Anda di halaman 1dari 20

‫اختالف نص المتن‬

(PERBEDAAN LAFAZH MATAN HADITS)

MAKALAH

Dibuat untuk memenuhi tugas terstruktur pada Mata Kuliah


“Ulumul Hadits II”

Oleh : Kelompok 5:
Mifta Huljannah 2021. 2918
Asna Amalia 2021. 2861
Khairatul Laila Kurnia H 2021.2907

Dosen Pengampu Mata kuliah:


Dr. Linda Suanti, S. Ag, M.A.

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
PENGEMBANGAN ILMU AL-QUR’AN
SUMATERA BARAT
1444 H / 2022 M

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................iii
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................1
A. Hadits Mudhtharib.......................................................................................1
1. Pengertian Hadits Mudhtharib...............................................................1
2. Syarat Terjadinya Idhthirab...................................................................1
3. Contoh Mudhtharib pada matan............................................................2
B. Hadits Maqlub..............................................................................................3
1. Pengertian Hadits Maqlub.......................................................................3
2. Contoh maqlub pada matan....................................................................3
3. Penyebab yang membawa pada penukaran.........................................4
4. Hukum hadits maaqlub...........................................................................4
C. Hadits Mudraj..............................................................................................5
1. Pengertian Hadits Mudraj.......................................................................5
2. Jenis hadits mudraj matan.......................................................................5
3. Contoh hadits mudraj...............................................................................5
4. Tuntunan idrajj........................................................................................7
5. Bagaimana mengetahui hadits mudraj..................................................7
6. Hukum hadits mudraj.............................................................................8
D. Hadits Mushahhaf.......................................................................................8
1. Pengertian Hadits Mushahhaf................................................................8
2. Contoh hadits mushahhaf.......................................................................8
3. Tashhif merusak ke-dhabit-an rawi.....................................................10
4. Penyebab para perawi melakukan banyak Tashhif...........................10
5. Kitab yang populer................................................................................10
E. Hadits Muharraf........................................................................................11
F. Ziyadaat Ats-Tsiqat....................................................................................11
1. Pengertian ziyadat ats-tsiqat..................................................................11
2. Tempat terjadinya ziyadah.....................................................................12
3. Hukum tambahan pada matan..............................................................12
4. Contoh ziyadah pada matan...................................................................12
G. Hadits Syadz dan Mahfuzh....................................................................13
1. Pengertian syadz....................................................................................13
2. Al-Mahfuzh.............................................................................................14
3. Hukum hadits syadz dan hadits mahfudh.............................................14
BAB III PENUTUP..............................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Keberadaan sanad maupun matan di dalam sebuah hadits merupakan sumber


penting dalam menentukan ke-shahih-annya, seringkali penerapan hadits-hadits
yang dijadikan hujjah itu tanpa  melihat apakah hadits-hadits itu benar berasal
dari Rasulullah shallallhu’alaihi wasallam atau hanya sebatas peribahasa saja.
Hadits tidak diriwayatkan melalui satu jalur periwayatan saja, melainkan dari
beberapa jalur. Tentunya ada perbedaan lafazh matan pada hadits di tiap-tiap jalur
periwayatan.

Untuk itu perlu diketahui apakah perbedaan-perbedaan lafazh  matan pada


sebuah hadits mempengaruhi kualitas hadits tersebut. Bisa saja perbedaan lafazh
itu mengakibatkan sebuah hadits ditolak karena bertentangan dengan jalur
periwayatan yang lain. Hal inilah yang menjadi objek pembahasan dalam kajian
ini.

Dengan mempelajari perbedaan-perbedaan yang terdapat pada matan hadits.


Dapat diketahui hadits mana yang boleh dijadikan hujjah dan mana yang harus
ditinggalkan.

iii
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hadits Mudhtharib

1. Pengertian Hadits Mudhtharib


Menurut bahasa mudhtharib merupakan isim fa'il dari kata al-idhthirab, yang
berarti kacaunya sesuatu dan rusak keteraturannya. Asalnya dari tidak teraturnya
ombak, yang semakin banyak bergerak maka akan saling memukul satu sama lain.
Menurut istilah mudhtharib adalah hadits yang diriwayatkan dari arah yang
bermacam-macam, yang kekuatannya sama.1
Yaitu hadits yang diriwayatkan dalam bentuk yang saling bertentangan dan
bertolak belakang, yang tidak mungkin dikompromikan satu sama lain selamanya.
Seluruh riwayatnya dilihat dari berbagai aspek juga sama-sama kuat, tidak mungkin
dilakukan tarjih dari aspek manapun terhadap yang lainnya.

2. Syarat Terjadinya Idhthirab


a. Riwayat-riwayat hadits saling berselisih, yang tidak memungkinkan dilakukannya
kompromi (jama’).
b. Sama kekuatan riwayat-riwayat haditsnya, yang tidak memungkinkan
dilakukannya tarjih yang satu terhadap lainnya.2
Jika salah satu riwayat dapat ditarjih terhadap riwayat lainnya, atau
memungkinkan dilakukannya jama' (kompromi) diantara keduanya dalam bentuk yang
dapat diterima, maka sifat idthirab hadits tadi menjadi hilang. Karenanya kita dapat
mengamalkan riwayat yang rajih (lebih diunggulkan) dalam kondisi memungkinkan
ditarjih, atau kita dapat mengamalkan seluruh riwayat dalam kondisi kedua hadits
dapat dikompromikan (dijama’).

