Anda di halaman 1dari 26

ABORSI DALAM PANDANGAN GEREJA KATOLIK

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur


Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti
Yang Diampu Oleh ….

Disusun oleh,

Kelas

DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


PROVINSI KALIMANTAN BARAT

2023
i
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa, hanya dengan limpahan
rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul Aborsi
Dalam Pandangan Gereja Katolik ini. Kami mengucapkan terima kasih kepada …. selaku guru mata
pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti. Tidak lupa juga kami mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini.
Makalah ini kami buat untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur mata pelajaran Pendidikan
Agama Katolik dan Budi Pekerti yang diampu oleh ….. Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika
tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari penyusunan
maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami dengan rendah hati
menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Kami berharap semoga makalah yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga
inspirasi untuk pembaca.

Maret 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Sampul ............................................................................................................................... i

Kata Pengantar .................................................................................................................................. ii

Daftar Isi ........................................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................................ 3

BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................... 4
...........................................................................................................................................

2.1 Pengertian Aborsi ...................................................................................................... 4


2.2 Alasan Melakukan Aborsi ......................................................................................... 7
2.3 Pandangan Gereja Katolik Mengenai Aborsi ............................................................ 9
2.4 Pandangan Negara Mengenai Aborsi ........................................................................ 18

BAB III PENUTUP ........................................................................................................................


...........................................................................................................................................22

3.1 Kesimpulan ...............................................................................................................


....................................................................................................................................22
3.2 Saran ..........................................................................................................................
22

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................ 23

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Saat ini Aborsi menjadi salah satu masalah yang cukup serius, dilihat dari tingginya
angka aborsi yang kian meningkat dari tahun ke tahun. Frekuensi terjadinya aborsi sangat sulit
dihitung secara akurat, karena aborsi buatan sangat sering terjadi tanpa dilaporkan, kecuali jika
terjadi komplikasi sehingga perlu perawatan di Rumah Sakit. Tidak ada data yang pasti tentang
besarnya dampak aborsi terhadap kesehatan ibu. WHO memperkirakan 10-50 persen kematian
ibu disebabkan oleh aborsi. Diperkirakan di seluruh dunia, setiap tahun dilakukan 20 juta
aborsi, 70.000 wanita meninggal akibat aborsi, dan 1 dari 8 kematian ibu disebabkan oleh
aborsi. Di Asia tenggara, WHO memperkirakan 4,2 juta aborsi dilakukan setiap tahunnya, di
antaranya750.000 sampai 1,5 juta terjadi di Indonesia. Risiko kematian akibat aborsi di wilayah
Asia diperkirakan antara 1 dari 250, negara maju hanya 1 dari 3700. Angka tersebut
memberikan gambaran bahwa masalah aborsi di Indonesia masih cukup besar. Aborsi
merupakan masalah kesehatan masyarakat karena memberikan dampak pada kesakitan dan
kematian ibu. Akan tetapi, kematian ibu yang disebabkan komplikasi aborsi sering tidak
muncul dalam laporan kematian, tetapi dilaporkan sebagai pendarahan atau sepsis. Hal itu
terjadi karena hingga saat ini, aborsi masih merupakan masalah kontroversial di masyarakat. Di
satu pihak, aborsi dianggap ilegal dan dilarang oleh agama sehingga masyarakat cenderung
menyembunyikan kejadian aborsi. Realitas di atas semakin berkembang ketika kemajuan
teknologi medis memberi sumbangan yang berarti bagi cara/proses tindakan tersebut. Dengan
berbagai kemudahan, ditawarkan aneka cara praktis cepat dan cekatan tanpa melihat aspek-
aspek pertimbangan moral dari cara tersebut. Atas dasar itu, wacana mengenai aborsi dalam
Gereja Katolik semakin penting. Ada desakan sangat kuat dari berbagai pihak agar Gereja
Katolik mengambil bagian dalam menyikapi masalah aborsi. Desakan terjadi karena Gereja
Katolik sejak awal sampai saat ini tetap mempertahankan pandangannya bahwa Aborsi harus
dilarang. Karena tidak sesuai dengan kehendak Allah di mana Allah menghendaki kehidupan
bukan kematian.

