Dosen Pembimbing :
Di Susun Oleh :
Kelompok 2
Moh.Fauzan (19.156.01.11.057)
2B KEPERAWATAN
2020/2021
Jalan. Cut Mutia No.88A, Sepanjang Jaya, Kec. Rawalumbu, Kota Bekasi
Puji Syukur Kami Panjatkan atas kehadrat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, karena
atas berkat dan rahmatnya lah, kami mampu menyelesaikan tugas makalah ini dengan sebaik
baiknya. Tidak lupa kami mengucapkan rasa terimakasih kami kepada dosen mata kuliah Ibu
Arabta M. M.Kep yang telah memberikan tugas Membuat makalah tentang Farmakologi
dan Terapi Diit pada Gangguan Pernafasan Matakuliah Keperawatan Medikal Bedah ini
kepada kami. Akhirnya tugas makalah ini bisa selesai tepat pada waktunya. Oleh karena itu
untuk menunjang kemajuan makalah yang kami buat, kami sangat membutuhkan saran dan
kritik untuk kemajuan makalah kami selanjutnya.
Penulis
i
Daftar Isi
Kata Pengantar...........................................................................................................i
Daftar Isi.....................................................................................................................ii
Bab I Pendahuluan.....................................................................................................2
3.1 Kesimpulan....................................................................................................16
3.2 Saran..............................................................................................................16
Daftar Pustaka...........................................................................................................18
ii
Bab I
Pendahuluan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Volatile anesthetic diberikan untuk menimbulkan terjadinya amnesia dan respons tumpul
terhadap stimulasi bedah namun dapat digunakan pada pasien yang memiliki penyakit jalan
napas obstruktif atau mengalami bronkokonstriksi di ruang operasi. Beberapa laporan kasus
memberikan contoh bagaimana Volatile anesthetic digunakan semata-mata untuk pengobatan
status asthmaticus. Perhatian utama penggunaan Volatile anesthetic adalah terjadinya hipertermia
ganas, mesipun kasus ini cukup jarang terjadi. Hipotensi juga bisa menjadi perhatian dalam
penggunaan Volatile anesthetic; Namun, tekanan darah biasanya mudah dipulihkan dengan
sejumlah kecil vasopresor. Tingkat anestesi yang dalam terkait dengan konsentrasi tinggi
penggunaan Volatile anesthetic mungkin tidak diinginkan, dan pemberian lama di luar ruang
operasi masih diragukan.
Anestesi IV dapat menurunkan tonus bronkomotor bila digunakan untuk induksi atau
penggunaan anestesi IV di ruang operasi. Ketamin, propofol, dan midazolam (lihat Tabel 25-3)
memiliki efek relaksasi pada otot polos saluran napas. Etomidate dan thiobarbiturates tidak
mempengaruhi tonus bronkomotor pada tingkat yang sama. Pemilihan anestesi IV untuk induksi
dan perawatan anestesi cukup penting untuk pasien dengan penyakit saluran napas reaktif.
Mekanisme penurunan tonus bronkomotor untuk anestesi IV sebagian besar belum diketahui.
Ketamin diperkirakan memiliki efek relaksasi langsung pada otot polos. Propofol diperkirakan
dapat mengurangi tonus vagal dan memiliki efek langsung pada reseptor muskarinik dengan
mengganggu pemberian sinyal seluler dan menghambat mobilisasi kalsium. Preservative
metabisulfite pada propofol mencegah penghambatan dari vagalmediated bronchoconstriction.
3
Memilih obat seperti propofol atau ketamine dapat bermanfaat pada pasien dengan
bronkospasme atau penyakit jalan napas obstruktif. Penggunaan obat IV untuk induksi atau
pemeliharaan penggunaan obat anestesi lain dapat berguna untuk meminimalkan efek
intraoperatif bronkospasme. Meskipun masing-masing anestesi IV membawa profil efek samping
yang unik, efek utamanya tidak terkait dengan jalan nafas. Penggunaan ketamin dikaitkan
dengan peningkatan air liur sedangkan pemberian coadministration dosis kecil antikolinergik
dapat mengurangi produksi sekresi. Propofol dikaitkan dengan hipotensi yang biasanya mudah
dikoreksi dengan vasopressor.
