Anda di halaman 1dari 50

1

Penatalaksanaan Fisioterapi pada Gangguan Keseimbangan dinamis


akibat hipertensi kronis dengan Latihan keseimbangan Core Stability
Exercise dan Tandem Exercise dalam mengurangi Resiko Jatuh Pada
Lansia
di RSUD
dr. Soesilo Slawi

Makalah
Stase Geriatri

Oleh: Sukri indra


NIM. P27226022041

Program Studi Pendidikan Profesi


Fisioterapi Politeknik Kesehatan Kemenkes
Surakarta 2022

1
2

Kata Pengantar

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Alhamdulillah , segala puji bagi Allah SWT, atas segala rahmat dan
nikmatnya yang telah memberikan kelapangan dan kelancaran serta kekuatan bagi
kami sehingga bisa menyelasaikan penyusunan makalah ini dengan baik. Berkat
kuasa-Nya yang telah memberikan kami semangat untuk menyelesaikan makalah ini
yang berjudul “Penatalaksanaan Fisioterapi pada Lansia dengan Gangguan
Keseimbangan di RSUD Banyumas”, sebagai bagian persyaratan dalam Pendidikan
Profesi Fisioterapi.

Penulis menyadari bahwa masih banyak sumber yang perlu dikaji lebih
dalam pada pembahasan fisioterapi muskuloskeletal, terlebih yang berkaitan dengan
penatalaksanaan fisioterapi pada lansia dengan gangguan keseimbangan. Kritik dan
saran sangat diperlukan demi kemajuan keilmuan. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat baik bagi kami sebagai penulis maupun para pembaca.

2
3

Daftar Isi

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.....................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keseimbangan dan Resiko Jatuh..........................................................4
2.2 Latihan Penguatan................................................................................6
2.3 Latihan Keseimbangan.........................................................................8
BAB III STATUS KLINIS......................................................................10
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan.........................................................................................24
4.2 Saran...................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

3
4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun

sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan

ekonomis. Oleh karena itu, kesehatan perlu dipelihara, dilindungi, dan

ditingkatkan kualitasnya melalui berbagai upaya yang dilakukan oleh semua

pihak (UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009).

Lansia adalah kelompok usia 60 tahun keatas yang rentan terhadap

kesehatan fisik dan mental. Yang mana dalam proses kehidupan manusia akan

mengalami keadaan yang fisiologis yaitu, “Penuaan” atau dikenal dengan

“Proses aging”,merupakan tahap lanjut dari proses kehidupan yang ditandai

dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stress

lingkungan. Penurunan kemampuan berbagai organ, fungsi dan sistem tubuh

bersifat alamiah/fisiologis. Pada umumnya tanda proses menua mulai tampak

sejak usia 45 tahun dan memimbulkan masalah di usia sekitar 60 tahun anatara

lain : penurunan kebugaran, fleksibilitas ,penurunan kemampuan otot ,

penurunan kapasitas cardiovaskuler dan gangguan keseimbangan.

Menurut Undang Undang Republik Indonesia nomor 13 tahun 1998 tentang

kesejahteraan lanjut usia, lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia

60 tahun keatas. Indonesia sendiri menduduki rangking keempat di dunia dengan

jumlah lansia 24 juta jiwa yang belum terlalu mendapat perhatian. Tidak hanya

menghadapi angka kelahiran yang semakin meningkat, Indonesia juga

4
5

menghadapi beban ganda (double burden) dengan kenaikan jumlah penduduk

lanjut usia (60 tahun ke atas) karena usia harapan hidup yang makin panjang bisa

mencapai 77 tahun. (Merry, 2008). Aliran darah otak dipengaruhi terutama oleh

3 faktor yaitu tekanan untuk memompakan darah dari sistem arteri-kapiler ke

sistem vena, tahanan perifer diteruskan keotak dan faktor darah itu sendiri

(viskositas dan koagulobilitas) (Harsono, 1996).

Tekanan darah arterial fluktuatif, walaupun demikian tekanan arteriolar-

kapiler otak konstan. Ketika tekanan darah arterial meningkat, arteriole otak

konstriksi, derajatnya bergantung kenaikan tekanan darah. Jika berlangsung

dalam periode singkat dan tekanan tidak terlalu tinggi maka tidak berbahaya.

Namun bila berlangsung bulan sampai tahun dapat terjadi hialinisasi otot

pembuluh darah dan diameter lumen menjadi tetap. Hal ini merupakan salah satu

bentuk penyakit degeneratif yang merupakan salah satu penyebab penyakit saraf.

Pada gangguan ini, satu atau lebih komponen sistem saraf menjadi malfungsi

setelah berfungsi normal beberapa tahun serta bersifat kronis, difus dan progresif

(Gelb, 1995).

Bila hipertensi tidak dikontrol dengan baik, maka dapat terjadi serangkaian

komplikasi serius seperti angina dan serangan jantung, stroke, kerusakan ginjal,

masalah mata. Hipertensi yang persisten dapat pula menimbulkan masalah di

sistem sirkulasi seperti penyakit arteri perifer, klaudikasio intermiten, aneurisma

aorta dan gangguan pada otak (Palmer,2007).

Hipertensi merupakan faktor resiko terpenting pada penyakit jantung

koroner dan kecelakaan serebrovaskuler (Kumar, 1999). Penyakit

serebrovaskuler meningkat ketika berumur 40 tahun atau lebih (Toole,1984).

Prevalensi usia (per 100.000) untuk penyakit serebrovaskuler paling tinggi pada

usia lebih dari 65 tahun lalu diikuti usia 45-64 tahun (Hennerici, 1991).
5
6

Sementara itu hipertensi kronis juga dapat menimbulkan berbagai gangguan

neurologi pada sistem saraf pusat, antara lain hipertensi ensefalopati, stroke,

aneurisma intrakranial dan arteriosklerosis pada otak (Chusid, 1994).

Hipertensi kronis dapat menimbulkan ketidak seimbangan ketika terjadi

lesi periventrikuler yang mempengaruhi serat sensoris dan motoris yang

menghubungkan area korteks dengan talamus, ganglia basalis, serebelum dan

medula spinalis (Bronstein, 2006). Dimana pengaturan keseimbangan

merupakan fungsi gabungan dari bagian serebelum, substansia retikuler dari

medula, pons, dan mesensefalon (Guyton, 1997).

Hipertensi yang tidak terkontrol dapat menimbulkan disabilitas dan juga

meningkatkan resiko disabilitas dibanding dengan yang normotensi (Hajjar,

2007). Laporan Sidang Dunia Kedua tentang Lanjut Usia (2002) memperkirakan

jumlah lansia di Indonesia menempati urutan ke empat terbesar di dunia. SKRT

2001 menunjukkan angka disabilitas 88,9% lansia, termasuk disabilitas ringan

(gangguan keseimbangan), yang merupakan masalah besar bagi Indonesia

(Trihandini, 2007).

Sirkulasi darah menurun sejalan dengan usia karena perubahan pada

jantung dan pembuluh darah yang tentu saja dipengaruhi oleh proses

arteriosklerosis (Isbagio dan Setiati, 2006). Arteriosklerosis dapat menimbulkan

ketidakseimbangan ketika terjadi lesi periventrikuler yang mempengaruhi serat

sensoris dan motoris yang menghubungkan area korteks dengan talamus,

ganglia basalis, serebelum dan medula spinalis (Bronstein, 2006)

Pada lansia usia diatas 70 tahun resiko jatuh mencapai 45%. Pada lansia

diatas 60 tahun juga dilaporkan setidaknya mengalami jatuh sekali dalam

setahun (Alhasan, Hood, & Mainwaring, 2017; Kwak, Kim, & Lee, 2016;

Osoba, Rao, Agrawal, & Lalwani, 2019). Penelitian lain menyebutkan bahwa
6
7

jatuh menjadi penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas pada lansia

(Cuevas- Salah satu yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keseimbangan

pada lansia adalah pemberian terapi latihan berupa penguatan otot dan latihan

keseimbangan (Priyanto, Putra, & Rusliyah, 2020)..

Gangguan keseimbangan pada lansia merupakan salah satu yang paling

banyak dialami dan dilaporkan pada layanan kesehatan. Gangguan

keseimbangan juga menjadi penyebab utama dalam kejadian jatuh pada lansia.

Lansia dengan usia diatas 60 tahun memiliki resiko jatuh 30% dan akan

meningkat seiring bertambahnya usia.