1
Mahmud Thahan. Ilmu Hadits Praktis. (Bogor:Pustaka Thariqul Izzah, 1985), h.138
2
Ibid.

1
3. Contoh Mudhtharib pada matan
Contohnya hadits yang diriwayatkan Tirmidzi dari Syarik dari Abi Hamzah dari as-
Sya'bi dari Fathimah binti Qais ra, yang berkata:
ْ‫ْن َم ُّد َو ْي ِه َح َّد َث َنا اَأْل ْس َو ُد بْنُ َع ام ٍِر َعنْ َش ِريكٍ َعنْ َأ ِبي َحمْ َز َة َعن‬
ِ ‫َح َّد َث َنا م َُح َّم ُد بْنُ َأحْ َم َد ب‬
‫الز َك ا ِة‬ َ ُّ‫ت َأ ْو سُِئ َل ال َّن ِبي‬
َّ ْ‫ص لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس لَّ َم َعن‬ ُ ‫ت َسَأ ْل‬
ْ َ‫ْس َقال‬ ِ ‫ال َّشعْ ِبيِّ َعنْ َفاطِ َم َة ِب ْن‬
ٍ ‫ت َقي‬
‫ْس ْال ِب رَّ َأنْ ُت َولُّوا‬ َّ ‫ال لَ َح ًّقا سِ َوى‬
َ ‫الز َكا ِة ُث َّم َتاَل َه ِذ ِه اآْل َي َة الَّتِي فِي ْال َب َق َر ِة { لَي‬ ِ ‫َف َقا َل ِإنَّ فِي ْال َم‬
}‫وُ جُو َه ُك ْم اآْل َي َة‬
Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Ahmad bin Madduwaih] telah
menceritakan kepada kami [Al Aswad bin ‘Amir] dari [Syarik] dari [Abu
Hamzah] dari [Asy Sya’bi] dari [Fathimah binti Qais] dia berkata, saya
bertanya kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam tentang zakat, lalu beliau
bersabda: “Sesungguhnya pada harta ada kewajiban/hak (untuk dikeluarkan)
selain zakat.” Kemudian beliau membaca firman Allah Ta’ala yang terdapat
dalam surat Al Baqarah: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan
barat itu suatu kebajikan…(ayat) “

Dari Ibnu Majah diriwayatkan dengan lafadz:

ِ ‫َح َّد َث َنا َعلِيُّ بْنُ م َُح َّم ٍد َح َّد َث َنا َيحْ َيى بْنُ آ َد َم َعنْ َش ِريكٍ َعنْ َأ ِبي َح ْم َز َة َعنْ ال َّشعْ ِبيِّ َعنْ َفاطِ َم َة ِب ْن‬
ٍ ‫ت َقي‬
‫ْس‬
َّ ‫ال َح ٌّق سِ َوى‬
‫الز َكا ِة‬ ِ ‫ْس فِي ْال َم‬ َ َّ‫َأ ْن َها َسم َِع ْت ُه َتعْ نِي ال َّن ِبي‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َيقُو ُل لَي‬
Telah menceritakan kepada kami Ali bin Muhammad berkata, telah menceritak
kepada kami Yahya bin Adam dari Syarik dari Abu Hamzah dari Sya’bi dari
Fatimah binti Qais bahwasanya ia pernah mendengarnya, yakni Nabi ‫ﷺ‬, beliau
bersabda: “Tida ada hak dalam harta kecuali zakat. “3

Al-'Iraqi berkata: 'Hadits ini idlthirab, dan tidak dapat ditakwil'.


Idhthirab dapat terjadi pada seorang rawi, karena dia meriwayatkan hadits
melalui sisi yang berbeda-beda. Bisa juga idhthirab itu terjadi pada sekelompok orang,
karena masing-masing dari mereka meriwayatkan hadits yang aspek periwayatannya
berbeda-beda dengan yang lainnya. Penyebab lemahnya mudtharib dapat dirasakan
dengan tidak adanya rawi dhabit. Adapun kitab yang populer yakni Kitab al-Muqtarib
fi Bayani al-Muditharib, karya Hafidh Ibnu Hajar.

