat TB di dunia, terjadi pada negara – negara berkembang. Situasi TB di
dunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil
disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan
masalah TB besar (High Burden Countries). Menyingkapi hal tersebut, pada tahun
1993 WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency) (Depkes
RI, 2008).
TB masih merupakan masalah kesehatan masyarakat tantangan global.
Indonesia merupakan negara pertama diantara negara-negara dengan beban TB yang
tinggi di wilayah Asia Tenggara yang berhasil mencapai target global untuk TB pada
tahun 2006 yaitu 70% penemuan kasus baru TB BTA positif dan 85% kesembuhan.
Saat ini peringkat Indonesia telah turun dari urutan ketiga menjadi kelima diantara
negara dengan beban TB tertinggi di dunia. Meskipun demikian, berbagai tantangan
baru yang perlu menjadi perhatian yaitu TB/HIV, TB-MDR, TB pada anak dan
masyarakat rentan lainnya (Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan lingkungan, 2011).
Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban TB
tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 (WHO,
2010) dan estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah
kematian akibat TB diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya. Meskipun memiliki
beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia merupakan negara pertama diantara High
Burden Country (HBC) di wilayah WHO South East Asian yang mampu mencapai
target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006.
Pada tahun 2009, tercatat sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan dan diobati
(data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA positif.

Universitas Sumatera Utara


Dengan demikian, Case Notification Rate untuk TB BTA positif adalah 73 per
100.000 (Case Detection Rate 73%). Rerata pencapaian angka keberhasilan
pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90% dan pada kohort tahun 2008
mencapai 91%. Pencapaian target global tersebut merupakan tonggak pencapaian
program pengendalian TB nasional yang utama. Meskipun secara nasional
menunjukkan perkembangan yang meningkat dalam penemuan kasus dan tingkat
kesembuhan, pencapaian di tingkat provinsi masih menunjukkan disparitas antar
wilayah, sebanyak 28 provinsi di Indonesia belum dapat mencapai angka penemuan
kasus (CDR) 70% dan hanya 5 provinsi (Jawa Barat, Sulawesi Utara, Maluku, DKI
Jakarta, dan Banten) menunjukkan pencapaian 70% CDR dan 85% kesembuhan
(Kemenkes RI Ditjen PP& PL, 2011).
Faktor risiko yang berperan terhadap timbulnya kejadian penyakit tuberkulosis
paru dikelompokkan menjadi 2 kelompok faktor risiko yaitu faktor risiko
kependudukan (jenis kelamin, umur, status gizi, kondisi sosial ekonomi) dan faktor
risiko lingkungan (kepadatan, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan, kelembaban dan
ketinggian) (Fatimah, 2008).
Soejadi,dkk (2006) melakukan penelitian di kabupaten Karo hasil penelitiannya
menunjukkan ada pengaruh yang bermakna tingkat pengetahuan (0,003), kebiasaan
merokok (0,023), sanitasi perumahan (0,000) dan status gizi (0,007)
terhadap kasus tuberkulosis karena probabilitas penelitiannya < α=0.05, sedangkan
sosial ekonomi (0,178) tidak ada pengaruh.
Tobing (2008) dari hasil penelitiannya menunjukkan ada 8 (delapan) variabel
yang memiliki hubungan secara signifikan dengan potensi penularan TB paru yaitu
sikap (p=0,000), kepadatan hunian (p=0,000), ventilasi (p=0,000), pencahayaan
(p=0,000), pendidikan (p=0,000), pengetahuan (p=0,000), pembinaan petugas
(p=0,000), dukungan keluarga (p=0,000) dan variabel yang tidak memiliki hubungan
signifikan adalah lantai rumah (p=0,128). Demikian juga dengan hasil penelitian
Rusnoto,dkk (2006) kelembaban udara di kamar tidur (p=0,002), ventilasi kamar tidur
(p=0,002), riwayat kontak penularan (p=0,001), status gizi (p=0,015), riwayat
kebiasaan merokok (p=0,019) dan tingkat pengetahuan (p=0,001) merupakan variabel
faktor – faktor yang menunjukkan adanya hubungan yang bermakna dengan kejadian
TB paru pada usia dewasa.

Universitas Sumatera Utara


Putra (2010) dalam penelitiannya berkesimpulan walaupun anggota keluarga
tinggal serumah dengan penderita TB paru BTA positif, tetapi untuk menjadi sakit
tidaklah mudah. Terutama pada orang dewasa sebanyak 78 orang yang diperiksa tidak
dijumpai BTA positif, namun pada anak dibawah lima tahun menunjukkan hasil baca
tes tuberkulin dengan diameter lebih dari 10 mm. Selaras dengan penelitian Gusti
(2000), pada 86 pasangan suami istri yang salah satu pasangannya menderita
tuberkulosis. Hasil keseluruhannya bahwa tidak ada hubungan antara kontak erat
dengan terjadinya tuberkulosis paru pada orang dewasa.
Di Provinsi Aceh TB paru masih perlu mendapat perhatian karena
prevalensinya di Aceh 1,45% sementara prevalensi TB nasional 0,99%. Insiden turun
dari 130/100.000 penduduk menjadi 104/100.000 penduduk pada tahun 2008. Case
Detection Rate (CDR) baru mencapai 42,3% pada tahun 2009 dari target minimal
(nasional) 70%. CDR lima tahun terakhir berada pada kisaran 35,5% tahun 2007 dan
51,9% tahun 2006. Pencapaian ini jauh dibawah target nasional sekurang-kurangnya
70% (Dinas Kesehatan Pemerintah Aceh, 2011).
Kasus TB paru di Kabupaten Aceh Timur berdasarkan Profil Dinas Kesehatan
Kabupaten Aceh Timur Tahun 2011 menunjukkan angka peningkatan dari jumlah
kasus 210 (36,4%) kasus TB paru BTA (+) pada tahun 2010, terjadi peningkatan
menjadi 236 (40,9%) kasus TB paru BTA (+) pada tahun 2011 dan data laporan
triwulan penemuan kasus baru BTA (+) Dinkes Kabupaten Aceh Timur tahun 2012
pada triwulan I ditemukan 60 kasus TB paru BTA (+), triwulan II ditemukan 63 kasus
TB paru BTA (+) dan triwulan III ditemukan 51 kasus TB paru BTA (+) dengan
jumlah penduduk 360.465 jiwa. Peningkatan kasus TB paru tersebut dipengaruhi oleh
berbagai macam faktor seperti perilaku masyarakat, keluarga, penderita, lingkungan
dan kondisi rumah (Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur, (2012).
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, mengingat jumlah kasus
tuberkulosis paru yang semakin meningkat dan belum pernah dilakukan penelitian ini
di Kabupaten Aceh Timur maka peneliti berkeinginan untuk meneliti faktor- faktor
risiko penularan TB paru pada keluarga yang tinggal serumah di Kabupaten Aceh
Timur.

Universitas Sumatera Utara


1.2 Permasalahan
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti ingin mengetahui apakah faktor- faktor
risiko yang berhubungan dengan penularan TB paru pada keluarga yang tinggal
serumah di Kabupaten Aceh Timur.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan penularan TB
paru pada keluarga yang tinggal serumah di Kabupaten Aceh Timur.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Untuk mengetahui hubungan umur dengan penularan TB paru pada keluarga yang
tinggal serumah
2. Untuk mengetahui hubungan jenis kelamin dengan penularan TB paru pada
keluarga yang tinggal serumah
3. Untuk mengetahui hubungan pekerjaan dengan penularan TB paru pada keluarga
yang tinggal serumah
4. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan penularan TB paru pada
keluarga yang tinggal serumah
5. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan merokok dengan penularan TB paru pada
keluarga yang tinggal serumah
6. Untuk mengetahui hubungan penyakit penyerta dengan penularan TB paru pada
keluarga yang tinggal serumah
7. Untuk mengetahui hubungan status gizi dengan penularan TB paru pada keluarga
yang tinggal serumah
8. Untuk mengetahui hubungan riwayat kontak penderita TB paru BTA (+) dengan
penularan TB paru pada keluarga yang tinggal serumah

Universitas Sumatera Utara


1.4 Hipotesis
1. Ada hubungan umur dengan penularan TB paru pada keluarga yang tinggal
serumah
2. Ada hubungan jenis kelamin dengan penularan TB paru pada keluarga yang
tinggal serumah
3. Ada hubungan pekerjaan dengan penularan TB paru pada keluarga yang tinggal
serumah
4. Ada hubungan pengetahuan dengan penularan TB paru pada keluarga yang tinggal
serumah
5. Ada hubungan kebiasaan merokok dengan penularan TB paru pada keluarga yang
tinggal serumah
6. Ada hubungan penyakit penyerta dengan penularan TB paru pada keluarga yang
tinggal serumah
7. Ada hubungan status gizi dengan penularan TB paru pada keluarga yang tinggal
serumah
8. Ada hubungan riwayat kontak penderita TB paru BTA (+) dengan penularan TB
paru pada keluarga yang tinggal serumah

1.5 Manfaat Penelitian


Adapun manfaat penelitian ini nantinya adalah :
1. Sebagai masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur dalam upaya
penanggulangan Penyakit TB paru
2. Memberikan informasi data ilmiah penelitian faktor- faktor risiko penularan TB
paru pada keluarga yang tinggal serumah di Kabupaten Aceh Timur yang nantinya
dapat disebarluaskan ke tiap puskesmas dalam wilayah kerja Kabupaten Aceh
Timur
3. Bagi peneliti dapat menambah wawasan dan pengalaman dalam menganalisa
permasalahan TB paru di wilayah kerjanya

Universitas Sumatera Utara


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis
Tuberkulosis itu biasanya disingkat menjadi TB adalah penyakit menular
disebabkan oleh kuman tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis) umumnya
menyerang paru, tetapi bisa juga menyerang bagian tubuh lainnya seperti kelenjar
getah bening, selaput otak, kulit, tulang dan persendian, usus, ginjal dan organ tubuh
lainnya (Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia, 2010).
TB sangat berbahaya karena bisa menyebabkan seseorang meninggal dan
sangat mudah ditularkan kepada siapa saja dimana 1 orang pasien TB dengan BTA
positif bisa menularkan kepada 10-15 orang disekitarnya setiap tahun (PPTI, 2010).

2.1.1 Penyebab
Penyakit TB adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang lurus atau sedikit
melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6
mm dan panjang 1 4 mm. Dinding M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari
lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M.tuberculosis ialah
asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord
factor dan mycobacterial sulfolipid yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat
merupakan asam lemak berantai panjang (C60 C90) yang dihubungkan dengan
arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan
fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah
polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur apabila sekali
diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna dinding sel yang
kompleks tersebut menyebabkan M.tuberculosis bersifat tahan asam yaitu tersebut
dengan larutan asam-alkohol (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2002).
Suhu optimal untuk tumbuh pada 37°C dan pH 6,4-7,0 jika dipanaskan pada
suhu 60°C akan mati dalam waktu 15-20 menit. Kuman ini sangat rentan terhadap
sinar matahari dan radiasi sinar ultraviolet. Disamping itu organisme ini agak resisten
terhadap bahan-bahan kimia dan tahan pengeringan, sehingga memungkinkan untuk

Universitas Sumatera Utara


tetap hidup dalam periode yang panjang didalam ruangan-ruangan, selimut dan kain
yang ada di kamar tidur (Putra, 2010).

2.1.2 Cara Penularan


Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk atau
bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet
nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya
penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang
lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung
dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam
keadaan gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya
kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan
seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan
lamanya menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2008).
Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien
TB paru dengan BTA positif memberi kemungkinan risiko penularan lebih besar dari
pasien TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan
dengan Annual Risk Of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang
berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang
diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara
1–3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi
positif (Depkes RI, 2008).
Risiko menjadi sakit TB hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi
sakit TB. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi
1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap
tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif (Depkes RI, 2008).
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah
daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS (Human
Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome) dan malnutrisi (gizi
buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi terinfeksi TB menjadi
sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler

Universitas Sumatera Utara


(cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti
tuberkulosis, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB
di masyarakat akan meningkat pula (Depkes RI, 2008). Faktor risiko kejadian TB,
secara ringkas digambarkan pada gambar berikut:
Gambar 2.1. Faktor Risiko Kejadian TB

transmisi Diagnosis tepat


dan cepat
Jumlah kasus TB BTA+
Faktor lingkungan : Risiko menjadi TB bila
Ventilasi dengan HIV: Pengobatan tepat
Kepadatan • 5-10% setiap tahun dan lengkap
Dalam ruangan • >30% lifetime kondisi kesehatan
Faktor Perilaku
HIV(+) SEMBUH

TERPAJAN INFEKSI
10%
TB MATI

Konsentrasi Kuman  Keterlambatan diagnosis dan


Lama kontak pengobatan
 Malnutrisi  Tatalaksana tak memadai
 Penyakit DM,  Kondisi kesehatan
immuno-supresan

Riwayat alamiah pasien TB yang tidak diobati setelah 5 tahun, pasien akan
50% meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi dan
25% menjadi kasus kronis yang tetap menular (Depkes RI, 2008).

2.1.3 Tatalaksana Pasien TB


Penatalaksanaan TB meliputi penemuan pasien dan pengobatan yang dikelola
dengan menggunakan strategi DOTS. Tujuan utama pengobatan pasien TB adalah
menurunkan angka kematian dan kesakitan serta mencegah penularan dengan cara
menyembuhkan pasien. Penatalaksanaan penyakit TB merupakan bagian dari
surveilans penyakit, tidak sekedar memastikan pasien menelan obat sampai dinyatakan
sembuh tetapi juga berkaitan dengan pengelolaan sarana bantu yang dibutuhkan
petugas terkait, pencatatan, pelaporan, evaluasi kegiatan dan rencana tindak lanjutnya
(Depkes RI, 2007).

Universitas Sumatera Utara


2.1.4 Penemuan Pasien TB
Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis,
penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan langkah
pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan
pasien TB menular, secara bermakna akan menurunkan kesakitan dan kematian akibat
TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan
penularan TB yang paling efektif di masyarakat
(Depkes RI, 2007).
Strategi penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif.
Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan didukung dengan
penyuluhan secara aktif baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat untuk
meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB; pemeriksaan terhadap kontak
pasien TB, terutama mereka yang BTA positif dan pada keluarga anak yang menderita
TB yang menunjukkan gejala sama, harus diperiksa dahaknya; penemuan secara aktif
dari rumah ke rumah dianggap tidak cost efektif (Depkes RI, 2007).

2.1.5 Gejala klinis pasien TB


Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk
darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu
bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB,
seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat
prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke
UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai
seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung (Depkes RI, 2007).

Universitas Sumatera Utara


2.1.6 Pemeriksaan dahak mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak
untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang
dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu
(SPS).
 S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama
kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan
dahak pagi pada hari kedua.
 P (pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.
 S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi (Depkes RI, 2007).

2.1.7 Pemeriksaan biakan


Peran biakan dan identifikasi M.tuberculosis pada penanggulangan TB
khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap
OAT yang digunakan. Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman
serta bila dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi:
a. Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis
b. Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak.
c. Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda (Depkes RI,
2007).

2.1.8 Pemeriksaan tes resistensi


Tes resistensi tersebut hanya bisa dilakukan di laboratorium yang mampu
melaksanakan biakan, identifikasi kuman serta tes resistensi sesuai standar
internasional dan telah mendapatkan pemantapan mutu (Quality Assurance) oleh
laboratorium supranasional TB. Hal ini bertujuan agar hasil pemeriksaan tersebut
memberikan simpulan yang benar sehinggga kemungkinan kesalahan dalam
pengobatan MDR dapat dicegah (Depkes RI, 2007).

Universitas Sumatera Utara


2.1.9 Diagnosa TB
1. Diagnosa TB paru
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu Sewaktu-
Pagi-Sewaktu (SPS).
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman
TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan
dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto
toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis
sepanjang sesuai dengan indikasinya.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks
saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru,
sehingga sering terjadi overdiagnosis.
Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru.
2. Diagnosis TB ekstra paru
Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada
Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe
superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada
spondilitis TB dan lain-lainnya.
Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan
berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan
kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode
pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji
mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.2. Alur Diagnosis TB Paru
Suspek TB Paru

Pemeriksaan dahak mikroskopis - Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS)

Hasil BTA Hasil BTA Hasil BTA


+++
+ - - - - -
++ -
Antibiotik Non-OAT

Tidak ada Ada


perbaikan
perbaikan

Foto toraks dan pemeriksaan dahak mikroskopis

Hasil BTA Hasil BTA

+++
- - -

Foto toraks dan

pertimbangan dokter

TB BUKAN TB

Catatan : Pada keadaan-keadaan tertentu dengan pertimbangan kegawatan dan medis


spesialistik, alur tersebut dapat digunakan secara lebih fleksibel.

2.1.10 Indikasi pemeriksaan foto toraks


Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun
pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi
sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara


Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini
pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru
BTA positif (lihat bagan alur).
Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT (lihat bagan alur).
Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan
penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis
atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk
menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma) (Depkes RI, 2008).

2.1.11 Klasifikasi penyakit dan tipe pasien


Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu
“definisi kasus” yang meliputi empat hal, yaitu:
1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau BTA
negatif;
3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat;
4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati.
Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah:
1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai
2. Registrasi kasus secara benar
3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif
4. Analisis kohort hasil pengobatan
Beberapa istilah dalam definisi kasus:
1. Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau didiagnosis
oleh dokter.
2. Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk M. tuberculosis atau
tidak ada fasilitas biakan, sekurang kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS
hasilnya BTA positif.

Universitas Sumatera Utara


Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat
diperlukan untuk:
1. Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga mencegah
timbulnya resistensi
2. Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga meningkatkan
pemakaian sumber daya lebih biaya efektif (cost effective)
3. Mengurangi efek samping
Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru,
tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium),
kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin, dan lain-lain.
Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB
Paru:
1. Tuberkulosis paru BTA positif
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT (Obat Anti Tuberkulosis).
2. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik
TB paru BTA negatif harus meliputi:
a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

Universitas Sumatera Utara


Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit:
1. TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks
memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far
advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk.
2. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
a. TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral,
tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
b. TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis,peritonitis, pleuritis
eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat
kelamin.
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe
pasien, yaitu:
1. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus kambuh (Relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
3. Kasus setelah putus berobat (Default ) adalah pasien yang telah berobat dan putus
berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
4. Kasus setelah gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya
tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
5. Kasus Pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang
memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
6. Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam
kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih
BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan (Depkes RI, 2007).

Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2011) dalam Sihombing (2011)


penderita TB paru kategori I adalah TB paru yang tergolong dalam penderita kasus

Universitas Sumatera Utara


baru dengan hasil pemeriksaan dahak pewarnaan langsung BTA positif (+) atau BTA
negatif (-) namun dengan lesi yang luas. Berdasarkan WHO pada tahun 1997 dalam
Usman (2008) membuat klasifikasi menurut regimen pengobatan yang dibagi atas
empat kategori yaitu :
1. Kategori I adalah pasien kasus dengan dahak yang positif dan penderita dengan
keadaan yang berat seperti meningitis, tuberkulosis milier, perikarditis, peritonitis,
pleuritis atau spondilitis bilateral dengan gangguan neurologik, penderita dengan
dahak negatif tetapi kelainan paru luas, tuberkulosis usus, saluran kemih dan
sebagainya.
2. Kategori II adalah kasus relaps atau gagal dengan dahak yang tetap positif.
3. Kategori III adalah kasus dengan dahak yang negatif dan kelainan paru yang tidak
luas dan kasus tuberkulosis ekstrapulmoner selain dari yang disebut dalam kategori
I.
4. Kategori IV adalah kasus tuberkulosis kronik.
Tabel 2.1. Kategori Pengobatan TB Menurut WHO
Kategori
Alternatif Panduan
Pengobatan Pasien TB
Pengobatan TB
TB
I Kasus baru TB paru BTA (+) 2 RHZE 4 R3H3
Kasus baru TB paru BTA (-) 4 RH
dengan kerusakan parenkim yang 6 HE
luas
Kasus baru dengan kerusakan
yang berat pada TB ekstra
pulmoner
II TB paru BTA (+) dengan 2 RHZES 5 R3H3E3
riwayat pengobatan sebelumnya: + 5 RHE
- Kambuh 1RHZE
- Kegagalan pengobatan
- Pengobatan tidak selesai
III Kasus baru TB paru dengan 2 RHZ 4 R3H3
BTA (-)(diluar kategori I) 4 HR
Kasus baru yang berat dengan 6 HE
TB ekstra pulmoner
IV Kasus kronis (sputum BTA tetap Rujuk ke dokter
positif, setelah pengobatan spesialis
ulang)

Universitas Sumatera Utara


2.1.12 Tatalaksana TB anak
Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik
overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala
utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis TB anak perlu
kriteria lain dengan menggunakan sistem skor. Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP
IDAI telah membuat Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak dengan menggunakan
sistem skor (scoring system), yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang
dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi digunakan oleh program nasional
penanggulangan tuberkulosis untuk diagnosis TB anak (Depkes RI, 2008).
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan jumlah
skor yang lebih atau sama dengan 6 (>6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan
mendapat OAT (obat anti tuberkulosis). Bila skor kurang dari
6 tetapi secara klinis kecurigaan kearah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan
diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi
lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi,
CT-Scan, dan lain lainnya (Depkes RI, 2008).

