Anda di halaman 1dari 47

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KANKER PARU

Kanker paru adalah tumor ganas yang berasal dari epitel bronkus atau
karsinoma bronkus (bronchogenic carcinoma). Faktor risiko kanker paru meliputi
jenis kelamin laki-laki, perokok, dan usia lebih dari (>) 40 tahun. Penegakan
diagnosis kanker paru memerlukan multi modalitas dan multi disiplin ilmu
meliputi ahli paru, ahli radiologi diagnostik, ahli patologi anatomi, ahli
radioterapi, dan ahli terkait lainnya.15
Kanker paru sebagian besar berasal sel epitel bronkus cabang besar, bronkus
cabang sedang, bronkus kecil, dan bronkiolus terminalis. Kanker paru primer
adalah kanker atau sel ganas yang berasal dari epitel saluran napas. Metastasis
kanker paru adalah kanker yang berasal dari organ selain paru yang menyebar pada
jaringan paru. Klasifikasi WHO tahun 2015 membagi tumor epitelial paru menjadi
tumor ganas epitelial (karsinoma) dan tumor epitelial jinak. Tumor epitelial jinak
yaitu adenoma dan papiloma. Tumor epitelial ganas jenis karsinoma yang paling
sering ditemukan adalah adenokarsinoma, karsinoma sel skuamosa (KSS),
karsinoma neuroendokrin derajat keganasan tinggi, dan karsinoma sel besar.
World Health Organization mengelompokkan KSS menjadi tiga subtipe yaitu
keratinisasi, non keratinisasi, dan basaloid. Small cell lung carcinoma (SCLC)
merupakan golongan tumor neuroendokrin yang sangat sedikit mengalami
deferensiasi. Adenokarsinoma bronkogenik menyumbang sekitar 30% dari semua
kanker paru primer. Karsinoma sel besar mencapai sekitar 10% dari semua
karsinoma bronkogenik. Klasifikasi kanker paru berdasarkan pilihan jenis terapi
dibedakan menjadi Kanker paru karsinoma sel kecil (KPKSK) atau SCLC dan
KPBSK atau NSCLC. Klasifikasi tumor epitel paru menurut WHO tahun 2015
ditunjukkan pada tabel satu.15-21

5
6

Tabel 1. Klasifikasi kanker paru menurut WHO 2015


Tipe dan subtipe histologi tumor epitel paru Tipe dan subtipe histologi tumor epitel
paru
Adenokarsinoma Large cell carcinoma
Lepidic adenocarcinomae Adenosquamous carcinoma
Acinar adenocarcinoma Sarcomatoid carcinoma
Papillary adenocarcinoma Pleomorphic carcinoma
Micropapillary adenocarcinomae Spindle cell carcinoma
Solid adenocarcinoma Giant cell carcinoma
Invasif mucinous adenocarcinomae Carcinosarcoma
Mixed invasif mucinous dan Pulmonary blastoma
Nonmucinous adenocarcinoma
Colloid adenocarcinoma Other and unclassified carcinomas
Fetal adenocarcinoma Lymphoepithelioma like carcinoma
Enteric adenocarcinomae NUT carcinomae
Minimally invasive adenocarcinomae Salivary gland type tumors
Nonmucinous Mucoepidermoid carcinoma
Mucinous Adenoid cystic carcinoma
Preinvasive lesion Epithelial myoepithelial carcinoma
Atypical adenomatous hyperplasia Pleomorphic adenoma
Adenocarcinoma in situe Papillomas
Nonmucinous Squamous cell papilloma
Mucinous Exophytic
Squamous cell carcinoma Inverted
Keratinizing squamous cell carcinomae Glandular papilloma
Nonkeratinizing squamous cell carcinomae Mixed squamous and glandular
papilloma
Basaloid squamous cell carcinomae Adenomas
Preinvasive lesion Sclerosing pneumocytomae
Squamous cell carcinoma in situ Alveolar adenoma
Neuroendocrine tumors Papillary adenoma
Small cell carcinoma Mucinous cystadenoma
Combined small cell carcinoma Mucus gland adenoma
Large cell neuroendocrine carcinoma
Combined large cell neuroendocrine
Carcinoma
Carcinopid tumors
Typical carcinoid tumor
Atypical carcinoid tumor
Preinvasive lesion
Diffuse idiopathic pulmonary neuroendocrine cell
hyperplasia
Dikutip dari (17)

Imunopatogenesis kanker paru

Karsinogenesis merupakan proses pertumbuhan sel normal menjadi sel


kanker yang bersifat ganas. Onkogen adalah gen yang mengkode informasi
keganasan. Gen supresor adalah gen yang menekan pertumbuhan kearah
keganasan. Sel tubuh normal dapat mengalami perubahan menjadi sel kanker
7

akibat dari paparan zat karsinogen seperti bahan kimia, virus, dan radiasi. Paparan
zat karsinogen menyebabkan mutasi dan kegagalan pada Deoxyribonucleic acid
(DNA) repair. Sel mutan merupakan sel dengan komponen genetik yang
mengalami penambahan, pengurangan atau perpindahan basa nukleotida. Mutasi
gen menimbulkan gangguan proliferasi dan diferensiasi sel akibat perubahan
dalam pengaturan, ekspresi, serta penyimpangan gen pengkode protein.15,22,23
Sel normal berkembang menjadi sel kanker merupakan proses yang
kompleks dan bertahap. Tahap karsinogenesis terdiri dari inisiasi, promosi dan
progresi. Inisiasi adalah proses perubahan sel normal menjadi tumor. Tahap
inisiasi dapat terjadi secara spontan atau induksi oleh paparan karsinogen. Promosi
yaitu proses stimulasi pertumbuhan pada sel tumor yang telah terbentuk. Sel
tumor pada tahap inisiasi akan mengalami pertambahan ukuran sel dan
heterogenitas populasi sel. Progresi merupakan tahap akhir dari transformasi
neoplastik dengan tanda meliputi perubahan genetik, perubahan fenotip,
proliferasi, dan penyebaran sel menuju organ lain. Tumor primer dapat
berkembang menjadi tumor sekunder pada organ lain melalui penyebaran secara
hematogen dan limfogen. Tahap karsinogenesis dijelaskan pada gambar
satu.15,22,23

Gambar 1. Tahap karsinogenesis


Dikutip dari (23)

Hipotesis cancer immunoediting memperkirakan bahwa interaksi sistem


8

imun dan kanker terjadi pada semua tahap perkembangan sel kanker meliputi
inisiasi, progresi, invasi, dan metastasis. Cancer immunoediting terdiri dari tiga
fase yaitu elimination, equilibrium, dan escape. Fase elimination merupakan fase
penghancuran sel kanker oleh sistem imun alamiah dan adaptif yang kompeten.
Fase elimination disebut juga immunosurveillance. Fase equilibrium terjadi pada
kondisi sistem imun tidak mampu mengeliminasi sel kanker secara sempurna.
Fase equilibrium merupakan fase keseimbangan antara progresi kanker dan
kontrol sistem imunitas tubuh inang. Kondisi lingkungan mikro tumor dalam
kondisi supresi sistem imun menyebabkan berkembangnya sel kanker dengan
daya imunogenisitas rendah. Varian sel kanker dengan imunogenisitas rendah
memiliki resistensi tinggi terhadap serangan sistem sehingga mendukung
perkembangan kanker pada fase escape. Fase escape merupakan kondisi sel
kanker yang dapat menghindari sistem imun inang melalui pembentukan
lingkungan mikro yang bersifat imunosupresif sehingga sel kanker dapat tumbuh
dan berkembang. Proses cancer immunoediting dijelaskan gambar dua.15,24

Gambar 2. Proses cancer immunoediting


Keterangan: CD: Cluster of differentiation; NK: Natural killer; T:
limfosit T; NKT: Natural killer limfosit T
Dikutip dari (24)
Kanker dapat menghindari serangan sistem imun melalui mekanisme yaitu
menginduksi imunotoleran, mengganggu presentasi antigen, dan mengekspresikan
molekul imunosupresif. Induksi imunotoleran berupa pertumbuhan sel T yang
toleran terhadap mutated/overexpressed antigen tumor. Gangguan terhadap
presentasi antigen melalui mekanisme mutasi atau downregulation pada antigen
9

tumor dan molekul Mayor histocompability complex (MHC). Ekspresi faktor


imunosupresif meliputi peningkatan ekspresi CTLA-4 pada tahap aktivasi, ekspresi
PD-1 limfosit T sitotoksik Cluster differentiation 8 (CD8) pada tahap efektor, dan
ekspresi PD-L1 pada sel kanker. Ekspresi faktor dan molekul imunosupresif pada
lingkungan mikro tumor yaitu downregulation faktor interferon, downregulation
aktifasi Signal tranducer and activator of transcription 1 (STAT1), hambatan
sitokin proinflamasi, downregulation atau mutasi Human leukocyte antigen (HLA)
kelas I, mutasi komponen Antigen presentation machinery (APM), serta akumulasi
Myeloid-derived suppressor cell (MDSC).25

Patologi kanker paru

Kanker paru secara sederhana dibagi menjadi KPKBSK atau NSCLC dan
KPKSK atau SCLC. Kanker paru dibagi menjadi empat berdasarkan jenis histologi
yaitu KSS, KPKSK, adenokarsinoma, dan karsinoma sel besar. Karsinoma sel
skuamosa berasal dari perubahan pada sel tipe I yang membentuk 95% permukaan
alveolus. Sel tipe I merupakan sel skuamosa yang berperan pada pertukaran gas
dengan ciri yaitu berbentuk pipih, nukleus lebar, nukleus tipis, dan tebal sel 0.1-0.5
mikrometer (µm). Karsinoma sel skuamosa adalah keganasan epitel dengan
keratinisasi, intercellular bridges, dan squamous pearl formation seperti
ditunjukkan pada gambar tiga.26,27

Gambar 3. Histopatologi karsinoma sel skuamosa


Keterangan : Tanda panah ; Keratinisasi sitoplasma dan membentuk
sarang dan keratin pearls
Dikutip dari (26)

World Health Organization (WHO) mengelompokkan KSS menjadi tiga


10

subtipe yaitu keratinisasi, non keratinisasi, dan basaloid. Subtipe keratinisasi


ditandai dengan ditemukan keratinisasi pada jaringan tumor. Subtipe basaloid
ditandai dengan komponen basaloid lebih dari 50% walaupun terdapat keratinisasi
pada jaringan tumor. Karsinoma sel skuamosa sering ditemukan pada pria, usia
lebih dari 40 tahun, dan berhubungan dengan faktor risiko merokok. Karsinoma sel
skuamosa umumnya terletak pada sentral yang melibatkan bronkus utama, bronkus
segmental, dan lobus paru. Karsinoma sel skuamosa dapat menyebabkan obstruksi
bronkus dan meningkatkan risiko pneumonia. Kavitas pada karsinoma sel
skuamosa berhubungan dengan manifestasi perdarahan.16-18,26
Small cell lung carcinoma (SCLC) merupakan golongan tumor
neuroendokrin yang sangat sedikit mengalami deferensiasi. Pemeriksaan patologi
pada SCLC terdapat gambaran yaitu sel predominan ganas berukuran kecil sampai
sedang, rasio nuklear-sitoplasmik yang tinggi, gambaran mitosis, gambaran
apoptosis yang banyak, nekrosis, gambaran cetakan nukleus yang khas, dan
kromatin dengan inti sel neoplastik. Gambaran SCLC seperti gambar empat.19

Gambar 4. Gambaran mikroskopik SCLC


Keterangan ; a = Fotomikrograf kekuatan tinggi perbesaran 20 kali (x)
dengan pewarnaan Hematoksilin eosin (HE) ; b= fotomikrograf
kekuatan tinggi perbesaran 40x dengan pewarnaan HE
Dikutip dari (19)
Small cell lung carcinoma ditandai dengan small blue cell, sitoplasma
sedikit, rasio nukleus dengan neoplasma yang tinggi, kromatin granuler, dan
nukleolus yang tidak jelas. Sel SCLC berbentuk bulat, lonjong, gelendong dengan
lekukan, dan hitungan mitosis yang tinggi. Gambaran spesimen biopsi dengan
diagnosis SCLC terdapat pada gambar lima.19,20
11

