Anda di halaman 1dari 10

Jurnal Budaya FIB UB Bahasa dan Gender: Karakteristik Kebahasaan Perempuan Jawa dalam Film ‘Tilik’

Vol. 2 No. 1, Agustus 2021, pp 7-16 https://jurnalbudaya.ub.ac.id

Bahasa dan Gender: Karakteristik Kebahasaan


Perempuan Jawa dalam Film ‘Tilik’
Holifatul Hasanah1, dan Nur Hanifa Wicaksono2
1 Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia
2 Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia

E-mail: holifatul@student.ub.ac.id, nurhanifa@student.ub.ac.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik kebahasaan perempuan Jawa yang digunakan dalam film Tilik,
dan representasi perempuan Jawa yang tercermin dalam tuturan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan
menggunakan pendekatan sosiolinguistik. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tuturan para tokoh perempuan, dan
sumber data penelitian ini yaitu film Tilik. Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak. Metode ini diwujudkan dengan
menggunakan teknik dasar berupa teknik sadap, dan teknik lanjutan berupa teknik simak bebas cakap. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa karakter perempuan menggunakan kriteria kebahasaaan perempuan menurut teori Lakoff. Pada penelitian
ini ditemukan empat karakteristik bahasa perempuan yang paling dominan dalam film Tilik, yaitu: (1) Avoidance of strong
swear words (perempuan cenderung menggunakan interjeksi makian halus); (2) Tag questions (perempuan sering
menggunakan pertanyaan yang direkatkan dalam kalimat, guna mendapat persetujuan atau memastikan sesuatu); (3) Hedges
(perempuan sering menggunakan hedges untuk menunjukkan ketidakyakinan atas apa yang dituturkan); (4) Intensifiers
(perempuan sering menggunakan intensifiers untuk menunjukkan penekanan dalam kata tertentu dalam menegaskan sesuatu
yang dirasa penting). Selain itu, Film Tilik juga merepresentasikan perempuan yang mirip dengan beberapa stereotip mengenai
perempuan yang berkembang di masyarakat tradisional pada umumnya, seperti: perempuan digambarkan senang bergosip,
cerewet, dan inferior.

Kata kunci: bahasa perempuan, gender, film Tilik

sedangkan perempuan dianggap golongan kelas subordinat


1. Pendahuluan atau kelas kedua, tidak pandai, patuh, lemah, cerewet, dan
senang bergosip (Holmes, 2013, hlm. 314).
Pada umumnya, hubungan antara bahasa dan gender
Berdasarkan hal tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa
dilihat dengan menggunakan kacamata teori patriarki, yang
dalam sistem sosial perempuan dianggap memiliki posisi
menggambarkan bahwa sistem sosial laki-laki mempunyai
lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Oleh karena itu,
kekuasaan di atas perempuan. Mengingat bahasa merupakan
sepanjang masyarakat memandang laki-laki dan perempuan
salah satu elemen dalam sistem sosial, maka teori patriarki
memiliki perbedaan dan tidak setara, maka perbedaan dalam
ini menyatakan bahwa bahasa yang terdapat dalam
bahasa laki-laki dan perempuan akan terus ada. Stereotip
masyarakat patriarki juga dikendalikan oleh kaum laki-laki
ketimpangan gender yang sampai saat ini hidup di
(Simpson, 1993, hlm. 161). Dalam penggunaan bahasa,
masyarakat membuat relasi antara bahasa dan gender
kelompok laki-laki dan perempuan dipersepsi menampilkan
menarik untuk dibahas.
cara berbahasa yang berbeda (Lakoff, 2004). Perbedaan
Stereotip gender yang berkembang di masyarakat salah
kebahasaan antara laki-laki dan perempuan dipengaruhi oleh
satunya dipengaruhi oleh media. Film merupakan suatu
faktor sosial-budaya yang menyebabkan laki-laki dianggap
media yang menggambarkan keadaan realitas sosial
lebih unggul daripada perempuan, dalam hal status sosial,
masyarakat yang terjadi saat ini. Sebagai bentuk komunikasi
peran sosial, sistem gender, dan ideologi gender (Rizka,
massa, film mempunyai kekuatan untuk menjangkau
2017, hlm. 138). Laki-laki dipandang memiliki sikap yang
segmen sosial, yang membuat para ahli film berpotensi
pandai, pemberani, dan memiliki kedudukan tinggi,
untuk mempengaruhi khalayak umum.