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.2 Sistem Skoring (Scoring System) Gejala dan Pemeriksaan Penunjang
TB
Parameter 0 1 2 3 Jumlah
Kontak TB Tidak Laporan BTA positif
jelas keluarga,
BTA
negatif
atau
tidak
tahu,
BTA
tidak
jelas
Uji tuberkulin Negatif Positif (≥ 10
mm, atau ≥ 5
mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat badan/ Bawah garis Klinis
keadaan gizi merah (KMS) gizi
atau BB/U buruk
<80% (BB/U
<60%)
Demam tanpa > 2 minggu
sebab jelas
Batuk * ≥3 minggu
Pembesaran >1 cm,
kelenjar limfe jumlah >1,
koli, aksila, tidak nyeri
inguinal
Pembengkakan Ada
tulang/sendi pembengkakan
panggul, lutut,
falang
Foto toraks Normal/ Kesan TB
toraks tidak
jelas
Jumlah

Universitas Sumatera Utara


Catatan :
Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya
seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain.
Jika dijumpai skrofuloderma** (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat
langsung didiagnosis tuberkulosis.
Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).--> lampirkan tabel badan
badan.
Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah
penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 13)
Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.
*Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya
seperti asma, sinusitis, refluks gastroesofageal dan lainnya.
**Skrofuloderma adalah suatu bentuk reaktivasi infeksi TB, diawali oleh suatu
limfadenitis atau osteomielitis yang membentuk abses dingin dan melibatkan kulit di
atasnya, kemudian pecah, dan membentuk sinus di permukaan kulit. Skrofuloderma
ditandai oleh massa yang padat atau fluktuatif, sinus yang mengeluarkan cairan, ulkus
dengan dasar bergranulasi dan tidak beraturan serta tepi bergaung, serta sikatriks yang
menyerupai jembatan. Biasanya ditemukan di daerah leher atau
wajah, tetapi dapat juga dijumpai di ekstremitas atau trunkus.
Perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini:
1. Tanda bahaya
Kejang, kaku kuduk
Penurunan kesadaran
Kegawatan lain, misalnya sesak nafas
2. Foto toraks menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura
3. Gibbus, koksitis
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skoring. Pasien dengan jumlah
skor yang lebih atau sama dengan 6 (>6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan

Universitas Sumatera Utara


mendapat OAT (obat anti TB). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis dicurigai
TB maka perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya, seperti bilasan lambung,
patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT
Scan, dan lain-lainnya sesuai indikasi (Depkes, 2008).
Sumber penularan dan Case Finding TB Anak : Apabila kita menemukan
seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber penularan yang menyebabkan
anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TB
aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber infeksi dilakukan
dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal). Bila
telah ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal, yaitu mencari
anak lain di sekitarnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji tuberkulin.
Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak di sekitarnya atau yang
kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB (pelacakan sentrifugal).
Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang yaitu uji tuberkulin (Depkes RI, 2008).

Gambar 2.3. Alur Tatalaksana Pasien TB Anak pada Unit Pelayanan Kesehatan
Dasar

Skor >6

Beri OAT

selama 2 bulan dan dievaluasi

Respons (+) Respons ( )

Terapi TB diteruskan Teruskan terapi TB sambil


mencari penyebabnya

Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat. Setelah
pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang.

Universitas Sumatera Utara


Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai keberhasilan
pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik
tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan (Depkes RI, 2008).

2.1.13 Pemberantasan tuberkulosis di Indonesia


Menurut Noerolandra (1999) dalam Priyadi (2003), diketahui bahwa
Pengobatan tuberkulosis di Puskesmas diberikan secara gratis dengan dana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan bantuan teknis dari WHO (World Health
Organization). Program tuberkulosis dengan DOTS melalui Puskesmas secara relatif
dapat dikatakan berhasil, khususnya dari sudut operasional. Namun masih
dipertanyakan dari sudut epidemiologis. Berdasarkan prosedur tetap program
pemberantasan tuberkulosis yang sekarang dilaksanakan di Puskesmas yang
menempatkan kasus tuberkulosis dengan BTA positif sebagai sasaran utama, dengan
diagnosis pemeriksaan mikroskopis sputum, pemeriksaan ulang sputum 3 kali di masa
pengobatan, obat direkomendasikan WHO, pencatatan dan pelaporan standard,
ditunjuknya Pengawas Minum Obat (PMO), pelacakan penderita, serta distribusi obat
yang lancar dan berlanjut, tentu saja merupakan hal yang baru bagi rumah sakit yang
menempatkan pendekatan klinis sebagai misi utama. Beberapa kendala yang perlu
mendapat perhatian dan perlu diantisipasi untuk keberhasilan program pemberantasan
tuberkulosis adalah tersedianya tenaga dan saranan pelayanan kesehatan sebagai
pengendali program. Hal ini sangat menentukan karena pengobatan tuberkulosis yang
terpantau memerlukan petugas pengendali yang akan melakukan konseling,
pencatatan, keperluan pemeriksan ulang sputum, mengurus sarana stok obat dan
koordinator PMO.

2.2 Beberapa Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru


2.2.1 Umur
Menurut Crofton (1989) dalam Iskandar (2010), daya tahan tubuh untuk
melawan infeksi pada hakekatnya sama untuk semua umur akan tetapi pada usia
sangat muda awal kelahiran dan pada usia 10 tahun pertama hidupnya memiliki sistem
pertahanan tubuh sangat lemah. Kemungkinan anak balita untuk terinfeksi dan
menimbulkan sakit sangat tinggi. Sebelum masa pubertas infeksi primer ditemukan di

Universitas Sumatera Utara


paru. Sampai usia 2 tahun dapat mengakibatkan keadaan yang berat seperti
Tuberculosis millier dan Meningitis tuberculosis. Selaras dengan Samallo dalam
Nurhidayah,dkk (2007), usia anak merupakan usia yang sangat rawan terhadap
penularan penyakit tuberkulosis dan angka penularan serta bahaya penularan yang
tinggi terdapat pada golongan umur 0-6 tahun dan golongan umur 7-14 tahun. Juga
Selaras dengan penelitian Diani, dkk (2011) proporsi infeksi TB pada anak <5 tahun
yang tinggal dalam satu rumah dengan 85 orang pasien
TB paru dewasa di Puskesmas Kecamatan Tebet Jakarta Selatan berdasarkan uji
tuberkulin 42,4%.
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara
ekonomis yaitu usia 15-50 tahun (Depkes RI, 2008). Berdasarkan penelitian Musadad
(2006) menyatakan bahwa karakteristik penderita TB paru di rumah tangga sebagian
besar merupakan kelompok usia produktif dimana 90,2% usianya di bawah 49 tahun
dengan jenis kelamin perempuan sedikit lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
Banyaknya penderita kelompok usia tersebut sangat memprihatinkan mengingat itu
merupakan kelompok umur produktif yang biasanya secara ekonomi menanggung
beban biaya kelompok usia di bawah
15 tahun dan di atas 60 tahun. Bahkan terdapat 14,7% penderita TB paru berusia
di bawah 20 tahun yang masih merupakan usia sekolah.
Hasil penelitian Hariyanto (2013) menyatakan Dari 80 responden didapatkan
11 (13,8%) dengan BTA positif. Hasil analisis dengan uji
Chi square didapatkan x2 = 4,396; p = 0,036 (p< 0,05) menunjukkan adanya hubungan
yang bermakna antara umur dengan TB paru BTA positif. Selaras dengan penelitian
Iskandar (2010) hasil uji Chi square menunjukkan bahwa terdapat hubungan umur
responden dengan kejadian TB paru dengan nilai
p = 0,018 (p< 0,05).
Berbeda pendapat dengan penelitian Ruswanto (2010) mengatakan hasil
analisis statistik menunjukkan nilai p= 0,361 (p> 0,05) bahwa umur bukan merupakan
faktor risiko terhadap kejadian TB paru.

Universitas Sumatera Utara


2.2.2 Jenis kelamin
Menurut Enarson DA ( 2003) dalam Putra (2010) di benua Afrika banyak
tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun 1996 jumlah penderita
TB paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita TB paru pada
wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada wanita. Antara tahun 1985-1987
penderita TB paru laki-laki cenderung meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan penderita
TB Paru pada wanita menurun 0,7%. TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki
dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan
merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Suswati (2007) menyatakan bahwa
dari 200 sampel yang diteliti sebanyak 45% terdiri dari laki-laki dan sisanya 55%
diderita oleh perempuan. Kondisi ini juga sesuai dengan hasil penelitian WHO yang
menyatakan bahwa TB paru banyak menyerang perempuan. Kenyataan ini memang
sangat memprihatinkan karena perempuan yang bertugas menjaga kualitas generasi
bangsa ternyata sebagian besar banyak menderita penyakit TB paru yang bersifat
kronis dan potensial menular ke anggota keluarganya apabila tidak mendapat
penanganan dengan baik dan tuntas.
Berdasarkan hasil penelitian Retnaningsih, dkk (2010) dari analisa statistik
mendapatkan nilai p= 0,96 yang menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak bermakna
secara statistik terhadap kejadian infeksi TB paru. Sejalan dengan penelitian Ruswanto
(2010) mengatakan hasil analisis statistik menunjukkan nilai p=0,609 (p> 0,05) bahwa
jenis kelamin bukan merupakan faktor risiko terhadap kejadian TB paru.
Berbeda dengan hasil penelitian Iskandar (2010) menyatakan hasil uji
Chi square terdapat hubungan signifikan antara jenis kelamin responden dengan
kejadian TB paru, dengan nilai p= 0,027 (p< 0,05), artinya bahwa jenis kelamin sangat
berdampak terhadap terjadinya TB paru.

2.2.3 Pekerjaan
Faktor lingkungan kerja mempengaruhi seseorang untuk terserang suatu
penyakit atau tidak. Seseorang yang bekerja pada lingkungan kerja yang buruk seperti
supir, tukang becak, orang yang sering terpapar debu, polusi asap lebih gampang

Universitas Sumatera Utara


untuk terkena penyakit TB paru dibandingkan dengan orang yang sehari-hari bekerja
di kantor (Sitepu, 2009).
LIPI (2000) dalam Iskandar (2010), menyatakan bahwa penurunan tingkat
pendapatan menyebabkan banyak rumah tangga mengalami kesulitan untuk membeli
pangan, mengakibatkan berubahnya pola pengeluaran konsumsi dengan proforsi yang
lebih besar untuk bahan makanan dibandingkan untuk kebutuhan bukan makanan
seperti kebutuhan pendidikan dan kesehatan. Dan WHO tahun 2007 menyebutkan
90% penderita TB di dunia menyerang kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin
(Putra, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian Retnaningsih, dkk (2010) dari analisa statistik
mendapatkan nilai p= 0,610 yang menunjukkan bahwa jenis pekerjaan tidak bermakna
terhadap kejadian infeksi TB paru, sebenarnya dengan bekerja diharapkan dapat
mengurangi risiko terinfeksi TB paru, orang yang bekerja di luar rumah, relatif lebih
sedikit memiliki waktu berada di dalam rumah dibandingkan kelompok yang tidak
bekerja. Jika waktu berada di dalam rumah lebih sedikit, maka intensitas kontak
dengan penderita TB paru akan berkurang.

2.2.4 Status ekonomi


Pendapatan merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat
kesejahteraan masyarakat sebagai hasil pembangunan. Perubahan pendapatan akan
mempengaruhi pengeluaran. Di negara berkembang tingkat pendapatan penduduk
masih rendah dan pengeluaran untuk makan merupakan bagian terbesar dari seluruh
pengeluaran rumah tangga. Akan tetapi untuk negara yang sudah maju pengeluaran
terbesar bukan untuk makan, melainkan untuk biaya kesehatan, pendidikan, olah raga,
pajak dan jasa-jasa atau pengeluaran non makan lainnya (Putra, 2011).
Menurut Elvina Karyadi (2002) dalam Putra (2011) menyatakan bahwa
ekonomi lemah atau miskin mempengaruhi seseorang mendapatkan penyakit
TB paru, disebabkan daya tahan tubuh yang rendah, begitu juga kebutuhan akan
rumah yang layak huni tidak di dapatkan, ditambah dengan penghuni yang ramai dan
sesak. Keadaan ini akan mempermudah penularan penyakit terutama penyakit saluran
pernafasan seperti penyakit TB Paru. Selaras dengan penelitian Kuniarsih (2009)

Universitas Sumatera Utara


menyatakan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
TB paru adalah tingkat pendapatan per kapita.
Berbeda pendapat dengan hasil penelitian Sunar (2005) mengatakan tidak ada
hubungan pendapatan dengan praktek penemuan tersangka TB paru (p= 0,770 dan p=
0,328). Sejalan dengan penelitian Ruswanto (2010) mengatakan hasil analisis statistik
menunjukkan nilai p= 0,0170 (p> 0,05) bahwa tingkat pendapatan bukan merupakan
faktor risiko terhadap kejadian TB paru.

2.2.5 Pengetahuan
Notoatmodjo (2011) mengatakan pengetahuan merupakan hasil “tahu” setelah
orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa
dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang (overt behavior) karena dari pengalaman dan penelitian ternyata
perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku
yang tidak didasari oleh pengetahuan.
Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat
yaitu know (tahu), memahami (comfrehension), aplikasi (application), analisis
(analysis), sintesis (syntesis), evaluasi (evaluation). Pengukuran pengetahuan dapat
dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang
ingin diukur dan subyek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang
ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan tersebut di atas
Notoatmodjo (2003) dalam Iskandar (2010).
Penelitian yang dilakukan di Serbia oleh Vukonic, dkk (2008) menunjukkan
bahwa satu-satunya prediktor yang signifikan dari pemahaman yang benar tentang
cara penularan TB adalah tingkat pendidikan dan hubungan pribadi yang dekat dengan
pasien TB, prediktor terkuat dari kesalahpahaman adalah usia lebih tua.
Selaras dengan penelitian Rusnoto,dkk (2006) pengetahuan tentang
TB paru yang rendah akan berisiko 23,021 kali lebih besar dari pengetahuan yang
tinggi. Juga selaras dengan hasil penelitian Iskandar (2010) hasil uji Chi square
dengan nilai p= 0,003 (p< 0,005) artinya terdapat hubungan signifikan antara

Universitas Sumatera Utara


pengetahuan dengan kejadian TB paru. Dan juga berdasarkan hasil penelitian Tobing
(2009) mengatakan hasil analisis uji Chi square didapat nilai p= 0,024 berati pada α=
5% (0,05) dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan
dengan potensi penularan TB paru, analisis lebih lanjut diperoleh nilai OR= 2,5 (CI=
1,124–5,918) artinya potensi penularan TB paru 2,5 kali lebih besar pada yang
berpengetahuan rendah. Sejalan juga dengan penelitian Ruswanto (2010) mengatakan
hasil analisis statistik menunjukkan nilai p= 0,034, OR= 2,622 artinya tingkat
pengetahuan yang kurang mempunyai risiko meningkatkan kejadian TB paru
sebanyak 2,622 kali lebih besar dibandingkan dengan tingkat pengetahuan yang baik.

2.2.6 Sanitasi perumahan dan lingkungan


Sanitasi rumah adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitik beratkan
kepada pengawasan terhadap berbagai faktor lingkungan di dalam maupun di luar
rumah yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat dengan timbulnya atau
penularan penyakit. Pengawasan lingkungan di sini meliputi pengawasan lingkungan
fisik, biologis, sosial dan ekonomi yang mempengaruhi kesehatan manusia, dimana
lingkungan yang berguna ditingkatkan dan diperbanyak sedangkan yang merugikan
diperbaiki atau dihilangkan. Pentingnya lingkungan rumah yang sehat ini telah
dibuktikan WHO dengan penyelidikan-penyelidikan
di seluruh dunia dimana didapatkan hasil bahwa angka kematian, angka perbandingan
orang sakit yang tinggi serta sering terjadi epidemik, terdapat
di tempat-tempat dimana hygiene dan sanitasi lingkungan buruk (Priyadi, 2003).
a. Kepadatan hunian
Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan
jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan kepadatan hunian
untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m² per orang. Luas minimum per
orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasillitas yang tersedia.
Untuk perumahan sederhana, minimum 8 m²/orang. Untuk kamar tidur diperlukan
minimum 2 orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami
istri dan anak dibawah dua tahun. Apabila ada anggota keluarga yang menjadi
penderita penyakit tuberkulosis sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga lainnya
(Lubis, 1989 dalam Juslan 2011).

Universitas Sumatera Utara


Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan menggunakan ketentuan
standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat kesehatan
diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni ≥10 m²/orang dan
kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi antara
luas lantai dengan jumlah penghuni < 10 m²/orang (Lubis, 1989).
Menurut penelitian Atmosukarto dari Litbang Kesehatan (2000), didapatkan
data bahwa:
1. Rumah tangga yang penderita mempunyai kebiasaan tidur dengan balita
mempunyai risiko terkena TB 2,8 kali dibanding dengan tidur terpisah;
2. Tingkat penularan TB di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana
seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam
rumahnya;
3. Besar risiko terjadinya penularan dengan penderita lebih dari 1 orang adalah
4 kali dibanding rumah tangga dengan hanya 1 orang penderita TB
(Juslan, 2011).
Beberapa penelitian telah dilakukan yang menegaskan bahwa kepadatan hunian
bisa menjadi salah satu faktor penyebab (faktor risiko) TB paru seperti penelitian yang
dilakukan oleh Daryatno (2000) di Semarang yang menyatakan bahwa kepadatan
hunian memiliki hubungan dengan kejadian TB paru. Selanjutnya, Sugiharto (2004)
melakukan penelitian tentang hubungan kepadatan hunian dengan kejadian TB paru
dan diperoleh hasil adanya hubungan dengan nilai OR= 3,161 dengan nilai p= 0,001.
Selanjutnya, Tobing (2009) melaksanakan penelitian dengan salah satu variabel yaitu
kepadatan hunian yang memperoleh nilai p sebesar 0,004 yang berarti adanya
hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan penyakit TB paru dimana
nilai OR sebesar 3,3 (95% CI : 1,45 7,9). Hal ini berarti, potensi kejadian penyakit
TB paru sebesar 3,3 kali di bangunan atau rumah yang kepadatan huniannya < 0,5
(Sumampouw, 2012).

b. Ventilasi rumah
Menurut Depkes RI (1989) dalam Sumampouw (2012) secara umum, penilaian
ventilasi rumah dengan cara membandingkan antara luas ventilasi dan luas lantai
rumah, dengan menggunakan Role meter. Menurut indikator pengawaan rumah, luas

Universitas Sumatera Utara


ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah ≥ 10% luas lantai rumah dan luas
ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah ≤ 10% luas lantai rumah.
Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan
membawa pengaruh bagi penghuninya. Menurut Azwar (1990) dan Notoatmodjo
(2003), salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga aliran udara di dalam rumah
tersebut tetap segar. luas ventilasi rumah yang < 10% dari luas lantai (tidak memenuhi
syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen dan
bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya.
Disamping itu, tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban
ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan.
Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan
berkembang biaknya bakteri-bakteri pathogen termasuk kuman tuberkulosis
(Sumampouw, 2012).
Selain itu menurut Lubis (1989) dalam Sumampouw (2012) luas ventilasi yang
tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan terhalangnya proses pertukaran
aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman
tuberkulosis yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama
udara pernafasan.
Beberapa penelitian telah dilakukan yang menegaskan bahwa ventilasi bisa
menjadi salah satu faktor penyebab (faktor risiko) TB paru seperti yang dilakukan
oleh Ratnawati (2001) hasil penelitiannya menunjukkan tidak ada hubungan antara
ventilasi rumah dengan kejadian TB paru di Kabupaten Jepara (p > 0,05). Selanjutnya
penelitian yang dilakukan Sumarjo (2004) di Kabupaten Banjarnegara memperoleh
hasil yaitu adanya hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian TB paru dengan
nilai p sebesar 0,003 dan OR = 6,176. Hal ini berarti individu yang tinggal di rumah
dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko terkena TB paru
sebesar 6,2 kali dibandingkan mereka yang memiliki luas ventilasi yang memenuhi
syarat. Selanjutnya, Tobing (2009) menyatakan bahwa dalam penelitian yang
dilakukannya diperoleh hasil yaitu nilai p sebesar 0,037 dan nilai OR sebesar 2,4 (9%
CI-1,04-5.8). Selanjutnya, Darsoni (2005) yang melaksanakan penelitian di Desa
Padang memperoleh hasil yaitu bahwa adanya hubungan antara luas ventilasi rumah
dengan kejadian TB paru dimana nilai p = 0,001 dan OR sebesar 10,8. Selanjutnya,

Universitas Sumatera Utara


penelitian yang dilakukan oleh Rusnoto dkk (2004) tentang faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian TB paru di Balai Pencegahan dan Pengobatan Penyakit
Paru ditemukan luas ventilasi berhubungan dengan kejadian TB paru dimana nilai OR
sebesar 29,99 dengan 95% CI: 3,39-265,50 (Sumampouw, 2012).

