Anda di halaman 1dari 54

(PERKEMBANGAN MIDDLE CHILDHOOD)

Laporan Kelompok
Disusun sebagai Tugas Kelompok Semester Ganjil Tahun Akademik 2022/2023
Mata Kuliah Psikologi Perkembangan

Disusun oleh:

1. Tina Janeti ( 2208345 )

2. Milan Daryanani (2208885)

3. Mahardika Pradana (2208129

4. Lidiya Novita (2208639)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI PENDIDIKAN


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2022

1
BAB I
KAJIAN TEORITIS PERKEMBANGAN USIA MIDDLE CHILDHOOD

A. Perkembangan Fisik dan Kognitif Pada Anak Tengah dan Akhir


Gambaran
Selama masa kanak-kanak tengah dan akhir, anak-anak tumbuh lebih
tinggi, lebih berat, dan lebih kuat. Mereka menjadi lebih mahir menggunakan
keterampilan fisik mereka, dan mereka mengembangkan keterampilan kognitif
baru.
Pada kesempatan ini, akan dibahas tentang perkembangan fisik dan
kognitif pada masa kanak-kanak menengah dan akhir. Untuk memulai, kita akan
mengeksplorasi aspek-aspek perkembangan fisik. Perubahan yang terus-menerus
mencirikan tubuh anak-anak selama masa kanak-kanak menengah dan akhir, dan
keterampilan motorik mereka meningkat. Saat anak-anak melewati tahun-tahun
sekolah dasar, mereka mendapatkan kendali yang lebih besar atas tubuh mereka
dan dapat duduk dan memusatkan perhatian mereka untuk jangka waktu yang
lebih lama. Olahraga teratur adalah salah satu kunci untuk menjadikan tahun-
tahun ini sebagai masa pertumbuhan dan perkembangan yang sehat.

B. Pertumbuhan dan Perubahan Tubuh


Periode pertengahan dan akhir masa kanak-kanak melibatkan pertumbuhan
yang lambat dan konsisten (Hockenberry, Wilson, & Rodgers, 2017). Ini adalah
periode tenang sebelum percepatan pertumbuhan remaja yang cepat. Selama
tahun-tahun sekolah dasar, anak-anak tumbuh rata-rata 2 sampai 3 inci per tahun
sampai, pada usia 11 tahun, rata-rata anak perempuan tingginya 4 kaki, 10 inci,
dan rata-rata anak laki-laki tingginya 4 kaki, 9 inci. Selama tahun-tahun
pertengahan dan akhir masa kanak-kanak, berat badan anak-anak bertambah
sekitar 5 sampai 7 pound per tahun. Peningkatan berat badan terutama disebabkan
oleh peningkatan ukuran sistem kerangka dan otot, serta ukuran beberapa organ
tubuh. Perubahan proporsional adalah salah satu perubahan fisik yang paling
menonjol di masa kanak-kanak menengah dan akhir. Penurunan lingkar kepala

2
dan lingkar pinggang berhubungan dengan tinggi badan (Kliegman & others,
2016; Perry & others, 2018). Perubahan fisik yang kurang terlihat adalah bahwa
tulang terus mengeras selama masa kanak-kanak pertengahan dan akhir tetapi
menyerah pada tekanan dan tarikan lebih dari tulang dewasa.

C. Otak (kognitif)
Perkembangan teknik pencitraan otak seperti magnetic resonance imaging
(MRI) telah menyebabkan peningkatan penelitian tentang perubahan di otak
selama masa kanak-kanak menengah dan akhir dan hubungan antara perubahan
otak ini dan perkembangan kognitif (Khundrakpam & others, 2018; Mah,
Geeraert, & Lebel, 2017).
Volume otak total menjadi stabil pada akhir masa kanak-kanak, tetapi
perubahan signifikan dalam berbagai struktur dan bagian otak terus terjadi. Secara
khusus, jalur dan sirkuit otak yang melibatkan korteks prefrontal, tingkat tertinggi
di otak, terus meningkat selama masa kanak-kanak tengah dan akhir. Kemajuan
dalam korteks prefrontal ini terkait dengan peningkatan perhatian, penalaran, dan
kontrol kognitif anak-anak (de Haan & Johnson, 2016; Wendelken & lainnya,
2016, 2017). Ahli saraf perkembangan terkemuka Mark Johnson dan rekan-
rekannya (2009) mengusulkan bahwa korteks prefrontal kemungkinan mengatur
fungsi banyak daerah otak lainnya selama perkembangan.
Sebagai bagian dari peran kepemimpinan saraf ini, korteks prefrontal
dapat memberikan keuntungan bagi jaringan saraf dan koneksi yang mencakup
korteks prefrontal. Dalam pandangan mereka, korteks prefrontal
mengoordinasikan koneksi saraf terbaik untuk memecahkan masalah yang
dihadapi. Perubahan juga terjadi pada ketebalan korteks serebral (cortical
thickness) pada masa kanak-kanak menengah dan akhir (Thomason & Thompson,
2011). Satu studi menggunakan pemindaian otak untuk menilai ketebalan kortikal
pada anak usia 5 hingga 11 tahun (Sowell & lainnya, 2004). Penebalan kortikal
selama periode waktu dua tahun diamati di area lobus temporal dan frontal yang
berfungsi dalam bahasa, yang mungkin mencerminkan peningkatan kemampuan
bahasa seperti membaca.

3
Seiring perkembangan anak, beberapa area otak menjadi lebih aktif
sementara yang lain menjadi kurang aktif (Denes, 2016). Satu pergeseran aktivasi
yang terjadi saat anak berkembang adalah dari area yang menyebar dan lebih
besar ke area yang lebih fokus dan lebih kecil (Turkeltaub & lainnya, 2003).
Pergeseran ini ditandai dengan pemangkasan sinaptik, suatu proses di mana area
otak yang tidak digunakan kehilangan koneksi sinaptik dan area yang digunakan
menunjukkan peningkatan koneksi. Dalam satu penelitian, peneliti menemukan
lebih sedikit difusi dan lebih banyak aktivasi fokal di korteks prefrontal dari usia 7
hingga 30 tahun (Durston & lainnya, 2006). Peningkatan konektivitas antar daerah
otak juga terjadi saat anak berkembang (Faghiri & lainnya, 2018). Dalam studi
longitudinal individu dari usia 6 hingga 22 tahun, konektivitas antara lobus
prefrontal dan parietal di masa kanak-kanak dikaitkan dengan kemampuan
penalaran yang lebih baik di kemudian hari dalam perkembangan (Wendelken &
others, 2017).

D. PERKEMBANGAN MOTORIK
Selama masa kanak-kanak menengah dan akhir, keterampilan motorik
anak-anak menjadi lebih halus dan lebih terkoordinasi daripada di masa kanak-
kanak (Hockenberry, Wilson, & Rodgers, 2017). Misalnya, hanya satu dari seribu
anak yang dapat memukul bola tenis melewati jaring pada usia 3 tahun, namun
pada usia 10 atau 11 tahun sebagian besar anak dapat belajar bermain olahraga.
Berlari, memanjat, lompat tali, berenang, bersepeda, dan seluncur es hanyalah
beberapa dari sekian banyak keterampilan fisik yang dapat dikuasai anak sekolah
dasar. Dalam keterampilan motorik kasar yang melibatkan aktivitas otot besar,
anak laki-laki biasanya mengungguli anak perempuan. Peningkatan mielinisasi
sistem saraf pusat tercermin dalam peningkatan keterampilan motorik halus
selama masa kanak-kanak menengah dan akhir. Anak-anak dapat lebih cekatan
menggunakan tangan mereka sebagai alat. Anak usia enam tahun dapat memalu,
menempel, mengikat sepatu, dan mengencangkan pakaian. Pada usia 7 tahun,
tangan anak-anak menjadi lebih mantap. Pada usia ini, anak-anak lebih suka

4
pensil daripada krayon untuk dicetak, dan pembalikan huruf lebih jarang terjadi.
Pencetakan menjadi lebih kecil.
Pada usia 8 hingga 10 tahun, tangan dapat digunakan secara mandiri
dengan lebih mudah dan presisi. Koordinasi motorik halus berkembang ke titik di
mana anak-anak dapat menulis daripada mencetak kata-kata. Ukuran huruf kursif
menjadi lebih kecil dan lebih rata. Pada usia 10 hingga 12 tahun, anak mulai
menunjukkan keterampilan manipulatif yang mirip dengan kemampuan orang
dewasa. Mereka dapat menguasai gerakan yang rumit, rumit, dan cepat yang
diperlukan untuk menghasilkan kerajinan tangan berkualitas tinggi atau
memainkan bagian yang sulit pada alat musik. Anak perempuan biasanya
mengungguli anak laki-laki dalam penggunaan keterampilan motorik halus
mereka.

E. LATIHAN
Anak-anak dan remaja Amerika tidak cukup berolahraga (Powers & Dodd,
2017; Powers & Howley, 2018). Meningkatkan tingkat olahraga anak memiliki
sejumlah hasil positif (Dumuid & lainnya, 2017; Walton-Fisette & Wuest, 2018).
Semakin banyak penelitian yang mendokumentasikan pentingnya olahraga dalam
perkembangan fisik anak (Dowda & others, 2017; Martin & others, 2018; Pan &
others, 2017; Yan & others, 2018). Sebuah studi baru-baru ini terhadap lebih dari
6.000 anak sekolah dasar mengungkapkan bahwa 55 menit atau lebih aktivitas
fisik sedang hingga kuat setiap hari dikaitkan dengan insiden obesitas yang lebih
rendah (Nemet, 2016). Selanjutnya, tinjauan penelitian menyimpulkan bahwa
program latihan dengan frekuensi tiga sesi mingguan yang berlangsung lebih dari
60 menit efektif dalam menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik (Garcia-
Hermoso, Saavedra, & Escalante, 2013). Latihan aerobik juga terkait dengan
kemampuan kognitif anak (Best, 2010; Lind & others, 2018; Martin & others,
2018). Para peneliti telah menemukan bahwa latihan aerobik bermanfaat bagi
kecepatan pemrosesan, perhatian, memori, pemikiran dan perilaku yang diarahkan
pada tujuan, serta kreativitas anak-anak (Chu & others, 2017; Davis & Cooper,
2011; Davis & others, 2011; Khan & Hillman, 2014 ; Lind & lainnya, 2018;

5
Ludyga & lainnya, 2018; Monti, Hillman, & Cohen, 2012; Pan & lainnya, 2017).
Sebuah metaanalisis baru-baru ini menyimpulkan bahwa program aktivitas fisik
yang berkelanjutan dikaitkan dengan peningkatan perhatian anak, fungsi
eksekutif, dan prestasi akademik (de Greeff & lainnya, 2018). Juga, sebuah studi
baru-baru ini menemukan bahwa program latihan intensitas tinggi selama 6
minggu dengan anak berusia 7 hingga 13 tahun meningkatkan kontrol kognitif
dan memori kerja mereka (Moreau, Kirk, & Waldie, 2018). Selanjutnya, dalam
studi fMRI baru-baru ini terhadap anak-anak yang kelebihan berat badan berusia 8
hingga 11 tahun yang tidak sehat secara fisik, program latihan aerobik yang
dipandu setiap hari yang berlangsung selama delapan bulan efektif dalam
meningkatkan efisiensi sirkuit saraf yang mendukung fungsi kognitif yang lebih
baik (Kraftt & lainnya, 2014).
Orang tua dan sekolah memainkan peran penting dalam menentukan
tingkat olahraga anak (Brusseau & lainnya, 2018; de Heer & lainnya, 2017; Lind
& lainnya, 2018; Lo & lainnya, 2018; Solomon-Moore & lainnya, 2018). Tumbuh
dengan orang tua yang rutin berolahraga memberikan model olahraga yang positif
bagi anak (Crawford & others, 2010). Selain itu, tinjauan penelitian menemukan
bahwa aktivitas fisik berbasis sekolah berhasil meningkatkan kebugaran anak dan
menurunkan kadar lemaknya (Kriemler & others, 2011).
Waktu layar juga dikaitkan dengan aktivitas rendah, obesitas, dan pola
tidur yang buruk pada anak-anak (Tanaka & lainnya, 2017). Tinjauan penelitian
baru-baru ini menemukan bahwa tingkat waktu layar yang lebih tinggi
meningkatkan risiko obesitas untuk anak-anak dengan aktivitas rendah dan tinggi
(Lane, Harrison, & Murphy, 2014). Juga, sebuah studi baru-baru ini terhadap anak
usia 8 hingga 12 tahun menemukan bahwa waktu layar dikaitkan dengan
konektivitas yang lebih rendah antara wilayah otak, serta tingkat keterampilan
bahasa dan kontrol kognitif yang lebih rendah (Horowitz-Kraus & Hutton, 2018).
Dalam penelitian ini, waktu yang dihabiskan untuk membaca dikaitkan dengan
tingkat fungsi yang lebih tinggi di area ini. Berikut adalah beberapa cara untuk
mendorong anak lebih banyak berolahraga:

6
• Tawarkan lebih banyak program aktivitas fisik yang dijalankan oleh
sukarelawan di fasilitas sekolah.
• Meningkatkan aktivitas kebugaran jasmani di sekolah.
• Mintalah anak-anak merencanakan kegiatan komunitas dan sekolah yang
menarik bagi mereka.
• Dorong keluarga untuk lebih fokus pada aktivitas fisik, dan dorong orang tua
untuk lebih banyak berolahraga.