7 © 2021 Jurnal Budaya FIB UB


Jurnal Budaya, Vol. 2 No. 1, Agustus 2021, pp 7-16 Hasanah & Wicaksono

Hal ini senada dengan yang diungkapkan Michael, dkk. Penelitian mengenai bahasa dan gender sebelumnya
(2012, hlm. 3) bahwa penggambaran tokoh dalam media akan pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Salah satu
membantu masyarakat memahami norma, perilaku, dan penelitian yang relevan dengan penelitian ini dilakukan
gender. Oleh karena itu, pada penelitian ini, peneliti oleh Hidayati (2016) dengan judul penelitian “Bahasa dan
memfokuskan kajiannya pada karakteristik kebahasaan Gender: Kajian Karakteristik Kebahasaan Laki-laki dan
perempuan dengan objek kajian bersumber dari film pendek Perempuan dalam Film Anak”. Dalam penelitiannya,
berjudul “Tilik”. Hidayati memfokuskan pada karakteristik bahasa laki-laki
Tilik merupakan film pendek yang diproduksi oleh dalam dua film anak yang berbeda, yaitu Cars dan Barbie
Ravacana Films yang bekerja sama dengan Dinas yang berbahasa Inggris. Hasil penelitian Hidayati,
Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Film menunjukkan bahwa tokoh laki-laki dan perempuan
yang disutradarai oleh Wahyu Agung Prasetyo dengan durasi menggunakan karakteristik kebahasaan yang dikemukakan
32 menit ini menggambarkan sebuah realitas sosial yang oleh Lakoff (2004) yaitu intensifiers, hypercorrect
sangat relevan dengan kehidupan keseharian masyarakat grammar, empty adjectives, hedges, tag questions, super
Jawa. Film ini dijadikan sebagai objek penelitian dengan polite forms, emphatic stress, dan avoidance of strong
berdasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu: (1) sebagian swear words, dan tidak ditemukan penggunaan question
besar adegan dalam film ini didominasi oleh tokoh-tokoh intonation, dan color words.
perempuan dengan logat bahasa Jawa yang khas, dan (2) film Penelitian lainnya yang sejenis dengan penelitian ini
ini juga mampu memberikan gambaran mengenai stereotip juga pernah dilakukan oleh Rizka (2018) dengan judul
perempuan Jawa di mata masyarakat. penelitian “Bahasa dan Gender dalam Film Kartun Go
Dalam film ini, tokoh perempuan yang bernama Dian Diego Go dan Dora the Explorer: Sebuah Kajian
dijadikan sebagai topik pembicaraan oleh ibu-ibu karena Sosiolinguistik”. Dalam penelitiannya, Rizka
penghasilannya yang tinggi sehingga dianggap memiliki memfokuskan kajian bahasa dan gender pada dua film
pekerjaan yang tidak halal. Hal tersebut seakan-akan anak yang berbeda, yaitu Go Diego Go dan Dora the
memperkuat stigma bahwa dalam nilai budaya masyarakat Explorer. Hasil penelitian Rizka menunjukkan bahwa
masih memperlihatkan adanya subordinasi terhadap karakteristik kebahasaan yang sering digunakan oleh tokoh
perempuan (Katubi, 2004, hlm.38). Perempuan dalam perempuan dalam film Dora, yaitu pelafalan kata yang
konsepsi masyarakat Jawa seringkali diumpamakan dengan lebih benar dan standar, penggunaan intensifiers, hedges,
ungkapan swargo nunut neroko katut, yang artinya istri penggunaan nada yang tinggi, intonasi berbicara yang
(wanita) ditentukan oleh suami (laki-laki). Jika suami emosional, cenderung menggunakan pernyataan dengan
melakukan kebaikan maka istri juga mendapatkan kebaikan. tujuan mendukung, bernegoisasi, dan memperoleh
Sedangkan jika suami melakukan tindakan buruk maka istri kesepakatan. Sedangkan, tokoh laki-laki dalam film Diego
juga akan mendapatkan dampak buruk. Hal ini merupakan tidak menunjukkan karakteristik kebahasaan tersebut.
cerminan bahwa persepsi yang berkembang di kalangan Pada umumnya, penelitian sebelumnya hanya mengulas
masyarakat pada umumnya masih menunjukkan adanya mengenai pemerian karakteristik kebahasaan laki-laki dan
ketimpangan gender yang mana laki-laki dianggap memiliki perempuan menggunakan objek kajian berupa dua film
status sosial yang lebih tinggi daripada perempuan. berbahasa Inggris yang berbeda. Sedangkan, objek kajian
Ketimpangan gender dapat dilihat dari karakteristik penelitian ini adalah film pendek Tilik dengan penggunaan
tuturan yang digunakan. Dalam film Tilik terdapat beberapa bahasa Jawa yang khas. Selain itu, penelitian ini lebih
karakteristik bahasa perempuan. Hal ini berdasar pada teori ditekankan pada karakteristik kebahasaan perempuan Jawa,
Lakoff (2004) yang menyebutkan bahwa perempuan dan bagaimana representasi perempuan Jawa yang tercermin
memiliki beberapa karakteristik kebahasaan, yaitu: question dalam tuturan para tokoh dalam film Tilik. Kajian ini
intonation, color words, intensifiers, tag questions, super tentunya relevan dengan permasalahan stereotip
polite forms, avoidance of strong swear words, emphatic ketimpangan gender yang terjadi saat ini. Teori Lakoff
stress, hypercorrect grammar, empty adjectives, dan hedges. (2004) mengenai karakteristik bahasa perempuan akan
Selain itu, Lakoff (2004) juga menekankan bahwa dijadikan dasar sekaligus pembanding dalam upaya
karakteristik tersebut tidak banyak ditemukan dalam tuturan menjelaskan fenomena-fenomena yang ditemukan. Kajian
laki-laki. Teori yang diprakarsai oleh Lakof ini menjadi bahasa dan gender dalam masyarakat Jawa yang
pilihan yang tepat karena menjadi pioner dari penelitian- digambarkan dalam film ini masih sangat jarang. Hal itu
penelitian lainnya mengenai kajian bahasa dan gender. Teori menjadi salah satu alasan pentingnya penelitian ini
ini yang kemudian akan menjadi teori dasar yang digunakan dilakukan. Oleh karenanya, penelitian ini diharapkan dapat
dalam penelitian. memberikan sumbangsih pemikiran terkait kajian bahasa
dan gender dalam masyarakat Jawa.

8
Jurnal Budaya, Vol. 2 No. 1, Agustus 2021, pp 7-16 Hasanah & Wicaksono

2. Metode 144). Bentuk penyajian informal dilakukan dengan


pemaparan menggunakan kata-kata biasa.
Kajian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Jenis
penelitian yang bersifat deskriptif ini digunakan untuk 3. Hasil dan Pembahasan
mengidentifikasi, mencatat, dan menganalisis data secara
teliti sebagaimana ditemukan dalam kenyataan pemakaian Subbab ini menyajikan data temuan mengenai
bahasa (Subroto, 2007, hlm.8). Tujuan akhir penelitian ini karakteristik kebahasaan perempuan dalam film Tilik.
adalah mendapatkan gambaran deskripsi mengenai Karakteristik kebahasaan tersebut meliputi: avoidance of
karaktersitik kebahasaan perempuan Jawa, dan representasi strong swear words, tag questions, hedges dan intensifiers.
perempuan Jawa yang tercermin dalam tuturan para tokoh Selain itu, pada bagian ini juga dijelaskan mengenai
dalam film Tilik. representasi perempuan Jawa yang tercermin dalam tuturan
Objek penelitian ini adalah tuturan para tokoh film Tilik. tokoh film Tilik.
Film ini dijadikan sebagai objek penelitian dengan
berdasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu sebagian 33.1 Karakteristik kebahasaan perempuan dalam film
besar adegan dalam film ini didominasi oleh tokoh-tokoh Tilik
perempuan dengan logat bahasa Jawa yang khas yang
digambarkan senang bergosip, dan penggambaran mengenai Dalam berbahasa, kelompok laki-laki dan perempuan
tokoh perempuan lainnya yang dijadikan sebagai bahan dipersepsi menampilkan cara berbahasa yang berbeda
pembicaraan oleh ibu-ibu karena berpenghasilan tinggi (Jupriono, 2010). Perbedaan ini oleh Lakoff (1975)
sehingga dicurigai memiliki pekerjaan yang tidak halal. Hal diklasifikasikan menjadi sepuluh karakteristik kebahasaan
tersebut seakan-akan memperkuat stigma bahwa nilai budaya perempuan, meliputi: question intonation, color words,
masyarakat masih memperlihatkan adanya subordinasi intensifiers, tag questions, super polite forms, avoidance of
terhadap perempuan. Film ini dinilai mampu memberikan strong swear words, emphatic stress, hypercorrect
gambaran mengenai stereotip perempuan di mata masyarakat. grammar, empty adjectives, dan hedges. Karakteristik
Data penelitian berupa karakteristik kebahasaan pada kebahasaan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan ini
tuturan tokoh perempuan dalam film Tilik, sedangkan sumber juga ditemukan dalam film Tilik, yaitu: avoidance of strong
data berasal dari film yang dapat diakses pada tautan YouTube swear words, tag questions, hedges dan intensifiers.
https://youtu.be/GAyvgz8_zV8. Pengumpulan data dilakukan Beberapa karakteristik kebahasaan perempuan tersebut
dengan metode simak. Metode ini diwujudkan dengan dijelaskan sebagai berikut.
menggunakan teknik dasar berupa teknik sadap, dan teknik
lanjutan berupa teknik simak bebas cakap oleh Sudaryanto 3.1.1 Avoidance of strong swear words
(2007, hlm.199). Langkah-langkah yang dilakukan dalam
Swear words merupakan jenis kata seru atau interjeksi
mengumpulkan data penelitian ini, yaitu sebagai berikut: (1)
yang dapat mengekspresikan sesuatu. Swear words juga
Peneliti mengunduh film Tilik melalui laman YouTube; (2)
dijadikan sebagai cara untuk menghina sesuatu atau
Peneliti menyimak Film Tilik untuk melihat karakteristik
seseorang. Hal ini sejalan dengan pendapat Hidayati, (2016,
kebahasaan dalam tuturan para tokoh; (3) Peneliti melakukan
hlm.12) bahwa avoidance of strong swear words merupakan
transkripsi terhadap tuturan tokoh untuk mempermudah
ungkapan yang digunakan untuk memberikan penekanan
pengklasifikasian data, dan melakukan pengecekan data; (4)
terhadap apa yang dituturkan. Setiap orang mempunyai
Peneliti mengamati hasil transkripsi dan memilih data-data
bentuk pengungkapan yang berbeda terhadap suatu hal.
yang dibutuhkan dalam penelitian yang berkaitan dengan
Bentuk ungkapan yang biasanya digunakan oleh laki-laki
sepuluh ciri kebahasaan perempuan menurut teori Lakoff
yaitu hell, shit, bloody hell, damn, dan lain sebagainya.
(2004).
Berbeda halnya dengan perempuan, ungkapan yang
Metode analisis data yang digunakan adalah metode
disampaikan biasanya sedikit lebih halus daripada laki-laki,
analisis tekstual. Metode ini sesuai dengan topik penelitian
seperti oh my god, my goodness, oh dear, oh my goodness
mengenai fenomena kebahasaan dan gender. Berikut adalah
my dear, good heavens, dan lain-lain (Lakoff, 2004, hlm.9).
langkah-langkah analisis data penelitian ini: (1) Mencatat
Dalam sebuah peristiwa tutur, avoidance of strong swear
kata yang mengandung fitur kebahasaan wanita menurut
words digunakan oleh perempuan untuk mengungkapkan
Lakoff; (2) Mengklasifikasikan data sesuai kategori fitur
kekesalan, kemarahan, atau rasa tidak suka terhadap sesuatu
bahasa wanita menurut Lakoff; (3) Mendeskripsikan
dengan memaki secara halus dan bahkan menunjukkan
representasi perempuan Jawa yang tercermin dalam tuturan
keseriusan wanita tersebut.
tokoh film Tilik; (4) Menarik kesimpulan dari keseluruhan
analisis yang telah dilakukan. Penyajian analisis data
menggunakan metode informal (Sudaryanto, 2007, hlm.