3
Ibid, h.140.

2
B. Hadits Maqlub

1. Pengertian Hadits Maqlub


Menurut bahasa maqlub merupakan isim maf’ul dari kata al-qalbu, yang berarti
memalingkan sesuatu dari arahnya.4
Sedangkan menurut istilah, hadits maqlub ialah menukar lafadz dengan lafadz
lainnya pada sanad hadits atau pada matan hadits, dengan cara mendahulukan,
mengakhirkan, atau yang sejenis.5
2. Contoh maqlub pada matan
Penukaran hadits yang terjadi pada matan, yang juga mempunyai dua bentuk:
a. Rawi mengedepankan dan mengakhirkan sebagian matan hadits.
Contohnya: Hadits Abu Hurairah yang memaparkan tentang seorang muslim yang
akan dilindungi Allah pada hari tidak ada lagi perlindungan kecuali perlindungan-
Nya, di dalamnya terdapat:
ٌ ‫ س‬:‫ عن رس ول هللا علي ه الس الم ق ال‬،‫عن أبي هريرة رضي هللا عنه‬
‫بعة يُظِ لُّهم هللاُ في‬
ِ ‫ إما ٌم عاد ٌل وشابٌّ ن َشأ في عباد ِة‬:‫ظلِّه يو َم ال ظ َّل إاَّل ظلُّه‬
َ ‫هللا تعالى ورج ٌل ذ َكر‬
‫هللا خاليًا‬
‫ اجت َمع ا علي ه‬:‫هللا‬ ِ ‫ففاضت عيناه ورج ٌل ك ان قل ُب ه معلَّ ٌق في المس ج ِد ورج‬
ِ ‫ُالن تحابَّا في‬
َ ُ‫ إ ِّني أخ اف‬:‫نفس ها فق ال‬
‫هللا ورج ٌل‬ ِ ‫وجمال إلى‬
ٍ ُ ٌ‫وتفرَّ قا ورج ٌل دع ْته امرأة‬
ٍ ‫ذات منص‬
‫ب‬
‫تص َّدق بصدق ٍة فأخفاها ح َّتى ال تعلَ َم شِ مالُه ما ُتنف ُِق يمي ُنه‬
Abu Hurairah mengatakan Rasulullah SAW bersabda, "Ada tujuh golongan yang
akan Allah lindungi pada hari kiamat, di hari yang tidak ada perlindungan
selain perlindungan-Nya. Imam yang adil, seorang pemuda yang tumbuh dalam
peribadatan kepada Allah 'azza wajalla, seorang laki-laki yang berdzikir kepada
Allah dalam keheningan kemudian meneteskan air mata, seorang laki-laki yang
hatinya selalu terpaut dengan masjid, dua orang laki-laki yang mencintai karena
Allah 'azza wajalla."

Ini adalah contoh hadits maqlub yang ditukar oleh sebagian rawi; yang benar adalah:
‫ح َّتى ال تعلَ َم شِ مالُه ما ُتنف ُِق يمي ُنه‬
”Sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh
tangan kanannya”.

b. Rawi menempatkan matan suatu hadits kepada sanad (hadits) lain, dan
menempatkan sanadnya terhadap matan hadits lain.
4
Al-Qamus, juz 1/123
5
Mahmud Thahhan, Op. Cit, h.131.

3
Hal ini dimaksudkan untuk menguji atau yang semacamnya. Contohnya adalah apa
yang dilakukan penduduk Baghdad terhadap Imam Bukhari, Mereka telah menukar
seratus hadits, lalu mereka bertanya kepada Imam Bukhari untuk menguji
hafalannya. Beliau mengembalikan (sanad dan matan) hadits hadits tersebut seperti
semula, dan tidak ada kekeliruan satu hadits pun.6

3. Penyebab yang membawa pada penukaran


Ada beberapa sebab yang menyebabkan perawi hadits melakukan penukaran, yaitu:
a. Dimaksudkan untuk mengasingkan, agar masyarakat suka terhadap riwayat
haditsnya dan mengambil haditsnya.
b. Dimaksudkan untuk menguji dan memperkuat hafalan hadits serta
menyempurnakan kedhabitan.
c. Terdapat kesalahan atau kekeliruan yang tidak disengaja.

4. Hukum hadits maaqlub


a) Jika penukarannya dimaksudkan untuk mengasingkan, tidak diragukan lagi hal itu
tidak dibolehkan; karena hal itu sama saja dengan merubah hadits. Ini juga yang
menjadi kelakukan para pembuat hadits palsu.
b) Jika penukarannya dimaksudkan untuk menguji, maka dibolehkan, untuk
memperkuat hafalan ahli hadits dan kelayakannya. Tetapi disyaratkan untuk
menjelaskan yang shahihnya sebelum majlisnya berakhir.
c) Jika penukarannya karena kekeliruan atau lupa, maka tidak diragukan lagi
pelakunya sudah uzdur dengan kekeliruannya itu. Namun, jika hal itu seringkali
dilakukan, berarti ia telah hilang kedhabitannya, dan menjadi dla’if. Hadits maqlub
itu merupakan salah satu jenis hadits dha’if dan mardud (tertolak), sebagaimana
sudah dimaklumi.

C. Hadits Mudraj
1. Pengertian Hadits Mudraj
Menurut bahasa mudraj merupakan isim maf'ul dari kata adrajtu, yang berarti aku
memasukkan sesuatu pada sesuatu yang lain.
6
Rincian kisahnya ada pada Tarikh al-Baghdad, juz II/20

4
Sedangkan menurut istilah hadits yang dirubah susunan sanadnya, atau matannya
dimasuki sesuatu yang bukan menjadi bagiannya, tanpa ada pemisah. 7

2. Jenis hadits mudraj matan


Mudraj matan adalah hadits yang matannya dimasuki sesuatu yang bukan menjadi
bagiannya, tanpa pemisah. Jenisnya ada tiga macam: 8
a. Idrajnya dilakukan pada bagian awal (matan) hadits. Kasus ini sangat sedikit,
karena yang terbanyak justru di bagian tengah.
b. Idrajnya dilakukan pada bagian tengah hadits. Ini lebih sedikit dari yang pertama.
c. Idraj dilakukan pada bagian akhir hadits. Ini yang paling banyak.