F. KESEHATAN, PENYAKIT, DAN PENYAKIT


Sebagian besar, masa kanak-kanak menengah dan akhir adalah masa
kesehatan yang sangat baik. Penyakit dan kematian kurang lazim saat ini
dibandingkan periode lain di masa kanak-kanak dan remaja. Namun, banyak anak
di usia pertengahan dan akhir masa kanak-kanak menghadapi masalah kesehatan
yang mengganggu perkembangan mereka.
Kecelakaan dan Cedera Cedera merupakan penyebab utama kematian
selama masa pertengahan dan akhir kanak, dan penyebab paling umum dari
cedera parah dan kematian pada periode ini adalah kecelakaan kendaraan
bermotor, baik sebagai pejalan kaki maupun sebagai penumpang (Centers for
Disease Control and Prevention, 2017c). Untuk alasan ini, pendukung
keselamatan merekomendasikan penggunaan penahan sabuk pengaman dan kursi
pendorong anak di kendaraan karena dapat sangat mengurangi tingkat keparahan
cedera kendaraan bermotor (Eberhardt & others, 2016; Shimony-Kanat & others,
2018). Misalnya, satu studi menemukan bahwa kursi booster anak mengurangi
risiko cedera serius sebesar 45 persen untuk anak usia 4 hingga 8 tahun (Sauber-
Schatz & lainnya, 2014). Cedera serius lainnya melibatkan sepeda, skateboard,
sepatu roda, dan peralatan olahraga lainnya (Perry & lainnya, 2018). Anak
Kegemukan Kegemukan merupakan masalah kesehatan yang semakin umum
terjadi pada anak-anak (Blake, 2017; Donatelle, 2019; Smith & Collene, 2019).
Ingatlah bahwa kelebihan berat badan didefinisikan dalam istilah indeks massa
tubuh (BMI), yang dihitung dengan rumus yang memperhitungkan tinggi dan
berat badan—anak-anak pada atau di atas persentil ke-97 termasuk dalam kategori

7
obesitas, pada atau di atas persentil ke-95 dalam kategori kelebihan berat badan,
dan anak-anak pada atau di atas persentil ke-85 digambarkan berisiko kelebihan
berat badan (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, 2017b). Selama tiga
dekade terakhir, persentase anak-anak AS yang berisiko kelebihan berat badan
telah meningkat secara dramatis.

Baru-baru ini telah terjadi penurunan persentase anak usia 2 sampai 5 tahun yang
mengalami obesitas, yang turun dari 12,1 persen pada tahun 2009–2010 menjadi
9,4 persen pada tahun 2013–2014 (Ogden & others, 2016). Pada 2013–2014, 17,4
persen anak AS berusia 6 hingga 11 tahun diklasifikasikan sebagai obesitas, pada
dasarnya persentase yang sama seperti pada 2009–2010 (Ogden & lainnya, 2016).
Bukan hanya di Amerika Serikat anak-anak menjadi lebih gemuk (Thompson,
Manore, & Vaughan, 2017).
Misalnya, sebuah penelitian menemukan bahwa obesitas umum dan perut
pada anak-anak Cina meningkat secara signifikan dari tahun 1993 hingga 2009
(Liang & lainnya, 2012). Selanjutnya, sebuah penelitian di Cina baru-baru ini
mengungkapkan bahwa tekanan darah tinggi pada 23 persen anak laki-laki dan 15
persen anak perempuan dapat dikaitkan dengan kelebihan berat badan atau
obesitas (Dong & lainnya, 2015). Penyebab Anak Kegemukan Keturunan dan
konteks lingkungan terkait dengan kelebihan berat badan pada masa kanak-kanak
(Insel & Roth, 2018; Yanovski & Yanovski, 2018).
Analisis genetik menunjukkan bahwa faktor keturunan merupakan faktor
penting yang menyebabkan anak menjadi kelebihan berat badan (Donatelle,
2019). Orang tua yang kelebihan berat badan cenderung memiliki anak yang
kelebihan berat badan (Pufal & others, 2012). Sebagai contoh, sebuah penelitian
menemukan bahwa faktor risiko terbesar untuk kelebihan berat badan pada usia 9
tahun adalah memiliki orang tua yang kelebihan berat badan (Agras & others,
2004). Orang tua dan anaknya seringkali memiliki tipe tubuh, tinggi badan,
komposisi lemak tubuh, dan metabolisme yang mirip (Pereira-Lancha & others,
2012). Dalam studi longitudinal selama 14 tahun, perubahan berat badan orang
tua memprediksi perubahan berat badan anak (Andriani, Liao, & Kuo, 2015).

8
Faktor lingkungan yang mempengaruhi anak menjadi overweight antara lain
ketersediaan makanan yang lebih banyak (terutama makanan yang tinggi
kandungan lemak), alat penghemat energi, aktivitas fisik yang menurun,
kebiasaan makan orang tua dan pemantauan kebiasaan makan anak, konteks
dimana anak makan. , dan waktu layar yang berat (Ren & lainnya, 2017). Dalam
studi Jepang baru-baru ini, pola keluarga yang dikaitkan dengan risiko tertinggi
kelebihan berat badan/obesitas pada anak-anak adalah kombinasi dari waktu
makan yang tidak teratur dan waktu layar yang paling banyak untuk kedua orang
tua (Watanabe & others, 2016). Selanjutnya, sebuah studi baru-baru ini
menemukan bahwa anak-anak cenderung mengalami obesitas atau kelebihan berat
badan ketika mereka bersekolah di negara bagian yang memiliki penekanan
kebijakan yang kuat pada makanan dan minuman sehat (Datar & Nicosia, 2017).
Juga, studi modifikasi perilaku anak-anak yang kelebihan berat badan dan obesitas
membuat menonton TV bergantung pada keterlibatan mereka dalam berolahraga
(Goldfield, 2012). Intervensi secara nyata meningkatkan latihan mereka dan
mengurangi waktu menonton TV mereka. Konsekuensi Kegemukan Tingginya
persentase anak-anak yang kelebihan berat badan dalam beberapa dekade terakhir
menjadi perhatian besar karena kelebihan berat badan meningkatkan risiko banyak
masalah medis dan psikologis (Powers & Dodd, 2017; Schiff, 2019; Song &
others, 2018). Diabetes, hipertensi (tekanan darah tinggi), dan peningkatan kadar
kolesterol darah umum terjadi pada anak-anak yang kelebihan berat badan
(Chung, Onuzuruike, & Magge, 2018; Martin-Espinosa & others, 2017). Tinjauan
penelitian telah menyimpulkan bahwa obesitas dikaitkan dengan rendahnya harga
diri pada anak-anak (Gomes & others, 2011; Moharei & others, 2018). Dan dalam
sebuah penelitian, anak-anak yang kelebihan berat badan lebih mungkin
dibandingkan dengan anak-anak dengan berat badan normal untuk melaporkan
diejek oleh teman sebaya dan anggota keluarga mereka (McCormack & lainnya,
2011).
Program Intervensi Kombinasi diet, olahraga, dan modifikasi perilaku
sering direkomendasikan untuk membantu anak menurunkan berat badan (Insel &
Roth, 2018; Martin & others, 2018; Morgan & others, 2016).

9
Program intervensi yang menekankan agar orang tua terlibat dalam gaya
hidup yang lebih sehat, serta memberi makan anak-anak mereka makanan yang
lebih sehat dan membuat mereka lebih banyak berolahraga, dapat menghasilkan
penurunan berat badan pada anak-anak yang kelebihan berat badan dan obesitas
(Stovitz & lainnya, 2014; Yackobovitch-Gavan & lainnya , 2018). Misalnya, satu
studi menemukan bahwa kombinasi program aktivitas yang berpusat pada anak
dan program modifikasi pola makan yang berpusat pada orang tua membantu
anak-anak yang kelebihan berat badan menurunkan berat badan selama periode
dua tahun (Collins & others, 2011). Penyakit Kardiovaskular Penyakit
kardiovaskular jarang terjadi pada anak-anak. Meskipun demikian, pengalaman
dan perilaku lingkungan selama masa kanak-kanak dapat menabur benih penyakit
kardiovaskular di masa dewasa (Schaefer & lainnya, 2017).
Banyak anak usia sekolah dasar sudah memiliki satu atau lebih faktor
risiko penyakit kardiovaskular, seperti hipertensi (tekanan darah tinggi) dan
obesitas (Chung, Onuzuruike, & Magge, 2018; Zoller & lainnya, 2017). Dalam
sebuah studi baru-baru ini, kombinasi lingkar pinggang yang lebih besar dan
indeks massa tubuh (BMI) yang lebih tinggi menempatkan anak-anak pada risiko
lebih tinggi terkena penyakit kardiovaskular (de Koning & lainnya, 2015). Sebuah
studi baru-baru ini menemukan bahwa tekanan darah tinggi di masa kanak-kanak
dikaitkan dengan tekanan darah tinggi dan kelainan jantung lainnya di masa
dewasa (Fan & lainnya, 2018). Juga dalam studi longitudinal, kadar lemak tubuh
yang tinggi dan peningkatan tekanan darah yang dimulai pada masa kanak -kanak
dikaitkan dengan kematian dini akibat penyakit jantung koroner di masa dewasa
(Berenson & others, 2016). Selanjutnya, satu studi menemukan bahwa tekanan
darah tinggi tidak terdiagnosis pada 75 persen anak-anak dengan penyakit ini
(Hansen, Gunn, & Kaelber, 2007). Kanker Kanker adalah penyebab utama kedua
kematian pada anak-anak AS usia 5 sampai 14 tahun.
Satu dari setiap 330 anak di Amerika Serikat menderita kanker sebelum
usia 19 tahun. Insiden kanker pada anak sedikit meningkat dalam beberapa tahun
terakhir (National Cancer Institute, 2018). Kanker anak terutama menyerang sel
darah putih (leukemia), otak, tulang, sistem getah bening, otot, ginjal, dan sistem

10
saraf. Semua jenis kanker ditandai dengan proliferasi sel abnormal yang tidak
terkendali (Marcoux & others, 2018). Kanker yang paling umum pada anak-anak
adalah leukemia, kanker di mana sumsum tulang menghasilkan banyak sel darah
putih abnormal yang mendesak sel normal, membuat anak sangat rentan terhadap
memar dan infeksi (Kato & Manabe, 2018; Shago, 2017).
Karena kemajuan dalam pengobatan kanker, anak-anak penderita kanker bertahan
hidup lebih lama dari sebelumnya (National Cancer Institute, 2018). Sekitar 80
persen anak-anak dengan leukemia limfoblastik akut disembuhkan dengan
pengobatan kemoterapi saat ini. Spesialis kehidupan anak adalah salah satu
profesional kesehatan yang bekerja untuk membuat hidup anak-anak dengan
penyakit tidak terlalu stres.

 Tugas Perkembangan (Kognitif, Motorik, Psikososial)


Bagaimana sifat pemahaman diri, pemahaman orang lain, dan harga diri
anak selama tahun-tahun sekolah dasar? Peran apa yang dimainkan oleh self-
efficacy dan self-regulation dalam pencapaian anak-anak? Perkembangan
Pemahaman Diri Pemahaman diri menjadi lebih kompleks pada masa kanak-
kanak menengah dan akhir (Carpendale & Lewis, 2015). Dari usia 8 hingga 11
tahun, anak-anak semakin menggambarkan diri mereka dalam hal karakteristik
dan sifat psikologis, berbeda dengan gambaran diri anak-anak yang lebih muda.
Misalnya, anak-anak yang lebih tua lebih cenderung menggambarkan diri mereka
sendiri menggunakan kata sifat seperti “populer, baik, membantu, jahat, pintar,
dan bodoh” (Harter, 2006, hlm. 526). Selain itu, selama tahun-tahun sekolah
dasar, anak-anak menjadi lebih mengenali aspek sosial dari diri mereka sendiri
(Harter, 2012, 2013, 2016). Mereka memasukkan referensi ke kelompok sosial
dalam deskripsi diri mereka, seperti menyebut diri mereka sebagai Pramuka,
seorang Katolik, atau seseorang yang memiliki dua teman dekat (Livesly &
Bromley, 1973).

