Anda di halaman 1dari 17

“ IMAN DAN TAQWA ”

KELOMPOK 3 :
1. Rhamadani Inas S (09030582226034)
2. Zaki Tirta Ramadan (09030582226024)
3. Satryo Pangestu (09030582226008)
4. Siti Zulaika (09030582226028)
5. Syachira Amanda Dwi Putri (09030582226030)

UNIVERSITAS SRIWIJAYA
Tahun Ajaran 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah


memberikan kami karunia nikmat dan kesehatan, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini, dan terus dapat menimba ilmu di Universitas
Jambi.

Penulisan makalah ini merupakan sebuah tugas dari dosen mata kuliah
Pendidikan Agama Islam. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah
untuk menambah wawasan dan pengetahuan pada mata kuliah yang
sedang dipelajari, agar kami semua menjadi mahasiswa yang berguna
bagi agama, bangsa dan negara.

Dengan tersusunnya makalah ini kami menyadari masih banyak terdapat


kekurangan dan kelemahan, demi kesempurnaan makalah ini kami
sangat berharap perbaikan, kritik dan saran yang sifatnya membangun
apabila terdapat kesalahan.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua,


khususnya bagi saya sendiri umumnya para pembaca makalah ini.

Terima kasih, wassalamu’ alaikum.

Palembang , 25 Agustus 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

JUDUL UTAMA.................................................................................. i
KATA PENGATAR ............................................................................ ii
DAFTAR ISI ....................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 3
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 3
1.2 Rumusan Masalah. ...........................................................................3
1.3 Tujuan & Manfaat Penelitian ...................................................... 3
BAB II PEMBAHASAAN..................................................................................... 4
2.1 Pengertian Iman dan Taqwa........................................................ 4
2.2 Problematika tantangan dan resiko dalam
kehidupan modern .................................................................................. 5
2.3 Problem dalam Hal Ekonomi....................................................... 5
2.4 Problem dalam Bidang Moral ..................................................... 6
2.5 Problem dalam Bidang Agama ................................................... 7
2.6 Problem dalam Bidang Keilmuan............................................ 11
2.7 Hubungan timbal balik antara taqwa dan iman ................. 11
2.8 Iman dan Taqwa landasan mencapai kesuksesan ............ 11
BAB III PENUTUPAN ......................................................................................... 14
5.1 Kesimpulan ..........................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 19
BAB I
PENDAHULUAN

