Anda di halaman 1dari 1

Mitigasi Bencana Gempa Tektonik Berbasis Kearifan Lokal di Indonesia

(Uswatun Karimah, Sulaihah, dan Intan Fachrudina Maslakhah)

Indonesia adalah negara kepulauan dengan tingkat kegempaan tinggi. Hal tersebut menyebabkan
Indonesia sering mengalami bencana kebumian berupa gempa tektonik. Wilayah Indonesia merupakan
salah satu daerah tatanan tektonik yang sangat kompleks. Indonesia terletak di antara empat pertemuan
lempeng tektonik yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng
Laut Filipina. Interaksi pertemuan dan pergerakan lempeng tersebut menyebabkan banyak terjadi
gempa di wilayah Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB), sejak tahun 2014 hingga 2023 sudah terjadi bencana gempa sebanyak 335, bahkan
perhitungan gempa sejak 1 Januari hingga 6 Februari 2023, tercatat ada 6 gempa yang sudah terjadi.
Jika dibandingkan dengan bencana lain, dampak yang diakibatkan gempa lebih tinggi dibandingkan
jenis bencana lain yang pernah terjadi. Berdasarkan data BNPB tahun 2019, total korban kematian di
Indonesia yang disebabkan oleh gempa sejak tahun 2009 hingga 2018 sejumlah 56% dari total korban
semua jenis bencana.
Gempa tektonik tidak dapat dicegah, namun akibat dan dampak yang ditimbulkan dapat dikurangi
jika masyarakat diberi edukasi kebencanaan. Salah satu upaya mitigasi bencana dapat dilakukan dengan
memadukan pengetahuan dan kearifan lokal. Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya yang tidak
dapat dipisahkan dari masyarakat. Salah satu provinsi yang sering terjadi gempa dan memiliki mitigasi
bencana berbasis kearifan lokal adalah masyarakat Baduy Provinsi Banten. Kearifan lokal masayarakat
Baduy yang berkaitan dengan mitigasi bencana gempa adalah aturan atau pikukuh dalam membuat
bangunan rumah, jembatan, dan lumbung dengan bahan bambu, ijuk, dan kirey tanpa paku. Bangunan
didirikan di atas permukaan tanah menyesuaikan bentuk tanah dan tidak diperbolehkan mengubah
kontur tanah. Sebelum pendirian rumah pada lahan, dilakukan penerawangan apakah rumah layak
didirikan pada lahan tersebut atau tidak. Rumah terdiri dari teras, ruang tengah, dan dapur. Jika rumah
didirikan pada tanah miring, maka tanah tidak boleh diratakan, karena proses meratakan tanah
dianggap sebagai merusak dan membolak-balik tanah. Jika menginginkan lantai yang rata, maka dapat
diatur ketinggian tiang rumah. Bangunan rumah didirikan di atas umpak batu yang bertujuan untuk
pencegahan terhadap rayap dan pelapukan tiang rumah akibat udara basah atau pegunungan yang
lembab. Tiang terbuat dari kayu mahoni karena termasuk kayu yang paling kuat, sehingga tidak akan
roboh jika terjadi gempa. Dinding rumah terbuat dari bambu dalam bentuk anyaman agar elastis saat
terkena angin dan getaran. Teknologi sederhana masyarakat Baduy dalam membuat rumah adalah
berbentuk rumah panggung sederhana dari bahan kayu, bambu, ijuk, dan rumbia. Struktur bangunan
didirikan di atas sistem rangka yang terbuat dari kayu berupa balok dan tiang persegi empat.
Konstruksi diselesaikan dengan prinsip ikatan, tumpuan, pasak, tumpuan berpaut, dan sambungan
berkait. Jika terjadi gempa, struktur rumah akan bergerak dinamis sehingga terhindar dari kerusakan
atau kehancuran (Suparmini dkk., 2014).
Kearifan lokal Desa Nuwewang Provinsi Maluku yang berkaitan dengan mitigasi bencana gempa
adalah budaya Hnyoli Lieta. Budaya Hnyoli Lieta adalah budaya masyarakat Nuwewang untuk selalu
hidup rukun, damai, tolong menolong dan bahu membahu ketika terjadi bencana gempa. Masyarakat
Nuwewang spontan berteriak Opruru Ampuapenu o yang berarti tanah goyang sudah datang ketika
terjadi gampa. Teriakan dilaksanakan secara berlari diikuti dengan nada bunyi tifa dan sofar sebagai
penanda telah terjadi gempa. Budaya yang dilakukan bertujuan untuk memberi tahu masyarakat
Nuwewang bahwa telah terjadi bencana gempa, sehingga masyarakat dapat keluar rumah untuk
mencari tempat yang aman seperti di lapangan terbuka. Solidaritas masyarakat dapat dipupuk dengan
penerapan budaya Hnyoli Lieta. Solidaritas yang tinggi dalam masyarakat akan membentuk jiwa untuk
tetap saling bergenggaman erat di tengah tantangan gempa bumi (Pakniany dkk., 2022).

Anda mungkin juga menyukai