Anda di halaman 1dari 22

CRITICAL JOURNAL REVIEW

CRITICAL JOURNAL REVIEW

MK. FILSAFAT PENDIDIKAN

PRODI PENDIDIKAN

Skor Nilai :

Journal 1 “Membangun Karakter dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Ki Hadjar

Dewantara” ( I Gusti Agung Made Gede Mudana, 2019)

Journal 2 “Filsafat Pendidikan” (Human Mustajid, 2016)

Arief Fathurrahman (7203142022)

Putri Glorya Tambunan (7203142001)

Rizki Nurhidayah (7202442003)

Dosen Pengampu : Srinahyanti, S.Pd, M.Pd

Mata Kuliah : Filsafat Pendidikan

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,

karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan

sehingga Critical Jurnal Review ini bisa selesai tepat waktu.

Kami berterima kasih kepada dosen yang telah mengajarkan materi ini

sehingga menambah pengetahuan saya dalam menyusun Critical Journal Review ini.

Critical Journal Review ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah filsafat

Pendidikan dan sebagai referensi pembaca untuk mencari jurnal yang baik. Saya

harap CJR ini dapat menambah pengeahuan pembaca serta dapat memahaminya.

Medan, 4 Oktober 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar 2

Daftar Isi 3

BAB I PENDAHULUAN

a. Rasionalisasi Pentingnya CJR 4

b. Tujuan Penulisan CJR 4

c. Manfaat Penulisan CJR 4

d. Identitas Jurnal 5

BAB II RINGKASAN ISI JURNAL

a. Pendahuluan 6

b. Deskripsi Isi 9

c. Metode Penilaian 13

BAB III PEMBAHASAN

a. Pembahasan Isi Journal 18

b. Kelebihan dan Kekurangan Jurnal 18

BAB IV PENUTUP

a. Kesimpulan 19

b. Rekomendasi 20

Daftar Pustaka 21

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Rasionalisasi Pentingnya CJR

Tujuan dari review jurnal atau hasil dari penelitian sendiri adalah untuk

mempermudah dalam membahas inti hasil penelitian ataupun jurnal yang

telah ada.

Review jurnal ataupun review hasil penelitian merupakan salah satu

strategi untuk bisa mempermudah memahami inti dari jurnal ataupun dari

hasil penelitian yang telah dilakukan. Oleh sebab itu, setiap mahasiswa harus

memiliki kompetensi untuk membaca serta menganalisis agar jurnal ataupun

hasil penelitian yang dibahas dapat dipahami sepenuhnya oleh mahasiswa.

B. Tujuan CJR

1. Untuk memenuhi salah satu bentuk penugasan KKNI, Critical Journal

Review.

2. Menambah kemampuan mahasiswa dalam memahami inti dari jurnal.

3. Meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menganalisis jurnal.

4. Menguatkan kemampuan mahasiswa dalam memahami dan menganalisis

jurnal.

C. Manfaat CJR

1. Membantu pembaca mengetahui gambaran dan penilaian umum dan sebuah

jumal atau hasil karya tulis ilmiah lainnya secara ringkas.

2. Mengetahui kelebihan dan kelemahan jurnal yang dikritik.

3. Mengetahui latar belakang dan alasan jurnal tersebut dibuat.

4. Mengetahui kualitas jumal dengan membandingkan terhadap karya dari

penulis yang sama atau penulis lainnya.

4
5. Memberi masukan kepada penulis jurnal berupa kritik dan saran terhadap

cara penulisan, isi, dan substansi jurnal.

D. Identitas Jurnal 1 yang Direview

Judul Artikel : Membangun Karakter Dalam Perspektif Filsafat

Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Nama Journal : Jurnal Filsafat Indonesia

Pengarang artikel : I Gusti Agung Made Gede Mudana

Tahun : 2019

Alamat Situs : Google Cendekia

E. Identitas Jurnal 2 yang Direview

Judul Atikel : Filsafat Pendidikan

Nama Jurnal : Jurnal El-Tarbawi

Pengarang Artikel : Humam Mustajid

Tahun : 2016

Alamat Situs : Google Cendekia

5
BAB II

RINGKASAN ISI JURNAL

A. PENDAHULUAN

Jurnal 1 : Pemuda masa kini hidup dalam dunia yang serba pragmatis

sebagai dampak dari globalisasi yang memasuki budaya Indonesia melalui

perkembangan teknologi dan informasi yang sangat memikat. Globalisasi

yang memasuki budaya Indonesia melalui perkembangan teknologi dan

informasi yang sangat memikat. Globalisasi tidak selalu mendatangkan

dampak negatif seperti tersebut di atas. Akan tetapi, globalisasi di

Indonesia lebih banyak mendatangkan dampak negatif, seperti pola hidup

masyarakat yang menjadi lebih konsumtif, hedonis, dan materialistik.