3. Contoh hadits mudraj


a. Contoh Idraj pada bagian awal hadits: Penyebabnya karena si rawi mengucapkan
suatu perkataan yang dimaksudkan untuk menunjukkan (menerangkan) hadits
tersebut, tetapi ucapannya itu tanpa ada (tanda) pemisah. Lalu orang yang
mendengarnya mengira hal itu termasuk bagian dari hadits. Contohnya adalah
hadits yang diriwayatkan al-Khathib melalui riwayat Abu Quthn dan Syababah-
beliau memisahkan keduanya dari Syu'bah dari Muhammad bin Ziyad dari Abi
Hurairah, yang berkata: 'Rasulullah saw bersabda: Membasuh tumit dengan
sempurna. Marilah kita perhatikan hadits berikut ini:

‫ اَسْ ِب ُغ ْوا ْالوُ ض ُْو َء‬:‫صلَّى هّٰللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
َ ِ ‫َعنْ اَ ِبيْ ه َُري َْر َة َرضِ َي ُ َع ْن ُه َعنْ َرس ُْو ِل‬
ِ ‫َو ْي ٌل لِاْل َعْ َقا‬
ِ ‫ب م َِن ال َّن‬
‫ار‬
“Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Saw. Beliau bersabada:
“Sempurnakanlah wudhu. Neraka bagi tumit yang tidak terkena air.”
ُ ‫بِ ُغوْ ا ْال ُو‬GG‫“اَ ْس‬Sempurnakanlah wudhu.” sebenarnya bukan
Perkataan : ‫وْ َء‬GG‫ض‬
termasuk matan hadits. Karena adanya hadits semisal yang diriwayatkan
melalui sanad yang lain.
Kalimat 'sempurnakanlah wudlu kallan' merupakan mudraj, yaitu perkataan
Abu Hurairah yang tersusupkan. Hal ini telah dijelaskan oleh Imam Bukhari dari
Adam dari Syu'bah dari Muhammad bin Ziyad dari Abu Hurairah.

7
Mahmud Thahhan, Op.Cit, h.126.
8
Ibid.

5
Al-Khathib berkata: Abu Qathn dan Syababah bersikap ragu dalam
meriwayatkan kepadanya dari Syu'bah, la (al Khathib) menggabungkan riwayat
seperti riwayat (tentang) Adam101
b. Contoh idraj di pertengahan hadits:
yaitu hadits Aisyah tentang permulaan wahyu:
ُ ‫صلَّى هّٰللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َي َت َح َّن‬
ٍ ‫ث فِيْ َغ‬
‫ار ح َِرا ٍء َوه َُو‬ َ ُّ‫ان ال َّن ِبي‬
‫هّٰللا‬
َ ‫ َك‬:‫َعنْ عَاِئ َش َة َرضِ َي ُ َع ْن َها‬
‫ت ْال َع َد ِد‬ ِ ‫ال َّت َع ُب ُد اللَّ َيال َِي َذ َوا‬
“Dari Siti ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
Adalah Nabi Muhammad Saw. Biasa bertahannuts di Gua Hira’, yaitu
beribadah, selama beberapa malam.9
Matan yang berbunyi:
‫َوه َُو ال َّت َع ُب ُد‬
“Yaitu beribadah.”
Merupakan mudraj atau sisipan yang ditambahkan oleh Imam az-
Zuhri. Disini terdapat perkataan -wa huwa ta’abbud (beliau beribadah)-. Ini
merupakan mudraj dari perkataannya az-Zuhri.
c. Contoh idraj pada bagian akhir hadits:
Hadits Abu Hurairah secara marfu’:
ُّ‫ َو ِبر‬،ُّ‫ َو ْال َحج‬،‫هللا‬
ِ ‫يل‬ ِ ‫ْال َع ْب ِد ْال َم ْملُ ْوكِ ْالمُصْ ل ِِح َأجْ َر‬
ِ ‫ لَ ْواَل ْال ِج َها ُد فِي َس ِب‬،ِ‫ َوالَّذِي َن ْفسِ يْ ِب َي ِده‬،‫ان‬
‫ك‬ٌ ‫ُوت َوَأ َنا َممْ لُو‬
َ ‫ْت َأنْ َأم‬ ُ ‫ َأَلحْ َبب‬،‫ُأمِّي‬
“Seorang hamba sahaya yang berbakti pada tuannya, maka baginya dua
pahala. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalaulah bukan
karena jihad di jalan Allah, haji dan berbakti pada ibuku, tentu aku lebih
meyukai mati dalam keadaan sebagai seorang hamba sahaya.”
Dalam matan hadits di atas terdapat idraj atau tambahan yang sebenarnya
bukan bagian dari matan hadits itu. Yaitu kalimat:
‫ُوت َوَأ َنا‬ ُ ‫ َأَلحْ َبب‬،‫ َو ِبرُّ ُأمِّي‬،ُّ‫ َو ْال َحج‬،‫هللا‬
َ ‫ْت َأنْ َأم‬ ِ ‫يل‬ ِ ‫ لَ ْواَل ْال ِج َها ُد فِي َس ِب‬،ِ‫َوالَّذِي َن ْفسِ يْ ِب َي ِده‬
ٌ ‫َم ْملُو‬
‫ك‬
Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalaulah bukan karena
jihad di jalan Allah, haji dan berbakti pada ibuku, tentu aku lebih meyukai
mati dalam keadaan sebagai seorang hamba sahaya.”