Gambar 5. Gambaran spesimen dengan diagnosis SCLC pada pewarnaan HE


Dikutip dari (19)
Adenokarsinoma bronkogenik menyumbang sekitar 30% dari semua kanker
paru primer. Adenokarsinoma secara histologis dibagi menjadi adenokarsinoma
terdiferensiasi baik dan adenokarsinoma terdiferensiasi buruk. Adenokarsinoma
berdiferensiasi baik ditandai dengan kelenjar ganas monomorfik, sel dengan
nukleolus yang mencolok, dan tersusun dalam pola asinar papiler. Adenokarsinoma
diferensiasi buruk terdiri sel ganas pleomorfik dengan nukleolus menonjol, sel
tersusun dalam pola padat, pembentukan kelenjar fokal, serta produksi lendir.
Gambaran patologi jaringan adenokarsinoma ditunjukkan dalam gambar enam. 21

Gambar 6. Gambaran spesimen biopsi Adenokarsinoma


Keterangan ;A=Adenokarsinoma diferensiasi baik ; B=Adenokarsinoma
diferensiasi buruk.
Dikutip dari (21)
Karsinoma sel besar mencapai sekitar 10% dari semua karsinoma
bronkogenik. Karsinoma sel besar ditemukan pada bronkus segmentalis dan
12

bronkus lobaris. Gambaran jaringan karsinoma sel besar berupa sel besar dengan
sitoplasma granular dan jumlah makronukleolus yang banyak. Spesimen untuk
pemeriksaan sitologi dapat berasal dari dahak, bilasan bronkus, sikatan bronkus,
dan Fine needle aspiration biopsy (FNAB). Gambaran sitologi karsinoma sel besar
berupa sel besar dengan sitoplasma besar, inti sel besar, inti sel ganda yang bersifat
makronukleoli eosinofilik. Pemeriksaan IHK pada karsinoma sel besar
bronkogenik menunjukkan positif Carcinoembryonic antigen (CEA), positif
Cytokeratin 7 (CK7), positif Thyroid transcription factor 1 (TTF 1), dan negatif
CK20. Gambaran jaringan karsinoma sel besar dapat dijelaskan pada gambar
tujuh.21

Gambar 7. Gambaran jaringan Giant cell carcinoma dengan pewarnaan HE


menunjukkan sel ganas berinti banyak dan berukuran besar
Dikutip dari (21)
Karsinoid merupakan kelompok tumor neuroendokrin. Tumor
neuroendokrin dikelompokkan menjadi tumor neuroendokrin derajat keganasan
rendah, tumor neuroendokrin derajat keganasan sedang, tumor neuroendokrin
derajat keganasan tinggi, dan karsinoma neuroendokrin sel besar. Karsinoid tipikal
mempunyai pola pertumbuhan organoid yang ditunjukkan melalui trabecular,
insular, palisading, pita, rosette, sel poligonal seragam, sitoplasma eosinofil halus,
pola kromatin granular halus pada intisel, tampak nukleolus mencolok, stroma
fibrovaskular bervaskularisasi tinggi, hialinisasi stroma, tulang rawan, dan
komponen pembentukan tulang, serta amiloid. Karsinoid tipikal memiliki tingkat
nekrosis sebesar satu mitosis setiap 2 milimeter persegi (mm2). Karsinoid atipikal
13

memiliki tingkat nekrosis sebesar 2-10 mitosis setiap 2 mm2. Karsinoid atipikal
memiliki inti sel yang mengalami nekrosis sehingga menyerupai gambaran
comedonecrosis. Karsinoid atipikal menunjukkan inti sel polimorf lebih besar yang
terdiri dari nukleolus dan membran inti. Gambaran karsinoid tipikal dan atipikal
dijelaskan pada gambar delapan.21,28,29

Gambar 8. Gambaran karsinoid tipikal dan atipikal dengan pewarnaan HE


Keterangan : A=karsinoid tipikal ; B=karsinoid atipikal.
Dikutip dari (19)
Karsinoma neuroendokrin sel besar merupakan tumor yang sangat agresif
pada orang dewasa dalam rentang usia antara 35-75 tahun. Merokok meningkatkan
resiko kejadian karsinoma neuroendokrin sel besar. Karsinoma neuroendokrin sel
besar merupakan neoplasma dengan ukuran dalam kisaran 1,3-10 centimeter (cm)
yang terletak pada tengah maupun bagian perifer jaringan paru. Gambaran jaringan
biopsi karsinoma neuroendokrin sel besar ditemukan sel ganas pleomorfik
berukuran besar dalam pola formasi rossete fokal. Gambaran sel karsinoma
neuroendokrin sel besar meliputi sel tumor ukuran besar, pleomorfik, berbatas
tegas, sitoplasma bergranula, intisel oval dengan pola kromatin bergranula, dan
gambaran nukleolus. Pemeriksaan imunohistokimia dengan menilai antibodi
Neuron specific enolase (NSE) dan chromogranin dapat membantu dalam
menentukan tingkat diferensiasi karsinoma neuroendokrin. Pemeriksaan
imunohistokimia dengan TTF-1 ditemukan positif pada sekitar 50% karsinoma
neuroendokrin sel besar. Gambaran jaringan karsinoma neuroendokrin sel besar
dijelaskan pada gambar sembilan.30
14

Gambar 9. Gambaran jaringan karsinoma neuroendokrin sel besar


Dikutip dari (30)

Patofisiologi kanker paru

Manifestasi klinis kanker paru primer tergantung pada lokasi. Tanda dan
gejala kanker paru disebabkan oleh pertumbuhan tumor lokal, invasi, penyumbatan
struktur yang berdekatan, perbesaran kelenjar getah bening regional melalui
penyebaran limfatik, pertumbuhan metastasis jauh melalui penyebaran hematogen,
dan sindrom paraneoplastik. Pertumbuhan primer secara lokal pada struktur
endobronkial menyebabkan batuk, hemoptisis, mengi, stridor, dispnea, dan
pneumonia paska obstruksi. Pertumbuhan tumor primer menuju pleura dan dinding
dada menyebabkan nyeri dada, batuk, dispneu, dan efusi pleura. Pertumbuhan
tumor primer pada jaringan paru dapat memicu pembentukan kavitas dan abses
paru. Gangguan restriksi disebabkan nyeri, kavitas, abses paru, dan efusi pleura.
Penyebaran tumor secara regional pada struktur dalam rongga torak menyebabkan
obstruksi trakea, kompresi esofagus dengan disfagia, kelumpuhan saraf laring
penyebab suara serak, kelumpuhan saraf frenik penyebab gangguan otot
diaphragma, dan kelumpuhan saraf simpatis. Kelumpuhan saraf ganglion simpatis
menyebabkan sindrom Horner dengan ciri enophthalmos, ptosis, miosis, dan
hilangnya produksi keringat ipsilateral. Tumor sulkus superior yang mengalami
ekstensi lokal pada apeks paru dapat menggangu fungsi anyaman saraf servikal dan
torakalis penyebab sindrom Pancoast. Sindrom Pancoast memiliki gejala klinis
nyeri bahu menjalar ke lengan, kerusakan radiologis tulang rusuk pertama, dan
kerusakan secara radiologis tulang rusuk kedua. Penyebaran regional pada vena
kava superior menyebabkan Sindrom vena kava superior (SVKS) dengan tanda
15

meliputi edema wajah, edema leher, edema lengan, pelebaran vena leher, dan
pelebaran vena dinding dada. Komplikasi SVKS yang mengancam jiwa meliputi
edema serebral, edema laring, dan ketidakstabilan hemodinamik. Karsinoma
bronkoalveolar dapat menyebar secara transbronkial sehingga menghasilkan tumor
yang tumbuh di beberapa permukaan alveolar penyebab gangguan pertukaran gas,
dispnea, dan hipoksemia.31-33
Efusi pleura pada keganasan terjadi melalui mekanisme langsung dan
mekanisme tidak langsung. Mekanisme langsung efusi pleura akibat keganasan
meliputi peningkatan permeabilitas permukaan pleura, obstruksi pembuluh limfe
pleura, sumbatan drainase limfe akibat pembesaran kelenjar getah bening
mediastinum, sumbatan duktus torakikus, atelektasis paru, dan gangguan
perikardium. Mekanisme tidak langsung efusi pleura akibat keganasan meliputi
hipoproteinemia, emboli paru dan iatrogenik radioterapi. Efusi pleura
menyebabkan sesak napas akibat penurunan ketegangan paru, penurunan volume
paru ipsilateral, pendorongan mediastinum kontralateral, dan penekanan diafragma
ipsilateral.34
Sindrom paraneoplastik merupakan kumpulan gejala klinis yang berkaitan
dengan zat yang dihasilkan tumor atau respon dari tumor terhadap sistem imunitas
inang. Sindrom paraneoplastik yang umum ditemukan yaitu Sindrom inapropriate
anti diuretic hormone (SIADH) dengan gejala meliputi kelemahan, disgeusia, dan
euvolemia. Ectopic cushing syndrome dengan gejala meliputi yaitu kegemukan,
mudah mengantuk, dan kelelahan. Produksi hormon Adrenocorticotrophine
hormone (ACTH) menyebabkan peningkatan kadar kortisol darah, edema, miopati
proksimal, dan alkalosis hipokalemik. Lambert-Eaton Myasthenic syndrome
memiliki tanda klinis yaitu kelemahan ekstremitas bagian proksimal yang bersifat
berulang secara periodik dan gangguan sistem saraf otonom. The National
Comprehensive Cancer Network (NCCN) mengelompokkan tanda dan gejala klinis
sindrom paraneoplastik berdasarkan sistem organ secara rinci dapat dilihat pada
tabel dua.20,35,36
16

Tabel 2. Tanda dan Gejala Klinis Sindrom paraneoplastik


Sistem Organ Tanda dan Gejala
Endokrin • Terjadi akibat produksi hormon peptida ektopik
• Biasanya dapat kembali dengan terapi antitumor yang berhasil
• SIADH
➢ Sekresi vasopresin ektopik (ADH)
➢ Klinis hiponatremia yang signifikan ditemukan pada 5%-10%
kasus small cell carcinoma
➢ Malaise, kelemahan, kebingungan, deplesi volume, mual
➢ Hiponatremia, euvolemia, osmolaritas serum rendah, osmolalitas
urin konsentrat tidak adekuat, fungsi tiroid dan adrenal normal
• Cushing’s syndrome
➢ Sekresi ACTH ektopik
➢ Peningkatan berat badan, moon face, hipertensi, hiperglikemia,
kelemahan seluruh tubuh
➢ Serum kortisol dan ACTH tinggi, hipernatremia, hipokalemia,
alkalosis
Neurologi • Jarang terdapat gejala khusus
• Degenerasi cerebelum
• Ensefalomyelitis, demensia
• Neuropati sensoris nyeri, kehilangan fungsi sensoris
• Eaton-Lambert syndrome, disfungsi otonom
• Retinopati akibat kanker, kehilangan fungsi
penglihatan, fotosensitivitas
Hematologi • Anemia penyakit kronik
• Reaksi leukimoid‒leukositosis
• Trosseau’s syndrome‒migratory thrombophlebitis
keterangan : SIADH = Sindrom inapropriate anti diuretic hormone ;ADH=
Antidiuretic hormone; ACTH= Adrenokortikotropic hormone.
Dikutip dari (20)
Sindrom paraneoplastik merangsang kejadian malnutrisi penyebab kakeksia
pada penderita kanker paru. Kakeksia adalah sindrom multifaktorial yang ditandai
dengan penurunan berat badan secara progresif tanpa selalu disertai anoreksia.
Penurunan berat badan pada penderita kanker disebabkan pengurangan massa
jaringan adiposa dan massa otot rangka. Kakeksia terkait dengan tingkat katabolik
yang tinggi dan faktor tertentu yang diproduksi oleh tubuh. Respon katabolik yang
tinggi diakibatkan oleh proses peradangan yang memproduksi sitokin seperti
Tumor necrosis factor-α (TNF-α), Interleukin (IL)-1, IL-6, dan Interferon-γ (IFN-
γ). Aktivitas sitokin proinflamasi meningkat selama perkembangan kanker paru.
Kanker paru merangsang lipolisis dan proteolisis penyebab penurunan berat badan
dan penyusutan massa otot rangka. Sitokin yang terlibat dalam proses kejadian
kakeksia adalah Lipid-mobilizing factor (LMF) dan Proteolysis-inducing factor
17

