JUDUL ESAI: PENOKOHAN Basyir DALAM NOVEL PULANG KARYA TERE LIYE
DRAFT ESAI
Basyir, Tokoh Dengan Luka yang Tak Lekas Kering dalam Novel Pulang Karya Tere Liye
“Setiap orang punya ceritanya masing-masing.”
Pertama, selama tinggal bersama para anggota Keluarga Tong, Basyir selalu dijadikan
bahan tawa. Sejak kecil, Basyir sangat mengidolakan sosok kesatria penunggang kuda asal
suku Bedouin sampai-sampai dinding kamarnya pun dipenuhi oleh poster sosok tersebut.
Setiap kali membahas tentang sang idola, Basyir akan terkesan seperti anak terbahagia
sedunia — gembira dan penuh semangat. Namun sangking seringnya memamerkan si kesatria
penunggang kuda, para anggota Keluarga Tong pun mulai menjadikannya sebuah lelucon untuk
menggoda Basyir. Hal ini dapat dilihat dari kupitan “Pemuda di seberang meja menepuk
dahinya, “Sudah berapa kali kau membahas tentang Qaddafi di meja ini? Seperti dia adalah
kerabat dekat kau saja. Pusing kepala kami setiap kali kau bicara tentang idolamu itu.” Meja
kembali ramai oleh tawa. Kali ini wajah Basyir memerah. Dia melotot, tapi akhirnya memutuskan
diam dan mulai menyendok makanan.” (Liye, 2016: 42-43). Meski berkepribadian cerah dan
aktif, Basyir juga memiliki sisi emosional dan serius layaknya manusia pada umumnya. Hanya
karena sisi jenakanya yang menonjol, bukan berarti bahwa Basyir selalu ingin mengundang
tawa. Terkadang ia hanya bermaksud untuk berbicara tentang sumber motivasinya, yakni sang
idola, dan didengar oleh orang lain tanpa ditertawai maupun diganggu. Sayangnya, para
anggota Keluarga Tong masih kurang peka dengan keinginan Basyir sehingga ia pun merasa
kurang dihargai dan diberi dukungan secara emosional.
Kedua, Basyir harus tinggal bersama Tauke Besar, dalang dibalik serangan yang
menewaskan kedua orangtuanya. “Malam itu, puluhan tukang pukul Keluarga Tong datang
menyerang membabi-buta, menghancurkan apa pun yang ada di sana. Rumah keluargaku
terbakar, ayah dan ibuku mati terpanggang. Mereka tidak berhasil menguasai kawasan itu pada
serangan pertama, mereka dipukul mundur. Tapi akibatnya, orang-orang yang tidak bersalah
yang menjadi korban. Aku menatap sendiri tubuh orang tuaku yang menjadi arang hitam, tidak
sempat melarikan diri dari kebakaran.” (Liye, 2016: 287). Seperti yang dilihat dari kutipan di
atas, Keluarga Tong menyerang kelompok Arab yang berpuluh tahun hidup damai mengurus
pabrik tekstil hanya untuk memuaskan ide gila milik Tauke Besar dalam menguasai Kota
Provinsi. Serangan tersebut banyak memakan korban dan salah satunya adalah orangtua
Basyir. Tidak lama setelah kejadian tersebut, Basyir memang direkrut sebagai bagian dari
Keluarga Tong — keluarga yang besar, berharta dan berkuasa. Akan tetapi hal tersebut
bukanlah apa yang diinginkan oleh Basyir. Dibalik tampangnya yang sangar dan pukulannya
yang mantap, Basyir masihlah anak kecil yang menginginkan dan membutuhkan sosok
orangtuanya. Namun, karena pekerjaannya sebagai seorang tukang pukul dan lingkungannya
yang dipenuhi oleh orang-orang dewasa, Basyir pun terpaksa belagak lebih dewasa dari yang
semestinya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan “Satu-satunya hiburanku adalah membaca buku
hadiah ulang tahun dari Ibu, menangis sambil memeluk buku itu. Setiap malam terkenang saat
kami masih tinggal di rumah yang nyaman…” (Liye, 2016: 288). Kutipan di atas membuktikan
bahwa Basyir masih sering merindukan orang tuanya dan belum bisa memaafkan maupun
melupakan kematian mereka. Rasa benci dan amarah Basyir malah bertambah buruk setelah
media dan pihak kepolisian memutuskan untuk bungkam karena kesepakatan yang mereka
buat dengan keluarga Tong (tidak mengganggu kegiatan ilegal mereka). Ditambah lagi, ia harus
menyaksikan kehidupan Tauke Besar yang bertambah jaya, semakin mewah nan bahagia,
sedangkan ia masih dihantui oleh angan-angan jasad orangtuanya dan menipu dirinya sendiri
untuk tersenyum di depan para anggota lainnya. “Bagaimana aku harus bersabar setelah
seluruh kebahagiaan keluargaku dihancurkan dalam semalam?” (Liye, 2016: 288). Segala
kebencian dan niatan buruk yang Basyir kumpulkan sejak awal itu pun tertumpuk dan
membentuk sebuah dorongan untuk membalas dendam yang semakin besar. Alhasil, Basyir
pun tumbuh menjadi pria yang pendendam dan berambisi.
Ketiga, Basyir sadar bahwa insiden tersebut juga tidak adil bagi orangtuanya sehingga
tujuannya membalas dendam bukan hanya untuk menyuruh Tauke Besar membayar atas
perbuatannya tetapi juga agar orangtuanya dapat memperoleh keadilan. Hal ini dapat dilihat
dari kutipan “Serahkan Tauke kepadaku dan aku akan membawanya ke bekas rumahku dulu,
membakarnya di sana… Membalas kematian ayah dan ibuku yang terbakar hidup-hidup.” (Liye,
2016: 288-289). Basyir ingin agar Tauke melalui tahap kematian yang sama di tempat yang
sama dengan kedua orangtuanya supaya ia dapat merasakan penderitaan yang sama dengan
para korban serangannya. Maka dari itu, bak peribahasa sekali mendayung, dua tiga pulau
terlampaui, Basyir percaya bahwa aksinya tidak hanya membalas dendamnya tetapi juga
dendam orangtuanya.
Basyir mengalami perubahan karakter yang sangat drastis dengan membongkar sisi
aslinya sendiri. Meski berubah menjadi sosok yang kejam dan keras kepala, Basyir memiliki
alasan yang kuat untuk berubah dan “mengkhianati” Keluarga Tong yakni karena kelalaian dan
keserakahan Tauke Besar yang menewaskan kedua orang tuanya sehingga ia menjadi anak
yatim-piatu dalam kurun waktu semalam. Maka dari itu, layaknya karya-karya sastra lainnya
yang menceritakan tentang ‘perjuangan seorang anak untuk mencari keadilan atas kematian
anggota keluarganya’ seperti drama Itaewon Class, He is Psychometric, dan the Uncanny
Counter, Basyir juga berhak untuk membalas dendamnya. Dalam kehidupan nyata, cara balas
dendam Basyir memanglah sadis dan kejam tapi aksi bunuh-membunuh cukup lazim untuk latar
novel tersebut — Keluarga Tong sering membantai orang-orang dan para polisi pun telah
berjanji untuk tidak ikut campur dengan urusan mereka sehingga mencari keadilan secara
hukum bukanlah jawabannya.