Latihan kesiapan motorik dan keseimbangan dinamis berupa core stability

exercise dan tandem exercise latihan terbukti dapat menurunkan resiko jatuh

pada lansia (Cuevas-trisan, 2019; Pattia et al., 2017). Salah satu yang memiliki

kompetensi untuk memberikan latihan penguatan otot untuk meningkatkan

keseimbangan pada lansia adalah fisioterapis. Hal ini telah tercantum dalam

Permenkes 80 tahun 2013 bahwa Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan

yang ditujukan kepada individu dan atau kelompok untuk mengembangkan,

memelihara, dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang rentang

kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak,

pelatihan fungsi dan komunikaasi. Tujuan yang ingin dicapai oleh fisioterapis

adalah peningkatan gerak fungsional agar masyarakat dapat aktivitasnya

secara optimal.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana penatalaksanaan fisioterapi dengan latihan core stability dalam upaya

untuk meningkatkan keseimbangan dinamis pada lansia pada gangguan hypertensi

kronis?

C. Tujuan Penulisan

7
8

1. Mengidentifikas pasien sebelum diberikan penatalaksanaan fisioterapi

untuk meningkatkan keseimbangan dinamis pada lansia dengan gangguan

hipertensi kronis.

2. Mengidentifikasi pengaruh sesudah diberikan penatalaksanaan fisioterapi

untuk meningkatkan keseimbangan dinamis pada lansia dengan gangguan

hipertensi kronis.

3. Menganalisa pengaruh sebelum dan sesudah diberikan penatalaksanaan

fisioterapi untuk meningkatkan keseimbangan dinamis pada lansia

dengan gangguan hipertensi kronis .

8
9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Hipertensi

Tekanan darah berarti kekuatan yang dihasilkan oleh darah terhadap setiap

satuan luas dinding pembuluh. Tekanan darah hampir selalu dinyatakan dalam

milimeter air raksa (mmHg) karena manometer air raksa telah dipakai sebagai

rujukan baku untuk pengukuran tekanan darah. Pada pemeriksaan tekanan darah

akan didapatkan dua angka. Angka yang lebih tinggi diperoleh pada saat jantung

berkontraksi (sistolik), angka yang lebih rendah diperoleh pada saat jantung

relaksasi (diastolik) (Guyton, 1997).

Tekanan darah tinggi (hipertensi) dikenal sebagai peningkatan tekanan

darah abnormal, umumnya berhubungan dengan abnormalitas struktur dan

fungsi banyak organ, antara lain pembuluh darah, jantung, otak dan ginjal.

Sampai saat ini tidak ada kesatuan pendapat mengenai definisi hipertensi.

Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah Pada Dewasa Menurut WHO

Kategori Tekanan Darah Tekanan Darah

Sistolik Diastolik

Normal Di bawah 130 mmHg Di bawah 85 mmHg

Normal tinggi 130-139 mmHg 85-89 mmHg

Stadium1 (Hipertensi 140-159 mmHg 90-99 mmHg

ringan)

Stadium2 (Hipertensi 160-179 mmHg 100-109 mmHg

sedang)

Stadium3 (Hipertensi 180-209 mmHg 110-119 mmHg

Berat)

9
10

Stadium4 (Hipertensi 210 mmHg atau lebih 120 mmHg atau

maligna) Lebih

2. Sirkulasi Darah Otak

Berat otak kira-kira hanya 2% dari total berat badan, namun otak

menerima 15% dari total curah jantung dan menggunakan 20% dari konsumsi

energi tubuh (Hennerici, 1991). Otak memperoleh darah melalui dua sistem yakni

sistem karotis interna dan sistem vertebral. Arteri karotis interna setelah

memisahkan diri dari arteri karotis komunis, naik dan masuk ke rongga kranium

melalui kanalis karotikus, berjalan dalam sinus kavernosus, mempercabangkan

a.oftalmika untuk nervus optikus dan retina, akhirnya bercabang dua: a.serebri

anterior dan a.serebri media. Untuk otak sistem ini memberi aliran darah bagi

lobus frontalis, parietalis dan beberapa bagian lobus temporalis.

Sistem vertebral dibentuk oleh a.vertebralis yang berpangkal di a.subklavia,

menuju dasar tengkorak melalui kanalis transversalis di kolumna vertebralis

servikalis, masuk rongga kranium melalui foramen magnum, lalu

mempercabangkan masing-masing sepasang a.inferior posterior serebeli. Pada

batas medula oblongata dan pons, keduanya bersatu menjadi a.basilaris yang

mempercabangkan a.inferior anterior serebeli dan berakhir sebagai sepasang a

serebri posterior, yang melayani darah bagi lobus oksipitalis, dan bagian medial

lobus temporalis.

Sedangkan arteria untuk daerah otak tertentu antara lain, serebelum

diperdarahi oleh a.superserebeli. Talamus mendapat cabang dari a.komunikan

posterior, a.basilariior serebeli, a.inferior anterior serebeli dan a.inferior posterior

s dan a.serebri posterior. Mesenceflon diperdarahi oleh a.serebri posterior,


10
11

a.serebeli superior, a.basilaris. Pons diperdarahi oleh a.basilaris serta a.inferior

anterior dan superior serebeli (Snell, 2007).

Darah vena dialirkan dari otak melalui 2 sistem: kelompok vena interna,

yang mengumpulkan darah ke vena Galeni dan sinus rektus, dan kelompok vena

eksterna yang terletak dipermukaan hemisfer otak, dan mencurahkan darah ke

sinus sagitalis superior dan sinus-sinus basalis lateralis, dan seterusnya melalui

vena-vena jugulares, dicurahkan menuju ke jantung (Harsono, 1996).

3. Konsep Keseimbangan

a. Definisi

Keseimbangan merupakan kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan

tubuh ketika ditempatkan di berbagai posisi, dan kemampuan untuk

mempertahankan pusat gravitasi pada bidang tumpu terutama ketika saat posisi

tegak, dan tujuan dari tubuh mempertahankan keseimbangan adalah menyangga

tubuh untuk melawan gravitasi dan faktor-faktor ekternal lain, mempertahankan

pusat massa tubuh agar sejajar dan seimbang dengan bidang tumpu,serta

menstabilisasi bagian tubuh ketika bagian tubuh lain bergerak. Kemampuan untuk

menyeimbangkan massa tubuh dengan bidang tumpu akan membuat manusia

mampu untuk beraktivitas secara efektif dan efisien (Irfan, 2012 dalam Syapitri,

2016)..

Keseimbangan adalah kemampuan mempertahankan sikap dan posisi tubuh

secara cepat pada saat berdiri (static balance) atau pada saat melakukan gerakan

(dynamic balance). Keseimbangan merupakan kemampuan tubuh untuk

melakukan reaksi atas setiap perubahan posisi tubuh dimana tubuh tetap dalam

keadaan stabil dan terkendali. Keseimbangan juga bisa diartikan suatu

kemampuan untuk memepertahan posisi badan secara tepat saat melakukan


11
12

gerakan secara cepat sesuai dengan keadaan yang dialami saat itu (Zulvikar,

2016).

Keseimbangan dianjurkan bagi lanjut usia karena berhubungan dengan

sikap mempertahankan keadaan keseimbangan ketika sedang diam atau sedang

bergerak. Lanjut usia yang mempunyai kebugaran jasmani dituntut untuk tidak

tergantung pada orang lain, maka diharapkan masih bisa tetap berdiri dan berjalan

dengan baik. (Sumintarsih, 2006 dalam Cahyoko dkk, 2016).

b. Fisiologi Keseimbangan

Banyak komponen fisiologis dari tubuh manusia memungkinkan kita untuk

melakukan reaksi keseimbangan. Bagian paling penting adalah proprioception

yang menjaga keseimbangan. Kemampuan untuk merasakan posisi bagian sendi

atau tubuh dalam gerak. Keseimbangan dipengaruhi oleh komponen-komponen

keseimbangan yaitu sistem informasi sensoris (meliputi visual, vestibular dan

somatosensoris), respon otot postural yang sinergisKeseimbangan merupakan

komponen penting dalam stabilitas gerak makhluk hidup. Tiga sistem informasi

sensoris digunakan oleh sistem saraf untuk menjaga keseimbangan yaitu

penglihatan, proprioseptif yang ada di seluruh tubuh dan sistem vestibular di

dalam telinga (Barr,1984). Ketiga hal tersebut disebut sebagai equilibrial triad

(Noback, 1981). kekuatan otot, sistem adaptif, dan lingkup gerak sendi (Munawwarah,

2015).