(PIF). Lipid-mobilizing factor meningkatkan glikogenolisis hati untuk


mengakomodasi kebutuhan metabolisme yang tinggi pada penderita kanker paru.
Penurunan massa jaringan adiposa disebabkan oleh peningkatan lipolisis untuk
meningkatkan kadar gliserol dan Free fatty acid (FFA). Pengurangan massa otot
rangka menyebabkan penurunan kekuatan otot pernapasan, kekuatan pegangan,
toleransi olahraga, dan status kesehatan.37-40
Penderita kanker paru memiliki kelemahan otot rangka, intoleransi
olahraga, dan kecacatan fungsional. American Thoracic Society (ATS) dan
European Respiratory Society (ERS) pada tahun 2013 melaporkan keterbatasan
aktivitas pada kanker paru disebabkan oleh gangguan pertukaran gas, gangguan
jantung, disfungsi otot pernapasan, disfungsi tungkai bawah, kecemasan, depresi,
dan penurunan motivasi. Kapasitas olahraga terganggu disebabkan gangguan
penyerapan oksigen yang bersifat kompleks dan multifaktorial. Aktivitas
kehidupan mengalami penurunan nilai akibat dispneu, kelelahan, nyeri, cemas, dan
depresi. Spruit dkk pada tahun 2016 melaporkan bahwa penderita kanker paru yang
menjalani perawatan intensif memiliki nilai tes berjalan enam menit sebesar 63,6%
dari prediksi dan nilai tes bersepeda sebesar 58,5% dari nilai prediksi.31,41

Diagnosis kanker paru


Gejala kanker paru berhubungan dengan perkembangan ukuran tumor dan
invasi terhadap organ sekitar. Gejala keganasan paru meliputi batuk, batuk darah,
nyeri dada, dan sesak napas. Suara serak terjadi akibat kelumpuhan saraf laring
rekuren. Sindrom vena kava superior muncul akibat penekanan pada vena kava
superior. Sindrom Pancoast disebabkan penekanan pada pleksus brakialis. Sindrom
paraneoplastik meliputi hiperkalsemia, SIADH, hypertrophic osteoarthropathy,
manifestasi hematologi, dan kelainan neurologik. Metastasis kanker paru menuju
42,43
pada organ tubuh meliputi hepar, kelenjar adrenal, tulang, dan otak.
Tumor paru berukuran kecil dan terletak perifer dapat memberikan
gambaran normal pada pemeriksaan secara fisik. Tumor ukuran besar dengan
atelektasis, efusi pleura, penekanan vena, dan penekanan jaringan saraf dapat
memberikan nilai yang lebih informatif dalam penegakan diagnosis kanker paru.
18

Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk mengevaluasi adanya sindrom


paraneoplastik, persyaratan tindakan invasif diagnostik, dan pemeriksaan tumor
marker serum. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan meliputi pemeriksaan
42,44
darah lengkap, elektrolit, fungsi hati, fungsi ginjal dan tumor marker serum.
Tumor marker dapat dimanfaatkan sebagai penanda keganasan pada
sekelompok organ atau organ tunggal. Proses keganasan dapat diketahui dengan
mengkombinasikan beberapa tumor marker. Tumor marker yang digunakan dalam
pengelolaan kanker paru adalah Squamous cell carcinoma antigen (SCC-Ag),
Carcinoembryonic antigen (CEA), Cytokeratin 19 fragment antigen 21-1 (CYFRA
21-1), Neuron specific enolase (NSE), Pro‑gastrin releasing peptide (Pro-GRP),
dan Cancer antigen-125 (CA-125). 45,46
Squamous cell carcinoma antigen diekspresikan oleh sel skuamosa saluran
pernapasan, saluran pencernaan, dan servik uterus. Perubahan kadar serum SCC-
Ag terdeteksi pada karsinoma skuamosa paru, payudara, serviks, tenggorokan, dan
daerah kepala dan leher. Molekul SCC-Ag dapat meningkatkan pertumbuhan tumor
in vivo. Mekanisme SCC-Ag dapat meningkatkan ukuran kanker melalui
penghambatan kematian sel, peningkatan pertumbuhan sel, dan induksi transisi
epitel-mesenkimal.47,48
Cytokeratin adalah elemen struktur sitoskeleton sel epitel percabangan
bronkial yang mengalami peningkatan pada sampel jaringan kanker paru.
Cytokeratin 19 fragment antigen 21-1 terdapat di berbagai organ tubuh selain
jaringan paru. Penyakit ginjal harus dieksklusikan dalam pemeriksaan CYFRA 21-
1 sebagai tumor marker dalam penegakan keganasan paru oleh karena epitel ginjal
juga mampu mengekspresikan CYFRA 21-1. Cytokeratin 19 fragment 21-1 adalah
tumor marker paling sensitif untuk KPKBSK terutama KSS dengan nilai
sensitivitas sebesar 59% dan nilai spesifisitas sebesar 94%.47,49,50
Neuron specific enolase merupakan indikator onkologi yang penting yang
mengalami peningkatan pada KPKSK. Tingkat NSE yang tinggi sebesar >100
ng/mL menunjukkan kemungkinan tinggi KPKSK. Neuron specific enolase
dengan kadar tingkat sedang dapat ditemukan pada tumor paru jinak, kanker
pankreas, kanker lambung, kanker usus besar, dan kanker payudara. Kombinasi
19

pemeriksaan NSE dan pro-GRP sangat bermanfaat pada pengelolaan kanker paru.
Pemantauan nilai NSE bermanfaat untuk menilai efek pengobatan KPKSK dan
mengevaluasi kekambuhan penyakit. 50,51
Pro-gastrin releasing peptide memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang
sangat baik sebagai tumor marker pada KPKSK. Pro-gastrin releasing peptide
meningkat pada KPKSK dan jarang meningkat pada KPKBSK serta tumor jinak
atau ganas lainnya. Kombinasi pemeriksaan Pro-GRP dan NSE memiliki
sensitivitas sebesar 88 % pada penegakan diagnosis KPKSK. Pro gastrin
releasing peptide serum > 200 pg/mL meningkatkan kemungkinan diagnosis
kanker paru dan kadar ProGRP > 300 pg/mL memiliki tingkat kemungkinan
diagnosis KPKSK.50,51
Cancer antigen-125 diekspresikan pada mesothelium peritoneum dan
pleura pada orang dewasa. Cancer antigen-125 diekspresikan terutama pada
adenokarsinoma dan kanker paru sel besar. Nilai CA-125 dapat digunakan
sebagai penanda prediktif untuk mengevaluasi prognosis, efek pengobatan, dan
respons pengobatan pada KPKBSK. Peningkatan indikator serum tumor marker
berperan dalam menunjukkan adanya tumor, membantu analisis patologis, dan
evaluasi perkembangan tumor.49,50
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk membantu menentukan jenis
secara histologi, lokasi tumor primer, metastasis, dan penentuan staging penyakit.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan radiologis dan
pemeriksaan khusus. Pemeriksaan radiologis yang dilakukan yaitu foto toraks,
Computed tomography (CT) scan toraks hingga abdomen atas dengan kontras,
Bone scan, Bone survey, Ultrasonography (USG) abdomen, CT otak, dan Positron
42,44,52
emission tomography (PET), serta Magnetic resonance imaging (MRI).
Modalitas diagnostic pada nodul paru yang terletak di bagian tengah paru
yaitu bilasan bronkus, sikatan bronkus, biopsi forceps, dan Transbronchial lung
biopsy (TBLB). Nodul berukuran lebih dari 3 cm dan terletak di perifer dapat
dilakukan prosedur biopsi secara perkutan dengan TTNA, Transthoracic biopsy
(TTB), Aspirasi jarum halus (AJH), core biopsy, dan biopsi pleura. Prosedur biopsi
secara invasif dapat dilakukan dengan pleuroscopy, Video assisted thoracoscopic
20

surgery (VATS), dan torakotomi. Transthoracic needle aspiration dengan


penuntun CT scan menunjukkan sensitifitas 90% dan spesifisitas 97%.44,53,54
Pemeriksaan patologi anatomi seperti sitologi dan histopatologi digunakan
untuk menegakkan diagnosis kanker paru. Jenis histologi kanker paru dan
penentuan stadium sangat penting untuk menentukan jenis terapi kanker paru.
Pemeriksaan biomolekular pada jaringan hasil biopsi berperan dalam penegakan
diagnosis kanker paru dan pilihan terapi yang efektif . Pemeriksaan biomolekuler
pada jaringan biopsi kanker paru meliputi mutasi EGFR, IHK, ALK, dan PD-L1.
Imunohistokimia dapat digunakan untuk membantu membedakan berbagai jenis
kanker Marker IHK untuk menentukan klasifikasi histologi kanker paru dapat
dilihat dalam tabel tiga.53-55
Tabel 3. Marker IHK untuk menentukan klasifikasi histologi kanker paru.
TTF1 Napsin A CK5/6 P63 diagnosis
+ + - - Adenokarsinoma
+ - - - Adenokarsinoma
+ + - Fokal + Adenokarsinoma
+ + - - Skuamosa
- - - Difus + Skuamosa
- - - Fokal + KPKBSK tidak
dapat
Tidak terklasifikasi
- - - - KPKBSK
Tidak terklasifikasi
- - - KPKBSK
Tidak terklasifikasi
Keterangan: TTF-1 = Thyroid transcription factor 1; P63 = Protein 63;
CK 5/6 = Cytokeratin 5/6; KPKBSK = Kanker paru karsinoma bukan sel kecil
Dikutip dari (54)

Staging kanker paru

Penetapan staging kanker paru ditentukan menurut International


Association for the Study of Lung Cancer (IASLC) tahun 2017 berdasarkan sistem
TNM versi 8 yaitu faktor yang berkaitan dengan tumor primer (T), keterlibatan
kelenjar getah bening (N), dan metastasis ke paru kontralateral atau organ jauh (M).
Tabel empat dan lima menunjukkan gambaran staging kanker paru.42,55,56
Tabel 4. Staging kanker paru menurut TNM
Tumor primer (T)
TX Tumor primer tidak dapat ditemukan dengan hasil radiologi dan bronkoskopi
tetapi sitologi sputum atau bilasan bronkus positif (ditemukan sel ganas)
21