9
Jurnal Budaya, Vol. 2 No. 1, Agustus 2021, pp 7-16 Hasanah & Wicaksono

(FT1) Data di atas mengandung swear words yang terletak pada


Konteks: Gotrek ditilang oleh polisi karena melanggar tuturan yang dicetak tebal. Pada tuturan tersebut, Bu Tejo
aturan.
menunjukkan ketidaksenangannya terhadap perkataan
Bu Tejo: “Pak polisi, pak polisi, kami tuh mau tilik Bu
Lurah loh, Pak.” Gotrek yang menginginkan Dian saja yang menjadi lurah.
‘Pak Polisi, Pak polisi, kami ini mau Pada konteks tuturan tersebut, swear words ‘ya Allah’ dan
menjenguk Bu Lurah loh, Pak.’ ‘Astaghfirullah’ digunakan oleh Bu Tejo untuk menyatakan
Yu Ning: “Iyo, Pak. Keburu telat ki selak sore loh, Pak.” penolakan terhadap perkataan Gotrek melalui tuturan yang
‘Iya, Pak. Keburu telat ini keburu sore loh,
bersifat menghina dalam versi yang lebih halus. Selain itu,
Pak.’
Bu Tejo: “Iki keadaannya darurat, Pak. Mbok tolong Bu Tejo berusaha untuk memberikan penekanan lagi bahwa
loh, Pak. Nuraninya itulah pak dipakai pak, dia benar-benar tidak menginginkan Dian yang menjadi
empatinya ya Allah. lurah dengan menambahkan swear words ‘ya Allah’ pada
‘Ini keadaannya darurat, Pak. Tolonglah hati tuturan berikutnya. Dalam hal ini, Bu Tejo menuturkan
nuraninya dipakai pak, empatinya ya Allah’.
ujaran yang mengandung unsur makian terhadap Dian
Polisi: “Sabar-sabar nggih bu, nggih.“
‘Sabar ya bu, ya.’
dengan pilihan kata yang santun. Dengan demikian, hal ini
sejalan dengan pernyataan Lakoff (2004) yang
Pada data tersebut, dapat diketahui bahwa Bu Tejo mengemukkan bahwa perempuan mengggunakan ungkapan
menggunakan swear words yang halus untuk memberikan swear words lebih halus daripada laki-laki. (Hamidah, 2016,
penekanan terhadap hal yang ingin disampaikan untuk hlm.12).
mengungkapkan kekesalan. Dalam hal ini bu Tejo cenderung Berdasarkan data yang ditemukan, dapat diketahui
menghidari kata-kata yang kasar dengan menggunakan swear bahwa perempuan cenderung menggunakan swear words
word ‘ya Allah’. Swear words tersebut berfungsi untuk yang lebih halus. Dalam film Tilik hanya ditemukan dua
menunjukkan kekesalan Bu Tejo karena Pak Polisi tetap swear words yang sering digunakan oleh perempuan, yaitu
menilang Gotrek padahal mereka bepergian untuk menjenguk swear words yang diadopsi dari bahasa Arab, seperti ‘ya
Bu Lurah yang sedang sakit. Bu Tejo menggunakan campur Allah’ dan ‘Astagfirullah’. Hal ini menandakan bahwa kata
kode antara bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa. Jika makian lebih sering dituturkan oleh laki-laki daripada
dilihat berdasarkan konteks tuturan, Bu Tejo berusaha untuk perempuan (Hamidah, 2016, hlm.20). Meskipun demikian,
menyesuaikan tuturannya dengan mempertimbangkan siapa cara perempuan mengutarakan makian untuk
lawan bicaranya. Ketika bertutur dengan ibu-ibu, Bu Tejo mengungkapkan kekesalan, kemarahan, atau rasa tidak suka
memakai bahasa Jawa, sedangkan ketika bertutur dengan Pak terhadap sesuatu menggunakan kata-kata cenderung lebih
Polisi, Bu Tejo memakai bahasa Indonesia dengan sesekali santun dari laki-laki. Hal ini dikarenakan, posisi perempuan
diselingi bahasa Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa status sebagai kaum marginal mendorong perempuan untuk
sosial juga mempengaruhi pemilihan ragam bahasa yang bersikap lebih santun daripada laki-laki (Katubi, 2004,
digunakan (Sumarsono, 2013, hlm.52). Selain itu, hlm.44).
penggunaan swear words juga ditemukan pada data berikut. (FT3)
Konteks: Bu Tejo memberikan uang tambahan kepada
Gotrek, namun Yu Ning menilai ada maksud
(FT2)
lain dari uang yang diberikannya kepada
Konteks: Truk yang ditumpangi oleh ibu-ibu berhenti Gotrek.
depan musholla. Kemudian, Gotrek, dan para
Yu Ning: “Kuwi mau klebu sogokkan, wes wes balekno
ibu-ibu saling mengobrol sambil menunggu
wae timbang marakke molo lho! Balekke
ibu-ibu yang lain.
wae!”
Gotrek: “Saiki ngene wae, Bu. Lek seng dadi lurah
‘Itu tadi sogokan tuh! Udah kembaliin aja
Dian ae, piye?“
daripada bikin masalah’
‘Sekarang begini saja, Bu. Kalau yang jadi Gotrek: “Balekke wae yo?”
lurah, Dian saja saja gimana?’ ‘Kembalikan aja ya?’
Bu Tejo: “Ya Allah, yo ojo. Ya ampun, ya ampun. Bu Tejo: “Ora-ora”
Astaghfirullah. ‘Jangan!’
‘Ya Allah, ya janganlah. Ya ampun, ya Gotrek: “Tenan ki rapopo?”
ampun. Astagfirullah’ ‘Beneran ini bukan sogokan?’
Gotrek: “Bapak-bapak pasti dho milih kabeh.” Bu Tejo: “Eh, ora ya Allah tenan. Bojoku ki jenise
‘Bapak-bapak pasti akan milih semua’ langsung tumandang ora kakean ngomong.
Bu Tejo: “Yo ojo, amit-amit, ya Allah. Desone dewe iso wes iki ikhlas Lillahita’ala, tenan ki nggo
ambyar lak entok lurah koyok ngono.“ ‘Ya kowe Trek. Tenan Ya Allah.”
jangan, amit-amit, ya Allah. Desa kita bisa ‘Eh, tidak Ya Allah serius. Suamiku ini
hancur kalau punya lurah seperti itu. langsung kerja tidak banyak bicara. Ambil
aja ini ikhlas Lillahita’ala. Beneran Ya
Allah.’