A. Implementasi Iman Dan Taqwa Dalam Kehidupan Modern


Aktualisasi taqwa adalah bagian dari sikap bertaqwa seseorang. Karena begitu
pentingnya taqwa yang harus dimiliki oleh setiap mukmin dalam kehidupan dunia ini
sehingga beberapa syariat islam yang diantaranya puasa adalah sebagai wujud
pembentukan diri seorang muslim supaya menjadi orang yang bertaqwa, dan lebih
sering lagi setiap khatib pada hari jum’at atau shalat hari raya selalu menganjurkan
jamaah untuk selalu bertaqwa. Begitu seringnya sosialisasi taqwa dalam kehidupan
beragama membuktikan bahwa taqwa adalah hasil utama yang diharapkan dari tujuan
hidup manusia (ibadah).
Taqwa adalah satu hal yang sangat penting dan harus dimiliki setiap muslim.
Signifikansi taqwa bagi umat islam diantaranya adalah sebagai spesifikasi pembeda
dengan umat lain bahkan dengan jin dan hewan, karena taqwa adalah refleksi iman
seorang muslim. Seorang muslim yang beriman tidak ubahnya seperti binatang, jin
dan iblis jika tidak mangimplementasikan keimanannya dengan sikap taqwa, karena
binatang, jin dan iblis mereka semuanya dalam arti sederhana beriman kepada Allah
yang menciptakannya, karena arti iman itu sendiri secara sederhana adalah
“percaya”, maka taqwa adalah satu-satunya sikap pembeda antara manusia dengan
makhluk lainnya. Seorang muslim yang beriman dan sudah mengucapkan dua kalimat
syahadat akan tetapi tidak merealisasikan keimanannya dengan bertaqwa dalam arti
menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya, dan dia juga
tidak mau terikat dengan segala aturan agamanya dikarenakan kesibukannya atau
asumsi pribadinya yang mengaggap eksistensi syariat agama sebagai pembatasan
berkehendak yang itu adalah hak asasi manusia, kendatipun dia beragama akan
tetapi agamanya itu hanya sebagai identitas pelengkap dalam kehidupan sosialnya,
maka orang semacam ini tidak sama dengan binatang akan tetapi kedudukannya lebih
rendah dari binatang, karena manusia dibekali akal yang dengan akal tersebut
manusia dapat melakukan analisis hidup, sehingga pada akhirnya menjadikan taqwa
sebagai wujud implementasi dari keimanannya.
Taqwa adalah sikap abstrak yang tertanam dalam hati setiap muslim, yang
aplikasinya berhubungan dengan syariat agama dan kehidupan sosial. Seorang
muslim yang bertaqwa pasti selalu berusaha melaksanakan perintah Tuhannya dan
menjauhi segala laranganNya dalam kehidupan ini. Yang menjadi permasalahan
sekarang adalah bahwa umat islam berada dalam kehidupan modern yang serba
mudah, serba bisa bahkan cenderung serba boleh. Setiap detik dalam kehidupan
umat islam selalu berhadapan dengan hal-hal yang dilarang agamanya akan tetapi
sangat menarik naluri kemanusiaanya, ditambah lagi kondisi religius yang kurang
mendukung. Keadaan seperti ini sangat berbeda dengan kondisi umat islam terdahulu
yang kental dalam kehidupan beragama dan situasi zaman pada waktu itu yang cukup
mendukung kualitas iman seseorang. Olah karenanya dirasa perlu mewujudkan satu
konsep khusus mengenai pelatihan individu muslim menuju sikap taqwa sebagai
tongkat penuntun yang dapat digunakan (dipahami) muslim siapapun.
Karena realitas membuktikan bahwa sosialisasi taqwa sekarang, baik yang
berbentuk syariat seperti puasa dan lain-lain atau bentuk normatif seperti himbauan
khatib dan lain-lain terlihat kurang mengena, ini dikarenakan beberapa faktor,
diantaranya yang pertama muslim yang bersangkutan belum paham betul makna dari
taqwa itu sendiri, sehingga membuatnya enggan untuk memulai, dan yang kedua
ketidaktahuannya tentang bagaimana, darimana dan kapan dia harus mulai merilis
sikap taqwa, kemudian yang ketiga kondisi sosial dimana dia hidup tidak mendukung
dirinya dalam membangun sikap taqwa, seperti saat sekarang kehidupan yang serba
bisa dan cenderung serba boleh. Oleh karenanya setiap individu muslim harus paham
pos – pos alternatif yang harus dilaluinya, diantaranya yang paling awal dan utama
adalah gadhul bashar (memalingkan pandangan), karena pandangan (dalam arti mata
dan telinga) adalah awal dari segala tindakan, penglihatan atau pendengaran yang
ditangkap oleh panca indera kemudian diteruskan ke otak lalu direfleksikan oleh
anggota tubuh dan akhirnya berimbas ke hati sebagai tempat bersemayam taqwa, jika
penglihatan atau pendengaran tersebut bersifat negatif dalam arti sesuatu yang
dilarang agama maka akan membuat hati menjadi kotor, jika hati sudah kotor maka
pikiran (akal) juga ikut kotor, dan ini berakibat pada aktualisasi kehidupan nyata, dan
jika prilaku, pikiran dan hati sudah kotor tentu akan sulit mencapai sikap taqwa. Oleh
karenanya dalam situasi yang serba bisa dan sangat plural ini dirasa perlu menjaga
pandangan (dalam arti mata dan telinga) dari hal – hal yang dilarang agama sebagai
cara awal dan utama dalam mendidik diri menjadi muslim yang bertaqwa. Menjaga
mata, telinga, pikiran, hati dan perbuatan dari hal-hal yang dilarang agama,
menjadikan seorang muslim memiliki kesempatan besar dalam memperoleh taqwa.
Karena taqwa adalah sebaik–baik bekal yang harus kita peroleh dalam
mengarungi kehidupan dunia yang fana dan pasti hancur ini, untuk dibawa kepada
kehidupan akhirat yang kekal dan pasti adanya. Adanya kematian sebagai sesuatu
yang pasti dan tidak dapat dikira-kirakan serta adanya kehidupan setelah kematian
menjadikan taqwa sebagai obyek vital yang harus digapai dalam kehidupan manusia
yang sangat singkat ini. Memulai untuk bertaqwa adalah dengan mulai melakukan hal-
hal yang terkecil seperti menjaga pandangan, serta melatih diri untuk terbiasa
menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya, karena arti taqwa itu
sendiri sebagaimana dikatakan oleh Imam Jalaluddin Al-Mahally dalam tafsirnya
bahwa arti taqwa adalah “imtitsalu awamrillahi wajtinabinnawahih”, menjalankan
segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Iman dan Taqwa?
2. Bagaimana Problematika tantangan dan resiko dalam kehidupan modern?
3. Hubungan timbal balik antara Taqwa dan Iman ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan


Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
makalahagama islam dan menjawab pertanyaan yang ada pada rumusan

pengetahuan penulisan dan pembaca tentang konsep iman dan taqwa, cara
mengimplementasikannya kekehidupan sehari-hari serta mengetahui bahwa
imtaq dapat menjawab problema kehidupan kita di masa yang modern ini
BAB III
PEMBAHASAN