Akibatnya, pemuda masa kini belajar hanya untuk meraih hasil yang baik

dengan mengandalkan segala cara tidak terkecuali mencontek yang sudah

menjadi budaya bagi siswa yang hanya mementingkan nilai dari pada ilmu.

Hal tersebut menunjukan akhlak generasi muda Indonesia yang bobrok.

Perilaku dan sikap bangsa Indonesia di kalangan generasi muda,

khususnya anak didik perlu terus diperkuat sehingga dapat melahirkan

generasi muda yang handal dan memiliki karakter yang kuat, salah satunya

dengan menumbuhkan minat baca untuk menambah pengetahuan. Hal itu

penting agar bangsa Indonesia dapat berkembang dan sejajar dengan

bangsa-bangsa asing dalam pergaulan internasional, tetapi tidak larut

dalam arus globalisasi. Bangsa Indonesia membutuhkan lima karakter

untuk dapat menampilkan jati dirinya dan bersaing dengan bangsa lain.

Pertama, karakter bangsa yang bermoral (religius). Bangsa ini harus sarat

dengan nilai-nilai moral dan etika keagamaan sebagai sebuah pandangan

dan praktik. Kedua, karakter bangsa yang beradab. Beradab dalam arti luas,

menjadi suatu bangsa yang memiliki karakter, berbudaya, dan

berperikemanusiaan. Ketiga, karakter bangsa yang bersatu, di dalamnya

6
termasuk menegakkan toleransi, tidak mungin Indonesia dapat bersatu

tanpa adanya toleransi, keharmonisan, dan persaudaraan. Keempat,

karakter bangsa yang berdaya, dalam arti yang luas berdaya berati menjadi

bangsa yang berpengetahuan, terampil, berdaya saing secara mental,

pemikiran maupun teknis. Daya saing bukan hanya sekadar dalam arti

materi dan mekanik, melainkan dalam makna secara mental, hati, dan

pikiran. Kelima, karakter bangsa yang berpartisipasi. Partisipasi sangat

diperlukan untuk menghapus sikap masa bodoh, mau enaknya saja, dan

tidak pernah peduli dengan nasib bangsa Indonesia. Karakter partisipasi

ditandai dengan penuh peduli, rasa dan sikap bertanggung jawab yang

tinggi serta komitmen yang tumbuh menjadi karakter dan watak bangsa

Indonesia (Ismadi. 2014: 29).

Jurnal 2 : Menurut A. Malik Fadjar (1999: 27) pada dasarnya pendidikan

memerlukan landasan yang berasal dari filsafat atau hal-hal yang

berhubungan dengan filsafat. Karena filsafat melahirkan

pemikiranpemikiran teoritis tentang pendidikan dan pemikiran tentang

pendidikan senantiasa memerlukan filsafat. Oleh karena itu, merupakan

keharusan bagi pendidik dan tenaga kependidikan mengetahui ide-ide

filsafat pendidikan, sehingga jalan yang ditempuh dalam proses

pendidikan dapat terkontrol dan berjalan sesuai dengan pedoman (filsafat

pendidikannya) (Al-Syaibani, 1979: 24). Pernyataan tersebut dapat

dimengerti, sebab pemikiran filsafat sangat penting bagi semua cabang

ilmu pengetahuan dan kemajuan, baik umat manusia maupun seluruh ilmu

pengetahuan di topang dengan kemjuan filsafat. Maragustam

menambahkan, suatu peradaban dalam melakukan kerja tanpa petunjuk

filsafat adalah bagaikan sebuah kapal tanpa kompas. Jalannya pendidikan

dengan demikian tidak lepas dari filsafat pendidikannya. Praktik

pendidikan tanpa filsafat akan sulit mencapai tujuannya. Sekalipun

tercapai, hal itu hanya sementara yang pada akhirnya menemui kegagalan

7
(Maragustam, 2015: 29). Oleh karena itu, pemikiran para tokoh pendidikan

senantiasa hangat untuk dipebincangkan dan tulisan atau kajian tentang

filsafat pendidikan selalu urgen untuk dilakukan terutama yang berkaitan

dengan upaya menemukan sebuah konsep pendidikan yang idealnya dapat

memberi solusi bagi bermacam permasalahan kemanusiaan dewasa ini.