2.2.7 Kebiasaan merokok


Kebiasaan merokok meningkatkan risiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2
kali. Pada tahun 1973 konsumsi rokok di Indonesia per orang per tahun adalah 230 batang,
relatif lebih rendah dengan 430 batang/orang/tahun di Sierra Leon, 480 batang/orang/tahun
di Ghana dan 760 batang/orang/tahun di Pakistan menurut Achmadi (2005) dalam
Fidiawati (2011), prevalensi merokok pada hampir semua negara berkembang lebih dari 50%
terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya
kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru (Fidiawati,
2011).
Menurut Amin (1993) dalam Priyadi (2003) mengatakan terdapat cukup fakta
untuk menghubungkan rokok dengan TB paru. Dalam jangka panjang yaitu 10 20
tahun pengaruh risiko merokok terhadap tuberkulosis adalah bila merokok 1 10
batang per hari meningkatkan risiko 15 kali, bila merokok 20 30 batang per hari
meningkatkan risiko 40 50 kali dan bila merokok 40 50 batang per hari
meningkatkan risiko 70 80 kali. Penghentian kebiasaan merokok, baru akan
menunjukkan penurunan risiko setelah 3 tahun.
Berdasarkan hasil penelitian Suarni (2009) menunjukkan tidak ada hubungan
yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan kejadian TB paru BTA positif (p=
0,298). Selaras dengan penelitian Widyasari (2012) menunjukkan responden yang
memiliki kebiasaan merokok (46,7%), dengan hasil analisis Chi square nilai p= 0,606
OR= 0,766, 95% CI= 0,278–2,111 dan responden yang merupakan perokok pasif
(53,3%) dengan hasil analisis
Chi square nilai p= 0,438 OR= 1, 495, 95% CI= 0,540 4,136 dapat disimpulkan
bahwa status terpapar rokok tidak memiliki hubungan dengan kejadian TB Paru
di Wilayah Semarang Utara.

Universitas Sumatera Utara


2.2.8 Penyakit penyerta
Umumnya penderita TB dalam keadaan malnutrisi dengan berat badan sekitar
30-50 kg atau indeks masa tubuh kurang dari 18,5 pada orang dewasa. Sementara
berat badan yang lebih kecil 85% dari berat badan ideal kemungkinan mendapat TB
adalah 14 kali lebih besar dibandingkan dengan berat badan normal. Ini yang menjadi
pemikiran bahwa malnutrisi atau penurunan berat badan telah menjadi faktor utama
peningkatan risiko TB menjadi aktif. Pola makan orang Indonesia yang hampir 70%
karbohidrat dan hanya 10% protein yang pada penyakit kronis selalu disertai dengan
tidak selera makan, tidak mau makan, tidak bisa makan atau tidak mampu membeli
makanan yang mempunyai kandungan gizi baik (kurang protein), sehingga penderita
ini mempunyai status gizi yang buruk. Selain faktor gizi, penyakit seperti Diabetes
mellitus (DM) dan infeksi HIV merupakan salah satu faktor risiko yang tidak
berketergantungan untuk berkembangnya infeksi saluran napas bagian bawah.
Prevalensi TB paru pada DM meningkat 20 kali dibanding non DM dan aktivitas
kuman tuberkulosis meningkat 3 kali pada DM berat dibanding DM ringan. Penderita
tuberkulosis menular (dengan sputum BTA positif) yang juga mengidap HIV
merupakan penularan kuman tuberkulosis tertinggi (Putra,2010). Selaras dengan
laporan Maurice (2011) menyatakan bahwa penderita diabetes mempunyai risiko tiga
kali lipat untuk menderita tuberkulosis, kami memperkirakan sekitar 8%
berkonstribusi untuk terjadinya kasus TB baru setiap tahunnya.
Berdasarkan hasil penelitian Widyasari (2012) menunjukkan responden yang
memiliki riwayat Diabetes mellitus (26,7%), dengan hasil analisis
Chi square nilai p= 0,038 OR= 5,092, 95% CI= 0,981-26,430, dari hasil analisis dapat
disimpulkan bahwa riwayat penyakit penyerta memiliki hubungan dengan kejadian TB
Paru di Wilayah Semarang Utara.

2.2.9 Riwayat kontak


Yulistyaningrum dan Rejeki (2010) menyatakan bahwa sebesar 74,23% dari
seluruh kasus tuberkulosis terdapat pada golongan anak, dimana angka penularan dan
bahaya penularan yang tinggi terdapat pada golongan umur 0-6 tahun dan golongan
umur 7 14 tahun. Faktor risiko yang dapat menimbulkan penyakit tuberkulosis
terutama pada anak-anak adalah faktor genetik, malnutrisi, vaksinasi, kemiskinan dan

Universitas Sumatera Utara


kepadatan penduduk. Faktor risiko utama yang dapat menimbulkan penyakit TB paru
pada anak adalah kontak dengan penderita
TB dewasa. Anak-anak yang sakit TB tidak dapat menularkan kuman TB ke anak lain
atau ke orang dewasa. Sebab, pada anak biasanya TB bersifat tertutup. Kasus TB paru
anak di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru Purwokerto pada tahun 2009 mencapai
26,4%. Hal ini dimungkinkan karena adanya kontak serumah atau sering berinteraksi
dengan orang dewasa yang terbukti mengidap TB paru dengan hasil tes Basil Tahan
Asam (BTA) positif.
Penelitian yang dilakukan oleh Rusnoto, dkk (2006) menyatakan Riwayat
penularan anggota keluarga jika ada yang menderita TB paru akan mampu menularkan
79,781 kali dari keluarga yang tidak ada yang menderita TB paru. Riwayat kontak
penderita dalam satu keluarga dengan anggota keluarga yang lain yang sedang
menderita TB paru merupakan hal yang sangat penting karena kuman Mycobacterium
tuberculosis sebagai etiologi TB paru adalah memiliki ukuran yang sangat kecil,
bersifat aerob dan mampu bertahan hidup dalam sputum yang kering atau ekskreta lain
dan sangat mudah menular melalui ekskresi inhalasi baik melalui nafas, batuk, bersin
ataupun berbicara (droplet infection). Sehingga adanya anggota keluarga yang
menderita TB paru aktif, maka seluruh anggota keluarga yang lain akan rentan dengan
kejadian TB paru termasuk juga anggota keluarga dekat . Riwayat kontak anggota
keluarga yang serumah dan terjadi kontak lebih dari atau sama dengan 3 bulan
berisiko untuk terjadinya TB paru terutama kontak yang berlebihan melalui
penciuman, pelukan, berbicara langsung. Hasil penelitian didapatkan sebesar 63,8%
yang terdeteksi menderita TB paru yang berasal dari kontak serumah dengan keluarga
atau orang tua yang menderita TB paru.

2.2.10 Status gizi


Untuk orang Indonesia pengukuran status gizi dilakukan berdasarkan standard
IMT ( Indeks Massa Tubuh) yaitu dengan menggunakan standard Asia atau Depkes
RI yang merupakan suatu pengukuran yang menghubungkan (membandingkan) berat
badan dengan tinggi badan. Walaupun dinamakan "indeks", BMI (Body Mass Index)
sebenarnya adalah rasio yang dinyatakan sebagai berat badan (dalam kilogram) dibagi
dengan kuadrat tinggi badan (dalam meter). Setelah mendapatkan hasil angka tersebut

Universitas Sumatera Utara


dicocokkan dengan cut off point sehingga kita dapat mengetahui status gizi kita
apakah under weight, normal, overweight atau obesitas. Cut Off Point berdasarkan
Depkes RI adalah :
1. Kurus : <17 18,4
2. Normal : 18,5 25
3. Gemuk : 25,1 >27
Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa yang berusia 18 tahun
ke atas. IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, ibu hamil dan olahragawan.
Disamping itu pula IMT tidak dapat diterapkan dalam keadaan khusus (penyakit)
lainnya seperti edema, asites dan hepatomegali [http://www.ilmu-gizi.net/2011/09/imt-
indeks-massa-tubuh-bmi.html (diakses 29 September 2012)]. Sedangkan untuk
pengukuran status gizi anak diukur secara antropometri dan dikatagorikan berdasarkan
standar baku WHO-NCHS dengan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB (Kepmenkes,
2002).
Keadaan status gizi dan penyakit infeksi merupakan pasangan yang terkait.
Penderita infeksi sering mengalami anoreksia, penggunaan waktu yang berlebih,
penurunan gizi atau gizi kurang akan memiliki daya tahan tubuh yang rendah dan
sangat peka terhadap penularan penyakit. Pada keadaan gizi yang buruk ,maka reaksi
kekebalan tubuh akan menurun sehingga kemampuan dalam mempertahankan diri
terhadap infeksi menjadi menurun (Rusnoto, dkk, 2006)
Rakhmawati, dkk (2009) dalam penelitian menyatakan bahwa ada hubungan
yang signifikan antara status gizi dengan kejadian tuberkulosis pada anak. Perbedaan
pada antara status gizi kurang dan baik dapat dilihat pada nilai OR = 0,176
(0,034 0,905) dan 0,235 (0,044 1,267), artinya anak dengan gizi kurang mempunyai
peluang untuk terkena tuberkulosis 0,176 kali dibandingkan anak dengan gizi baik,
dan anak dengan status gizi sedang mempunyai peluang untuk terkena tuberkulosis
0,235 kali dibandingkan dengan anak yang status gizi baik. Menurut Markum (1991)
dalam Rakhmawati, dkk (2009) pada anak yang mengalami kekurangan gizi akan
menimbulkan penurunan daya tahan tubuh hal ini disebabkan pada anak dengan
kekurangan energi dan protein akan terjadi penurunan sintesis asam amino, selain itu
juga akan terjadi perubahan dalam sel mediator imunitas, dalam fungsi bakterisidal
netropil dan sistem komplemen dalam respon Ig A. Sekresi Ig A yang rendah

Universitas Sumatera Utara


bersamaan dengan penurunan imunitas makrosa akan memudahkan kolonisasi dan
kontak antara mikroorganisme patogen dan sel epitel.
TB lebih banyak terjadi pada anak yang kurang gizi sehubungan dengan
lemahnya daya tahan tubuh anak yang kurang gizi. TB juga memperburuk status gizi
anak dan ini merupakan satu sebab lingkaran setan gizi kurang dan infeksi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok TB lebih banyak anak yang berstatus
gizi sedang, kurang dan buruk. Hasil uji korelasi menunjukkan terdapat korelasi
signifikan antara status gizi anak masa lalu dengan kejadian TB pada murid TK
(p=0.01; r=-0.546). Hal ini berarti semakin rendah status gizi anak pada masa lalu,
maka semakin besar kemungkinan ia menjadi TB pada usia TK (Madanijah dan
Triana, 2007).
Berdasarkan penelitian Fatimah (2008) hasil analisis statistik bivariat maupun
multivariat menunjukkan bahwa faktor status gizi mempunyai hubungan dengan
kejadian TB paru karena p < 0,05 pada analisis bivariat diperoleh hasil
p = 0,015 OR = 2,737 dengan CI 95% = 1,272 < OR < 5,887. Artinya status gizi
< 18,5 mempunyai risiko meningkatkan kejadian TB paru sebanyak 2,737 kali lebih
besar dibanding dengan status gizi ≥ 18,5. Sejalan dengan penelitian Ruswanto (2010)
mengatakan hasil analisis statistik menunjukkan nilai p= 0,005 (p< 0,05) bahwa status
gizi merupakan faktor risiko terhadap kejadian TB paru.
Menurut Alsagaf dan Mukty (2004) dalam Rotua (2013) status gizi yang buruk
dapat mempengaruhi tanggapan tubuh berupa pembentukan antibodi dan limfosit
terhadap adanya kuman penyakit. Untuk pembentukan ini diperlukan bahan baku
protein dan karbohidrat, sehingga pada anak dengan gizi buruk produksi antibodi dan
limfosit terhambat. Selain itu gizi yang buruk dapat menyebabkan gangguan
imunologis dan mempengaruhi proses penyembuhan penyakit. Selaras juga dengan
pendapat Nadesul (2004) dalam Rotua (2013) diet penderita TB harus cukup
mengandung protein. Makanan tidak cukup hanya nasi dan sayur saja tetapi perlu lauk
pauk seperti ikan, daging telur dan susu. Akibat dari kuman TB, paru-paru menjadi
keropos dan terjadi proses pengapuran (kalsifikasi). Sehingga penderita perlu asupan
zat kapur lebih banyak. Zat kapur banyak terkandung pada susu, ikan teri atau tablet
kalsium. Jadi makanan bergizi dan zat kapur ibarat semen untuk menebalkan bagian
tubuh /paru yang berlubang dan keropos akibat digerogoti kuman TB.

Universitas Sumatera Utara


Orang dengan TB aktif sering kekurangan gizi dan menderita defisiensi
mikronutrien serta penurunan berat badan dan nafsu makan menurun. Malnutrisi
meningkatkan risiko perkembangan dari infeksi TB menjadi penyakit TB aktif.
Malnutrisi atau kekurangan nutrisi adalah temuan paling umum yang dialami penderita
TB. Diet untuk penderita TB sangat penting karena kebanyakan penderita mengalami
kekurangan gizi. Kekurangan (defisiensi) protein menghambat kemampuan tubuh
untuk melawan infeksi. Selain pengobatan diet TB yang tepat juga diperlukan untuk
memasok tubuh dengan berbagai nutrisi penting. Dengan pengobatan yang tepat dan
diet yang sehat, kemungkinan untuk mendapatkan berat badan yang sehat. Penting
untuk mempertahankan asupan kalori yang tepat. Mengkonsumsi berbagai buah-
buahan dan sayuran, diet untuk pasien TB juga harus memasukkan kacang-kacangan.
Hal ini membantu untuk menjaga berat badan dan juga membangun kekebalan
terhadap penyakit lebih lanjut. Susu dan produk susu juga harus menjadi bagian diet.
Ada juga produk susu rendah lemak dan lemak bebas tersedia saat ini. Selain diet yang
tepat, individu juga harus mendapatkan istirahat yang cukup sehingga sistem
kekebalan tubuh dapat pulih dan berfungsi dengan baik. Kebutuhan energi pada pasien
TB meningkat karena penyakit itu sendiri, kebutuhan energi sekitar 35-40 kkal per
kilogram berat badan ideal (Abdurrahman, 2012).
Menurut Chandra (1996) dalam Usman (2008) pengamatan epidemiologis telah
menyatakan bahwa infeksi dan kekurangan nutrisi saling berpengaruh secara buruk.
Untuk beberapa penyakit infeksi seperti tuberkulosis ada banyak bukti menyatakan
bahwa masa ketika sakit dan masa penyembuhan dipengaruhi secara buruk oleh
kekurangan nutrisi. Bahwa kekurangan nutrisi pada umumnya berkaitan dengan
terganggunya respon imun khususnya fungsi fagosit, produksi sitokin, respon sekresi
antibodi dan sistem komplemen. Ringkasnya kekurangan nutrisi menyebabkan
immunodefisiensi secara umum untuk berbagai penyakit infeksi termasuk
tuberkulosis. Chan (1996) dalam Usman ( 2008) mengatakan peranan protein pada
pengobatan TB selain memenuhi kebutuhan gizi, meningkatkan regenerasi jaringan
yang rusak juga mempercepat sterilisasi dari kuman TB. Selain itu menurut Leitch
(2000) dalam Usman (2008) kebanyakan penderita TB adalah kelompok usia produkif
(15-55 tahun) secara tidak langsung penyakit dan status gizi yang buruk akan
mempengaruhi produktivitas. Untuk itu diperlukan dukungan nutrisi yang adekuat

Universitas Sumatera Utara


sehingga akan mempercepat perbaikan status gizi dan meningkatkan sistem imun yang
dapat mempercepat proses penyembuhan disamping pemberian obat yang teratur
sesuai metode pengobatan TB.
Pada orang-orang yang memiliki tubuh sehat karena daya tahan yang tinggi dan
gizi yang baik, penyakit TB paru tidak akan muncul dan kuman TB akan tertidur.
Namun pada mereka yang mengalami kekurangan gizi, daya tahan tubuh menurun
atau buruk, terus menerus menghirup udara yang mengandung kuman TB akibat
lingkungan yang buruk akan lebih mudah terinfeksi TB paru (menjadi TB aktif) atau
dapat juga mengakibatkan kuman TB yang tertidur di dalam tubuh dapat aktif kembali
(Hateyaningsih T, 2009).
Samuel (2013) dalam Prawira (2013) menyatakan satu hal penting yang harus
diperhatikan saat seseorang terserang TB adalah memperhatikan asupan gizinya. Jika
seseorang mengalami infeksi kronis, maka status gizi pada orang tersebut dinyatakan
menurun. Karena itu, daya tahan tubuh secara keseluruhan juga menurun. Berikan
asupan makanan yang benar supaya tidak tambah kurus. Penderita TB tidak cukup
hanya ditangani dengan pengobatan yang terus menerus tanpa henti. Asupan gizi yang
masuk pun harus diperhatikan dengan benar. Status gizi penderita TB berbeda dengan
orang sehat lainnya, pemberian asupan makanan pun harus beda dan lebih dari yang
sehat. Kalau biasanya hitungannya 1
gram per 1 kilogram, maka untuk orang yang sedang terkena TB asupan kalorinya
adalah 1,5 gram per 1 kilogram.

Universitas Sumatera Utara


2.3 Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka konsep penelitian ini dapat digambarkan seperti gambar dibawah ini:
Variabel independen: Variabel dependen:

1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Pekerjaan
4. Pengetahuan
5. Kebiasaan merokok Penularan TB paru
6. Penyakit penyerta
7. Status gizi pada keluarga
8. Riwayat kontak

Gambar 2.4. Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Sumatera Utara


BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Rancangan penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional


menggunakan metode cross sectional yakni variabel independen dan variabel
dependen dilakukan pengamatan secara bersamaan. Observasi atau pengukuran
variabel dilakukan hanya satu kali dan dalam waktu yang bersamaan.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Kabupaten Aceh Timur Pemerintah Aceh, dengan
mengambil lokasi di Puskesmas-puskesmas terpilih yang terdapat kasus TB paru
dengan BTA positif yang dijumpai pada bulan Januari sampai dengan Desember 2012.
Subyek yang diteliti adalah anggota keluarga yang tinggal serumah dengan penderita
TB paru dengan BTA positif yang ditemukan tersebut.

Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2012 sampai dengan bulan
Februari 2013.

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah semua anggota keluarga yang tinggal
serumah dengan penderita BTA positif yang berobat di Puskesmas dalam wilayah
kerja Kabupaten Aceh Timur. Sampel adalah populasi terjangkau yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi.

3.4 Perkiraan Besar Sampel

Besar sampel dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus besar
sampel minimal dalam penelitian kesehatan menurut Lwanga dan Lemeshow (1991)
sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara


Keterangan :

Zα : Tingkat kepercayaan 95% = 1,96

Zβ : Power of test 80% = 0,842

Po : Proforsi faktor risiko penularan TB paru 70%

Pa : Perkiraan Proforsi faktor risiko penularan TB paru 80%

Dari perkiraan sampel diatas Jadi jumlah sampel minimal dalam penelitian ini adalah
135,79 (dibulatkan menjadi 140 orang).

3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi


3.5.1 Kriteria inklusi
1. Anggota keluarga yang tinggal serumah dengan penderita TB paru BTA positif.
2. Memilliki tanda dan gejala infeksi TB.
3. Anggota keluarga yang mempunyai riwayat pengobatan TB.
4. Anggota keluarga yang tinggal bersama dalam kurun waktu minimal tiga bulan
terakhir.

4.5.2 Kriteria eksklusi


1. Anggota keluarga yang tinggal serumah dengan penderita TB paru BTA positif
yang tidak bersedia mengikuti penelitian ini.
2. Anggota keluarga tidak berada di tempat tiga kali kunjungan ke rumah.