T0 Tidak tampak lesi atau tumor primer


Tis Karsinoma in situ
Tis (AIS) : adenokarsinoma
Tis (SCIS) : squamous cell carcinoma
T1 Ukuran terbesar tumor ≤ 3 cm tanpa lesi invasi intrabronkus yang sampai ke
proksimal bronkus lobaris
Tm minimal invasif adenokarsinoma
T1a Ukuran tumor primer ≤ 1 cm
T1b Ukuran tumor primer > 1 cm tetapi ≤ 2 cm
T1c Ukuran terbesar tumor primer > 2 cm tetapi ≤ 3 cm
T2 Lesi > 3 cm tetapi ≤ 5 cm dengan tampakan Lesi invasive bronkus utama tapi tidak
samapi karina; mengenai pleura viseralis; berhubungan dengan atelectasis atau
pneumonitis obstruktif yang meluas sampai daerah hilus atau melibatkan sebagian
atau keseluruhan paru
T2a Ukuran tumor primer >3tetapi ≤ 4 cm
T2b Ukuran tumor primer > 4 tetapi ≤ 5 cm
T3 Ukuran tumor primer > 5 tetapi ≤ 7 cm atau tumor menginvasi hingga pleura
parietalis, dinding dada termasuk superior, diafragma, nervus phrenicus,
menempel pleura mediastinum, perikardium atau terdapat lebih dari satu nodul
dalam satu lobus dengan tumor primer
T4 Ukuran tumor primer > 7 cm atau sebarang ukuran tumor primer sebarang tetapi
telah melibatkan atau invasi ke mediastinal diafragma, trakea, jantung, pembuluh
darah besar, karina , nervus laringeus rekuren, esofagus, badan vertebra. Atau
lebih dari satu nodul berbeda lobus pada sisi yang sama dengan tumor primer (
ipsilateral)
Kelenjar Getah Bening Regional (N)
NX Metastasis ke kelenjar getah bening (KGB) mediastinal sulit dinilai dari gambaran
radiologi
N0 Tidak ditemukan metastasis ke KGB
N1 Metastasis ke KGB peribronkus ipsilateral , hilus ipsilateral, ipsilateral
intrapulmonary termasuk ekstensi langsung
N2 Metastasis ke KGB mediastinal ipsilateral dan/ atau subkarina, mediastinum
bawah, sub aorta, para aorta
N3 Metastasis ke KGB mediastinal kontralateral, hilus kontralateral, ipsilateral atau
kontralateral skalen, supraklavikula
Metastasis jauh (M)
M0 Tidak didapatkan metastasis
Mx Metastasis sulit dinilai dari gambaran radiologi
M1a Metastasis ke paru kontralateral, nodul di pleura, efusi pleura ganas, efusi
pericardium
M1b Metastasis jauh ke satu organ luar paru (otak, tulang, hepar, ginjal, KGB leher,
aksila, suprarenal, dll)
M1c Multiple metastasis ekstratorak dalam 1 organ atau lebih
Keterangan : cm=centimeter; <=kurang dari; >= lebih besar dari; ≤ = kurang dari
sama dengan.
Dikutip dari (55)

Tabel 5. Staging kanker paru


Stage kanker paru Tx N0 M0
Stage 0 TIS N0 M0
22

Stage IA T1 N0 M0

Stage IA1 T1mi N0 M0


T1a N0 M0
Stage IA2 T1b N0 M0
Stage IA3 T1c N0 M0
Stage IB T2a N0 M0
Stage IIB T1a-c,T2a, b N1 M0
T3 N0 M0
Stage IIIA T1a-c, T2a, b N2 M0
T3 N1 M0
T4 N0, N1 M0
Stage IIIB T1a-c, T2a, b N3 M0
T3, T4 N2 M0
Stage IIIC T3, T4 N3 M0
Stage IV Sebarang T Sebarang N M1
Stage IVA Sebarang T Sebarang N M1a, M1b
Stage IVB Sebarang T Sebarang N M1c
dikutip dari (56)

Patogenesis efusi pleura pada kanker paru

Efusi pleura ganas (EPG) merupakan gambaran efusi dengan kandungan sel
ganas akibat metastasis atau perkembangan keganasan primer pleura. Efusi pleura
mencapai angka 66 % sebagai manifestasi awal keganasan paru maupun luar paru.
Efusi pleura ganas sebagian besar diakibatkan keganasan paru, kanker payudara,
dan limfoma. Analisis genom sel ganas pada tumor primer maupun metastasis pada
pleura menunjukkan bahwa efusi pleura sering terjadi pada sel kanker dengan
driver mutasi EGFR, KRAS, Phosphatidylinositol-4-5-bisphosphate 3-kinase
catalytic alpha (PIK3CA), B-raf (BRAF), EMT, EML4/ALK, dan Rearranged
during tranfection (RET).57,58
Efusi pleura ganas yang berkembang dari keganasan primer paru atau
metastasis pada jaringan pleura disebabkan oleh penyebaran sel ganas dalam
rongga pleura dan obstruksi pembuluh limfatik pleura. Ketidakseimbangan antara
sekresi dan reabsorpsi cairan pleura sebagian terjadi pada efusi pleura ganas. Sel
ganas dapat menyebar kedalam rongga pleura secara infiltrasi langsung,
hematogen, atau limfatik. Tumor yang melakukan infiltrasi secara langsung pada
jaringan pleura dapat menyebabkan efusi pleura melalui peningkatan produksi
cairan dan menghambat fungsi limfatik pleura parietal. Infiltrasi tumor pada
23

jaringan pleura menyebabkan peningkatan filtrasi kapiler pembuluh darah dan


peningkatan permeabilitas pembuluh darah dalam pengaruh sitokin inflamasi.
Peningkatan produksi cairan pleura juga disebabkan penurunan tekanan osmotik
plasma dan penurunan tekanan rongga pleura. Pertumbuhan tumor yang
menginfiltrasi jaringan limfatik dan kelenjar getah bening dapat menghambat
drainase limfatik penyebab penurunan tingkat penyerapan cairan pleura sehingga
terjadi akumulasi cairan pada rongga pleura. Peningkatan tekanan hidrostastik
pembuluh kapiler pleura meningkatkan filtrasi penyebab peningkatan produksi
cairan pleura. Infiltrasi jaringan tumor secara luas pada kapiler pleura menyebabkan
akumulasi cepat cairan dalam rongga pleura.57,58
Sel kanker dapat berkembang pada pleura melalui tahapan yaitu sel kanker
melekat pada mesothelium, menghindari respon imun antitumor jarimgan lokal,
menginvasi jaringan pleura, pembentukan jaringan pembuluh darah untuk nutrisi,
dan rangsang pertumbuhan sel kanker. Sel kanker memproduksi siladase untuk
menghancurkan komponen glikokaliks mesotel sehingga memudahkan invasi dan
pertumbuhan sel kanker pada permukaan pleura. Interaksi antara sel kanker dengan
sel mesotel dalam proses invasi jaringan pleura melibatkan molekul adesi dan
enzim proteolitik. Sel kanker yang melekat pada mesotel akan mengakibatkan
penghambatan ekspresi endostatin, peningkatan permeabilitas lapisan mesotel, dan
menginduksi apoptosis sel mesotel. Sel mesotel berperan membatasi pertumbuhan
sel kanker.57,58
Interaksi yang kompleks antara sel pejamu dengan tumor berperan dalam
produksi berlebihan cairan pleura dan peningkatan permeabilitas kapiler pleura
dalam patogenesis efusi pleura ganas. Mekanisme kompleks yang melibatkan
berbagai sel dan struktur molekul tertentu berperan efusi pleura ganasa melalui
inflamasi pleura, angiogenesis tumor, peningkatan permeabilitas pembuluh darah
pleura. Mediator yang diproduksi oleh jaringan tumor dan jaringan pejamu
penyebab efusi pleura ganas meliputi Osteopontin (OPN), Chemoattractan
chemokine ligand 2 (CCL2), VEG, TNF, Angiopoietins 1(ANG-1), ANG- 2, IL- 5,
dan IL- 6. Inflamasi pleura disebabkan oleh mediator IL2, TNF, dan interferon
(INF). Mediator yang berperan dalam angiogenesis tumor meliputi ANG-1 dan
24

ANG-2. Molekul yang berperan dalam peningkatan permeabilitas pembuluh


kapiler pleura meliputi VEGF, Matrix metaloproteinase (MMP), CCL2, dan OPN.
Mastosit memproduksi sitokin seperti Tryptase alpha beta 1 (TAB1) dan IL-1β
yang keduanya dapat mengaktifkan Nuclear factor kappa beta (NfKB) pemicu
peningkatan permeabilitas pembuluh darah jaringan paru dan perkembangan tumor.
Interaksi antara sel tumor dan sel penjamu dalam proses pembentukan efusi pleura
ganas dijelaskan pada gambar sepuluh.57,58

Gambar 10. Interaksi sel pejamu dan sel tumor dalam patogenesis efusi pleura ganas
Keterangan: CCL2 = Chemoattractant chemokine ligand 2; TNFα
= Tumor necrosis factor alpha; IFN = Interferone; NFkB = Nuclear
factor kappa beta; VEGF = Vascular endothelial growth factor; IL2
= Interleukine 2; MPE = Malignant pleural effusion ; KRAS = Kirsten
rat sarcoma; SPP1 = secreted phosphoproteins; MMP = Matrix
metalloproteinase.
Dikutip dari (57)

Aktivasi sinyal vasoaktif dalam jaringan pleura untuk dapat merangsang


perkembangan efusi pleura sangat bergantung pada keseimbangan antara kadar
mediator vasoaktif (seperti VEGF, TNF, CCL2, dan OPN) dengan kadar molekul
25

penghambat seperti endostatin. Kombinasi antara mediator perangsang dan


penghambat vasoaktif berperan dalam aktivasi dan rekruitmen komponen seluler
inflamasi pejamu. Komponen seluler inflamasi pejamu berperan mempengaruhi
perkembangan jaringan tumor secara langsung (seperti yaitu stimulasi faktor
transkripsi, penolakan jaringan tumor, tahap promosi tumor, tahap immunoediting,
dan metastasis), peradangan mesotel, angiogenesis, peningkatan permeabilitas
pembuluh darah paru, dan perkembangan fokus baru sel ganas dalam pleura.
Konsep Stathopolous dkk tahun 2012 mengenai patogenesis efusi pleura ganas
dijelaskan pada gambar sebelas.57,58

Gambar 11. Konsep patogenesis efusi pleura ganas


Keterangan: CCL = Chemoattractant chemokine ligand ; TNF =
Tumor necrosis factor ; IFN = Interferone; NFkB = Nuclear factor
kappa beta; VEGF = Vascular endothelial growth factor; IL =
Interleukine ; MPE = Malignant pleural effusion ; OPN =
osteopontin; Stat3 = Signal transduction activated transcription;
MMP = Matrix metalloproteinase ; Ang = Angiopoietine.
Dikutip dari (57)
Sitologi cairan Pleura
Cairan efusi atau cairan rongga tubuh merupakan spesimen yang memiliki
frekuensi terbesar dalam pemeriksaan laboratorium sitologi. Preparat slide
mikroskopis dari ekstrak bahan seluler cairan efusi dapat berupa apusan langsung,
26

cytospin, preparat berbasis cairan dan cell block. Pengujian sitologi tambahan pada
ekstrak bahan seluler dapat berupa IMS dan tes molekuler. Cairan tubuh sebagian
besar dikirim ke laboratorium sitologi untuk keperluan analisis morfologi sel,
identifikasi keganasan, dan pemeriksaan tambahan 5,9
Pengkonsentrasian cairan pleura diperlukan untuk menghasilkan bahan
yang tepat dalam pemeriksaan sitologi. Teknik sentrifugasi pada spesimen cairan
pleura membentuk pelet berperan penting sebagai bahan pemeriksaan tambahan.
Teknik pengkonsentrasian komponen seluler meliputi cytospins, penyaring
Millipore, LBP, dan cell block. Metode LBP memiliki keunggulan yaitu cepat,
preparasi menghasilkan lapisan tipis, tumpang tindih sel minimal, kontaminasi
komponen darah minimal, dan menurunkan jumlah sediaan preparat. Teknik
pengkonsentrasian komponen seluler dengan metode LBP dijelaskan pada gambar
dua belas.5,9