Proprioseptif berkaitan dengan kesadaran mengenai orientasi dan posisi

segmen tubuh. Sistem proprioseptif yang memberikan informasi ke saraf pusat

mengenai posisi tubuh melalui sendi, tendon, otot, ligament, dan kulit, mengalami

gangguan sehingga turut berperan pada terjadinya gangguan keseimbangan.

Melemahnya kekuatan otot akibat inaktivitas, tidak digunakannya otot, dan

deconditioning dapat berperan pada terjadinya gangguan cara berjalan serta

12
13

memperbaiki posisi setelah kehilangan keseimbangan. Terjadinya penurunan

kekuatan otot akibat proses penuaan, bahkan pada lansia yang sehat dan aktif

(Munawwarah, 2015).

c. Klasifikasi Keseimbangan

Menurut Abrahamova dan Hlavacka (2018), keseimbangan terbagi menjadi

dua klasifikasi, yakni:

1).Keseimbangan Statis. Keseimbangan statis adalah kemampuan untuk

mempertahankan posisi tubuh dimana Center of Gravity (COG) tidak berubah.

Contoh keseimbangan statis saat berdiri dengan satu kaki, menggunakan papan

keseimbangan.

2).Keseimbangan Dinamis. Keseimbangan dinamis adalah kemampuan untuk

mempertahankan posisi tubuh dimana (COG) selalu berubah, contoh saat berjalan.

Keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan kesetimbangan ketika

bergerak. Keseimbangan dinamis adalah pemeliharaan pada tubuh melakukan

gerakan atau saat berdiri pada landasan yang bergerak (dynamic standing) yang

akan menempatkan ke dalam kondisi yang tidak stabil. Keseimbangan merupakan

interaksi yang kompleks dari integrasi sistem sensorik (vestibular, visual, dan

somatosensorik termasuk proprioceptor) dan muskuloskeletal (otot, sendi, dan

jaringan lunak lain) yang dimodifikasi/diatur dalam otak (kontrol motorik,

sensorik, basal ganglia, cerebellum, area asosiasi) sebagai respon terhadap

perubahan kondisi internal dan eksternal. Dipengaruhi juga oleh faktor lain seperti

usia, motivasi, kognisi, lingkungan, kelelahan, pengaruh obat dan pengalaman

terdahulu.

d. Komponen – komponen pengatur keseimbangan

Menurut Irfan (2018), yang termasuk komponen – komponen pengatur

keseimbangan yakni: Sistem informasi sensoris. Sistem informasi sensoris


13
14

meliputi visual, vestibular, dan somatosensoris.

1. Visual.

Visual memegang peran penting dalam sistem sensoris. Penglihatan juga

merupakan sumber utama informasi tentang lingkungan dan tempat kita

berada, penglihatan memegang peran penting untuk mengidentifikasi dan

mengatur jarak gerak sesuai lingkungan tempat kita berada. Penglihatan

muncul ketika mata menerima sinar yang berasal dari obyek sesuai jarak

pandang. Dengan informasi visual, maka tubuh dapat menyesuaikan atau

bereaksi terhadap perubahan bidang pada lingkungan aktivitas sehingga

memberikan kerja otot yang sinergi untuk mempertahankan keseimbangan

tubuh.

2. Sistem vestibular.

Komponen vestibular merupakan sistem sensoris yang berfungsi penting

dalam keseimbangan, kontrol kepala, dan gerak bola mata. Reseptor sensoris

vestibular berada di dalam telinga. Reseptor pada sistem vestibular meliputi

kanalis semisirkularis, utrikulus, serta sakulus. Reseptor dari sistem sensoris ini

disebut dengan sistem labyrinthine. Sistem labyrinthine mendeteksi perubahan

posisi kepala dan percepatan perubahan sudut. Melalui refleks

vestibulooccular, mereka mengontrol gerak mata, terutama ketika melihat

obyek yang bergerak. Mereka meneruskan pesan melalui ke delapan saraf

kranialis ke nukleus vestibular yang berlokasi di batang otak. Beberapa

stimulus tidak menuju nukleus vestibular tetapi ke serebelum, retikular

formasi, talamus dan korteks serebri. Nukleus vestibular menerima masukan

(input) dari reseptor labyrinth, retikular formasi, dan serebelum. Keluaran

(output)dari nukleus vestibular menuju ke motor neuron melalui :

b.Penglihatan
14
15

Penglihatan berperan penting dalam menjaga keseimbangan. Sesudah

kerusakan aparatus vestibular dan bahkan sebagian besar informasi

proprioseptif dari tubuh hilang, ternyata penderita masih dapat menggunakan

mekanisme visualnya secara efektif untuk menjaga keseimbangan. Bahkan

gerakan linier atau gerakan dan selanjutnya informasi ini akan dipancarkan ke

pusat keseimbangan. Namun, bila rotasi tubuh akan segera menggeser

bayangan penglihatan yang ada di retina, pergerakan cepat sekali atau bila mata

penderita ditutup, maka keseimbangan akan segera hilang (Guyton, 1997).

Pemasok arteri utama ke orbita dan bagian-bagiannya berasal dari arteria

oftalmika, cabang besar pertama dari bagian intra kranial arteri karotis interna.

Cabang intra orbital pertama adalah arteri retina sentralis (Snell,

2007).Sumbatan arteri atau vena retina sentralis atau kelainan arteriosklerotik

di dalam saraf optikus itu sendiri yang mengganggu pasokan darah atau

destruksi sel-sel ganglion sebagai akibat dari penyakit degeneratif sistemik

dapat menyebabkan atrofi saraf optikus.

Temuan klinis berupa hilangnya ketajaman penglihatan, lapang pandang,

dan penglihatan warna adalah satu-satunya gejala. Perubahan fungsi

penglihatan belangsung sangat lambat dalam beberapa minggu atau bulan.

Adanya Arteriosklerosis ditandai oleh peningkatan refleksi cahaya, pelemahan

fokal dan iregularitas kaliber pembuluh.

Gambaran pada pembuluh retina yaitu produk-produk lemak kuning keabu-

abuan yang terdapat di dinding pembuluh bercampur dengan warna merah

kolom darah dan menghasilkan gambaran khas “kawat tembaga” (copper-

wire), hal ini mengisyaratkan arteriosklerosis tingkat sedang. Apabila sklerosis

berlanjut, refleksi cahaya dinding pembuluh kolom darah mirip dengan “kawat

perak”, yang mengisyaratkan arteriosklerosis berat, kadang-kadang bahkan


15
16

dapat terjadi sumbatan suatu cabang arteriol (Vaughan, 2000).

Hipertensi dapat menyebabkan penyempitan arteriol fokal dan rusaknya

sawar darah retina yang menyebabkan munculnya tanda kebocoran vaskuler.

Ini terutama terlihat bila hipertensi bukan disebabkan oleh penyakit ginjal.

Pasien sering mengeluhkan penglihatan kabur dan episode hilangnya

penglihatan temporer. Terapi hipertensi dan menghindari penurunan yang dapat

mempresipitasi oklusi vaskuler akan menghasilkan resolusi tanda retina. Hal

ini dapat memakan waktu beberapa bulan (James, 2006).

a. Proprioseptif

Proprioseptif merupakan bagian dari sistem sensorik yang berespon

terhadap perubahan posisi dan pergerakan terutama berhubungan dengan

sistem muskuloskeletal. Proprioseptor adalah reseptor yang menerima impuls

primer berasal dari kumparan otot dan organ tendon, misal: otot, tendon, sendi

(Kurnia, 2009). Sebagian besar informasi proprioseptif penting yang

diperlukan untuk menjaga keseimbangan dijalarkan oleh reseptor-reseptor

sendi leher. Selain dari leher, informasi juga dapat berasal dari tapak kaki.

Impuls dijalarkan oleh proprioseptor di leher dan bagian tubuh lainnya

langsung ke nuklei vestibuler dan nuklei retikuler batang otak dan secara tak

langsung ke serebelum (Guyton, 1997).

c. Vestibular

Salah satu organ yang mendeteksi sensasi keseimbangan adalah

aparatus vestibular (Guyton, 1997). Bagian vestibula dari labirintus

membranakeus terdiri dari kanalis semisirkularis, utrikulus dan sakulus.

Dimana terdapat sel-sel siliaris yang menangkap rangsang keseimbangan yang

bersifat gelombang (Sidharta, 1997).secara umum arus informasi berlangsung


16
17

intensif bila ada gerakan dari kepala atau tubuh. Akibat gerakan ini

menimbulkan perpindahan cairan endolimfe di labirin dan selanjutnya silia dari

sel rambut menekuk menyebabkan permeabilitas membran sel berubah

sehingga ion kalsium menerobos masuk ke dalam sel (influks) dengan akibat

terjadi depolarisasi yaitu pelepasan neurotransmiter eksitator (glutamat) yang

selanjutnya impuls diteruskan ke pusat di nukleus vestibularis terus ke otak

kecil, korteks serebri, hipotalamus dan pusat otonomik di formasio retikularis.