Tulisan ini difokuskan pada gagasan pemikiran pendidikan seorang tokoh

modern yaitu Hasan Langgulung. Kecenderungan dalam memilih

Langgulung sebagai tokoh pendidikan yang kemudian diangkat dalam

tulisan ini adalah didasarkan atas kriteria tokoh yang dikemukakan oleh

Furchan dan Maimun (2005: 12-13), yaitu: pertama, berhasil di bidangnya;

kedua, mempunyai karya-karya monumental; ketiga, mempunyai

pengaruh pada masyarakat; dan keempat, ketokohannya diakui oleh

masyarakat. Sepak-terjang Langgulung dalam dunia pendidikan dan

pengajaran di Malaysia dan Indonesia khususnya serta berbagai belahan

dunia pada umumnya telah menunjukkan keberhasilannya dalam

berkontribusi mengembangkan kepakarannya, hal tersebut sekaligus

pembuktian bahwa ketokohannya dalam bidang keahliannya

mendapatkan pengakuan dari masyarakat. Langgulung juga menghasilkan

banyak tulisan, seperti buku, makalah, jurnal atau tulisan lain yang sering

dijadikan sumber acuan atau rujukan utama sebuah aktivitas ilmiah dalam

pendidikan Islam. Hal tersebut menunjukkan bahwa Langgulung

merupakan tokoh yang memiliki pengaruh cukup kuat, khususnya di

kalangan masyarakat pendidikan Islam.

B. DESKRIPSI ISI

Jurnal 1 : Mengangkat pemikiran seorang tokoh besar seperti Ki Hadjar

Dewantara tanpa terlebih dahulu memahami dan mempertimbangkan

kondisi sosioal dan politik masa hidupnya yang mengiringi pertumbuhan

pemikirannya, tentunya akan memberikan dampak yang kurang baik

8
karena pada dasarnya Ki Hadjar Dewantara merupakan produk sejarah

masa lampau. Oleh karena itu, situasi dan kondisi yang berkembang ikut

menentukan perkembangan dan corak pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Ki

Hadjar Dewantara terlahir dari keluarga kerajaan Paku Alam yang

merupakan keturunan bangsawan, lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei

1889 dengan nama R.M. Suwardi Suryaningrat. Ayah Ki Hadjar Dewantara

bernama Kanjeng Pangeran Harjo Surjaningrat, putra dari Kanjeng Gusti

Pangeran Hadipati Harjo Surjosasraningrat yang bergelar Sri Paku Alam III

(Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 4. 1989). Ki Hadjar Dewantara

merupakan keturunan dari Paku Alam III, dan mendapat pendidikan

agama dari ayahnya.

Beliau juga mendapat pelajaran falsafah Hindu yang tersirat dari cerita

wayang dan juga satra jawa gending. Ki Hadjar Dewantara di dalam

keluarganya banyak bersentuhan dengan iklim keluarga yang penuh

dengan nuansa kerajaan yang feodal. Walaupun ayahnya seorang

keturunan dari Paku Alam III, Ki Hadjar Dewantara seorang yang sangat

dekat dengan rakyat karena pada masa kecilnya Ki Hadjar Dewantara

senang bergaul dengan anak-anak kebanyakan di kampung-kampung

sekitar puri tempat tinggalnya. Ki Hadjar Dewantara menolak adat feodal

yang berkembang di lingkungan kerajaan. Hal ini dirasakan olehnya bahwa

adat yang demikian menganggu kebebasan pergaulannya (Taman Siswa,

1979). Pada masa itu, pendidikan sangatlah langka, hanya orang-orang dari

kalangan Belanda, Tiong Hoa, dan para pembesar daerah saja yang dapat

mengenyam jenjang pendidikan yang diberikan oleh pemerintahan

Belanda.