Anestesi lokal terutama digunakan untuk menekan batuk dan menumpulkan respons
hemodinamik terhadap intubasi trakea. Meskipun percobaan pada hewan telah menunjukkan
kemampuan anestesi lokal untuk melemaskan otot polos bronkus, dalam praktik klinis
penggunaan anestesi lokal sebagai bronkodilator murni dibatasi oleh karena toksisitas dan
ketersediaan bronkodilator yang lebih potensial seperti agonis b-adrenergik jangka pendek.
pada Saluran Pernapasan Helium (diberikan sebagai campuran helium dan oksigen
[heliox]) memiliki keuntungan dengan rendahnya Reynolds'number dan rendahnya resistensi
selama turbulens aliran napas terutama di saluran napas besar (lihat Bab 24). Percobaan pada
pasien dengan eksaserbasi PPOK gagal menunjukkan penurunan signifikan secara statistik pada
kebutuhan intubasi endotrakeal pada pasien yang diobati dengan ventilasi non-invasif dan
campuran helium-oksigen. Campuran Helium-oksigen dapat berguna sebagai terapi temporal
jangka pendek untuk mengurangi usaha bernapas pada pasien dengan obstruksi jalan nafas
bagian atas. Penggunaan campuran helium-oksigen dibatasi oleh penurunan progresif efikasi
pada konsentrasi oksigen terinspirasi yang lebih tinggi.
Antihistamin: Pelepasan histamin dari sel mast dan basofil bertanggung jawab atas
peradangan saluran napas dan bronkokonstriksi pada asma. Antihistamin bukanlah terapi standar
untuk asma, namun penggunaan antihistamin dan Leukotriene modifiers untuk bronkokonstriksi
akibat alergen telah menunjukkan penurunan respon dini dan respon onsen lambat terhadap
alergen. Pasien yang menderita asma akibat alergi atau pasien yang mengalami reaksi alergi di
ruang operasi akan mendapat manfaat dari pemberian antihistamin untuk mengurangi peran
histamin dalam bronkokonstriksi.
Magnesium sulfat bukanlah terapi standar untuk eksaserbasi asma. Magnesium sulfat
diperkirakan menghasilkan efek bronkodilatasi tambahan bila diberikan bersamaan dengan terapi
4
standar untuk eksaserbasi asma. Saat ini, terapi magnesium IV dicadangkan sebagai terapi
alternatif bila pasien tidak merespon terapi standar. Kombinasi nebulized magnesium sulfate dan
agonis b-adrenergik juga telah dipelajari dan menunjukkan manfaat potensial pada eksaserbasi
asma. Secara keseluruhan, magnesium sulfat , IV atau nebulasi, bukanlah terapi lini pertama
untuk eksaserbasi asma namun harus dipersiapkan untuk situasi saat pasien tidak merespon terapi
konvensional.
Pasien dengan hipertensi paru (PHTN) merupakan kandidat berisiko tinggi untuk operasi
jantung dan nonjantung. Mereka memiliki cadangan kardiorespirasi yang buruk dan berisiko
memiliki komplikasi-komplikasi perioperatif seperti krisis hipertensi paru dengan resultan gagal
jantung, kegagalan pernapasan, dan disritmia.82,83 Manajemen anestesi dari pasien-pasien ini
bisa rumit dan menantang. Obat-obatan yang mempengaruhi dasar vaskular paru secara rutin
diberikan selama anestesia, dan efeknya mendapat perhatian khusus pada pasien dengan PHTN.
Pengurangan konsekuensi dari kenaikan resistansi vaskular paru dan disfungsi ventrikel kanan
yang diakibatkan harus dipertimbangkan sebagai tujuan utama dari terapi dengan vasolidator
paru. Karena sifat kontraktil dari ventrikel kanan naif, upaya untuk memperbaiki
kontraktilitasnya secara umum tidak efektif. Oleh karena itu, prinsip manajemen pusat PHTN
adalah mengurangi beban akhir ventrikel kanan sambil mempertahankan perfusi koroner dengan
cara menghindari penurunan tekanan darah sistemik.
Mengevaluasi dampak dari obat-obatan anestesi terhadap pembuluh darah paru adalah hal
yang sulit. Dalam praktik klinis dan penelitian, obat-obatan ini jarang diberikan dalam isolasi.
Pemberiannya bisa menyebabkan perubahanperubahan yang bersamaan dalam parameter-
parameter hemodinamik nonparu seperti caridiac output (CO) yang pada akhirnya
mempengaruhi tekanan arteri paru (PAP). Suatu kenaikan PAP mungkin adalah hasil dari
meningkatnya resistansi vaskular paru (PVR), kenaikan CO, atau kenaikan tekanan atrium kiri
(LAP) (PAP = [PVR X CO] + LAP). Selain itu, anestesia umum melibatkan manipulasi variabel-
variabel yang mempengaruhi PVR, seperti fraksi oksigen terinspirasi (FiO2), karbon dioksida
(CO2), dan ventilasi tekanan positif (PPV).
Ketamin
Secara historis, ketamin menduduki posisi kontroversial dalam anestesia pasien dengan
PHTN. Terlepas dari penggunaannya yang saat ini sudah menyebar luas pada pasien PHTN,
ketamin diduga menyebabkan vasokonstriksi paru dan harus digunakan dengan sangat hati-hati
oleh kelompok pasien ini. Mekanisme dari aksi ketamin masih belum sepenuhnya dijelaskan.