3.6 Defenisi Operasional


a. Umur adalah usia responden penelitian dihitung dari tanggal lahir sampai dengan
ulang tahun terakhir, dikelompokkan atas:
1. < 15 tahun
2. 15 55 tahun

Universitas Sumatera Utara


3. > 56 tahun
b. Jenis kelamin adalah keadaan tubuh responden yang dibedakan secara fisik dan
biologis yaitu:
1. Laki – laki
2. Perempuan
c. Pekerjaan adalah aktivitas sehari-hari yang dimiliki responden memberikan hasil
secara ekonomi, yaitu:
1. PNS/ ABRI
2. Wiraswasta
3. Pensiunan
4. Ibu Rumah Tangga
5. Petani
6. Buruh Tani/Nelayan
7. Siswa/Pelajar/ Mahasiswa: Responden yang masih sekolah di SD, SMP, SMA,
Akademi atau Universitas
8. Tidak Bekerja : Responden yang tidak mempunyai pekerjaan tetap yaitu
mocok-mocok dan anak usia ≤ 5 tahun
d. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui responden tentang penyakit
tuberkulosis paru. Dalam konsep penelitian ini, pengetahuan yang diukur hanya
dalam batas ”tahu” yaitu :
1. Pengetahuan kurang : apabila responden mendapat nilai ≤ 50% dari seluruh
skor yang ada.
2. Pengetahuan baik : apabila responden mendapat nilai > 50% dari seluruh skor
yang ada.
3. Pengetahuan tidak dapat dinilai : untuk responden usia 1-10 tahun
e. Kebiasaan merokok adalah perilaku responden dalam mengkonsumsi rokok dalam
jumlah batang per hari dan lamanya merokok yaitu :
1. Ya merokok :
Jumlah batang per hari:
1. Ringan: 1 10 batang/hari
2. Sedang: 20 30 batang /hari
3. Berat: 40 50 batang/hari

Universitas Sumatera Utara


Lamanya merokok :
1. < 10 Tahun
2. > 10 Tahun
2. Tidak merokok
f. Penyakit penyerta adalah penyakit spesifik yang menyertai penderita tuberkulosis
(diabetes mellitus) yaitu :
1. Ya, bila responden mengidap penyakit yang lain selain tuberkulosis yaitu
Diabetes mellitus dengan hasil Pemeriksaan Kadar Gula Darah (KGD):
- KGD Puasa: < 100 mg/dl
- KGD 2 Jam PP: > 200 mg/dl
2. Tidak, bila responden tidak mengidap penyakit tersebut di atas.
3. Tidak dapat dinilai untuk usia < 15 tahun
g. Status gizi adalah keadaan status gizi responden dengan mengetahui IMT (Indeks
Massa Tubuh) dengan rumus BB(kg)/TB2(m), dinyatakan dengan:
1. Kurus IMT <17 18,4
2. Normal IMT 18,5 25
3. Gemuk IMT 25,1 >27
Untuk responden anak :
Status gizi adalah Gambaran status gizi yang diukur secara antropometri
berdasarkan indeks BB/U dari standar Z Score BB/U WHO-NCHS
(Kepmenkes, 2002), yaitu :
1. Gizi buruk = <-3 SD
2. Gizi Baik = >-3 SD
h. Riwayat kontak adalah jika responden ada kontak atau pernah berhubungan
dengan orang yang menderita TB paru BTA positif serumah dengan responden,
yaitu:
1. Pernah, apabila responden pernah kontak atau berhubungan dengan orang yang
menderita TB paru BTA positif serumah dengan responden:
1. Responden sering bercakap dengan jarak dekat dengan penderita
2. Responden pernah menghirup udara langsung ketika penderita batuk atau
bersin
3. Responden tidur sekamar dengan penderita

Universitas Sumatera Utara


4. Responden sering berinteraksi dengan penderita
2. Tidak pernah, apabila responden tidak pernah kontak atau berhubungan dengan
orang yang menderita TB paru BTA positif serumah dengan responden.
i. TB paru BTA positif adalah penyakit paru yang disebabkan oleh basil tuberkulosa
dimana pada pemeriksaan mikroskopik dan biakan dijumpai Mycobacterium
tuberculosis.
j. Foto toraks adalah suatu pemeriksaan radiologi mempergunakan alat Roentgen
yang telah diukur parameternya dan penderita ditempatkan pada jarak dan posisi
tertentu, hasil foto berupa filem diproses sehingga didapatkan hasil yang baik.
k. Tes mantoux (tes tuberkulin) adalah tes yang menggunakan PPD (Purified Protein
Derivate) yang disuntikkan secara intradermal pada kulit bagian atas lengan bawah
depan daerah volar.
l. Penularan TB pada keluarga adalah terjadi penularan TB pada anggota keluarga
yang tinggal serumah dengan penderita TB paru BTA positif.

3.7 Variabel Penelitian


3.7.1 Variabel dependen
Penularan TB pada keluarga

3.7.2 Variabel independen


a. Umur
b. Jenis kelamin
c. Pekerjaan
d. Pengetahuan
e. Kebiasaan merokok
f. Penyakit penyerta
g. Status gizi
h. Riwayat kontak

Universitas Sumatera Utara


3.8 Manajemen Data
3.8.1 Uji Validitas dan Reliabilitas
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner,
untuk mengetahui umur, jenis kelamin, pekerjaan, pengetahuan, kebiasaan merokok,
penyakit penyerta, status gizi dan riwayat kontak sebagai gambaran profil penularan
TB paru pada keluarga yang tinggal serumah dan faktor risiko apa yang dominan
berhubungan dengan penularan TB paru pada keluarga yang tinggal serumah tersebut.
Kuesioner yang telah disusun terlebih dahulu dilakukan uji coba sebelum
dijadikan sebagai alat ukur penelitian yang bertujuan untuk mengetahui validitas dan
reliabilitas alat ukur. Uji coba kuesioner dilakukan terhadap 30 orang masyarakat di
desa Cot Geulumpang Kecamatan Peureulak Kota.
Uji validitas bertujuan untuk mengetahui sejauhmana suatu ukuran atau nilai
yang menunjukkan tingkat kehandalan atau kesahihan suatu alat ukur dengan cara
mengukur korelasi antara variabel atau item dengan skor total variabel menggunakan
rumus teknik korelasi pearson product moment (r), dengan ketentuan jika nilai r-
hitung > r-tabel, maka dinyatakan valid dan sebaliknya. Ketentuan kuesioner
dikatakan valid pada penelitian ini, jika:
1. Nilai r-hitung variabel ≥ 0,361 dikatakan valid
2. Nilai r-hitung variabel< 0,361 dikatakan tidak valid
Reliabilitas dapat merupakan indeks yang menunjukkan sejauhmana suatu alat
pengukur dapat menunjukkan ketepatan dan dapat dipercaya dengan menggunakan
metode Cronbach’s Alpha, yaitu menganalisis reabilitas alat ukur dari satu kali
pengukuran, dengan ketentuan, jika nilai r-Alpha > r-tabel, maka dinyatakan relialibel.
Nilai r-Alpha untuk penentuan reliabilitas adalah:

1. Nilai r-Alpha ≥ r-tabel dikatakan reliabel


2. Nilai r-Alpha < r-tabel dikatakan tidak reliabel
Hasil uji validitas dan reliabilitas kuesioner dapat kita lihat pada tabel berikut ini:

Universitas Sumatera Utara


Tabel 3.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur
Corrected Item Total
NO Kode Pertanyaan Keterangan
Correlation
1 p1 0,806 Valid
2 p2 0,758 Valid
3 p3a 0,972 Valid
4 p3b 0,703 Valid
5 p3c 0,707 Valid
6 p3d 0,697 Valid
7 p3e 0,895 Valid
8 p3f 0,745 Valid
9 p3g 0,876 Valid
10 p3h 0,908 Valid
11 p4a 0,914 Valid
12 p4b 0,919 Valid
13 p4c 0,827 Valid
14 p5a 0,768 Valid
15 p5b 0,831 Valid
16 p5c 0,859 Valid
17 p5d 0,792 Valid
18 p5e 0,847 Valid
19 p6 0,847 Valid
20 p7 0,855 Valid
21 p8 0,745 Valid
22 p9 0,764 Valid
23 rokok1 0,806 Valid
24 rokok2 0,417 Valid
25 rokok3 0,778 Valid
26 peny1 0,720 Valid
27 gizi1 0,524 Valid
28 kontaka 0,787 Valid
29 kontakb 0,776 Valid
30 kontakc 0,905 Valid
31 kontakd 0,869 Valid
32 dapat 0,902 Valid
Alpha Cronbach 0,979 Reliabel

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan tabel 3.1 di atas dapat diketahui bahwa secara keseluruhan
variabel penelitian dikatakan valid, karena nilai hasil pengujian pada Corrected Item
Total Correlation menunjukkan nilai > 0,361, demikian juga dengan reliabilitas alat
ukur juga dapat dikatakan reliabel, karena diperoleh hasil Alpha Cronbach > 0,361.

3.8.2 Sumber data


Data primer diperoleh dari hasil pengamatan langsung dengan menggunakan
instrumen kuesioner melalui wawancara/anamnesa, pemeriksaan klinis (pemeriksaan
gejala klinis dan pemeriksaan jasmani), serta pemeriksaan penunjang terhadap peserta
penelitian. Peneliti terlebih dahulu mengajukan izin pengambilan data penelitian
kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur. Setelah mendapat persetujuan,
selanjutnya peneliti melakukan penelitian ke rumah-rumah responden yang terdapat
kasus TB paru dengan BTA positif di desa- desa puskesmas terpilih dalam wilayah
kerja Kabupaten Aceh Timur. Sebelum wawancara/anamnesa dilaksanakan, terlebih
dahulu diminta inform consent secara tulisan dari responden/walinya, setelah peneliti
menjelaskan tujuan penelitian yang akan dilakukan. Bila responden setuju maka
dipersilahkan untuk menandatangani lembar persetujuan.

3.9 Cara Kerja


3.9.1 Pemeriksaan pada anggota keluarga
1. Pada subjek populasi dilakukan anamnese pribadi dan anamnesa keluarga (bagi
yang masih anak-anak). Ini untuk melihat riwayat penyakit dan keadaan subjek
populasi sekarang.
2. Dilakukan pemeriksaan gejala klinis dan pemeriksaan fisik jasmani.
3. Dilakukan pemeriksaan BTA:
Pemeriksaan dahak dilakukan di Laboratorium RS. Rehab Medik Aceh Timur
dengan mempergunakan metode Ziehl Neelsen, dimana dahak diambil sesuai
metode SPS dan diberi tanda sesuai dengan nama penderita:
Cara pengumpulan dahak dibutuhkan tiga spesimen yang dilakukan dengan
prinsip SPS yaitu:
1) Sewaktu:

Universitas Sumatera Utara


 Kumpulkan spesimen pertama pada saat peneliti berkunjung ke rumah
sampel.
 Beri pot dahak pada saat peneliti pulang untuk keperluan pengumpulan
dahak pada pagi hari berikutnya.
2) Pagi:
 Sampel mengumpulkan dahak pada pagi hari kedua segera setelah
bangun tidur
3) Sewaktu:
 Pada saat peneliti kembali ke rumah pada pagi hari kedua, kumpulkan
spesimen ketiga dan peneliti juga mengambil spesimen pagi dari
sampel tersebut.
Tehnik pewarnaan yang dipakai adalah metode Ziehl Neelsen dengan
mempergunakan mikroskop biasa untuk melihat adanya kuman bakteri
M.tuberculosis.
Pembacaan hasil pemeriksaan dahak dilakukan dengan menggunakan skala
IUATLD (International Union Against To Lung Diseases) (Kemenkes RI,
2012):
Tabel 3.2 Hasil Pemeriksaan Mikroskopis dengan mengacu kepada Skala
IUATLD (International Union Against To Lung Diseases)
Hasil Keterangan

Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang


Negatif
pandang
+1, +2, ..., +9 (tulis Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang
jumlah BTA yang pandang
ditemukan)
Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang
1+
pandang
Ditemukan 1-10 BTA setiap 1 lapang pandang
2+
(periksa minimal 50 lapang pandang)
Ditemukan ≥10 BTA dalam 1 lapang pandang
3+
(periksa minimal 20 lapang pandang)

4. Dilakukan foto toraks secara PA untuk melihat adanya lesi TB pada paru pada
sampel apabila ada indikasi di RSUD Langsa/RSUD Idi Kab. Aceh Timur (lihat
alur pemeriksaan sampel).

Universitas Sumatera Utara


Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pada pemeriksaan foto toraks,
tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
 Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah
 Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular
 Bayangan bercak milier
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif:
 Fibrotik
 Kalsifikasi
 Schwarte atau penebalan pleura
Luluh paru (destroyed Lung ) :
 Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang
berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru
 Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis, ektasis/ multikaviti
dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit
hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut.
 Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti
proses penyakit
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif) :
 Lesi minimal: bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di
atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus
dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak
dijumpai kaviti
 Lesi luas: bila proses lebih luas dari lesi minimal (PDPI, 2006)
5. Untuk sampel anak < 15 tahun dilakukan pemeriksaan tes mantoux (tes tuberkulin)
dengan menggunakan PPD (purified protein derivate) 0,1 mL. Hasil uji Tes

Universitas Sumatera Utara


mantoux dibaca 48-72 jam setelah penyuntikkan dengan mengukur diameter
indurasi melintang dengan cara:
Peneliti menghubungi orang tua sampel (anak < 15 tahun), setelah diberi
penjelasan dan arahan untuk membawa anaknya ke Unit Pelayanan Kesehatan
Masyarakat Peureulak pada hari yang sudah disepakati.
Pada hari yang sudah disepakati orang tua beserta anak < 15 tahun berkumpul
Unit Pelayanan Kesehatan Masyarakat Peureulak, setelah peneliti memberi
penjelasan dan arahan anak < 15 tahun dipanggil satu persatu secara antrian ke
dalam ruangan yang sudah dipersiapkan.
Peneliti memeriksa status imunisasi BCG anak dengan melihat apakah ada
tanda scar atau KMS, bila scar tidak dijumpai tetapi tertera dalam KMS,
imunisasi BCG dianggap telah diberikan. (Dari 18 responden anak dijumpai 17
orang anak tidak pernah mendapat imunisasi BCG dan 1 orang anak pernah
mendapat imunisasi BCG)
Kemudian disiapkan 0,1 ml PPD ke dalam disposibel spuit ukuran 1 ml (3/8
inch 26-27 gauge)
Dipilih daerah kulit di volar/permukaan belakang lengan bawah. Lengan tidak
boleh dibersihkan dengan alkohol
Suntikkan PPD secara intrakutan dengan lubang jarum mengarah ke atas.
Suntikan yang benar akan menghasilkan benjolan pucat, pori-pori tampak jelas
seperti kulit jeruk, berdiameter 6-10 mm (lihat gambar 3.1)
Apabila penyuntikan tidak berhasil (terlalu dalam atau cairan terbuang keluar)
ulangi suntikan pada tempat lain di permukaan volar dengan jarak minimal 4
cm dari suntikan pertama
Kemudian dicatat lokasi suntikan. Tidak perlu melingkari benjolan dengan
pulpen/spidol karena dapat mengganggu hasil pembacaan
Sebelum pulang orang tua sampel diberikan pengarahan oleh peneliti dan
diminta membawa anaknya kembali ke Unit Pelayanan Kesehatan Masyarakat
Peureulak setelah 2 hari penyuntikan untuk dilakukan penilaian uji tuberkulin
Penilaian uji tuberkulin dilakukan dengan mengukur diameter
dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi (bukan eritem) dengan cara palpasi.

Universitas Sumatera Utara


Kemudian diukur diameter transversal terhadap sumbu panjang lengan dan
dicatat hasil pengukuran dalam mm (lihat gambar 3.2)
Hasil tes mantoux (+) apabila diameter indurasi ≥ 10 mm dan (–) apabila 0-
4 mm. Indurasi 5-9 mm hasil meragukan dan harus diulang 2 minggu
kemudian, untuk menghindari efek booster. Anak di bawah umur 5 tahun
diimunisasi BCG hasil tes mantoux (+) apabila diameter indurasi ≥ 15 mm
dan jika tidak diimunisasi BCG hasil tes mantoux (+) apabila diameter
indurasi ≥ 10 mm (Rahajoe, 2005 dalam Siregar 2008).
Hasil tes mantoux dinyatakan positif apabila diameter indurasi > 10 mm.
Kemungkinan yang perlu dipikirkan pada anak dengan hasil tersebut:
Terinfeksi TB secara alamiah
Infeksi TB mencakup infeksi TB laten, sakit TB aktif, atau pasca terapi TB
Pernah mendapat imunisasi BCG (pada anak dengan usia kurang dari 5
tahun)
Pada pasien usia kurang dari 5 tahun dengan riwayat vaksinasi BCG
kecurigaan ke arah infeksi alamiah TB bila hasil uji mantoux > 15 mm.
Infeksi mikobakterium atipik
Berdasarkan Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI pedoman diagnosis
TB anak yaitu: gejala atau tanda klinis TB yang dijumpai pada anak dilakukan
pembobotan dengan sistem skor (scoring system). Pasien dengan jumlah skor
yang lebih atau sama dengan 6 ( 6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan
mendapat OAT (obat anti tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara
klinis kecurigaan
ke arah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya sesuai
indikasi (rujuk ke Rumah Sakit) (Depkes RI, 2008).

Gambar 3.1 Cara Penyuntikan Tes Tuberkulin

Universitas Sumatera Utara


Gambar 3.2 Cara Pembacaan Tes Tuberkulin

6. Dari hasil di atas akan disimpulkan berapa banyak penularan yang terjadi pada
anggota keluarga yang tinggal serumah dengan penderita TB paru BTA positif
(untuk lebih jelasnya lihat alur pemeriksaan sampel).
7. Tidak dilakukan pemeriksaan untuk TB ekstra paru pada penelitian ini.

3.9.2 Pengisian kuesioner yang sudah disiapkan


Anamnesa mengenai umur, jenis kelamin, pekerjaan, pengetahuan, kebiasaan
merokok, penyakit penyerta, status gizi, riwayat kontak, pemeriksaan fisik dan
sebagainya dilakukan peneliti di rumah responden berpedoman pada kuesioner.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 3.3 Alur Ringkasan Pemeriksaan Sampel

Penderita TB Paru BTA Positif

Anggota Keluarga yang Tinggal Serumah

Gejala Infeksi TB ( ) Gejala Infeksi TB (+)

Dewasa Anak usia < 15 tahun

Pemeriksaan Mikroskopis: Sistem Skoring


Sewaktu, Pagi, Sewaktu

Bukan TB Bukan TB Bukan


TB TB TB

Universitas Sumatera Utara


Gambar 3.4 Alur Pemeriksaan Sampel

Penderita TB Paru BTA Positif

Anggota Keluarga yang Tinggal Serumah

Gejala Infeksi TB ( ) Gejala Infeksi TB (+)

Dewasa Anak usia < 15 tahun

Berdahak Tidak Berdahak

Mikroskopis: Sewaktu, Pagi, Sewaktu Sistem Skoring


Parameter:
Kontak TB
Uji tuberkulin
BTA BTA BTA BB/keadaan gizi
+/+/+ +/ / / / Demam tanpa
+/+/ sebab jelas
Batuk
Antibiotik Pembesaran
Non-OAT kelenjar linfe koli,
aksila,inguinal
Pembengkakan
tulang/sendi
Perbaikan Perbaikan panggul,lutut,
falang
( ) (+)
Foto toraks
Foto Toraks &
Pertimbangan Mikroskopis:
Dokter S/P/S
Skor
(+) ( ) <6
BTA BTA
/ / +/+/+
Skor
+/+/ ≥6

Tuberkulosis

Bukan Tuberkulosis Bukan


Tuberkulosis Tuberkulosis

Universitas Sumatera Utara


3.10 Analisa data
Data yang sudah dikumpulkan kemudian diolah dengan menggunakan bantuan
perangkat lunak komputer. Analisa univariat digunakan untuk mendiskripsikan faktor-
faktor risiko dan penularan TB pada keluarga penderita. Analisa bivariat digunakan
untuk mengetahui hubungan antara masing-masing variabel independen dengan
variabel dependen digunakan Chi square test . Analisa multivariat untuk mengetahui
faktor yang paling dominan mempengaruhi penularan TB pada keluarga penderita
digunakan uji regresi logistik.

3.11 Masalah Etika


Sebelum dilakukan prosedur penelitian, akan dimintakan ijin kepada Komite
Etik Penelitian Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan
Dinkes Kabupaten Aceh Timur/Puskesmas-puskesmas dalam wilayah kerja Kabupaten
Aceh Timur. Persetujuan ini untuk diikutsertakan dalam penelitian akan dimintakan
dari orang dewasa, orang tua/wali untuk anak-anak dalam bentuk informed consent
tertulis.
Responden berhak menolak untuk diikutsertakan dalam penelitian dengan
alasan apapun serta berhak untuk keluar dari penelitian setiap saat. Data identitas yang
diperoleh dari hasil penelitian akan dirahasiakan. Semua biaya yang keluar sebagai
akibat ikut serta penelitian akan menjadi tanggung jawab peneliti.

Universitas Sumatera Utara


BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Aceh Timur mempunyai luas wilayah 6040,6 km² terletak pada
posisi 04º09”21,08” lintang utara sampai dengan 04º06”02,16” lintang utara dan
97º15”22,07” bujur timur sampai dengan 97º34”43,22” bujur timur, yang terdiri dari
24 kecamatan dan 512 desa.
Batas wilayah Kabupaten Aceh Timur adalah:
- Sebelah utara dengan Kabupaten Aceh Utara dan Selat Malaka
- Sebelah Timur dengan Selat Malaka dan Kota Langsa
- Sebelah Selatan dengan Kabupaten Aceh Utara
- Sebelah Barat dengan Kabupaten Aceh Tengah
Jumlah penduduk yang ada di Kabupaten Aceh Timur berdasarkan data Biro
Pusat Statistik Kabupaten Aceh Timur tahun 2011 adalah 360.465 jiwa yang terdiri
dari laki-laki berjumlah 180.397 jiwa dan perempuan berjumlah 180.078 jiwa (Dinkes
Kabupaten Aceh Timur, 2012).
Cakupan imunisasi BCG di Kabupaten Aceh Timur berdasarkan data laporan
Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) imunisasi pencapaiannya pada tahun 2010
(80,6%), pada tahun 2011 (93,9%) dan pada tahun 2012 (96,6%).

4.2 Analisis Univariat


Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi dari variabel atau
besarnya proporsi masing-masing variabel yang diteliti.

4.2.1 Distribusi Karakteristik Responden


Distribusi karakteristik responden berdasarkan umur, jenis kelamin dan
pekerjaan. Hasil penelitian dapat dilihat pada tabel 4.1
di bawah ini:

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.1 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin dan
Pekerjaan.