Gambar 12. Metode LBP dalam pengkonsentrasian komponen seluler cairan pleura
Dikutip dari (5)
Diagnosis efusi pleura ganas melalui pemeriksaan sitologi cairan pleura
memiliki keakuratan sebesar 40% dan 87%. Faktor yang mempengaruhi tingkat
akurasi penegakan diagnosis efusi pleura ganas meliputi proses patofisiologi efusi,
jenis histologi tumor, teknik pemeriksaan spesimen cairan pleura, frekuensi
pengiriman spesimen cairan pleura, ketrampilan ahli sitologi, dan luas tumor pada
permukaan pleura. Penemuan sel ganas dalam cairan pleura penderita keganasan
27

paru akan menurun pada efusi yang disebabkan Congestive heart failure (CHF),
emboli paru, pneumonia, sumbatan pembuluh limfatik, dan hipoproteinemia.
Pemeriksaan sitologi pada cairan pleura penderita karsinoma skuamosa memiliki
angka temuan sel ganas yang sangat rendah. Efusi pleura pada karsinoma sel
skuamosa sebagian besar disebabkan karena atelektasis paru dan obstruksi
pembuluh limfatik. Pemeriksaan sitologi cairan pleura pada limfoma histiositik
difus memiliki angka akurasi temuan sel ganas sebesar 75% dan penyakit Hodgkin
dengan akurasi sebesar 25%. Akurasi penemuan sel ganas dalam cairan pleura pada
Adenokarsinoma lebih tinggi dibandingkan Sarkoma.5,9
Thoracentesis merupakan tindakan diagnostik pertama pada pasien dengan
kecurigaan keganasan paru yang disertai efusi pleura. Penentuan jenis efusi
berperan penting dalam penetapan staging keganasan paru dan pilihan modalitas
terapi. Pemeriksaan sitologi cairan pleura memiliki nilai sensitifitas lebih tinggi
dibandingkan biopsi pleura secara perkutan dalam diagnosis keganasan
dikarenakan sel ganas metastasis lebih sering melibatkan pleura visceral
dibandingkan pleura parietalis.5,9
Penelitian Garcia dkk pada tahun 1994 melaporkan bahwa tingkat
penemuan sel ganas pada spesimen cairan pleura pertama sebesar 65%, spesimen
kedua sebesar 27%, dan spesimen yang ketiga hanya 5%. American College of
Chest Physicians (ACCP) dan NCCN merekomendasikan tindakan torakoskopi
sebagai langkah tindak lanjut pada hasil negatif pada 2 kali tindakan thoracentesis.
Pedoman penyakit pleura menurut British Thoracic Society (BTS)
merekomendasikan pencegahan pengambilan spesimen cairan pleura > 2 kali dalam
kepentingan diagnosis dan melaporkan bahwa pemeriksaan sitologi cairan pleura
melalui kombinasi smear serta cell block memiliki nilai temuan sel ganas yang lebih
baik.5,9
Penemuan sel kanker yang terlepas pada cairan pleura memungkinan untuk
dilakukan klasifikasi keganasan berdasarkan tipe histologinya. Sel ganas memiliki
ciri yang berbeda dengan komponen sel lain pada cairan pleura. Sel ganas memiliki
ciri yaitu diameter inti sel ganas dapat melebihi 50 µm, nukleolus sel ganas
berukuran besar lebih besar dari 5 µm, dan rasio inti sel sitoplasma yang tinggi.
28

Gambaran morfologi sel ganas pada cairan pleura ditunjukan pada gambar tiga
belas.9

Gambar 13. Sel ganas berukuran besar dengan inti sel yang berukuran besar dan
berbeda dengan sel mesotelial
Dikutip dari (9)
Machevsky dkk pada tahun 1987 melaporkan bahwa temuan efusi pleura
ganas yaitu diameter sel efusi ganas melebihi 10,5 µm dan nilai rasio diameter inti
sel sitoplasma melebihi 0,74. Karakteristik sitologi antara mesotelioma dan
adenokarsinoma memiliki gambaran yang berbeda. Stevens dkk pada tahun 1992
melaporkan bahwa mesotelioma memiliki ciri yaitu agregasi berbentuk papiler,
multinukleasi atipikal, dan gambaran aposisi sel ke sel. Adenokarsinoma memiliki
gambaran struktur seperti asinus, gambaran vakuolasi berbentuk balon, gambaran
agregasi sel ganas, dan gambaran gumpalan sel. Gambaran sel ganas pada cairan
pleura ditunjukkan pada gambar empat belas.9

Gambar 14. Gumpalan sel ganas pada cairan pleura dengan adenokarsinoma
Dikutip dari (9)

Pemeriksaan molekuler dan imunohistokimia


Pedoman WHO merekomendasikan pemeriksaan IHK pada penemuan
karsinoma berdiferensiasi buruk untuk menentukan klasifikasi yang tepat.
Pemeriksaan TTF-1 dan p40 merupakan langkah pertama pemeriksaan IHK dalam
29

membedakan adenokarsinoma dan karsinoma sel skuamosa. Tyroid transcription


factor 1 diekspresikan pada 70-80% adenokarsinoma, sedangkan ekspresi p40 >
50% jaringan tumor ditemukan pada karsinoma sel skuamosa. Pemeriksaan
alternatif untuk memperkuat diagnosis adenokarsinoma yaitu pemeriksaan IHK
dengan napsin A dan pewarnaan histokimia dengan mucicarmine. Pemeriksaan
IHK untuk karsinoma sel skuamosa yaitu p63 dan CK5/6. Pemeriksaan IHK yang
memperkuat penegakan diagnosis karsinoma neuroendokrin sel besar yaitu positif
TTF-1, negatif p40 dan negatif napsin A. Karsinoma adenoskuamosa merupakan
penegakan diagnosis yang mungkin pada temuan pemeriksaan spesimen biopsi
yaitu terdapat jaringan kelenjar dan keratinasi pada 2 populasi sel berbeda, nilai
positif TTF-1, serta nilai positif p40. Pemeriksaan IHK dengan hasil positif TTF-1
dan p40 pada populasi sel yang sama mendukung diagnosis adenokarsinoma.6,58
Pemeriksaan IHK pada adenokarsinoma mucinous primer dan sekunder di
paru yaitu negatif TTF-1, negatif napsin A, dan positif Caudal related homeobox
gene 2 (CDX2). Special AT rich binding protein 2 (SATB2) ditemukan positif pada
adenokarsinoma mucinous jaringan paru yang merupakan metastasis dari
kolorektal. Pemeriksaan IHK pada penegakan diagnosis tumor neuroendokrin
meliputi kombinasi synaptophysin, chromogranin A, dan CD56. Yatabe dkk pada
tahun 2019 melaporkan bahwa Insulinoma asssociated protein-1 (INSM1) dapat
digunakan sebagai penanda tumor neuroendokrin. Pemeriksaan Ki67 dengan hasil
pewarnaan positif pada 40-50% jaringan biopsi mendukung penegakan diagnosis
tumor neuroendokrin derajat tinggi. Algoritma klasifikasi, pemeriksaan IHK, dan
uji biomarker dijelaskan pada gambar lima belas.6,58
30

Gambar 15. Algoritma klasifikasi, pemeriksaan imunohistokimia, dan uji


biomolekuler pada KPKBSK
Keterangan: TTF-1 = Thyroid transcription factor 1; P63 =
Protein 63; CK 5/6 = Cytokeratin 5/6; KPKBSK = Kanker paru
karsinoma bukan sel kecil; KSS = Karsinoma sel skuamosa; p40 =
Protein 40; EGFR = Epidermal growth factor receptor; ALK =
Anaplastic lymphoma kinase; PDL-1 = Programmed death
receptor- ligand-1 inhibitor.
Dikutip dari (6)

Pemeriksaan FISH pada cairan efusi pleura yang difiksasi dengan larutan
Carnoy berperan dalam deteksi keganasan yang berkaitan dengan kelainan
kromosom 7, kromosom 11, dan kromosom 17. Larutan Carnoy merupakan
campuran metanol dan asam asetat dengan perbandingan 3:1. Larutan Carnoy dapat
digunakan pada kepentingan analisis gen p16 pada kromosom 9p12 yang
mengalami delesi pada keganasan pleura.5,9,58
Analisis FISH pada spesimen cairan pleura yang difiksasi dalam larutan
Carnoy dapat digunakan untuk menilai TTF1 pada karsinoma paru. Pemeriksaan
FISH kolorimetri pada preparat cell block berperan dalam melakukan analisis
ekspresi mRNA terkait kanker seperti molekul angiogenik dan MET. Analisis status
EGFR dapat dilakukan dengan metode PCR pada spesimen cairan efusi pleura segar
31

dan spesimen cairan pleura yang dibekukan pada suhu minus (-) 80°C. New
generation sequencing (NGS) terbukti sangat sensitif dalam penilaian status mutasi
EGFR. Spesimen sitologi dicampur dengan larutan buffer sebelum tahap
pembekuan berperan mencegah terjadinya degradasi RNA. Pemeriksaan RNA pelet
sel cairan pleura dengan metode PCR pada keganasan dengan status EGFR wild
type berperan penting untuk analisis gen fusi EML4-ALK.5,9,10,11,58

Transthoracic needle aspiration (TTNA)


Aspirasi jarum halus atau Fine needle aspiration (FNA) adalah pendekatan
yang banyak digunakan untuk diagnosis lesi paru soliter perifer. Aspirasi jarum
halus merupakan teknik pengambilan spesimen sel melalui proses aspirasi sel dari
massa tumor untuk menjadi bahan apusan guna pemeriksaan sitologi. Prosedur
FNA diterapkan pada lesi yang teraba pada permukaan tubuh. Transthoracic Needle
Aspiration berperan dalam penentuan sifat lesi dan jenis lesi tumor dari hasil
gambaran sel yang berhasil didapat.7,12,59
Transthoracic Needle Aspiration pada lesi superfisial atau lesi yang lebih
dalam merupakan salah satu prosedur yang digunakan dalam diagnosis lesi
neoplastik. Komplikasi prosedur TTNA adalah nyeri, infeksi, pneumotoraks, dan
hematoma. Pencegahan komplikasi TTNA dilakukan dengan persiapan tindakan
yang baik meliputi konsultasi ahli hematologi pada pasien riwayat gangguan
perdarahan, dan riwayat terapi antikoagulan, serta pemberian tekanan secara gentle
dalam pelaksanaan prosedur.59
Teknik standar TTNA yang dipilih disesuaikan berdasar tingkat
kenyamanan dan pengalaman operator dengan tujuan memperoleh spesimen
sitologi dalam jumlah cukup pada area tubuh yang dicurigai terdapat tumor.
Pengukur jarum yang digunakan dalam TTNA bervariasi antara jarum ukuran 21-
25 gauge (G). Penggunaan pemegang syringe atau tidak ketika dilakukan
pemberian tekanan negatif bergantung pada tingkat kenyamanan operator.
Beberapa operator memilih teknik menggunakan pistol dengan tujuan yaitu kontrol
lebih baik dan komponen sel yang diambil lebih banyak. Teknik paling umum pada
TTNA yang digunakan meliputi aspirasi jarum halus dengan ukuran 21-25 G tanpa
32

tekanan negatif, aspirasi menggunakan jarum suntik tanpa tekanan negatif, dan
aspirasi menggunakan syringe dengan tekanan negatif. 8,60
Aspirasi jarum halus dengan ukuran 21-25 G tanpa tekanan negatif atau
syringe merupakan teknik TTNA yang dikenal sebagai French technique. French
technique memiliki kelebihan yaitu kurang traumatis dan menghasilkan jumlah sel
diagnostik yang cukup berdasar tekanan kapiler. Aspirasi menggunakan jarum
suntik dan jarum tanpa tekanan negatif merupakan metode TTNA yang bertujuan
mendapat sampel sel yang cukup dengan meminimalkan risiko trauma tekanan
negatif. Jarum suntik dimanfaatkan dalam pengumpulan cairan pada lesi yang
mengandung komponen kistik. Aspirasi menggunakan syiringe dan jarum suntik 10
mililiter (ml) dengan tekanan negatif sebesar 2-3 centimeter Hydrargyrium (cmHg)
dengan tujuan mendapatkan sampel melalui infiltrasi jarum secara melingkar pada
seluruh area lesi. French technique dan teknik FNA dengan jarum suntik
bertekanan negatif dijelaskan pada gambar enam belas.8,60