10
Jurnal Budaya, Vol. 2 No. 1, Agustus 2021, pp 7-16 Hasanah & Wicaksono

Pada tuturan di atas, Bu Tejo menunjukkan kalimat deklaratif “Kan pertanyaan toh lek ngono kuwi”.
keseriusannya memberikan uang kepada Gotrek. Ia berusaha Penggunaan tag question biasanya ditujukan untuk
meyakinkan Gotrek dengan swear word ‘tenan Ya Allah’ memastikan sesuatu ataupun meminta persetujuan. Pada
ketika Gotrek tidak mau diberi uang karena ia mencurigai konteks tuturan di atas, Bu Tejo memberikan sebuah
maksud pemberian Bu Tejo. Pada konteks tuturan tersebut, gambaran kepada ibu-ibu yang lain bahwa tidak mungkin
swear words ‘ya Allah’ dan ‘Lillahita’ala’ digunakan oleh Bu kalau perempuan yang baru bekerja langsung punya banyak
Tejo untuk menyatakan keseriusannya dalam memberikan uang. Bu Tejo berusaha menyakinkan para ibu-ibu bahwa
uang tambahan tanpa maksud apapun melalui tuturan yang kejadian tersebut patut dipertanyakan. Pengggunaan tag
bersifat halus. Selain itu, Bu Tejo berusaha untuk question ‘yo ra?’ bertujuan untuk memastikan bahwa
memberikan penekanan lagi bahwa ia benar-benar tuturan yang disampaikan oleh Bu Tejo benar adanya. Bu
memberikan uang tanpa maksud tertentu dengan Tejo ingin agar ibu-ibu lainnya memiliki pemikiran yang
menambahkan swear words ‘ya Allah’. Bu Tejo menuturkan sependapat dengan apa yang dituturkannya. Oleh sebab itu,
ujaran yang mengandung unsur sumpah terhadap Gotrek tag question dipakai untuk memastikan hal tersebut. Hal ini
dengan pilihan kata positif. Hal ini sejalan dengan pernyataan sejalan dengan pernyataan Lakoff (2004) yang
Lakoff (2004) yang mengemukkan bahwa perempuan mengemukakan bahwa tag question berfungsi untuk
mengggunakan ungkapan swear words lebih halus daripada memberikan penekanan guna mendapat persetujuan atau
laki-laki. (Hamidah, 2016, hlm.12). memastikan sesuatu (Hidayati, 2016, hlm.11). Selain itu,
penggunaan tag question juga ditemukan pada data berikut.
3.1.2 Tag questions
(FT5)
Tag questions merupakan salah satu karakteristik Konteks: Ibu-ibu mengobrol dalam perjalanan menuju
rumah sakit.
kebahasaan perempuan yang paling sering muncul dalam film
Yu Ning: “Mulane aku ki ndang-ndang ngabari ibu-ibu
Tilik. Menurut Lakoff (2004), tag questions merupakan suatu kabeh neng kene ki soko whatsapp loh neng
ungkapan yang digunakan di akhir kalimat untuk grup adewe.”
memberikan penekanan guna mendapat persetujuan atau ‘Makanya aku ini cepet-cepet ngasih kabar ke
memastikan sesuatu. Tag questions biasanya berupa ibu-ibu di sini lewat whatsapp grupnya kita.’
Bu Tri: “Oh, ngono toh? Adoh noh iki engkok.“
pertanyaan yang direkatkan dalam bentuk kalimat deklaratif
‘Oh, gitu ya? Jauh dong ini nanti.’
(Hidayati, 2016, hlm.17). Ketika seseorang sering Bu Tejo: “Dian ki gaweane opo yo? Kok jare onok seng
menggunakan tag questions dalam tuturannya, maka tahu ngomong yen gaweane iki ora genah
seseorang tersebut seringkali diasumsikan feminim. Hal ini ngono kuwi loh. Kan mesake Bu Lurah toh yen
selaras dengan apa yang disampaikan Rizka, (2017, hlm.318) nganti due mantu gaweane ra genah ngono
kuwi loh, yo?“
bahwa feminine dapat secara langsung diasosiasikan pada
‘Dian ini pekerjaannya apa ya? Kok ada yang
seseorang yang sering menggunakan tag questions dalam pernah bilang kalau pekerjaan Dian ini gak
tuturannya. Oleh sebab itu, penggunaan tag questions dalam benar gitu loh. Kan kasihan Bu Lurah kalau
suatu peristiwa tutur cenderung lebih banyak dituturkan oleh sampai punya menantu yang kerjanya gak
perempuan. Pada film Tilik, tag questions hanya dijumpai benar gitu loh, ya?’
pada tuturan tokoh perempuan dengan frekuensi kemunculan
Pada tuturan di atas terdapat taq question berupa kata
yang tinggi, beberapa tag question yang digunakan, yang
‘loh, yo?’ yang digunakan oleh bu Tejo dalam kalimat
meliputi ‘iyo ra?’, ‘toh, yo?’, ‘loh yo?’, ‘piye?’, dan ‘to?’.
deklaratif “Kan mesake Bu Lurah toh yen nganti due mantu
(FT4)
gaweane ra genah ngono kuwi”. Berdasarkan konteks
Konteks: Ibu-ibu mengobrol dalam perjalanan menuju tuturan, Bu Tejo berusaha untuk meminta persetujuan
rumah sakit untuk menjenguk Bu Lurah. kepada ibu-ibu lainya bahwa apa yang dituturkan adalah
Bu Tejo: “Yo cah wedok nyambut gawe tur duwik e benar. Topik yang dibicarakan oleh ibu-ibu tersebut adalah
kok langsung akeh mbarang ngono kuwi loh. Dian yang dianggap memiliki pekerjaan yang tidak halal.
Kan pertanyaan toh lek ngono kuwi, yo ra?”
Kemudian, Bu Tejo menuturkan opininya bahwa kasihan Bu
‘Anak cewek kerja kok uangnya langsung
banyak loh. Kan pertanyaan kalau kayak gitu, Lurah apabila benar-benar akan memiliki menantu yang
iya nggak?’ seperti itu. Tag question yang digunakan oleh Bu Tejo
Yu Ning: “Bu Tejo, njenengan iki kok yo mbok ora berfungsi untuk memberikan penekanan terhadap apa yang
waton lek ngendikan.” disampaikannya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Lakoff
‘Bu Tejo, kamu ini jangan sembarangan
(2004) yang menyatakan bahwa tag question merupakan
kalau berbicara.’
suatu ungkapan yang digunakan di akhir kalimat untuk
Pada data di atas, terdapat tuturan yang mengandung tag memberikan penekanan guna mendapat persetujuan atau
question ‘yo ra?’. Tag question tersebut melekat pada memastikan sesuatu (Hidayati, 2016, hlm.11).