No Karakteristik Responden Jumlah (n) Persentase (%)


1 Umur Responden
< 15 Tahun 18 12,9
15 55 Tahun 89 63,6
≥ 56 Tahun 33 23,6
Total 140 100
2 Jenis Kelamin
Laki-laki 60 42,9
Perempuan 80 57,1
Total 140 100
3 Pekerjaan
PNS/ ABRI 1 0,7
Wiraswasta 5 3,6
Pensiunan 2 1,4
Ibu Rumah Tangga 13 9,3
1 0,7
Petani
9 6,4
Buruh Tani/Nelayan 23 16,4
86 61,4
Siswa/Pelajar/ Mahasiswa

Tidak Bekerja
Total 140 100

Tabel 4.1. di atas menunjukkan bahwa berdasarkan umur, proporsi umur


responden tertinggi pada kelompok umur 15-55 tahun yaitu sebanyak 89 orang
(63,6%) dan yang terendah pada kelompok umur < 15 tahun yaitu sebanyak
18 orang (12,9%). Berdasarkan jenis kelamin, proporsi jenis kelamin responden
tertinggi adalah perempuan yaitu sebanyak 80 orang (57,1%) dan terendah adalah laki-
laki yaitu sebanyak 60 orang (42,9%). Berdasarkan pekerjaan, proporsi pekerjaan

Universitas Sumatera Utara


responden tertinggi adalah tidak bekerja yaitu sebanyak 86 orang (61,4%) dan
terendah adalah PNS dan petani masing-masing hanya 1 orang (0,7%).

4.2.2 Distribusi Pengetahuan Responden

Distribusi karakteristik responden berdasarkan pengetahuan responden tentang


TB Paru. Hasil penelitian dapat dilihat pada tabel 4.2 di bawah ini:

Tabel 4.2 Distribusi Pengetahuan Responden Tentang TB Paru

Pengetahuan Jumlah (n) Persentase (%)

Kurang 90 64,3

Baik 37 26,4

Tidak bisa dinilai 13 9,3

Total 140 100

Tabel 4.2 di atas menunjukkan bahwa berdasarkan pengetahuan responden


tentang TB Paru terhadap 140 orang responden setelah diwawancara kemudian
dilakukan pengelompokkan tingkat pengetahuan menunjukkan bahwa 90 orang
(64,3%) dinyatakan memiliki pengetahuan yang kurang tentang TB paru (skor
penilaian ≤ 50%), 37 orang (26,4%) yang memiliki pengetahuan baik tentang TB paru
(skor penilaian > 50%) dan 13 orang (9,3%) tidak bisa dinilai pengetahuannya karena
berusia 1-10 tahun.

4.2.3 Distribusi Kebiasaan Merokok Responden

Distribusi karakteristik responden berdasarkan kebiasaan merokok, hasil


penelitiannya dapat dilihat pada tabel 4.3 di bawah ini:

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.3 Distribusi Kebiasaan Merokok

Kebiasaan Merokok Jumlah (n) Persentase (%)

Ya 18 12,9

Tidak 122 87,1

Total 140 100

Tabel 4.3 di atas menunjukkan bahwa berdasarkan kebiasaan merokok


responden yang perokok yaitu sebanyak 18 orang (12,9%) dan yang tidak merokok
yaitu sebanyak 122 orang (87,1%).

4.2.4 Distribusi Penyakit Penyerta

Distribusi karakteristik responden berdasarkan penyakit penyerta, hasil


penelitiannya dapat dilihat pada tabel 4.4 di bawah ini:

Tabel 4.4 Distribusi Penyakit Penyerta

Penyakit Penyerta Jumlah (n) Persentase (%)

Ya 2 1,4

Tidak 122 87,1

Tidak bisa dinilai 16 11,4

Total 140 100

Tabel 4.4 di atas menunjukkan bahwa berdasarkan penyakit penyerta responden


yang juga mengidap penyakit diabetes mellitus yaitu sebanyak 2 orang (1,4%) dan
yang tidak mengidap penyakit diabetes mellitus yaitu sebanyak
122 orang (87,1%) dan 16 orang (11,4%) tidak bisa dinilai karena berusia
< 15 tahun.

Universitas Sumatera Utara


4.2.5 Distribusi Status Gizi Responden

Distribusi karakteristik responden berdasarkan status gizi, hasil penelitiannya


dapat dilihat pada tabel 4.5 di bawah ini:

Tabel 4.5 Distribusi Status Gizi Responden

Status Gizi Jumlah (n) Persentase (%)

Kurus 41 29,3

Normal 89 63,6

Gemuk 10 7,1

Total 140 100

Tabel 4.5 di atas menunjukkan bahwa berdasarkan status gizi responden


tertinggi yaitu sebanyak 89 orang (63,6%) status gizi normal (baik),
41 orang (29,3%) status gizi kurus (kurang) dan status gizi gemuk (lebih) yaitu
sebanyak 10 orang (7,1%).

4.2.6 Distribusi Riwayat Kontak Responden

Distribusi karakteristik responden berdasarkan riwayat kontak, hasil


penelitiannya dapat dilihat pada tabel 4.6 di bawah ini:

Tabel 4.6 Distribusi Riwayat Kontak Responden

Riwayat Kontak Jumlah (n) Persentase (%)

. Pernah 140 100

Total 140 100

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.6 di atas menunjukkan bahwa berdasarkan riwayat kontak responden
yaitu 140 orang (100%) ada kontak atau pernah berhubungan dengan orang yang
menderita TB paru BTA positif yang tinggal serumah dengan responden.

4.2.7 Distribusi Hasil Pemeriksaan


Distribusi berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap responden, hasil
penelitiannya dapat dilihat pada tabel 4.7 di bawah ini:
Tabel 4.7 Distribusi Hasil Pemeriksaan

Hasil Pemeriksaan Jumlah (n) Persentase (%)

BTA positif 9 6,4

BTA negatif 104 74,3

BTA negatif Foto toraks positif 7 5,0

BTA negatif Foto toraks negatif 2 1,4

Mantoux tes positif 13 9,3

Mantoux tes negatif 5 3,6

Total 140 100

Tabel 4.7 di atas menunjukkan bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan yang


dilakukan terhadap 140 orang responden dimana 122 orang responden usia ≥ 15 tahun
dilakukan pemeriksaan sputum dan 18 orang responden usia < 15 tahun dilakukan
pemeriksaan Mantoux tes (dimana untuk usia < 15 tahun ini terdapat 17 orang
responden mempunyai riwayat tidak pernah mendapat vaksinasi BCG dan 1 orang
responden mempunyai riwayat pernah mendapat vaksinasi BCG, khusus untuk 9 orang
responden dari 122 responden usia ≥ 15 tahun yang mempunyai gejala TB (+) tetapi
hasil pemeriksaan sputumnya (pemeriksaan mikroskopis SPS dijumpai BTA –/–/– dan
setelah diberikan kotrimoksazole selama 2 minggu tidak ada perbaikan kemudian
diulang pemeriksaan sputum hasilnya BTA –/–/– dilakukan pemeriksaan foto toraks).
Maka diperoleh hasil penelitiannya berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap terhadap

Universitas Sumatera Utara


140 orang responden tersebut yaitu pemeriksaan sputum sebanyak 9 orang (6,4%)
BTA positif dan sebanyak 104 orang (74,3%) BTA negatif, pemeriksaan foto toraks
sebanyak 7 orang (5,0%) foto toraks positif dan sebanyak 2 orang (1,4%) foto toraks
negatif sedangkan untuk pemeriksaan mantoux tes sebanyak 13 orang (9,3%) mantoux
tes positif dan sebanyak 5 orang (3,6%) mantoux tes negatif.

4.2.8 Distribusi Penularan TB Pada Keluarga

Distribusi berdasarkan penularan TB pada keluarga, hasil penelitiannya dapat


dilihat pada tabel 4.8 di bawah ini:

Tabel 4.8 Distribusi Penularan TB Pada Keluarga

Penularan TB Pada Keluarga Jumlah (n) Persentase (%)

Tidak 111 79,3

Ada 29 20,7

Total 140 100

Tabel 4.8 di atas menunjukkan bahwa berdasarkan ada tidaknya penularan TB


pada keluarga diperoleh terhadap 140 orang responden yang tinggal serumah dengan
penderita TB paru BTA positif setelah dikelompokkan menunjukkan bahwa
sebanyak 111 orang (79,3%) dinyatakan tidak terjadi penularan dan sebanyak 29
orang (20,7%) terjadi penularan.

4.3 Analisis Bivariat

Analisis bivariat dimaksud untuk mengetahui hubungan antara masing-masing


variabel independen dan variabel dependen. Untuk mengetahui ada tidak adanya
hubungan antara variabel independen (umur, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat
pendapatan, pengetahuan, kebiasaan merokok, penyakit penyerta, status gizi dan

Universitas Sumatera Utara


riwayat kontak) terhadap variabel dependen (penularan TB paru pada keluarga), maka
dilakukan uji statistik dengan Chi square. Suatu variabel independen dinyatakan
mempunyai pengaruh yang bermakna jika hasil uji statistiknya memperoleh nilai p<
0,05.

4.3.1 Hubungan Umur dengan Penularan TB paru pada Keluarga yang Tinggal
Serumah
Berdasarkan hubungan umur dengan penularan TB paru pada keluarga yang
tinggal serumah dapat dilihat pada tabel 4.9 di bawah ini:
Tabel 4.9 Hubungan Umur dengan Penularan TB paru pada Keluarga yang Tinggal
Serumah
Penularan TB paru

Umur Ada Tidak Total p

n % n % n %

< 15 Tahun 13 44,8 5 4,5 18 12,9

15 55 Tahun 10 34,5 79 71,2 89 63,6 0,0001

≥ 56 Tahun 6 20,7 27 24,3 33 23,6

Berdasarkan hasil tabulasi silang pada tabel 4.9 diatas menunjukkan bahwa
dari 18 responden dengan umur pada kelompok < 15 tahun sebanyak 13 orang (44,8%)
ada terjadi penularan TB paru dan sebanyak 5 orang (4,5%) tidak terjadi penularan TB
paru. Pada kelompok umur 15-55 tahun dari 89 responden sebanyak 10 orang (34,5%)
ada terjadi penularan TB paru dan sebanyak 79 orang (71,2%) tidak terjadi penularan
TB paru. Sedangkan pada kelompok umur ≥ 56 tahun dari 33 responden sebanyak 6
orang (20,7%) ada terjadi penularan TB paru dan sebanyak 27 orang (24,3%) tidak
terjadi penularan TB paru. Hasil uji Chi square menunjukkan nilai p= 0,0001 (p<
0,05) artinya ada hubungan yang signifikan antara umur dengan penularan TB paru.

Universitas Sumatera Utara


4.3.2 Hubungan Jenis Kelamin dengan Penularan TB paru pada Keluarga yang
Tinggal Serumah
Berdasarkan hubungan jenis kelamin dengan penularan TB paru pada
keluarga yang tinggal serumah dapat dilihat pada tabel 4.10 di bawah ini:
Tabel 4.10 Hubungan Jenis Kelamin dengan Penularan TB paru pada Keluarga yang
Tinggal Serumah
Penularan TB paru

Jenis Kelamin Ada Tidak Total p

n % n % n %

Laki-laki 13 44,8 47 42,3 60 42,9 0,810

Perempuan 16 55,2 64 57,7 80 57,1

Berdasarkan hasil tabulasi silang pada tabel 4.10 diatas menunjukkan bahwa
dari 60 responden dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 13 orang (44,8%) ada
terjadi penularan TB paru dan sebanyak 47 orang (42,3%) tidak terjadi penularan TB
paru. Sedangkan jenis kelamin perempuan dari 80 responden sebanyak 16 orang
(55,2%) ada terjadi penularan TB paru dan sebanyak 64 orang (57,7%) tidak terjadi
penularan TB paru. Hasil uji Chi square menunjukkan nilai p= 0,810 (p > 0,05)
artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan penularan TB
paru.

4.3.3 Hubungan Pekerjaan dengan Penularan TB paru pada Keluarga yang


Tinggal Serumah
Berdasarkan hubungan pekerjaan dengan penularan TB paru pada keluarga
yang tinggal serumah dapat dilihat pada tabel 4.11 di bawah ini:

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.11 Hubungan Pekerjaan dengan Penularan TB paru pada Keluarga yang
Tinggal Serumah
Penularan TB paru

Pekerjaan Ada Tidak Total p

n % n % n %

PNS/ABRI 0 0 1 0,9 1 0,7 0,533

Wiraswasta 0 0 5 4,5 5 3,6

Pensiunan 1 3,4 1 0,9 2 1,4

Ibu Rumah Tangga 1 3,4 12 10,8 13 9,3

Petani 0 0 1 0,9 1 0,7

Buruh Tani/nelayan 1 3,4 8 7,2 9 6,4

Siswa/Pelajar/Mahasiswa 4 13,8 19 17,1 23 16,4

Tidak Bekerja 22 75,9 64 57,7 86 61,4

Berdasarkan hasil tabulasi silang pada tabel 4.11 diatas menunjukkan bahwa
dari 1 responden dengan jenis pekerjaan PNS/ABRI hanya 1 orang (0,9%) yaitu tidak
terjadi penularan TB paru. Wiraswasta dari 5 responden yaitu sebanyak 5 orang
(4,5%) tidak terjadi penularan TB paru. Pensiunan dari 2 responden dijumpai 1 orang
(3,4%) ada terjadi penularan TB paru dan 1 orang (0,9%) tidak terjadi penularan TB
paru. Ibu rumah tangga dari 13 responden dijumpai 1 orang (3,4%) ada terjadi
penularan TB paru dan sebanyak 12 orang (10,8%) tidak terjadi penularan TB paru.
Petani dari 1 responden yaitu 1 orang (0,9%) tidak terjadi penularan TB paru. Buruh
tani dari 9 responden dijumpai 1 orang (3,4%) ada terjadi penularan TB paru dan
sebanyak 8 orang (7,2%) tidak terjadi penularan TB paru. Siswa/Pelajar/Mahasiswa
dari 23 responden dijumpai sebanyak 4 orang (13,8%) ada terjadi penularan TB paru
dan sebanyak 19 orang (17,1%) tidak terjadi penularan TB paru. Tidak bekerja dari 86
responden dijumpai sebanyak 22 orang (75,9%) ada terjadi penularan TB paru dan

Universitas Sumatera Utara


sebanyak 64 orang (57,7%) tidak terjadi penularan TB paru. Hasil uji Chi square
menunjukkan nilai p= 0,533 (p> 0,05) artinya tidak ada hubungan yang signifikan
antara jenis pekerjaan dengan penularan TB paru.

4.3.4 Hubungan Pengetahuan dengan Penularan TB paru pada Keluarga yang


Tinggal Serumah
Berdasarkan hubungan pengetahuan dengan penularan TB paru pada keluarga
yang tinggal serumah dapat dilihat pada tabel 4.12 di bawah ini:

Tabel 4.12 Hubungan Pengetahuan dengan Penularan TB paru pada Keluarga yang
Tinggal Serumah
Penularan TB paru

Pengetahuan Ada Tidak Total p

n % n % n %

Kurang 19 65,5 71 64,0 90 64,3

Baik 1 3,4 36 32,4 37 26,4 0,0001

Tidak bisa dinilai 9 31,0 4 3,6 13 9,3

Berdasarkan hasil tabulasi silang pada tabel 4.12 diatas menunjukkan bahwa
dari 90 responden dengan pengetahuan yang kurang tentang TB paru sebanyak 19
orang (65,5%) ada terjadi penularan TB paru dan sebanyak 71 orang (64,0%) tidak
terjadi penularan TB paru. Dari 37 responden dengan pengetahuan yang baik tentang
TB paru hanya 1 orang (3,4%) ada terjadi penularan TB paru dan sebanyak 36 orang
(32,4%) tidak terjadi penularan TB paru. Sedangkan dari
13 responden dengan pengetahuan yang tidak dapat dinilai tentang TB paru karena
usia responden 1-10 tahun sebanyak 9 orang (31%) ada terjadi penularan TB paru dan
sebanyak 4 orang (3,6%) tidak terjadi penularan TB paru. Hasil uji Chi square
menunjukkan nilai p= 0,0001 (p< 0,05) artinya ada hubungan yang signifikan antara
pengetahuan dengan penularan TB paru.

Universitas Sumatera Utara


4.3.5 Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Penularan TB paru pada
Keluarga yang Tinggal Serumah
Berdasarkan hubungan kebiasaan merokok dengan penularan TB paru pada
keluarga yang tinggal serumah dapat dilihat pada tabel 4.13 di bawah ini:

Tabel 4.13 Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Penularan TB paru pada Keluarga
yang Tinggal Serumah
Penularan TB paru
Kebiasaan
Ada Tidak Total p
Merokok
n % n % n %

Ya 2 6,9 16 14,4 18 12,9 0,281

Tidak 27 93,1 95 85,6 122 87,1

Berdasarkan hasil tabulasi silang pada tabel 4.13 diatas menunjukkan bahwa
dari 18 responden dengan kebiasaan merokok pada kelompok ya sebanyak 2 orang
(6,9%) ada terjadi penularan TB paru dan sebanyak 16 orang (14,4%) tidak terjadi
penularan TB paru. Sedangkan dengan kebiasaan merokok pada kelompok tidak dari
122 responden sebanyak 27 orang (93,1%) ada terjadi penularan TB paru dan
sebanyak 95 orang (85,6%) tidak terjadi penularan TB paru. Hasil uji Chi square
menunjukkan nilai p = 0,281(p > 0,05) artinya tidak ada hubungan yang signifikan
antara kebiasaan merokok dengan penularan TB paru.

4.3.6 Hubungan Penyakit Penyerta dengan Penularan TB paru pada Keluarga


yang Tinggal Serumah
Berdasarkan hubungan penyakit penyerta dengan penularan TB paru pada
keluarga yang tinggal serumah dapat dilihat pada tabel 4.14 di bawah ini:

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.14 Hubungan Penyakit Penyerta dengan Penularan TB paru pada Keluarga
yang Tinggal Serumah
Penularan TB paru

Penyakit Penyerta Ada Tidak Total p

n % n % n %

Ya 1 3,4 1 0,9 2 1,4

Tidak 16 55,2 106 95,5 122 87,1 0,0001

Tidak bisa dinilai 12 41,4 4 3,6 16 11,4

Berdasarkan hasil tabulasi silang pada tabel 4.14 diatas menunjukkan bahwa
dari 2 responden dengan penyakit penyerta pada kelompok ya hanya 1 orang (3,4%)
ada terjadi penularan TB paru dan hanya 1 orang (0,9%) tidak terjadi penularan TB
paru. Dari 122 responden pada kelompok yang tidak sebanyak 16 orang (55,2%) ada
terjadi penularan TB paru dan sebanyak 106 orang (95,5%) tidak terjadi penularan TB
paru. Sedangkan dari 16 responden pada kelompok yang tidak bisa dinilai karena
berusia < 15 tahun sebanyak 12 orang (41,4%) ada terjadi penularan TB paru dan
sebanyak 4 orang (3,6%) tidak terjadi penularan TB paru. Hasil uji Chi square
menunjukkan nilai p= 0,0001 (p< 0,05) artinya ada hubungan yang signifikan antara
penyakit penyerta dengan penularan TB paru.

4.3.7 Hubungan Status Gizi dengan Penularan TB Paru pada Keluarga


yang Tinggal Serumah
Berdasarkan hubungan status gizi dengan penularan TB paru pada keluarga
yang tinggal serumah dapat dilihat pada tabel 4.15 di bawah ini:

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.15 Hubungan Status Gizi dengan Penularan TB paru pada Keluarga yang
Tinggal Serumah
Penularan TB paru

Status Gizi Ada Tidak Total p

n % n % n %

Kurus 16 55,2 25 22,5 41 29,3

Normal 13 44,8 76 68,5 89 63,6 0,002

Gemuk 0 0 10 9,0 10 7,1

Berdasarkan hasil tabulasi silang pada tabel 4.15 diatas menunjukkan bahwa
dari 41 responden dengan status gizi kurus (kurang) sebanyak 16 orang (55,2%) ada
terjadi penularan TB paru dan sebanyak 25 orang (22,5%) tidak terjadi penularan TB
paru. Dari 89 responden dengan status gizi normal (baik) sebanyak 13 orang (44,8%)
ada terjadi penularan TB paru dan sebanyak 76 orang (68,5%) tidak terjadi penularan
TB paru. Sedangkan dari 10 responden dengan status gizi gemuk (lebih) sebanyak 10
orang (9,0%) tidak terjadi penularan TB paru. Hasil uji Chi square menunjukkan nilai
p= 0,002 (p< 0,05) artinya ada hubungan yang signifikan antara status gizi dengan
penularan TB paru.

4.3.8 Hubungan Riwayat Kontak dengan Penularan TB paru pada Keluarga


yang Tinggal Serumah
Karena dari 140 responden (100%) menjawab pernah kontak dengan penderita
BTA positif yang tinggal serumah (nilainya konstan) uji analisis statistik tidak ada.

