Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN GERONTIK

DENGAN GANGGUAN MOBILITAS


STASE KEPERAWATAN GERONTIK
PROFESI NERS

Di susun oleh :

AULIA ETIKA SAKTI


NPM : 2022207209556

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU LAMPUNG


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
FAKULTAS KESEHATAN
Th. 2023
LAPORAN PENDAHULUAN GERONTIK
GANGGUAN MOBILITAS FISIK DENGAN STROKE

A. KONSEP DASAR LANSIA


1. DEFINISI LANSIA
Lanjut usia (lansia) adalah populasi manusia yang telah mencapai usia 65
tahun (Touhy & Jett, 2014). Hal ini serupa dengan yang diemukakan oleh para ahli
gerontology yang mengatakan bahwa seseorang dapat dikatakan lansia apabila telah
mencapai usia 65 tahun (Miller, 2012). Lansia sendiri terbagi dalam beberapa
tingkatan yaitu lansia muda dengan rentang usia 65-74 tahun, lansia pertengahan
dengan rentang usia 75-84 tahun, lansia sangat tua dengan rentang usia 85 tahun ke
atas (DeLaune & Ladner, 2002; Mauk, 2006).
Menurut undang-undang No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia
di Indonesia menyatakan bahwa yang dimaksud dengan lansia adalah penduduk yang
telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Sehingga setiap penduduk Indonesia yang telah
berusia 60 tahun atau lebih telah masuk dalam kategori lansia. Lansia di Indonesia
diklasifikasikan menjadi (1) kelompok usia prasenilis yaitu berusia 45-59 tahun (2)
kelompok usia lanjut yaitu berusia 60 tahun ke atas (3) kelompok usia risiko tinggi
yaitu berusia 70 tahun ke atas ataupun berusia 60 tahun ke atas dengan masalah
kesehatan (Departemen Kesehatan RI, 2009).

2. PROSES MENUA
Proses menua adalah peristiwa yang akan terjadi pada laki-laki dan
perempuan, baik muda maupun tua (Miller,2012). Hal tersebut dikarenakan proses
menua merupakan bagian dari peristiwa siklus kehidupan manusia. Siklus kehidupan
manusia dimulai dari janin dan berakhir pada tahapan lanjut usia dan kematian. Lanjut
usia merupakan tahap akhir perkembangan manusia. Sehingga lansia adalah manusia
dewasa yang telah mengalami proses menua tahap akhir.

3. KLASIFIKASI
Klasifikasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia.
a. Pralansia (prasenilis) yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.
b. Lansia yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
c. Lansia Resiko Tinggi yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/seseorang
yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan (Depkes RI, 2003).
d. Lansia Potensial yaitu lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau
kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa (Depkes RI, 2003).
e. Lansia Tidak Potensial yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga
hidupnya bergantung pada bantuan orang lain (Depkes RI, 2003).

4. KARAKTERISTIK
menurut Keliat (1999) dan Maryam (2008), lansia memiliki karakteristik sebagai
berikut:
a. Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan Pasal 1 Ayat (2) UU No. 13 tentang
kesehatan).
b. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari
kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaftif hingga
kondisi maladaptif.
c. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi (Maryam, 2008)

5. TIPE LANSIA
Di zaman sekarang (zaman pembangunan), banyak ditemukan bermacam-macam tipe
usia lanjut. Yang menonjol antara lain:
a. Tipe arif bijaksana.
Lanjut usia ini kaya dengan hikmah pengalaman, menyesuaikan diri dengan
perubahan zaman, mempunyai diri dengan perubahan zaman, mempunyai
kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan, memenuhi
undangan, dan menjadi panutan.
b. Tipe mandiri
Lanjut usia ini senang mengganti kegiatan yang hilang dengan kegiatan baru,
selektif dalam mencari pekerjaan dan teman pergaulan, serta memenuhi undangan.
c. Tipe tidak puas
Lanjut usia yang selalu mengalami konflik lahir batin, menentang proses penuaan,
yang menyebabkan kehilangan kecantikan, kehilangan daya tarik jasmani,
kehilangan kekuasaan, status, teman yang disayangi, pemarah, tidak sabar, mudah
tersinggung, menuntut, sulit dilayani dan pengkritik.
d. Tipe pasrah
Lanjut usia yang selalu menerima dan menunggu nasib baik, mempunyai konsep
habis (“habis gelap datang terang”), mengikuti kegiatan beribadat, ringan kaki,
pekerjaan apa saja dilakukan.
e. Tipe bingung
Lansia yang kagetan, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, merasa minder,
menyesal, pasif, acuh tak acuh (Nugroho, 2008).