11
Jurnal Budaya, Vol. 2 No. 1, Agustus 2021, pp 7-16 Hasanah & Wicaksono

Berdasarkan data yang ditemukan, penggunaan tag digunakan untuk menyatakan ketidakyakinan penutur atas
question sering dijumpai dengan frekuensi kemunculan yang apa yang dituturkannya. Penggunaan hedges berupa kata
sangat tinggi pada tuturan tokoh perempuan saja. Tokoh laki- ‘ketok e’ juga terdapat pada tuturan berikut.
laki tidak pernah menggunakan tag question pada tuturannya.
(FT7)
Hal ini karena tag question identik dengan cara bicara
Konteks: Dian masuk ke dalam mobil Minto secara
menaikan intonasi. Cara bicara yang seperti itu dipandang sembunyi-sembunyi.
sebagai bentuk femininitas (Hidayati, 2016, hlm.17). Dian: “Mas, kok ketok e aku wis ra betah yo mas
Penggunaan tag question dalam tuturan perempuan di film urip delekan koyok ngeneki. Kapan yo mas,
Tilik berfungsi untuk memberikan penekanan pada akhir Fikri iso nompo yen bapakne arep rabi
maneh?”
kalimat yang dituturkan. Tujuannya dari hal tersebut adalah
‘Mas, kok sepertinya aku sudah tidak
meminta persetujuan atau memastikan sesuatu kepada lawan sanggup lagi hidup sembunyi-sembunyi
tutur. seperti ini. Kapan ya mas, Fikri bisa
menerima kalau ayahnya akan nikah lagi?’
3.1.3 Hedges Minto: “Tenangno pikirmu, kowe kudu sabar.
Percoyo wae karo aku.”
Hedges merupakan ungkapan yang sering dituturkan ‘Tenangkan pikirmu, kamu harus sabar.
oleh perempuan untuk menunjukkan ketidakyakinan atas apa Percaya saja sama aku.’
yang dituturkan (Lakoff, 2004). Ketika perempuan
menuturkan hedges, maka perempuan cenderung Pada data di atas terdapat penggunaan hedges berupa
membiarkan pilihan tetap terbuka. Di sisi lain, hedges juga kata adverbia ‘ketoke’ yang berarti ‘sepertinya’. Hedge
dapat digunakan untuk membuat tuturan terkesan santun dan tersebut melekat pada kata pronomina ‘aku’ sehingga
tidak kasar. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh merujuk pada diri penuturnya, yakni Dian. Melalui hedge
Holmes bahwa hedges merupakan salah satu bentuk tersebut, Dian menunjukkan ketidakyakinan atas apa yang ia
linguistik yang digunakan sebagai pelembut atau penyantun tuturkan. Dia ragu apakah dia sanggup atau tidak jika terus-
suatu ujaran (Agus, 2011, hlm.217). Dalam film Tilik, menerus menutupi hubungan perselingkuhannya dengan
ditemukan lima hedges dengan frekuensi kemunculan yang Minto. Dalam hal ini, hedges berupa kata ‘ketok e’
tinggi, meliputi ‘krungu-krungu’,’ ketok e’, ‘ojok-ojok’, ‘sopo ‘sepertinya’ merefleksikan sebuah keraguan dan perasaan
ngerti’, ‘yen menurutku’, dan ‘kok jare’. tidak aman dari si penutur. Hal ini sejalan dengan pernyataan
Hidayati (2016, hlm.18), yang mengatakan bahwa salah satu
(FT6) fungsi hedges adalah untuk menunjukkan keraguan
Konteks: Yu Sam dan Bu Tejo sedang bergosip seseorang. Keraguan penutur atas apa yang ia sampaikan
mengenai Dian saat menuju rumah sakit.
menyebabkan adanya rasa tidak percaya sehingga
Yu Sam: “Fikri iki karo Dian iki opo bener
sesambungan toh buk?” memerlukan pendapat orang lain. Sama halnya dengan Dian
‘Fikri sama Dian ini apa bener pacaran ya, yang tidak percaya diri terhadap apa yang ia tuturkan
bu?’ sehingga memerlukan pendapat lurah Minto untuk
Bu Tejo: “Ha?” mengatasi ketidakyakinan tersebut. Selain itu, penggunaan
‘Ha?’
hedges berupa frasa ‘yen menurutku’ juga ditemukan pada
Yu Sam: “Aku iki yo krungu-krungu Fikri iki mau
mangkat nang rumah sakit ngeterke Bu data berikut.
Lurah iku karo Dian.”
‘Aku dengar-dengar kalau Fikri ini tadi (FT8)
berangkat ke rumah sakit mengantarkan Bu Konteks: Ibu-ibu bergosip mengenai Dian yang
Lurah bareng Dian.’ dianggap melakukan pekerjaan yang kurang
halal.
Pada data tersebut, dapat diketahui bahwa tokoh Bu Tri: “Bu Tejo, Yu Sam, yen menurutku toh, lek
perempuan Yu Sam menggunakan hedges berupa kata ulang Dian ki penggawean e genah ra mungkin due
‘krungu-krungu’. Kata ‘krungu-krungu’ termasuk ke dalam bondo koyok ngono kuwi. Iyo, ora?”
reduplikasi penuh dalam bahasa Jawa. Bentuk dasar ‘Bu Tejo, Yu Sam. Menurutku, kalau Dian
‘krungu’ bersifat intensif (sungguh-sungguh), namun ketika kerjanya benar, gak mungkin punya barang
seperti itu. Iya, tidak?’
mengalami reduplikasi utuh menjadi ‘krungu-krungu’, Bu Tejo: “Lah iyo mangkano loh.”
maknanya berubah menjadi bersifat deintensif (tidak ’Lah iya, makanya itu.’
sungguh-sungguh). Dalam hal ini penggunaan hedges
berupa kata ulang ‘krungu-krungu’ dalam suatu tuturan Pada data di atas, tuturan bu Tri mengandung hedges
menunjukkan bahwa Yu Sam kurang yakin dengan apa yang berupa frasa ’yen menurutku’. Berdasarkan konteks tuturan,
dituturkan, karena belum jelas dia mendengar berita tersebut ‘yen menurutku’ digunakan untuk memagari tuturan, agar
dari siapa. Oleh sebab itu, fungsi hedges pada tuturan di atas tuturan yang disampaikan tersebut tidak terkesan langsung.