4.4 Analisis Multivariat


Untuk mengetahui jawaban faktor mana dari semua variabel yang berhubungan
dengan risiko terjadinya penularan TB paru, maka dilakukan analisis multivariat.
Sesuai dengan tujuan dan hipotesa penelitian, maka dilakukan uji statistik regresi
logistik. Tahap pertama adalah dengan melakukan pemilihan model untuk uji

Universitas Sumatera Utara


multivariat (regresi logistik). Berdasarkan analisis bivariat diperoleh bahwa variabel
umur, pengetahuan, penyakit penyerta dan status gizi memenuhi syarat untuk masuk
ke dalam model pengujian multivariat karena mempunyai nilai p < 0,25 adalah seperti
pada tabel dibawah ini:

Tabel 4.16 Hasil Analisis Risiko Variabel Umur terhadap Penularan TB Paru pada
Keluarga yang Tinggal Serumah
Variabel β Wald p PR 95% CI

Umur 23,789 0,0001

< 15 Tahun 3,022 23,448 0,0001 20,540 6,044 69,806

≥ 56 Tahun 0,563 1,001 0,317 1,756 0,583 5,287

Constant -2,067 37,919 0,0001 0,127

Pada tabel diatas hasil analisis risiko variabel umur tersebut ternyata variabel
yang berhubungan bermakna dengan risiko terjadinya penularan TB paru adalah
variabel umur < 15 tahun dengan nilai p= 0,0001 yang memenuhi syarat untuk masuk
ke dalam model pengujian multivariat.
Tabel 4.17 Hasil Analisis Risiko Variabel Pengetahuan terhadap Penularan TB Paru
pada Keluarga yang Tinggal Serumah
Variabel β Wald p PR 95% CI

Pengetahuan 16,819 0,0001

Kurang 2,265 4,688 0,030 9,634 1,240 74,870

Tidak bisa dinilai 4,394 13,904 0,0001 81,000 8,041 815,898

Constant -3,584 12,495 0,0001 0,028

Pada tabel diatas hasil analisis risiko variabel pengetahuan tersebut ternyata
variabel yang berhubungan bermakna dengan risiko terjadinya penularan TB paru

Universitas Sumatera Utara


adalah variabel pengetahuan kurang dengan nilai p= 0,030 yang memenuhi syarat
untuk masuk ke dalam model pengujian multivariat.

Tabel 4.18 Hasil Analisis Risiko Variabel Penyakit Penyerta terhadap Penularan TB
Paru pada Keluarga yang Tinggal Serumah
Variabel β Wald p PR 95% CI

Penyakit Penyerta 22,950 0,0001

Ya 1,891 1,726 0,189 6,625 0,394 111,282

Tidak bisa dinilai 2,989 22,052 0,0001 19,875 5,707 – 69,213

Constant -1,891 49,703 0,0001 0,151

Pada tabel diatas hasil analisis risiko variabel penyakit penyerta tersebut tidak
berhubungan bermakna dengan risiko terjadinya penularan TB paru dengan nilai p=
0,189 tidak memenuhi syarat untuk masuk ke dalam model pengujian multivariat.

Tabel 4.19 Hasil Analisis Risiko Variabel Status Gizi terhadap Penularan TB Paru
pada Keluarga yang Tinggal Serumah
Variabel β Wald p PR 95% CI

Status Gizi 9,041 0,011

Kurus 1,319 9,041 0,003 3,742 1,583 8,843

Gemuk -19,437 0,0001 0,999 0,0001 0,0001

Constant -1,766 34,613 0,0001 0,171

Pada tabel diatas hasil analisis risiko variabel status gizi tersebut ternyata
variabel yang berhubungan bermakna dengan risiko terjadinya penularan TB paru
adalah variabel status gizi kurus dengan nilai p= 0,003 yang memenuhi syarat untuk
masuk ke dalam model pengujian multivariat.

Universitas Sumatera Utara


Berikutnya adalah pemilihan model yang dilakukan dengan cara semua
variabel dimasukkan ke dalam model, kemudian variabel dengan nilai signifikannya >
0,05 dikeluarkan secara bertahap. Pada uji multivariat dilakukan dalam dua kali uji.
Pada uji yang pertama variabel dukungan sarana memiliki nilai signifikan > 0,05 maka
untuk uji yang kedua variabel dukungan sarana dikeluarkan dari model. Hasil akhir
analisis multivariat uji regresi logistik dapat dilihat pada tabel 4.20 berikut ini:

Tabel 4.20 Hasil Akhir Analisis Multivariat terhadap Penularan TB Paru pada
Keluarga yang Tinggal Serumah
Variabel β Wald p PR 95% CI

Umur <15 Tahun 4,360 11,598 0,001 78,228 6,364 – 961,675

Pengetahuan Kurang 2,760 6,205 0,013 15,802 1,801–138,635

Status Gizi Kurang 2,843 16,150 0,0001 17,174 4,291–68,728

Pada tabel diatas merupakan hasil akhir analisis multivariat dengan uji regresi
logistik dan variabel umur < 15 tahun (p= 0,001), pengetahuan kurang
(p= 0,013) dan status gizi kurus (p= 0,0001), dengan demikian telah diperoleh nilai p <
0,05 untuk ketiga variabel, artinya variabel tersebut tidak dikeluarkan dari model dan
merupakan variabel yang berisiko terhadap terjadinya penularan TB paru. Sedangkan
variabel penyakit penyerta (p= 0,189) dikeluarkan dari model karena diperoleh nilai p
> 0,05 artinya variabel penyakit penyerta tidak berisiko terhadap terjadinya penularan
TB paru.
Dari analisis multivariat tersebut ternyata variabel yang berhubungan bermakna
dengan risiko terjadinya penularan TB paru adalah faktor umur, pengetahuan dan
status gizi. Berdasarkan nilai β yang tertinggi adalah variabel umur < 15 tahun yaitu
4,360, ini menunjukkan bahwa variabel tersebut merupakan variabel yang paling
dominan berisiko terhadap terjadinya penularan TB paru. Besar pengaruh variabel
tersebut dapat dilihat dari nilai PR yaitu 78,228 artinya variabel umur < 15 tahun
mempunyai risiko 78 kali terhadap terjadinya penularan TB paru pada responden.
Kemudian variabel status gizi kurus dengan nilai β yaitu 2,843 dan nilai PR 17,174

Universitas Sumatera Utara


artinya variabel status gizi kurus mempunyai risiko 17 kali terhadap terjadinya
penularan TB paru pada responden serta nilai β yang terendah adalah variabel
pengetahuan kurang yaitu 2,760 dengan nilai PR 15,802 artinya variabel pengetahuan
kurang mempunyai risiko
15 kali terhadap terjadinya penularan TB paru pada responden.

4.5 Pembahasan

4.5.1 Hubungan Umur dengan Penularan TB paru pada Keluarga yang Tinggal
Serumah

Berdasarkan hasil tabulasi silang pada Tabel 4.9 menunjukkan bahwa variabel
umur dengan kelompok umur < 15 tahun yang terjadi penularan TB paru sebanyak
44,8% dan tidak terjadi sebanyak 4,5%, kelompok umur 15 55 tahun yang terjadi
penularan TB paru sebanyak 34,5% dan tidak terjadi sebanyak 71,2% sedangkan
kelompok umur ≥ 56 tahun yang terjadi penularan TB paru sebanyak 20,7% dan tidak
terjadi sebanyak 24,3%. Berdasarkan hasil uji
Chi square antara variabel umur dengan penularan TB paru diperoleh nilai
p = 0,0001 (p < 0,05), artinya ada hubungan yang signifikan antara variabel umur
dengan penularan TB paru. Berdasarkan hasil analisis multivariat ternyata faktor
umur berhubungan bermakna dengan risiko terjadinya penularan TB paru, variabel
umur < 15 tahun merupakan variabel yang paling dominan berisiko terhadap
terjadinya penularan TB paru, dengan nilai PR 78,228 artinya variabel umur < 15
tahun mempunyai risiko 78 kali terhadap terjadinya penularan TB paru pada
responden. Penelitian ini menurut peneliti karena umumnya responden yang tertular
mempunyai umur < 15 tahun mempunyai kedekatan kontak erat sekali dengan sumber
penularannya (penderita BTA positif) yaitu responden masih tidur sekamar,
mempunyai kebiasaan makan sepiring bersama, penderita BTA positif umumnya tidak
bekerja jadi lebih banyak waktu tinggal di rumah sehingga kontak dengan
responden menjadi sering.
Hal ini sependapat dengan Crofton (1989) dalam Iskandar (2010), daya tahan
tubuh untuk melawan infeksi pada hakekatnya sama untuk semua umur akan tetapi
pada usia sangat muda awal kelahiran dan pada usia

Universitas Sumatera Utara


10 tahun pertama hidupnya memiliki sistem pertahanan tubuh sangat lemah.
Kemungkinan anak balita untuk terinfeksi dan menimbulkan sakit sangat tinggi.
Selaras dengan Samallo dalam Nurhidayah, dkk (2007), usia anak merupakan usia
yang sangat rawan terhadap penularan penyakit tuberkulosis dan angka penularan serta
bahaya penularan yang tinggi terdapat pada golongan umur 0 6 tahun dan golongan
umur 7 14 tahun. Juga Selaras dengan penelitian Diani, dkk (2011) proporsi infeksi
TB pada anak < 5 tahun yang tinggal dalam satu rumah dengan
85 orang pasien TB paru dewasa di Puskesmas Kecamatan Tebet Jakarta Selatan
berdasarkan uji tuberkulin 42,4%. Dan juga selaras dengan hasil penelitian Hariyanto
(2013) menyatakan dari 80 responden didapatkan 11 (13,8%) dengan BTA positif.
Hasil analisis dengan uji Chi square didapatkan x2 = 4,396;
p = 0,036 (p< 0,05) menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara umur
dengan TB paru BTA positif. Selaras dengan penelitian Iskandar (2010) hasil uji Chi
square menunjukkan bahwa terdapat hubungan umur responden dengan kejadian TB
paru dengan nilai p = 0,018 (p< 0,05).
Berbeda pendapat dengan penelitian Ruswanto (2010) mengatakan hasil
analisis statistik menunjukkan nilai p= 0,361 (p> 0,05) bahwa umur bukan merupakan
faktor risiko terhadap kejadian TB paru.

4.5.2 Hubungan Jenis Kelamin dengan Penularan TB paru pada Keluarga yang
Tinggal Serumah
Berdasarkan hasil tabulasi silang pada Tabel 4.10 menunjukkan bahwa variabel
jenis kelamin laki-laki yang terjadi penularan TB paru sebanyak 44,8% dan tidak
terjadi sebanyak 42,3% sedangkan jenis kelamin perempuan yang terjadi penularan
TB paru sebanyak 55,2% dan tidak terjadi sebanyak 57,7%. Berdasarkan hasil uji Chi
square antara variabel jenis kelamin dengan penularan TB paru diperoleh nilai p =
0,810 (p > 0,05), artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel jenis
kelamin dengan penularan TB paru. Pada penelitian ini diperoleh bahwa perempuan
lebih banyak menderita tuberkulosis, hal ini sependapat dengan penelitian yang
dilakukan Suswati (2007) menyatakan bahwa dari 200 sampel yang diteliti sebanyak
45% terdiri dari laki-laki dan sisanya 55% diderita oleh perempuan. Kondisi ini juga

Universitas Sumatera Utara


sesuai dengan hasil penelitian WHO yang menyatakan bahwa TB paru banyak
menyerang perempuan.
Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Retnaningsih, dkk (2010) dari
analisa statistik mendapatkan nilai p= 0,96 yang menunjukkan bahwa jenis kelamin
tidak bermakna secara statistik terhadap kejadian infeksi TB paru. Sejalan dengan
penelitian Ruswanto (2010) mengatakan hasil analisis statistik menunjukkan nilai
p=0,609 (p> 0,05) bahwa jenis kelamin bukan merupakan faktor risiko terhadap
kejadian TB paru.
Berbeda dengan hasil penelitian Iskandar (2010) menyatakan hasil uji
Chi square terdapat hubungan signifikan antara jenis kelamin responden dengan
kejadian TB paru, dengan nilai p= 0,027 (p< 0,05).

4.5.3 Hubungan Pekerjaan dengan Penularan TB paru pada Keluarga yang


Tinggal Serumah

Berdasarkan hasil tabulasi silang pada Tabel 4.11 menunjukkan bahwa tidak
bekerja merupakan variabel yang tertinggi terjadi penularan TB paru sebanyak 75,9%
dan tidak terjadi sebanyak 57,7%. Sedangkan yang terendah adalah variabel
PNS/ABRI yang terjadi penularan TB paru sebanyak 0% dan tidak terjadi sebanyak
0,9%. Berdasarkan hasil uji Chi square antara variabel jenis pekerjaan dengan
penularan TB paru diperoleh nilai p = 0,533 (p > 0,05), artinya tidak ada hubungan
yang signifikan antara variabel jenis pekerjaan dengan penularan TB paru. Hal ini
disebabkan karena jumlah responden yang tidak mempunyai pekerjaan lebih banyak
dibandingkan dengan yang mempunyai pekerjaan.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Retnaningsih, dkk (2010) dari analisa
statistik mendapatkan nilai p= 0,610 yang menunjukkan bahwa jenis pekerjaan tidak
bermakna terhadap kejadian infeksi TB paru, sebenarnya dengan bekerja diharapkan
dapat mengurangi risiko terinfeksi TB paru, orang yang bekerja di luar rumah, relatif
lebih sedikit memiliki waktu berada di dalam rumah dibandingkan kelompok yang
tidak bekerja. Jika waktu berada di dalam rumah lebih sedikit, maka intensitas kontak
dengan penderita TB paru akan berkurang.

Universitas Sumatera Utara


4.5.4 Hubungan Pengetahuan dengan Penularan TB paru pada Keluarga yang
Tinggal Serumah
Berdasarkan hasil tabulasi silang pada Tabel 4.12 menunjukkan bahwa variabel
pengetahuan kurang yang terjadi penularan TB paru sebanyak 65,5% dan tidak terjadi
sebanyak 64%, pengetahuan baik yang terjadi penularan TB paru sebanyak 3,4% dan
tidak terjadi sebanyak 32,4% sedangkan pada kelompok yang tidak bisa dinilai yang
terjadi penularan TB paru sebanyak 31,0% dan tidak terjadi sebanyak 3,6%.
Berdasarkan hasil uji Chi square antara variabel pengetahuan dengan penularan TB
paru diperoleh nilai p = 0,0001 (p < 0,05), artinya ada hubungan yang signifikan
antara variabel pengetahuan dengan penularan TB paru. Berdasarkan hasil analisis
multivariat ternyata pengetahuan berhubungan bermakna dengan risiko terjadinya
penularan TB paru, variabel pengetahuan kurang dengan nilai PR 15,802 artinya
variabel pengetahuan kurang mempunyai risiko 15 kali terhadap terjadinya penularan
TB paru pada responden.
Notoatmodjo (2011) mengatakan pengetahuan merupakan hasil “tahu” setelah
orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa
dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang (overt behavior) karena dari pengalaman dan penelitian ternyata
perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku
yang tidak didasari oleh pengetahuan.

Hasil penelitian ini sependapat dengan penelitian Rusnoto, dkk (2006)


pengetahuan tentang TB paru yang rendah akan berisiko 23,021 kali lebih besar dari
pengetahuan yang tinggi. Selaras juga dengan hasil penelitian Iskandar (2010) hasil uji
Chi square dengan nilai p= 0,003 (p< 0,005) artinya terdapat hubungan signifikan
antara pengetahuan dengan kejadian TB paru. Dan juga berdasarkan hasil penelitian
Tobing (2009) mengatakan hasil analisis uji Chi square didapat nilai p= 0,024 berarti
pada α= 5% (0,05) dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara
pengetahuan dengan potensi penularan TB paru, analisis lebih lanjut diperoleh nilai
OR= 2,5 (CI= 1,124 – 5,918) artinya potensi penularan TB paru 2,5 kali lebih besar
pada yang berpengetahuan rendah. Sejalan juga dengan penelitian Ruswanto (2010)

Universitas Sumatera Utara


mengatakan hasil analisis statistik menunjukkan nilai p= 0,034, OR= 2,622 artinya
tingkat pengetahuan yang kurang mempunyai risiko meningkatkan kejadian TB paru
sebanyak 2,622 kali lebih besar dibandingkan dengan tingkat pengetahuan yang baik.

4.5.5 Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Penularan TB paru pada


Keluarga yang Tinggal Serumah
Berdasarkan hasil tabulasi silang pada Tabel 4.13 menunjukkan bahwa variabel
kebiasaan merokok pada kelompok yang mempunyai kebiasaan merokok yang terjadi
penularan TB paru sebanyak 6,9% dan tidak terjadi sebanyak 14,4% sedangkan pada
kelompok yang tidak yang terjadi penularan TB paru sebanyak 93,1% dan tidak
terjadi sebanyak 85,6%. Berdasarkan hasil uji Chi square antara variabel kebiasaan
merokok dengan penularan TB paru diperoleh nilai p = 0,281 (p > 0,05), artinya tidak
ada hubungan yang signifikan antara variabel kebiasaan merokok dengan penularan
TB paru. Menurut peneliti hal ini disebabkan karena jumlah responden yang
mempunyai kebiasaan tidak merokok lebih banyak dibandingkan dengan yang
mempunyai kebiasaan merokok. Untuk responden yang mempunyai kebiasaan
merokok ini, lamanya kebiasaan merokok umumnya 3 tahun dan mengkonsumsi
rokok dalam jumlah batang per hari masih ringan
( 1-10 batang per hari).
Penelitian ini sesuai dengan penelitian Suarni (2009) menunjukkan tidak ada
hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan kejadian TB paru BTA
positif (p= 0,298). Selaras dengan penelitian Widyasari (2012) menunjukkan
responden yang memiliki kebiasaan merokok (46,7%), dengan hasil analisis Chi
square nilai p= 0,606 OR= 0,766, 95%CI= 0,278–2,111 dan responden yang
merupakan perokok pasif (53,3%) dengan hasil analisis
Chi square nilai p= 0,438 OR= 1, 495, 95%CI= 0,540–4,136 dapat disimpulkan bahwa
status terpapar rokok tidak memiliki hubungan dengan kejadian TB Paru
di Wilayah Semarang Utara.
Berbeda dengan pendapat Achmadi (2005) dalam Fidiawati (2011) mengatakan
kebiasaan merokok meningkatkan risiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali.
Pada tahun 1973 konsumsi rokok di Indonesia per orang per tahun adalah 230 batang, relatif lebih
rendah dengan 430 batang/orang/tahun di Sierra Leon, 480 batang/orang/tahun di Ghana

Universitas Sumatera Utara


dan 760 batang/orang/tahun di Pakistan. Selaras juga dengan pendapat (Fidiawati,
2011) mengatakan adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya
infeksi TB Paru.

4.5.6 Hubungan Penyakit Penyerta dengan Penularan TB paru pada Keluarga


yang Tinggal Serumah
Berdasarkan hasil tabulasi silang pada Tabel 4.14 menunjukkan bahwa
kelompok yang mempunyai penyakit penyerta (diabetes mellitus) yang terjadi
penularan TB paru sebanyak 3,4% dan tidak terjadi sebanyak 0,9%, kelompok yang
tidak mempunyai penyakit penyerta (diabetes mellitus) yang terjadi penularan TB paru
sebanyak 55,2% dan tidak terjadi sebanyak 95,5% sedangkan pada kelompok yang
tidak bisa dinilai yang terjadi penularan TB paru sebanyak 41,4% dan tidak terjadi
sebanyak 3,6%. Berdasarkan hasil uji Chi square antara variabel penyakit penyerta
dengan penularan TB paru diperoleh nilai p = 0,0001 (p < 0,05), artinya ada hubungan
yang signifikan antara variabel penyakit penyerta dengan penularan TB paru.
Hasil penelitian ini sependapat dengan laporan Maurice (2011) menyatakan
bahwa penderita diabetes mempunyai resiko tiga kali lipat untuk menderita
tuberkulosis, kami memperkirakan sekitar 8% berkonstribusi untuk terjadinya kasus
TB baru setiap tahunnya. Dan selaras dengan hasil penelitian Widyasari (2012)
menunjukkan responden yang memiliki riwayat diabetes mellitus (26,7%), dengan
hasil analisis Chi square nilai p= 0,038 OR= 5,092, 95% CI= 0,981 26,430, dari hasil
analisis dapat disimpulkan bahwa riwayat penyakit penyerta memiliki hubungan
dengan kejadian TB Paru di Wilayah Semarang Utara.

4.5.7 Hubungan Status Gizi dengan Penularan TB paru pada Keluarga yang
Tinggal Serumah
Berdasarkan hasil tabulasi silang pada Tabel 4.15 menunjukkan bahwa variabel
status gizi dengan status gizi kurus (kurang) yang terjadi penularan
TB paru sebanyak 55,2% dan tidak terjadi sebanyak 22,5%, status gizi normal (baik)
yang terjadi penularan TB paru sebanyak 44,8% dan tidak terjadi sebanyak 68,5%
sedangkan status gizi gemuk (lebih) yang terjadi penularan TB paru sebanyak 0%
dan tidak terjadi sebanyak 9,0%. Berdasarkan hasil uji Chi square antara variabel

Universitas Sumatera Utara


status gizi dengan penularan TB paru diperoleh nilai p = 0,002
(p < 0,05), artinya ada hubungan yang signifikan antara variabel status gizi dengan
penularan TB paru. Berdasarkan hasil analisis multivariat ternyata status gizi
berhubungan bermakna dengan risiko terjadinya penularan TB paru, variabel status
gizi kurus dengan nilai PR 17,174 artinya variabel status gizi kurus mempunyai risiko
17 kali terhadap terjadinya penularan TB paru pada responden. Hal ini menurut
peneliti karena umumnya responden tidak bekerja sehingga hal ini mempengaruhi
kepada kemampuan daya beli untuk memenuhi kebutuhan pangan tersebut menjadi
rendah.
Keadaan status gizi dan penyakit infeksi merupakan pasangan yang terkait.
Penderita infeksi sering mengalami anoreksia, penggunaan waktu yang berlebih,
penurunan gizi atau gizi kurang akan memiliki daya tahan tubuh yang rendah dan
sangat peka terhadap penularan penyakit. Pada keadaan gizi yang buruk, maka reaksi
kekebalan tubuh akan menurun sehingga kemampuan dalam mempertahankan diri
terhadap infeksi menjadi menurun (Rusnoto, dkk, 2006).