A. Pengertian iman dan taqwa


Pengertian Iman menurut bahasa adalah membenarkan. Adapun menurut
istilah syari’at yaitu meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan
membuktikannya dalam amal perbuatan yang terdiri dari tujuh puluh tiga hingga tujuh
puluh sembilan cabang. Yang tertinggi adalah ucapan ‫هلل‬ ‫ لا َ له‬dan yang terendah
َ
adalah menyingkirkan gangguan dari jalan yang menggangu orang yang sedang
berjalan, baik berupa batu, duri, barang bekas, sampah, dan sesuatu yang berbau tak
sedap atau semisalnya. Iman merupakan perpaduan antara aqidah dengan syariah
atau perpaduan keyakinan dan amal dan perbuatan,tetapi jika tidak melaksanakan
ketentuan Allah dan rasulnya maka orang itu belum bias dikatakan beriman.
Rasulullah Shallahu’alaihi wa sallam bersabda, ”Iman lebih dari tujuh puluh
atau enam puluh cabang, paling utamanya perkataan dan yang paling rendahnya
menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu merupakan cabang dari
keimanan.” (Riwayat Muslim: 35, Abu Dawud: 4676, Tirmidzi: 2614). Adapun
cakupan dan jenisnya, keimanan mencakup seluruh bentuk amal kebaikan yang
kurang lebih ada tujuh puluh tiga cabang. Karena itu Allah menggolongkan dan
menyebut ibadah shalat dengan sebutan iman dalam firmanNya, ”Dan Allah tidak
akan menyia-nyiakan imanmu” (QS. Al-Baqarah:143). [1]
Para ahli tafsir menyatakan, yang dimaksud ’imanmu’ adalah shalatmu tatkala
engkau menghadap ke arah baitul maqdis, karena sebelum turun perintah shalat
menghadap ke Baitullah (Ka’bah) para sahabat mengahadap ke Baitul Maqdis.
Iman kepada Allah adalah mempercayai bahwa Dia itu maujud (ada) yang
disifati dengan sifat-sifat keagungan dan kesempurnaan, yang suci dari sifat-sifat
kekurangan. Dia Maha Esa, Mahabenar, Tempat bergantung para makhluk, tunggal
(tidak ada yang setara dengan Dia), Pencipta segala makhluk, Yang melakukan
segala yang dikehendakiNya, dan mengerjakan dalam kerajaanNya apa yang
dikehendakiNya. Beriman kepada Allah juga bisa diartikan, berikrar dengan macam-
macam tauhid yang tiga serta beri’tiqad (berkeyakinan) dan beramal dengannya yaitu
tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah dan tauhid al-asma’ wa ash-shifaat.
Iman kepada Allah mengandung empat unsur:
1. Beriman akan adanya Allah. Mengimani adanya Allah ini bisa dibuktikan dengan:
a. Bahwa manusia mempunyai fitrah mengimani adanya Tuhan
Tanpa harus di dahului dengan berfikir dan sebelumnya. Fitrah ini tidak akan berubah
kecuali ada sesuatu pengaruh lain yang mengubah hatinya. Nabi Shallahu’alaihi wa
sallam bersabda: ”Tidaklah anak itu lahir melainkan dalam keadaan fitrah, kedua
orangtuanya lah yang menjadikan mereka Yahudi, Nashrani, atau Majusi.” (HR.
Bukhori). Bahwa makhluk tersebut tidak muncul begitu saja secara kebetulan, karena
segala sesuatu yang wujud pasti ada yang mewujudkan yang tidak lain adalah Allah,
Tuhan semesta alam. Allah berfirman, ”Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun
ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (QS. Ath-Thur: 35
Maksudnya, tidak mungkin mereka tercipta tanpa ada yang menciptakan dan tidak
mungkin mereka mampu menciptakan dirinya sendiri. Berarti mereka pasti ada yang
menciptakan, yaitu Allah yang maha suci.
b. Adannya kitab-kitab samawi
Yang membicarakan tentang adanya Allah. Demikian pula hukum serta aturan dalam
kitab-kitab tersebut yang mengatur kehidupan demi kemaslahatan manusia
menunjukkan bahwa kitab-kitab tersebut berasal dari Tuhan Yang Maha Esa.

c. Adanya orang-orang yang dikabulkan do’anya.


Ditolongnya orang-orang yang sedang mengalami kesulitan, ini menjadi bukti-bukti
kuat adanya Allah.

d. Adanya tanda-tanda kenabian seorang utusan yang disebut mukjizat


suatu bukti kuat adanya Dzat yang mengutus mereka yang tidak lain Dia adalah Allah
Azza wa Jalla. Misalnya: Mukjizat nabi Musa ’Alahissalam. Tatkala belau diperintah
memukulkan tongkatnya ke laut sehngga terbelahlah lautan tersebut menjadi dua
belas jalan yang kering dan air di antara jalan-jalan tersebut laksana gunung. Firman
Allah, ”Lalu kami wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu”.
Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang
besar” (QS. Asy-Syu’ara’: 63)[2]