Gambar 16. Teknik dalam tindakan Fine needle aspiration (FNA)


Keterangan ; a =French technique merupakan teknik aspirasi
menggunakan jarum tanpa semprit atau penyedot; b= teknik FNA
menggunakan jarum suntik dengan memberikan tekanan negatif.
Dikutip dari (60)

Cell block
Cell block merupakan proses pembentukan butiran yang terdiri atas
kumpulan sel yang difiksasi dan dibenamkan dalam blok parafin. Blok parafin
dilakukan proses meliputi pengirisan dengan ketebalan 4-5 µm, pengecatan dengan
HE untuk menilai sel, pengecatan khusus pemeriksaan mikroba, dan IMS untuk
33

penegakan keganasan paru. Cell block memiliki kelebihan yaitu konsentrasi tinggi
komponen seluler pada area slide yang kecil, korelasi gambaran jaringan dari
komponen sitologi, penjelasan fragmen kecil, penyediaan bahan slide untuk uji
tambahan klasifikasi keganasan, pengujian molekuler, dan bahan arsip pemeriksaan
dimasa mendatang.5-7,60
Teknik cell block mempunyai kekurangan yaitu membutuhkan waktu lebih
lama dibanding teknik smear dalam proses penegakan diagnosis keganasan,
beresiko kehilangan spesimen selama pembuatan cell block, dan sel mesotel dapat
membentuk artefak pseudoacini serta pseudopapillae akibat proses sentrifugasi.
Penemuan beberapa spesimen dengan tingkat selularitas rendah menurunkan
akurasi nilai diagnostik pada teknik cell block. Rapid on site evaluation merupakan
protokol penilaian kecukupan sitologi dan jaringan kecil oleh ahli sitologi pada saat
proceduralist melakukan tindakan biopsi guna penentuan klasifikasi, pengujian
molekuler, serta pemeriksaan tambahan. Rapid on site evaluation dapat
meningkatkan kuantitas spesimen biopsi yang diperiksa dengan cell block untuk
pengujian molekuler dan pemeriksaan tambahan sehingga nilai akurasi diagnostik
semakin baik.1,6,60
Pedoman ROSE pada penyiapan spesimen teknik FNA untuk pembuatan
cell block meliputi metode pick and smear pada spesimen segar untuk memisahkan
fragmen jaringan dari komponen darah, smear langsung pada preparat yang
mengandung fragmen jaringan dengan teknik pengeringan udara dan fiksasi
alkohol, pembilasan spesimen pada jarum FNA dengan formalin untuk persiapan
cell block, serta penempatan preparat spesimen dengan tingkat selularitas tinggi dari
spesimen tidak bernilai diagnostik dalam wadah penyimpanan formalin terpisah.
Penerapan ROSE pada pengambilan spesimen dengan teknik FNA dan core biopsy
memiliki keuntungan meliputi hasil spesimen memiliki gambaran morfologi sel
yang adekuat, spesimen cukup untuk dilakukan pemeriksaan molekuler tambahan,
dan memudahkan dalam mengetahui kecukupan komponen parenkim normal,
komponen darah, serta jaringan lesi untuk bahan pemeriksaan penegakan
diagnostik.1,6,60
34

Teknik pembuatan cell block memiliki prinsip utama yaitu sentrifugasi


cairan spesimen, pembuangan komponen supernatan, fiksasi butir seluler,
pemindahan serentak dalam bentuk kaset, fiksasi formalin, pembenaman dalam
parafin, dan pemrosesan spesimen jaringan. Teknik plasma trombin memiliki
urutan yaitu pemberian 4 tetes plasma atau penambahan 1-2 tetes trombin, teknik
pencampuran yang baik, dan pembentukan bekuan dalam 1-4 menit. Teknik plasma
trombin memanfaatkan komponen trombin dan plasma segar beku yang sudah
kadaluarsa dari unit bank darah. Teknik Butir sel dapat membeku pada suhu
ruangan dengan menggunakan bahan pembentuk gel seperti histogel. Teknik
penggumpalan butir sel dengan cara bekuan trombin dan penambahan histogel
memiliki kelemahan yaitu butir sel rapuh, resiko kehilangan jaringan besar, dan
memerlukan kantong pembungkus.5,6,61
Teknik pembuatan cell block meliputi pembilasan spesimen dengan
larutan salin diikuti pembekuan dengan plasma dan trombin, bilasan formalin
diikuti pembekuan dengan histogel, atau bilasan formalin diikuti teknik collodion
bag. Tata urutan pembuatan cell block dengan teknik bilasan salin yang diikuti
pembekuan dengan plasma trombin adalah sentrifugasi spesimen selama 10 menit
dengan kecepatan 2500 revolutions per menit (rpm), pembuangan cairan
supernatan, pemberian 0,5mL plasma, pengadukan secara pelan selama 30-60 detik
dengan penambahan 0,25-0,5 mL trombin, pembentukan bekuan, dan penempatan
bekuan dalam kaset. Tata urutan pembuatan cell block dengan pembekuan histogel
meliputi pencampuran spesimen dengan formalin, sentrifugasi campuran selama 10
menit dengan kecepatan 2500 rpm pengeluaran cairan supernatan, penambahan
histogel cair hangat 1-4 tetes, pendinginan sampel pada suhu kamar, pemadatan
histogel, dan pemindahan butir sel di kaset. Gambaran alur pembuatan cell block
dijelaskan pada gambar tujuh belas.5,6,60,61
35

Gambar 17. Teknik pembuatan cell block


Dikutip dari (5)
Tata urutan teknik collodion bag meliputi pengisian tabung reaksi dengan
15 ml collodion, collodion dituang keluar dari tabung, tabung uji terlapisi
collodion, tabung reaksi ditempatkan secara terbalik selama 30 menit hingga
kering, transfer cairan spesimen yang bercampur formalin ke dalam tabung
collodion, sentrifugasi campuran formalin selama 10 menit dengan kecepatan
2500 rpm, pengikatan collodion bag pada ujung tabung, dan pemindahan butir sel
dalam cassete. Teknik collodion bag ditunjukkan pada gambar delapan belas.61
36

Gambar 18. Metode cell block dengan teknik collodion bag


Keterangan: 1. tabung reaksi di isi dengan 15 ml collodion; 2.
tuangkan collodion keluar dari tabung reaksi untuk melapisi tabung
uji; 3. keringkan terbalik di rak tabung reaksi selama 30 menit; 4.
transfer sampel aspirasi jarum halus dalam formalin ke dalam tabung
collodion bag; 5. centrifuge selama 10 menit dengan kecepatan 2500
rpm; 6. pindahkan collodion bag; 7. mengikat tali kapas di sekitar
tas di atas pelet pada ujung tas; 8. tempatkan di cassette dan kirim ke
laboratorium.
Dikutip dari (61)

Core biopsy
Core biopsy adalah teknik biopsi transtorakal menggunakan jarum ukuran
lebih panjang dengan memiliki struktur pengait. Jarum core biopsy memiliki
struktur alat pemotong yang terletak pada ujung jarum atau sisi samping jarum
dengan tujuan mendapatkan potongan kecil jaringan sebagai bahan analisis patologi
pembedahan. Jenis jarum core biopsy meliputi Tru-Cut, Temno core biopsy, dan
Biopince core. Hasil spesimen jaringan dengan menggunakan jarum core biopsy
memiliki keunggulan bebas debris jaringan rusak, kualitas gambaran histopatologi
jaringan baik, akurasi diagnosis meningkat, dan menurunkan angka kehadiran ahli
patologi secara on site. 2,62-64
Fine needle aspiration biopsy (FNAB) memiliki tingkat akurasi diagnostik
antara 64%-97% dan angka hasil negatif palsu antara 6%-54% dari tindakan biopsi.
Core biopsy memiliki nilai sensitifitas sebesar 89%, nilai spesifisitas sebesar 97%,
37

dan nilai akurasi diagnostik sebesar 93%. Core biopsy memiliki nilai sensitifitas,
nilai spesifisitas, dan nilai akurasi diagnostik lebih tinggi dibanding FNAB.
Beberapa penelitian melaporkan biopsi menggunakan jarum pemotong jaringan
ukuran 18G dan 20G dengan teknik koaksial memiliki nilai akurasi diagnostik
keganasan sebesar 74%-95%. Schneider dkk pada tahun 2015 melaporkan bahwa
hasil pengambilan spesimen jaringan dengan core biopsy memiliki tingkat
kecukupan sampel untuk tes molekuler yang secara signifikan lebih baik secara
statistik dibanding hasil spesimen yang didapat dengan FNAB. Perbandingan
kecukupan sampel untuk kepentingan tes molekuler dari hasil pengambilan jaringan
dengan core biopsy dan FNAB yaitu core biopsy sebesar 67%, dan FNAB sebesar
46%, serta nilai probabilitas (P) sebesar 0,007 sehingga memiliki perbedaan
signifikan secara statistik. Gambaran alat core biopsy model semiotomatis
ditunjukkan pada gambar sembilan belas.14,62-64

Gambar 19. Core biopsy semiotomatis ukuran 18 G dengan dilengkapi kanula dan
trokar jarum koaksial
Dikutip dari (14)
Transthoracic biopsy (TTB) dengan penuntun modalitas pencitraan
Prosedur biopsi yang dikombinasikan dengan kemajuan teknologi
pencitraan menyebabkan nilai diagnostik keganasan menjadi lebih akurat dan
efisien. Teknik pencitraan sebagai penuntun prosedur TTB meliputi CT scan,
fluoroskopi, USG, dan MRI. Fluoroskopi menjadi modalitas pencitraan pertama
sebagai penuntun TTB. Keuntungan fluoroskopi sebagai penuntun TTB yaitu
38

visualisasi lebih real time, prosedur mudah dilakukan, dan terjamin


ketersediaannya. Keterbatasan fluoroskopi sebagai penuntun biopsi meliputi
visualisasi buruk pada lesi kecil, visualisasi buruk pada gambaran bula, dan tingkat
keamanan yang rendah pada lesi sentral. Transthoracic biopsy dengan penuntun
fluoroskopi dapat menjadi alternatif TTB dengan penuntun CT scan karena durasi
prosedur lebih pendek, insiden pneumotoraks lebih rendah, biaya operasional lebih
rendah, dan dosis radiasi yang terpancar lebih rendah. Cheung dkk pada tahun 2011
melaporkan bahwa biopsi dengan penuntun fluoroskopi digabungkan dengan CT
scan yang dilengkapi C-arm memiliki nilai akurasi diagnostik yang tinggi dan
waktu prosedur lebih singkat pada biopsi lesi ukuran < 30 mm dengan kedalaman
lesi > 50 mm. Transthoracic biopsi dengan penuntun fluoroskopi dijelaskan pada
gambar dua puluh.62-64

Gambar 20. Potongan aksial pencitraan TTB dengan penuntun fluoroskopi pada
nodul soliter subpleura
Dikutip dari (64)
Transthoracic biopsy dengan panduan ultrasonography memiliki
keuntungan yaitu visualisasi lebih real-time, mengetahui area tanpa vaskularisasi
pada massa, visualisasi area padat pada massa, tidak memancarkan radiasi, biaya
lebih murah, dan portabel. Ultrasonography tidak dapat menggambarkan massa
mediastinum anterior dan massa paru perifer yang berbatasan dengan tulang kosta.
Di Bardino dkk pada tahun 2015 melaporkan bahwa TTB dengan penuntun USG
dalam diagnosis keganasan memiliki nilai akurasi diagnostik sebesar 88,7%,
sensitifitas sebesar 91,5%, spesifisitas sebesar 100 sedangkan TTB dengan
penuntun CT scan memiliki nilai akurasi 92,1%, sensitifitas 92,1%, spesifisitas
100% sehingga biopsi dengan penuntun CT scan lebih superior dibanding USG.
Teknik TTB dengan penuntun USG dijelaskan pada gambar dua puluh satu.63,64
39