Rakhmawati, dkk (2009) dalam penelitian menyatakan bahwa ada hubungan


yang signifikan antara status gizi dengan kejadian tuberkulosis pada anak. Perbedaan
pada antara status gizi kurang dan baik dapat dilihat pada nilai OR = 0,176
(0,034 0,905) dan 0,235 (0,044 1,267), artinya anak dengan gizi kurang mempunyai
peluang untuk terkena tuberkulosis 0,176 kali dibandingkan anak dengan gizi baik,
dan anak dengan status gizi sedang mempunyai peluang untuk terkena tuberkulosis
0,235 kali dibandingkan dengan anak yang status gizi baik.
Hasil penelitian ini juga sependapat dengan penelitian Fatimah (2008) hasil
analisis statistik bivariat maupun multivariat menunjukkan bahwa faktor status gizi
mempunyai hubungan dengan kejadian TB paru karena
p < 0,05 pada analisis bivariat diperoleh hasil p = 0,015 OR = 2,737 dengan
CI 95% = 1,272 < OR < 5,887. Artinya status gizi < 18,5 mempunyai risiko
meningkatkan kejadian TB paru sebanyak 2,737 kali lebih besar dibanding dengan
status gizi ≥ 18,5. Sejalan dengan penelitian Ruswanto (2010) mengatakan hasil
analisis statistik menunjukkan nilai p= 0,005 (p< 0,05) bahwa status gizi merupakan
faktor risiko terhadap kejadian TB paru.

Universitas Sumatera Utara


4.5.8 Risiko yang Paling Dominan yang berhubungan dengan Penularan TB
paru pada Keluarga yang Tinggal Serumah
Berdasarkan hasil analisis multivariat ternyata variabel yang berhubungan
bermakna dengan risiko terjadinya penularan TB paru adalah faktor umur, status gizi
dan pengetahuan. Berdasarkan nilai β yang tertinggi adalah variabel umur
< 15 tahun yaitu 4,360, ini menunjukkan bahwa variabel tersebut merupakan variabel
yang paling dominan berisiko terhadap terjadinya penularan TB paru, dengan nilai PR
78,228 artinya variabel umur < 15 tahun mempunyai risiko
78 kali terhadap terjadinya penularan TB paru. Kemudian variabel status gizi kurus
dengan nilai β yaitu 2,843 dan nilai PR 17,174 artinya variabel status gizi kurus
mempunyai risiko 17 kali terhadap terjadinya penularan TB paru serta nilai β yang
terendah adalah variabel pengetahuan kurang yaitu 2,760 dengan nilai PR 15,802
artinya variabel pengetahuan kurang mempunyai risiko 15 kali terhadap terjadinya
penularan TB paru.

4.6 Keterbatasan Penelitian


Dalam penelitian ini ada beberapa keterbatasan peneliti yaitu:
1. Karena keterbatasan waktu dan dana sehingga wilayah penelitian hanya dalam satu
wilayah kerja Unit Pelayanan Kesehatan Masyarakat Peureulak Kabupaten Aceh
Timur.
2. Karena masyarakat masih beranggapan penyakit TB adalah penyakit memalukan
dan adanya sikap masyarakat yang mengucilkan penderita TB maka saat peneliti
melakukan wawancara/anamnesa skrining responden dalam rumah penderita TB
paru BTA(+) untuk memilah mana responden yang mempunyai gejala TB dengan
responden yang tidak mempunyai gejala TB menyulitkan peneliti dan ada
responden yang menolak untuk diambil sputumnya.
3. Penelitian terhadap faktor-faktor sanitasi perumahan dan lingkungan yang
berhubungan dengan penularan TB paru tidak dilakukan, karena keterbatasan
waktu, dana, tidak ada alat dan tidak ada tenaga yang berkompetensi di bidang
kesehatan lingkungan di Kabupaten Aceh Timur.

Universitas Sumatera Utara


BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh gambaran bahwa dari 140 orang
responden yang tinggal serumah dengan penderita TB paru BTA positif, sebanyak
29 orang (20,7%) terjadi penularan dan sebanyak 111 orang (79,3%) tidak terjadi
penularan.
2. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa:
a. Ada hubungan umur dengan penularan TB paru pada keluarga yang tinggal
serumah (p= 0,0001)
b. Tidak ada hubungan jenis kelamin dengan penularan TB paru pada
keluarga yang tinggal serumah (p= 0,810)
c. Tidak ada hubungan pekerjaan dengan penularan TB paru pada keluarga
yang tinggal serumah (p= 0,533)
d. Ada hubungan pengetahuan dengan penularan TB paru pada keluarga yang
tinggal serumah (p= 0,0001)
e. Tidak ada hubungan kebiasaan merokok dengan penularan TB paru pada
keluarga yang tinggal serumah (p= 0,281)
f. Ada hubungan penyakit penyerta dengan penularan TB paru pada keluarga
yang tinggal serumah (p= 0,0001)
g. Ada hubungan status gizi dengan penularan TB paru pada keluarga yang
tinggal serumah (p= 0,002)
3. Berdasarkan hasil analisis multivariat untuk menentukan faktor-faktor risiko yang
paling dominan menggunakan regresi logsitik menemukan ada 3 faktor risiko yang
paling besar pengaruh atau kontribusinya terhadap penularan TB paru pada
keluarga yang tinggal serumah adalah faktor umur (umur <15 tahun, PR 78,228),
status gizi (status gizi kurus, PR 17,174) dan pengetahuan (pengetahuan kurang,
PR 15,802).

Universitas Sumatera Utara


5.2 Saran
1. Diharapkan kepada Stakeholder di Kabupaten Aceh Timur untuk membantu
memberikan pemecahan permasalahan kepada penderita TB paru sehubungan
dengan status gizi kurang penderita TB paru.
2. Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur dan seluruh
jajarannya bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat yang fokus pada
penyakit menular dengan cara melakukan penyuluhan dan pelatihan yang
ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan keluarga yang akan berdampak pada
peningkatan kemampuan keluarga dalam tindakan pencegahan penyakit TB paru.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, A. 2012. Pengaturan Diet Bagi Penderita Tuberkulosis.


http://www.scribd.com/doc/89454646/SAP-Pengaturan-Diet-Pada-Penderita-
Tuberculosis Diakses Tanggal 15 Mei 2013.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis. Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis. Jakarta.

Dewi, S. 2012. Pengaruh Sanitasi Lingkungan Rumah, Penghasilan Keluarga dan


Upaya Pengendalian Terhadap kejadian Penyakit TB Paru pada Ibu Rumah
Tangga di Puskesmas Mulyorejo Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012. Tesis.
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Medan.

Dinas Kesehatan Pemerintah Aceh. 2011. Rencana Strategis Pembangunan Kesehatan


Aceh 2011-2015. Banda Aceh.

Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur. 2012. Profil Kesehatan Kabupaten Aceh
Timur Tahun 2011. Aceh Timur.

Diani, A., Setyanto, D.B. dan Nurhamzah, W. 2011. Proporsi Infeksi Tuberkulosis dan
Gambaran Faktor Risiko pada Balita yang Tinggal Dalam Satu Rumah dengan
Pasien Tuberkulosis Paru Dewasa. Departemen Ilmu Kesehatan Anak RS Dr.
Cipto Mangunkusumo. FKUI. Jakarta.

Hariyanto. 2013. Hubungan Karakteristik Penderita TBC dengan Suspec TBC Paru
BTA Positif di Puskesmas Gondang Kabupaten Sragen.
http://skripsistikes.wordpress.com/2013/01/15/hubungan-karakteristik-
penderita-tbc-dengan- suspec-tbc-paru-bta-positif-di-puskesmas-gondang.
Diakses 12 Maret 2013.

Hateyaningsih T, E. 2009. Pengaruh Makanan Tambahan Terhadap Konversi Dahak


pada Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Jagakarsa Jakarta Selatan
Tahun 2008-2009. FKM UI.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2002. Klasifikasi Status Gizi Anak
Bawah Lima Tahun (Balita). Jakarta.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Standar Prosedur
Operasional Pemeriksaan Mikroskopis TB. Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan


lingkungan . 2011. Rencana Aksi Nasional TB-HIV Pengendalian Tuberkulosis
2011-2014. Jakarta.

Universitas Sumatera Utara


Fatimah, S. 2008. Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah yang Berhubungan dengan
Kejadian TB Paru di Kabupaten Cilacap (Kecamatan: Sidareja, Cipari,
Kedungreja, Patimuan, Gandrungmangu, Bantarsari) Tahun 2008. Tesis .
Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang.

Fidiawati, F.D. 2011. Gambaran Kondisi Perumahan dan Prilaku Penderita TB paru di
Wilayah Kerja Puskesmas Iring Mulyo Kecamatan Metro Timur Kota metro
Tahun 2010. Poltekkes Kemenkes RI. Tanjung Karang.

Gusti, A. 2000. Kekerapan Tuberkulosis Paru pada Pasangan Suami Isteri Penderita
Tuberkulosis Paru yang Berobat di Bagian Paru RSUP. H. Adam Malik.
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan.

Iskandar. 2010. Hubungan Karakteristik Penderita, Lingkungan Fisik Rumah dan


Wilayah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Kabupaten Aceh Tenggara.
Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Medan.

Juslan. 2011. Hubungan Kepadatan Hunian, Ventilasi Rumah dan Pengetahuan dengan
Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Poasia Kota
Kendari. http://juslanskm.blogspot.com/2011/01/hubungan-kepadatan-hunian-
ventilasi_03.html Diakses 27 September 2012.

Kuniarsih, T. 2009. Analisis Faktor Resiko Kejadian Tuberkulosis Paru pada


Angkatan Kerja di Indonesia tahun 2007. Tesis. Fakultas Ekonomi Program
Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Kekhususan Manajemen Sektor
Publik. Depok

Lwanga, S.L. and Lemeshow. S. 1991. Sample Size Determination In Health Studies.
World Health Organization. Geneve.

Madanijah, S. dan Triana, N. 2007. Hubungan antara Status Gizi Masa Lalu Anak dan
Partisipasi Ibu di Posyandu dengan kejadian Tuberkulosis pada Murid Taman
Kanak-kanak. Jurnal Gizi dan Pangan. 2(1): 29-41

Maurice, J. 2011. WHO framework targets tuberculosis-diabetes link. For more on the
link between diabetes and tuberculosis see Series Lancet 2010; 375: 1814–
1829

Musadad, A. 2006. Hubungan Faktor Lingkungan Rumah dengan Penularan TB paru


Kontak Serumah. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol.5 No.3. hal 486-496

Notoatmodjo, S. 2011. Kesehatan Masyarakat Ilmu & Seni, Edisi Revisi, Reneka
Cipta, Jakarta.hal:147-149

Nurhidayah, I., Lukman, M. dan Rakhmawati, W. 2007. Hubungan Antara


Karakteristik Lingkungan Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis (TB) pada
Anak di Kecamatan Paseh Kabupaten Sumedang. FIK Universitas Padjadjaran.
Bandung.

Universitas Sumatera Utara


Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia , 2010. Buku Saku PPTI. Jakarta.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2002. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan


Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan


Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta.

Prawira, A. E. 2013. Penderita TB Harus Konsumsi Makanan Bergizi Lebih Banyak.


http://health.liputan6.com/read/543643/penderita-tb-harus-konsumsi-makanan-
bergizi-lebih-banyak Diakses Tanggal 15 Mei 2013.

Priyadi, S. 2003. Analisis Beberapa Faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian TB


Paru BTA (+) di Kabupaten Wonosobo. Tesis. Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro. Semarang.

Putra, A.K. 2010. Kejadian Tuberkulosis Pada Anggota Keluarga Yang Tinggal
Serumah dengan Penderita TB Paru BTA Positif. Fakultas Kedokteran
USU/RSUP.H.Adam Malik. Medan.

Putra, N.R. 2011. Hubungan Prilaku dan Kondisi Sanitasi Rumah Dengan Kejadian
TB Paru di Kota Solok Tahun 2011. Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Padang.

Rakhmawati, W., Fatimah, S. dan Nurhidayah. I. 2008. Hubungan Status Gizi,


Imunisasi & Riwayat Kontak dengan Kejadian Tuberkulosis pada Anak di
Wilayah kerja Puskesmas Ciawi Kabupaten Tasikmalaya. Laporan Hasil
Penelitian. FIK Universitas Padjadjaran. Bandung.

Retnaningsih, E., Taviv, Y. dan Yahya. 2010. Model Prediksi Faktor Resiko Infeksi
TB Paru Kontak Serumah untuk Perencanaan Program di Kabupaten Oku
Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2010 (Model Faktor Resiko Infeksi TB
Paru). Laporan Akhir. Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian
Dalam Negeri. Jakarta.

Rusnoto, Rahmatullah, P. dan Udiono,A. 2006. Faktor-Faktor yang Berhubungan


dengan Kejadian TB Paru pada Usia Dewasa (Studi Kasus di Balai Pencegahan
dan Pengobatan Penyakit Paru Pati).

Rotua, R. 2013. Gambaran Perilaku Ibu dalam Merawat Anak dengan Tuberkulosis
Paru. http://103.10.169.96/handle/123456789/1953 Diakses Tanggal 15 Mei
2013.

Ruswanto, B. 2010. Analisis Spasial Sebaran Kasus Tuberkulosis Paru Ditinjau dari
Faktor Lingkungan Dalam dan Luar Rumah di Kabupaten Pekalongan. Tesis.
Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang.

Universitas Sumatera Utara


Sihombing, H. 2011. Pola Resistensi Primer Pada Penderita TB Paru Kategori I di
RSUP. H. Adam Malik Medan. Program Pendidikan Dokter Spesialis I
Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. Medan.

Siregar, W. 2008. Perbedaan Hasil Uji Mantoux pada Anak Umur 3 Bulan – 16 Tahun
yang Kontak Serumah dengan Penderita Tuberkulosis BTA (+) yang telah
Diimunisasi dan belum Imunisasi BCG.Tesis. Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara. Medan.

Sitepu, M.Y. 2009. Karakteristik Penderita TB Paru Relapse yang Berobat di Balai
Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan Tahun 2000-2007. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Medan.

Soejadi, T.B., Apsari, D.A. dan Suprapto. 2006. Analisis Faktor-faktor yang
mempengaruhi Kejadian kasus Tuberkulosis Paru. Poltekkes Depkes. Medan.

Suarni, H. 2009. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Penderita


Penyakit TB Paru BTA Positif di Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok Bulan
Oktober Tahun 2008-April Tahun 2009. Program Sarjana Kesehatan
Masyarakat. FKM UI. Depok.

Sumampouw, O.J. 2012. Pengaruh Lingkungan Terhadap Tuberkulosis paru.


http://keslingfkmusr.blogspot.com/2012_01_01_archive.html Diakses Tanggal
27 September 2012.

Sunar. 2005. Hubungan Karakteristik, Pengetahuan dan Sikap Kader Kesehatan


dengan Praktek Penemuan Tersangka Penderita TB Paru Puskesmas Sambung
Macan I Kabupaten Sragen.
http://www.yumpu.com/id/document/view/5193777/hubungan-
karakteristikpengetahuan-dan-sikap-kader-kesehatan Diakses Tanggal 14
Maret 2013.

Suswati, E. 2007. Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru di Kabupaten Jember.


Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Jember.
Biomedis Vol.1 No.1. hal: 11-16

Tobing, T.L. 2009. Pengaruh Perilaku Penderita TB Paru dan Kondisi Rumah
Terhadap Pencegahan Potensi Penularan TB Paru pada Keluarga di Kabupaten
Tapanuli Utara Tahun 2008. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Sumatera Utara. Medan.

Usman, S. 2008. Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I Dengan Berat
Badan Rendah Dibandingkan Berat Badan Normal Yang Mendapatkan Terapi
Intensif. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Medan.

Universitas Sumatera Utara


Vulconic, D., Nagorni, L., Obradovic. and Bjegovic, V. 2008. Knowledge and
Misconceptions of Tuberculosis in The General Population in Serbia. Eur J
Clin Microbiol Infect Dis. 27:761-767

Widyasari, R. N. 2012. Hubungan antara Jenis Kepribadian, Riwayat Diabetes


Mellitus dan Riwayat Paparan Merokok dengan Kejadian TB Paru Dewasa di
Wilayah Kecamatan Semarang Utara Tahun 2011.
http://eprints.undip.ac.id/38376/1/4435.pdf Diakses Tanggal 13 Maret 2013.

Yoga, B. 2011. IMT (Indeks Massa Tubuh)/BMI. http://www.ilmu-


gizi.net/2011/09/imt-indeks-massa-tubuh-bmi.html Diakses Tanggal
29 September 2012.

Yulistyaningrum dan Rejeki, D.S.R. 2010. Hubungan Riwayat Kontak Penderita


Tuberkulosis Paru (TB) dengan Kejadian TB Paru Anak di Balai Pengobatan
Paru-Paru (BP4) Purwokerto. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Ahmad Dahlan. Yogyakarta.

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 1: Surat Persetujuan Mengikuti Penelitian

SURAT PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN

No. Penelitian :

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : .................................................................. Umur :........... tahun L/P

Wali atas : .................................................................. Umur :........... tahun L/P

Alamat : ........................................................................................................
........................................................................................................
Setelah mendapat penjelasan mengenai manfaat dan hal-hal yang berhubungan
dengan penelitian mengenai “FAKTOR- FAKTOR RISIKO PENULARAN TB PARU
PADA KELUARGA YANG TINGGAL SERUMAH DI KABUPATEN ACEH
TIMUR”. Maka dengan ini saya menyatakan tidak keberatan untuk ikut serta dalam
penelitian ini. Bila suatu ketika merasa dirugikan dalam bentuk apapun saya berhak
membatalkan persetujuan ini.

Demikian surat persetujuan ini saya buat tanpa paksaan dari pihak manapun.

Aceh Timur, 2012

Yang memberi penjelasan Peserta

(dr. Sasilia) (...............................................)

Saksi-saksi Tanda tangan

1. .................................................. ............................................

2. .................................................. ............................................

Universitas Sumatera Utara


(Lanjutan)

SURAT PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN

No. Penelitian :

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : ..................................................................

Umur : .................................................................. tahun

Alamat :....................................................................

Setelah mendapat penjelasan mengenai manfaat dan hal-hal yang berhubungan


dengan penelitian mengenai “FAKTOR- FAKTOR RISIKO PENULARAN TB PARU
PADA KELUARGA YANG TINGGAL SERUMAH DI KABUPATEN ACEH
TIMUR”. Maka dengan ini saya menyatakan tidak keberatan untuk ikut serta dalam
penelitian ini.
Apabila terjadi sesuatu hal yang dirasakan merugikan saya dikemudian hari
karena penelitian ini, saya berhak untuk membatalkan persetujuan ini namun tetap
mendapat pelayanan yang semestinya.
Demikian surat persetujuan ini saya buat tanpa paksaan dari pihak manapun.

Aceh Timur, 2012

Yang memberi penjelasan Peserta

(dr. Sasilia) (...............................................)

Saksi-saksi Tanda tangan

1. .................................................. ............................................

2. .................................................. ...........................................