6. TUGAS PERKEMBANGAN LANSIA


Menurut Duvall dalam Wong (2008) tugas perkembangan lansia meliputi:
a. mengalihkan peran bekerja dengan masa senggang dan persiapan pensiun atau
pensiun penuh
b. memelihara fungsi pasangan dan fungsi individu serta beradaptasi dengan proses
penuaan,
c. mempersiapkan diri untuk menghadapi proses kematian dan kehilangan pasangan
hidup dan/atau saudara kandung maupun teman sebaya. Sedangkan menurut
Erickson tugas perkembangan pada masa lansia adalah integritas ego (Stolte,
2003).

Menerima apa yang telah dilakukan seseorang dengan bijak tanpa memperhatikan
rasa sakit dan proses yang terjadi dalam perjalanannya menjadi bagian dari tugas ini.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tugas perkembangan lansia berinti pada adaptasi
dan penyesuaian terhadap perubahan yang terjadi pada lansia baik dari fisik,
psikologis, dan sosial.

B. KONSEP DASAR GANGGUAN MOBILITAS FISIK

1. Pengertian Mobilisasi
Mobilisasi merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak bebas, mudah, teratur,
dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat. Kehilangan
kemampuan untuk bergerak menyebabkan ketergantungan dan ini membutuhkan
tindakan keperawatan (Ambarwati, 2014). Menurut Hidayat, (2009) Mobilisasi atau
mobilitas merupakan kemampuan individu untuk bergerak secara bebas, mudah, dan
teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna mempertahankan
kesehatannya.
2. Jenis Mobilitas
Menurut Hidayat (2009), ada 2 jenis mobilitas yaitu :
a. Mobilitas Penuh
Merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara penuh dan bebas sehingga
dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan peran sehari – hari. Mobilitas
penuh ini merupakan fungsi saraf motoric volunter dan sensorik untuk dapat
mengontrol seluruh area tubuh seseorang.
b. Mobilitas sebagian
Merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan jelas dan tidak
mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan
sensorik pada area tubuhnya. Hal ini dapat dijumpai pada kasus cedera atau patah
tulang dengan pemasangan traksi. Pasien para plegi dapat mengalami mobilitas
sebagian pada ekstremitas bawah karena kehilangan kontrol motorik dan sensorik.
Mobilitas sebagian ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu :

a) Mobilitas sebagian temporer


Merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya
sementara. Hal tersebut dapat disebabkan oleh trauma reversibel pada sistem
muskuloskletal, contohnya adalah adanya sendi dan tulang.
b) Mobilitas sebagian permanen
Merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya
menetap. Hal tersebut disebabkan oleh rusaknya sistem saraf yang reversibel,
contohnya terjadinya, paraplegi karena disfungsi jaringan seperti Asam Urat,
cedera tulang belakang, poliomielitis karena terganggunya sistem saraf motorik
dan sensorik.

3. Tujuan Mobilisasi
Menurut Ambarwati, 2014 mobilisasi diperlukan untuk meningkatkan kemandirian
diri, meningkatkan kesehatan, memperlambat proses penyakit khususnya penyakit
degeneratif, dan untuk aktualisasi diri (harga diri dan citra tubuh).

4. Faktor Yang Mempengaruhi Mobilitas


Menurut Hidayat (2009), mobilitas seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya :
a. Gaya Hidup
Perubahan gaya hidup dapat memengaruhi kemampuan mobilitas seseorang
karena gaya hidup berdampak pada perilaku atau kebiasaan sehari – hari.
Hal ini terjadi karena adanya perubahan gaya hidup terutama orang muda
perkotaan modern, seperti mengkonsumsi makanan siap saji (fast food) yang
mengandung kadar lemak tinggi, kebiasaan merokok, minuman beralkohol, kerja
berlebihan, kurang berolahraga dan stres (Junaidi, 2011).