12
Jurnal Budaya, Vol. 2 No. 1, Agustus 2021, pp 7-16 Hasanah & Wicaksono

Meskipun bu Tri memiliki anggapan yang negatif terhadap Yu Ning: “Bu Tejo ki ngopo e kok njur meneng wae.
Dian, namun penyampaian ketidaksenangannya dilakukan Wes mau ra gelem ngrewangi nyurung truk
saiki mung meneng wae. Ojok-ojok bener
dengan memperhalus tuturannya sehingga tidak terkesan
mau ki duwit seng dikekno Gotrek mau duwit
kasar. Penggunaan hedges tersebut termasuk ke dalam seng ora berkah. Iyo, toh?”
strategi kesantunan negatif (Saputry, 2016, hlm.152). ‘Bu Tejo, kenapa deh kok jadi diam saja.
Strategi kesantunan negatif (negative politeness) Udah tadi gak mau bantu dorong truk,
mengasumsikan bahwa penutur menampilkan fungsi-fungsi sekarang malah diam saja. Jangan-jangan
benar, itu tadi uang yang diberikan ke Gotrek
penunjang untuk meminimalisasi beban tertentu sebagai
itu uang yang gak berkah. Iya, kan?’
sesuatu yang tidak bisa dihindarkan oleh lawan tutur. Ketika Bu Tejo: “Astagfirullah, Ya Allah.”
Bu Tri menuturkan hedges ‘yen menurutku’, maka Bu Tri ‘Semoga Allah mengampuni aku, Wahai
membiarkan pilihan tetap terbuka sehingga lawan tutur tidak Allah.’
bisa menyalahkan karena tuturan yang disampaikan oleh
penutur bersifat subjektif. Pada data di atas, kalimat yang dituturkan yu Ning
mengandung hedge berupa kata ulang ojok-ojok ‘jangan-
(FT9) jangan’. Kata ulang ojok-ojok termasuk ke dalam
Konteks: Bu Tejo membicarakan mengenai pekerjaan reduplikasi penuh, karena bentuk dasar ojok ‘jangan’
Dian. bermakna sebagai sebuah larangan mengalami
Bu Tejo: “Onok seng tahu ngomong yen pengawean e pengulangan pada keseluruhan bentuk dasar menjadi ojok-
Dian ki mlebu-metu hotel ngono kuwi loh terus ojok ‘jangan-jangan’, maka maknanya berubah menjadi
nang mall karo wong lanang kuwi loh.
sebuah anggapan yang belum tentu kebenarannya. Dalam
Gaweane opo yo?”
‘Ada yang pernah bilang kalau pekerjaan Dian hal ini, hedge berfungsi untuk memberi isyarat bahwa
ini keluar-masuk hotel gitu loh, terus ke mall penutur tidak ragu atas apa yang dituturkannya (Hamidah,
sama laki-laki gitu. Pekerjaannya apa ya?’ 2016:17). Yu Ning mengira-ngira bahwa uang yang
Yu Sam: “Mosok seh?” diberikan Bu Tejo ke Gotrek adalah uang yang tidak
‘Masak sih?’
berkah. Yu Ning berpasangka bahwa uang tersebut adalah
Yu Ning: “Lah, yo sopo ngerti ngeterke tamu wisata toh,
Buk.” uang sogokan agar Gotrek mau mendukung suami Bu Tejo
‘Lah, siapa tahu mengantarkan tamu wisata loh, mencalonkan diri menjadi lurah. Oleh karena itu, ntuk
Bu’ menyatakan ketidakyakinannya, Yu Ning menggunakan
hedge “ojok-ojok”. Hedge tersebut menunjukkan adanya
Pada data di atas, terdapat tuturan mengandung hedges ketidakpastian dari apa yang dituturkan oleh Yu Ning,
yang digunakan dalam konteks untuk menyatakan sehingga penyampaiannya pun terkesan ragu-ragu karena
ketidaksetujuan melalui tuturan yang ragu-ragu. Bu Tejo masih berupa prasangka.
sebagai tokoh utama berusaha memancing para ibu-ibu yang Berdasarkan data yang ditemukan, dapat diketahui
lain untuk bergosip mengenai pekerjaan Dian yang bahwa tokoh perempuan dalam film Tilik menggunakan
menurutnya tidak halal. Dalam konteks tuturan di atas, hedges dengan frekuensi kemunculan yang tinggi, meliputi
sebagian besar ibu-ibu setuju dengan pendapat Bu Tejo. krungu-krungu, ketok e, ojok-ojok, sopo ngerti, dan. yen
Namun, berbeda dengan Yu Ning yang menunjukkan menurutku. untuk menunjukkan ketidakyakinan atas apa
ketidaksetujannya dengan menuturkan kalimat Lah yo sopo yang dituturkan (Lakoff, 2004). Ketika perempuan
ngerti ngeterke tamu wisata toh, buk. Dalam kalimat menuturkan hedges, maka perempuan cenderung
tersebut mengandung hedge ‘sopo ngerti’ yang berfungsi membiarkan pilihan tetap terbuka bagi lawan tuturannya.
untuk menyatakan ketidakyakinan penutur. Meskipun Yu Selain itu, hedges juga digunakan oleh perempuan untuk
Ning tidak setuju dengan perkataan Bu Tejo, namun tuturan membuat tuturan terkesan tidak kasar dan lebih santun.
yang disampaikan oleh Yu Ning pun mengandung unsur
ketidakpastian; apakah benar Dian sekedar mengantarkan 3.1.4 Intensifiers
tamu wisata ke hotel atau memang dia pergi ke hotel Intensifiers adalah kata yang berfungsi untuk
bersama om-om. Hal sejalan dengan pernyatan Hidayati, memberikan penekanan pada kata lain seperti adjektiva,
(2016, hlm.11) yang mengemukakan bahwa ketika verba dan lainnya (Hamidah, 2016). Contoh intensifiers
seseorang menggunakan hedges, orang tersebut merasa yang ditemukan oleh Hamidah (2016) meliputi abis,
tidak yakin dengan apa yang dia tuturkan. Selain itu, sangat, benar-benar, dan banget. Pembentukan intensifiers
penggunaan hedges berupa kata ulang ‘ojok-ojok’ terdapat dalam bahasa Jawa tidak hanya menggunakan penambahan
dalam data berikut. kata, melainkan mengubah suara sebuah kata menjadi
diftong (Kusuma, 2019). Pada Film Tilik ini minim
(FT10)
Konteks: Ibu-ibu naik kembali ke truk setelah ditemukan adjective intensifiers atau intensifiers berupa
mendorong truk yang tadi sempat mogok. kata sifat.