Selanjutnya sebagai hasilnya dikeluarkan perintah ke efektor melalui

neurotransmiter inhibitor (gamalat, dopamin) (Sodeman, 1974). Gangguan

vestibular dan hubungan sentralnya, pertama-tama menghasilkan vertigo,

memberikan perasaan seseorang berputar pada aksisnya sendiri atau semua

disekelilingnya berputar dengan cepat. Perasaan ini menimbulkan rasa tidak

mantap pada waktu berjalan dan berdiri, serta kecenderungan untuk jatuh

(Duus, 1996). Vertigo dinyatakan sebagai pusing, pening, rasa berputar-putar,

sempoyongan, rasa seperti melayang atau merasakan badan atau dunia

sekelilingnya berputar-putar dan berjungkir balik (Sidharta, 1997).

Pengaturan keseimbangan tubuh dilakukan oleh pusat-pusat yang terletak

pada semua tingkatan susunan saraf pusat, mulai dari medula spinalis hingga

korteks serebri (Wibowo, 2008). Struktur dalam sistem saraf pusat yang

mengendalikan berdiri dan berjalan adalah ganglia basalis, “daerah lokomotor”

dalam mesensefalon, serebelum dan medula spinalis. Korteks serebral pasti

penting dalam beberapa aspek berdiri dan berjalan, tapi pada binatang

percobaan, pengangkatan korteks serebral seluruhnya selama periode neonatal,

dengan melindungi ganglia basalis, talamus, dan struktur dibawahnya, tetap

meninggalkan cara berdiri dan gaya gerak pada dasarnya normal. Sedangkan

17
18

medula spinalis terdiri dari sirkuit neural yang mengkoordinasikan otot-otot

untuk daya gerak. Ringkasnya sikap berdiri dan gaya berjalan adalah hasil

aktivitas yang terintegrasi dari ganglia basalis, mesensefalon, serebelum dan

medula spinalis (Harrison, 1962).

Serebelum merupakan komponen terpenting dalam menjaga keseimbangan

tubuh. Untuk tujuan klinis, serebelum dibagi menjadi tiga garis longitudinal

yang tersusun dari medial ke lateral, termasuk korteks serebelaris, substansia

alba dibawahnya, dan nuklei serebelaris profunda:

1) Zona garis tengah, terdiri dari daerah vermal dengan nukleus fastigial.

Lesi pada zona ini menyebabkan gangguan cara berdiri dan berjalan, ataksia

tubuh, dan titubation, serta sikap kepala terputar atau terangkat.

2) Zona intermedia, daerah paravermal, dengan interposed nuklei. Lesi

pada zona ini menyebabkan gejala khas terkenanya zona garis tengah maupun

lateral.

3) Zona lateral terdiri dari hemisfer serebelaris dengan nukleus dentata.Lesi

pada zona ini mengakibatkan gangguan pada gerakan tungkai yang

terkoordinasi (ataksia), disartria, hipotonia, nistagmus, dan tremor kinetik

(Harrison, 1962). Stimulasi silia di aparatus vestibuler mengaktifkan saraf

sensoris pada saraf vestibulokoklear (VIII). Serabut saraf ini mentransmisikan

impuls ke serebelum dan ke nukleus vestibularis di medula oblongata. Serabut

saraf nukleus vestibuler juga menuju ke pusat okulomotor di otak dan ke

sumsum tulang.

Gambar 1. Jaras Mekanisme keseimbangan Tubuh

Mata

18
19

Aparatus Vestibular Sendi,Otot, Tendon reseptor

Serebelum Nukleus vestibular

Pusat Oculomoor Sum Sum Tulang Belakang

5. Tes-Tes Penunjang untuk Menentukan Gangguan Keseimbangan.

a. Tes romberg

dorsalis. Penderita berdiri tegak dengan mata terbuka atau tertutup.

Tangan dan kaki rapat berimpit samping lalu berdiri selama 20 sampai 30

detik. Tes Romberg dinilai positif bila dengan mata terbuka atau tertutup

penderita bergoyang Tes ini digunakan untuk mengetahui adanya

kelainan di funikulus atau jatuh.

b.Modifikasi romberg

Jalan di tempat, mata tertutup, tangan lurus ke depan, angkat kaki

setinggi-tingginya selama satu menit.

c.Babinsky well

Berjalan dengan mata tertutup tiga langkah atau 30 detik lurus ke

depan, lalu disuruh berbalik.

d.Barany

Penderita duduk di kursi, mata tertutup menunjukkan sesuatu

sampai 20 kali, tidak boleh bersandar. Modifikasi dari Barany yaitu

19
20

dengan menyatukan kedua ujung telunjuk tangan kanan dan kiri

(Sudarman, 1994).

e.Finger to Finger Test

Dengan mata terbuka atau tertutup kedua tangan direntangkan lalu

saling mempertemukan kedua telunjuk. Pada penderita dengan kelainan

serebelum akan mengalami kesukaran dalam mempertemukan ujung

telunjuk tangannya satu sama lain.

f. Writing Test.

Dengan mata tertutup, kepala menghadap ke muka, penderita

diminta untuk menulis huruf-huruf sepanjang 20 cm atau 15 kata. Pada

garis vertikal yang lurus, posisi kepala bisa berubah menjadi ekstensi

atau fleksi menurut tujuannya. Pada waktu menulis tangan harus bebas

tidak boleh mengendur. Pada penderita dengan gangguan serebelum akan

tampak gambaran seperti bentuk huruf yang kacau (ataksia).

5. Hubungan Hipertensi dengan keseimbangan.

Aliran darah otak dipengaruhi terutama oleh 3 faktor yaitu tekanan untuk

memompakan darah dari sistem arteri-kapiler ke sistem vena, tahanan perifer

darah otak dan faktor darah itu sendiri(viskositas dan koagulobilitas) (Harsono,

1996). Tekanan darah arterial fluktuatif, walaupun demikian tekanan arteriolar-

kapiler otak konstan. Ketika tekanan darah arterial meningkat, arteriole otak

konstriksi, derajatnya bergantung kenaikan tekanan darah. Jika berlangsung dalam

periode singkat dan tekanan tidak terlalu tinggi maka tidak berbahaya. Namun bila

berlangsung bulan sampai tahun dapat terjadi hialinisasi otot pembuluh darah dan

diameter lumen menjadi tetap. Hal ini merupakan salah satu bentuk penyakit

degeneratif yang merupakan salah satu penyebab penyakit saraf. Pada gangguan
20
21

ini, satu atau lebih komponen sistem saraf menjadi malfungsi setelah berfungsi

normal beberapa tahun serta bersifat kronis, difus dan progresif (Gelb, 1995).

Hipertensi kronis dapat menimbulkan ketidak seimbangan ketika terjadi

lesi periventrikuler yang mempengaruhi serat sensoris dan motoris yang

menghubungkan area korteks dengan talamus, ganglia basalis, serebelum dan

medula spinalis (Bronstein, 2006). Dimana pengaturan keseimbangan merupakan

fungsi gabungan dari bagian serebelum, substansia retikuler dari medula, pons,

dan mesensefalon (Guyton, 1997).

Gambar 2. Ilustrasi autoregulasi sirkulasi otak dan dipengaruhi oleh tekanan CO2
arterial dan hipertensi.

Cerebral perfusion (me/min/100 g)

80

70

60

50 100 150 200


( mean ) blood pressure (mm Hg)

(Hennerici, 1991).

Dari diagram diatas terlihat bahwa hipertensi kronis menyebabkan

penurunan perfusi darah ke otak. Jika perfusi turun, membrane potensial juga

akan turun. Hipoksia dan hipoglikemia akan mempunyai konsekuensi patologis.


21
22

Karena kurangnya oksigen, produksi energi melalui siklus asam sitrat untuk

memproduksi ATP akan turun. Selain itu akan menimbulkan asidosis yang

mempengaruhi fungsi enzim di otak (Hennerici, 1991).