Ki Hadjar Dewantara sewaktu kecil mendapat pendidikan formal

pertama kali pada tahun 1896. Akan tetapi, Ki Hadjar Dewantara merasa

kecewa karena teman sepermainannya tidak dapat bersekolah bersama

sebab mereka hanya rakyat biasa. Hal ini yang kemudian mengilhami dan

9
memberikan kesan yang sangat mendalam di dalam hati nuraninya dalam

melakukan perjuangannya, baik dalam dunia politik maupun pendidikan.

Ki Hadjar Dewantara juga menentang kolonialisme dan foedalisme yang

menurutnya sangat bertentangan dengan rasa kemanusiaan kemerdekaan

dan tidak memajukan hidup dan penghidupan manusia secara adil dan

merata (Soeratman, 1985). Kecintaan Ki Hadjar Dewantara terhadap ilmu

pengetahuan dan agama membuatnya menjadi sosok yang memiliki

pengetahuan dan wawasan yang sangat luas sehingga membuat beliau

dihormati oleh rakyat dan disegani oleh musuh. Ki Hadjar Dewantara

melihat ketimpangan pendidikan yang dialamai oleh rakyat kecil sehingga

mendorong Ki Hadjar Dewantara untuk berusaha memperjuangkan rakyat

kecil agar dapat mengenyam pendidikan karena bagi Ki Hadjar Dewantara,

pendidikan merupakan hak setiap manusia dan juga bekal bagi masa

depan.

Ki Hadjar Dewantara mengungkapkan pengertian pendidikan adalah

”Pendidikan, umumnya berarti daya upaya untuk memajukan

bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin dan karakter), pikiran

(intellect) dan tubuh anak; dalam pengertian Taman Siswa tidak boleh

dipisah-pisahkan bagian-bagian itu agar kita dapat memajukan

kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang

kita didik selaras dengan dunianya” (Taman Siswa, 1977). Definisi

pendidikan yang dikembangkan Ki Hadjar Dewantara, menunjukkan

bahwa Ki Hadjar Dewantara memandang pendidikan moral sebagai suatu

proses yang dinamis dan berkesinambungan. Di sini tersirat pula wawasan

kemajuan karena sebagai proses pendidikan harus mampu menyesuaikan

diri dengan tuntutan kemajuan zaman.

Pendidikan yang dimaksud oleh Ki Hadjar Dewantara memperhatikan

keseimbangan cipta, rasa, dan karsa tidak hanya sekadar proses alih ilmu

pengetahuan saja atau transfer of knowledge, tetapi sekaligus pendidikan juga

10
sebagai proses transformasi nilai (transformation of value). Dengan kata lain,

pendidikan adalah proses pembentukan karakter manusia agar menjadi

sebenar-benar manusia. Di sisi lain, karakter dalam istilah sederhananya

adalah pendidikan budi pekerti, kata karakter berasal dari bahasa inggris

character, artinya watak. Ki Hadjar Dewantara telah jauh berpikir dalam

masalah pendidikan karakter, mengasah kecerdasan budi sungguh baik

karena dapat membangun budi pekerti yang baik dan kokoh, hingga dapat

mewujudkan kepribadian (persoonlijkhheid) dan karakter (jiwa yang berasas

hukum kebatinan). Jika itu terjadi, orang akan senantiasa dapat

mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli, seperti bengis, murka,

pemarah, kikir, keras, dan lain-lain (Taman Siswa. 1977). Karakter adalah

pola untuk membentuk peserta didik yang beradab, membangun watak

manusia yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa, merdeka lahir batin, luhur

akal budinya, cerdas dan memiliki ketrampilan, sehat jasmani dan rohani

sehingga bisa mewujudkan manusia yang mandiri serta bertanggung jawab

terhadap kesejahteraan bangsa, Negara, dan masyarakat pada umumnya.

Jurnal 2 : Hasan Langgulung lahir di Rappang, Sulawesi Selatan tanggal

16 Oktober 1934 dari pasangan ayah Tanrasula dan ibunya Siti Aminah.

Nama Langgulung sebenarnya adalah sebutan yang diberikan oleh Petta/

Raja di Makassar kepada bapaknya (Tanrasula) karena kulitnya yang lebih

putih di banding orang-orang Makassar pada umumnya. Jadi kata

Langgulung sebenarnya berasal dari kata La Gulung yang berarti Si Putih.