Pengertian TAQWA secara dasar adalah Menjalankan perintah, dan menjauhi


larangan. Kepada siapa ??? maka dilanjukan dengan kalimat Taqwallah yaitu taqwa
kepada Allah SWT. Kelihatan kata-kata tersebut ringan diucapkan tapi kenyataan-nya
banyak orang yang belum sanggup bahkan terkesan asal-asalan dalam menerapkan
arti kata Taqwa tersebut, lihat sekitar kita ada beberapa orang yang tidak berpuasa
dan terang-terangan makan di tempat umum, padahal bila ditanya ” mas, agama-nya
apa?” jawab-nya muslim, ada juga yang sudah berpuasa tapi masih suka melirik
kanan-kiri dan ketika ditanya ” mas, ini kan lagi puasa?” jawabnya cuma sebentar kan
boleh. Ya… Allah, manusia…, manusia.., sebenarnya banyak contoh bagaimana
lingkungan di sekitar kita atau mungkin diri saya pribadi masih belum mampu
mengemban amanah Taqwallah dengan sepenuhnya.[3]
TAQWA = Terdiri dari 3 Huruf :
Ta = TAWADHU’ artinya sikap rendah dirii (hati), patuh, taat baik kepada aturan Allah
SWT, maupun kepada sesama muslim jangan menyombongkan diri.
Qof = Qona’ah artinya Sikap menerima apa adanya (ikhlas), dalam semua aspek, baik
ketika mendapat rahmat atau ujian, barokah atau musibah, kebahagiaan atau teguran
dari Allah SWT, harus di syukuri dengan hati yang lapang dada.
Wau = Wara’ artinya Sikap menjaga hati / diri (Introspeksi), ketika menemui hal yang
bersifat subhat (tidak jelas hukum-nya) atau yang bersifat haram (yang dilarang) oleh
Allah SWT. beberapa ulama mendifinisikan dengan :
Taqwa = dari kata = waqa-yaqi-wiqayah = memelihara yang artinya memelihara iman
agar terhindar dari hal-hal yang dibenci dan dilarang oleh Allah SWT.
Taqwa = Takut yang artinya takut akan murka da adzab allah SWT.
Taqwa = Menghindar yang artinya menjauh dari segala keburukan dan kejelekan dari
sifat syetan.
Taqwa = Sadar yang artinya menyadari bahwa diri kita makhluk ciptaan Allah
sehingga apapun bentuk perintah-nya harus di taati, dan jangan sekali-kali menutup
mata akan hal ini. “Hai Orang-orang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah,
dengan sebenar-benar taqwa, dan janganlah kalian mati, melainkan dalam keadaan
beragama islam.” (Al-Imron) :
Dr. Abdullah Nashih Ulwan menyebut ada 5 langkah yang dapat dilakukan
untuk mencapai taqwa, iaitu ;
a. Mu’ahadah Mu’ahadah
berarti selalu mengingat perjanjian kepada Allah swt., bahawa dia akan selalu
beribadah kepada Allah swt. Seperti merenungkan sekurang-kurangnya 17 kali dalam
sehari semalam dia membaca ayat surat Al Fatihah : 5 “Hanya kepada Engkau kami
beribadah dan hanya kepada Engkau kami mohon pertolongan”
b. Muraqabah Muraqabah
berarti merasakan kebersamaan dengan Allah swt. dengan selalu menyedari
bahawa Allah swt. selalu bersama para makhluk-Nya dimana saja dan pada waktu
apa sahaja. Terdapat beberapa jenis muraqabah, pertamanya muraqabah kepada
Allah swt. dalam melaksanakan ketaatan dengan selalu ikhlas kepadaNya. Kedua
muraqabah dalam kemaksiatan adalah dengan taubat, penyesalan dan
meninggalkannya secara total. Ketiga, muraqabah dalam hal-hal yang mubah adalah
dengan menjaga adab-adab kepada Allah dan bersyukur atas segala nikmatNya.
Keempat muraqabah dalam mushibah adalah dengan redha. atas ketentuan Allah
serta memohon pertolonganNya dengan penuh kesabaran.
c. Muhasabah
Muhasabah sebagaimana yang ditegaskan dalam Al Quran surat Al Hasyr:
18, “Wahai orang-orang yang beriman! Takwalah kepada Allah dan hendaklah
merenungkan setiap diri, apalah yang telah diperbuatnya untuk hari esok. Dan
takwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui apa jua pun yang
kamu kerjakan”
Ini bermakna hendaklah seorang mukmin menghisab dirinya tatkala selesai
melakukan amal perbuatan, apakah tujuan amalnya untuk mendapatkan redha. Allah?
Atau apakah amalnya dicampuri sifat riya? Apakah ia sudah memenuhi hak-hak Allah
dan hak-hak manusia.
d. Mu’aqabah Mu’aqabah
ialah memberikan hukuman atau denda terhadap diri apabila melakukan
kesilapan ataupun kekurangan dalam amalan. Mu’aqabah ini lahir selepas Muslim
melakukan ciri ketiga iaitu muhasabah. Hukuman ini bukan bermaksud deraan atau
pukulan memudaratkan, sebaliknya bermaksud Muslim yang insaf dan bertaubat
berusaha menghapuskan kesilapan lalu dengan melakukan amalan lebih utama
meskipun dia berasa berat.dalam Islam, orang yang paling bijaksana ialah orang yang
sentiasa bermuhasabah diri dan melaksanakan amalan soleh.
e. Mujahadah
Makna mujahadah sebagaimana disebutkan dalam surat Al Ankabut ayat 69
adalah apabila seorang mukmin terseret dalam kemalasan, santai, cinta dunia dan
tidak lagi melaksanakan amal-amal sunnah serta ketaatan yang lainnya tepat pada
waktunya, maka ia harus memaksa dirinya melakukan amal-amal sunnah lebih
banyak dari sebelumnya. Dalam hal ini ia harus tegas, serius dan penuh semangat
sehingga pada akhirnya ketaatan merupakan kebiasaan yang mulia baginya dan
menjadi sikap yang melekat dalam dirinya. Sebagai penutup, Allah swt. telah
berfirman dalam Al-Quran yang bermaksud: “Wahai orang-orang yang beriman,
bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa, dan janganlah kamu
mati melainkan di dalam keadaan Islam”. (‘Ali Imran: 102)[4]