b. Proses penyakit / cedera


Proses penyakit dapat memengaruhi kemampuan mobilitas karena dapat
memengaruhi fungsi sistem tubuh.
c. Kebudayaan
Kemampuan melakukan mobilitas dapat juga dipengaruhi kebudayaan. Sebagai
contoh, orang yang memiliki budaya sering berjalan jauh memiliki kemampuan
mobilitas yang kuat, sebaliknya ada orang yang mengalami gangguan mobilitas
(sakit) karena adat dan budaya tertentu dilarang untuk beraktivitas.
d. Tingkat energy
Energi adalah sumber untuk melakukan mobilitas. Agar seseorang dapat
melakukan mobilitas dengan baik, dibutuhkan energi yang cukup.
e. Usia dan Status Perkembangan
Terdapat perbedaan kemampuan mobilitas pada tingkat usia yang berbeda. Hal ini
dikarenakan kemampuan atau kematangan fungsi alat gerak sejalan dengan
perkembangan usia.
Semakin bertambahnya usia, semakin besar pula risiko terjadinya stroke. Hal ini
terkait dengan proses degenerasi (penuaan) yang terjadi secara alamiah. Pada
orang orang-orang lanjut usia, pembuluh darah lebih kaku karena banyak
penimbunan plak. Penimbunan plak yang berlebih akan mengakibatkan
berkurangnya aliran darah ke tubuh termasuk otak (Ambarwati, 2014).
Sedangkan menurut Vaughans, 2011 faktor – faktor yang memengaruhi mobilitas yaitu :
a. Tahap pertumbuhan
b. Jenis pekerjaan
c. Lingkungan rumah
d. Status kesehatan secara keseluruhan (gizi, olah raga, status mental)
e. Intervensi terapeutik
f. Luka traumatis
g. Penyakit atau cacat (muskuloskletal, neurologis, kardiovaskuler,
pernapasan).
5. Penyebab Hambatan Mobilitas Fisik
Keletihan dan kelemahan menjadi penyebab paling umum yang sering terjadi dan
menjadi keluhan bagi lanjut usia. Sekitar 43% lanjut usia telah diidentifikasi memiliki
gaya hidup kurang gerak yang turut berperan terhadap intoleransi akivitas fisik dan
penyakit, sekitar 50% penurunan fungsional pada lanjut usia dikaitkan dengan
kejadian penyakit sehingga mengakibatkan mereka menjadi ketergantungan kepada
orang lain (Stanley dan Beare, 2007). Berdasarkan Nursing Outcome Classification
and Nursing Intervension Classification (NOC & NIC) 2015 adalah pasien mengalami
kesulitan dalam membolak-balik posisi, keterbatasan dalam kemampuan melakukan
keterampilan motorik dan keterbatasan rentang pergerakan sendi. Menurut Mubarak
(2014) kehilangan kemampuan untuk bergerak menyebabkan ketergantungan dan ini
membutuhkan tindakan keperawatan

6. Faktor -Faktor Yang Berpengaruh Pada Mobilitas Fisik


Berbagai penyebab dari imobilitasi fisik dapat dihubungkan dengan lingkungan
internal dan eksternal (Stanley dan Beare, 2007)
1) Faktor Internal
Faktor internal yang dapat menyebabkan imobilitas atau gangguan aktivitas
adalah:
a) Penurunan fungsi muskuloskeletal: Otot (adanya atrofi, distrofi, atau cedera),
tulang (adanya infeksi, fraktur, tumor, osteoporosis, atau osteomalaisa, Sendi
(adanya artritis dan tumor)
b) Perubahan fungsi neurologis: misalnya adanya infeksi atau ensefalitis, tumor,
trauma, obat-obatan, penyakit vaskuler seperti stroke, penyakitdemielinasi
seperti sklerosis multiple, penyakit degeneratif, terpajan produk racun,
gangguan metabolik atau gangguan nutrisi.
c) Nyeri: dengan penyebab yang multiple dan bervariasi seperti penyakit kronis
dan trauma.
d) Defisit perseptual: berkurangnya kemampuan kognitif
e) Jatuh
f) Perubahan fungsi social
g) Aspek psikologii
2) Faktor Eksternal
Banyak faktor eksternal yang mengubah mobilitas pada lansia. Faktor tersebut
adalah:
a) Program terapeutik: Program penanganan medis memiliki pengaruh yang
kuat terhadap kualitas dan kuantitas pergerakan pasien. Misalnya pada
program pembatasan yang meliputi faktor-faktor mekanis dan farmakologis,
tirah baring, dan restrain.
1) Faktor-faktor mekanis dapat mencegah atau pergerakan tubuh atau
bagian tubuh dengan penggunaan peralatan eksternal (misalnya gips dan
traksi) atau alat-alat (misalnya yang dihubungkan dengan pemberian
cairan intravena, pengisapan gaster, kateter urine, danpemberian
oksigen).
2) Agens farmakologik seperti sedatif, analgesik, transquilizer, dan anastesi
yang digunakan untuk mengubah tingkat kesadaran pasien dapat
mengurangi pergerakan atau menghilangkannya secara keseluruhan.
3) Tirah baring dapat dianjurkan atau merupakan akibat dari penanganan
penyakit cedera. Sebagai intervensi yang dianjurkan, istirahat dapat
menurunkan kebutuhan metabolik, kebutuhan oksigen, dan beban kerja
jantung. Selain itu, istirahat dapat memberikan kesempatan pada sistem
muskuloskeletal untuk relaksasi menghilangkan nyeri,mencegah iritasi
yang berlebihan dari jaringan yang cedera, dan meminimalkan efek
gravitasi. Tirah baring dapat juga merupakanakibat dari faktor-faktor
fisiologis atau psikologis.
4) Restrain fisik dan pengamanan tempat tidur biasanya digunakan pada
lansia yang diinstitusionalisasi. Alat-alat ini turut berperan secara
langsung terhadap imobilitas dengan membatasi pergerakan ditempat
tidur dan secara tidak langsung terhadap peningkatan resiko cedera ketika
seseorang berusaha untuk memperoleh kebebasan dan mobilitasnya.