Ketamin merupakan antagonis reseptor N-methyl-d-aspartic acid (NMDA) dan juga berikatan
dengan reseptor-reseptor opioid dan reseptor-reseptor muskarnik.85 Ketamin tampak
menstimulasi pelepasan serta menghambat penyerapan katekolamine neuronal yang mungkin
5
menjelaskan efek-efek kardiostimulatori dan bronkodilatori yang dimilikinya. Beberapa
penelitian hewan telah menunjukkan respon vasodilatasi endotel independen terhadap ketamin
pada dasar paru.
Efek-efek ketamin terhadap pembuluh darah paru manusia tampak rumit dan pustaka
klinis mengungkapkan sebuah heterogenitas yang luas berkenaan dengan hasil. Faktor-faktor
yang diketahui mempengaruhi vasoreaktivitas seperti FiO2, CO2, keberadaan PHTN, dan
keberadaan premedicant (obat yang diberikan sebelum pengobatan) tidak dilaporkan atau diakui
dalam banyak penelitian. Efekefek hemodinamik dari bolus ketamin bisa dilemahkan (dikurangi)
atau dihilangkan dengan premedicant seperti droperidol, dexmedetomidin, atau benzodiazepin.86
Penelitian awal mengenai profil hemodinamik obat pada pasien dewasa menunjukkan kenaikan
PAP dan PVR dengan rentang 40% hingga 50%. Hal ini dikombinasikan dengan peningktan
variabel-variabel yang berkontribusi terhadap konsumsi oksigen miokardial, yang menimbulkan
kekhawatiran mengenai penggunaan ketamin pada psien yang menderita penyakit arteri koroner
(CAD) dan PHTN. Baru-baru ini dalam pustaka pediatrik, William dkk.87 menunjukkan tidak
adanya perubahan PVR atau rata-rata tekanan arteri paru (mPAP) setelah pemberian ketamin
pada anak-anak yang bernapas spontan yang menderita PHTN dan menjalani kateterisasi
jantung. Dalam penelitian pediatrk lainnya, ketamin mempertahankan aliran darah sistemik paru-
paru dan tidak mempengaruhi tekanan paru atau resistansi pada anak-anak dengan shunt
intrakardiak yang sedang menjalani keteterisasi jantung. Propofol, di sisi lain, menurunkan
resistansi vaskular sistemik (SVR) yang menyebabkan peningkatan shunting kanan hingga
kiri.88 Pada pasien dewasa yang sedang menjalani ventilasi satu paru (OLV) untuk reseksi paru,
ketamin tidak secara signifikan meningkatkan PAP atau PVR bila dibandingkan dengan enfluran.
Laporan kasus lainnya menekankan nilai dari kardiostabilitas relatif obat pada pasien dengan
cadangan kardiorespiratori yang minimal.89,90 Ada banyak dari para dokter yang
menggabungkan obat ini ke dalam induksi rutin mereka untuk pasien dengan PHTN parah
(seperti endarterektomi paru atau transplantasi paru). Keunggulannya, terutama dalam menjaga
hemodinamika dan tekanan perfusi koroner yang stabil, tampak lebih besar dari kerugian yang
dimilikinya.
Propofol
Propofol biasa digunakan pada anestesia, termasuk untuk pasien PTN. Propofol serinf
digunakan untuk menjaga anestesia selama dan setelah transplantasi paru. Efek dari propofol
diduga sebagian besar dimediasi oleh reseptor-reseptor asam γ-aminobutirat (GABA). Efek
hemodinamik propofol yang menjadi perhatian dalam konteks PHTN adalah sebuah penurunan
SVR, yang tidak hanya bisa memiliki dampak terhadap shunt intrakardiak, jika muncul, tetapi
juga bisa menyebabkan penurunan perfusi arteri koroner ventrikel kanan dan disfungsi resultan
ventrikel kanan. Berkenaan dengan dampak langsung terhadap pembuluh darah paru, penelitian-
penelitian pada hewan telah menunjukkan bahwa selama kenaikan kondisi-kondisi tonus dalam
pembuluh darah paru, propofol mungkin bertindak sebagai vasokonstriktor paru.91 Propofol juga
terbukti mengganggu vasolidasi paru yang diinduksi asetilkolin pada anjing.92 Di lain pihak,
6
pada arteri-arteri paru yang diisolasi dari manusia dan dari ikus yang mengalami hipoksia kronis,
etomidat dan pada tingkat yang lebih rendah propofol menunjukkan relaksasi pembuluh darah.93
Signifikansi klinis dari hasil-hasil yang kontradiktif ini masih belum diketahui.
