Anda di halaman 1dari 2

Renungan harian 1 Feb 2023

Hidup itu luar biasa. Kita sudah menjalani hidup selama 10 tahun, 15 tahun, 20 tahun, 30
tahun, 40 tahun, 50 tahun atau lebih. Karena sudah terbiasa menjalani hidup, kita lupa untuk
menghargai dan menilai hidup secara benar. Karena apa yang sudah biasa kita lakukan atau
kita miliki, menjadi tidak luar biasa. Ketika seseorang beli mobil mewah, pada hari pertama,
betapa dia menghargai mobil itu; mungkin bertahan hingga bulan pertama, atau dua bulan
pertama. Mobil itu terasa berharga. Tetapi 5 tahun kemudian tidak bernilai lagi. Dan memang
nilai dari mobil itu juga kemudian merosot. 

Kuasa kegelapan menipu, dia penipu; Satan is a liar. Dia membisikkan kalimat yang kita
tidak sadari melalui kejadian, peristiwa, percakapan, film, atau lagu bahwa hidup ini tidak
bernilai. Dan sebaliknya, yang bernilai adalah ketika kita punya rumah besar, mobil bagus,
popular, cantik, ganteng, terhormat, berpendidikan tinggi, aman, jauh dari ancaman. Dan
hampir semua orang tersesat di sini. Bagi pendeta, ia merasa bernilai kalau jadi pendeta
besar, gereja besar, pimpinan besar, ketua sinode. Tambah bernilai kalau anggotanya ada
pejabat tinggi, anggota DPR, pengacara terkenal, yang bisa disebut-sebut dalam khotbahnya.

Hidup ini bernilai bukan karena hal itu. Hidup ini bernilai kalau kita ada di jalan Tuhan.
“Di jalan Tuhan” artinya dalam kebersamaan dengan Tuhan. Kalau bagi umat Perjanjian
Lama, “di jalan Tuhan” artinya mengikuti rencana-Nya. Abraham mengikuti rencana Allah.
Ia keluar dari Ur-Kasdim, dibawa Tuhan ke negeri yang Tuhan hendak tunjukkan. Tetapi,
ternyata sampai mati pun dia tidak pernah menemukan negeri itu, hanya melihat dari jauh,
dan negeri itu adalah Langit Baru Bumi Baru (Ibr. 11). Dikatakan berjalan bersama Tuhan
selama mereka melakukan hukum (hukum TUHAN) dan mengikuti rencana Allah. 

Tetapi, bagi umat Perjanjian Baru bukan begitu saja. Tentu kita harus memenuhi rencana
Allah. Dikatakan “berjalan bersama dengan Tuhan” kalau Tuhan tinggal di dalam kita, dan
kita tinggal di dalam Dia; “Hidupku bukan aku lagi, tetapi Kristus yang hidup di dalam
aku.” Jadi, kebersamaan dengan Tuhan berarti ada dalam persekutuan. Maksudnya
adalah supaya kita mengalami proses perubahan sampai menjadi serupa dengan Tuhan atau
berkodrat ilahi (2Ptr. 1:3-4) atau mengambil bagian dalam kekudusan Allah (Ibr. 12:9-11).

Kebersamaan dengan Tuhan adalah persekutuan dengan Tuhan, agar kita memilki sifat Allah,
karakter Allah. Dan itu tujuan dari hidup baru, sehingga hidup jadi berarti. Hidup ini bernilai
karena ada kesempatan untuk itu. Bukan kesempatan menikah, punya anak, punya rumah,
punya mobil, terhormat. Bukan tidak boleh, tetapi itu semua bukan target atau alasan kita
hidup. Jadi, hidup itu bernilai karena ada kesempatan. Bagi kita sebagai umat pilihan,
kesempatan untuk bersama dengan Tuhan. Bersama dengan Tuhan bukan berarti Tuhan ada
di samping kita, melainkan Ia ada di dalam kita. 

Kita bersyukur karena Tuhan memiliki toleransi yang sangat panjang. Seperti orang tua,
toleransinya panjang untuk anak-anak. Waktu anak masih kecil, ketika ia lapar, ia nangis
saja. Tetapi orang tua tidak merasa disusahkan. Malah dianggap menyenangkan. Ketika
remaja, kadang-kadang menyakiti orang tua, dan orang tua masih bisa berkata: “It’s ok.”
Tetapi orang tua ingin, suatu hari mereka menjadi seperti yang orang tua mau. Jadi, kalau
seorang anak ada di satu keluarga, keberhargaannya adalah bagaimana anak itu menjadi
seperti filosofi orang tua. Kalau orang tuanya punya filosofi-filosofi hidup yang baik—harus
studi, bisa mandiri, bermoral baik—itu adalah kesempatan. 
Kesempatan kita juga begitu; menjadi umat pilihan yang boleh tinggal di dalam Tuhan.
Sebab, tidak ada cara lain untuk menjadi serupa dengan Yesus atau memiliki karakter Allah
Bapa, sesuai rancangan Allah semula, segambar dan serupa dengan Dia kecuali Roh-Nya
tinggal di dalam kita. Dalam kesabaran yang tinggi, sering kali Tuhan didukakan, dilukai
tetapi Ia terus membimbing kita. Tuhan mau bimbing kita dalam kebersamaan-Nya. Kita
harus serius untuk hal ini, karena satu-satunya tujuan hidup kita adalah bersekutu dengan Dia
agar kita semakin disempurnakan. Di luar ini, celaka. 

Kita bisa menolak keselamatan, lalu binasa. Keselamatan adalah dikembalikannya manusia
ke rancangan Allah semula. Dan itu bisa berlangsung, kalau Dia tinggal di dalam kita. Kalau
bangsa Israel tidak perlu “Roh Allah tinggal di dalam diri kita,” karena standarnya adalah
melakukan hukum dan memang tidak bisa. Kenapa tidak bisa? Karena Yesus belum mati di
kayu salib menebus dosa kita. Belum ada pembenaran. Kalaupun Roh Kudus menghinggapi
seseorang, sifatnya temporal, insidentil atau sementara. Tetapi dengan Yesus mati di kayu
salib, kita diampuni, dianggap tidak berdosa walaupun berkeadaan berdosa. Dan Allah punya
tatanan itu. 

Hidup ini bernilai kalau Tuhan tinggal di dalam kita, dan kita tinggal di dalam Dia.

Anda mungkin juga menyukai