b) Karakteristik tempat tinggal: tingkat mobilitas dan pola perilaku dari


kelompok teman sebaya klien dapat mempengaruhi pola mobilitas dan
perilakunya. Dalam suatu studi tentang status mobilitas pada penghuni panti
jompo, mereka yang dapat berjalan dianjurkan untuk menggunakan kursi
roda karena anggapan para staf untuk penghuni yang pasif.
c) karakteristik staf: Karakteristik dari staf keperawatan yang mempengaruhi
pola mobilitas adalah pengetahuan, komitmen, dan jumlah. Pengetahuan dan
pemahaman tentang konsekuensi fisiologis dari imobilitas dan tindakan-
tindakan keperawatan untuk mencegah atau melawan pengaruh imobilitas
penting untuk mengimplementasikan perawatan untuk memaksimalkan
mobilitas. Jumlah anggota staf yang adekuat dengan suatu komitmen
untukmenolong lansia mempertahankan kemandiriannya harus tersedia untuk
mencegah komplikasi imobilitas.
d) Sistem pemberian asuhan keperawatan: jenis sitem pemberian asuhan
keperawatan yang digunakan dalam institusi dapat mempengaruhi status
mobilitas penghuninya. Alokasi praktik fungsional atau tugas telah
menunjukkan dapat meningkatkan ketergantungan dan komplikasi dari
imobilitas.
e) Hambatan – hambatan: Hambatan fisik dan arsitektur dapat mengganggu
mobilitas. Hambatan fisik termasuk kurangnya alat bantu yang tersediauntuk
mobilitas, pengetahuan dalam menggunakan alat bantu mobilitas
tidak adekuat, lantai yang licin, dan tidak adekuatnya sandaran untuk kaki.
Sering kali, rancangan arsitektur rumah sakit atau panti jompo tidak
memfasilitasi atau memotivasi klien untuk aktif dan tetap dapat bergerak.
f) Kebijakan - kebijakan institusional: faktor lingkungan lain yang penting
untuk lansia adalah kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur institusi.
Praktik pengaturan yang formal dan informal ini mengendalikan
keseimbangan antara perintah institusional dan kebebasan individu. Semakin
ketat kebijakan, semakin besar efeknya pada mobilitas. Menurut NANDA
(2015) kriteria hasil yang diharapkan setelah melakukan tindakan
keperawatan untuk diagnosa mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan
kekuatan otot adalah klien meningkat dalam aktivitas fisik, mengerti tujuan
dari peningkatan mobilisasi, memverbalisasikan perasaan dalam
meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah, memperagakan
penggunaan alat bantu untuk mobilisasi (walker).
7. Jenis Imobilitas
Menurut Hidayat (2009), ada beberapa jenis imobilitas diantaranya, yaitu :
1. Imobilitas fisik
Merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik dengan tujuan
mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan, seperti pada pasien
dengan hemiplegia yang tidak mampu mempertahankan tekanan didaerah
paralisis sehingga tidak dapat mengubah posisi tubuhnya untukmengurangi
tekanan.
2. Imobilitas intelektual
Merupakan keadaan ketika seseorang mengalami keterbatasan daya pikir,
seperti pada pasien yang mengalami kerusakan otak akibat suatu penyakit
3. Imobilitas emosional
Keadaan ketika seseorang mengalami pembatasan secara emosional karena
adanya perubahan secara tiba – tiba dalam menyesuaikan diri. Sebagai contoh,
keadaan stres berat dapat disebabkan karena bedah amputasi ketika seseorang
mengalami kehilangan bagian anggota tubuh atau kehilangan sesuatu yang
paling dicintai
4. Imobilitas social
Keadaan individu yang mengalami hambatan dalam melakukan interaksi
sosial karena keadaan penyakitnya sehingga dapat memengaruhi perannya
dalam kehidupan sosial.