9
Bukhari, Bab tentang permulaan wahyu.

6
Karena dua alasan berikut:
1) Mustahil Nabi Muhammad Saw. Mengharap dirinya menjadi seorang
hamba sahaya.
2) Ibunda Siti Aminah telah wafat sejak Nabi Muhammad Saw. Masih
kecil. Sehingga beliau tidak perlu menjadi hamba sahaya untuk berbakti
pada Ibunda.
Oleh karena itu, jelas bahwa kalimat itu merupakan tambahan dari
Abu Hurairah sendiri. Bukan sabda Nabi Muhammad Saw.
Perkataan: ‘Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya ...,
merupakan ucapan Abu Hurairah. Sebab tidak mungkin hal itu berasal
dari ucapan Nabi saw, karena tidak mungkin beliau berandai-andai
sebagai budak, lagi pula ibunya sudah tidak ada meskipun beliau berbuat
baik kepadanya.

4. Tuntunan idrajj
Idroj dilakukan karena adanya tuntutan yang bermacam-macam, yang
populer diantaranya:
a. Untuk menjelaskan hukum syara.
b. Melakukan istinbath hukum syar’i dari hadits tersebut sebelum haditsnya
sempurna (diucapkan atau ditulis).
c. Untuk menjelaskan lafadz-lafadz yang asing di dalam hadits.

5. Bagaimana mengetahui hadits mudraj


Hadits mudraj diketahui melalui beberapa hal:
d. Terdapat hadits (yang terpisah) dalam riwayat lain.
e. Adanya penetapan terhadap hadits tersebut dari sebagian imam dan pakar.
f. Pengakuan rawi itu sendiri bahwa dia telah menyusupkan perkataan.
g. Kemustahilan bahwa hal itu merupakan ucapan Rasulullah saw.

6. Hukum hadits mudraj


Menurut kesepakatan ulama dari kalangan ahli hadits, fuqaha dan selain
mereka, idraj itu tidak boleh dilakukan. Pengecualiannya hanya untuk

7
menafsirkan lafadz-lafadz hadits yang asing, hal ini tidak dilarang. Karena itu
az-Zuhri dan imam-imam lain telah melakukannya.
Adapun kitab hadits mudraj yang populer:
a. Al-Fashlu li al-Washli al-Mudraj fi an-Naqli, karya al-Khathib al-
Baghdadi.
b. Taqrib al-manhaj bi Tartib al-Mudraj, karya Ibnu Hajar. Kitab ini adalah
ringkasan dari kitabnya al-Khathib, dan diberi tambahan oleh penyusunnya.

D. Hadits Mushahhaf
1. Pengertian Hadits Mushahhaf
Menurut bahasa mushahhaf merupakan isim maful dari kata at-tashhif, yang
berarti kekeliruan pada halaman. Dari situ terdapat kata as shahafiyu, yaitu
orang yang keliru membaca halaman, kemudian sebagian lafadz jadi berubah
disebabkan kekeliruan membacanya.
Menurut istilah: Berubahnya kata di dalam hadits dengan kata selain yang
diriwayatkan oleh (rawi) tsiqah, baik lafadznya maupun maknanya.10

2. Contoh hadits mushahhaf


a. Dilihat dari sisi tempatnya
Seperti hadits Zaid bin Tsabit bahwa Nabi saw: thtajara fi al-masjid
(menahannya di masjid) Ibnu Lahimah keliru dan merubahnya: ihtajama fi
al-masjid (berbekam di masjid).
Pada matan juga terjadi hal yang sama, semisal riwayat Zaid bin Tsabit
‫احتجر في المسجد‬
“Nabi saw membuat kamar di dalam masjid” Kemudian ditashhif oleh Ibnu
Lahi’ah: ‫احتجم في المسجد‬
“Nabi saw. melakukan bekam di dalam masjid”
Kemudian jika tashif ditinjau dari segi sebab terjadinya dibagi menjadi dua.
b. Dilihat dari sisi keadaannya: hadits mushahhaf juga terbagi dua

10
Mahmud Thahhan, Op.Cit, h.141.

8
1) Tashhif penglihatan: Ini kasus tashhif yang paling banyak, yaitu
kaburnya tulisan di mata pembacanya, bisa karena buruknya tulisan atau
tidak adanya tanda titik. Contohnya:
‫صا َم الدَّهْ َر ُكلَّ ُه‬ ٍ َّ‫ان َواَ ْت َب َع ُه سِ ًّتا مِنْ َشو‬
َ ‫ال َف َكا َ َّن ُه‬ َ ‫ض‬ َ ْ‫َمن‬
َ ‫صا َم َر َم‬
“Barang siapa yang berpuasa di Bulan Ramadhan kemudian
melanjutkan (shaumnya) selama enam hari dari bulan syawal.”
Abu Bakar As-Shuli keliru membaca dan menyebutkan:

‫صا َم الدَّهْ َر ُكلَّ ُه‬ ٍ َّ‫ان َواَ ْت َب َع ُه َش ْيا ً مِنْ َشو‬


َ ‫ال َف َكا َ َّن ُه‬ َ ‫ض‬ َ ْ‫َمن‬
َ ‫صا َم َر َم‬
“Barang siapa yang berpuasa di Bulan Ramadhan kemudian
melanjutkan (shaumnya) dengan sesuatu dari bulan syawal.”
Abu Bakar As- Shuli pernah meriwayatkan hadits tersebut, namun
kekeliruannya adalah pada lafadz‫تًّا‬GG‫( ِس‬enam hari) yang diriwayatkan
dengan lafadz ‫( َش ْيًئا‬sesuatu). Tentu saja hadits di atas adalah hadits yang
kuat dan dinilai diterima untuk diamalkan, namun jika periwayatannya
menggunakan lafadz “‫" َش ْيًئا‬, maka menjadi sebuah kedhaifan yang parah,
dikhawatirkan orang awam menerimanya akan gagal faham.

2) Tashhif pendengaran: yaitu kaburnya pendengaran atau jauhnya si


pendengar dari sumber suara, atau yang semacamnya. Lalu ia
menyamakan sebagian kata dengan kata lain yang wazannya serupa.
Contohnya: Hadits yang diriwayatkan dari Ashim al Ahwal.
Sebagian mereka keliru dan menganggapnya sebagai, dari Washil al-
Ahdab.
c. Dilihat dari sisi lafadz atau maknanya: hadits mushahhaf terbagi dua:
1) Tashhif pada lafadz: Ini yang paling banyak. Sama dengan contoh
sebelumnya.
2) Tashhif pada makna: yaitu si rawi mushahhif menuturkan lafadz hadits
sesuai dengan keadaannya, akan tetapi ia menafsirkan (lafadz hadits
tersebut) yang menunjukkan penafsiran berbeda dengan makna yang
dimaksud.

9
Contohnya: Perkataan Abu Musa al-‘Anazi:
‫نحن قوم لنا شرف نحن من عنزة صلى الينا رسول ہللا ﷺ‬
Kami adalah kaum yang eniliki kemuliaan, dan kami juga memiliki
anazah (tombak). Kemudian Rasulullah SAW shalat menghadap
kepada kami.
la mengira bahwa maksud dari hadits tersebut adalah, Nabi saw
shalat bagi anazah, yaitu menyangka bahwa Nabi shalat bagi kabilah
anazah. Padahal, yang dimaksud anazah disini adalah tombak yang
ditancapkan di hadapan orang yang shalat.

3. Tashhif merusak ke-dhabit-an rawi


a) Jika tashhif yang dilakukan rawi itu sangat jarang maka hal itu tidak
merusak kedlabitannya, sebab ia tidak selamat dari kesalahan, lagi pula
tashhif yang dilakukannya sedikit.
b) Namun, jika yang dilakukannya itu banyak (sering), maka hal itu
merusak kedlabitannya, sekaligus menunjukkan (tingkatannya) yang
meringankan, dan ia tidak memiliki kelayakan dalam masalah ini.

4. Penyebab para perawi melakukan banyak Tashhif


Pada umumnya, penyebab para perawi melakukan tashhif, karena
mengambil hadits dari dalam kitab dan lembaran-lembaran; tidak ada
pertemuan dengan syekh atau guru-gurunya. Karena itu para imam hadits
memperingatkan untuk tidak mengambil hadits dari tulisan, mereka berkata:
Hadits tidak boleh diambil dari tulisan (catatan). Maksudnya, hadits tidak
boleh diambil dari orang yang mengambilnya dari catatan.
5. Kitab yang populer
a. At-Tashhif, karya Daruquthni.
b. Ishlah Khatah’ al-Muhadditsin, karya al-Khathabi.
c. Tashhifat al-Muhadditsin, Abu Ahmad al-‘Askari.

10
E. Hadits Muharraf
Muharraf berasal dari kata “harrafa, yuharrifu, tahrifan, muharrafun”,
berarti mengubah atau mengganti.
Sebagian muhadditsûn mengatakan hadis muharraf ialah; ‫ما وقعت المخالفة فيه‬
‫ورة الخط‬GGG‫اء ص‬GGG‫ع بق‬GGG‫ة م‬GGG‫كل في الكلم‬GGG‫ير الش‬GGG‫“ بتغي‬Hadis yang mukhalafahnya terjadi
disebabkan karena perubahan syakal kata (baris), dengan masih tetapnya bentuk
tulisannya”.
Yang dimaksud dengan syakal, ialah tanda hidup (harakat) dan tanda mati
(sakanat). Misalnya kalimat Basyir dibaca dengan Busyair dan kalimat Nashir
dibaca dengan Nushair, dengan merobah harakat dan sakanatnya, sedang bentuk
tulisannya tetap tidak berubah.11
Tahrif ini ada yang terjadi pada matan, dan adakalanya terjadi pada sanad.
Contoh tahrif pada matan misalnya Hadits Jabir r.a.:

.‫رمى إلى يوم األحزاب على الخله فكواه رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
“Ubay (bin Ka’ab) telah dihujani panah pada perang Ahzab mengenai
lengannya, lantas Rasulullah mengobatinya dengan besi hangat”.
Ghandar mentahrifkan Hadits tersebut dengan Aby (artinya ayah ku), padahal
sesungguhnya Ubay, yakni Ubay bin Ka’ab. Kalau pentahrifan Ghandar ini
diterima, berarti orang yang dihujani panah itu adalah ayah Jabir. Padahal ayah
Jabir telah meninggal pada perang Uhud, yang terjadi sebelum perang Ahzab.*)