Etomidat
Etomidat adalah suatu imidazol yang memediasi aksi klinisnya terutama pada reseptor-
reseptor GABA A. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, etomidat tampak memiliki sifat-
sifat vasorelaksan pada arteri paru yang diisolasi. Sifat utamanya sebagai senyawa penginduksi
adalah profil hemodinamik stabilnya. Pada pasien dengan penyakit jantung, satu dosis induksi
etomidat akan meningkatkan rata-rata tekanan arteri (MAP, menurunkan SVR, dan menurunkan
PAP.94 Pada pasien pediatrik tanpa PHTN yang datang untuk kateterisasi jantung, tidak terdapat
perubahan yang signifikan dalam parameter-parameter hemodinamik apapun setelah induksi
dengan etomidat.
Opioid
Opoid tampak memiliki sedikit hingga tidak memiliki efek buruk terhadap sistem
vaskular paru. Pada kucing yang dianestesi, pemberian morfin, fentanil, remifentanil, dan
sufentanil menyebabkan suatu respon vasodilatasi dalam kondisi kenaikan tonus di arteri lobus
terisolasi.96 Mekanismenya tampak melibatkan jalur-jalur resptor yang dimediasi histamin dan
opioid. Pengalaman klinis akan menguatkan kardiostabilitas dari pemberian narkotika yang tepat
pada pasienpasien yang secara hemodinamis rapuh.
Anestesi Volatil
Pada konsentrasi yang relevan secara klinis, anestesi volatil modern cenderung memiliki
sedikit hingga tidak memiliki efek vasodilatasi terhadap pembuluh darah paru. Pada babi,
pemberian sevoflurane menekan fungsi ventrikel kanan tanpa perubahan PVR.97 Hal ini
mencerminkan bahwa penurunan PAP menyebabkan penurunan CO yang terlihat dengan
penggunaan senyawa ini. Nitrogen oksida biasanya dihindari pada pasien PHTN karena diyakini
menyebabkan vasokonstriksi, barangkali melalui pelepasan katekolamin dari saraf-saraf
simpatetik yang mensuplai pembuluh darah paru. Pada pasien dengan stenosis mitral dan PHTN
yang datang untuk operasi jantung, pemberian nitrogen oksida setelah anestesia fentanil (7,5
hingga 10 mg/kg) akan menaikkan PVR, PAP, dan indeks jantung (CI).98 Meskipun demikian,
sebuah penelitian lanjutan menunjukkan bahwa dengan adanya fentanil dosis tinggi (50 hingga
75 mg/kg), 70% nitrogen oksida sebenarnya dikaitkan dengan penurunan PAP dan CO pada
pasien dengan PHTN sekunder, tanpa perubahan-perubahan ekokardiografi dalam fungsi
ventrikel kanan.
Pemblok Neuromuskular
7
Pankuronium meningkatkan PAP pada anjing yang mengalami cedera paru.100
Pankuronium dikatakan melakukan hal tersebut secara tidak langsung dengan meningkatkan CO
dan secara langsung dengan meningkatkan PVR, mungkin melalui aksi antagonisnya pada
reseptor-reseptor muskarinik di pembuluh darah paru. Rokuronium, cisatracurium, dan
vekuronium memiliki sedikit hingga tidak memiliki dampak terhadap sebagian besar indeks
jantung pada pasien yang menjalani pencangkokan bypass arteri koroner (CAG).
Magnesium
Magnesium adalah suatu vasodilator pada sirkulasi sistemik dan paru. Mekanisme dari
aksi dampak magnesium terhadap vasodilatasi kemungkinan adalah melalui dampaknya terhadap
saluran-saluran membran yang terlibat dalam fluks kalsium dan melalui aksinya dalam sintesis
cAMP. Magnesium tampaknya merupakan kofaktor yang penting bagi vasodilatasi paru
dependen. Magnesium secara sukses digunakan untuk penghentian NO pada PHTN.102
Meningkatkan dosis magnesium pada anak babi yang mengalami PHTN embolik akut akan
menurunkan mPAP, meningkatkan CO, dan menurunkan PVR.103 Magnesium telah digunakan
untuk mengobati PHTN pesisten pada bayi, namun penggunaannya masih menjadi kontroversi.
Analgesia Rergional
Rasa sakit bisa meningkatkan PVR.104 Analgesia epidural toraks perioperatif (TEA)
biasanya digunakan pada operasi abdominal dan toraks. TEA bisa menurunkan PAP melalui
penurunan CO atau melalui atenuasi aliran keluar simpatetik paru. Pada babi, TEA menekan
fungsi ventrikel kanan pada PHTN akut.105 Pemblokiran paravertebral toraks unilateral dengan
lidokain telah terbukti mengurangi kontraktilitas miokardial hingga 30% dan secara signifikan
menurunkan tekanan sistemik; sebuah dampak yang mungkin dikurangi dengan penggunaan
epinefrin. Secara umum, potensi manfaat anestesia regional pada operasi thoracoabdominal
biasanya lebih besar dari risiko hipotensi dan disfungsi ventrikel kanan yang ada. Sebagaimana
pada sebagian besar intervensi-intervensi anestetik pasien PHTN, titrasi dan pemantauan yang
hati-hati sangatlah penting. Beberapa laporan menggambarkan keberhasilan penggunaan
analgesia epidural pada populasi pasien ini.