Pemahaman diri anak-anak di tahun-tahun sekolah dasar juga mencakup


peningkatan rujukan pada perbandingan sosial (Harter, 2012, 2013). Pada titik

11
perkembangan ini, anak-anak lebih cenderung membedakan diri mereka dari
orang lain secara komparatif daripada secara absolut. Artinya, anak usia sekolah
dasar tidak lagi berpikir tentang apa yang mereka lakukan atau tidak lakukan,
tetapi lebih cenderung berpikir tentang apa yang dapat mereka lakukan
dibandingkan dengan orang lain. Pertimbangkan serangkaian studi di mana Diane
Ruble (1983) menyelidiki penggunaan perbandingan sosial oleh anak-anak dalam
evaluasi diri mereka. Anak-anak diberi tugas yang sulit dan kemudian diberi
umpan balik tentang penampilan mereka, serta informasi tentang penampilan
anak-anak lain seusia mereka. Anak-anak kemudian diminta untuk evaluasi diri.

Anak-anak di bawah 7 tahun hampir tidak mengacu pada informasi


tentang pertunjukan anak-anak lain. Namun, banyak anak yang berusia lebih dari
7 tahun memasukkan informasi komparatif sosial dalam deskripsi diri mereka.
Singkatnya, di masa kanak-kanak menengah dan akhir, deskripsi diri semakin
melibatkan karakteristik psikologis dan sosial, termasuk perbandingan sosial.

Memahami Orang Lain Sebelumnya kami menjelaskan kemajuan dan


keterbatasan pemahaman sosial anak kecil. Di masa kanak-kanak menengah dan
akhir, pengambilan perspektif, proses kognitif sosial yang terlibat dalam
mengasumsikan perspektif orang lain dan memahami pikiran dan perasaan
mereka, meningkat. Fungsi eksekutif bekerja dalam pengambilan perspektif
(Galinsky, 2010). Di antara fungsi eksekutif yang diminta ketika anak terlibat
dalam pengambilan perspektif adalah penghambatan kognitif (mengendalikan
pikiran sendiri untuk mempertimbangkan perspektif orang lain) dan fleksibilitas
kognitif (melihat situasi dengan cara yang berbeda). Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja yang tidak memiliki keterampilan
pengambilan perspektif yang baik lebih cenderung mengalami kesulitan.

 Penelitian yang Relevan dengan Observasi dengan para Peneliti lakukan

Ada kekhawatiran yang meningkat bahwa anak-anak AS tidak mencapai


potensi akademik penuh mereka, yang pada akhirnya akan mengurangi kapasitas
Amerika Serikat untuk bersaing secara global (Pomerantz, 2018; Pomerantz &

12
Grolnick, 2017; Qu, Pomerantz, & Deng, 2016). Tertarik untuk mengidentifikasi
bagaimana orang tua dapat memaksimalkan motivasi dan prestasi anak-anak
mereka di sekolah sambil mempertahankan penyesuaian emosi yang positif, Eva
Pomerantz dan rekan-rekannya melakukan Penelitian dengan anak-anak dan orang
tua mereka di Amerika Serikat dan China, di mana anak-anak seringkali mencapai
tingkat prestasi yang lebih tinggi daripada rekan AS mereka (Pomerantz, 2017;
Pomerantz, Cheung, & Qin, 2012; Pomerantz & Grolnick, 2017; Pomerantz &
Kempner, 2013; Pomerantz, Kim, & Cheung, 2012; Qu, Pomerantz, & Deng,
2016).

Orang tua Asia Timur menghabiskan lebih banyak waktu untuk membantu
anak-anak mereka mengerjakan pekerjaan rumah daripada orang tua AS (Chen &
Stevenson, 1989). Penelitian Pomerantz menunjukkan bahwa keterlibatan orang
tua Asia Timur dalam pembelajaran anak-anak hadir sejak tahun-tahun prasekolah
dan berlanjut selama tahun-tahun sekolah dasar (Ng, Pomerantz, & Deng, 2014;
Ng, Pomerantz, & Lam, 2013; Pomerantz, 2017; Pomerantz & Grolnick, 2017;
Rowe, Ramani, & Pomerantz, 2016; Siegler & Mu, 2008). Di Asia Timur,
pembelajaran anak dianggap sebagai tanggung jawab orang tua yang jauh lebih
besar daripada di Amerika Serikat (Ng, Pomerantz, & Lam, 2013; Pomerantz,
Kim, & Cheung, 2012). Pomerantz dan rekannya juga sedang melakukan
penelitian tentang peran kontrol orang tua terhadap prestasi anak (Cheung &
others, 2016). Dalam sebuah studi penelitian yang berjudul “My Child Is My
Rapor”, ibu-ibu Tionghoa menggunakan lebih banyak kontrol (terutama kontrol
psikologis) terhadap anak-anak mereka daripada ibu-ibu AS (Ng, Pomerantz, &
Deng, 2014). Harga diri ibu-ibu Cina lebih bergantung pada prestasi anak-anak
mereka daripada ibu-ibu AS. Penelitian Pomerantz mencerminkan istilah
"pelatihan orang tua", sebuah variasi dari pola asuh otoriter di mana strategi
pengasuhan banyak orang tua Asia adalah melatih anak-anak mereka untuk
mencapai tingkat keberhasilan akademis yang tinggi. Buku Amy Chua tahun
2011, Battle Hymn of the Tiger Mother, memicu minat besar pada peran orang tua
dalam pencapaian anak. Chua menggunakan istilah Ibu Harimau yang berarti

13
seorang ibu yang menjalankan praktik disiplin yang ketat. Dalam buku lain, Tiger
Babies Strike Back, Kim Wong Keltner (2013) berpendapat bahwa gaya
pengasuhan Ibu Harimau bisa sangat menuntut dan membatasi sehingga menjadi
anak Asia-Amerika seperti berada di “penjara emosional”. Dia mengatakan bahwa
gaya otoriter Ibu Harimau memang memberikan beberapa keuntungan bagi anak-
anak, seperti belajar untuk mengejar apa yang Anda inginkan dan tidak menerima
jawaban tidak, tetapi seringkali hasilnya tidak sebanding dengan biaya emosional.

Para peneliti yang mempelajari keluarga imigran Cina-Amerika dengan


anak-anak kelas satu dan dua telah menemukan bahwa anak-anak dengan orang
tua yang otoriter (sangat mengontrol) lebih agresif, lebih tertekan, memiliki
tingkat kecemasan yang lebih tinggi, dan menunjukkan keterampilan sosial yang
lebih buruk daripada anak-anak yang orang tuanya memiliki gaya non-otoriter
(Zhou & lainnya, 2012). Qing Zhou (2013), penulis utama studi yang baru saja
dijelaskan dan direktur Laboratorium Budaya dan Keluarga Universitas
California, mengadakan lokakarya untuk mengajarkan strategi pengasuhan positif
kepada ibu-ibu Cina seperti keterampilan mendengarkan, memuji anak-anak
mereka untuk perilaku yang baik, dan membelanjakan uang. lebih banyak waktu
dengan anak-anak mereka dalam kegiatan yang menyenangkan. Juga, dalam
sebuah studi baru-baru ini di Cina, remaja muda dengan orang tua yang otoritatif
menunjukkan penyesuaian yang lebih baik daripada rekan mereka dengan orang
tua yang otoriter (W. Zhang & lainnya, 2017). Singkatnya, sementara gaya
pengasuhan yang otoriter dan mengontrol secara psikologis dengan tingkat
pencapaian yang lebih tinggi, terutama terkait dengan tingkat pencapaian yang
lebih tinggi, terutama pada anak-anak Asia, ada kekhawatiran bahwa gaya otoriter
juga dapat menghasilkan lebih banyak kesulitan emosional pada anak-anak.
Pomerantz, 2018; Pomerantz & Grolnick, 2017). Eva Pomerantz (2018)
menawarkan rekomendasi berikut untuk orang tua yang ingin meningkatkan
motivasi anak dan remajanya untuk berprestasi di sekolah:

14
 Sadarilah bahwa kemampuan itu tidak tetap dan bisa berubah. Meski sulit
dan butuh banyak kesabaran, pahamilah bahwa kemampuan anak dan
remaja bisa meningkat.
 Ikut terlibat. Salah satu hal terpenting yang dapat dilakukan orang tua
adalah terlibat dalam kehidupan akademik anak-anak dan remaja mereka
dan sering berbicara dengan mereka tentang apa yang mereka pelajari.
 Mendukung otonomi dan inisiatif diri. Aspek penting dari motivasi anak-
anak dan remaja untuk berhasil di sekolah adalah apakah mereka percaya
bahwa mereka bertanggung jawab atas pembelajaran mereka dan memiliki
motivasi diri.
 Menjadi positif. Tugas sekolah dan pekerjaan rumah bisa membuat
frustrasi anak-anak dan remaja. Berinteraksi dengan mereka dengan cara
yang positif dan beri tahu mereka bahwa hidup seringkali sulit tetapi Anda
tahu mereka dapat melakukannya dengan baik dan mengatasi kesulitan.
 Pahami bahwa setiap anak dan remaja berbeda. Kenali anak atau remaja
Anda—jangan biarkan mereka menjadi orang asing secara psikologis bagi
Anda. Peka terhadap karakteristik unik mereka dan ketahuilah bahwa
terkadang Anda mungkin perlu beradaptasi dengan keanehan tersebut.
 Definisi Perkembangan Menurut Para Ahli
Cara meningkatkan harga diri anak termasuk mengidentifikasi penyebab
harga diri rendah, memberikan dukungan emosional dan persetujuan sosial,
membantu anak berprestasi, dan membantu anak mengatasinya (Bednar, Wells, &
Peterson, 1995; Harter, 2006, 2012)
 Mengidentifikasi penyebab harga diri rendah. Intervensi harus
menargetkan penyebab harga diri rendah. Anak-anak memiliki harga
diri tertinggi ketika mereka tampil kompeten dalam domain yang
penting bagi mereka. Oleh karena itu, anak-anak harus didorong untuk
mengidentifikasi dan menghargai bidang-bidang kompetensi. Bidang-
bidang ini mungkin termasuk keterampilan akademik, keterampilan
atletik, daya tarik fisik, dan penerimaan sosial.

15
 Memberikan dukungan emosional dan persetujuan sosial. Beberapa
anak dengan harga diri rendah berasal dari keluarga yang berkonflik
atau kondisi di mana mereka mengalami pelecehan atau pengabaian—
situasi di mana dukungan tidak tersedia. Dalam beberapa kasus, sumber
dukungan alternatif dapat diatur baik secara informal melalui dorongan
seorang guru, pelatih, atau orang dewasa penting lainnya, atau secara
lebih formal melalui program seperti Big Brothers and Big Sisters.
 Membantu anak mencapai. Prestasi juga dapat meningkatkan harga diri
anak. Misalnya, pengajaran langsung keterampilan nyata kepada anak-
anak sering menghasilkan peningkatan prestasi dan, dengan demikian,
meningkatkan harga diri. Anak-anak mengembangkan harga diri yang
lebih tinggi karena mereka tahu bagaimana melakukan tugas-tugas
penting yang akan mencapai tujuan mereka, dan mereka telah
melakukannya atau perilaku serupa di masa lalu.
 Bantu anak mengatasinya. Harga diri sering kali meningkat ketika anak
menghadapi masalah dan berusaha mengatasinya, bukannya
menghindarinya. Jika mengatasi daripada menghindari menang, anak-
anak menghadapi masalah secara realistis, jujur, dan tidak defensif. Ini
menghasilkan pemikiran evaluasi diri yang menguntungkan, yang
mengarah pada persetujuan yang dihasilkan sendiri yang meningkatkan
harga diri.

Ini telah dieksplorasi apakah harga diri merupakan penyebab atau


konsekuensi dari dukungan sosial di masa muda (Marshall & lain-lain, 2014).
Dalam penelitian ini, harga diri memprediksi perubahan selanjutnya dalam
dukungan sosial, tetapi dukungan sosial tidak memprediksi perubahan selanjutnya
dalam harga diri. Faktanya, hanya terdapat korelasi sedang antara kinerja sekolah
dan harga diri, dan korelasi ini tidak menunjukkan bahwa harga diri yang tinggi
menghasilkan kinerja sekolah yang lebih baik (Baumeister, 2013). Upaya untuk
meningkatkan harga diri siswa tidak selalu mengarah pada peningkatan kinerja
sekolah (Davies & Brember, 1999). Anak-anak dengan harga diri yang tinggi

16
memiliki inisiatif yang lebih besar, tetapi hal ini dapat menghasilkan hasil yang
positif atau negatif (Baumeister & lain-lain, 2003). Anak-anak dengan harga diri
tinggi rentan terhadap tindakan prososial dan antisosial (Krueger, Vohs, &
Baumeister, 2008). Selain itu, kekhawatiran saat ini adalah bahwa terlalu banyak
anak-anak saat ini yang tumbuh dengan menerima pujian untuk kinerja yang
biasa-biasa saja atau bahkan buruk dan akibatnya harga diri meningkat (Graham,
2005; Stipek, 2005). Mereka mungkin mengalami kesulitan menangani persaingan
dan kritik.

Tema ini ditangkap dengan jelas oleh judul sebuah buku, Dumbing Down
Our Kids: Why American Children Feel Good About Themselves but
Can't Read, Write, or Add (Sykes, 1995). Tema serupa — janji harga diri
yang tinggi bagi siswa dalam pendidikan, terutama mereka yang miskin
atau terpinggirkan — menjadi ciri buku yang lebih baru, Menantang
Kultus Harga Diri dalam Pendidikan (Bergeron, 2018). Dalam serangkaian
penelitian, para peneliti menemukan bahwa pujian yang berlebihan,
meskipun dimaksudkan dengan baik, dapat menyebabkan anak-anak
dengan harga diri rendah menghindari pengalaman belajar yang penting,
seperti menangani tugas-tugas yang menantang (Brummelman & others,
2014). Dan satu studi menemukan bahwa orang tua narsistik terutama
menilai terlalu tinggi bakat anak-anak mereka (Brummelman & lainnya,
2015). Apa saja strategi yang baik untuk meningkatkan harga diri anak-
anak secara efektif? Lihat selingan Connecting Development to Life untuk
beberapa jawaban atas pertanyaan ini.

 Karakteristik Perkembangan Anak usia 7-11 (Konkrit Operasional)

Ciri khas jasmani antara lain:


1. Mereka mengalami pertumbuhan fisik yang semakin baik dan kuat.
Koordinasi dan keseimbangan tubuh juga semakin baik, termasuk pada
kemampuan motorik halusnya. Pada umumnya daya tahan tubuh semakin
kuat, dan memiliki selera makan yang cukup besar.

17
2. Pada umumnya mereka cukup aktif dan memiliki banyak energi. Mereka
juga penuh semangat serta senang melakukan kegiatan yang sulit dan
bersifat menantang. Pada saat bermain, anak laki-laki lebih kasar daripada
anak perempuan. Mereka suka melompat atau berlari sambil berteriak-
teriak, sedangkan anak perempuan suka berbisik-bisik dan tertawa
cekikikan bersama.
3. Pada usia ini pertumbuhan fisik dan psikis anak perempuan pada
umumnya lebih cepat dibandingkan anak laki-laki. Selain terlihat memiliki
badan yang lebih besar, anak perempuan juga terlihat “lebih dewasa”.

Ciri-ciri secara mental dan intelektual antara lain:

1. Lebih mandiri dan tidak terlalu tergantung pada keluarga


2. Suka mengoleksi benda-benda kecil seperti perangko atau stiker, juga
sudah mulai tekun pada hobinya.
3. Memiliki daya kreativitas yang tinggi.
4. Mulai bisa berfikir secara logis. Kini mereka tidak terlalu suka berkhayal
(berimajinasi) melainkan penyelesaian lebih konkret.
5. Mulai berempati dan dapat melihat dari perspektif orang lain.
6. Daya ingat dan rentang perhatiannya semakin meningkat.
7. Sudah dapat membaca dengan baik dan pada umumnya anak-anak usia 9-
11 tahun haus serta gemar akan berbagai bacaan.
8. Pada usia ini keterampilan seorang anak, perbedaan, kekuatan, serta
kelemahan pribadinya mulai terlihat jelas.
Ciri khas secara emosi antara lain:
1. Anak menerima dan menyerap keyakinan dan nilai-nilai yang ada dalam
keluarga
2. Mereka meniru dan meniru figur-figur dewasa yang berpengaruh di
sekitarnya
3. Suka humor.
4. Kadang-kadang memiliki perasaan yang tersembunyi, namun karena
mereka sudah bisa mengendalikan diri (dan menutup-nutupi), mereka bisa

18
berpura-pura seakan tidak ada masalah yang mengganggu diri mereka.
Untuk tipe anak yang agresif, perilaku memberontak mereka dapat dengan
mudah diketahui dan karenanya mereka cenderung dianggap sebagai anak
yang sulit/nakal.
5. Mulai ada perasaan tidak suka dibanding-bandingkan.

Ciri khas secara sosial:

1. Anak-anak Madya lebih suka bergaul dengan teman sebayanya


dibandingkan dengan orang tua maupun gurunya.
2. Suka bergaul dengan teman sejenis dan ada kecenderungan untuk “anti”
dengan lawan jenis (misalnya: tidak mau duduk berdampingan).
3. Setia pada kelompoknya dan menganggap kelompoknya sebagai sesuatu
yang istimewa. Bagi anak-anak usia 9-11 tahun, pendapat dan sikap
kelompoknya terhadap segala sesuatu yang sangat penting. Mereka juga
terkadang menuduh seolah-olah sedang melakukan sesuatu yang misterius
dan terlarang bersama dengan anggota-anggota kelompoknya (padahal
sebenarnya tidak, mereka hanya mengungkapkan rasa bangga terhadap
kelompoknya). Tak jarang mereka memiliki bahasa dan kode sendiri di
dalam kelompoknya.
4. Semangat pagi pada anak usia 9-11 tahun tinggi sekali. Pada saat
bertanding, mereka seringkali memperlihatkan interaksi yang bersifat
negatif, seperti melontarkan komentar yang bernada perseteruan, berbuat
curang, dan berusaha untuk memblokir atau mendominasi satu sama lain.
5. Suka berguru, termasuk mungkin menghargai orang lain. Untuk itu
arahkan mereka pada gurauan yang sehat, dan yang tidak melukai atau
menyakiti perasaan orang lain.
6. Mulai sadar terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya,
mulai peduli pada pendapat orang lain mengenai tubuhnya. Masalah citra
tubuh atau gangguan makan biasanya mulai terjadi pada usia ini.
7. Mereka dengan senang hati mempekerjakan dan mampu menyelesaikan
konflik dengan negosiasi atau kompromi.

19
Dengan mengetahui ciri khas anak-anak usia madya, kita dapat
memberikan perhatian dan stimulasi yang lebih tepat sesuai dengan
perkembangannya. Misalnya seperti di bawah ini:

 FISIK Berikan banyak kesempatan untuk bergerak dan beraktifitas fisik.


Olahraga adalah salah satunya, namun bisa juga dengan menari, bermain
game outdoor, dan lainnya.
 INTELEKTUAL Berikan tugas-tugas yang menantang untuk
diselesaikan dalam kelompok, dukung anak untuk menekuni hobinya, atau
berikan banyak kesempatan untuk mencoba hal baru.
 EMOSI Berikan feedback positif bagi hasil kerja anak dan sebaiknya
lakukan koreksi tidak di depan teman-temannya melainkan empat mata.
Ajari pula anak tentang menghormati orang lain, berempati, dan tidak
segan membantu orang lain.
 SOSIAL Berikan banyak kesempatan untuk bekerjasama dalam
kelompok, berikan ia batasan-batasan yang jelas dan masuk akal mengenai
apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta bukalah ruang diskusi
dengan anak.

Referensi:

1. Dr. Mary Go Setiawani, Pembaruan Mengajar, terbitan Yayasan Kalam


Hidup
2. www.cdc.gov
3. msue.anr.msu.edu
4. Life-Span Development from John W. Santrock

20
BAB II
TEMUAN DI LAPANGAN
A. Subjek Anak Perempuan
1. Identitas
Nama : Responden perempuan 1 dan 2
Usia : 7 tahun
Pendidikan : Sekolah Dasar

2. Deskripsi Kegiatan
a. MOTORIK
Hari/Tanggal
ASPEK YANG DESKRIPSI
USIA MEDIA TEKNIK Observasi dan DURASI T
DITELITI KEGIATAN
Pencatatan
7 tahun Anak melompat Untuk
dalam lantai apaka
yang di berikan melak
Jumat 14
MOTORIK KASAR Spidol Melompat 5 Menit angka dari angka lompa
October 2022
1 ke angka yang mend
lainnya kedua
denga
siswa berjalan Untuk
lurus membawa keseim
penggaris yang sang
tergeletak di berjal
Jumat 14
MOTORIK KASAR Penggaris Berjalan lurus 5 Menit lantai lalu di lurus
October 2022
berikan kepada yang
teman yang
berada di
depannya
Siswa meloncat Untuk
untuk kema
menggapai siswa
spidol yang di memp
Jumat 14 oct pegang oleh lonca
MOTORIK KASAR lantai Meloncat 5 Menit
2022 observator dan penda
mendarat denga
dengan kaki di kakin
tempat yang yang
sama
MOTORIK KASAR penggaris berlari Jumat 14 oct 5 Menit Siswa membawa Untuk
2022 penggaris yang kema
diberikan dalam
temannya apaka
dengan berlari kesul

21
kepada tidak
observator
Siswa melompat Untuk
maju dengan kema
Melompat Jumat 14 Oct
MOTORIK KASAR Sepatu 2 menit posisi seperti dalam
kodok 2022
hewan kodok gerak
hewa
Menulis angka Untuk
Jumat 14 Oct 1-5 di lantai kema
MOTORIK HALUS Spidol Menulis angka 2 Menit
2022 menggunakan siswa
spidol menu

Penjelasan Kegiatan
Anak melakukan kegiatan ringan yang di arahkan oleh obsever di
mulai dengan menggambar angka dari 1 sampai 5 untuk melihat
kemampuannya dalam melakukan kegiatan motoric halus dengan cara
kerja jari jemari anak ia menuliskan angka di petak lantai lalu petak lantai
tersebut di letakan barang kecil seperti penggaris dan spidol, untuk melihat
kemampuan otot kaki, anak diarahkan untuk mengambil benda tersebut
dengan cara melompat ke angka yang telah di tulis tadi dan mendekati
benda yang akan di ambil, lalu memberikan kepada obsevator, lalu
dilanjutkan dengan membawa penggaris ke angka yang di pilih dan
meletakannya disana dengan cara melompat dengan 1 kaki, selanjutnya
untuk melihat kemampuan keseimbangan anak menyerahkan kembali
bendanya kepada obsevator dengan cara berjalan lurus mengikuti garis
lantai, dan memberikannya kepada temannya dengan berlari lalu
bergantian melakukannya. Selanjutnya untuk melihat kemampuan otot
besar antara kaki dan tangan anak secara bergantian mengambil spidol
yang di angkat tinggi oleh obsevator dengan melompat tinggi dan
mengangkat tangannya lalu mendarat di kedua kakinya, secara bergantian
pula anak di arahkan untuk menirukan gerakan hewan yaitu katak dan
melompat sebanyak 2 lompatan hal ini dilakukan untuk melihat
kemampuan otot seluruh tubuh anak.

22
b. KOGNITIF
Hari/Tanggal
ASPEK YANG DESKRIPSI
USIA MEDIA TEKNIK Observasi dan DURASI TUJUAN
DITELITI KEGIATAN
Pencatatan
LOGICAL QUESTION AND Jumat 14 Oct 2022 20 menit Siswa Melihat
REASONING ANSWER kemampuan
logical
reasoning pada
siswa kelas 1
Sekolah Dasar
SPASIAL PAPER PRESENTASI Jumat 14 oct 2022 20 menit Siswa Melihat
REASONING AND menggambarkan map kemampuan
PENCIL dari kelas ke kantin spasial dan
navigasi siswa
kelas 1 Sekolah
Dasar
7 tahun
MEMBACA OBJECT PRESENTASI Jumat 14 Oct 2022 20 menit Siswa dapat membaca Melihat
BOX tulisan nama benda kemampuan
yang ada pada kartu membaca letak
yang ada di depan benda pada
siswa kelas 1
Sekolah Dasar
BERHITUNG STAMP PRESENTASI Jumat 14 Oct 2022 20 menit Siswa dapat Melihat
GAME menghitung dan kemampuan
berhitung dan
classification of
numbers di
Sekolah Dasar

Penjelasan Kegiatan
Before I started my presentation with the children I had a brief conversation about
myself in both Languages, English and Indonesian. It led to children slowly opening up
and willing to answer the questions I had prepared to ask and also to engage in the
activities I planned to present to them.
During the conversation I found out that they are learning English subject as part
of the curriculum in school. Hence they showed enthusiasm to do the activities, when
asked, Mau belajar Bahasa Ingriss? ” They exclaimed, “Mau..Mau!!”
I used the Montessori Object box in my Presentation to observe if they can
identify the names of the objects in English once Introduced. I used a number of objects
like cat, dog, rat, bus, bag and pen. I did the Three-Period lesson with them. Where in the

23
1st lesson is about telling the names of the objects. The 2nd lesson is more like a game and
most important part as through repetition they will remember the new words taught..
“Show me”.. the cat, the dog and so and the 3 rd lesson is finally asking “ What is this? “
to find out if they can actually remember the names correctly. After that I laid out the
cards with the simultaneous names of the objects. I asked them to sound the letters in the
card. The girls were able to spell out in Indonesian first but then somehow it clicked to
them they had to convert in to English and they were able to place the names correctly to
its corresponding object. For example, they read cat as (chaat in Bahasa) but
immediately exclaimed “cat” (“kucing”) and placed the card next to the object.
The session ended with the girls wanting to learn more. They kept asking me
when will I be back for another lesson. “Miss, kapan ngajar Bahasa Ingriss lagi?” I just
smiled and replied, “kapan kapan ya”.
Moving on from that, I continued my math presentation using the Montessori
Large Number Cards. Place Value in one-, ten-, hundred-, and thousand-digit numbers
can be demonstrated with these resources. The primary goal of the Large Number Cards
is to aid young learners in learning to recognize the printed symbols for each decimal
place. Working with the content, pupils also learn that when we reach the ninth digit in a
decimal system, we go on to the next highest system of digits. Before I began the
presentation, I polled the girls on their Math knowledge and whether or not they were
familiar with the idea of place value. The girls confidently answered that they can count
to a hundred. They were unsure of the terms, though. So, using the cards, I showed them
how to count by ones, tens, and hundreds. Next, we used the cards to form various
numerical expressions. Like, I told them to come up with 19. They took a ten and put a
nine in the slot normally occupied by zero. I could see they both were completely
engaged in the task given and showed contentment when they could figure out how to
create the numbers by themselves. Then I inquired as to whether or not they were
interested in making thousands. They both said "Takut" in unison. Since they are already
used with making hundreds, I assured them that making thousands would be a breeze.
With the help of the number cards, of course.
After getting the hang of the Large Number cards. We moved on to the Stamp
Game material. Here I was able to identify their ability of classifying numbers and
conservation of numbers. First I asked them to match the number cards with the stamps. I
laid out a number card example 25, they had to place the stamps accordingly. They could
classify with ease. Then I separated the stamp units and arranged the five stamps
sparingly to see if they knew that its still the same value and they could tell so.