iv
Dalam berita-berita televisi, sering disiarkan kasus-kasus aborsi yang dilakukan oleh
orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan kurang kesadaran akan penghargaan terhadap
nilai-nilai kehidupan dalam upaya memelihara kehidupan dan ciptaan Tuhan. Tindakan aborsi
merupakan tindakan yang sangat kejam terhadap orang yang sangat lemah, tindakan tidak
bermoral yang membuat dan menyebabkan kematian orang lain. Aborsi yang disengaja atau
dengan campur tangan manusia, merupakan perbuatan yang melanggar hukum, etika dan
moral. Banyak alasan mengapa orang melakukan aborsi, salah satunya ialah alasan ekonomi.
Faktanya bahwa aborsi bukan saja dilakukan oleh kalangan anak muda, tetapi justru lebih
banyak dilakukan oleh ibu-ibu yang mengalami masalah ekonomi dan kegagalan KB. Situasi
bingung membuat orang tidak dapat berpikir jernih dan tidak dapat mengambil keputusan
dengan lebih baik, akhirnya jalan satu-satunya adalah terpaksa melakukan aborsi tanpa mau
tahu akibat dan risiko-risiko dari tindakannya. Rendahnya tingkat kesadaran orang untuk
menghargai kehidupan, sehingga janin yang masih dalam rahim tidak diakui sebagai manusia
yang harus dirawat dan dipelihara. Gereja Katolik sangat menghargai kehidupan, hal ini
termuat dalam Dokumen Gerejawi Familiaris Consortio art. 30 yang menyatakan bahwa,
manusia itu adalah Gambar Allah yang adalah cinta kasih. Keputusan melakukan aborsi atau
tidak, merupakan pilihan yang tidak mudah, apalagi dalam kasus-kasus tertentu, misalnya kasus
pemerkosaan. Anak yang dikandung akibat perkosaan sering dianggap sebagai aib bagi
keluarga dan menimbulkan trauma yang berkepanjangan bagi korban perkosaan tersebut.
Namun aborsi bukanlah jalan terbaik untuk menghilangkan pengalaman tersebut dan rasa malu
yang ditanggung oleh korban. Dalam situasi seperti ini memang peran moral perlu
dipertanyakan. Orang yang menjadi korban pemerkosaan perlu bimbingan dan arahan dari
orang lain. Situasi bingung sering membuat orang kehilangan kendali dan akal sehat, sehingga
sering kali orang yang hamil tanpa diinginkan terpaksa melakukan aborsi, karena bagi
pelakunya aborsi merupakan jalan keluar satu-satunya yang memang terpaksa harus dilakukan,
tidak mudah menerima situasi di mana orang tidak menginginkan hal-hal yang buruk terjadi
dalam dirinya. Hidup apa pun bentuknya perlu disyukuri, dijaga, dirawat dan dipelihara karena
seburuk apa pun hidup, sehat atau sakit, cacat atau normal, semua itu adalah anugerah terbesar
yang diberikan oleh Sang Pencipta kehidupan. Sebagai manusia yang diciptakan dengan segala
kelebihan dan kekurangan hendaklah memelihara dan mensyukuri kehidupan yang
dipercayakan kepadanya. Para kaum muda (mahasiswi) merupakan pribadi yang memiliki rasa
penasaran yang begitu tinggi sehingga selalu ingin mencoba hal-hal yang bersifat baru dan
kadang-kadang tanpa memikirkan akibatnya bagi diri sendiri, maupun bagi orang lain. Tidak
jarang dijumpai kaum muda yang terjerumus dalam permasalahan-permasalahan yang tidak
diinginkan misalnya, narkotika, tawuran, perkelahian dan seks bebas. Budaya yang begitu
v
bebas dan pengaruh arus zaman yang selalu menggoda tersebut, terkadang membuat kaum
muda kurang menyadari tugas dan tanggung jawab mereka, misalnya sebagai seorang
pelajar/mahasiswi sebagai warga masyarakat dan sebagai warga Gereja. Kondisi aborsi di
Indonesia menyatakan bahwa aborsi diatur oleh UU No.1 Tahun 1946, tentang Kitab-Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ”dengan alasan apa pun aborsi adalah tindakan
melanggar hukum”, sampai saat ini masih diterapkan. UU No. 7 Tahun 1984, tentang
pengesahan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. UU No. 23
Tahun 1992, tentang kesehatan: ”dalam kondisi tertentu bisa dilakukan tindakan medis tertentu
(aborsi)”, sampai saat ini masih diterapkan. Sementara dalam pasal 15 (1) UU Kesehatan
Nomor 23/1992 disebutkan bahwa dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan
jiwa ibu hamil dan atau janinnya dapat dilakukan tindakan medis tertentu. Sedangkan pada ayat
2 tidak disebutkan bentuk dari tindakan medis tertentu itu, hanya disebutkan syarat untuk
melakukan tindakan medis tertentu. Oleh karena itu penulis membuat makalah ini dengan judul
“Aborsi Dalam Pandangan Gereja Katolik”