2. Penatalaksanaan Gangguan Mobilisasi


Hal ini harus benar-benar dijelaskan kepada penderita sehingga tahu bahwa
pengobatan yang diberikan bertujuan mengurangi keluhan/ gejala memperlambat
progresifvtas penyakit.
Tujuan utama dari program penatalaksanaan/ perawatan adalah sebagai berikut.
- Untuk menghilangkan nyeri dan peradangan
- Untuk mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan maksimal dari penderita 24 -
Untuk mencegah dan atau memperbaiki deformitas yang terjadi pada sendi.
- Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung pada orang lain.
Cara penatalaksanaan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut di atas yaitu :
a. Pendidikan
Langkah pertama dari program penatalaksanaan ini adalah memberikan
pendidikan yang cukup tentang penyakit kepada penderita, keluarganya dan siapa
saja yang berhubungan dengan penderita. Pendidikan yang diberikan meliputi
pengertian, patofisiologi (perjalanan penyakit), penyebab dan perkiraan perjalanan
(prognosis) penyakit ini, semua komponen program penatalaksanaan,
sumbersumber bantuan untuk mengatasi penyakit ini dan metode efektif tentang
penatalaksanaan yang diberikan oleh tim kesehatan. Proses pendidikan ini harus
dilakukan secara terus-menerus.
b. Istirahat
Merupakan hal penting karena Stroke biasanya disertai rasa lelah yang hebat.
Walaupun rasa lelah tersebut dapat saja timbul setiap hari, tetapi ada masa dimana
penderita merasa lebih baik atau lebih berat. Penderita harus membagi waktu
seharinya menjadi beberapa kali waktu beraktivitas yang diikuti oleh masa
istirahat.
c. Latihan Fisik dan Termoterapi
Latihan spesifik dapat bermanfaat dalam mempertahankan fungsi sendi. Latihan
ini mencakup gerakan aktif dan pasif pada semua sendi yang sakit, sedikitnya dua
kali sehari. Obat untuk menghilangkan nyeri perlu diberikan sebelum memulai
latihan. Kompres panas pada sendi yang sakit dan bengkak mungkin dapat
mengurangi nyeri. Latihan dan termoterapi ini paling baik diatur oleh pekerja
kesehatan yang sudah mendapatkan latihan khusus, seperti ahli terapi fisik atau
terapi kerja. Latihan yang berlebihan dapat merusak struktur penunjang sendi
yang memang sudah lemah oleh adanya penyakit.
d. Obat-obatan
Pemberian obat adalah bagian yang penting dari seluruh program penatalaksanaan
penyakit. Obat-obatan yang dipakai untuk mengurangi nyeri, meredakan
peradangan dan untuk mencoba mengubah perjalanan penyakit.
C. HUBUNGAN STROKE NON HEMORAGIK DENGAN GANGGUAN
MOBILITAS FISIK
Stroke iskemik merupakan suatu penyakit yang diawali dengan terjadinya serangkaian
perubahan dalam otak yang terserang yang apabila tidak ditangani dengan segera berakhir
dengan kematian batang otak tersebut. Stroke iskemik terjadi bila suplai darah ke otak
terhambat atau terhenti. Walaupun berat otak hanya sekitar 1400 gram, namun menuntut
suplai darah yang relatif sangat besar yaitu sekitar 20% dari seluruh curah jantung.
Kegagalan dalam memasok darah akan menyebabkan gangguan fungsi bagian otak atau
yang terserang atau terjadi kematian sel saraf (nekrosis) dan kejadian inilah yang lazim
disebut stroke (Junaidi, 2011).

Menurut Bararah, 2013 stroke iskemik merupakan aliran darah ke otak terhenti karene
arterosklerotik atau bekuan darah yang menyumbat pembuluh darah.

Menurut Widagdo (2008), proses terjadinya hambatan mobilitas fisik pada pasien stroke
non hemoragik adalah sebagai berikut : Stroke non hemoragic disebabkan oleh thrombosis
akibat plak aterosklerosis yang memberi vakularisasi pada otak atau oleh emboli dari
pembuluh darah diluar otak yang tersangkut diarteri otak yang secara perlahan akan
memperbesar ukuran plak sehingga terbentuk thrombus.