Gambar 21. Transthoracic biopsy (TTB) dengan penuntun USG pada nodul paru
Dikutip dari (64)

Biopsi dengan penuntun CT scan memiliki keunggulan yaitu resolusi


visualisasi baik, optimal dalam menentukan lesi target, dan menghasilkan
pencitraan 3 dimensi sehingga meningkatkan akurasi penempatan ujung jarum
biopsi guna kepentingan pengambilan spesimen jaringan untuk keperluan
diagnostik. Agen kontras intravena dalam penggunaan CT scan sebagai penuntun
biopsi berguna dalam membedakan lesi target dengan struktur lain seperti
atelektasis, jaringan nekrotik, dan komponen kaya vaskularisasi. Biopsi dengan
penuntun CT scan memiliki keterbatasan meliputi hasil visualisasi kurang real time,
biaya prosedur yang besar, dan ketidaknyamanan pada pasien. Cone-beam
computerized tomography (CBCT) memberikan nilai akurasi diagnostik lebih baik
sebagai penuntun biopsi karena memberikan gambaran real time pada hasil
fluroskopi, angiografi, CT scan, dan rekonstruksi 3 dimensi. Satu kelompok
penelitian melaporkan bahwa kombinasi modalitas CT scan dan
Fluorodeoxyglucose positive emission tomography (FDG-PET) memiliki nilai
akurasi diagnostik yang baik pada lesi intratoraks dengan ukuran ≥2,5 cm. Teknik
TTB dengan penuntun CBCT dijelaskan pada gambar dua puluh dua.63,64

Gambar 22. Prosedur TTB dengan penuntun CBCT pada nodul di lobus kiri atas
paru
Dikutip dari (64)
40

Liu dkk pada tahun 2015 melaporkan bahwa perbandingan TTB mengikuti
penuntun MRI dengan CT scan memiliki nilai yang sama pada akurasi diagnostik
dan lama rerata prosedur tindakan. Sakarya dkk pada tahun 2003 melaporkan
bahwa TTB dengan panduan fluoroskopi MRI memiliki gambaran pencitraan
yang mendekati real time, tidak ada radiasi, tidak dapat mendeteksi area
emfisema, tidak dapat mendeteksi bula, dan tidak dapat mendeteksi fisura.
Kualitas pencitraan MRI dipengaruhi oleh kepatuhan pasien untuk tidak bergerak
dan menahan posisi tubuh dalam jangka waktu lama selama prosedur. 63,64
Indikasi klinis biopsi dengan penuntun modalitas pencitraan meliputi
nodul soliter baru, nodul soliter yang membesar, nodul multipel tanpa diketahui
penyakit neoplastik primer, fokal infiltrat parenkim paru tanpa didapatkan kultur
mikroba, massa hilus tanpa kelainan gambaran hasil bronkoskopi, massa
mediastinum yang belum terdiagnosis, dan biopsi keganasan untuk kepentingan
terapi target. Kontraindikasi TTB dengan penuntun modalitas pencitraan meliputi
diatesis perdarahan, gambaran bula di jalur biopsi pada hasil pencitraan, gambaran
malformasi arteri vena, gambaran kista Hidatid pada pencitraan, pasien tidak
kooperatif, batuk tidak terkontrol, dan pasien dengan ventilasi mekanik. Penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK) derajat berat, hipertensi paru, dan insufisiensi
jantung dapat meningkatkan angka komplikasi TTB.63-65
Langkah perencanaan TTB meliputi data riwayat penyakit pasien secara
lengkap, mengetahui riwayat pengobatan pasien, indikasi dilakukan TTB, dan
peninjauan gambaran pencitraaan pasien dengan cermat. Pertimbangan dalam
merencanakan TTB berdasarkan gambaran pencitraan yaitu tidak ada gambaran
bula pada jalur jarum biopsi, jalur jarum biopsi tidak melewati fisura interlobaris,
jalur jarum biopsi tidak melewati pembuluh darah besar, lesi perifer lebih dipilih
daripada lesi sentral, lesi pada lobus superior lebih dipilih daripada lobus inferior,
hindari lesi bersifat hemoragik, dan hindari bagian nekrotik dari lesi. Transthoracic
biopsy tidak dilakukan di bagian nekrotik pada lesi karena nilai diagnostik yang
rendah dan kecenderungan perdarahan.62-65

Prosedur tindakan TTB dengan penuntun pencitraan


41

Langkah tindakan TTB dengan penuntun pencitraan meliputi persiapan pra


prosedur tindakan, teknik biopsi, dan pengawasan paska prosedur tindakan.
Tindakan TTB dengan penuntun pencitraan bertujuan meningkatkan nilai akurasi
diagnostik dan menurunkan angka komplikasi tindakan. 64,65
Persiapan pra prosedur tindakan
Tindakan positioning pasien sesuai arah jalur jarum biopsi yang
direncanakan sebelumnya. Perencanaan jalur jarum biopsi pada pasien dengan
posisi supine guna memperluas area tindakan dan memperluas celah antar tulang
costae maka lengan pada sisi yang bersesuaian dilakukan elevasi hingga keatas
kepala. Pemberian penanda radiopaque pada kulit area porte de entre jalur jarum
biopsi berperan penting untuk pengukuran kedalaman jarum biopsi dari permukaan
kulit hingga lesi sesuai gambaran pencitraan CT scan. Pengukuran kedalaman
adalah jalur dengan kedalaman terpendek dari port de entri permukaan kulit hingga
lesi target biopsi.64,65
Teknik biopsi
Lakukan tindakan pemberian penanda dengan tinta pada tempat tusukan
jarum koaksial di permukaan kulit. Area kulit dengan penanda tinta dilakukan
palpasi untuk memastikan tidak beraposisi dengan tulang costae. Area port de entre
jalur jarum biopsi dilakukan tindakan disinfeksi dengan larutan antiseptik, infiltrasi
anestesi lokal dengan lidokain 2% sebesar 20 ml, insisi kulit selebar 0,5 mm, dan
insersi jarum penuntun koaksial biopsi dengan arah tegak lurus permukaan kulit
hingga mencapai lapisan pleura parietalis. Teknik infiltrasi lidokain 2% dilakukan
dari permukaan kulit pada area port de entre hingga lapisan jaringan otot
interkostalis. Langkah untuk mengurangi angka komplikasi perdarahan dan cedera
syaraf paska biopsi adalah penempatan insersi jarum infiltrasi anestesi dan jarum
koaksial biopsi pada sisi superior tulang costae. Tindakan verifikasi posisi dan
sudut jarum penuntun koaksial paska insersi dengan modalitas CT scan berperan
untuk memastikan arah jarum sesuai dengan jalur biopsi yang direncanakan
sebelumnya sehingga dapat meningkatkan nilai akurasi diagnostik dan menurunkan
angka komplikasi tindakan. Pendorongan jarum biopsi dilakukan secara gentle
hingga kedalaman sesuai ukuran yang direncanakan sebelumnya. Pasien
42

diperintahkan untuk menahan napas pada akhir ekspirasi normal pada saat prosedur
insersi jarum TTB. Tata urutan pengambilan spesimen yaitu konfirmasi posisi
jarum biopsi terhadap lesi dengan CT scan, pelepasan trokar jarum koaksial,
penutupan ujung kanula jarum koaksial dengan jari, insersi jarum core biopsy
dalam kanula jarum koaksial, dan lakukan aspirasi potongan spesimen jaringan
secara gentle.62-65
Pengawasan paska prosedur tindakan
Lakukan identifikasi paska prosedur TTB dengan CT scan untuk
mengetahui komplikasi meliputi pneumotoraks, hemotoraks, dan perdarahan
jaringan lunak area biopsi. Lakukan pemantauan tanda vital pasien selama 4 jam
paska prosedur TTB. Pemeriksaan serial foto toraks pada jam ke 1 serta 4 jam paska
prosedur biopsi dapat dilakukan untuk mengenali komplikasi pneumotoraks secara
dini paska prosedur tindakan. Prosedur tindakan core biopsy dengan penuntun CT
scan dijelaskan pada gambar dua puluh tiga.62-64

Gambar 23. Prosedur Core biopsy dengan penuntun CT scan


Dikutip dari (63)

PENELITIAN CELL BLOCK

Maldenbaum pada tahun 1917 melaporkan nilai diagnostik tinggi pada


teknik cell block dalam menegakkan karsinoma yang berasal dari ovarium,
jaringan payudara, paru, pankreas, gastrointestinal, dan ginjal. Dekker dkk tahun
1978 melakukan pemeriksaan sitologi pada 351 spesimen cairan rongga tubuh dan
membagi subyek penelitian secara berimbang untuk dilakukan pemeriksaan
kombinasi teknik cell block-smear serta pemeriksaan tunggal teknik smear yang
43

didapatkan hasil bahwa jumlah sampel yang diketemukan sel ganas melalui
kombinasi teknik cell block- smear adalah 2 kali lebih banyak dibandingkan hanya
dengan teknik smear. Analisis perbandingan pemeriksaan cell block dengan teknik
smear pada 190 subyek penelitian oleh Thapar dkk tahun 2009 dilaporkan bahwa
teknik kombinasi cell block-smear meningkatkan nilai temuan keganasan sebesar
13% dibanding teknik smear dan teknik cell block memiliki bentuk arsitektur
seluler yang baik, memudahkan pemeriksaan IHK, dan memiliki pola arsitektur
seluler yang terperinci. Shoba dkk pada tahun 2018 menyimpulkan bahwa teknik
cell block memiliki nilai temuan keganasan 46,15% lebih tinggi dibandingkan
teknik smear. Bhavana dkk pada tahun 2014 melaporkan bahwa teknik cell block
menemukan gambaran keganasan sebesar 11,2 % dari spesimen dengan hasil
negatif keganasan pada teknik smear. Penelitian Deniz dkk pada tahun 2013
melaporkan spesimen cairan pleura pada curiga keganasan yang diperiksa dengan
kombinasi cell block dan smear meningkatkan nilai temuan diagnosis keganasan
secara histologi sebesar 35%. Penelitian Santosphawar dkk tahun 2013
melaporkan spesimen efusi pleura, TTNA dengan penuntun pencitraan, dan
bilasan bronkus yang hasilnya diperiksa dengan teknik cell block memiliki nilai
sensitivitas 96% dan spesifisitas 92,59%. Penelitian Manjiri dkk pada tahun 2017
melaporkan kombinasi pemeriksaan TTNA dengan penuntun pencitraan yang
hasilnya diperiksa dengan kombinasi teknik smear dan cell block memiliki nilai
sensitivitas 95,4% dan spesifisitas 100 % sehingga nilai akurasi serta parameter
diagnostik mendekati teknik core biopsy. Penelitian sutanto dkk pada tahun 2018
melaporkan bahwa sitologi TTNA yang hasilnya diperiksa dengan teknik cell
block memiliki angka temuan sel kanker paru sebesar 57,7%, nilai sensitivitas
87,5%, dan nilai spesifitas 75%.1,4,6,12-14