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah;
1. Apa yang dimaksud dengan aborsi?
2. Apa alasan melakukan aborsi?
3. Apa pandangan Gereja Katolik mengenai aborsi?
4. Apa pandangan negara mengenai aborsi?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah;
1. Untuk mengetahui pengertian aborsi.
2. Untuk mengetahui alasan orang melakukan aborsi.
3. Untuk mengetahui pandangan Gereja Katolik tentang aborsi.
4. Untuk mengetahui pandangan negara tentang aborsi.

vi
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Aborsi


Aborsi berasal dari bahasa latin Abortio ialah pengeluaran hasil konsepsi dari uterus
secara prematur pada umur di mana janin itu belum bisa hidup di luar kandungan. Secara medis
janin bisa hidup di luar kandungan pada umur 24 minggu. Secara medis aborsi berarti
pengeluaran kandungan sebelum berumur 24 minggu sehingga mengakibatkan kematian;
sedangkan pengeluaran janin sesudah berumur 24 minggu dan mati tidak disebut aborsi tetapi
pembunuhan bayi (infantisida). Sedangkan menurut pandangan moral dan hukum, aborsi
berarti pengeluaran janin sejak adanya konsepsi sampai dengan kelahirannya yang
mengakibatkan kematian. Aborsi adalah berakhirnya kehamilan dapat terjadi secara spontan
akibat kelainan fisik wanita atau akibat penyakit biomedis internal atau mungkin disengaja
melalui campur tangan manusia. Hal ini bisa dilakukan dengan cara meminum obat-obatan
dengan tujuan mengakhiri kehamilan atau mengunjungi dokter dengan tujuan meminta
pertolongannya untuk mengakhiri kehamilan, baik mengosongkan isi rahim melalui proses
penyedotan atau dengan melebarkan leher rahim dan menguret isinya. Tetapi bila kehamilan
telah berada dalam tahap lanjut, maka digunakan metode lain. Contohnya, cairan amniotik,
cairan ketuban yang berfungsi sebagai alat untuk menggugurkan kandungannya. Setiap aborsi
spontan yang terjadi karena faktor-faktor biomedis internal disebut sebagai keguguran yang
demikian ini tidak menjadi kontroversi. Etika, agama, hukum mempersoalkan aborsi yang
terjadi akibat campur tangan manusia secara langsung, cara menyakiti diri atau cara lain.
Semua ini memiliki implikasi agama, etika dan hukum. Karena itu, dari definisi di atas harus
dipahami bahwa aborsi sebenarnya adalah setiap tindakan yang diambil dengan tujuan
meniadakan janin dari rahim wanita sebelum akhir dari masa alamiah kehamilan. Dalam istilah
kesehatan aborsi didefinisikan sebagai penghentian kehamilan setelah tertanamnya telur, atau
sel telur yang diproduksi oleh wanita (ovum), yang telah dibuahi dalam rahim (uterus), sebelum
usia janin (fetus) mencapai 8 minggu sampai kelahirannya. Di Indonesia, belum ada batasan

vii
resmi mengenai aborsi. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Prof. Dr. JS. Badudu dan
Prof. Sutan Mohammad Zain, Pustaka Sinar)
Untuk lebih memperjelas maka berikut ini akan saya kemukakan definisi para ahli
tentang aborsi, yaitu:

a. Eastman:
Aborsi adalah keadaan terputusnya suatu kehamilan dimana fetus belum sanggup
berdiri sendiri di luar uterus. Belum sanggup diartikan apabila fetus itu beratnya terletak
antara 400-1000 gr atau kehamilan kurang dari 28 minggu
b. Jeffcoat:
Aborsi yaitu pengeluaran dari hasil konsepsi sebelum 28 minggu, yaitu fetus belum
viable by law
c. Holmer:
Aborsi yaitu terputusnya kehamilan sebelum minggu ke-16 dimana plasentasi belum
selesai.

 Dalam dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi, yaitu:


a. Aborsi spontan / alamiah
Berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan disebabkan karena kurang
baiknya kualitas sel telur dan sel sperma,
b. Aborsi buatan / sengaja
Adalah pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu sebagai suatu
akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi
(dalam hal ini dokter, bidan atau dukun beranak).
c. Aborsi terapeutik / medis
Adalah pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik.
Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi
menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu
maupun janin yang dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang
matang dan tidak tergesa-gesa.