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 2: Status Penelitian

STATUS PENELITIAN

IDENTITAS PESERTA PENELITIAN

1. Nama :
2. Umur :
3. Jenis Kelamin :
4. Pekerjaan :
5. No Rekam Medis :
6. Alamat :

PEMERIKSAAN KLINIS
Pemeriksaan gejala klinis
Anamnesis :

Riwayat kontak dengan penderita TB paru BTA positif : ada, yakni :

Pemeriksaan jasmani

Keadaan Umum :

TD : mmHg,
Nadi : X/i
Pernafasan : X/i
Temp : 0C
BB : Kg

TB : cm

Universitas Sumatera Utara


(Lanjutan)

Kepala :
Leher :
Toraks :
Jantung :

Paru :
Inspeksi :
Palpasi :
Perkusi :
Auskultasi :

Abdomen :
Hepar :
Lien :
Renal :

Ekstremitas :

PEMERIKSAAN PENUNJANG

BTA Sputum :

Foto toraks :

Tes Mantoux :

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 3: Kuesioner Penelitian
KUESIONER PENELITIAN FAKTOR-FAKTOR RISIKO PENULARAN TB PARU PADA
KELUARGA YANG TINGGAL SERUMAH
DI KABUPATEN ACEH TIMUR
PEWAWANCARA

Pertama : Perkenalkan diri anda (Nama, Petugas Puskesmas / Dinas kesehatan)


Kedua : Menjelaskan kunjungan dan wawancara
Ketiga : Pertanyaan diajukan secara perlahan, jelas dan dengan sikap yang baik dan
sopan

Tanggal wawancara :
Pewawancara :
Nomor responden :
Tanggal pemeriksaan :
Daerah Kajian : Kabupaten Aceh Timur
Puskesmas :

A. Identitas Responden :
1. Nama responden :
2. Umur : ………. Tahun
3. Jenis Kelamin : 1. Laki-laki
2. Perempuan
4. Alamat :

5. Jenis pekerjaan responden


1. PNS/ABRI
2. Pegawai Swasta
3. Wiraswasta
4. Pensiunan
5. Ibu Rumah Tangga
6. Petani
7. Buruh Tani/Nelayan
8.Siswa/ Pelajar/Mahasiswa
9. Tidak Bekerja

Universitas Sumatera Utara


Lanjutan :
(Lanjutan)
B. Pengetahuan
1. Apakah anda tahu penyakit Tuberkulosis paru (TBC) ?
1. Tahu
2. Tidak tahu
2. Apakah yang menjadi penyebab penyakit TBC ?
1. Kuman TBC
2. Tidak tahu
3. Apakah anda mengetahui tanda dan gejala penyakit TBC ?
(petugas menanyakan tanda dan gejala-gejala penyakit TBC
yang diketahui oleh responden)
a. Batuk selama 3 minggu atau lebih 1. Ya 2. Tidak
b. Batuk berdahak 1. Ya 2. Tidak
c. Demam meriang 1. Ya 2. Tidak
d. Nyeri dada dan sesak nafas 1. Ya 2. Tidak
e. Dahak bercampur darah 1. Ya 2. Tidak
f. Berkeringat malam tanpa kegiatan 1. Ya 2. Tidak
g. Tidak ada atau kurang nafsu makan 1. Ya 2. Tidak
h. Berat badan menurun 1. Ya 2. Tidak
4. Apakah anda mengetahui cara penularan penyakit TBC ?
(petugas menanyakan cara penularan penyakit TBC yang
diketahui responden)
a. Melalui udara, batuk, bersin 1. Ya 2. Tidak
b. Melalui makanan 1. Ya 2. Tidak
c. Lain-lai , se utka ………… 1. Ya 2. Tidak
5. Apakah anda mengetahui cara pencegahan penyakit TBC ?
(petugas menanyakan cara-cara pencegahan penyakit TBC
yang diketahui responden)
a. Pencahayaan alami 1. Ya 2. Tidak
b. Jendela/ventilasi dalam rumah 1. Ya 2. Tidak
c. Penghuni rumah tidak padat 1. Ya 2. Tidak
d. Makan makanan yang bergizi 1. Ya 2. Tidak
e. Membuang dahak pada tempatnya 1. Ya 2. Tidak
6. Pengetahuan penyakit TBC pertama kali anda dapat dari mana ?
1. Petugas kesehatan
2. Kader kesehatan
3. Saudara/teman
4. Lai ya , se utka …………..

Universitas Sumatera Utara


(Lanjutan)

7. Apakah jendela ruangan selalu dibuka pada siang hari ?


1. Ya 2. Tidak
8. Apakah ruangan tempat tidur penderita tuberkulosis paru
terpisah dengan anggota keluarga ?
1. Ya 2. Tidak
9. Apakah tempat makan dan minum penderita disendirikan ?
1. Ya 2. Tidak
10.Jumlah Skoring tingkat pengetahuan ? (petugas menghitung
nilai
total skori g ti gkat pe getahua = …………
1. Kurang (Skor < 10)
2. Baik (Skor ≥
C. Kebiasaan Merokok
Apakah responden mempunyai kebiasaan mengkonsumsi rokok?
1. Ya merokok:
Berapa Jumlah batang per hari:
1. Ringan: 1-10 batang/hari
2. Sedang: 20-30 batang//hari
3. Berat:40-50 batang/hari
Berapa Lama merokok :
1. < 10 Tahun
2. > 10 Tahun
2. Tidak merokok

D. Penyakit penyerta
Apakah responden menderita penyakit spesifik yang menyertai
penderita tuberkulosis (Diabetes mellitus) ?
1. Ya, bila dijumpai :
- KGD P : <100mg/dl
- KGD 2 jam PP: >200 mg/dl
2. Tidak

Universitas Sumatera Utara


(Lanjutan)

E. Status Gizi

1. Status gizi responden dengan mengukur IMT ? (petugas

mengukur berat badan (kilogram) responden dibagi dengan

ti ggi ada eter . BB = …...kg, TB = ….. , IMT = ……

1. Kurus IMT < 17-18,4


2. Normal IMT 18,5-25
3. Gemuk 25,1>27
2. Status gizi responden anak yang diukur secara antropometri

berdasarkan indeks BB/U dari standar Z Score BB/U

WHO-NCHS

1. Gizi buruk = < - 3 SD


2. Gizi baik = > - 3 SD

F. Riwayat Kontak adalah apakah responden ada kontak atau pernah


berhubungan dengan orang yang menderita TB paru BTA positif
serumah dengan responden ?

1. Apakah Anda sering bercakap dengan jarak dekat dengan

penderita ?

1. Ya 2. Tidak

2. Apakah anda pernah menghirup udara langsung ketika


penderita

batuk atau bersin?

1. Ya 2. Tidak

3. Apakah anda tidur sekamar dengan penderita?

1. Ya 2. Tidak

4. Apakah anda sering berinteraksi dengan penderita ?

1. Sering 2. Jarang

Jumlah Skoring riwayat kontak ? (petugas menghitung nilai

total skori g riwayat ko tak = …………

1. Pernah (Skor < 10 )


2. Baik Skor ≥

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 4: Master Data Uji Validitas dan Reliabilitas

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 5: Lampiran Output Validitas dan Reliabilitas

Reliability

Case Processing Summary

N %
Cas es Valid 30 100,0
Excludeda 0 ,0 Reliability Statistics
Total 30 100,0
Cronbach's
a. Listwise deletion bas ed on all
Alpha N of Items
variables in the procedure.
,979 32

Item Statistics

Mean Std. Deviation N


Tahu TBC 1,23 ,430 30
Tahu Penyebab TBC 1,23 ,430 30
Batuk 3 m inggu / lebih 1,30 ,466 30
Batuk Berdahak 1,23 ,430 30
Dem am 1,30 ,466 30
Nyeri/sesak dada 1,17 ,379 30
Dahak berdarah 1,33 ,479 30
Keringat m al am 1,27 ,450 30
Kurang nafsu m akan 1,23 ,430 30
BB menurun 1,33 ,479 30
Mel alui udara, batuk,
1,33 ,479 30
bers in
Mel alui m akanan 1,27 ,450 30
Lainnya 1,23 ,430 30
Pencahayaan alam i 1,40 ,498 30
Jendela/ventilasi rum ah 1,20 ,407 30
Penghuni rum ah tidak
1,37 ,490 30
padat
Makan bergizi 1,27 ,450 30
Mem buang dahak pada
1,37 ,490 30
tem patnya
Sum ber pengetahuan
1,63 1,033 30
penyakit TBC
Jendela selalu di buka
1,30 ,466 30
s iang hari
Ruang pnderita TBC
1,27 ,450 30
terpis ah
Makanan dan m inuman
1,33 ,479 30
penderita dipis ahkan
Apakah m erokok 1,23 ,430 30
Kebiasaan m erokok 1,43 ,679 30
Lam a m erokok 1,27 ,450 30
Penderi ta mem ili ki
1,17 ,379 30
penyakit lain m iri p TBC
Status gizi 1,37 ,615 30
Bercakap dengan jarak
1,20 ,407 30
dekat
Menghirup udara
langs ung saat 1,33 ,479 30
penderita bers in
Pernah sekam ar
1,27 ,450 30
dengan penderita
Sering berinteraksi
1,23 ,430 30
dengan penderita
Pendapatan 1,33 ,479 30

Scale Statistics

Mean Variance Std. Deviation N of Items


41,43 149,771 12,238 32

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 6 : Daftar Hasil Pemeriksaan

Universitas Sumatera Utara


(Lanjutan)

Universitas Sumatera Utara


(Lanjutan)

Universitas Sumatera Utara


(Lanjutan)

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 7: Hasil Penelitian Deskriptif

Frequency Table

umur2

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid < 15 18 12.9 12.9 12.9
15-55 89 63.6 63.6 76.4
>=56 33 23.6 23.6 100.0
Total 140 100.0 100.0

jeniskelamin2

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid laki-laki 60 42.9 42.9 42.9
perempuan 80 57.1 57.1 100.0
Total 140 100.0 100.0

pekerjaan2

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid pns /abri 1 .7 .7 .7
wiras wasta 5 3.6 3.6 4.3
pensiunan 2 1.4 1.4 5.7
IRT 13 9.3 9.3 15.0
petani 1 .7 .7 15.7
buruh tani 9 6.4 6.4 22.1
pelajar/mahas is wa 23 16.4 16.4 38.6
tidak bekerja 78 55.7 55.7 94.3
lainnya 8 5.7 5.7 100.0
Total 140 100.0 100.0

pengetahuan2

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid kurang 90 64.3 64.3 64.3
baik 37 26.4 26.4 90.7
tidak bis a dinilai 13 9.3 9.3 100.0
Total 140 100.0 100.0

Universitas Sumatera Utara


(Lanjutan)

rokok12

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid ya 18 12.9 12.9 12.9
tidak 122 87.1 87.1 100.0
Total 140 100.0 100.0

penyakit2

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid ya 2 1.4 1.4 1.4
tidak 122 87.1 87.1 88.6
tidak bis a dinilai 16 11.4 11.4 100.0
Total 140 100.0 100.0

stgizi3

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid kurus 41 29.3 29.3 29.3
normal 89 63.6 63.6 92.9
gemuk 10 7.1 7.1 100.0
Total 140 100.0 100.0

kontak2

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid pernah 140 100.0 100.0 100.0

kelompok

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak 111 79.3 79.3 79.3
ada 29 20.7 20.7 100.0
Total 140 100.0 100.0

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 8: Hasil Penelitian Analitik dengan Chi square

Crosstabs

[DataSet0] C:\Documents and Settings\User\My


Documents\DATA\MKT\datasasilia\datasasilia.sav

umur2 * kelompok

Crosstab

kelompok
tidak ada Total
umur2 < 15 Count 5 13 18
% within kelompok 4.5% 44.8% 12.9%
15-55 Count 79 10 89
% within kelompok 71.2% 34.5% 63.6%
>=56 Count 27 6 33
% within kelompok 24.3% 20.7% 23.6%
Total Count 111 29 140
% within kelompok 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig.
Value df (2-s ided)
Pears on Chi-Square 34.075a 2 .000
Likelihood Ratio 27.725 2 .000
Linear-by-Linear
12.503 1 .000
Ass ociation
N of Valid Cas es 140
a. 1 cells (16.7%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is 3.73.

Universitas Sumatera Utara


(Lanjutan)

jeniskelamin2 * kelompok

Crosstab

kelompok
tidak ada Total
jeniskelamin2 laki-laki Count 47 13 60
% within kelompok 42.3% 44.8% 42.9%
perempuan Count 64 16 80
% within kelompok 57.7% 55.2% 57.1%
Total Count 111 29 140
% within kelompok 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-s ided) (2-s ided) (1-s ided)
Pears on Chi-Square .058 b 1 .810
Continuity Correctiona .001 1 .976
Likelihood Ratio .058 1 .810
Fisher's Exact Test .836 .486
Linear-by-Linear
.058 1 .810
Ass ociation
N of Valid Cases 140
a. Computed only for a 2x2 table
b. 0 cells (.0%) have expected count les s than 5. The minimum expected count is 12.
43.

Universitas Sumatera Utara


(Lanjutan)

pekerjaan2 * kelompok

Crosstab

kelompok
tidak ada Total
pekerjaan2 pns /abri Count 1 0 1
% within kelompok .9% .0% .7%
wiraswasta Count 5 0 5
% within kelompok 4.5% .0% 3.6%
pensiunan Count 1 1 2
% within kelompok .9% 3.4% 1.4%
IRT Count 12 1 13
% within kelompok 10.8% 3.4% 9.3%
petani Count 1 0 1
% within kelompok .9% .0% .7%
buruh tani Count 8 1 9
% within kelompok 7.2% 3.4% 6.4%
pelajar/mahas iswa Count 19 4 23
% within kelompok 17.1% 13.8% 16.4%
tidak bekerja Count 57 21 78
% within kelompok 51.4% 72.4% 55.7%
lainnya Count 7 1 8
% within kelompok 6.3% 3.4% 5.7%
Total Count 111 29 140
% within kelompok 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asym p. Si g.
Value df (2-s ided)
Pears on Chi-Square 7.035 a 8 .533
Likelihood Ratio 8.588 8 .378
Linear-by-Linear
2.723 1 .099
Ass ociation
N of Val id Cas es 140
a. 12 cells (66.7%) have expected count l es s than 5. The
m inim um expected count is .21.

Universitas Sumatera Utara


(Lanjutan)

pengetahuan2 * kelompok

Crosstab

kelompok
tidak ada Total
pengetahuan2 kurang Count 71 19 90
% within kelompok 64.0% 65.5% 64.3%
baik Count 36 1 37
% within kelompok 32.4% 3.4% 26.4%
tidak bis a dinilai Count 4 9 13
% within kelompok 3.6% 31.0% 9.3%
Total Count 111 29 140
% within kelompok 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig.
Value df (2-s ided)
Pears on Chi-Square 25.949a 2 .000
Likelihood Ratio 24.822 2 .000
Linear-by-Linear
3.529 1 .060
Ass ociation
N of Valid Cas es 140
a. 1 cells (16.7%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is 2.69.

Universitas Sumatera Utara


(Lanjutan)

rokok12 * kelompok

Crosstab

kelompok
tidak ada Total
rokok12 ya Count 16 2 18
% within kelompok 14.4% 6.9% 12.9%
tidak Count 95 27 122
% within kelompok 85.6% 93.1% 87.1%
Total Count 111 29 140
% within kelompok 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-s ided) (2-s ided) (1-s ided)
Pears on Chi-Square 1.160 b 1 .281
Continuity Correctiona .586 1 .444
Likelihood Ratio 1.314 1 .252
Fisher's Exact Test .365 .229
Linear-by-Linear
1.152 1 .283
Ass ociation
N of Valid Cases 140
a. Computed only for a 2x2 table
b. 1 cells (25.0%) have expected count les s than 5. The minimum expected count is 3.
73.

penyakit2 * kelompok

Crosstab

kelompok
tidak ada Total
penyakit2 ya Count 1 1 2
% within kelompok .9% 3.4% 1.4%
tidak Count 106 16 122
% within kelompok 95.5% 55.2% 87.1%
tidak bis a dinilai Count 4 12 16
% within kelompok 3.6% 41.4% 11.4%
Total Count 111 29 140
% within kelompok 100.0% 100.0% 100.0%

Universitas Sumatera Utara


(Lanjutan)

Chi-Square Tests

Asymp. Sig.
Value df (2-s ided)
Pears on Chi-Square 34.044a 2 .000
Likelihood Ratio 27.264 2 .000
Linear-by-Linear
23.894 1 .000
Ass ociation
N of Valid Cas es 140
a. 3 cells (50.0%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is .41.

stgizi3 * kelompok

Crosstab

kelompok
tidak ada Total
s tgizi3 kurus Count 25 16 41
% within kelompok 22.5% 55.2% 29.3%
normal Count 76 13 89
% within kelompok 68.5% 44.8% 63.6%
gemuk Count 10 0 10
% within kelompok 9.0% .0% 7.1%
Total Count 111 29 140
% within kelompok 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig.
Value df (2-s ided)
Pears on Chi-Square 13.004a 2 .002
Likelihood Ratio 13.978 2 .001
Linear-by-Linear
12.567 1 .000
Ass ociation
N of Valid Cas es 140
a. 1 cells (16.7%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is 2.07.

Universitas Sumatera Utara


(Lanjutan)

kontak2 * kelompok

Crosstab

kelompok
tidak ada Total
kontak2 pernah Count 111 29 140
% within kelompok 100.0% 100.0% 100.0%
Total Count 111 29 140
% within kelompok 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value
Pears on Chi-Square .a
N of Valid Cas es 140
a. No statistics are computed
becaus e kontak2 is a cons tant.

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 9: Hasil Penelitian Analisis Multivariat

Frequency Table

pengetahuankel

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid kurang 90 64.3 64.3 64.3
tidak bis a dinilai 13 9.3 9.3 73.6
baik 37 26.4 26.4 100.0
Total 140 100.0 100.0

Berisiko variabel pengetahuan kurang, yg tidak berisiko yg pengetahuan baik

penyakitkel

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid ya 2 1.4 1.4 1.4
tdk bis a dinilai 16 11.4 11.4 12.9
tidak 122 87.1 87.1 100.0
Total 140 100.0 100.0

Berisiko pada yg punya penyakit, yg tidak punya tdk ada

umutkel

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid < 15 18 12.9 12.9 12.9
>=56 33 23.6 23.6 36.4
15-55 89 63.6 63.6 100.0
Total 140 100.0 100.0

Yg tidak berisiko yg usia 15-55

stgizikel

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid kurus 41 29.3 29.3 29.3
gemuk 10 7.1 7.1 36.4
normal 89 63.6 63.6 100.0
Total 140 100.0 100.0

Yang tidak berisiko yang normal

Universitas Sumatera Utara


(Lanjutan)

Analisis risiko setiap variabel:

Variables in the Equation

95.0% C.I.for EXP(B)


B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper
Step
a umutkel 23.789 2 .000
1 umutkel(1) 3.022 .624 23.448 1 .000 20.540 6.044 69.806
umutkel(2) .563 .562 1.001 1 .317 1.756 .583 5.287
Constant -2.067 .336 37.919 1 .000 .127
a. Variable(s ) entered on s tep 1: umutkel.

Variables in the Equation

95.0% C.I.for EXP(B)


B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper
Step
a pengetahuankel 16.819 2 .000
1 pengetahuankel(1) 2.265 1.046 4.688 1 .030 9.634 1.240 74.870
pengetahuankel(2) 4.394 1.179 13.904 1 .000 81.000 8.041 815.898
Constant -3.584 1.014 12.495 1 .000 .028
a. Variable(s ) entered on s tep 1: pengetahuankel.

Variables in the Equation

95.0% C.I.for EXP(B)


B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper
Step
a
penyakitkel 22.950 2 .000
1 penyakitkel(1) 1.891 1.439 1.726 1 .189 6.625 .394 111.282
penyakitkel(2) 2.989 .637 22.052 1 .000 19.875 5.707 69.213
Constant -1.891 .268 49.703 1 .000 .151
a. Variable(s ) entered on s tep 1: penyakitkel.

Variables in the Equation

95.0% C.I.for EXP(B)


B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper
Step
a s tgizikel 9.041 2 .011
1 s tgizikel(1) 1.319 .439 9.041 1 .003 3.742 1.583 8.843
s tgizikel(2) -19.437 12710.133 .000 1 .999 .000 .000 .
Constant -1.766 .300 34.613 1 .000 .171
a. Variable(s ) entered on s tep 1: stgizikel.

Universitas Sumatera Utara


(Lanjutan)

Analisis Multivariat:

Variables in the Equation

95.0% C.I.for EXP(B)


B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper
Step
a umutkel 3.988 2 .136
1 umutkel(1) 2.990 1.548 3.733 1 .053 19.895 .958 413.304
umutkel(2) .559 .741 .568 1 .451 1.748 .409 7.473
pengetahuankel 6.240 2 .044
pengetahuankel(1) 2.807 1.124 6.240 1 .012 16.568 1.831 149.923
pengetahuankel(2) -17.946 23205.426 .000 1 .999 .000 .000 .
penyakitkel .079 2 .961
penyakitkel(1) -.441 1.573 .079 1 .779 .643 .029 14.042
penyakitkel(2) 21.203 23205.426 .000 1 .999 2E+009 .000 .
s tgizikel 16.095 2 .000
s tgizikel(1) 2.873 .716 16.095 1 .000 17.692 4.347 72.002
s tgizikel(2) -18.352 12413.096 .000 1 .999 .000 .000 .
Constant -5.798 1.288 20.253 1 .000 .003
a. Variable(s ) entered on s tep 1: umutkel, pengetahuankel, penyakitkel, s tgizikel.

Variables in the Equation

95.0% C.I.for EXP(B)


B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper
Step
a umutkel 11.641 2 .003
1 umutkel(1) 4.360 1.280 11.598 1 .001 78.228 6.364 961.675
umutkel(2) .487 .697 .488 1 .485 1.628 .415 6.388
pengetahuankel 6.724 2 .035
pengetahuankel(1) 2.760 1.108 6.205 1 .013 15.802 1.801 138.635
pengetahuankel(2) 1.824 1.695 1.158 1 .282 6.198 .224 171.798
s tgizikel 16.150 2 .000
s tgizikel(1) 2.843 .708 16.150 1 .000 17.174 4.291 68.728
s tgizikel(2) -18.332 12432.640 .000 1 .999 .000 .000 .
Constant -5.734 1.260 20.717 1 .000 .003
a. Variable(s ) entered on s tep 1: umutkel, pengetahuankel, stgizikel.

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 10: Surat Persetujuan Komisi Etik

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai