Anda di halaman 1dari 3

Kejarlah EQ Sukses Kau Tangkap

Belum kering peluh di dahi sang anak, ibunya menyodorkan selembar catatan berisi daftar hafalan penjumlahan.
Sejam lalu murid SD kelas 1 itu mendapat nilai jelek untuk pelajaran matematika di sekolah. "Kalau tambah-
tambahan saja enggak hafal, mana bisa mendapat ranking satu?" kata ibunya. Si anak yang lelah cuma pasrah.
"Memangnya, siapa yang tak mau dapat ranking satu?" batinnya protes.

Kata ranking di dunia sekolah memang lebih mewakili kepentingan orangtua ketimbang anak. Ranking juga
simbol, betapa kecerdasan intelektual (IQ) masih didewakan sebagai satu-satunya ukuran kecerdasan.
Kemampuan anak didik hanya diukur dari nilai akademis. Jika nilai rapornya mencapai skala 8-10, ia akan
dianggap anak pandai, cerdas, pintar. Padahal "kepintaran" di atas kertas itu bukanlah "kepintaran sejati".

Sialnya, pemahaman salah kaprah itu diyakini sebagian besar dari kita, orangtua. Siapa yang ber-IQ tinggi kelak
bakal lebih sukses hidupnya ketimbang orang yang IQ-nya rata-rata. Padahal dalam praktik, tidak selalu
demikian. Misal, tak sedikit pemilik IQ tinggi justru terpental dari ketatnya persaingan memasuki dunia kerja.

"Mereka yang IQ-nya biasa-biasa saja malah bisa menjadi selebriti," canda Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono,
guru besar Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Jakarta.

Langsung praktik

Hasil penelitian Daniel Coleman (1995 dan 1998) menguatkan ucapan Sarlito. Konon, IQ hanya memberi
kontribusi 20% dari kesuksesan hidup seseorang. Selebihnya bergantung pada kecerdasan emosi (emotional
intelligence, EI atau EQ) dan sosial yang bersangkutan. Di sisi lain, 90% "keberhasilan kerja" manusia ternyata
ditentukan oleh kecerdasan emosionalnya, sisanya (sekitar 4%) jatah kemampuan teknis.

Ada juga penelitian jangka panjang terhadap 95 mahasiswa Harvard jebolan tahun 1940-an. Puluhan tahun
kemudian, mereka yang kerap mendapat nilai tes paling tinggi di perguruan tinggi dulu ternyata hidupnya tak
terlalu sukses dibandingkan dengan rekan-rekannya yang ber-IQ biasa saja. Dalam hal ini kesuksesan diukur
lewat besaran gaji, produktivitas, serta status bidang pekerjaan mereka.

Dalam sebuah survei terhadap ratusan perusahaan di Amerika Serikat, terungkap pula faktor yang menjadikan
seorang pemimpin atau manajer jauh lebih berhasil dari yang lain. Yang terpenting bukan kemampuan teknis
atau analisis, tapi justru hal yang berkaitan dengan emosi atau perasaan dan hubungan personal. Empat hal
yang paling menonjol adalah kemauan, keuletan mencapai tujuan, kemauan mengambil inisiatif baru,
kemampuan bekerja sama, dan kemampuan memimpin tim.

Celakanya, jor-joran mengejar IQ tinggi sampai hari ini tetap terjadi. Masih menurut penelitian, IQ manusia rata-
rata meningkat 20 poin dalam 20 tahun terakhir. Artinya, di atas kertas, orang makin cerdas. Tapi, apakah
kecenderungan itu membuat hidup manusia jadi lebih bahagia?

Ternyata tidak. Di balik tingginya IQ itu kemampuan manusia memahami dan mengendalikan emosi—inilah
yang disebut Peter Salovey dan John Meyer sebagai emotional intelligence (EI) atau kecerdasan emosi—malah
menurun.

Survei juga menunjukkan adanya kesamaan fakta di berbagai belahan dunia, bahwa anak-anak generasi
sekarang lebih banyak mengalami kesulitan emosional ketimbang pendahulunya. Mereka lebih kesepian dan
pemurung, tapi di sisi lain, lebih galak dan kurang menghargai sopan santun. Lebih gugup dan mudah cemas,
serta lebih impulsif dan agresif. Tak jarang mereka menarik diri dari pergaulan, lebih suka menyendiri, bersikap
sembunyi-sembunyi, kurang bersemangat, dan tentu saja kurang bahagia.

Data juga menunjukkan, kesejahteraan serta daya sosial anak dan remaja merosot jauh. Makin banyak di antara
mereka yang meninggal karena penyalahgunaan obat bius, bunuh diri dengan alasan sepele, atau melakukan
tindak kriminal di usia belasan tahun. Menurut data pada tahun 2003, 1.800.000 anak Indonesia menjadi
pecandu narkoba dan 11.344 anak ditangkap polisi karena melakukan tindak kriminal.

Hal itu terjadi karena IQ hanya berhubungan dengan kemampuan berpikir kritis dan analitis (otak kiri).
Sedangkan EQ lebih banyak berhubungan dengan perasaan dan emosi (otak kanan).

Seorang teman bercerita, saat berpesawat dari Surabaya ke Jakarta, dia mendapati Hardjono, kawannya, duduk
di kursi yang bukan jatahnya. Saat itulah, Maya, si pramugari datang, "Maaf, Bapak sudah mencocokkan nomor
di tiket dengan nomor di kursi? Kalau ada kesulitan, biar saya bantu, Pak," tegurnya halus. Hardjono tersenyum,
dan segera sadar akan kekeliruannya.

Coba bayangkan kalau Maya langsung menyuruh Hardjono pindah tempat duduk, situasinya pasti bakal beda.
"Caranya 'menyadarkan' saya simpatik sekali," jawab Hardjono, ketika ditanya alasannya pindah ke tempat
duduknya yang benar. Si pramugari bisa disebut sebagai orang yang mempunyai EQ tinggi. Keterampilan yang
butuh praktik langsung, bukan sekadar teori dalam buku teks.
Ciptakan komunikasi efektif

Prof. Sarlito menengarai, banyak hal menjadi penyebab rendahnya kecerdasan emosi dewasa ini. Beberapa di
antaranya, perubahan nilai sosial dalam 40 tahun terakhir, kurangnya waktu luang orangtua untuk mengasuh
anak, meningkatnya angka perceraian, pengaruh teve dan media elektronik lainnya, serta menurunnya rasa
hormat terhadap insitusi sekolah.

Tak kalah penting, adanya orangtua seperti ibu Yola itu. J. Drost S.J. dalam sebuah seminar di Jakarta
menggarisbawahi, "pemaksaan" seperti dilakukan ibu Yola sebagai hal yang betul-betul dapat menghancurkan
kecerdasan emosi anak. Bocah yang masih mencari jati diri kok dipaksa hidup pada tingkat intelektual yang
tidak sesuai dengan dirinya. Sama seperti anak yang tidak kuat di mata pelajaran matematika, tapi dipaksa
orangtuanya masuk jurusan IPA. Hasilnya, amburadul!

Untungnya, tidak seperti IQ, EQ dapat dikembangkan dalam segala tingkat usia. Paling afdol tentu sejak tahap
awal perkembangan anak. Orangtua sebaiknya membangun keluarga dengan landasan sikap-sikap positif,
seperti menekankan pentingnya berbagi dengan sesama, saling menyayangi, dan berorientasi mencari solusi.
Komunikasi efektif harus diciptakan, agar anak terangsang untuk mendengar, mengerti, dan berpikir.

Disiplin juga perlu, tapi yang lebih mengutamakan self direction dan upaya memperbaiki diri. Sejak dini,
orangtua dapat mengajak anaknya berempati pada masalah orang lain. Misalnya, sekali-kali ajak mereka jalan-
jalan menyusuri rumah kawannya yang sederhana. Agar ia tahu, di luar lingkungan keluarganya (rumah besar
dengan banyak perabot), banyak anak yang harus tidur berpayung atap bocor, dan beralas tikar tipis.

Selain berempati, ajak juga anak mengekspresikan emosinya. Misalnya, jika sedang senang, tunjukkanlah agar
orang lain ikut gembira. Sebaliknya, jika hendak marah, salurkan lewat cara yang tepat, agar tak semua orang
menjadi sasaran kemarahan. Ciptakan pembelajaran begitu rupa, sehingga anak mampu mengendalikan
emosinya, mudah beradaptasi dengan lingkungan, serta mampu mencari jalan keluar atas berbagai masalah
yang dihadapi.

Tanamkan sifat gigih, suka menolong, dan menghormati orang lain. Pendek kata, orangtua ditantang untuk
mengembangkan anaknya, agar tak hanya memiliki kecerdasan kognitif yang tinggi, tapi juga kaya wawasan
dan tetap manusiawi. Berat memang. Itu sebabnya, pekerjaan besar ini harus dicicil sejak anak masih kecil.

Dengan EQ tinggi, jika kelak ia lulus dari perguruan tinggi dengan nilai pas-pasan, jalan menuju sukses tak akan
tertutup. Sebab, dalam dirinya sudah tertanam kepercayaan diri yang tinggi, yang didapatnya dari pergaulan
dengan banyak orang, kenal banyak kalangan, dan luwes dalam berteman. Pemilik EQ tinggi juga mampu
menguasai emosi dan memiliki mental sehat, serta pandai menempatkan diri. Lantaran mengerti tempatnya di
dunia itulah ia selalu mempunyai sikap batin yang tepat, sehingga dapat mengambil keputusan dengan tepat
pula.

Jadi, biarkan Yola tak mendapatkan ranking pertama di kelasnya. Yang penting, kemampuan akademiknya tidak
tertinggal jauh di bawah rata-rata. Sebaliknya, dorong terus agar kecerdasan emosinya terasah menjadi lebih
tinggi. Membangun keseimbangan kecerdasan intelektual dan emosional mungkin lebih berguna bagi masa
depannya ketimbang memaksakan keinginan.

Jalan menuju otak seimbang

Menyeimbangkan IQ dan EQ bukan perkara gampang. Tapi tak terlalu sulit, sepanjang diniatkan. Gaya hidup
sehat, misalnya, sejak lama diketahui dapat membangun kecerdasan emosional. Hal ini sejalan dengan inti
pengendalian emosi, yakni keseimbangan, termasuk seimbangnya kesehatan fisik dan mental. Meditasi dan
latihan pernapasan bakal membuat sistem peredaran darah lebih lancar dan energi atau pikiran-pikiran negatif
yang merusak kesehatan fisik dan mental pun terpental keluar.

Di samping gaya hidup sehat, musik pun lama diketahui dapat menyeimbangkan fungsi otak kanan dan otak kiri,
yang berarti juga menyeimbangkan perkembangan aspek intelektual dan emosional. Murid SD yang mendapat
pendidikan musik, saat dewasa akan menjadi manusia yang berpikiran logis, cerdas, kreatif, dan mampu
mengambil keputusan, serta mempunyai empati.

Sekadar contoh, di Inggris, anak TK yang berkemampuan membaca di bawah rata-rata, dapat mengejar
kemampuan teman-teman mereka di kelompok rata-rata, sesudah mendapat pelajaran musik tambahan.
Mereka belajar bernyanyi dalam kelompok melalui latihan ketepatan nada dan irama, disertai latihan kepekaan
emosi. Sebuah program yang sangat terstruktur dan dinikmati anak-anak.

Sementara di Amerika Serikat murid kelas 1-4 SD sudah mendapat pelajaran musik 75 menit setiap minggu.
Sejak kelas 5 mereka memperoleh pelajaran musik selama 80 menit. Itu sebabnya, mereka sudah dapat
membuat koor dengan aransemen-aransemen yang sulit untuk tiga suara dan dapat memainkan beberapa
instrumen musik di usia sangat muda. Di SLTP mereka memperdalam pelajaran musik dan mengadakan
pertunjukan. Sedangkan anak SMA-nya sudah melangkah pada bentuk konser.
Sejumlah universitas di Jepang juga banyak yang mempunyai orkes simfoni, sebagai kelanjutan dari pelajaran
musik di tingkat SD, SLTP, dan SLTA.

Sayangnya, kurikulum pendidikan di Indonesia belum mendukung terciptanya keseimbangan intelektual dan
emosi lewat jalur musik ini.

[Muhammad Sulhi. Majalah Intisari, Desember 2004]

KOMENTAR :
Ada 0 komentar di “Kejarlah EQ Sukses Kau Tangkap”
POSKAN KOMENTAR

Komentar spam, sarkastik, basa-basi, dan tidak berhubungan dengan isi artikel, tidak akan kami tampilkan.

Anda mungkin juga menyukai