OLEH KELOMPOK 3:
1 BAIQ GINA SANDIKA TRIANA PUTRI E1C021132
7 YUDITIA E1C021124
ii
KATA PENGANTAR
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra merupakan suatu totalitas yang memiliki nilai seni yang
dapat dinikmati orang banyak. Karya sastra yang dapat dinikmati oleh para
pembaca bisa berbentuk puisi, prosa, dan drama. Akan tetapi, berdasarkan
sejarah perkembangan sastra dan minat pembaca di Indonesia, prosa yang
berbentuk novel lah yang menjadi primadona sastra dari dulu hingga
sekarang.
Selanjutnya, Wellek dan Warren (dalam Yanti dan Zabadi, 2016)
menjelaskan, “The history of comparative literature study begins from
studies on oral literature, folklore and its migration, that is, how and when it
comes into the more artistic literary writing”. Sejarah studi komparatif
dimulai dari studi sastra lisan, cerita rakyat dan migrasinya, sampai pada
penulisan sastra yang lebih artistik. Dalam terminologi ini, literatur
komparatif mencakup studi tentang hubungan antara dua literatur atau lebih
(Yanti dan Zabadi, 2016).
Berdasarkan hal tersebut maka penulis akan membandingkan Novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (TKVDW) Karya Buya Hamka (1938)
dengan Novel Magdalena karya Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi (1876).
Tenggelamnya kapal Van Der Wijck adalah suatu sastra yang menceritakan
budaya, adat Padang yang sangat melekat erat. Magdalena adalah suatu novel
yang awalnya berjudul Al-Majdulin, karya Al-Manfaluthi, seorang sastrawan
mesir. Al-Majdulin sendiri merupakan sebuah novel terjemahan dari novel
Sous Les Tileus karya Alphonse Karr.
Kedua novel ini sama-sama menceritakan tentang perjalanan cinta
sepasang pemuda yang dihalangi sebuah tembok besar yang sulit ditembus,
pandangan seseorang bahwa cinta saja tidak cukup untuk mengarungi bahtera
rumah tangga, dan sebagainya.
Kedua novel ini pula menceritakan tentang cita-cita dan harapan
tinggi seorang pemuda yang semasa hidupnya selalu dirundung kemalangan.
1
2
Akan tetapi karena semangat yang membara akhirnya bisa bangkit dari
keterpurukan hingga akhirnya sukses.
Dalam membicarakan tentang perbandingan suatu karya sastra, tidak
dapat dilepaskan didalamnya yaitu kajian pengaruh. Kita tidak dapat
mengatakan bahwa suatu karya sastra disebabkan oleh karya sastra lainnya.
Bisa jadi karya sastra itu tumbuh dari budaya rakyat tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah polemik tenggelamnya Kapal van der Wijck?
2. Apa perbedaan antara kapal van der Wijck dengan Magdalena?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui polemik tenggelamnya Kapal van der Wijck
2. Menemukan perbedaan antara kapal van der Wijck dengan Magdalena
3
BAB II
PEMBAHASAN
Tenggelamnya Kapal van der Wijck merupakan novel karya Hamka yang
pertama kali terbit pada tahun 1938 sebagai cerita bersambung dalam rubrik
"Feuilleton" majalah Pedoman Masyarakat. Kemudian, cerita bersambung itu
dikumpulkan oleh Syarkawi dan diterbitkan di Medan oleh Penerbit Centrale
Courant pada tahun 1939. Selanjutnya, karya Hamka yang satu ini hingga
tahun 1963 telah mengalami cetak ulang tujuh kali oleh penerbit yang berbeda-
beda. Cetakan pertama (1939) dan kedua (1949) diterbitkan oleh Penerbit
Centrale Courant. Cetakan ketiga (tahun 1951), keempat (tahun 1958), dan
kelima (tahun 1961) diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka di Jakarta. Cetakan
keenam (tahun 1961) dan ketujuh (tahun 1963) novel itu diterbitkan di
Bukittinggi oleh Penerbit NV Nusantara. Cetakan ke-26 (tahun 2002) oleh
Penerbit Bulan Bintang.
Tenggelamnya Kapal van der Wijck mengisahkan cinta tak sampai
yang dihalangi oleh adat Minangkabau yang terkenal kukuh. Dalam novel itu
diceritakan bahwa Zainuddin, seorang anak yang lahir dari perkawinan
campuran Minang dan Makassar, tidak berhasil mempersunting gadis
idamannya, Hayati, karena ninik-mamaknya tidak setuju dan menganggap
Zainuddin sebagai manusia yang tidak jelas asal-usulnya. Zainuddin kemudian
menjadi pengarang. Dalam suatu kecelakaan gadis kecintaannya meninggal
dalam kapal yang ditumpanginya. Dari inti cerita itu dapat dikatakan bahwa
novel Hamka ini mengetengahkan masalah adat yang mengatur jodoh
seseorang.
Sementara itu, masalah agama tidaklah menjadi masalah pokok,
seperti yang sering disebut-sebut orang bahwa novel itu membawakan napas
keagamaan, sebagaimana dikatakan oleh Goenawan Mohamad (1966). Dalam
novel itu ternyata masalah agama lebih dominan sebagai latar karena masalah
itu bukanlah sebagai persoalan utama yang dihadapi para pelakunya.
3
4
Tanggapan lain datang dari Ali Audah (10 Oktober 1962) yang telah
menerjemahkan karya Manfaluthi ke dalam bahasa Indonesia. Ia menyatakan
bahwa ada persamaan dan napas Manfaluthi yang begitu besar pengaruhnya
kepada Hamka, tetapi setelah dibandingkan, kedua karya tersebut masih
terlihat pengkhayalan kreatif dan gaya khas Hamka. Ali Audah yakin bahwa
Hamka tidak sekadar memindahkan ide pengarang tentang masyarakat dan
kehidupan serta romantismenya, tetapi ia berbicara tentang kekuasaan “ninik-
mamak” di Minangkabau seperempat abad yang lalu.
Sementara itu, Zuber Usman, mantan Redaktur Balai Pustaka yang
mahir berbahasa Arab sudah mengetahui bahwa Hamka banyak dipengaruhi
oleh Manfaluthi sehingga karya Hamka bernafaskan karya Manfaluthi dan hal-
hal seperti itu tak perlu dihebohkan. Hal yang sama juga disampaikan oleh Nur
St. Iskandar bahwa apa yang dilakukan oleh Hamka bukan pekerjaan
menjiplak. Tuduhan menjiplak itu pun tidak tepat diberikan kepadanya sebab
Hamka memang seorang pengarang. Hal itu lebih baik dikatakan sebagai
pengaruh Manfaluthi terhadap Hamka (2 Oktober 1962).
Hamka yang selama polemik berlangsung tetap diam karena tidak mau
melayani fakta yang dicampuradukkan dengan opini akhirnya memberi
komentar pada harian Berita Minggu (No. 31, 30 September 1962) bahwa ia
memang sangat terpengaruh oleh Manfaluthi. Namun, sebagai orang yang
beragama, ia percaya kepada keadilan Tuhan: seandainya bersalah, ia pastilah
sudah jatuh. Hamka menyebutkan bahwa tuduhan tersebut hanyalah ingin
menjatuhkan namanya.
Untuk menyelesaikan suasana yang gelap yang menutupi dunia sastra
Indonesia, semula Fakultas Sastra UI akan membentuk suatu komisi yang
bertugas menyelidiki apakah karya Hamka itu merupakan karya jiplakan atau
karya asli. Namun, pembentukan komisi itu dianggap tidak praktis. Kemudian,
timbul gagasan praktis, yaitu ciptaan Manfaluthi diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dan disajikan kepada pembaca. A.S. Alatas, dosen Jurusan
Sastra Arab, Fakultas Sastra UI kemudian menerjemahkan karya Manfaluthi
tersebut.
7
Persamaan:
a. Sama-sama memiliki harta peninggalan
b. Sama-sama Seniman
c. Kisah percintaan yang tidak direstui
d. Adanya orang ketiga di kisah percintaannya
Perbedaan:
a. Zainuddin dibesarkan oleh pembantunya yang bernama mak base
sedangkan Steven dibesarkan oleh ayahnya.
b. Zainuddin di usir secara halus oleh datuk (paman hayati) sedangkan
Steven di usir oleh ayah Magdalena
c. Zainuddin tidak mengenal orang ketiga di kisah percintaannya
sedangkan Steven mengenal orang ketiga di hubungannya.
Persamaan:
a. Sama-sama memiliki paras yang cantik
b. Sama-sama gadis desa
c. Sama-sama memiliki sahabat
d. Sama-sama tidak direstui dengan kekasih masing-masing
Perbedaan:
a. Hayati menikahi aziz karena alasan adat istiadat sedangkan Magdalena
menikah karena harta
b. Diceritakan Hayati dan aziz memiliki anak setelah beberapa tahun
menikah sedangkan Magdalena melahirkan setelah tak lama Edward
bunuh diri.
c. Hayati ketika berangkat sempat bertemu dengan zainuddin sedangkan
Magdalena tidak bertemu dengan Steven.
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Untuk itu, penulis berharap kritik serta saran yang membangun dari pembaca
sangat penulis harapkan agar makalah ini lebih baik lagi. Penulis berharap
makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya. Terimakasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
9
10
DAFTAR PUSTAKA
10