 Jenis-jenis Aborsi

viii
Secara umum, aborsi dapat dibagi dalam dua macam, yaitu pengguguran spontan
(spontanueous aborsi) dan pengguguran buatan atau sengaja (aborsi provokatus) yang terdiri
dari:
a. Aborsi/ Pengguguran Kandungan
Procured Abortion/ Aborsi Provokatus/ Induced Abortion, yaitu penghentian hasil
kehamilan dari rahim sebelum janin bisa hidup di luar kandungan.
b. Miscarringe/ Keguguran
Yaitu terhentinya kehamilan sebelum bayi hidup di luar kandungan (viabilty).
c. Aborsi Therapeutuc/ Medicalis,
Adalah penghentian kehamilan dengan indikasi medis untuk menyelamatkan nyawa ibu,
atau tubuhnya yang tidak bisa dikembalikan.
d. Aborsi Kriminalis,
Adalah penghentian kehamilan sebelum janin bisa hidup di luar kandungan dengan
alasan-alasan lain, selain terapeutik, dan dilarang oleh hukum.
e. Aborsi Eulangsun,
Adalah penghentian kehamilan untuk menghindari kelahiran bayi yang cacat atau bayi
yang mempunyai penyakit
f. Eugenisme
Adalah ideologi yang diterapkan untuk mendapatkan keturunan hanya yang unggul saja.
g. Aborsi Langsung-Tak Langsung
Adalah tindakan (intervensi medis) yang tujuannya secara langsung ingin membunuh
janin yang ada dalam rahim sang ibu. Sedangkan aborsi tak langsung ialah suatu tindakan
(intervensi medis) yang mengakibatkan aborsi, meskipun aborsinya sendiri tidak
dimaksudkan dan bukan jadi tujuan dalam tindakan itu.
h. Selective Abortion
Adalah penghentian kehamilan karena janin yang dikandung tidak memenuhi kriteria
yang diinginkan. Aborsi ini banyak dilakukan wanita yang mengadakan” Pre natal
diagnosis”. Yakni diagnosis janin ketika ia masih ada di dalam kandungan.
i. Embryo Reduction (pengurangan embryo)
Pengguguran janin dengan menyisahkan satu atau dua janin saja, karena dikhawatirkan
mengalami hambatan perkembangan, atau bahkan tidak sehat perkembangannya.
j. Partial Birth Abortion
merupakan istilah politis/hukum yang dalam istilah medis dikenal dengan nama Dilation
and extaction. Cara ini pertama-tama adalah dengan cara memberikan obat-obatan kepada
wanita hamil, tujuan agar leher rahim terbuka secara prematur. Tindakan selanjutnya
ix
adalah menggunakan alat khusus, dokter memutar posisi bayi, sehingga yang keluar lebih
dahulu adalah kakinya. Lalu bayi di tarik Ke luar, tetapi tidak seluruhnya, agar kepala
bayi tersebut tetap berada dalam tubuh ibunya. Ketika di dalam itulah dokter menusuk
kepala bayi dengan alat yang tajam. Dan menghisap otak bayinya sehingga bayi mati.
Sesudah itu baru disedot keluar.