13
Jurnal Budaya, Vol. 2 No. 1, Agustus 2021, pp 7-16 Hasanah & Wicaksono

(FT11) Tuturan-tuturan dalam film Tilik beberapa


Konteks: Istri Gotrek menanggapi pendapat Bu Tejo diantaranya masih mengandung stereotip-stereotip
yang menolak Dian untuk maju menjadi
mengenai perempuan yang selama ini berkembang dalam
Lurah.
Istri Gotrek: “Iyo aku setuju karo Bu Tejo. Ojo Dian! masyarakat. Kebudayaan masyarakat masih menanamkan
Bojoku iki lo senengane nggiatheli.” pola pikir yang kuat bahwasanya perempuan di
‘Iya, aku setuju sama Bu Tejo. Jangan Dian! digambarkan senang bergosip, cerewet, dan inferior.
Suamiku nih ya, genit banget!’
3.2.1 Perempuan senang bergosip
Pada data di atas, kalimat yang dituturkan Istri Gotrek
mengandung intensifier ajektif atau penguat kata berupa kata Gosip merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh
sifat. Kontruksi intensifier dibentuk melalui penambahan kaum perempuan untuk menjaga hubungan dan
diftong ‘ia’ ketika menuturkan sebuah ajektiva yang memiliki memperkuat solidaritas, dimana tema pembicaraan yang
kata dasar ‘gathel’ bermakna ‘genit’ dituturkan ‘nggiatheli’ diangkat terkait dengan masalah perasaan, suatu hubungan,
sehingga memiliki makna ‘sangat genit atau genit banget’. pengalaman pribadi dan lain sebagainya. Selain itu, gosip
Berdasarkan data yang ditemukan, dapat diketahui bahwa menjadi salah satu sarana yang dipakai oleh kaum
tokoh perempuan dalam film Tilik menggunakan intensifier perempuan untuk menyampaikan kritik terhadap seseorang
untuk menunjukkan penekanan dalam kata tertentu. Ketika secara tidak langsung, hal ini disebabkan karena menurut
perempuan menuturkan intensifier, maka perempuan Holmes (2013) perempuan cenderung lebih menghindari
bermaksud untuk menegaskan sesuatu yang dirasa penting. kritik secara langsung yang dapat berdampak
ketidaknyamaan terhadap orang yang dituju. Representasi
3.2 Representasi perempuan Jawa yang tercermin perempuan yang memiliki kebiasaan bergosip ditunjukan
dalam tuturan tokoh film Tilik dalam film Tilik. Sepanjang film, para perempuan yang
diprovokatori oleh Bu Tejo dengan antusias bergosip
Representasi merupakan peristiwa kebahasaan, mengenai perempuan bernama Dian. Tokoh Dian dijadikan
bagaimana seseorang ditampilkan melalui bahasa. Menurut sebagai topik pembicaraan oleh ibu-ibu karena
Hall (1997, hlm.15) bahasa merupakan suatu sistem penghasilannya yang tinggi sehingga diduga memiliki
representasi, karena melalui suatu bahasa, seorang penutur pekerjaan yang tidak pantas, serta menjalin hubungan
menggunakan simbol dan tanda untuk merepresentasikan dengan anak Bu Lurah.
suatu ide, konsep, maupun perasaan kepada orang lain.
Dalam hal ini bahasa yang dimaksud dapat berupa bahasa (FT3)
lisan maupun bahasa tulis. Namun dalam analisis ini, data Konteks: Ibu-ibu bergosip dalam perjalanan menuju
yang digunakan adalah bahasa lisan dalam film Tilik untuk rumah sakit untuk menjenguk Bu Lurah.
Bu Tejo: “Dian ki gaweane opo yo? Kok jare onok seng
menjelaskan bagaimana representasi seorang perempuan.
tahu ngomong yen gaweane iki ora genah
Representasi perempuan dalam film Tilik berhubungan ngono kuwi loh. Kan mesake Bu Lurah toh
dengan stereotip gender yang masih berkembang di yen nganti due mantu gaweane ra genah
masyarakat tradisional Indonesia, yang kemudian ngono kuwi loh, yo? Onok seng tahu
digambarkan melalui tokoh perempuan yang ditampilkan ngomong yen pengawean e. Dian ki mlebu-
metu hotel ngono kuwi loh terus nang mall
melalui film. Stereotip gender yang berkembang di
karo wong lanang kuwi loh. Gaweane opo
masyarakat ini salah satunya dipengaruhi oleh media. Sebagai yo?”
bentuk komunikasi massa, film mempunyai kekuatan untuk ‘Dian ini pekerjaannya apa ya? Kok ada yang
menjangkau segmen sosial, yang membuat para ahli film pernah bilang kalau pekerjaan Dian ini gak
berpotensi untuk mempengaruhi khalayak umum. Hal ini benar gitu loh. Kan kasihan Bu Lurah kalau
sampai punya menantu yang kerjanya gak
senada dengan pernyataan Michael, dkk. (2012, hlm.3)
benar gitu loh, ya? Ada yang pernah bilang
bahwa penggambaran tokoh dalam media akan membantu kalau pekerjaan Dian ini keluar-masuk hotel
masyarakat memahami norma, perilaku, dan gender. gitu loh, terus ke mall sama laki-laki gitu.
Stereotip-stereotip ketimpangan gender masih ditemukan di Pekerjaannya apa ya?’
masyarakat sampai saat ini, beberapa diantaranya laki-laki Yu Sam: “Mosok seh?”
‘Masak sih?’
dipandang memiliki sikap yang pandai, pemberani, dan
memiliki kedudukan tinggi. Sedangkan perempuan dianggap
golongan kelas kedua, tidak pandai, patuh, lemah, cerewet,
dan senang bergosip (Holmes, 2013, hlm.314).