B. Problematika tantangan dan resiko dalam kehidupan modern


Problem-problem manusia dalam kehidupan modern adalah munculnya
dampak negatif (residu), mulai dari berbagai penemuan teknologi yang berdampak
terjadinya pencemaran lingkungan, rusaknya habitat hewan maupun tumbuhan,
munculnya beberapa penyakit, sehingga belum lagi dalam peningkatan yang makro
yaitu berlobangnya lapisan ozon dan penasan global akibat akibat rumah kaca.
Manusia tidak mampu lari seperti kuda dan mengangkat benda-benda berat
seperti sekuat gajah, namun akal manusia telah menciptakan alat yang melebihi
kecepatan kuda dan sekuat gajah. Kelebihi manusia dengan mahkluk lain adalah dari
Akalnya. Sedangkan dalam bidang ekonomi kapitalisme-kapitalisme yang telah
melahirkan manusia yang konsumtif, meterialistik dan ekspoloitatif.
Aktualisasi taqwa adalah bagian dari sikap bertaqwa seseorang. Karena begitu
pentingnya taqwa yang harus dimiliki oleh setiap mukmin dalam kehidupan dunia ini
sehingga beberapa syariat islam yang diantaranya puasa adalah sebagai wujud
pembentukan diri seorang muslim supaya menjadi orang yang bertaqwa, dan lebih
sering lagi setiap khatib pada hari jum’at atau shalat hari raya selalu menganjurkan
jamaah untuk selalu bertaqwa. Begitu seringnya sosialisasi taqwa dalam kehidupan
beragama membuktikan bahwa taqwa adalah hasil utama yang diharapkan dari tujuan
hidup manusia (ibadah).[5]
Taqwa adalah satu hal yang sangat penting dan harus dimiliki setiap muslim.
Signifikansi taqwa bagi umat islam diantaranya adalah sebagai spesifikasi pembeda
dengan umat lain bahkan dengan jin dan hewan, karena taqwa adalah refleksi iman
seorang muslim. Seorang muslim yang beriman tidak ubahnya seperti binatang, jin
dan iblis jika tidak mangimplementasikan keimanannya dengan sikap taqwa, karena
binatang, jin dan iblis mereka semuanya dalam arti sederhana beriman kepada Allah
yang menciptakannya, karena arti iman itu sendiri secara sederhana adalah
“percaya”, maka taqwa adalah satu-satunya sikap pembeda antara manusia dengan
makhluk lainnya. Seorang muslim yang beriman dan sudah mengucapkan dua kalimat
syahadat akan tetapi tidak merealisasikan keimanannya dengan bertaqwa dalam arti
menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya, dan dia juga
tidak mau terikat dengan segala aturan agamanya dikarenakan kesibukannya atau
asumsi pribadinya yang mengaggap eksistensi syariat agama sebagai pembatasan
berkehendak yang itu adalah hak asasi manusia, kendatipun dia beragama akan
tetapi agamanya itu hanya sebagai identitas pelengkap dalam kehidupan sosialnya,
maka orang semacam ini tidak sama dengan binatang akan tetapi kedudukannya lebih
rendah dari binatang, karena manusia dibekali akal yang dengan akal tersebut
manusia dapat melakukan analisis hidup, sehingga pada akhirnya menjadikan taqwa
sebagai wujud implementasi dari keimanannya.[6]
Taqwa adalah sikap abstrak yang tertanam dalam hati setiap muslim, yang
aplikasinya berhubungan dengan syariat agama dan kehidupan sosial. Seorang
muslim yang bertaqwa pasti selalu berusaha melaksanakan perintah Tuhannya dan
menjauhi segala laranganNya dalam kehidupan ini. Yang menjadi permasalahan
sekarang adalah bahwa umat islam berada dalam kehidupan modern yang serba
mudah, serba bisa bahkan cenderung serba boleh. Setiap detik dalam kehidupan
umat islam selalu berhadapan dengan hal-hal yang dilarang agamanya akan tetapi
sangat menarik naluri kemanusiaanya, ditambah lagi kondisi religius yang kurang
mendukung. Keadaan seperti ini sangat berbeda dengan kondisi umat islam terdahulu
yang kental dalam kehidupan beragama dan situasi zaman pada waktu itu yang cukup
mendukung kualitas iman seseorang. Olah karenanya dirasa perlu mewujudkan satu
konsep khusus mengenai pelatihan individu muslim menuju sikap taqwa sebagai
tongkat penuntun yang dapat digunakan (dipahami) muslim siapapun.
Karena realitas membuktikan bahwa sosialisasi taqwa sekarang, baik yang
berbentuk syariat seperti puasa dan lain-lain atau bentuk normatif seperti himbauan
khatib dan lain-lain terlihat kurang mengena, ini dikarenakan beberapa faktor,
diantaranya yang pertama muslim yang bersangkutan belum paham betul makna dari
taqwa itu sendiri, sehingga membuatnya enggan untuk memulai, dan yang kedua
ketidaktahuannya tentang bagaimana, darimana dan kapan dia harus mulai merilis
sikap taqwa, kemudian yang ketiga kondisi sosial dimana dia hidup tidak mendukung
dirinya dalam membangun sikap taqwa, seperti saat sekarang kehidupan yang serba
bisa dan cenderung serba boleh. Oleh karenanya setiap individu muslim harus paham
pos – pos alternatif yang harus dilaluinya, diantaranya yang paling awal dan utama
adalah gadhul bashar (memalingkan pandangan), karena pandangan (dalam arti mata
dan telinga) adalah awal dari segala tindakan, penglihatan atau pendengaran yang
ditangkap oleh panca indera kemudian diteruskan ke otak lalu direfleksikan oleh
anggota tubuh dan akhirnya berimbas ke hati sebagai tempat bersemayam taqwa, jika
penglihatan atau pendengaran tersebut bersifat negatif dalam arti sesuatu yang
dilarang agama maka akan membuat hati menjadi kotor, jika hati sudah kotor maka
pikiran (akal) juga ikut kotor, dan ini berakibat pada aktualisasi kehidupan nyata, dan
jika prilaku, pikiran dan hati sudah kotor tentu akan sulit mencapai sikap taqwa.[7]
Oleh karenanya dalam situasi yang serba bisa dan sangat plural ini dirasa perlu
menjaga pandangan (dalam arti mata dan telinga) dari hal – hal yang dilarang agama
sebagai cara awal dan utama dalam mendidik diri menjadi muslim yang bertaqwa.
Menjaga mata, telinga, pikiran, hati dan perbuatan dari hal-hal yang dilarang agama,
menjadikan seorang muslim memiliki kesempatan besar dalam memperoleh taqwa.
Karena taqwa adalah sebaik–baik bekal yang harus kita peroleh dalam mengarungi
kehidupan dunia yang fana dan pasti hancur ini, untuk dibawa kepada kehidupan
akhirat yang kekal dan pasti adanya. Adanya kematian sebagai sesuatu yang pasti
dan tidak dapat dikira-kirakan serta adanya kehidupan setelah kematian menjadikan
taqwa sebagai obyek vital yang harus digapai dalam kehidupan manusia yang sangat
singkat ini. Memulai untuk bertaqwa adalah dengan mulai melakukan hal-hal yang
terkecil seperti menjaga pandangan, serta melatih diri untuk terbiasa menjalankan
perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya, karena arti taqwa itu
sendiri sebagaimana dikatakan oleh Imam Jalaluddin Al-Mahally dalam tafsirnya
bahwa arti taqwa adalah “imtitsalu awamrillahi wajtinabinnawahih”, menjalankan
segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganya.[8]