24
Then they said they wanted to do more, so allowed them to carry on by
themselves and have a trial and error with the number cards and stamps. They went from
making tens, to thousands. While laying out thousands, one of the girls realized that she
place 1 instead of 1000 in the thousand place, but she could immediately notice and said,
“Eh, salah” and corrected her error.
One interesting fact aroused as I observed the 2 nd made a value 9570 with card
and had to place them stamps accordingly. As the 1 st respondent started to make with the
thousands, she started to lay out the stamps with hundreds , then tens and finally when
she came to the units she realized it’s a zero and said, “Nol!, berarti kosong. Ga ada.”
Inference, there should be no stamps to be placed on it.
The girls were thrilled when they got it all correct and clap their hands. And that
was the end of the session and the girls told me that Math is so fun with the stamp Game.

Our next activity was drawing a map. The goal here is to gauge the girls' abilities
in spatial reasoning. In class, we had them make a map of the school canteen's location. I
commenced by inquiring as to whether or not they had been in a position to direct me to
the nearest restroom. Then they mentioned how simple it would be to get to the Canteen
instead. They had no trouble at all creating the map.

c. PSIKOSOSIAL
Hari/Tanggal
DESKRIPSI
USIA Aspek yang diteliti MEDIA TEKNIK Observasi dan DURASI
KEGIATAN
Pencatatan
7 tahun Sosialisasi / Wawancara Jumat 14 Oct 5 menit Observer Meli
Kerjasama 2022 melakukan seora
wawancara mam
terhadap deng
responden tema
mengenai
kegiatan
sehari-hari
bersama teman
Kecerdasan Emosi Wawancara Jumat 14 Oct 10 menit Observer Meli
2022 melakukan sisw
wawancara mem
tentang apa emos
yang dirasakan diras
ketika kejad

25
mengikuti meny
suatu kegiatan maup
meny

Kepercayaan diri Alat tulis Jumat 14 Oct 10 menit Siswa Meli


dan buku 2022 menggambar sisw
gambar onjek meng
imajinatif dan ataup
objek konkret meng
Kegiatan keagamaan Wawancara Jumat 14 Oct 5 menit Observer Meli
2022 melakukan regiu
wawacara dari
mengenai karen
kegiatan diluar doro
sekolah yang tua
berhubungan
dengan
keagamaan

Penjelasan Kegiatan
Anak menjawab pertanyaan yang diberikan terkait dengan identitas
diri seperti nama, usia, pekerjaan orang tua dst. Anak memberikan
jawaban yang cukup bermacam-macam. kemudian juga terkait dengan
lingkungan pertemanan untuk melihat sosio-emosional ketika sedang
berinteraksi dengan teman sekelasnya. Ketika observer memberikan
pertanyaan mengenai perasaan senag atau sedih ketika mendapatkan atau
kehilangan sesuatu anak memberikan jawaban Kemudian anak juga
melakukakan kegiatan menggambar objek imajinatif berupa pemandangan
dan objek konkret yaitu orang yang ada dihadapannya untuk meliha
kreativitas serta ide anak dalam merepresentasikan kepercayaan diri.
Observer meminta anak bercerita mengenai kegiatan keagamaan diluar
sekolah seperti kegiatan mengaji untuk melihat kesadaran anak dalam
melakukan kegiatan spiritual.

Naskah soal psikososial :


A. Halo namanya siapa?
B. A..
A. A usianya berapa sekarang ?

26
B. Tujuh
A. A anak keberapa ? punya adik atau kakak engga ?
B. Adik 2 cewek semua, satu 5 tahun, satu 1 setengah tahun yang satu
namanya amel yang satu lagi namanya anin, kakak ga ada Cuma ada kakak
tetangga
A. Ayah sama mamah nya A kerja apa ?
B. mamah ga kerja, ayah doang yang kerja, kerja gojek
A. A punya teman deket ga disekolah ? siapa namanya ?
B. Hmmm ada nama nya N
A. senang ga bermain dengannya?
B. Senang, tapi kadang-kadang gak ada waktu. tapi dirumah mainnya sama
adik suka dipukul-pukul sama adik
A. kalo disekolah suka jawab pertanyaan yang ditanya sama guru gak?
B. Suka tapi kadang-kadag malu
A. suka ikut lomba gak ?
B. suka sih
A. ikut lomba apa aja biasanya ?
B. yang Agustus? lomba lari, lomba balap kelereng tapi sendoknya mah
rasanya acem-acem.
A. kalo menang senang ga? Kalau kalah sedih ga?
B. seneng, menang atau kalah jadi itu sih hanya bonus kata mamaku
A. Apakah kamu ada mengaji?
B. Aku mah ngaji siang sekarang Iqra’ 2, jam 1 liburnya dua hari
A. mengapa kamu mengaji ? karena disuruh orang tua atau seneng sendiri?
B. Aku sih seneng, tapi sekarang aku tu selalu ketiduran, sekarang lagi libur
A. Apakah kamu hafal surah Alfatihah?
B. Hafal, karena nenek ku udah ga ada sama kakek. Surat apalagi ya hmmmm
surat wal ashri

27
TEMUAN DI LAPANGAN

A. Subjek Anak Laki-Laki


1. Identitas
Nama : Responden laki-laki 1 dan 2
Usia : 7 tahun
Pendidikan : Sekolah Dasar

2. Deskripsi Kegiatan

a. MOTORIK
Hari/Tanggal
ASPEK YANG DESKRIPSI
USIA MEDIA TEKNIK Observasi dan DURASI
DITELITI KEGIATAN
Pencatatan
7 tahun Anak melompat Untuk
dalam lantai siswa
Jumat 14 Oct yang di berikan lompa
MOTORIK KASAR Spidol Melompat 5 Menit
2022 angka dari angka mend
1 ke angka yang kedua
lainnya baik
siswa berjalan Untuk
lurus membawa keseim
penggaris yang anak
tergeletak di satu j
Jumat 14 Oct
MOTORIK KASAR Penggaris Berjalan lurus 5 Menit lantai lalu di garis
2022
berikan kepada
teman yang
berada di
depannya
MOTORIK KASAR lantai Meloncat Jumat 14 Oct 5 Menit Siswa meloncat Untuk
2022 untuk kema
menggapai dalam
spidol yang di memp
pegang oleh lonca
observator dan penda
mendarat kedua

28
dengan kaki di tempa
tempat yang
sama
Siswa membawa Untuk
penggaris yang kema
diberikan dalam
Jumat 14 Oct
MOTORIK KASAR penggaris Berlari 5 Menit temannya kesul
2022
dengan berlari
kepada
observator
Menulis angka Untuk
Jumat 14 Oct 1-5 di lantai kema
MOTORIK HALUS Spidol Menulis angka 5 Menit
2022 menggunakan dalam
spidol

Penjelasan Kegiatan
Anak melakukan kegiatan ringan yang di arahkan oleh observer di
mulai dengan menggambar angka dari 1 sampai 5 untuk melihat
kemampuannya dalam melakukan kegiatan motoric halus dengan cara
kerja jari jemari anak ia menuliskan angka di petak lantai lalu petak lantai
tersebut di letakan barang kecil seperti penggaris dan spidol, untuk melihat
kemampuan otot kaki, anak diarahkan untuk mengambil benda tersebut
dengan cara melompat ke angka yang telah di tulis tadi dan mendekati
benda yang akan di ambil, lalu memberikan kepada obsevator, lalu
dilanjutkan dengan membawa penggaris ke angka yang di pilih dan
meletakannya disana dengan cara melompat dengan 1 kaki, selanjutnya
untuk melihat kemampuan keseimbangan anak menyerahkan kembali
bendanya kepada obsevator dengan cara berjalan lurus mengikuti garis
lantai, dan memberikannya kepada temannya dengan berlari lalu
bergantian melakukannya. Selanjutnya untuk melihat kemampuan otot
besar antara kaki dan tangan anak secara bergantian mengambil spidol
yang di angkat tinggi oleh obsevator dengan melompat tinggi dan
mengangkat tangannya lalu mendarat di kedua kakinya, secara bergantian
pula anak di arahkan untuk menirukan gerakan hewan yaitu katak dan
melompat sebanyak 2 lompatan hal ini dilakukan untuk melihat
kemampuan otot seluruh tubuh anak.

29
B. KOGNITIF
Hari/Tanggal
ASPEK YANG DESKRIPSI
USIA MEDIA TEKNIK Observasi dan DURASI TUJUAN
DITELITI KEGIATAN
Pencatatan
LOGICAL QUESTION AND Jumat 14 Oct 2022 20 menit Siswa Melihat
REASONING ANSWER kemampuan
logical
reasoning pada
siswa kelas 1
Sekolah Dasar
SPASIAL PAPER PRESENTASI 20 menit Siswa Melihat
REASONING AND menggambarkan map kemampuan
PENCIL Jumat 14 Oct 2022 dari kelas ke kantin spasial dan
navigasi siswa
kelas 1 Sekolah
Dasar
7 tahun
MEMBACA OBJECT PRESENTASI 20 menit Siswa dapat membaca Melihat
BOX tulisan nama benda kemampuan
Jumat 14 Oct 2022
yang ada pada kartu membaca letak
yang ada di depan benda pada
siswa kelas 1
Sekolah Dasar
BERHITUNG STAMP PRESENTASI 20 menit Siswa dapat Melihat
GAME menghitung dan kemampuan
Jumat 14 Oct 2022 berhitung dan
classification of
numbers di
Sekolah Dasar

Penjelasan Kegiatan
With the boys I started my presentation with Math activity using the Montessori
Large Number Cards. Place Value in one-, ten-, hundred-, and thousand-digit numbers
can be demonstrated with these resources. The primary goal of the Large Number Cards
is to aid young learners in learning to recognize the printed symbols for each decimal
place. Working with the content, pupils also learn that when we reach the ninth digit in a

30
decimal system, we go on to the next highest system of digits. Before I began the
presentation, I polled the boys on their Math knowledge and whether or not they were
familiar with the idea of place value. The girls confidently answered that they can count
to a hundred. They were unsure of the terms, though. So, using the cards, I showed them
how to count by ones, tens, and hundreds. Next, we used the cards to form various
numerical expressions. Like, I told them to come up with 29. They took a 20 card and put
a 9 in the slot normally occupied by zero. I could see they both were completely engaged
in the task given and showed contentment when they could figure out how to create the
numbers by themselves. Then I inquired as to whether or not they were interested in
making thousands. They both said "Mau" in unison. The boys showed more enthusiasm
in this area.
After getting the hang of the Large Number cards. We moved on to the Stamp
Game material. Here I was able to identify their ability of classifying numbers and
conservation of numbers. First I asked them to match the number cards with the stamps. I
laid out a number card example 25, they had to place the stamps accordingly. They could
classify with ease. Then I separated the stamp units and arranged the five stamps
sparingly to see if they knew that its still the same value and they could tell so.
Then they said they wanted to do more, so allowed them to carry on by
themselves and have a trial and error with the number cards and stamps. They went from
making tens, to thousands. And they continued to work with the Stamp Game until they
were contented enough to stop the activity.