6. Latihan penguatan (Core Stability)


Core stability exercise merupakan kemampuan untuk mengendalikan posisi

dan gerak dari trunk, pelvic dan kaki, yang memungkinkan terjadinya

optimalisasi gerakan, transfer, dan kontrol kekuatan yang optimal. Core stability

exercise ini mengacu pada latihan yang mengaktifkan pola motorik spesifik

dengan stabilisasi tulang belakang dan kontrol postur tubuh pada trunk

(Szafraniec et al., 2018).

Core Stability Exercise merupakan latihan untuk mengontrol gerak dan

posisi bagian pusat tubuh yaitu mengontrol gerak dan posisi dari trunk sampai

pelvic yang digunakan untuk melakukan gerakan secara optimal. Latihan ini

merupakan salah satu latihan yang efektif dapat meningkatkan keseimbangan, .

Latihan core stability akan mengembangkan kerja otot-otot dynamic, dengan

terjadinya kontraksi yang terkoordinasi dan bersamaan dari otot-otot tersebut

akan memberikan rigiditas untuk menopang trunk, akibatnya adanya tekanan

intradiskal berkurang dan akan mengurangi beban kerja dari otot lumbal,

sehingga jaringan disekitar tidak mudah cidera, ketegangan otot lumbal yang

abnormal berkurang.

Core stability exercise merupakan salah satu latihan yang dapat diberikan

untuk memperbaiki keseimbangan pada lansia dan core stability exercise akan

membantu membentuk stabilitas postural yang baik untuk lansia (Kharismawan

et al., 2019). Core terdiri dari komponen tulang, ligament, otot dan saraf yang

tergabung dalam lapisan jaringan tiga dimensi. Susunan anatomi tersebut

memberikan stabilitas pada tulang punggung, memungkinkan gerakan di


22
23

berbagai bidang dan memungkinkan transfer energi ketika bergerak. Dasar

panggul merupakan aspek inferior dari core (Malanga et al., 2017).

Core stability ini dapat dijadikan suatu bentuk pemanasan sebelum

melakukan olahraga. Hal ini dikarenakan pada saat suatu otot berkontraksi, maka

terjadi penguluran atau stretch pada otot-otot antagonisnya. Core stability

exercise dapat memberikan peregangan ke otot-otot lumbalis, ligamen dan

struktural myofascial sehingga dengan pemberian latihan core stability dapat

mencegah terjadinya cedera saat melakukan olahraga (Irawan, 2020). Core

stability exercise Adalah suatu jenis latihan,dalam latihan ini dipilih jenis latihan

yang mudah diterapkan oleh pasien secara mandiri. Adapun yaitu Bridging

execise (Akuthota et al., 2018).

Bridging exercise telah terbukti efektif dalam meningkatkan stabilitas dan

kekuatan core muscle Jika stabilitas dan kekuatan core muscle baik maka akan

menyebabkan kontraksi otot sfingter uretra menjadi. Karena keempat grup otot

core muscle bekerja secara harmonis dalam suatu gerakan kompleks, Bridging

exercise dengan frekuensi 3x seminggu dalam selama 2 minggu dengan time 30

detik (Putri dan Sena, 2022).

7. Tandem Exercise dan Latihan Keseimbangan


Tandem walking exercise merupakan salah satu latihan yang bertujuan

untuk melatih sikap atau posisi tubuh, koordinasi otot dan gerakan tubuh serta

mengontrol keseimbangan dan melatih parameter yang terkait dengan

keseimbangan individu yang merupakan kontrol mutlak atas ketetapan dari

mobilitas tubuh (Valentin et al. 2013)

Sedangkan tandem walking exercise sendiri merupakan suatu latihan

proprioceptive melibatkan gerakan yang lambat pada setiap perpindahan gerak


23
24

dan posisi agar nuclei subcortical dan basal ganglia dapat menganalisis sensasi

posisi dan mengirimkan umpan balik berupa kontraksi otot yang diharapkan

(Novianti, 2018). yaitu keseimbangan statis dan keseimbangan dinamis.

Keseimbangan statis adalah kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan

total tubuh ketika berdiri pada satu titik. Sedangkan keseimbangan dinamis yaitu

keseimbangan yang dibutuhkan pada saat melakukan aktivitas atau selama

melakukan gerakan (Sari, 2013).

Keseimbangan dinamis sangatlah penting untuk keberlangsungan aktivitas

sehari-hari pada setiap individu terlebih lansia. Ketika terjadi gangguan

keseimbangan dinamis pada lansia, maka lansia akan memiliki masalah seperti

berjalan, bergerak, berpindah tempat maupun lansia mengalami jatuh, sehingga

lansia akan sulit melakukan aktivitas seperti normalnya.

Bentuk penanganan fisioterapi yang bisa diberikan untuk meningkatkan

kesehatan pada lansia yang mengalami gangguan keseimbangan dinamis adalah

dengan pemberian intervensi berupa core stability exercise dan tandem walking

exercise. Core stability exercise merupakan kemampuan untuk mengendalikan

posisi dan gerak dari trunk, pelvic dan kaki, yang memungkinkan terjadinya

optimalisasi gerakan, transfer, dan kontrol kekuatan yang optimal. Core stability

exercise ini mengacu pada latihan yang mengaktifkan pola motorik spesifik

dengan stabilisasi tulang belakang dan kontrol postur tubuh pada trunk

(Szafraniec et al., 2018).

Sedangkan tandem walking exercise merupakan salah satu latihan yang

bertujuan untuk melatih sikap atau posisi tubuh, koordinasi otot dan gerakan

tubuh serta mengontrol keseimbangan dan melatih parameter yang terkait

dengan keseimbangan individu yang merupakan kontrol mutlak atas ketetapan

24
25

dari mobilitas tubuh (Valentin et al. 2013).

Terjadinya perubahan peningkatan keseimbangan dinamis saat diberikan

intervensi tandem walking exercise juga disebabkan karena Intervensi

fisioterapi yang dapat mengatasi permasalahan yang dihapi lansia yang

mempengaruhi keseimbangan postural (Kusnanto, 2015). Latihan balance

exercise merupakan aktifitas fisik yang dilakukan untuk meningkatkan

kestabilan tubuh dengan meningkatkan kekuatan otot ekstremitas bawah

(Nyoman, 2013).

Balance exercise dilakukan 3 kali dalam seminggu selama 5 minggu adalah

frekuensi yang optimal, dan dapat meningkatkan keseimbangan postural lansia

dan mencegah timbulnya jatuh (Skelton, 2015). Madureira et al., (2016)

menyatakan bahwa latihan keseimbangan fungsional dan statis, mobility dan

menurunkan frekuensi terjatuh pada lansia dengan osteoporosis.

Tandem exercise dan Balance Exercise merupakan suatu aktivitas fisik

yang dilakukan untuk meningkatkan kestabilan tubuh dengan cara meningkatkan

kekuatan otot anggota gerak bawah (Listyarini dan Alvita, 2018). Balance

Exercise dengan frekuensi 3x seminggu selama 2 minggu, time 3 menit ,dalam

meningkatkan keseimbangan dinamis pada lansia. Hal ini dikarenakan Tingkat

Intensitas sedang untuk melatih keseimbangan. Biasanya latihan keseimbangan

melibatkan gerakan lambat dan metodis. Area yang Anda membutuhkan otot inti

yang kuat untuk keseimbangan yang baik. Banyak latihan stabilitas akan melatih

otot perut dan otot inti lainnya (Nugraha, 2018).

Bertujuan untuk meningkatkan keseimbangan statis, dinamis, dan aktivitas

keseimbangan fungsional melalui peregangan dan kekuatan. Selain itu, balance

exercise juga menimbulkan kontraksi otot pada lansia yang dapat mengakibatkan
25
26

peningkatan serat otot sehingga komponen sistem metabolisme fosfagen,

termasuk ATP yang dapat meningkatkan kekuatan otot pada lansia sehingga

terjadi peningkatan keseimbangan. Indikasi dilakukannya balance exercise

adalah lansia yang berusia lebih dari 60 tahun dan mengalami gangguan

keseimbangan atau berisiko tinggi cedera/jatuh.

26
27

BAB III

STATUS KLINIS

BLANKO STUDI KASUS

KOMPETENSI : Stase Geriatri


NAMA MAHASISWA : Sukri Indra

N.I.M. : P27226022041

TEMPAT PRAKTIK : RSUD Soesilo Slawi

PEMBIMBING :Eko Prihati, SFis., Ftr.