Vasopressor dan inotropik biasanya diperlukan selama anestesia untuk melawan efek
obat-obatan kardiodepresan dan vasodilatasi. Pengobatan hipotensi pada pasien-pasien ini bisa
menjadi rumit untuk ditangani mengingat cairan berbahaya yang diberikan pada sebagian besar
populasi pasien. Inervasi dan konten reseptor dari pembuluh darah paru adalah kompleks.
Reseptor-reseptor neurotransmiter dalam sistem ini meliputi keluarga dari adrenergik, kolinergik,
dan dopaminergik serta histamin, serotonin, adenosin, purin, dan peptida. Respon pembuluh
darah paru terhadap aktivasi simpatetik secara umum akan menyebabkan kenaikan PVR. Pada
arteri paru manusia, pemberian asetilkolin menginduksi relaksasi paru.107 Respon dari sistem
paru terhadap pemberian vasopressor eksogenus adalah bergantung pada situasi klinis.
8
Sebagai akibatnya, hasil-hasil penelitian menjadi heterogen. Pada anjing yang dianestesi
tanpa PHTN, dopamin, epinefrin, norepinefrin, dan fenilefrin, semuanya meningkatkan PAP
dengan berbagai derajat dan beragam mekanisme namun tanpa obat terdapat sebuah kenaikan
PVR yang signifikan.108 Dopamin tidak meningkatkan PVR setelah transplantasi paru pada
babi.109 Pada pasien PHTN sekunder kronis yang dianestesi yang menjalani operasi jantung,
norepinefrin dan fenilefrin meningkatkan PAP dan PVRI dengan perubahan CI yang minim.110
Dalam target MAP yang relevan secara klinis pada penelitian ini, norepinefrin menurunkan rasio
mPAP terhadap MAP, namun fenilefrin tidak, yang menunjukkan bahwa norepinefrin mungkin
merupakan pilihan yang lebih baik pada pasien kohort ini. Meskipun demikian, pada model
anjing yang mengalami PHTN akut, fenilefrin memulihkan perfusi ke ventrikel kanan iskemik
sehingga meningkatkan CO.111 Ini adalah sebuah observasi yang relevan, karena
menggambarkan pentingnya perfusi arteri koroner dalam kondisi tegangan ventrikel kanan dan
bahwa pemeliharaan tekanan sistemik dengan metode apapun mungkin merupakan prinsip yang
paling penting dalam subset pasien ini.
Vasopressin juga telah dipelajari. Pada model tikus dengan hipoksik kronis, pemberian
vasopressin menyebabkan vasodilatasi paru yang dimediasi reseptor V1.112 Pada model anjing
yang mengalami PHTN akut, vasopressin meningkatkan PVR dan menyebabkan kenaikan
kontraktilitas ventrikel kanan yang substansial.113 Penelitian-penelitian pada manusia mengenai
dampak vasopressin terhadap pembuluh darah paru masih terbatas. Vasopressin telah digunakan
secara sukses setelah operasi jantung pada pasien yang menderita PHTN dan hipotensi
resisten.114 Penggunaan vasopressin untuk mengobati kegagalan ventrikel kanan akut pada
pasien IPPH telah digambarkan pada anestesia obstetrik.
Vasodilator Paru
Vasodilator paru biasanya digunakan untuk memperbaiki fungsi ventrikel kanan pada
pasien PHTN atau dalam upaya memperbesar aliran darah paru regional dan memperbaiki shunt
intrapulmonari. Meskipun demikian, pada kondisi perawatan akut, efek-efek dari vasodilatasi
paru inilah yang sedang dieksploitasi. Secara umum, vasodilator parenteral dan oral dihambat
oleh aksinya yang cenderung tidak selektif pada dasar vaskular paru. Selain dari efek-efek
hemodinamik sistemik hipotensif, penggunaan keduanya bisa juga menyebabkan perfusi alveoli
yang diventilasi, shunt intrapulmonari yang memburuk dan, pada akhirnya, memperburuk
oksigenasi. Vasodilator paru yang ideal harus memiliki sebuah onset aksi yang cepat, half-life
yang pendek, dan menghasilkan vasodilatasi paru regional. Hal ini akan mencegah hipotensi
sistemik dan potensi dampak merugikan terhadap pencocokkan perfusi ventilasi yang membatasi
penggunaan senyawa-senyawa sistemik pada pasien yang sakit kritis. Berkenaan dengan hal ini,
vasodilator inhalasi adalah hal yang emnarik karena secara khusus melebarkan alveoli yang
diventilasi dan memiliki efek sistemik yang lebih sedikit.