F. Ziyadaat Ats-Tsiqat

1. Pengertian ziyadat ats-tsiqat


Ziyadat merupakan bentuk jamak dari kata ziyadah, sedangkan tsiqaat
merupakan jamak dari kata tsiqah. Tsiqah itu adalah orang yang adil lagi
dhabith. Yang dimaksud dengan ziyadat ats-tsiqah adalah lafadz tambahan
sebagian (rawi) tisiqah yang kita lihat dalam riwayat hadits dari perawi tsiqah
lainnya.12

11
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung: Alma’arif, 1991), h.166.
12
Mahmud Thahhan, Op.Cit, h.174.

11
Tambahan-tambahan oleh sebagian rawi tsiqah yang ada pada sebagian
hadits hampir terlupakan oleh para ulama, diantara mereka ada yang
mencermatinya, mengumpulkan dan memahaminya, yang populer antara lain:
a) Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Ziyad an-Naisaburi.
b) Abu Nu’aim al-Jurjani.
c) Abu al-Walid Hassan bin Muhammad al-Qursyi.

2. Tempat terjadinya ziyadah


Matan berupa tambahan kata atau kalimat. Pada sanad berupa memarfu’kan
yang mauquf, atau menyambung yang mursal.

3. Hukum tambahan pada matan


Para ulama telah berselisih pendapat mengenai hukum tambahan pada
matan:
a) Diantara mereka ada yang menerimanya secara mutlak
b) Ada juga yang menolaknya secara mutlak
c) Tetapi ada juga yang menolak tambahan dari rawi hadits yang
meriwayatkannya dari rawi yang pertama tanpa disertai tambahan; namun
menerimanya jika dari yang selainnya¹²⁷
Ibnu Shalah telah membagi ziyadah tsiqah sesuai dengan bisa diterima atau
ditolak menjadi tiga macam. Pembagiannya termasuk bagus, dan hal itu
disepakati oleh an-Nawawi maupun lainnya.

4. Contoh ziyadah pada matan


a) Contoh tambahan yang tidak saling meniadakan: Hadits yang diriwayatkan
Muslim melalui jalur Ali bin Mushir dari al-Amasy dari Abu Razin dan Abu
Shaleh, dari Abu Hurairah ra berupa tambahan kata falyuriqhu pada hadits
mengenai jilatan anjing Seluruh penghafal dari kawan-kawannya A’masy
tidak menyebutkan hal itu. Mereka meriwayatkan:
‫إذا ولع الكلب في اناء أحدكم فليغسله سبع مرار‬
“Apabila seekor anjing menjilat bejana kalian, maka basuhlah sebanyak
enam kali".

12
Tambahan semacam ini sama seperti khabar yang menyendiri dari Ali bin
Mushir, sedangkan ia seorang tsiqah. Karena itu tambahan ini dapat
diterima.
b) Contoh tambahan yang saling meniadakan: Tambahan yaitu :
‫يوم عرفة ويوم النحر وأيام التشريق عيدنا أهل اإلسـالم وهـي أيام أكل وشرب‬
“Hari Arafah, hari nahar, dan hari-hari tasyrig merupakan hari
raya kita para pemeluk Islam; itu merupakan hari-hari untuk
makan dan minum”
Hadits dari seluruh jalur tidak menyertakan kata tadi. Namun, kata tersebut
datng dari musa bin Ali dari Rabah dari bapaknya dari ‘Uqbah bin Amir,
dan hadits nya dikelurkan oleh Tirmidzi, Abu Dawud dan lainnya.
c) Contoh tambahan yang saling meniadakan: Tambahan yaum ‘arafah pada
Hadits : ‫طه ُْورً ا‬ ْ َ‫ت لَ َنا اَألرْ ضُ ُكلّ َها َمسْ ِج ًدا َو ُج ِعل‬
َ ‫ت ُترْ َب ُت َها لَ َنا َو‬ ْ َ‫َو ُج ِعل‬
“Dan telah dijadikan bagi kita, bumi itu sebagai masjid, dan telah
dijadikan bagi kita, debu itu suci”
Riwayat Abu Malik yang disertai tambahan kata turbatuha
menyendiri, dan hal itu tidak pernah disebut-sebut oleh perawi lain. Mereka
meriwayatkan hadits dengan redaksi:
‫ت لَ َنا اَألرضُ َمسْ ِج ًدا َو َطه ُْورً ا‬
ْ َ‫َو ُج ِعل‬
“Dan telah dijadikan bagi kita, bumi itu sebagai masjid dan
suci”.