C. Problem dalam Hal Ekonomi


Semakin lama manusia semakin menganggap bahwa dirinya merupakan homo
economicus, yaitu merupakan makhluk yang memenuhi kebutuhan hidupnya dan
melupakan dirinya sebagai homo religious yang erat dengan kaidah – kaidah
moral.Ekonomi kapitalisme materialisme yang menyatakan bahwa berkorban sekecil
– kecilnya dengan menghasilkan keuntungan yang sebesar – besarnya telah
membuat manusia menjadi makhluk konsumtif yang egois dan serakah (saya sendiri
mengakuinya).[9]

D. Problem dalam Bidang Moral


Pada hakikatnya Globalisasi adalah sama halnya dengan Westernisasi. Ini
tidak lain hanyalah kata lain dari penanaman nilai – nilai Barat yang menginginkan
lepasnya ikatan – ikatan nilai moralitas agama yang menyebabkan manusia Indonesia
pada khususnya selalu “berkiblat” kepada dunia Barat dan menjadikannya sebagai
suatu symbol dan tolok ukur suatu kemajuan.

E. Problem dalam Bidang Agama


Tantangan agama dalam kehidupan modern ini lebih dihadapkan kepada
faham Sekulerisme yang menyatakan bahwa urusan dunia hendaknya dipisahkan dari
urusan agama. Hal yang demikian akan menimbulkan apa yang disebut dengan split
personality di mana seseorang bisa berkepribadian ganda. Misal pada saat yang
sama seorang yang rajin beribadah juga bisa menjadi seorang koruptor.
F. Problem dalam Bidang Keilmuan
Masalah yang paling kritis dalam bidang keilmuan adalah pada corak
kepemikirannya yang pada kehidupan modern ini adalah menganut faham positivisme
dimana tolok ukur kebenaran yang rasional, empiris, eksperimental, dan terukur lebih
ditekankan. Dengan kata lain sesuatu dikatakan benar apabila telah memenuhi criteria
ini. Tentu apabila direnungkan kembali hal ini tidak seluruhnya dapat digunakan untuk
menguji kebenaran agama yang kadang kala kita harus menerima kebenarannya
dengan menggunakan keimanan yang tidak begitu poluler di kalangan ilmuwan –
ilmuwan karena keterbatasan rasio manusia dalam memahaminya. Anda merasakan
itu?
Perbedaan metodologi yang lain bahwa dalam keilmuan dikenal istilah
falsifikasi. Apa itu? Artinya setiap saat kebenaran yang sudah diterima dapat gugur
ketika ada penemuan baru yang lebih akurat. Sangat jauh dan bertolak belakang
dengan bidang keagamaan.Jika anda tidak salah lihat, maka akan banyak anda
temukan banyak ilmuwan yang telah menganut faham atheis (tidak percaya adanya
tuhan) akibat dari masalah – masalah dalam bidang keilmuan yang telah tersebut di
atas.
Kalau bersama – sama kita telah melihat sebagian kecil dari beberapa bagian
besar problematika dalam kehidupan kita saat ini, apa yang sebaiknya menjadi solusi
bersama dalam meningkatkan ketahanan tubuh Negara kita terhadap prediksi –
prediksi kehancuran moral bangsa Indonesia akibat dari kekurang selektifan kita
terhadap apa yang namanya Westernisasi?