Our next activity was drawing a map. The goal here is to gauge the boys' abilities
in spatial reasoning. In class, we had them make a map of the school canteen's location. I
commenced by inquiring as to whether they want to draw a map to the nearest restroom.
Then they mentioned how simple it would be to get to the Canteen instead. One of the
boys explained also explained in words as how to get from the classroom to the Canteen.
Both the boys were able to draw the map correctly.
My next presentation with the boys was Introducing English Language. I had a
brief conversation with the boys and it led to boys slowly opening up and willing to
answer the questions I had prepared to ask and also to engage in the activities I planned to
present to them.
I used the Montessori Object box in my Presentation to observe if they can
identify the names of the objects in English once Introduced. I used a number of objects
like cat, dog, rat, bus, bag and pen. I did the Three-Period lesson with them. Where in the

31
1st lesson is about telling the names of the objects. The 2nd lesson is more like a game and
most important part as through repetition they will remember the new words taught..
“Show me”.. the cat, the dog and so and the 3 rd lesson is finally asking “ What is this? “
to find out if they can actually remember the names correctly. After that I laid out the
cards with the simultaneous names of the objects. I asked them to sound the letters in the
card. The boys were able to spell out in Indonesian first but then somehow it clicked to
them they had to convert in to English and they were able to place the names correctly to
its corresponding object. For example, they read cat as (chaat in Bahasa) but
immediately exclaimed “cat” (“kucing”) and placed the card next to the object. I also
striked a chance to play the “guess the sequence game”. Where they had to observe the
lay out of the animals and then close their eyes. I took one animal out of the sequence and
they were to guess what animal was it. The session ended with the boys wanting to learn
more.

b. PSIKOSOSIAL
Hari/Tanggal
Aspek yang Observasi DESKRIPSI
USIA MEDIA TEKNIK DURASI
diteliti dan KEGIATAN
Pencatatan
7 Sosialisasi / Wawancara 5 menit Observer Mel
tahun Kerjasama melakukan seor
Jumat 14 Oct wawancara mam
2022 terhadap deng
responden deng
mengenai seba
kegiatan
sehari-hari
bersama
teman
Kecerdasan Wawancara 10 menit Observer Mel
Emosi melakukan sisw
Jumat 14 Oct wawancara mem
2022 tentang apa pera
yang yang

32
dirasakan pada
ketika men
mengikuti mau
suatu men
kegiatan
Kepercayaan diri Alat Jumat 14 Oct 10 menit Siswa Mel
tulis 2022 menggambar sisw
dan objek men
buku imajinatif ide
gambar dan objek pend
konkret men
hal
Kegiatan Wawancara 5 menit Observer Mel
keagamaan melakukan kesa
Jumat 14 Oct wawacara spir
2022 mengenai timb
kegiatan send
diluar kare
sekolah doro
yang oran
berhubungan
dengan
keagamaan

Penjelasan Kegiatan
Anak menjawab pertanyaan yang diberikan terkait dengan identitas
diri seperti nama, usia, pekerjaan orang tua dst, anak memberikan jawaban
yang cukup bermacam-macam. kemudian pertanyaan terkait dengan
lingkungan pertemanan untuk melihat sosio-emosional ketika sedang
berinteraksi dengan teman sekelasnya. Ketika observer memberikan
pertanyaan mengenai perasaan senag atau sedih ketika mendapatkan atau
kehilangan sesuatu anak memberikan jawaban Kemudian anak juga
melakukakan kegiatan menggambar objek imajinatif berupa pemandangan
dan objek konkret yaitu orang yang ada dihadapannya untuk meliha
kreativitas serta ide anak dalam merepresentasikan kepercayaan diri.

33
Observer meminta anak bercerita mengenai kegiatan keagamaan diluar
sekolah seperti kegiatan mengaji untuk melihat kesadaran anak dalam
kegiatan spiritual.
Naskah soal psikososial :

A. Namanya siapa ?
B. B
A. B usianya berapa sekarang?
B. Usianya 7 tahun
A. B anak keberapa ? punya adik atau kakak engga ?
B. Punya kakak tapi ga punya adik
A. Ayah sama mamah B kerja apa ?
B. Bapaku yang satu udah meninggal, nikah lagi bapa, kerjanya di restoran
jepang biasanya dimasakin bistik
A. B punya temen deket ga disekolah ? siapa namanya ?
B. Ada, namanya Z duduknya satu bangku
A. senang ga bermain dengannya?
B. Senang, sekarang Z lagi nungguin diluar
A. kalo disekolah suka jawab pertanyaan yang ditanya sama guru gak?
B. Suka
A. suka ikut lomba gak ?
B. suka
A. ikut lomba apa aja biasanya ?
B. suka, biasanya renang ikut, biasanya lomba kerupuk ikut
A. kalo menang senang ga? Kalau kalah sedih?
B. senang, kalo kalah mah ga apa-apa ga apa-apa sudah berjuang sudah usaha
A. Apakah kamu ada mengaji?
B. Belum, he’e belum ngaji
A. Kenapa B belum ngaji?
B. Tu soalnya masih belum bisa baca, nanti kalo udah bisa baca aku mau
ngaji
A. Apakah kamu bisa hafal surah Alfatihah?
B. Bisa (bismillahirrahmanirrahim…Aamiin)

Temuan yang di Peroleh

34
Dari setiap anak yang diobservasi memiliki hal yang unik dan
menarik untuk dikaji ada anak yang memiliki kekuatan fisik yang cukup
besar namun belum dapat mengontrolnya adapun anak yang lincah dalam
pergerakan dan melompat lebih jauh dari teman lainnya, anak perempuan
lebih aktif dalam kegiatan berlari sedangkan anak laki-laki lebih aktif
dalam kegiatan melompat dan meloncat, koordinasi kedua kaki dari 4 anak
tersebut sangat baik, mereka dapat melompat lalu mendarat dengan kedua
kakinya dan melompat menggunakan satu kaki pada kegiatan mengambil
objek tinggi ke 4 anak dapat mendarat kembali dengan kedua kaki di
tempat semula dengan baik hal ini menunjukan bahwa tugas-tugas
perkembangan motoric dari ke-empat anak tersebut sudah terlaksana
dengan baik.
Aspek kognitif yang dimiliki ke-empat anak sudah baik, mereka
dapat melakukan segala aktivitas berhitung dari mulai mengurangi
menjumlahkan dan juga menjodohkan karena observer menggunakan
sedikit bahasa Indonesia dan bahasa asing anak berusaha memahami apa
yang di ucapkan oleh observer namun anak dapat menjawab perkataan dari
observer dengan benar, hal ini menandakan bahwa anak memiliki
kecerdasan bahasa yang baik.
Aspek Psikososial menunjukan ada beberapa anak sudah cukup
memahami emosi dengan baik serta cukup percaya diri dan pemalu ketika
berkomunikasi dengan observer anak menunjukan komunikasi 2 arah yang
baik.

35
PEMBAHASAN
Tugas-tugas Perkembangan adalah penyempurnaan pemahaman
mengenai konsep-konsep sosial, konsep-konsep benar dan salah dan
seterusnya, dan belajar membuat hubungan emosional yang makin matang
dengan lingkungan sosial baik di rumah maupun di luar rumah. Tugas
perkembangan pada masa kanak-kanak awal menurut Robert J. Havighurst
(1961) adalah sebagai berikut:
Tugas-Tugas Perkembangan Pada Usia Kanak-Kanak
1. Toilet Training, hakikat tugas yang harus dipelajari anak yaitu buang air kecil
dan buang air besar yang bisa diterima secara sosial.toilet training yang berhasil
dapat membentuk anak yang berhati-hati, dapatmenguasai dirinya, mendapatkan
pandangan jauh kedepan dan dapat berdiri sendiri. Tentang toilet training
Havighurst berpendapat: “Toilet training is the first moral training that child
received. The stamp of the first moral training that child later character”
2. Belajar membedakan jenis kelamin, serta dapat bekerja sama dengan jenis
kelamin lain. Melalui observasi, maka anak akan melihat tingkah laku yang
berbeda jenis kelamin satu dengan lain
3. Belajar mencapai stabilitas fisologis, manusia pada waktu lahir sangatlah labil
jika dibanding fisik orang dewasa, anak akan cepat sekali merasakan perubahan

36
dari panas ke dingin, oleh karena itu anak harus belajar menjaga keseimbangan
terhadap perubahan.
4. Pembentukan konsep-konsep yang sederhana tentang realitas fisik dan sosial
5. Belajar kontak perasaan dengan orang tua, krluarga, dan orang lain,
menghubungkan diri sendiri secara emosional
6. Belajar membedakan mana yang baik dan buruk serta mengembangkan kata
hati Menurut Hurlock (1993) tugas perkembangan kanak-kanak awal adalah:
1. Belajar keterampilan fisik yang diperlukan untuk bermain
2. Membina sikap yang sehat (positif) terhadap diri sendiri sebagai seorang
individu yang berkembang, seperti kesadarn tentang harga diri dan kemampuan
diri
3. Belajar bergaul dengan teman-teman sebaya sesuai dengan etika moral yang
berkembang di masyarakat
4. Belajar memainkan peran sesuai dengan jenis kelamin
5. Mengembangkan dasar-dasar keterampilan membaca, menulis dan menghitung
6. Mengembangkan konsep-konsep yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari
7. Mengembangkan sikap objektif baik positif dan negatif terhadap kelompok dan
masyarakat
8. Belajar mencapai kemerdekaan atau kebebasan pribadi sehingga menjadi diri
sendiri, mandiri dan bertanggung jawab. (Jannah, 2015)1

1. MOTORIK
Observasi yang dilakukan terhadap perkembangan Motorik kasar
dan halus berdasar pada beberapa teori dan journal yang dikutip.
Diantaranya perkembangan motoric menurut petterson (1996).
“Pada usia ini, kesehatan fisik anak mulai stabil. Anak tidak mengalami sakit
seperti usia sebelumnya. Hal ini menyebabkan perkembangan fisik jadi lebih
maksimal dari pada usia sebelumnya. Perkembangan motorik meliputi motorik
kasar dan halus. Motorik kasar adalah gerakan tubuh yang menggunakan otot-
otot besar atau sebagian besar atau seluruh anggota tubuh yang dipengaruhi
oleh kematangan anak itu sendiri. Contohnya kemampuan duduk, menendang,
berlari, naik-turun tangga dan sebagainya. Sedangkan motorik halus adalah
gerakan yang menggunakan menggunakan otot-otot halus atau sebagian anggota
tubuh tertentu, yang dipengaruhi oleh kesempatan untuk belajar dan berlatih.
Misalnya, kemampuan memindahkan benda dari tangan, mencoret-coret,
1
(Jannah, 2015)

37
menyusun balok, menggunting, menulis dan sebagainya. Kedua kemampuan
tersebut sangat penting agar anak bisa berkembang dengan optimal.” (Asriadila,
2015)2
Observasi yang dilakukan meliputi motoric halus dan motoric kasar, kegiatan
motoric halus diantaranya :
1. Menulis angka
2. Menggambar
3. Mengambil benda di lantai
4. Menggenggam benda dan memberikannya ke orang lain
Motorik kasar diantaranya :
1. Berlari kecil
2. Berjalan lurus
3. Melompat dan mendarat di tempat berbeda dengan 2 kaki
4. Meloncat dan mendarat dengan 2 kaki di tempat yang sama
5. Melompat dengan 1 kaki
6. Menari diiringi music
7. Melompat kodok

Karakteristik Perkembangan :
1. Menyukai gerakan yang memacu andrenalin
2. Menyukai tantangan dalam sebuah gerakan
3. Pergerakan lincah dan cepat
4. Senang melompat
5. Berdiri dengan tegak mengikuti alur ketika berjalan
6. Otot besar lebih sering digunakan
Daftar Ceklis
YA TIDAK
N
Motorik Kasar R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2
O
L L P P L P P P
1 Berlari kecil √ √ √ √
2 Berjalan lurus √ √ √ √
3 Melompat dan √ √ √ √
mendarat di
tempat berbeda

2
(Asriadila, 2015)

38
dengan 2 kaki
Meloncat dan
mendarat
4 dengan 2 kaki √ √ √ √
di tempat yang
sama
Melompat
5 √ √ √ √
dengan 1 kaki
Menari diiringi
6 √ √ √ √
music
Melompat
7 √ √ √ √
kodok

YA TIDAK
N
Motorik Halus R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2
O
L L P P L P P P
1 Menulis angka √ √ √ √
2 Menggambar √ √ √ √
Mengambil
3 √ √ √ √
benda di lantai
Menggenggam
benda dan
4 √ √ √ √
memberikannya
ke orang lain
5 Menulis angka √ √ √ √

Secara teori penelitian yang di lakukan sesuai dengan tugas


perkembangan, karakteristik perkembangan, serta perkembangan fisik dari
anak. Responden adalah anak yang berusia 6-7 tahun dan memiliki tinggi