Tanggal Pembuatan SK :22 Desember 2022

i. IDENTITAS PENDERITA

Nama : Ny.Nursiti

Umur : 70 th

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Tegal

No. CM :0345

27
28

ii. SEGI FISIOTERAPI

1. Deskripsi Pasien dan Keluhan Utama


Pasien Ny.N Perempuan 70 tahun datang keRumah Sakit Umum dr. Soesilo slawi pada

tanggal 8 Desember 2022 dengan keluhan sakit kepala yang hilang timbul, sulit tidur dan

semakin memberat sejak 2 hari yang lalu. Keluhan ini di sertai rasa berat di tengkuk.

Sakit kepala datang terutama datang saat banyak pikiran. Pasien mempunyai riwayat

hipertensi / tekanan darah tinggi mencapai 170/100mmHg, sejak saat itu dokter

menganjurkan rutin minum obat serta rajin memeriksa tekanan darah. Pasien merupakan

seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari mengurusi pekerjaan rumah akan tetapi sering

merasa tiba-pusing dan goyang sehingga menghambat pekerjaannya sehari-hari.

2. Data Medis Pasien


Medika Mentosa : Catopril 25 mg 2x1 , Methyl Predinsolon, Diazepam, Omeprazol

Hasil MRI 5 September 2021 :

28
29

iii. PEMERIKSAAN FISIOTERAPI

1. Pemeriksaan Tanda Vital ( Umum)


(Tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, temperatur, tinggi badan, berat badan)

Tekanan Darah : 170/100 mmHg


Denyut Nadi : 83x/menit
Respiration Rate : 23x/menit
Tempertaur : 360C
Tinggi Badan : 156 cm
Berat Badan : 60

29
30

2. Inspeksi / Observasi
Statis :
• Keadaan umm pasien tampak baik

• Tampak paras wajah tegang.

Dinamis
:
• Pola napas normal.

• Pola jalan tidak terjadi fase initial contact dan swing pada kedua tungkai , jalan seperti
melayang

• Pasien hars dibantu untuk naik 3 trap anak tangga

3. Palpasi
• Suhu pada kedua tungkai normal

• Tidak ada pitting oedema pada kedua lutut

• Terdapat spasme pada otot quadricep dan hamstring pada tungkai kedua tungkai.

4. Joint Test

Pemeriksaan Gerak Dasar (Gerak aktif/pasif/isometrik fisiologis)


Pemeriksaan Gerak Aktif :pasien dapat menggerakkan lututnya baik fleksi maupun ekstensi,

tidak full ROM, tanpa rasa nyeri, kecuaali pada akhir gerakan fleksi ada nyeri dan terasa berat

Pemeriksaan Gerak Pasif: kedua lutut pasien mampu digerakkan ke arah fleksi

maupun ekstensikecuali ke arah fleksi ada nyeri pada akhir gerakan, soft endfeel

Pemeriksaan Gerak Isometrik: pasien dapat melawan tahanan minimal yang di

berikan baik pada gerakan fleksi mauun ekstensi tidak full ROM dan terasa nyeri pada

akhir gerakan.

5. Test Khusus untuk keseimbangan

a. Tes romberg

dorsalis. Penderita berdiri tegak dengan mata terbuka atau tertutup. Tangan dan kaki rapat
30
31

berimpit samping lalu berdiri selama 20 sampai 30 detik. Tes Romberg dinilai positif

bila dengan mata terbuka atau tertutup penderita bergoyang Tes ini digunakan untuk

mengetahui adanya kelainan di funikulus atau jatuh

b.Modifikasi romberg

Jalan di tempat, mata tertutup, tangan lurus ke depan, angkat kaki setinggi-

tingginya selama satu menit.

c.Babinsky well

Berjalan dengan mata tertutup tiga langkah atau 30 detik lurus ke depan, lalu

disuruh berbalik.

d.Barany

Penderita duduk di kursi, mata tertutup menunjukkan sesuatu sampai 20 kali, tidak

boleh bersandar. Modifikasi dari Barany yaitu dengan menyatukan kedua ujung telunjuk

tangan kanan dan kiri (Sudarman, 1994).

e.Finger to Finger Test

Dengan mata terbuka atau tertutup kedua tangan direntangkan lalu saling

mempertemukan kedua telunjuk. Pada penderita dengan kelainan serebelum akan

mengalami kesukaran dalam mempertemukan ujung telunjuk tangannya satu sama lain.

f. Writing Test.

Dengan mata tertutup, kepala menghadap ke muka, penderita diminta untuk menulis huruf-

huruf sepanjang 20 cm atau 15 kata. Pada garis vertikal yang lurus, posisi kepala bisa

berubah menjadi ekstensi atau fleksi menurut tujuannya. Pada waktu menulis tangan

harus bebas tidak boleh mengendur. Pada penderita dengan gangguan serebelum akan

tampak gambaran seperti bentuk huruf yang kacau (ataksia)

31
32

6. Muscle Test dan Antopometri


Pengukuran Kekuatan Otot menggunakan MMT

Otot Dekstra Sinistra


AGA 4 4
AGB 4 4

7. Kemampuan Fungsional

Pengukuran kemampuan keseimbangan menggunakan Berg Balance Scale

No. Aktifitas Nilai


1 Duduk ke berdiri 3
2 Berdiri tak tersangga 2
3 Duduk tak tersangga 2
4 Berdiri ke duduk 2
5 Transfer 3
6 Berdiri dengan mata tertutup 3
7 Berdiri dengan kedua kaki rapat 3
8 Meraih ke depan dengan lengan terulur maksimal 2
9 Mengambil objek dari lantai 3
10 Berbalik untuk melihat ke belakang 3
0
11 2
Berbalik 360
12 Menempatkan kaki bergantian ke blok 3
13 Berdiri dengan satu kaki di depan kaki yang lain 2
14 Berdiri satu kaki 3
TOTAL 36
0 = tidak mampu, 1 = sangat kesulitan, 2 = cukup kesulitan, 3 = sedikit kesulitan, 4 = tanpa kesulitan

Nilai normal BBS = 56


Interpretasi hasil:
0-20 : harus memakai kursi roda
21-40 : jalan dengan bantuan
41-50 : mandiri
Hasil pemerikasaan: pasien dengan skor 36 berjalan dengan bantuan
33

ALGORITMA (CLINICAL REASONING)


Kerangka Teori

PROSES PERUBAHAN LANSIA

(Efek Againg)
1. Gangguan sistem visual
kehilangan massa otot
dan jumlah serabut otot
2. Gangguan sistem vestibular
sehingga terjadi
penurunan kekuatan
3. Gangguan sistem somatosensory otot
4. Gangguan Respon Otot Postural

Penurunan kontrol
keseimbangan

INDENTIFIKASI
Intervensi /Modalitas
PROBLEM FISIOTERAPI

Penurunan kekuatan otot Latihan otot postural


Gangguan Postural Core Stability Exercise
Gangguan stabilitas Balance & Tandem Exercise
(gangguan keseimbangan)
RESIKO JATUH

Peningkatan Keseimbangan Peningkatan Kekuatan otot


dan Stabilitalitas

PENURUNAN
RESIKO JATUH
34

C. KODE DAN KETERANGAN PEMERIKSAAN ICF

1. Body Functions

b7600 Control of simple voluntary movements Functions associated with

control over and coordination of simple or isolated voluntary movements.

2. Activities and Participation


d6600 Assisting others with self-care

d410. 1.Changing basic body position mild problem

d4100.1 Lying down mild problem

d4101. 2 Squatting moderate problem

d4103. 1 Sitting mild problem

d4104. 1 Standing mild problem

d4106. 1 Shifting the body's centre of gravity mild problem

d415. 1 Maintaining a body position

d415. 1 Maintaining a squatting position

d4153. 1 Maintaining a sitting position mild problem

d420. 1 Transferring oneself mild problem

d4200. 1 Transferring oneself while sitting mild problem

3. Environmenta

l Factors E 310

Immidiate family

E 355 Health

professional
35

4. Body Structures

s799 Structures related to movement, unspecified


36

C. DIAGNOSIS FISIOTERAPI

1. Impairment

• spasme pada otot guadricep dan Hamstring

• Penurunan kekuatan otot-otot penggerak AGA dan ABG

• Gangguan keseimbangan dan stabilitas anggota gerak.

Functional Limitation
• Tidak mampu berjalan jauh

• Tidak mampu duduk tahiyat awal saat shalat

• Kesulitan berjalan di tempat yang menanjak atau menurun

• Kesulitan melakukan aktifitas yang memerlukan keseimbangan tinggi

2. Disability / Participation restriction


• Secara umum pasien masih mampu melakukan aktifitas sosial, jika hanya
sekadar bersosialisasi, bahkan masih mampu untuk berkebun.
37

D. PROGRAM FISIOTERAPI

1. Tujuan Jangka Panjang


 Melanjutkan tujuan jangka pendek
 Mencegah komplikasi dan deformitas dan mencegah disabilitas

2. Tujuan Jangka Pendek


• Menurunkan spasme pada otot quadricep dan Hamstring

• Mengatasi nyeri otot pada gerakan fleksi lutut.