G. Hubungan timbal balik antara taqwa dan iman


Iman dan taqwa adalah dua unsur pokok bagi pemeluk agama. Keduanya
merupakan elemen yang penting dalam kehidupan makhluq manusia dan sangat erat
hubungannya dalam menentukan nasib hidupnya serta memiliki fungsi yang urgen.
Menurut ahli hukum, iman itu hanya sekedar pengakuan suatu makna yang
terkandung dalam lubuk hati, menurut para teolog, iman itu adalah kepercayaan yang
tertanam dalam lubuk hati dengan keyakinan yang kuat tanpa tercampuri oleh
keraguan dan berperan terhadap pendangan hidup atau amal perbuatan sehari-hari.
Sedangkan menurut berbagai filosof, iman diartikan lebih jauh dari lafidz dan makna
serta tidak terikat dengan dalil-dalil apologis. Misalnya Karl Teodor Yoeper seorang
filosof Jerman mengetengahkan istilah iman falsafi yang universil yang berlaku untuk
semua zaman dan kebudayaan. Isi iman falsafi baginya, bahwa Allah itu ada, manusia
harus mampu memilih memilih yang baik secara tak bersarat, dunia tidak merupakan
kenyataan terakhir dan bahwa cinta kasih manusia merupakan suatu bukti adanya
Allah. Semua pengertian-pengertian yang dikemukakan diatas pada dasarnya
menunjukkan, bahwa iman itu berperanan dan berpengaruh terhadap tindak laku
manusia dalam segala aspek kahidupan manusia.
Menurut filosof islam Imam Ghozali bahwa iman itu berkaitan dengan hal-hal
yang bersifat spiritual atau batin, dimana hati dapat menangkap iman dalam
pengertian hakiki melalui kasyaf yang diperoleh berkat pancaran sinar Ilahi padanya.
Dalam kesempatan lain beliau menegaskan, bahwa arti iman adalah pengakuan yang
kuat tidak ada pembuat (faa`il) selain Allah. Makna iman yang dikemukakan ini
menimbulkan problema metafisis, diantaranya membatasi sebab pembuat (illah
faa`iliyah) hanya kepada Allah, manafikan kebebasan berikhtiar dari manusia serta
penyerahan diri (tawakkal) kepada-Nya. Pemikiran Imam Ghozali ini disebut dengan
istilah tauhid, sebab artinya keimanan itu tidak boleh menghubungkan sebab tersebut
kepada selai Allah. Dialah pembuat satu-satunya dan selain-Nya hanya sekedar
washilah (perantara). Hukumnya perantara itu dalam tinjauan filsafat juga sebab,
namun sebab pokok.
Bagi Imam Ghozali iman itu bukan lawan dari syirik, tetapi peng-Esaan kepada
Kholiq (Pencipta). Oleh karena itu bagi orang yang meng-Esakan Allah harus bersikap
tawakkal. Tawakkal bukan berarti maniadakan ikhtiar, tetapi maniadakan kebebasan
berikhtiar, karena dalam tawakkal manusia berkesempatan untuk kasab
(berusaha). Bahkan dengan tawakkal itu dapat mengenal hakekat ikhtiar dan
sekaligus dapat mengetahui nilai dan kualitas iman. Iman yang sebenarnya harus
membuahkan tawakkal, sehingga dapat memperoleh ridho Allah. Dalam kitab suci
dikemukakan, bahwa Nabi Hud, Nabi Musa dan tang lainya telah menjadikan tawakkal
sebagai benteng kekuatan bertaqwa dalam menghadapi kaumnya. Ini semua
menunjukkan, bahwa antara iman dan taqwa saling berpengaruh dalam membentuk
membentuk manusia berkepribadian luhur.
Taqwa itu pada prinsipnya adalah amal batin atau lahir, baik yang bersifat
mengikuti perintah Tuhan maupun amal yang berbentuk menjauhi larangan Tuhan.
Yang menjadi problema apakah unsur amal itu menjadi syarat iman, dengan
pengertian, bahwa apakah tanpa amal seseoran tidak dianggap beriman. Iman adalah
sesuatu yang tersembunyi dalam jiwa (Ma waqaro fil qalbi). Berdasarkan eksperimen
sebagian besar ahli jiwa berkesimpulan, bahwa iman kepada Allah termasuk obat
yang manjur untuk menyembuhkan penyakit jiwa atau menghilangkan gangguan jiwa.
Kesimpulan inin diperkuat oleh filosof-silosof besar diantaranya Francis Bacon,
William James, Kierkegoor dan lain-lain.
Menurut filosof Islam Jamaluddin Alafghoni, bahwa iman kepada Allah
menumbuhkan keteguahan pendirian dalam menghadapi kesulitan dan bahaya,
bahkan mampu untuk membentuk kerelaan dan meninggalkan kemewahan hidup,
manakala ada seruan untuk bejuang dijalan Allah. Dalam Islam pengaruh iman
diantaranya rasa tawakkal (Ali Imron: 160).
Tawakkal dalam tinjauan tasawuf ini harus seiring dengan kesabaran.
Keberhasilan manusia tidak mungkin sepenuhnya dari usaha sendiri. Sedangkan kecil
dan tidaknya ditentukan oleh berbagai faktor diluar kemampuannya. Faktor-faktor itu
adalah sebab keberhasilan. Banyak akibat yang sebabnya bermacam-macam dan
sebaliknya, banyak sebab yang akibatnya bermacam-macam. Banyak akibat yang
sulit diketahui sebabnya dan banyak sebab yang sulit diketahui akibatnya. Dalam
situasi diatas sikap tawakkal sangat diperlukan. [10]

H. Iman dan Taqwa landasan mencapai kesuksesan


Kita diciptakan didunia ini untuk satu hikmah yang agung dan bukan hanya
untuk bersenang-senang dan bermain-main. Tujuan dan himah penciptaan ini telah
dijelaskan dalam firman Allah:
‫َ ََو ة‬
َ ‫ََزا َو م‬
‫َت َ ي ن‬ ‫َ أ َن ن‬
‫َ َإطن َع‬ ‫د‬ ‫َق‬
‫َمَن ’من ر’ ز‬
‫َ مآأ ه‬
‫َ ير‬
‫َ د‬
‫َ ود‬
‫َ ب‬ ‫ن‬ ‫جن اَل و إلنس‬
‫َ َت‬
‫َا لخق‬
‫و م‬
َ َ َ
‫ا ل ذ و ا لقَق‬ ‫وم‬ َ ‫َل ي‬
َ ‫ع‬ َ ‫ا‬
َ‫َ ه‬‫ال ر‬ َ ‫َآ‬
‫َو م‬‫أ َ ير‬
Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak
menghendaki supaya memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha
Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh. (QS. 51:56-58)
Allah telah menjelaskan dalam ayat-ayat ini bahwa tujuan asasi dari penciptaan
manusia adalah ibadah kepadaNya saja tanpa berbuat syirik. Sehingga Allah pun
menjelaskan salahnya dugaan dan keyakinan sekelompok manusia yang belum
mengetahui hikmah tersebut dengan menyakini mereka diciptakan tanpa satu tujuan
tertentu dalam firmanNya :