Oksida Nitrat
9
Oksida nitrat terinhalasi (iNO) akan dihantarkan ke unit paru-paru yang diventilasi yang
ditujukan untuk memperbaiki perfusi ke alveoli yang bisa berpartisipasi dalam pertukaran gas.
“Efek selektif” ini menyebabkan penurunan shunt intrapulmonari. Tingkatan medis NO bisa
diberikan secara noninvasif (melalui masker wajah) atau melalui sebuah sirkuit ventilator. Jika
pemberian melalui sebuah sirkuit, suatu alat yang bisa mengatur konsentrasi CO dan memantau
kadar nitrogen oksida – suatu produk samping dari NO ketika dikombinasikan dengan oksigen.
Inhibitor Fosfodiesterase
Inhibitor fosfodiesterase mencegah degradasi cGMP dan cAMP. cAMP dan cGMP
diaktivasi oleh NO dan merupakan perantara dalam sebuah jalur yang menyebabkan vasodilatasi
melalui aktivasi protein kinase dan penurunan kalsium sitosolik. Milrinone adalah inhibitor
adenosine-3’,5’-cAMP–selective phosphodiesterase enzyme (PDE). Ketika dinebulasi, milrinone
terbukti menyebabkan penurunan relatif PVR dibandingkan dengan SVR.128 Inhalasi milrinone
secara selektif memperbesar pembuluh darah paru tanpa efek-efek sistemik. Ketika milrinone
dikombinasikan dengan prostasiklin inhalasi, metode ini tampak berpotensi dan terdapat
perpanjangan dari efek vasodilatasi paru.129 Karena ekspresi fosfodiesterase 5 (PDE5) yang
relatif lebih tinggi pada sirkulasi paru dibandingkan dengan sirkulasi sistemik, inhibitor-inhibitor
PDE5 memiliki efek selektif relatf terhadap PVR dibandingkan dengan SVR.
Selain dari efek-efek vasodilator paru yang relatif selektif, efek-efek dari inhibitor PDE5
terhadap proliferasi otot halus dan apoptosis selular mungkin bertanggung jawab atas manfaat
dari senyawa ini ketika diberikan kepada pasien hipertensi arteri paru idiopatik (PAH) kronis.
Sebuah dampak langsung terhadap ventrikel kanan telah disebutkan: meskipun demikian,
relevansi klinis dari temuan ini masih belum pasti. Meskipun manfaat dari sildenafil dan tadalafil
oral pada PAH kronis telah dievaluasi dalam uji terkontrol yang prospektif, sebagian besar dari
penerapan akut untuk senyawa-senyawa ini telah digambarkan dalam laporan-laporan kasus atau
penelitian kohort kecil dan belum disetujui untuk indikasi ini. Pada kondisi akut, sildenafil telah
didemonstrasikan meningkatkan efek-efek dari NO inhalasi dan mungkin juga berguna untuk
mengurangi pantulan tekanan paru yang terjadi selama penghentian NO inhalasi.130 Manfaat
dari sildenafil dalam embolisme paru akut, transplantasi jantung, dan pasien PHTN yang
dipertimbangkan untuk tromboendarterektomi paru juga telah dijelaskan.
o Obat Asma
o Antihistaminika.
Semua antihistamin memberikan manfaat potensial pada terapi alergi nasal, rhinitis alergik.
Sifat antikolinergik pada kebanyakan antihistamiin menyebabkan mulut kering dan pengurangan
10
sekresi, membuat zat ini berguna untuk mengobati rhinitis yang ditimbulkan oleh flu.
Antihistamin juga mengurangi rasa gatal pada hidung yang menyebabkan penderita bersin
banyak obat-obat flu yang dapat dibeli bebas mengandung antihistamin, yang dapat
menimbulkan rasa mengantuk.
· Difenhidramin
· ( Benadryl )
· Kloerfenilamen maleat
· Fenotiasin
· (aksi antihistamin)
· Prometazine
· Timeprazine
· Turunan piperazine
· (aksi antihistamin)
· Hydroxyzin
o Kortikosteroid
11
Bronkodilator mendilatasi bronchus dan bronchiolus yang meningkatkan aliran udara.
Bronkodilator dapat berupa zat endogen atau berupa obat-obatan yang digunakan untuk
mengatasi kesulitan bernafas.
o adrenergik
zat-zat ini bekerja lebih kurang selektif terhadap reseptor b2 adrenergis dan praktis tidak
terhadap reseptor- b1 (stimulasi jantung). Obat dengan efek terhadap kedua reseptor sebaiknya
jangan digunakan lagi berhubung efeknya terhadap jantung, seperti efedrin, inprenalin,
orsiprenalin dan heksoprenalin. Pengecualian adalah adrenalin (reseptor dan b) yang sangat
efektif pada keadaan kemelut.