• Meningkatkan kekuatan otot otot AGA dan AGB

• Meningkatkan keseimbangan

• Meningkatkan kemampuan fungsional

3. Teknologi Intervensi Fisioterapi


Pendekatan fisioterapi
 Inframerah
 Electrical Stimulation
 Core stability Exercise
 Tandem Exercise dan Balance exercise.
38

E.RENCANA EVALUASI

1. Pengukuran nyeri dengan VAS

Pengukuran nyeri dengan visual analog scale

Visual analog scale merupakan sebuah alat ukur yang digunakan untuk

mengukur suatu intensitas nyeri. Setiap garis dari vas ujungnya ditandai dengan suatu

level intensitas, untuk ujung kiri diberi tanda intensitas no pain atau tidak nyeri

sedangkan untuk ujung sebalah kanan diberi tanda bad pain atau nyeri hebat.

Prosedur pemeriksaan dengan vas dilakukan dengan cara meminta pasien

untuk menandai intensitas nyeri dengan cara menggeser garis pada vas sesuai dengan

intensitas nyeri yang dirasakan oleh pasien, kemudian setelah melakukan pengukuran

nyeri dengan vas hasil dari pengukuran dicatat agar dapat mengetahui kemajuan dari

pasien setelah pemeriksaan atau pengukuran yang selanjutnya setelah pasien

melaksanakan terapi (Widiarti, 2016)

2. Pengukan kekuatan otot dengan MMT


Nilai 0  : Tidak ada kontraksi atau tonus otot sama sekali.
Nilai 1  : Terdapat kontraksi atau tonus otot tetapi tidak ada gerakan sama
sekali.
Nilai 2  : Mampu melakukan gerakan namun belum bisa melawan garvitasi.
Nilai 3 : Mampu bergerak dengan lingkup gerak sendi secara penuh dan
melawan gravitasi tetapi belum bisa melawan tahanan minimal.
Nilai 4  : Mampu bergerak penuh melawan gravitasi dan dapat melawan
tahanan sedang.
Nilai 5  : Mampu melawan gravitasi dan mampu melawan tahanan maksimal.
39

3. Pengukuran keseimbangan dengan BBS dan Test Romberg

Pengukuran terhadap satu seri keseimbangan yang terdiri dari 14 jenis tes

keseimbangan statis dan dinamis dengan skala 0-4 (skala didasarkan pada

kualitas dan waktu yang diperlukan dalam melengkapi tes).

Alat yang dibutuhkan :

1) Stopwatch
2) Kursi dengan penyangga lengan
3) Meja
4) Obyek untuk dipungut dari lantai
5) Blok ( step stool)
6) Penanda .
b. Waktu tes : 10 – 15 menit
c. Prosedur
1) Duduk berdiri

Instruksi :Silakan berdiri. Cobalah untuk tidak


menggunakan support tangan anda.

o ( ) 4Mampu tanpa menggunakan tangan dana berdiri


stabil

o ( ) 3 Mampu berdiri stabil tetapi menggunakan support


tangan

o ( ) 2 Mampu berdiri dengan support tangan setelah


beberapa kali mencoba
o ( ) 1 Membutuhkan bantuan minimal untuk berdiri stabil

o ( ) 0 Membutuhkan bantuan sedang sampai maksimal

untuk dapat berdiri.


40

2) Berdiri tak

tersangka Instruksi: Silahkan berdiri selama 2 menit tanpa penyangga

o ( ) 4 Mampu berdiri aman selama 2 menit

o ( ) 3 Mampu berdiri selama 2 menit dengan pengawasan

o ( ) 2 Mampu berdiri selama 30 detik tanpa penyangga

o ( )1 Butuh beberapa kali mencoba untuk berdiri 30 detik tanpa

penyangga

o ( ) 0Tidak mampu berdiri 30 detik tanpa bantuan.

o Jika subyek mampu berdiri selama 2 menit tak tersangga, maka

skor penuh untuk item 3 dan proses dilanjutkan ke item 4.

3) Duduk tak tersangga tetapi kaki tersangga pada lantai

atau stool

Instruksi: Silahkan duduk dengan melipat tangan selama

2 menit.

o ( ) 4 Mampu duduk dengan aman selama 2 menit

o ( ) 3 Mampu duduk selama 2 menit dibawah

pengawasan

o ( ) 2 Mampu duduk selama 30 detik

o ( ) 1 Mampu duduk selama 10 detik

o ( ) 0 Tidak mampu duduk tak tersangga selama 10 detik .

4) Berdiri ke duduk

Instruksi: Silahkan duduk


41

o ( ) 4 Duduk aman dengan bantuan tangan minimal


( ) 3 Mengontrol gerakan duduk dengan tangan

o ( ) 2 Mengontrol gerakan duduk dengan paha


belakanng menopang di kursi

o ( ) 1 Duduk mandiri tetapi dengan gerakan duduk tak terkontrol

o ( ) 0 Membutuhkan bantuan untuk duduk

5) Transfers

Instruksi: atur jarak kursi. Mintalah subyek untuk berpindah dari

kursi yang memiliki sandaran tangan ke kursi tanpa sandaran atau

dari tempat tidur ke kursi.

o ( ) 4 Mampu berpindah dengan aman dan menggunakan

tangan minimal

o ( ) 3 Mampu berpindah dengan aman dan menggunakan

tangan

o ( )2 Dapat berpindah dengan aba-aba atau di bawah

pengawasan

o ( ) 1 Membutuhakan satu orang untuk membantu

o ( ) 0 Membutuhakan lebih dari satu orang untuk

membantu.

6) Berdiri tak tersangka dengan mata tertutup

Instruksi: silahkan tutup mata anda dan berdiri selama 10 detik

o ( ) 4 Mampu berdiri dengan aman selama 10 detik

o ( ) 3 Mampu berdiri 10 detik dengan pengawasan

o ( ) 2 mampu berdiri selama 3 detik

o ( ) 1 tidak ampu menutup mata selama 3 detik


42

o ( ) 0 Butuh bantuan untuk menjaga agar tidak jatuh

7) Berdiri tak tersangga dengan kaki rapat

Instruksi: tempatkan kaki anda rapat dan pertahankan tanpa


topangan.

topangan.

o ( ) 4 Mampu menempatkan kaki secara mandiri dan berdiri selama 1


menit

o ( ) 3 Mampu menempatkan kaki secara mandiri dan berdiri selama 1


menit dibawah pengawasan

o ( ) 2 Mampu menempatkan kaki secara mandiri danberdiri selama 30


detik

o ( ) 1 Membutuhakan bantuan memposisikan kedua kaki, mampu berdiri


selama 15 detik

o ( ) 0 Membutuhkan bantuan memposisikan kedua kaki, tidak mampu


berdiri 15 detik.
43

8) Meraih kedepan dengan lengan lurus secara penuh Instruksi: angkat tangan

kedepan 90 derajat. Julurkan jari-jari anda dan raih kedepan. (Perawat

menempatkan penggaris dan mintalah meraih sejauh mungkin yang dapat dicapai,

saat lengan mencapai 90 derajat. Jari tidak boleh menyentuh penggaris saat

meraih kedepan. Catatlah jarak yang dapat dicapai, dimungkinkan melakukan

rotasi badan untuk mencapai jarak maksimal).

o ( ) 4 Dapat meraih secara meyakinkan

> 25 cm ( ) 3 Dapat meraih > 12,5 cm

dengan aman

o ( ) 2 Dapat meraih > 5 cm dengan aman

o ( ) 1 Dapat meraih tetapi dengan pengawasan

o ( ) 0 Kehilangan keseimbangan ketika mencoba

9) Mengambil obyek dari lantai dari posisi berdiri

Isntruksi: ambil sepatu/sandal yang berada di depan kaki anda.

o ( ) 4 Mampu mengambil dengan aman dan

mudah ( ) 3 Mampu mengambil, tetapi

butuh pengawasan

o ( ) 2 Tidak mampu mengambil tetapi mendekati

sepatu 2-5 cm dengan seimbang dan mandiri

o ( ) 1 Tidak mampu mengambil, mencoba beberapa

kali dengan pengawasan

o ( ) 0 Tidak mampu mengambil, dan butuh bantuan

Agar tidak jatuh


44

10) Berbalik untuk melihat kebelakang

Instruksi: menoleh kebelakang dengan posisi berdiri ke kiri dan

kekanan. Perawat dapat menggunakan benda sebagai obyek yang

mengarahkan.