14
Jurnal Budaya, Vol. 2 No. 1, Agustus 2021, pp 7-16 Hasanah & Wicaksono

Data tuturan di atas dikategorikan sebagai gosip yang penggunaan tuturannya, para perempuan menyampaikan
dilakukan oleh Bu Tejo dengan para ibu-ibu lainnya. Tuturan kalimat-kalimat dengan cepat dan tanpa jeda, sehingga polisi
yang dikemukakan Bu Tejo “Dian ki gaweane opo yo? Kok yang kewalahan meminta mereka untuk sabar. Berdasakan
jare onok seng tahu ngomong yen gaweane iki ora genah data yang ditemukan, dapat diketahui bahwa dalam film
ngono kuwi loh. Dian ki mlebu-metu hotel ngono kuwi loh Tilik tokoh perempuan direpresentasikan lebih cerewet dari
terus nang mall karo wong lanang kuwi loh. Gaweane opo pada laki-laki.
yo?“ merupakan suatu kritik yang di ungkapkan kepada Dian.
Namun, Bu Tejo tidak menyampaikan secara langsung 3.2.3 Perempuan inferior
kepada Dian, melainkan Bu Tejo mengkritik tanpa
senpengetahuan Dian di depan para ibu-ibu yang lain. Pada umumnya, hubungan antara bahasa dan gender
Tuturan-tuturan para tokoh perempuan mengenai Dian dilihat dengan menggunakan kacamata teori patriarki, yang
selama perjalanan menuju ke rumah sakit untuk menjenguk menggambarkan bahwa sistem sosial laki-laki mempunyai
Bu Lurah, merepresentasikan bahwa perempuan memiliki kekuasaan di atas perempuan. Laki-laki dipandang
kebiasaan suka bergosip. superior, sedangkan perempuan dianggap golongan kelas
subordinat atau inferior.
3.2.2 Perempuan memiliki sifat cerewet
(FT7)
Cerewet secara etimologi memiliki arti suka mencela, Konteks: Ibu-ibu bergosip mengenai Dian yang
dianggap melakukan pekerjaan yang kurang
banyak mulut, dan nyinyir. Stereotip yang berkembang di
halal.
masyarakat memandang bahwa cerewet merupakan sifat yang Bu Tri: “Bu Tejo, Yu Sam, yen menurutku toh, lek
melekat pada diri perempuan. Dalam film Tilik, perempuan Dian ki penggawean e genah ra mungkin due
direpresentasikan lebih cerewet dari laki-laki. Hal ini salah bondo koyok ngono kuwi. Iyo, ora?”
satunya digambarkan pada percakapan berikut. ‘Bu Tejo, Yu Sam. Menurutku, kalau Dian
kerjanya benar, gak mungkin punya barang
seperti itu. Iya, nggak?’
(FT1) Bu Tejo: “ Lah iyo mangkano loh.”
Konteks: Gotrek ditilang oleh polisi karena ’Lah iya, makanya itu’
melanggar aturan.
Bu Tejo: “Pak polisi, pak polisi, kami tuh mau tilik
Bu Lurah loh, Pak.” Pada data di atas, menunjukan bahwa adanya stigma
‘Pak Polisi, Pak polisi, kami ini mau negatif dan prasangka buruk terhadap Dian sebagai wanita
menjenguk Bu Lurah loh, Pak.’ karir. Dian, seorang kembang desa yang digambarkan
Yu Ning: “Iyo, Pak. Keburu telat ki selak sore loh, memiliki paras cantik dicurigai mendapatkan barang-
Pak.”
barang mewah dari hasil kerja yang tidak benar. Padahal
‘Iya, Pak. Keburu telat ini keburu sore loh,
Pak.’ bisa saja Dian mewakili perempuan mandiri yang berani
Bu Tejo: “Iki keadaannya darurat, Pak. Mbok melawan pandangan budaya patriarki yang tidak
tolong loh, Pak. Nuraninya itulah pak mendorong perempuan untuk berperan aktif dalam ranah
dipakai pak, empatinya ya Allah.” publik, serta bakat dan keterampilan perempuan lebih
‘Ini keadaannya darurat, Pak. Tolonglah
diakui dalam ranah domestik. Oleh karena itu, pandangan
hati nuraninya dipakai pak, empatinya ya
Allah.’ Bu Tejo, Bu Tri dan ibu-ibu lainnya terhadap Dian
Polisi: Sabar-sabar nggih bu nggih. menunjukan bahwa perempuan direpresentasikan inferior.
‘Sabar ya bu, sabar ya’ Sehingga, ketika perempuan tersebut berpenghasilan tinggi
Bu Tejo: ”Apa tak telponke saudara saya yang dan mampu membeli barang-barang mewah, dapat
polisi apa gimana? Hah? Bintangnya
memunculkan suatu kecurigaan oleh perempuan lainnya
lima jejer-jejer, berani apa?”
‘Apa tak telponkan saudara saya yang yang masih menganut budaya patriarki.
polisi apa gimana? Hah? Bintangnya lima
jejer-jejer, berani apa?’ 4. Kesimpulan
Polisi: ”Ibu-ibu ini paham aturan kan?”
Kelompok laki-laki dan perempuan dipersepsi
Pada data di atas, menunjukan bahwa dalam film Tilik menampilkan cara berbahasa yang berbeda. Berdasarkan
perempuan digambarkan memiliki sifat yang cerewet. pemaparan analisis bahasa dan gender pada film Tilik di atas,
Berdasarkan konteks tuturan, pada saat Gotrek ditilang maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: (1) Tokoh
karena mengangkut penumpang. Para ibu-ibu saling perempuan dalam film Tilik menggunakan karekteristik
membantu untuk protes dan mendesak polisi, serta kebahasaan yang dikemukakan oleh Lakoff (1975).
melakukan pembelaan dengan mengatakan bahwa mereka Karakteristik kebahasaan perempuan paling dominan yang
ingin menjenguk Bu Lurah yang sedang sakit. Pada ditemukan dalam film Tilik meliputi avoidance of strong

15
Jurnal Budaya, Vol. 2 No. 1, Agustus 2021, pp 7-16 Hasanah & Wicaksono

swear words, tag questions, hedges dan intensifiers. Rizka, H. (2017). Bahasa dan Gender dalam Film Kartun Go
Karakteristik kebahasaan perempuan yang paling sering Diego Go dan Dora the Explorer: Sebuah Kajian
muncul, yaitu penggunaan tag questions dengan intonasi Sosiolinguistik. BUANA GENDER: Jurnal Studi
naik; dan (2) Film Tilik merepresentasikan perempuan Jawa Gender dan Anak. 2, 2.
yang mirip dengan beberapa stereotip mengenai perempuan Saputry, D. (2016). Strategi Kesantunan Positif dan Negatif
yang berkembang dalam masyarakat tradisional, seperti dalam Bentuk Tuturan Direktif di Lingkungan STKIP
perempuan senang bergosip, cerewet, dan dipandang Muhammadiyah Pringsewu Lampung.. Jurnal
inferior. Pesona, 2, 1: 149–160.

Daftar Pustaka Simpson, P. (1993). Language, Ideology, and Point of View.


London: Routledge.
Agus, N. (2011). Representasi Bentuk Pagar (Hedges)
Subroto, E. (2007). Pengantar Metode Penelitian Linguistik
dalam Tuturan Bahasa Bugis. Jurnal Sawerigading,
Struktural. Surakarta: Universitas Sebelas Maret
17, 2 : 215–226.
Press.
Hall, S. (1997). Representation: Cultural Representation Sudaryanto. (2007). Metode dan Aneka Teknik Analisis
and Signifying Practices. London: SAGE Bahasa. Yogyakarta : Duta Wacana University Press.
Publication Ltd.
Sumarsono. (2012). Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA
Hamidah, A. Y. U. C. (2016). Analisis Fitur Bahasa Pada (Lembaga Studi Agama, Budaya, dan Perdamaian)
Status Facebook: Kajian Bahasa Dan Gender. bekerjasama dengan Pustaka Belajar.
Skripsi: Sastra Indonesia Universitas Airlangga.
Hidayati, N. N. (2016). Bahasa dan Gender: Kajian
Karakteristik Kebahasaan Laki-Laki dan Perempuan
dalam Film Anak. AL HIKMAH Jurnal studi
keislaman. 6, 1 : 9–32.
Holmes, J. (2013). An Introduction to Sociolinguistics (4th
edition). New York: Routledge Taylor & Francis
Group.
Jupriono, D. (2010). “Selayang Pandang Ketimpangan
Gender”. Parafrase, 10, 01 : 33–39.
Katubi. (2004). Studi Bahasa dan Jender: Sejarah Singkat,
Ancangan, dan Model Analisis. Jurnal Masyarakat
Dan Budaya, 4, 1 : 37–56.
Kesuma, T. M. J. (2007). Pengantar Metode Penelitian
Bahasa. Yogyakarta: Carasvatibooks.
Kusuma, I. (2019). Javanese Adjective Intensifier
Diphthong in Ponorogo: Generative
Transformational Phonology Study. Lingua
Didaktika: Jurnal Bahasa dan Pembelajaran
Bahasa. 12, 2 : 154-164.
Lakoff, R. (1987). Language and Woman’s Place (Revised
and Expanded Edition). Oxford: Oxford University
Press.
Lakoff, R. (2004). Language and Woman’s Place (Revised
and Expanded Edition). Oxford: Oxford University
Press.
Michael, E., Bakar, A. R. A., Ibrahim, I. M., Veerappan, G.,
Noor, N. M., Heng, L.E.., Latif, T. A., & Yann, N.
K. (2012). A Comparative Study of Gender Roles in
Animated Films. Global Journal of Human Social
Science. 12, 5.

16

Anda mungkin juga menyukai