Biasanya sebutan tersebut diberikan kepada kuda pacuan yang berwarna

putih (kuda gulung), untuk membedakan dengan kuda-kuda yang

berwarna lainnya (Langgulung, 2011: 1-2). Akhirnya, nama tersebut

menjadi bagian dari namanya yaitu Hasan Langgulung. Jadi, Hasan

Langgulung adalah nama lengkap dan resmi yang dipakainya dalam

berbagai kesempatan, termasuk dalam hal-hal yang berhubungan dengan

administrasi (Karwadi, tt). Langgulung mendapatkan pendidikan dasarnya

11
di tempat kelahirannya. Dimulai dari Sekolah Rakyat (Volkshool) sekarang

setaraf Sekolah Dasar di Rappang, Sulawesi Selatan (Langgulung, 1987: 5).

Kemudian melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Islam

dan Sekolah Guru Islam di Makasar sejak tahun 1949 sampai tahun 1952

serta menempuh B.I. Inggris di Ujung Pandang, Makassar (ibid). Kemudian

Langgulung melanjutkan pendidikannya di Pesantren Persatuan Islam

(Persis) Bangil, Jawa Timur dibawah pimpinan Ahmad Hassan (ibid: 46).

Perjalanan pendidikan internasionalnya dimulai ketika ia memutuskan

untuk menuntut ilmu ke Timur Tengah. Pada 28 september 1955

Langgulung berangkat ke Mesir untuk menempuh pendidikan sarjana

muda atau Bachelor of Arts (BA) dengan spesialisasi Islam and Arabic

Studies yang beliau peroleh dari Fakultas Dar al-Ulum, Cairo University,

Mesir pada tahun 1960. Setahun kemudian Langgulung sukses

mendapatkan gelar Diploma of Education (General) dari Ein Syams

University, Kairo. Di Ein Syams University pula Langgulung mendapatkan

gelar M.A. dalam bidang Psikologi dan Kesehatan Mental (Mental Hygiene)

pada tahun 1967 setelah menyelesaikan thesis yang berjudul “Al-Murahiq

al-Indonesiy: Ittijahatu wa Darajatuttawafuq ‘Indahu (Remaja Indonesia;

Sikap dan Penyesuaiannya)” dengan pembimbing Prof. Dr. Mustafa Fahmy

dan mendapat predikat Cum Laude (ibid: 346).

Sebelumnya, Langgulung juga sempat mengikuti perkuliahan sastra

Arab modern di bawah Liga Arab dan belajar dengan beberapa pakar sastra

seperti Prof. Umar Dasuki, Dr. Suhair al-Qalamawiy dan Prof. Dr. ‘Aisyah

Abd. Rahman. Kemudian Langgulung memperoleh Diploma dalam bidang

Sastra Arab Modern dari Institute of Higher Arab Studies, Arab League,

Kairo, yaitu di tahun 1964 (ibid: 288). Selain belajar di kelas, ketika di Kairo

Langgulung juga aktif belajar dengan Malik bin Nabi seorang ulama Islam

dari Al-Jazair yang terkenal keseluruh dunia dengan karya-karyanya dan

hal itu sangat berdampak pada perkembangan pemikiran Langgulung.

12
Terutama mengenai “tumbuh dan runtuhnya peradaban” yang berpusat

pada tiga kerangka yaitu manusia, tanah dan waktu (ibid: 145-146).

Kecintaan dan kehausan Langgulung terhadap ilmu pengetahuan

membuatnya tidak puas dengan apa yang telah perolehnya dari Timur

Tengah. Kemudian, Langgulung melanjutkan pengembaraan

intelektualnya ke negeri Barat untuk mengikuti pendidikan strata tiga di

Universitas Georgia, Amerika Serikat. Pada tahun 1971, Langgulung

berhasil mendapatkan Doctor of Philosophy (Ph.D) dari Universitas

Georgia setelah menyelesaikan desertasi yang berjudul “A Cross Cultural

Study of the Child’s Conception of Siuational Causality in India, Western

Samoa, Mexico and the United States”. Di ujikan pada tanggal 15 Januari

1971 dan sebagai pembimbing desertasinya adalah Prof. Dr. E. Paul

Torrance (ibid: 417). Selama menjadi mahasiswa perguruan tinggi,

Langgulung sangatlah aktif berkiprah dalam beberapa organisasi pelajar

dan mengajar.

C. Metode Penelitian

Jurnal 1 : Tujuan pendidikan bagi Ki Hadjar Dewantara adalah

membangun anak didik menjadi manusia yang merdeka lahir batin, luhur

akal budinya serta sehat jasmaninya untuk menjadi anggota masyarakat

yang berguna dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah

air serta manusia pada umumnya (Suparlan, 1984). Ki Hadjar Dewantara

mengungkapkan bahwa pendidikan merupakan proses pembudayaan,

yaitu suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru

dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan, tetapi juga

dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan

menuju kearah keluhuran budaya manusia.

Ki Hadjar Dewantara telah menciptakan sistem pendidikan yang

13
merupakan sistem pendidikan perjuangan. Falsafah pendidikannya

adalah menentang falsafah penjajahan dalam hal ini falsafah Belanda

yang berakar pada budaya Barat. Dalam pandangan Ki Hadjar

Dewantara, kedewasaan bisa diartikan sebagai kesempurnaan hidup,

yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang selaras dengan

alamnya dan masyarakat. Ki Hadjar Dewantara mengartikan pendidikan

secara umum sebagai daya upaya untuk mewujudkan perkembangan

budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelektual) dan jasmani anak

menuju ke arah masa depan yang lebih baik. Kedewasaan akan tercapai

pada akhir windu ketiga, yaitu tercapainya kesempurnaan hidup selaras

dengan alam, anak, dan masyarakat. Jadi, dapat diartikan bahwa

pendidikan terutama berlangsung sejak anak lahir hingga anak berusia

sekitar 24 tahun. Dalam pelaksanaan pendidikan, Ki Hadjar Dewantara

menggunakan “Sistem Among” sebagai perwujudan konsepsi beliau

dalam menempatkan anak sebagai sentral proses pendidikan. Dalam

Sistem Among, setiap pamong sebagai pemimpin dalam proses

pendidikan diwajibkan bersikap: Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya

mangun karsa, dan Tut wuri handayani (MLPTS, 1992).

a. Ing ngarsa sung tuladha


Ing ngarsa berarti di depan, atau orang yang lebih berpengalaman

dan lebih berpengatahuan. Sedangkan tuladha berarti memberi contoh,

memberi teladan (Reksohadiprodjo, 1989). Guru harus bisa menjaga

tingkah lakunya supaya bisa menjadi teladan. Dalam pembelajaran,

apabila guru mengajar menggunakan metode ceramah, guru harus benar-

benar siap dan tahu bahwa yang diajarkannya itu baik dan benar.

b. Ing madya mangun karsa


Berarti bahwa seorang pemimpin (pendidik) ketika berada di tengah

harus mampu membangkitkan semangat, berswakarsa, dan berkreasi

14
pada anak didik. Hal ini dapat diterapkan bila guru menggunakan

metode diskusi. Sebagai narasumber dan sebagai pengarah, guru dapat

memberikan masukan-masukan dan arahan.

c. Tut wuri handayani


Berarti bahwa seorang pemimpin (pendidik) berada di belakang,

mengikuti, dan mengarahkan anak didik agar berani berjalan di depan

dan sanggup bertanggung jawab. Ketika guru berada di tengah

membangun semangat, di belakang memberi dorongan, dapat terjadi

anak didik akan berusaha bersaing, berkompetisi menunjukkan

kemampuannya yang terbaik (Soeratman, 1989).

Ki Hadjar menyetujui teori Konvergensi, yaitu perkembangan

manusia itu ditentukan oleh dasar (nature) dan ajar (nurture). Anak yang

baru lahir diibaratkan kertas putih yang sudah ada tulisannya, tetapi

belum jelas.

Jurnal 2 : Pengertian Filsafat Pendidikan Filsafat dan pendidikan

sebenarnya adalah dua istilah yang mempunyai makna sendiri. Akan

tetapi ketika digabungkan akan menjadi sebuah tema yang baru dan

khusus. Filsafat pendidikan tidak dapat dipisahkan dari ilmu filsafat

secara umum. Filsafat pendidikan memandang kegiatan pendidikan

sebagai objek yang dikaji. Ada banyak definisi mengenai filsafat

pendidikan tetapi akhirnya semua mengatakan dan mengajukan soal

kaidah-kaidah berpikir filsafat dalam rangka menyelesaikan

permasalahan pendidikan. Pengertian filsafat sendiri, secara etimologi

berarti cinta akan kearifan, kebajikan, dan hikmah. Secara etimologis

filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philare, yang berarti cinta, dan

shopia yang berarti kebajikan. Sophia dalam bahasa Yunani biasanya

diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berarti “wisdom” (kearifan,

kebajikan) dan digabungkan dengan menjadi philasophia, dari


15
“philosophy” diartikan menjadi “cinta kearifan, kebajikan” (Margustam,

2015: 12). Menurut Syaibani, filsafat pendidikan yaitu pelaksanaan

pandangan filsafat dan kaidah filsafat dalam bidang pendidikan. Filsafat

itu mencerminkan satu segi dari segi-segi pelaksanaan filsafat umum dan

menitik beratkan kepada pelaksanaan prinsip-prinsip dan

kepercayaankepercayaan yang menjadi dasar dari filsafat umum dalam

menyelesaikan masalah-masalah pendidikan secara praktis (Al-Syaibani,

30). Pada dasarnya, teori filsafat pendidikan ialah teori rasional tentang

pendidikan (yang tidak pernah dapat dibuktikan secara empiris); teori

ilmu pendidikan ialah teori rasional dan ada bukti empiris tentang

pendidikan. Filsafat pendidikan berisi teori-teori (yang hanya) rasional;

ilmu pendidikan berisi teori-teori rasional dan di tunjang bukti empiris

(Tafsir, 2006: 5-6). Muzayyin Arifin (1984: xi) mengatakan bahwa filsafat

pendidikan Islam pada hakikatnya adalah konsep berpikir tentang

kependidikan yang bersumberkan atau berlandaskan ajaran-ajaran

agama Islam tentang hakikat kemampuan manusia untuk dapat dibina

dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang

seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam.

Definisi tersebut memberi kesan bahwa filsafat pendidikan Islam

sama dengan filsafat pendidikan pada umumnya, karena mengkaji

tentang berbagai masalah yang ada hubungannya dengan kependidikan,

seperti masalah manusia sebagai subyek dan obyek pendidikan,

kurikulum, metode, lingkungan, guru dan sebagainya. Perbedaan antar

keduanya adalah, bahwa di dalam filsafat pendidikan Islam semua

masalah kependidikan tersebut selalu didasarkan pada ajaran Islam yang

bersumberkan al-Qur’an dan al-Hadits. Dari uraian diatas, dapat

diketahui bahwa filsafat pendidikan Islam merupakan suatu kajian secara

filosofis mengenai berbagai masalah yang terdapat dalam kegiatan

16
kependidikan yang didasarkan pada al-Qur’an dan alHadits sebagai

sumber primer, dan pendapat para ahli, khususnya para filosof muslim

sebagai sumber sekunder. Selain itu, filsafat pendidikan Islam dapat pula

dikatakan suatu upaya menggunakan jasa filosofis, yakni berpikir secara

mendalam, sistematik, radikal, dan universal tentang masalah-masalah

pendidikan, seperti masalah manusia (anak didik), guru, kurikulum,

metode, dan lingkungan dengan menggunakan al-Qur’an dan al-Hadits

sebagai dasar acuannya. Secara singkat, filsafat pendidikan Islam dapat

dikatakan sebagai filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam atau

filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam. Jadi ia bukan filsafat

yang bercorak liberal, bebas, tanpa batas etika sebagaimana dijumpai

dalam pemikiran filsafat pada umumnya (Nata, 1997: 15). Pada dasarnya

filsafat pendidikan membicarakan tiga masalah pokok. Pertama, apakah

sebenarnya pendidikan itu. Kedua, apakah tujuan pendidikan yang sejati.

Ketiga, dengan metode atau cara apakah tujuan pendidikan dapat

tercapai. Paling tidak ketiga hal tersebut, yaitu: hakikat pendidikan;

tujuan pendidikan; dan metode atau cara mencapai tujuan pendidikan

menjadi kajian utama.

17
BAB III

PEMBAHASAN/ANALISIS

A. Pembahasan Isi Journal

Jurnal 1 : Pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara haruslah bersifat

nasional. Artinya, secara nasional pendidikan harus memiliki corak yang

sama dengan tidak mengabaikan budaya lokal. Bangsa Indonesia yang

terdiri atas banyak suku, ras, dan agama hendaknya memiliki kesamaan

corak dalam mengembangkan karakter anak bangsanya.