Trhombus dan emboli didalam darah akan terlepas dan terbawa hingga terperangkap
dalam pembuluh darah distal, lalu menyebabkan pengurangan aliran darah yang menuju
ke otak sehingga sel otak akan mengalami kekurangan nutrisi dan juga oksigen, sel otak
yang mengalami kekurangan oksigen dan glukosa akan menyebabkan asidosis lalu
asidosis akan mengakibatkan natrium, klorida, dan air masuk kedalam sel otak dan kalium
meninggalkan sel otak sehingga terjadi edema setempat. Kemudian kalsium akan masuk
dan memicu serangkaian radikal bebas sehingga terjadi perusakan membran sel lalu
mengkerut dan tubuh mengalami defisit neurologis lalu mati.

Ketidakefektifan perfusi jaringan yang disebabkan oleh thrombus dan emboli akan
menyebabkan iskemia pada jaringan yang tidak dialiri oleh darah, jika hal ini berlanjut
terus – menerus maka jaringan tersebut akan mengalami infark. Dan kemudian akan
mengganggu sistem persyarafan yang ada ditubuh seperti : penurunan kontrol volunter
yang akan menyebabkan hemiplagia atau hemiparise sehingga tubuh akan mengalami
hambatan mobilitas, karena hambatan mobilitas fisik, klien hanya tidur ditempat tidur, dan
jika tidak dilakukan pengubahan posisi, lama kelamaan klien akan mengalami resiko
kerusakan integritas kulit, resiko jatuh juga bisa terjadi karena pasien mengalami
hambatan mobiltas fisik. Menurut Wilkinson (2013), resiko jatuh merupakan peningkatan
kerentanan terhadap jatuh yang dapat menyebabkan bahaya fisik, defisit perawatan diri
karena tidak bisa menggerakkan tubuh untuk merawat diri sendiri. Defisit neurologis juga
akan menyebabkan gangguan pencernaan sehingga mengalami disfungsi kandung kemih
dan saluran pencernaan lalu akan mengalami gangguan eliminasi. Karena ada penurunan
konrol volunter maka kemampuan batuk juga akan berkurang dan mengakibatkan
penumukan sekret sehingga pasien akan mengalami gangguan jalan napas dan pasien
kemungkinan tidak mampu menggerakkan otot –otot untuk bicara sehingga pasien
mengalami gangguan komunikasi verbal berupa disfungsi bahasa dan komunikasi

D. Konsep Asuhan Keperawatan Gerontik Dengan Gangguan Mobilitas Fisik Pada


Pasien Stroke Non Haemoragi

1. Pengkajian

Pengkajianadalahtahapawaldariproseskeperawatandanmerupakanpengumpulan

data yang sistematis dari berbagai sumber untuk mengevaluasi

danmengidentifikasi status kesehatan klien. Tahap pengkajian merupakan dasar

utamadalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu

(klien).Olehkarenaitu,pengkajianyangbenar,akurat,lengkap,dansesuaidengankeny

ataan sangat penting dalam merumuskan suatu diagnosa keperawatan

daridalammemberikanasuhankeperawatansesuaidenganrsponindividu,sebagaima

na yang telah ditentukan dalam standar praktik keperawatan (Sudoyo etal.,2010).

Halyangperlu dikaji,yaitu:

a. Informasibiografi
Informasi biografi meliputi tanggal lahir, alamat, jenis kelamin, usia,
statuspekerjaan,statusperkawinan,danagama.Usia
pasiendapatmenunjukkantahapperkembanganbaikpasiensecarafisikmaupunpsik
ologis.Jeniskelamindanpekerjaanperludikajiuntukmengetahuihubungandanpen
garuhnyaterhadapterjadinyamasalahataupenyakit,dantingkatpendidikandapatbe
rpengaruhterhadappengetahuanklienmasalahataupenyakitnya
b. Keluhanutama
Pengkajiananamnesiskeluhanutamadidapatdenganmenanyakantentangganggua
nterpentingyangdirasakanpasien.Setiapkeluhanutamaharus dinyatakansedetail-
detailnyakepadapasiendansemuanyadituliskanpadariwayatpenyakitsekarang.Pa
daumumnya,beberapahalyangharusdiungkapkanpadasetiapgejalaadalahlamati
mbulnya,lokasiperjalanannya.Pasiendimintauntukmenjelaskankeluhan-
keluhannyadarisegalaawal sampai sekarang
c. Riwayatkesehatandahulu
Perawatmenanyakantentangpenyakit-
penyakityangpernahdialamisebelumnya.Hal-halyangperlu dikaji meliputi:
1) Pengobatanyanglalu
Ada beberapa obat yang diminum oleh pasien pada masa lalu yang
masihrelevan,sepertipemakaianobatkortikosteroid.Catatadanyaefeksampin
gyangterjadi dimasalalu.
2) Riwayatkeluarga
Perawat menanyakan tentang penyakit yang pernah dialami oleh
keluarga.Haliniditanyakan karenabanyakpenyakit menurun
dalamkeluarga.
Setiap pengkajian riwayat harus dapat diadaptasi sesuai kebutuhan
seorangpasien. Setiap pola merupakan suatu rangkaian perilaku yang
membantu perawatmengumpulkan,mengorganisasikan, danmemilah-milah
data(Aspiani, 2014).
Menurut(Sunaryoetal.,2015),pengkajianyangberfokuspadalansiameliputi:
a. Perubahanfisiologis
Perubahanfisiologispadalansiameliputi