39
serta berat badan yang rata-rata sama, anak melakukan pergerakan motoric
secara baik dan terkontrol, karakteritik perkembangan yang di sebutkan
dalam teori sudah sesuai dengan perilaku anak dilapangan.
Berikut adalah pembahasan mengenai teori perkembangan motoric halus dan
motoric kasar.
 PERTUMBUHAN FISIK
• Butuh 2400 kalori/hari untuk menunjang pertumbuhan badan mereka
• Terlihat lebih lambat dibanding anak-anak awal, bahkan kadang mereka terlihat
tidak tumbuh sama sekali
• Rata – rata 5 – 8cm/tahun dan berat badan 2 – 3 kg/tahun
• Pada usia 11 tahun (lulus SD) ratarata tinggi anak perempuan 145 cm dan laki-
laki 142 cm
 PERKEMBANGAN MOTORIK
• Koordinasi motorik kasar semakin mantap memudahkan untuk menguasai
olahraga
• Koordinasi motorik halus semakin baik memudahkan pemanfaatan tangan untuk
kepentingan sehari-hari, ketrampilan tangan, dan bermain alat musik
• Laki2 cenderung lebih ahli di kegiatan motorik kasar.
• Perempuan cenderung lebih ahli di kegiatan motorik halus
• Rough-and-Tumble-Play: permainan bebas yang melibatkan aktivitas lari, kejar,
pukul, body contact, tertawa  banyak di kanak-kanak tengah, berkurang di
kanak-kanak akhir (Rahajeng, 2018)
Perkembangan Motorik Kasar Tugas perkembangan jasmani berupa
koordinasi gerakan tubuh seperti berlari, berjinjit, melompat, bergantung,
melempar dan menangkap serta menjaga keseimbangan.
Perkembangan Motorik Halus Dalam perkembangan motorik
halus, anak sekolah dasar ditekankan pada kooridnasi gerakan motorik
halus berkaitan dengan kegiatan meletakkan atau memegang suatu objek
dengan menggunakan jari tangan menulias halus dan menuliskan angka.
Ketika anak di usia 5-6 tahun koordinasi gerakan motorik halus anak
berkembang pesat. Di usia ini anak telah mengoordinasikan gerakan visual
motorik, seperti mengoordinasikan gerakan mata dengan tangan, lengan
dan tubuh secara bersamaan antara lain pada waktu anak menulis dan
menggambar, Pada usia 3-4 tahun anak mulai bisa belajar menaiki sepeda
beroda tiga dan belajar berenang. Pada usia 5-6 tahun anak belajar

40
melompat dan berlari cepat, mereka juga mulai bisa memanjat.
Keterampilan kaki lainnya yang dikuasai oleh anak adalah seperti lompat
tali, keseimbangan tubuh dalam berjalan di atas dinding atau pagar, sepatu
roda dan menari serta senam. (Jogjakarta, 2019)3
Penelitian Terdahulu
Sudah banyak orang yang meneliti mengenai perkembangan anak
usia Middle Childhood atau anak-anak usia sekolah, Anak-anak usia
sekolah mememiliki karakteristik yang berbeda dengan anak-anak yang
usianya lebih muda. Ia senang bermain, senang bergerak, senang bekerja
dalam kelompok, dan senang merasakan atau melakukan sesuatu secara
langsung. Oleh karena itu, guru sebaiknya mengembangkan proses
pembelajaran yang mengaitkan antara permainan dengan belajar kemudian
guru juga dapat mengusahakan anak berpindah atau bergerak, anak juga
diajarkan cara bekerja atau belajar dalam kelompok, serta guru
memberikan kesempatan untuk terlibat langsung dalam pembelajaran.
Salah satunya adalah penelitian dengan judul Perkembangan
Fisik Motorik Anak Usia Sekolah Dasar dalam Proses Pembelajaran
Studi Kasus di SD Muhammadiyah Karangbendo Yogyakarta oleh
seorang mahasiswi sekolah pascasarjana dari Universitas Islam terkemuka
di Yogyakarta.
Abstract: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan fisik
motorik anak di sekolah Dasar Muhammadiyah Karangbendo. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan perolehan data berdasarkan teknik
observasi, wawancara dan dokumentasi. Subjek penelitian ini adalah para siswa kelas VI
A yang terdiri dari 28 orang. Adapun teknik analisis data dalam penelitian ini
menggunakan analisis sebelum kelapangan dan analisis di lapangan dengan model Miles
and Hubermen yang meliputi data reduction, data display dan conclusion drawing.
Berdasarkan hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa secara simultan dalam proses
pembelajaran terlihat semua siswa memiliki perkembangan fisik motorik yang berbeda-
beda dan perkembangan tersebut terus berjalan dan berubah-ubah sesuai dengan
kegiatan belajar siswa.

 Hasil Penelitian
1. Perkembangan Fisik Anak Usia Sekolah Dasar
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan pada kelas VI A
terlihat bahwa terdapat 3 perbedaan fisik anak, diantaranya ada anak yang

3
(Jogjakarta, 2019)

41
pertumbuhan badannya lebih besar dari anak yang lain, ada juga anak yang
pertumbuhan badannya lebih lambat yang dimana badannya lebih kecil
dari orang lain, kemudian ada beberapa anak memiliki tinggi badan
normal yang sepadan dan sesuai dengan pertumbuhan umur mereka.
Terlihat jelas juga aktivitas mereka ketika di dalam kelas. Anak yang
memiliki badan besar merasa dirinya dapat memimpin teman-temannya
yang lain dia terlihat senang menyuruh temannya untuk mengambilkan
barang-barang yang dia butuhkan, kemudian anak yang badannya lebih
kecil ini memiliki keaktifan yang luar biasa dimana mereka tidak bisa
hanya duduk diam mengerjakan tugas di meja masing-masing akan tetapi
mereka sering berkeliling dan mengamati temannya yang lain. Selain itu
anak yang memiliki badan yang sepadan memiliki kegiatan yang berbeda-
beda, ada yang sedang menulis, ada yang sedang mengajar temannya dan
ada pula yang sedang mengobrol sambil mengerjakan tugas.
Simpulan Penelitian
Peneliti dapat menemukan banyak aktivitas siswa diantaranya dalam
proses pembelajaran terlihat bahwa aktivitas siswa sangat beragam. Mulai
dari bagaimana cara mereka bergerak, bergaul, bertindak dan berinteraksi
dengan teman disekitarnya. Kemudian dari keterampilan guru dalam
mengembangkan kreativitas anak sehingga dapat menghasilkan anak yang
memiliki perkembangan fisik motorik yang mampu beradaptasi dalam
lingkungan kelas, sekolah, dan di luar sekolah. Segala kegiatan itu bersifat
positif sehingga akan mampu membentuk dan melahirkan siswa yang
memiliki kepribadian yang hebat, cerdas, terampil, cakap, kreatif, dan
berakhlak mulia.

(Berisi diskusi dan analisis tentang hasil pengamatan dan pencatatan dengan
menggunakan landasan teori/hasil-hasil penelitian terdahulu yang relevan.
Lakukan pengutipan sesuai pedoman penulisan karya ilmiah)

PSIKOSOSIAL
Selama masa kanak-kanak tengah dan akhir, kehidupan sosial dan
emosional anak-anak mengalami banyak perubahan. Mereka menglami
transformasi dalam berelasi dengan orang tua dan kawan-kawan sebaya,
dan sekolah juga memperkaya kehidupan akademik mereka. Disamping

42
itu mereka juga mengalami perkembangan yang penting dalam bidang
konsepsi-diri, penalaran moral, dan perilaku moral (John.W. Suntrock :
2019)
Dari observasi dan wawancara yang dilakukan dapat dilihat bahwa
pada fase middle childhood ini anak sudah mulai memiliki rasa percaya
diri dalam berkarya, hal tersebut terlihat bagaimana anak ketika
menunjukkan hasil gambarannya, anak juga sudah mampu memahami
emosi dengan baik, terlihat Ketika anak menjawab pertanyaan tentang
menang ataupun kalah dalam perlombaan,sang anak merespon
bahwasanya kalah itu tidak apa-apa yang penting sudah usaha. Hal
tersebut diperkuat oleh Santrock (2019) pada anak usia pertengahan
meningkatnya pemahaman bahwa dalam sebuah situasi kita dapat
mengalami lebih dari satu emosi. Anak juga sudah mampu berelasi dengan
teman sebayanya dimana anak sudah memiliki teman dekat baik disekolah
maupun dirumah. Tentang spiritual, anak sudah memiliki minat intrinsic
dalam melakukan kegiatan spiritual tidak sepenuhnya karena dorongan
dari orang tua. Berdasarkan literature Umi Latifa tentang “Aspek
Perkembangan pada Anak Sekolah Dasar: Masalah dan
Perkembangannya” bahwa Menurut Wiliam James, salah satu kelebihan

manusia sebagai makhluk adalah fitrah (perasaan dan kemampuan) untuk


mengenal Allah dan melakukan ajaran-Nya (Murphy, 1967). Dengan
kehalusan dan fitrah tadi, seseorang setidaknya pasti mengalami,
mempercayai bahkan menyakini dan menerimanya tanpa keraguan, bahwa
di luar dirinya ada suatu kekuatan yang Maha Agung yang melebihi
apapun termasuk dirinya, yang demikian itu disebut sebagai pengalaman
religi atau keagamaan.
Berikut karakteristik perkembangan Psikososial Anak Usia
Pertengahan (Middle Childhood) (JohnW.Santrock, 2019)
Karakteristik pekembangan Diri :
1. Perkembangan pemahaman diri
- Pada usia anak pertengahan anak-anak semakin mendeskripsikan diri
mereka sendiri dengan karakteristik psikologis dan sifat-sifat yang
berlawanan dengan deskripsi diri anak-anak kecil yang konkret.
- Anak-anak cenderung lebih mengenali aspek-aspek sosial dari dirinya
- Meningkatknya kecenderungan untuk melakukan perbandingan sosial

43
2. Memahami orang lain
- Anak-anak mulai memahami bahwa orang lain memiliki perspektif
- Mampu mengasumsikan perspektif orang lain serta memahami pikiran
dan perasaannya.
- Meningktanya kecenderungan anak-anak terhadap pemahaman dan
bersimpati kepada orang lain
- Anak-anak lebih merasa skeptic terhadap klaim anak lain.
3. Penghargaan diri dan konsep diri
- Penghargaan diri merujuk pada evaluasi global mengenai diri,
penghargaan diri disebut juga martabat-diri (self worth) atau citra-diri
(self-image)
- Konsep diri merujuk pada evaluasi mengenai bidang-bidang tertentu
dari diri
4. Regulasi Diri
- Meningkatnya kapasitas diri ini dicirikan dengan usaha mengelola
perilaku, emosi, dan pikiran yang menghasilkan kompetensi sosial dan
pencapaian.
- Meningkatnya kapasitas regulasi diri terkait dengan kemajuan
perkembangan pada cortex prefrontal otak

Karakteristik perkembangan emosi


- Meningkatknya pemahaman emosi. Sebagai contoh, anak-anak
disekolah dasar memperlihatkan perkembangan kemampuan dalam
memahami emosi-emosi kompleks seperti rasa bangga dan malu.
- Meningkatkan pemahaman bahwa dalam sebuah situasi kita dapat
mengalami diri dari satu emosi
- Meingkatkan kecenderungan untuk lebih menyadari kejadian-kejadian
yang menyebabkan reaksi emosi
- Meningkatknya kemampuan untuk menekan atau mengungkakan
reaksi-reaksi emosi yang negative.
- Menggunakan strategi inisiati-diri untukmengarahkan kembali
perasaan-perasaan
- Kapasitas untuk berempati secara tulus

Karakteristik Perkembangan Moral

44
Menurut Kohlberg ada tiga level pemikiran moral :
Level 1 (prakonvensional “tidak ada internalisasi”)
- Tahap 1 moralitas heteronom
Individu mencari minat mereka sendiri namun membiarkan orang lain
melakukan hal yang sama. Apa yang benar melibatkan pertukaran
yang adil.
- Tahap 2 individualisme, tujuan, dan pertukaran individu
Anak-anak patuh karena disuruh patuh oleh orang dewasa.seseorang
berdasrkan keputusan moralnya pada ketakutan terhadap hukuman.
Level 2 (konvensional “internalisasi menengah”
- Tahap 3 ekspektasi interpersonall timbal balik relasi, dan konformitas
interpersonal. Pada tahap ini, individu menghargai kepercayaan,
kepedulian, dan loyalitas terhadap orang lain sebagai dasar dari
penilaian moral.
- Tahp 4 moralitas system social
Dalam tahap ini, penilaian moral didasarkan pada pemahaman
mengenai keteraturan social, hukum, keadilan dan tugas.
Level 3 ( pascakonvensional “internalisasi penuh”)
- Tahap 5 kontrak sosial atau kegunaan dan hak-hak individu.pada tahap
ini, individu bernalar bahwa berbagai nilai, hak dan prinsip perlu
melandasi atu melampaui hukum.
- Tahap 6 prinsip etika universal. Dalam tahap ini, seseorang
mengembangkan sebuah standa moral berdasarkan hak-hak asasi
hukum dan suara hati, seseorang bernalar bahwa suara hati hati
sebaiknya diikuti, meskipun keputusannta mungkin memiliki resiko.