G. Hadits Syadz dan Mahfuzh


1. Pengertian syadz
Menurut bahasa syadz merupakan isim fa’il dari kata syadz, yang berarti
yang menyendiri (asing). Jadi, syadz itu bermakna terasing dari kebanyakan
orang. Menurut istilah Hadits yang diriwayatkan rawi maqbul (bisa diterima),
yang menyelisihi dengan orang yang lebih utama.13
Yang dimaksud dengan maqbul adalah, (rawinya) adil dan sempurna
kedhabitannya, atau (rawinya) adil tetapi tingkat kedhabitannya lebih ringan.
Sedangkan yang dimaksud dengan orang yang lebih utama adalah, lebih rajih
13
Ibid, h.145

13
(kuat) dibandingkan dengan dirinya, baik karena derajat kedhabitannya lebih
tinggi, atau lebih banyak jumlahnya, atau hal-hal lain yang termasuk dalam
aspek tarjih.
Para ulama telah berselisih mengenai definisinya dengan berbagai
pernyataan, akan tetapi al-Hafidh Ibnu Hajar telah memilih definisi tersebut
seraya berkata: Definisi itu menjadi sandaran bagi definisi hadits syadz yang
sesuai dengan istilah”.¹⁰⁹
Syadz bisa terjadi pada sanad maupun matan. Contoh syadz pada matan
adalah hadits yang diriwayatkan Abu Daud dan Tirmidzi dari haditsnya Abdul
Wahid bin Ziad dari al-A’masy dari Abi Shaleh dari Abu Hurairah, secara
marfu”:
‫إذا صلى أحدكم الفجر فليضطجع عن يمينه‬
”Apabila salah seorang dari kalian shalat fajar, hendaknya berbaring
ke sebelah kanan”.
Al-Baihaqi berkata, dalam hal ini Abdul Wahid menyalahi banyak rawi.
Masyarakat itu meriwayatkan tentang perbuatan Nabi saw, bukan
perkataannya. Dalam lafadz ini Abdul Wahid menyendiri dari rawi-rawi tsiqah
yang menjadi sahabat al-A’masy.

2. Al-Mahfuzh
Al-Mahfudh merupakan lawan dari syadz, yaitu hadits yang diriwayatkan
oleh rawi yang lebih tsiqah, yang menyelisihi dengan riwayat tsiqah lain. 14
Contohnya sama dengan dua contoh yang disinggung pada jenis hadits syadz.
3. Hukum hadits syadz dan hadits mahfudh
Sudah diketahui bahwa hadits syadz itu mardud (tertolak), sedangkan
hadits mahfudh termasuk maqbul (diterima).

14
Ibid, h.146.

14
H. Mukhalafat at-tsiqat
Apabila penyebab cacatnya rawi adalah menyelisihi dengan rawi tsiqah-yang
menjadi penyebab ketujuh-, muncul lima macam cabang ilmu hadits, yaitu: hadits
mudraj, hadits maglub, al-mazid fi muttashil al-asanid, hadits mudltharib, dan
hadits mushahhaf.15
1. Jika menyelisihinya itu merubah susunan sanad, atau masuknya hadits mauquf
pada yang marfu’, ini dinamakan dengan mudraj.
2. Jika menyelisihinya itu karena mengedepankan atau mengakhirkan, ini
dinamakan dengan maqlub.
3. Jika menyelisihinya dengan menambah lagi rawi (pada sanad), ini dinamakan
al-mazid fi muttashili al-asanid.
4. Jika menyelisihinya itu dengan mengganti seorang rawi dengan rawi lain, atau
terdapat pertentangan pada matannya dan tidak bisa ditarjih, ini dinamakan
dengan muditharib.
5. Jika menyelisihinya itu dengan mengganti lafadz, sementara susunan (sanad)-
nya tidak berubah, ini dinamakan mushahhaf ⁹⁸

15
Ibid, h.125

15
BAB III
PENUTUP

Hadits mudhtharib adalah hadits yang diriwayatkan dari arah yang bermacam-
macam, yang kekuatannya sama. Sedangkan hadits maqlub ialah menukar lafadz
dengan lafadz lainnya pada sanad hadits atau pada matan hadits, dengan cara
mendahulukan, mengakhirkan, atau yang sejenis. Sedangkan hadits mudraj adalah:
hadits yang dirubah susunan sanadnya, atau matannya dimasuki sesuatu yang bukan
menjadi bagiannya, tanpa ada pemisah.
Dan yang dimaksud dengan hadits mushahaf adalah: Berubahnya kata di
dalam hadits dengan kata selain yang diriwayatkan oleh (rawi) tsiqah, baik
lafadznya maupun maknanya. Dan hadits muharraf adalah : Hadis yang
mukhalafahnya terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata (baris),
dengan masih tetapnya bentuk tulisannya”.
Yang dimaksud dengan ziyadat ats-tsiqah adalah lafadz tambahan
sebagian (rawi) tisiqah yang kita lihat dalam riwayat hadits dari perawi tsiqah
lainnya. Makna dari hadits syadz adalah: Hadits yang diriwayatkan rawi
maqbul (bisa diterima), yang menyelisihi dengan orang yang lebih utama. Dan
hadits mahfuzh adalah : hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih tsiqah,
yang menyelisihi dengan riwayat tsiqah lain.

16
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaththan, Manna'. 2005. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar.
Darussamin, Dzikri. 2020. Kuliah Ilmu Hadits. Yogyakarta: Kalimedia.
Rahman, Fatchur. 1991. Ikhtissar Mushthalahul Hadits. Bandung: Alma'arif.
Thahan, Dr.Mahmud. 2010. Taisir Musthalah al-Hadits. Bogor: Pustaka Thariqul
Izzah.

17

Anda mungkin juga menyukai