1) Pemeriksaanfisik

Pemeriksaan fisik dengan pendekatan per system dimulai dari kepala ke


ujungkaki atau head to toe dapat lebih mudah dilakukan pada kondisi
klinik.Padapemeriksaanfisik diperlukan empat modalitasdasaryang
digunakanyaituinspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.Setelah
pemeriksaan fisik terdapatpemeriksaan tambahan mengenai pengukuran
tinggi badan dan berat badanuntuk mengkaji tingkat kesehatan umum
seseorang dan pengukuran tanda-tandavital (tekanan darah, suhu, respirasi,
nadi).

2) Pengkajianstatusfungsional

Pengkajianstatusfungsionalmerupakansuatupengukurankemampuanseseora
ng untuk melalukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.Indeks Katzadalah
alat yang secara luas digunakan untuk menentukan hasil tindakan
danprognosis pada lansia.Format ini menggambarkan tingkat fungsional
klien danmengukur efek tindakan yang diharapkan untuk memperbaiki
fungsi. Indekskatz ini merentang kekuatan pelaksanaan dalam 6 fungsi:
mandi, berpakaian,toileting,berpindah, kontinen, dan makan.

b. PerubahanKognitif
Kebanyakan trauma psikologis dan emosi pada masa lansia muncul
akibatkesalahankonsep karena lansia mengalami kerusakan kognitif.
Pengkajianstatuskognitif meliputi:
1) SPMSQ(shortportablementalstatusquestionnaire)
Digunakanuntukmendeteksiadanyakerusakandantingkatkerusakanintelektua
l, terdiri dari 10 hal yang menilai orientasi, memori dalam
hubungandengankemampuan perawatandiri, memorijauhdankemampuan
matematis
2) MMSE(minimentalstateexam)
Menguji aspek kognitif dari fungsi mental, orientasi, registrasi, perhatian
dankalkulasi,mengingatkembalidanbahasa.Nilaikemungkinanpalingtinggiad
alah 30, dengan nilai 21 atau kurang biasanya indikasi adanya
kerusakankognitifyangmemerlukan penanganan lebih lanjut.
3) InventarisDepresiBec
Berisi13halyangmenggambarkanberbagaigejaladansikapyangberhubungan
dengan depresi. Setiap hal direntang denganmenggunakan skala4poin untuk
menandakan intensitas gejala.
2. DiagnosaKeperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai responspasien

terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baikyang

berlangsung actual maupun potensial. Tujuan diagnosis keperawatan

adalahuntuk mengidentifikasi respons pasien individu, keluarga, komunitas,

terhadapsituasiyangberkaitan dengankesehatan(Tim PokjaSDKIDPPPPNI,2016)

Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien Stroke Non

Haemoragiyaitugangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan

kekuatan otot ditandaidengan mengeluh susah menggerakkan ekstremitas,

rentang gerakmenurun (TimPokjaSDKIDPPPPNI,2016).

Adapundiagnosayangmungkinmunculpadapasien strok ,yaitu:


a. Gangguanmobilitasfisikberhubungkelemahan tonus otot
b. Nyerikronisberhubungandengankondisimusculoskeletalkronis.
c. Gangguancitratubuhberhubungandenganperubahanfungsitubuh.
d. Defisitpengetahuanberhubungandengankurangterpaparinformasi.
e. Risikocederaberhubungandengankurangperubahanfungsipsikomotor(TimPokjaS
DKIDPPPPNI,2016)

3. IntervensiKeperawatan

Intervensi keperawatan adalah setiap tindakan berdasarkan penilaian

klinisdanpengetahuan,yangperawatlakukanuntukmeningkatkanhasilpadapasien.I

ntervensi rheumatoid arthritis secara umum adalah kaji keadaan umumpasien

meliputi nyeri, aktivitas fisik/pergerakan, persepsi terhadap penyakit

sertapengetahuanmengenaipenyakit,observasitanda-

tandavitaldanekspresinonverbalpasien.