Cognitive and Language Development in Middle Childhood


Middle childhood marks the beginning of a new experience for
children: formal education. In several countries, formal education begins
when children begin to think in novel and complex ways. According to
Piaget, the child has entered a new stage of cognitive development in
which their logical skills are improving. During the middle years of
childhood, both short-term and long-term memory improve.

45
Early childhood, according to Piaget, is the preoperational period
of development in which children begin to think symbolically about the
world. The school-aged child continues to develop in what Piaget termed
the concrete operational stage of cognitive development between the ages
of 7 and 11. This requires mastery of the application of reasoning in
tangible ways. The child is able to apply reasoning to address problems
related to their own direct experience, but has difficulty with hypothetical
and more abstract difficulties. The child utilizes inductive reasoning,
which is the belief that the world is a reflection of one's own experiences.
For instance, a child finds her math teacher strict, and another teacher also
strict and the third teacher also strict. Using inductive reasoning, the child
can conclude that all teachers are strict. During puberty, when children
begin to utilize deductive reasoning effectively, this way of thinking tends
to alter.
The term "concrete" refers to something that is real and can be
seen, touched, or experienced directly. The concrete operational child is
able to use logical principles to the solution of physical world difficulties.
The infant can, for instance, comprehend the concepts of cause and effect,
size, and distance.
Through our observation we were able to identify some of the characteristics of
the Concrete Operational Stage:
Classification: As children's experiences and vocabularies expand,
they construct schema and may classify objects in a variety of ways.
Classification may involve innovative ways of arranging information,
categorizing information, or forming information classes. Many
psychological theorists, notably Piaget, believe that classification has a
hierarchical structure, in which information is ordered from the most
general to the most specialized categories.
Findings: With the help of the Large Numaber cards and Stamp Game we
were able to identify this characteristics in the young respondents who
could understand and classify the numbers and cards according to its
categories.
Identity: A characteristic of concrete operational thought is the
belief that objects have an identity or qualities that do not shift regardless
of how the object is transformed. For instance, rearranging an object does

46
not alter its mass. Findings: Through my presentation with the
respondents I was able to observe this characteristic vividly as they were
able to identify that one 10 is equal to ten units.
Reversibility: In middle childhood, children also develop an
understanding of reversibility, or the idea that some altered objects can be
reverted to their former state. Water can be frozen and thawed back into a
liquid state. However, lit matchstick cannot be unburnt. Also reversible are
arithmetic operations: 7 + 2= 9 and 9 - 7 = 2. Many of these cognitive
skills are introduced into the curriculum of the school through arithmetic
puzzles and worksheets identifying reversible and irreversible scenarios.
Findings: I did a few arithmetic mental quizzes with the respondents to
find out they haven’t reached the stage to grasp this concept yet. So, I
realized most probably at the later stages of middle childhood will they
understand this.
Conservation: Concrete Practical youngsters can comprehend the
concept of reciprocity, which suggests that a change in one quality (height
or water level in this case) can be balanced by a change in another quality
(width). There is the same amount of water in each container, despite the
fact that one is taller and narrower than the other. These new cognitive
abilities enhance the child's comprehension of the physical universe. Later
comes operational or logical thought about the abstract world. Findings: I
tried to identify the conservation of numbers with the respondents. In the
Stamp Game activity, I placed a card number (25) and asked the
respondents to place the stamps accordingly. They were able to do it with
ease. Then I sparingly placed and rearranged the stamps. They could
immediately tell its still has the same value.
Decentration: Children's attention spans lengthen during middle
childhood as they grow more efficient at processing "inputs," and their
capacity to focus and concentrate their attention becomes more obvious
and reliable. Children improve their capacity to pay attention to a topic
(such as a teacher's lesson plan) for extended periods of time. Furthermore,
their capacity to inhibit or dismiss their attention's instinctive tendency to
be captivated by distractions (such as birds twittering outside the window)
improves. As a result, youngsters become more efficient learners who can
withstand and benefit from school instruction. Findings: I was able to

47
observe that they were totally engaged in the activities as they were
determined to place the number cards and stamps correctly. Even though
they encounter some errors while placing the stamps/cards, but becaused
they stayed focus they were able to detect and correct them immediately.
The concrete operational child now demonstrates how to
sequentially arrange objects along a quantitative dimension, such as length
or weight. For instance, they can sequence a succession of sticks of
varying lengths in a methodical manner, whereas younger toddlers
approach a same work haphazardly.
According to Piaget, these new cognitive capacities enhance the
child's awareness of the physical world, but they cannot yet reason
abstractly. In addition, they do not think in a scientific manner. For
instance, when asked which variables determine the length of time it takes
a pendulum to complete its arc and given weights to connect to strings in
order to conduct experiments, the majority of children under the age of 12
do biased experiments from which no conclusions can be taken (Inhelder
& Piaget, 1958).
Information Processing

- Memory capacities vary among children, and these variances influence


both their school readiness and academic performance (PreBler,
Krajewski, & Hasselhorn, 2013). During middle and late childhood,
children make progress in a variety of cognitive domains, including
working memory capacity, ability to pay attention, and memory
methods. Both brain changes and experience contribute to the
development of these skills. Findings: As I did the Language Memory
activity with the children I was able to observe that they were fully
engage in the activity and had full focus to guess the missing animal
from the order. And they guessed correctly most of the time.
- Working Memory: Working memory gets better between middle and
late childhood. Research shows that this is due to a rise in processing
speed and the ability to block out irrelevant information (de
Ribaupierre, 2002). Changes in myelination and synaptic pruning in
the brain are likely to be to responsible for faster processing and the
ability to ignore irrelevant stimuli (Kail, McBride-Chang, Ferrer, Cho,
& Shu, 2013).

48
- Children with math and reading learning challenges frequently struggle
with working memory (Alloway, 2009). They may have difficulty
following assignment instructions. Children with poor working
memory may miss steps when a task requires numerous steps because
they lose track of where they are in the process. Some studies have
also demonstrated that extensive training of working memory methods,
such as chunking, (for example, a phone number sequence of 8-7-5-1-
3-2-4 would be chunked into 875-1324) increases the working memory
capacity of children with a deficient working memory (Alloway,
Bibile, & Lau, 2013).
- Memory Strategies: Bjorklund (2005) presents a continuum in the
acquisition and application of memory strategies. Younger children
frequently lack these tactics, but their prevalence increases as they
advance through primary school. Rehearsing information you wish to
recall, visualizing and organizing information, generating rhymes, such
as I before "e" except after "c", or constructing acronyms, such as
"Vibgyor" to remember the colours of the rainbow, are examples of
memory methods.
- Knowledge Base: During middle and late childhood, children's ability
to learn and remember improves as their attention to and storage of
knowledge improves. As children attend school and learn more about
the world, they build more categories for concepts and learn more
efficient storage and retrieval procedures. One important explanation is
because they continue to have more experiences to draw on when
learning new information. In other words, their knowledge base,
knowledge in certain areas that facilitates acquiring new information,
grows (Berger, 2014).
- Metacognition: Children in their middle and late childhood have a
greater knowledge of how well they are executing a task as well as the
amount of difficulty. They can alter their study strategies to match
their demands as they become more realistic about their skills. Young
children spend as much time on an insignificant part of an issue as they
do on the major topic, however older children begin to learn to
prioritize and differentiate between what is vital and what is not. They
develop metacognition as a result. Metacognition refers to our

49
awareness of our own thinking and our ability to use this awareness to
control our own cognitive processes (Bruning, Schraw, Norby, &
Ronning, 2004).
- Critical Thinking: According to Bruning et al. (2004), there is a
controversy in American education about whether schools should teach
pupils what to think or how to think. Teaching children how to think
entails critical thinking, or a thorough assessment of beliefs, courses of
action, and evidence. The goal of critical thinking is to assess
information in order to make more informed decisions. Analyzing
arguments, clarifying information, determining the credibility of a
source, making value judgments, and deciding on an action are all
examples. Metacognition is necessary for critical thinking because it
allows us to reflect on information while we make judgments.

Language Development

- Vocabulary: One of the reasons children can categorise items in so


many different ways is because they have a vocabulary to do so. A
child's vocabulary has risen to 40,000 words by fifth grade. It grows
faster than children in their early life. However, this language
explosion varies from that of younger children because it is helped by
the ability to correlate new words with those already learned, and it is
accompanied by a more complex comprehension of the meanings of
words.
Findings: Tough coming from an Indonesian background, the
respondents were able to relate and follow the instructions in English.
Through the Montessori object box, the respondents were taught new
words in English and amazingly they were able to recall and
pronounce the words correctly with ease. They were also able to read
the card with written three- lettered English words on it.
- New Understanding: Children in the middle and later years of
childhood can also think about things in ways that are not so literal.
For example, if a young child hears the word "Birthday," the first thing
that comes to mind is probably "presents" or another word that shows
what you do at Birthdays. The older child, on the other hand, is more
likely to say "party" when asked about Birthdays. The fact that older

50
children enjoy telling jokes shows that their vocabulary has grown up.
They might use wordplay jokes like "knock-knock" jokes or jokes with
punch lines. Young children may not understand wordplay and tell
"jokes" like, "My mum has flown to KL!" Isn't that funny? "
Findings: At this stage, since they are just 7 years old the repsondents
were able to relate ato the simplest form of vocabulary when asked in
accordance to the object. For example, I showed them the cat they
immediately refered to it as “Meow”.
- Grammatical and Flexibility: Older children can acquire new grammar
rules with greater ease. While younger children may be hesitant to stop
stating "this is my one," older children will rapidly learn this, as well
as other grammar standards.

Visual-Spatial Intelligence (also referred to as "art savvy" or


"picture savvy") We frequently use the expressions "A picture is worth a
thousand words" and "Seeing is believing." This intelligence encompasses
not only the knowledge we gain from the shapes, images, patterns,
designs, and textures we see with our external eyes, but also the mental
images we are able to conjure.
According to Howard Gardner, If you have a high level of this
intelligence, you tend to think visually. You are probably acutely aware of
the objects, shapes, colors, textures, and patterns in your surroundings.
You probably enjoy drawing, painting, creating unique designs and
patterns, as well as working with clay, colored markers, construction
paper, and fabric. Many individuals with high visual-spatial intelligence
enjoy putting together jigsaw puzzles, reading maps, and navigating
unfamiliar environments. You likely have strong opinions about the colors
and textures that go well together, as well as how a room should be
decorated. And you are likely exceptional at tasks requiring "seeing with
the mind's eyes," such as visualizing, pretending, imagining, and creating
mental images. Findings: at this age of 7, the children were able to draw
simple map from classroom to canteen.

51
DAFTAR PUSTAKA
Asriadila. (2015, Juni 17). kompasiana. Retrieved from
https://www.kompasiana.com:
https://www.kompasiana.com/asriadila/555a01306523bd6d7fc07284/perk
embangan-fisik-pada-masa-kanakkanak-pertengahan-dan-akhir
Jannah, M. (2015). TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN PADA USIA
KANAK-KANAK. Gender Equality: Internasional Journal of Child and
Gender Studies.
Jogjakarta, P. F. (2019). Nurkamelia. KINDERGARTEN: Journal of Islamic Early
Childhood Education.
John W.Santrock. (2019). Life Span Development
Rahajeng, U. W. (2018). Perkembangan anak middle-late Child. Lecture UB.
Umi Latifa (2017), Aspek Perkembangan pada Anak Sekolah Dasar:
Masalah dan Perkembangannya, Academica, Vol. 1 No. 2, Juli - Desember 2017,
hlm. 191

Gardner, H. E. (2011). Frames of mind: The theory of multiple intelligences.


Basic books.
Tyler, S. (2020). Cognitive Development in Middle Childhood. Human Behavior
and the Social Environment I.
Kalat, J. W. (2016). Introduction to psychology. Cengage Learning.

51
LAMPIRAN

(Berupa lembar informed consent, media/perangkat/naskah soal yang digunakan,


pedoman observasi dan wawancara yang digunakan, serta foto-foto yang memuat
proses pengambilan data (cukup 2-3 foto). Pencantuman foto harus seizin yang
bersangkutan ataupun orang tua, oleh karena itu halaman ini wajib disertai tanda
tangan yang bersangkutan ataupun orang tua sebagai pemberi izin (apabila
subjeknya usia anak).

52
53

Anda mungkin juga menyukai