E. ROGNOSIS

Pasien melakukan aktifitas dengan baik dalam melakukan latihan rutin dan beradaptasi dengan

latihan core stability dan Balance exercise dapat kembali melakukan aktifitas sehari hari

secara mandiri.
45

F. PELAKSANAAN TERAPI

a. Inframerah
Pasien tidur terlentang kemudian arahkan sinar inframerah ke arah otot vastus lateralis
dan ilio tibial band yang mengalami spasme. Aplikasikan dengan jarak kurang lebih
30cm selama 15 menit. Intervensi ini bertujuan untuk meningkatkan suhu pada otot
dan pembuluh darah sehingga terjadi vasodilatasi, yang selanjutnya akan terjadi
rileksasi.

b. Electrical Stimulation
Jenis arus yang digunakan pada kasus ini adalah TENS Premodulated, diaplikasikan
pada area nyeri. Tujuan intervensi ini untuk menurunkan intensitas nyeri dengan cara
memblok stimulus nyeri menuju otak. Terapi dilakukan selama 15 menit, dengan
dosis carrier frequency 4.0 KHz, beat frequency 80Hz, dan intensitas menyesuaikan
toleransi pasien.

c. Terapi Latihan

o Strengthenning Exercise
Latihan ini bertujuan untuk menjaga fisiologis otot dan meningkatkan
kekuatan otot pasien. Dilakukan dengan cara pasien bergerak secara aktif pada
semua bidang gerak otot yang dilatih, dalam kasus ini fleksor dan ekstensor
knee. Kemudian bisa diberikan beban atau tahanan untuk meningkatkan tonus
dan kekuatan otot pasien.

o Balance Exercise
Pasien dalam posisi berdiri dan berpengangan, kemudian instruksikan pasien
untuk secara perlahan melepaskan pegangan. Selanjutnya lakukan gerakan dan
cara yang sama, namun kali ini tumpuan pasien hanya satu kaki. Tingkatkan
durasi secara perlahan bisa dimulai dengan 10 detik. Latihan ini bertujuan
untuk meningkatkan keseimbangan pasien.
46

G. EVALUASI DAN TINDAK LANJUT

Pengukuran nyeri menggunakan VAS


Nyeri T0 T1 T2 T3 T4
Diam 0/10 0/10 0/10 0/10 0/10
Tekan 4/10 4/10 410 3/10 2/10
Gerak 0/10 0/10 0/10 0/10 0/10

Pengukuran kekuatan otot menggunakan MMT

Otot T0 T T2 T3
0

Fleksor Knee 4 4 4 4+
Ekstensor Knee 4 4 4 4+

Pengukuran kemampuan fungsional dengan WOMAC Index


Kategor T0 T3
i
Nyeri 6 6
Kekakuan 0 0
Fungsi Fisik 18 18
TOTAL 24 24

Pengukuran keseimbangan dengan Berg Balan Scale


T00 T3
BBS Score 27 29

Interpretasi BBS
0-14 Sangat buruk
15-29 Buruk
30-44 Sedang/rata-rata
45-56 Baik/normal
47

H. HASIL TERAPI AKHIR

Pasien inisial Tn. S yang merupakan pasien lansia dengan gangguan keseimbangan

akibat nyeri dan kelemahan otot fleksor-ekstensor knee, serta sedikit gangguan

vestibular. Pasien mendapatkan intervensi fisioterapi berupa IR, ES, MFR, dan Terapi

Latihan (penguatan otot dan keseimbangan), 1 kali seminggu. Setelah melakukan terapi

3x nyeri tekan dan spasme berkurang, namun untuk kekuatan otot dan keseimbangan

tidak banyak mengalami perubahan.

Banyumas, 22 Oktober 2022


Mengetahui,
Pembimbing, Praktikan,

Endang Wahyuni, SST.Ft., Ftr. Kamarul Arifin


NIP. 19004202005012012 NIM. P27226022024

Catatan Pembimbing:
48

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Keseimbangan adalah kemampuan tubuh untuk mempertahankan posisinya, baik

dalam keadaan diam maupun bergerak. Komponen keseimbangan terdiri dari

visual, vestibular, dan propioceptif, serta kekuatan otot. Seiring bertambahbya

usia makan pada lansia akan mengalami fase degenaratif yang membuat

terjadinya penurunan kemampuan visual, vestibular, dan propioceptif, serta

kekuatan otot, yang mana hal tersebut akan menurunkan keseimbangan pada

lansia dan meningkatkan resiko jatuh. Pada lansia diatas usia 60 tahun

dilaporkan setidaknya mengalami kejadian jatu sebanyak satu kali dalam setahun

dan jatuh merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada lansia.

Tindakan fisioterapi yang bisa diberikan pada lansia dengan gangguan

keseimbangan adalah pemberian latihan kekuatan otot dan latihan

keseimbangan, yang bertujuan untuk menurunkan resiko jatuh dan meningkatkan

kualitas hidup pada lansia.

4.2 Saran
Berdasakan simpulan yang telah dikemukakan di atas, dengan ini kami

menyarankan agar pembaca dapat mengetahui gangguan keseimbangan pada

lansia dan keterkaitannya terhadap fisioterapi sehingga kita semua dapat

mengetahui dan memberikan penanganan yang tepat kepada lansia dengan

gangguan keseimbangan. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi

siapapun yang membacanya. Sebelumnya penulis memohon maaf apabila

terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan penulis memohon kritik

dan saran, demi perbaikan di masa depan.


49

Daftar Pustaka

Alhasan, H., Hood, V., & Mainwaring, F. (2017). The effect of visual biofeedback on

balance in elderly population : a systematic review. Clinical Interventions in

Aging, 487–497.

Cuevas-trisan, R. (2019). Balance Problems and Fall Risks in the Elderly. Clinical

Geriatri Medicine, 35(117), 173–183.

https://doi.org/10.1016/j.cger.2019.01.008

Eibling, D. (2018). Balance Disorders in Older Adults. Clinics in Geriatric Medicine, 1–

7. https://doi.org/10.1016/j.cger.2018.01.002

Fauziah, E., Zulfah, K., & Oktaviani, Y. E. (2022). Penatalaksanaan Fisioterapi

untuk Meningkatkan Keseimbangan Dinamis Lansia dengan Teknik Core

Stability Exercise dan Tandem Walking Exercise. Fisiomu, 3(1), 16–22.

Kwak, C., Kim, Y. L., & Lee, S. M. (2016). Effects of elastic-band resistance

exercise on balance, mobility and gait function , flexibility and fall efficacy in

elderly people. The Journal of Physical Therapy Science, 28, 3189–3196.

Munawwarah, M., & Nindya, P. (2015). PEMBERIAN LATIHAN PADA LANSIA

DAPAT MENINGKATKAN. Jurnal Fisioterapi, 15(1), 38–44.

Osoba, M. Y., Rao, A. K., Agrawal, S. K., & Lalwani, A. K. (2019). Balance And Gait

In The Elderly : A Contemporary Review. Laryngoscope Investigative

Otolaryngology, 1–11. https://doi.org/10.1002/lio2.252


50

Pattia, A., Biancoa, A., Karstenc, B., Montaltoa, M. A., Battagliaa, G., Bellafiorea, M.,

… Palma, A. (2017). The effects of physical training without equipment on pain

perception and balance in the elderly: A randomized controlled trial. IOS Press,

1– 8. https://doi.org/10.3233/WOR-172539

Priyanto, A., Putra, D. P., & Rusliyah. (2020). PENGARUH BALANCE EXERCISE

TERHADAP KESEIMBANGAN POSTURAL PADA LANSIA. Jurnal Fisioterapi

Indonesia, 19–27.

Ranti, R. A., & Upe, A. A. (2020). Analisis Hubungan Keseimbangan, Kekuatan

Otot, Fleksibilitas Dan Faktor Lain Terhadap Risiko Jatuh Pada Lansia Di

PSTW Budi Mulia 4 Jakarta. Jurnal Fisioterapi Indonesia, 84–95.

Sturnieks, D. L., George, R. S., & Lord, S. R. (2008). Balance disorders in the

elderly Troubles de l ’ équilibre chez les personnes âgées. Clinical

Neurophysiology, 38, 467–478. https://doi.org/10.1016/j.neucli.2008.09.001

Anda mungkin juga menyukai