َ ‫َج ع‬
‫َو ن‬ ‫ال‬ ‫َث َا‬
‫َنقخع ب‬
‫َ كا‬
‫م‬ ‫َنَ ب‬
َ ‫أ َ َما م‬
‫َأ‬
‫َو‬ ‫َ م‬ َ
‫َل اني‬
‫َ إ‬ َ
‫ت ر‬ َ‫ل‬ ‫ت َح س‬ َ‫ف‬
َ‫أ َنََك‬
Artinya : Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu
secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada
Kami. (QS. 23:115)
Ayat yang mulia ini menjelaskan bahwa manusia tidak diciptakan secara main-
main saja, namun diciptakan untuk satu hikmah. Allah tidak menjadikan manusia
hanya untuk makan, minum dan bersenang-senang dengan perhiasan dunia, serta
tidak dimintai pertanggung jawaban atas semua prilakunya didunia ini. Tentu saja
jawabannya adalah kita semua diciptakan untuk satu himah dan tujuan yang agung
dan dibebani perintah dan larangan, kewajiban dan pengharaman, untuk kemudian
dibalas dengan pahala atas kebaikan dan disiksa atas keburukan (yang dia amalkan)
serta (mendapatkan) syurga atau neraka.[11]
Demikianlah seorang manusia yang ingin sukses harus dapat bersikap
profesional dan proforsonal dalam mencapai tujuan tersebut, sebab sesungguhnya
tujuan akhir seorang manusia adalah mewujudkan peribadatan kepada Allah dengan
iman dan taqwa. Oleh karena itu orang yang paling sukses dan paling mulia disisi
Allah adalah yang paling taqwa, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:

‫َي ر‬
َ ‫َ خ ب‬ َ ‫َمكَ م‬
‫َ نع د‬
‫َعم يل‬ َ
‫َ ن أتقكا‬
‫م‬
‫أَ ك‬
‫َر‬
‫َن‬
Artinya : Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling bertaqwa di antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal (QS. 49:13)
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Iman dan taqwa sangat penting di kehidupan modern, jika dalam kehidupan
modern yang serba canggih tidak menghiraukan lagi keimanan dan ketaqwaan
kepada Allah maka akan banyak timbul problem dan tantangan yang terjadi, baik
dibidang ekonomi, social, agama, maupun keilmuan itu sendiri.
Iman dan taqwa juga mempunyai peran penting dalam kehidupan dunia modern,
dalam kehidupan modern yang serba cepat sering kali memicu timbulnya stress dan
berbagai penyakit. Iman dan taqwa mempunyai peran antara lain:
1. Iman dan taqwa melenyapkan kepercayaan pada kekuasaan benda,
2. Iman dan taqwa menanamkan semangat berani menghadap maut
3. Iman dan taqwa menanamkan sikap “self-help” dalam kehidupan.
4. Iman dan taqwa memberikan ketenteraman jiwa.
5. Iman dan taqwa mewujudkan kehidupan yang baik (hayatan tayyibah).
6. Iman dan taqwa melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen.
7. Iman dan taqwa memberi keberuntunganIman mencegah penyakit
Iman didefinisikan dengan keyakinan dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan
diwujudkan dengan amal perbuatan (Al-Iimaanu ‘aqdun bil qalbi waiqraarun billisaani
wa’amalun bil arkaan). Dengan demikian, iman merupakan kesatuan atau
keselarasan antara hati, ucapan, dan laku perbuatan, serta dapat juga dikatakan
sebagai pandangan dan sikap hidup atau gaya hidup. Sedangkan takwa adalah
menjadikan jiwa berada dalam perlindungan dari sesuatu yang ditakuti, kemudian rasa
takut juga dinamakan takwa. Sehingga takwa dalam istilah syar’I adalah menjaga diri
dari perbuatan dosa.
Dapat disimpulkan, bahwa peran iman, diantaranya menghilangkan gangguan
jiwa, menumbuhkan keteguahan pendirian, menumbuhkan kekuatan pengendali
hawa nafsu, menumbuhkan tawakkal, menciptakan tekat berbuat baik dan berperan
menciptakan rasa cinta dan bahagia. Pegaruh kekuatan iman melahirkan akhlak dan
moral dalam kehidupan manusia, seperti jujur, adil dala segala situasi, diucapkan
kebenaran walaupun terasa sangat berat, ditegakkan kebenaran sekalipun berakibat
merugikan dirinya dan keluarganya, bersikap adil terhadap lawan sebagaimana
bersikap adil di tengah-tengah kawan, masih banyak lagi norma-norma luhur yang
dicetuskan oleh kekuatan iman. Oleh karena itu sangat patut sekali apabila
dinyatakan bahawa iman dan taqwa adalah kunci pengalaman nilai-nilai luhur.

Anda mungkin juga menyukai