Fenoterol (berotec)
o Antikolinergik
Di dalam sel-sel otot polos terdapat keseimbangan antara sistem adrenergis dan sistem
kolinergis. Bila karena sesuatu sebab reseptor b2 dari sistem adrenergis terhambat, maka sistem
kolinergis akan berkuasa dengan akibat bronchokonstriksi. Antikolimengika memblok reseptor
muskarin dari saraf-saraf kolinergis di otot polos bronchi, hingga aktivitas saraf adrenergis
menjadi dominan dengan efek bronchodilatasi.
Penggunaan terutama untuk terapi pemeliharaan HRB, tetapi juga berguna untuk meniadakan
serangan asma akut (melalui inhalasi dengan efek pesat).
Efek samping yang tidak dikehendaki adalah sifatnya yang mengentalkan dahak dan tachycardia,
yang tidak jarang mengganggu terapi. Yang terkenal pula adalah efek atropin, seperti mulut
kering, obstipasi, sukar berkemih, dan penglihatan buram akibat gangguan akomodasi.
Penggunaanya sebagai inhalasi meringankan efek samping ini (3,4).
12
Contoh obat antikolinergik yang sering digunakan sebagai bronchodilator :
Ipratropium : Atrovent
o Xanthin
o Ekspektoran
Ekspektoran adalah obat yang dapat merangsang pengeluaran dahak dari saluran pernafasan.
Ekspektoran bekerja dengan cara merangsang selaput lendir lambung dan selanjutnya secara
refleks memicu pengeluaran lendir saluran nafas sehingga menurunkan tingkat kekentalan dan
mempermudah pengeluaran dahak. Obat ini juga merangsang terjadinya batuk supaya terjadi
pengeluaran dahak.
Yang termasuk ke dalam golongan obat ini adalah Glyceril Guaiacolate, Ammonium Klorida,
Succus liquiritae dan lain-lain.
Obat-obat batuk
Antitussiva (L . tussis = batuk) digunakan untuk pengobatan batuk sebagai gejala dan dapat di
bagi dalam sejumlah kelompok dengan mekanisme kerja yang sangat beraneka ragam, yaitu :
Zat pelunak batuk (emolliensia, L . mollis = lunak ), yang memperlunak rangsangan batuk,
melumas tenggorokan agar tidak kering, dan melunakkan mukosa yang teriritasi. Banyak
digunakan syrup (thyme dan althea), zat-zat lender (infus carrageen)
Ekspektoransia (L . ex = keluar, pectus = dada) : minyak terbang, gualakol, radix ipeca (dalam
tablet / pelvis doveri) dan ammonium klorida (dalam obat batuk hitam) zat-zat ini
13
memperbanyak produksi dahak ( yang encer). Sehingga mempermudah pengeluarannya dengan
batuk.
Mukolotika : asetilsistein, mesna, bromheksin, dan ambroksol, zat-zat ini berdaya merombak dan
melarutkan dahak ( L . mucus = lender, lysis = melarutkan), sehingga viskositasnya dikunrangi
dan pengeluarannya dipermudah.
Zat pereda : kodein, naskapin, dekstometorfan, dan pentoksiverin (tucklase), obat-obat dengan
kerja sentral ini ampuh sekali pada batuk kering yang mengelitik.
Anastetika local : pentoksiverin. Obat ini menghambat penerusan rangsangan batuk ke pusat
batuk.
Menekan rangsangan batuk di pusat batuk (modula), dan mungkin juga bekerja terhadap pusat
saraf lebih tinggi (di otak) dengan efek menenangkan.
Zat-zat perifer di luar SSP , jadi di periferi dan dapat dibagi pula dalam beberapa kelompok yang
sudah disebutkan di atas, yakni:emolliensia, ekspektoransia, dan mukolitika, anestika lokal dan
zat-zat pereda.
• Ekspektoransia : Amonium klorida, guaiakol, ipeca dan minyak terbang
• Mukolitika : asetilkarbosistein, mesna, bromheksin, ambroksol
• Zat-zat pereda : oksolamin, dan tipepidin (Asvex).