B. KERANGKA TEORI

Diagnosis kanker paru ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


44

fisik, dan pemeriksaan penunjang. Gejala kanker paru berhubungan dengan


perkembangan ukuran tumor dan invasi terhadap organ sekitar. Gejala keganasan
paru meliputi batuk, batuk darah, nyeri dada, dan sesak napas. Suara serak terjadi
akibat kelumpuhan saraf laring rekuren. Sindrom vena kava superior muncul akibat
penekanan pada vena kava superior. Sindrom Pancoast disebabkan penekanan pada
pleksus brakialis. Sindrom paraneoplastik meliputi hiperkalsemia, Sindrom
inapropriate anti diuretic hormone/SIADH, hypertrophic osteoarthropathy,
manifestasi hematologi, dan kelainan neurologik. Metastasis kanker paru memiliki
42,43
gejala dan tanda bergantung organ yang terkena.
Pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh dan teliti. Tumor paru
berukuran kecil dan terletak perifer dapat memberikan gambaran normal pada
pemeriksaan secara fisik. Tumor ukuran besar dengan atelektasis, efusi pleura,
penekanan vena, dan penekanan jaringan saraf dapat memberikan nilai yang lebih
informatif dalam penegakan diagnosis kanker paru. Pemeriksaan laboratorium
diperlukan untuk mengevaluasi adanya sindrom paraneoplastik, persyaratan
tindakan invasif diagnostik, dan penanda keganasan paru. Pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan meliputi pemeriksaan darah lengkap, elektrolit,
42,44
fungsi hati, fungsi ginjal dan tumor marker serum.
Tumor marker dapat dimanfaatkan sebagai penanda keganasan pada
sekelompok organ atau organ tunggal. Proses keganasan dapat diketahui dengan
mengkombinasikan beberapa tumor marker. Tumor marker yang digunakan
dalam pengelolaan kanker paru adalah Squamous cell carcinoma antigen /SCC-
Ag, Carcinoembryonic antigen/CEA, Cytokeratin 19 fragment antigen 21-
1/CYFRA 21-1, Neuron specific enolase/NSE, Pro‑gastrin releasing
peptide/Pro-GRP, dan Cancer antigen-125/CA-125. Peningkatan indikator serum
tumor marker berperan dalam menunjukkan adanya tumor, membantu analisis
patologis, dan evaluasi perkembangan tumor.45,46
Pemeriksaan penunjang dengan modalitas pencitraan dilakukan untuk
membantu menentukan lokasi tumor primer, metastasis, dan penentuan staging
keganasan paru. Modalitas pencitraan yang dapat digunakan dalam penegakan
45

diagnosis keganasan paru meliputi foto toraks, Computed tomography scanning/CT


scan toraks hingga abdomen atas dengan kontras, Bone scan, Bone survey,
Ultrasonography/USG abdomen, CT otak, dan Positron emission
tomography/PET, serta Magnetic resonance imaging/MRI. Pemeriksaan khusus
yang digunakan dalam mendiagnosis nodul paru pada bagian tengah jaringan paru
yaitu bilasan bronkus, sikatan bronkus, biopsi forceps, dan Transbronchial lung
biopsy/TBLB. Nodul berukuran lebih dari 3 cm dan terletak di perifer dapat
dilakukan prosedur biopsi secara perkutan dengan TTNA, Transthoracic
biopsy/TTB, Aspirasi jarum halus/AJH, core biopsy, dan biopsi pleura. Prosedur
biopsi secara invasif dapat dilakukan dengan pleuroscopy, Video assisted
thoracoscopic surgery/VATS, dan torakotomi. Pemeriksaan khusus menghasilkan
spesimen sitologi dan jaringan untuk penemuan kelompok sel ganas, klasifikasi
42,44,45,52-54
keganasan, dan bahan uji biomolekuler potensial.
Teknik pemrosesan spesimen yang benar berperan penting dalam
mendapatkan ekstrak bahan seluler sebagai bahan pembuatan preparat slide
pemeriksaan mikroskopis. Preparat slide mikroskopis dari ekstrak bahan seluler
dapat berupa apusan langsung, cytospin, preparat berbasis cairan dan cell block
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan klasifikasi keganasan paru, pemeriksaan
IHK, Immunostaining/IMS, dan tes molekuler.5,9
Jumlah cairan pleura yang optimal untuk keperluan pemeriksaan apusan
dan cell block adalah sebesar 150 ml. Ekstrak seluler cairan efusi pleura dalam
bentuk apusan dan cell block dapat dimanfaatkan untuk kepentingan analisis
sitologi secara IHK dan molekuler. Analisis status EGFR dengan metode PCR
dapat dilakukan pada ekstraks seluler dalam bentuk cell block dari spesimen
cairan efusi pleura segar dan spesimen cairan pleura. Pemeriksaan RNA dengan
metode PCR preparat cell block dari spesimen cairan pleura pada keganasan
dengan status EGFR wild type dapat dimanfaatkan dalam analisis gen fusi EML4-
ALK 5,9
Foto toraks merupakan modalitas pencitraan pertama dan tersedia pada
hampir seluruh fasilitas kesehatan untuk mengetahui adanya massa dan letak massa.
Thoracentesis merupakan tindakan diagnostik pertama pada pasien dengan
46

kecurigaan efusi pleura. Pedoman penyakit pleura menurut British Thoracic


Society/BTS merekomendasikan pemeriksaan sitologi cairan pleura melalui
kombinasi smear serta cell block memiliki nilai temuan sel ganas yang lebih baik.
Modalitas CT scan toraks hingga abdomen atas dengan kontras membantu
menentukan lokasi tumor primer, metastasis, dan penentuan staging keganasan
paru.2,42,66
Pemeriksaan khusus yang digunakan dalam mendiagnosis nodul berukuran
lebih dari 3 cm dan terletak di perifer dapat dilakukan prosedur biopsi secara
perkutan dengan TTNA dan core biopsy. Pemeriksaan khusus lainnya dalam
penegakan diagnosis keganasan paru yang dapat dilakukan sesuai indikasi klinis
meliputi biopsi pleura, pleuroscopy, VATS, dan torakotomi. Prosedur biopsi yang
dikombinasikan dengan modalitas pencitraan menyebabkan nilai diagnostik
keganasan menjadi lebih akurat dan efisien Pemeriksaan khusus menghasilkan
spesimen sitologi dan jaringan yang akan dikirim ke laboratorium patologi anatomi
untuk penemuan kelompok sel ganas, klasifikasi keganasan, dan bahan uji
biomolekuler potensial. Pengetahuan yang baik mengenai teknik pengumpulan
spesimen, penyimpanan spesimen, pengawetan spesimen, dan pemrosesan
spesimen berperan sangat penting dalam mendukung ketepatan analisis penegakan
diagnosis keganasan oleh ahli patologi anatomi. Kerangka teori penegakan
keganasan paru ditunjukkan gambar dua puluh empat.5,9,52-54
47

Gambar 24. Kerangka teori


Keterangan: CCL2 = Chemoattractant chemokine ligand 2; TNFα
= Tumor necrosis factor alpha; IFN = Interferone; NFkB = Nuclear
factor kappa beta; VEGF = Vascular endothelial growth factor; IL2
= Interleukine 2; MPE = Malignant pleural effusion; OPN =
Osteopontin; TAB1 = tryptase alpha betha 1; MMP = Matrix
metalloproteinase; TTNA = Transthoracic needle aspiration; RPM =
Revolution per minute.
48

C. KERANGKA KONSEP

Pedoman penyakit pleura BTS merekomendasikan pencegahan


pengambilan spesimen cairan pleura > 2 kali dalam kepentingan diagnosis dan
melaporkan bahwa pemeriksaan sitologi cairan pleura melalui kombinasi smear
serta cell block memiliki nilai temuan sel ganas yang lebih baik. Data Penelitian
melaporkan spesimen cairan pleura pada curiga keganasan yang diperiksa dengan
cell block meningkatkan nilai temuan diagnosis keganasan sebesar 35% pada hasil
negatif keganasan dari hasil pemeriksaan teknik smear. Penelitian lain melaporkan
spesimen efusi pleura dan TTNA dengan penuntun pencitraan yang hasilnya
diperiksa dengan teknik cell block memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas yang
baik mendekati temuan pemeriksaan histologi dengan cara core biopsy. Sebuah
Penelitian juga melaporkan kombinasi pemeriksaan TTNA dengan penuntun
pencitraan yang hasilnya diperiksa dengan kombinasi teknik smear dan cell block
memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas dengan tingkat akurasi serta parameter
diagnostik mendekati teknik core biopsy.1,14,66
Transthoracic Needle Aspiration berperan dalam penentuan sifat lesi dan
jenis lesi tumor dari hasil gambaran sel yang berhasil didapat. Transthoracic Needle
Aspiration pada lesi superfisial atau lesi yang lebih dalam merupakan salah satu
prosedur yang digunakan dalam diagnosis lesi neoplastik. Teknik standar TTNA
yang dipilih disesuaikan berdasar tingkat kenyamanan dan pengalaman operator
dengan tujuan memperoleh spesimen sitologi dalam jumlah cukup pada area tubuh
yang dicurigai terdapat tumor. Pengukur jarum yang digunakan dalam TTNA
bervariasi antara jarum ukuran 21-25 G. Teknik paling umum pada TTNA yang
digunakan meliputi aspirasi jarum halus dengan ukuran 21-25 G tanpa tekanan
negatif, aspirasi menggunakan jarum suntik tanpa tekanan negatif, dan aspirasi
menggunakan syringe dengan tekanan negatif.6-8,12
Data penelitian melaporkan TTNA dengan penuntun modalitas pencitraan
CT scan memiliki nilai akurasi diagnostik, nilai sensitivitas, dan nilai spesifisitas
sangat baik. Langkah tindakan TTB dengan penuntun pencitraan meliputi persiapan
pra prosedur tindakan, teknik biopsi, dan pengawasan paska prosedur tindakan.
49

Tindakan TTB dengan penuntun pencitraan bertujuan meningkatkan nilai akurasi


diagnostik dan menurunkan angka komplikasi tindakan.62-64
Data penelitian menyimpulkan bahwa sediaan dengan teknik cell block
memiliki konsentrasi seluler yang tinggi, pola arsitektur seluler yang lebih baik,
gambaran morfologi seluler lebih baik, dan meningkatkan temuan sel ganas
dibandingkan teknik smear dalam diagnosis sitologi keganasan. Analisis pada
sebuah penelitian lain melalui perbandingan pemeriksaan cell block dengan teknik
smear dilaporkan bahwa pemeriksaan cell block meningkatkan nilai temuan
keganasan, memiliki bentuk arsitektur seluler yang baik, dan memudahkan
pemeriksaan IHK. Cell block merupakan proses pembentukan butiran yang terdiri
atas kumpulan sel spesimen cairan pleura dan TTNA yang difiksasi dan
dibenamkan dalam blok parafin.1,5,7-9,14
Core biopsy adalah teknik biopsi transtorakal menggunakan jarum ukuran
lebih panjang dengan struktur pengait untuk nmendapatkan potongan kecil jaringan
sebagai bahan analisis patologi. Core biopsy memiliki nilai sensitifitas, spesifisitas,
dan akurasi diagnostik lebih tinggi dibanding FNAB. Penelitian melaporkan biopsi
menggunakan jarum ukuran 18G dan 20G dengan teknik koaksial memiliki nilai
akurasi diagnostik keganasan yang sangat baik. Data penelitian lain melaporkan
bahwa hasil pengambilan spesimen jaringan dengan core biopsy memiliki tingkat
kecukupan sampel untuk tes molekuler yang lebih baik dibanding hasil specimen
dari FNAB. Teknik biopsi transtorakal dengan menggunakan jarum koasial
berdiameter besar meningkatkan resiko komplikasi pneumotoraks dan perdarahan
parenkim paru setelah prosedur Transthoracic biopsy (TTB). Sehubungan untuk
menurunkan angka komplikasi setelah TTB dengan core biopsy maka perlu
memenuhi syarat berdasarkan gambaran modalitas pencitraan yaitu lesi harus
subpleura dan ukuran lesi > 3 cm. 14,62-65
50

Gambar 25. Kerangka konsep


Keterangan: ──── = berhubungan langsung; = variabel yang
diteliti
51

D. HIPOTESIS PENELITIAN

1. Sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan sitologi cairan pleura dan sitologi


TTNA yang keduanya diperiksa dengan metode cell block sebanding
dengan pemeriksaan histologi jaringan (cara core biopsy) pada penegakan
diagnosis keganasan paru.
2. Nilai kepositifan antara pemeriksaan sitologi cairan pleura dan sitologi
TTNA yang keduanya diperiksa dengan metode cell block sebanding nilai
kepositifan pemeriksaan histologi jaringan (cara core biopsy) dalam
penegakan keganasan paru.

Anda mungkin juga menyukai