Tujuan keperawatan yang digunakan pada diagnosa keperawatan

gangguanmobilitas fisik berdasarkan SIKI (Standar Intervensi Keperawatan

Indonesia)

danintervensikeperawatanmengacupadaSLKI(SatuanLuaranKeperawatanIndones
ia),berikutadalahtujuandanintervensikeperawatan Stroke Non Haemoragi

dengangangguan mobilitas fisik:

Tabel2
TujuandanIntervensiKeperawatanpada LansiaStroke Non Haemoragi
denganGangguan MobilitasFisikBerdasarkan SLKIdanSIKI

DiagnosaKeperawata Luaran Intervens


n i
(NIC)
(NOC)
1 2 3
Gangguanmobilitasfisikbe Setelah 1. Exercise therapy:
rhubungandengan dilakukanintervensi ambulation a.
penurunan tonus otot keperawatanselama Monitoring vital sign
5x sebelum/sesudah
kunjungan,makaMo latihan dan lihat respon
bilitasFisik pasien saat latihan b.
meningkat,dengan Kaji kemampuan
kriteriahasil:
1. Kriteria Hasil g. pasien dalam

Meningkat dalam mobilisasi c. Ajarkan

aktivitas fisik h. pasien tentang teknik

Pasien mengerti mobilisasi d. Latih

tujuan dari pasien dalam

peningkatan pemenuhan kebutuhan

mobilisasi i. Pasien ADLs secara mandiri

mampu sesuai kemampuan e.

memperagakan Dampingi dan Bantu

penggunaan alat pasien saat mobilisasi

bantuun dan bantu penuhi


kebutuhan ADLs
pasien f. Ajarkan klien
latihan ROM g.
Ajarkan pasien
bagaimana merubah
posisi dan berikan
bantuan jika di
perlukan

Sumber:(TimPokjaSDKIDPPPPNI,2016),AsuhanKeperawatanBerdasarkanDiagnosa
MedisdanSLKISIKI

4. ImplementasiKeperawataan

Implementasikeperawatanadalahfaseketikaperawatmengimplementasikaninterve

nsikeperawatan.BerdasarkanterminologyNIC,implementasiterdiriatasmelakukan

danmendokumentasikantindakanyangmerupakan tindakan keperawatan khusus

yang diperlukan untuk

melaksanakanintervensi(atauprogramkeperawatan).Perawatmelaksanakanataume

ndelegasikan tindakan keperawatan untuk intervensi yang disusun dalam

tahapperencanaandankemudianmengakhiritahapimplementasidenganmencatattin

dakan keperawatan dan respons pasien terhadap tindakan tersebut (Kozier,

Erb,Berman,&Snyder, 2010).

5. EvaluasiKeperawatan

Evaluasiadalahaspekpentingproseskeperawatankarenakesimpulanyangditarikdari

evaluasimenentukanapakahintervensikeperawatanharusdiakhiri,dilanjutkan,ataud

iubah.Evaluasiberjalankontinu,evaluasiyangdilakukan ketika atau segera setelah

mengimplementasikan program

keperawatanmemungkinkanperawatsegeramemodifikasiintervensi(Kozieret

al.,2010).

Evaluasikeperawatanterhadappasienrheumatoidarthritisdenganmasalah

gangguan mobilitas fisik diantaranya:

1. Pergerakanekstremitasmeningkat
2. Kekuatanototmeningkat
3. Nyerimenurun
4. Kakusendimenurun
5. Gerakantidakterkoordinasimenurun
6. Gerakanterbatasmenurun
7. Kelemahanfisikmenurun
DAFTAR PUSTAKA

Sylvia a price & Lorraine M Wilson. 1994. Patofisiologi Edisi 4. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC.

Persatuan Ahli Penyakit dalam Indonesia.1996.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I edisi
III. Jakarta: Balai Penerbit.

Doengoes, Marilynn E , dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.

Fakultas Kedokteran UI.2000. Kapita Selekta Kedokteran. edisi 3, Jilid I. Jakarta: Media
Aescul

Anda mungkin juga menyukai