Jurnal 2 : Pendidikan Islam menurut Hasan Langgulung diibaratkan

sebagai rumah yang terdiri dari tiang, lantai, dinding, atap, tangga dan

lain-lain. Sebagai suatu disiplin ilmu, pendidikan terdiri dari kurikulum,

konseling, administrasi, pengajaran dan penilaian. Sebagaimana rumah,

pendidikan haruslah memiliki pondasi berupa asas-asas pendidikan yang

terdiri dari filsafat, sejarah, politik, sosial, dan psikologi.

Berdasarkan kedua pendapat diatas, Pendidikan adalah

pembelajaran pengetahuan yang memiliki asas dan dasar untuk

mengembangkan karakter anak bangsa.

B. Kelebihan Dan Kekurangan Journal

1. Kelebihan

 Pada jurnal mempaparkan kajian pustaka sebagai landasan

dalam melakukan penelitian

 Menjelaskan metode apa yang digunakan dalam penelitian

2. Kekurangan

 Terdapat beberapa istilah bahasa asing yang sulit dipahami

bagi sebagian pembaca

18
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Jurnal 1 : Sistem pendidikan yang dikemukakan Ki Hadjar Dewantara (ing

ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani) adalah

wasiat luhur yang patut dijadikan sebagai acuan dalam pengembangan

pendidikan karakter. Pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara haruslah

bersifat nasional. Artinya, secara nasional pendidikan harus memiliki corak

yang sama dengan tidak mengabaikan budaya lokal. Bangsa Indonesia

yang terdiri atas banyak suku, ras, dan agama hendaknya memiliki

kesamaan corak dalam mengembangkan karakter anak bangsanya.

Penyelenggaraan pendidikan jangan terjebak pada pencapaian target

sempit yang hanya melakukan transfer pengetahuan, tetapi perlu dengan

sengaja mengupayakan terjadinya transformasi nilai untuk pembentukan

karakter anak bangsa. Pembentukan karakter peserta didik perlu

melibatkan tri pusat pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat) secara

sinergis. Pengembangan karakter peserta didik perlu memperhatikan

perkembangan budaya bangsa sebagai sebuah kontinuitas menuju ke arah

kesatuan kebudayaan dunia (konvergensi), dan tetap memiliki sifat

kepribadian di dalam lingkungan kemanusiaan sedunia (konsentris).

Jurnal 2 : : Pendidikan Islam menurut Hasan Langgulung diibaratkan

sebagai rumah yang terdiri dari tiang, lantai, dinding, atap, tangga dan lain-

lain. Sebagai suatu disiplin ilmu, pendidikan terdiri dari kurikulum,

konseling, administrasi, pengajaran dan penilaian. Sebagaimana rumah,

pendidikan haruslah memiliki pondasi berupa asas-asas pendidikan yang

terdiri dari filsafat, sejarah, politik, sosial, dan psikologi.

19
B. REKOMENDASI

jurnal ini sudah cukup baik tetapi hanya perlu sedikit perbaikan

terhadap tata bahasa yang digunakan agar lebih mudah untuk

dipahami.

20
DAFTAR PUSTAKA

Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 4. 2004. Jakarta: Delta Pamungkas.


Ismadi, Hurip Danu. 2014. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Kebudayaan. Jakarta:
Gading Inti Prima.
MLPTS. 1992. Peraturan Besar dan Piagam Persatuan Taman Siswa. Yogyakarta: MLPTS.
Reksohadiprodjo, Ki Muchammad Said. 1989. Masalah-masalah Pendidikan Nasional.
Jakarta: CV Haji Masagung.
Soeratman, Darsiti. 1989. Ki Hajar Dewantara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Nasional.
Surjomiharjo, Abdurrachman. 1986. Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah

Indonesia Modern. Jakarta: Sinar Harapan.

Al-Syaibani, Omar Muhammad Al-Thoumy., 1979, Falsafah 14 PUSTAKA

Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang. Arifin, H. M., 1984, FIlsafat Pendidikan

Islam, Jakarta: Bina Aksara. Barnadib, Imam., 1997, Filsafat Pendidikan Sistem dan

Metode, Yogyakarta: Andi Offset. Fadjar, A. Malik., 1999, Reorientasi Pendidikan

Islam, Jakarta: Fajar Dunia. Furchan, Arief dan Agus Maimun., 2005, Studi Tokoh

Metode Penelitian Mengenai Tokoh, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Karwadi, Tujuan

Pendidikan Islam Dalam Pemikiran Hasan Langgulung, Jurnal, pdf.

21
22

Anda mungkin juga menyukai