Penatalaksanaan gizi pada penyakit sistem respirasi Beberapa penyakit respirasi yang
perlu memperhatikan aspek gizi antara lain bronkitis, pneumonia, bronkopneumonia,
tuberkulosis, tuberkulosis dengan HIV, dan penyakit paru obstruksi kronis. Penatalaksanaan gizi
pada penyakit respirasi memerlukan penilaian status gizi secara individu berkaitan dengan
riwayat makan, gejala klinis yang mempengaruhi asupan makan, pola makan, status
gastrointestinal, obat-obatan yang dikonsumsi. Untuk menilai status pulmonal, para klinisi
menggunakan berbagai hasil diagnostik dan monitoring (prosedur radiologi, analisa gas darah,
14
kultur sputum dan biopsi). Pemeriksaan yang penting juga termasuk tes fungsi pulmonal yang
digunakan untuk menilai kemampuan sistem respirasi untuk menukar oksien dan
karbondioksida. Penilaian sistem kardiovaskuler, ginjal, neurologi dan hematologi juga penting
karena penyakit sistem-sistem tersebut menyebabkan komplikasi yang berkaitan dengan anatomi,
fisiologi dan kimiawi paru. Gejala-gejala yang berkaitan dengan nutrisi termasuk, batuk, rasa
cepat kenyang, anoreksia, penurunan berat badan, dispnea dan fatigue. Seiring dengan
perkembangan penyakitnya, kondisi lain yang terkait juga bisa mengganggu asupan makan atau
status gizi, terutama produksi sputum yang berlebihan, muntah, takipnea, hemoptisis, nyeri dada,
polip nasal, anemia, depresi dan gangguan pengecapan akibat pengobatan. Prinsip dukungan
nutrisi pada pasien dengan penyakit respirasi antara lain melakukan penilaian status gizi,
menghitung kebutuhan energi yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan 4 4 pasien (tidak
overfeed ataupun underfeed), pemberian protein yang adekuat, kebutuhan cairan yang sesuai,
kebutuhan akan fosfat terpenuhi, pemberian formula tinggi lemak, rendah karbohidrat pada
hiperkapnia persisten.
a. Makronutrien
Pemberian makronutrien memperhatikan keadaan hiperkapnia pada pasien. Pemberian energi
yang berlebihan pada pasien dengan penyakit pernapasan dapat meningkatkan metabolik rate
sehingga meningkatkan pula konsumsi oksigen dan karbondioksida. Sintesis lemak dari asupan
karbohidrat yang berlebihan juga dikaitkan dengan produksi karbondioksida yang berlebih. Pada
pasien dengan cadangan paru yang terbatas, hal ini akan mempercepat kegagalan respirasi akibat
retensi karbondioksida. Oksidasi dari karbohidrat, lemak dan protein untuk memenuhi kebutuhan
oksigen dan menghasilkan karbondioksida dan air ada dalam proporsi yang unik untuk
masingmasing substrat. Rasio antara karbondioksida yang dihasilkan dan oksigen oksigen yang
digunakan yaitu Respiratory Quotient (RQ). RQ berguna karena volume karbondioksida yang
diproduksi dan oksigen yang dikonsumsi tergantung pada sumber energi yang dimetabolisme
(lemak, karbohidrat atau protein. Hal ini penting dalam penentuan regimen nutrisi pada pasien
sesak karena penyakit paru kronik atau pasien yang membutuhkan ventilator. Pola asupan
makronutrien dapat secara langsung mempengaruhi pertukaran gas secara adekuat akibat
produksi CO2. Setiap molekul karbohidrat yang dimakan akan memproduksi satu molekul
CO2,sehingga respiratory quotient untuk karbohidrat adalah 1. Respiratory quotient untuk
protein adalah 0,8 dan untuk lemak adalah 0,7. Pada pasien dengan hiperkapnia diberikan
komposisi karbohidrat 25-30% dan lemak 50-55%, sedangkan pada pasien tanpa hiperkapnia
diberikan komposisi karbohidrat 50-60%, lemak 20- 30%, dan protein 15-20%. Pemberian
mikronutrien yang terkait dengan fungsi otot pernapasan seperti fosfor harus diperhatikan karena
akan mengakibatkan gangguan kontraktilitas otot diafragma.
Pada penyakit paru obstruksi kronis pemberian manajemen gizi harus memperhatikan
usia pasien, kemampuan menyiapkan makanan, status gizi, dan keadaan hiperkapnia. Pemberian
15
small feeding dan high dense oral nutritional supplement perlu diperhatikan. 5 5 Penyakit
tuberkulosis baik dengan komplikasi maupun tanpa komplikasi memerlukan perhatian khusus
pada pemberian energi yang ditingkatkan untuk melawan infeksi dan menaikkan status gizi.
Pemberian polifarmaka pada pasien dengan tuberkulosis juga mempengaruhi interaksi obat-
makanan. Beberapa obat tuberkulosis menurunkan absorpsi vitamin sehingga diperlukan
pemberian suplementasi.
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
a) Antihistamin
b) Bronchodilator
· Adrenergika
· Antikoliergika
· Derivat xantin
c) Kortikosteroida
d) Ekspektoransi
1. Emolliensia,
2. Ekspektoransia
3. Mukolotika
16
4. Zat pereda
5. Antihistaminika
6. Anastetika local
3.2 SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, kritik dan saran yang
bersifat membangun dari pembaca sekalian sangat penulis harapkan guna kesempurnaan
makalah ini di masa mendatang.
17
Daftar Pustaka
http://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/10/bahan-ajar-gizi-respirasi.pdf
erepo.unud.ac.id/id/eprint/1
18