2.2 Alasan Melakukan Aborsi


 Alasan Medis
Adakalanya kelainan pada janin yang dapat membahayakan jiwa si ibu jika ia terus
mempertahankan kehamilannya, misalnya penyakit jantung. Jika hal itu terjadi dokter
dihadapkan kepada pilihan menolong jiwa si ibu dengan menggugurkan kandungan ataukah
membiarkan janin tumbuh menjadi bayi, ibu meninggal. Adapun alasan-alasan
menggugurkan kandungan karena alasan medis ialah :
a. untuk menyelamatkan jiwa si ibu/wanita
b. untuk menjaga kesehatan ibu/wanita untuk mencegah gangguan yang berat dan tetap
terhadap kesehatan wanita
c. untuk mencegah bahaya terhadap kesehatan fisik atau mental wanita atau salah satu anak
dalam keluarga
d. untuk mencegah bahaya terhadap jiwa atau kesehatan wanita
e. untuk mencegah kelahiran dengan fisik atau mental yang berat dari alasan-alasannya
tersebut di atas banyak Negara-negara yang melegalisasinnya, antara lain Negara Prancis,
Swiss, Kanada, Pakistan, dan Thailand, sebagai alasan untuk memperbolehkan aborsi.
 Hamil Karena Perkosaan
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, industrialisasi, modernisasi disertai
globalisasi, telah menyebabkan dampak negatif dalam kehidupan manusia. Ilmu
pengetahuan dan teknologi itu sendiri sebenarnya bebas nilai (tidak bernilai buruk atau
baik). Yang membuat menjadi berakibat buruk adalah manusia itu sendiri seperti media
cetak dan elektronik. Kedua media itu dapat bernilai baik bila digunakan untuk maksud-
maksud yang baik pula. Namun akan menjadi buruk jika digunakan untuk menyebarluaskan
pornografi. Majunya teknologi dan ilmu pengetahuan baik di bidang komunikasi
transformasi dan telematika ada membawa dampak negatif bagi kehidupan masyarakat,
seperti televisi, internet dan lain sebagainya. Kemajuan di bidang komunikasi dan
transformasi adakala banyak disalahgunakan oleh masyarakat terutama di kalangan anak
x
muda sehingga banyak memberikan dampak yang sangat buruk di dalam kehidupan
bermasyarakat. Akibat dampak negatif dari semuanya itu adalah meningkatnya kejahatan di
kalangan masyarakat terutama para remaja, terutama kejahatan seks. Bila hal ini
berlangsung terus dikawatirkan rusaknya moral pemuda kita yang nantinya diharapkan
sebagai generasi penerus perjuangan bangsa. Kita tidak heran lagi mendengar berita-berita
tentang perkosaan akhir- akhir ini terhadap seorang wanita. Di antara kasus-kasus perkosaan
yang sering terjadi sering kali yang menjadi korban adalah gadis di bawah umur. Ada lagi
juga dilakukan oleh ayah terhadap anak kandungnya sendiri. Semua itu mengajak kita untuk
senantiasa waspada dan mawas diri. Apabila perbuatan-perbuatan tersebut di atas
menyebabkan yang bersangkutan bagaimana bayi dalam kandungan tersebut? Akankah
diminta pertanggung jawaban dari orang yang melakukan perbuatan itu? mungkin, maka
jalan yang ditempuh adalah melakukan aborsi. Yang menjadi pertanyaan lain adalah
haruskah seorang yang menjadi korban perkosaan yang hamil melakukan aborsi terhadap
janin yang dikandungnya. Hal tersebut kembali kepada korban tersebut, untuk itu sebelum
mengambil sikap untuk menggugurkan kandungan korban perlu mendapatkan perhatian
yang lebih, terutama dari konsultan ataupun dukungan moril dari keluarga. Karena aborsi
diharapkan dapat menjadi jalan terakhir dari permasalahan tersebut. Karena bagaimanapun
bayi yang dikandung akibat perkosaan tidak bersalah.
 Bayi Yang Dikandung Cacat
Kemajuan teknologi kedokteran telah memungkinkan manusia mengetahui janin
sejak masih dalam kandungan. Bukan saja tentang jenis kelaminnya saja, tetapi juga tentang
apakah janin tersebut menderita cacat atau tidak. Salah satu cacat berat yang dapat dideteksi
sejak dini adalah kelainan fisik atau mental yang disebut sebagai sindrom down. Pada
kelainan ini, selain terdapat kelainan fisik yang berat, juga terdapat kelainan perkembangan
mental yang sangat terlambat (idiot). Di mana anak tersebut jika lahir ke dunia akan selalu
tergantung pada orang lain. Selain sindrom down, adanya kepala tidak berkembang
(anensefali) atau cairan otak tersumbat (hidrosefalus) juga dapat dideteksi sejak janin masih
di dalam kandungan. Dalam keadaan seperti ini, dokter tidak dapat mengelakkan diri dari
keharusan memberitahukan hal itu kepada orang tuanya, agar mereka siap mental
menghadapi serta dapat menentukan rencana kedepannya. Ada kemungkinan pasangan
orang tua itu lebih memilih untuk menggugurkan kandungannya.
 Sosial Ekonomi
Tidak dapat kita pungkiri kebutuhan manusia semakin lama semakin meningkat.
Sedangkan untuk memuaskan kebutuhan tersebut kadang kala terdapat banyak keterbatasan.
Berdasarkan survei yang telah dilakukan maka salah satu penyebab aborsi adalah karena
xi
kemiskinan, di mana seseorang melakukan karena tidak sanggup untuk membiayai
kehidupan anak tersebut kelak, sehingga jalan yang diambil adalah dengan melakukan
aborsi.
 Hamil Di Luar Nikah
Kemajuan zaman yang terus berkembang pada saat ini membuat pergaulan di antara
masyarakat terutama anak muda semakin tidak terkontrol. Perlakuan dan tingkah negatif
yang dilarang dalam norma-norma dalam masyarakat pun menjadi tren di kalangan anak
muda saat ini. Salah satunya adalah seks bebas di antara anak muda yang nantinya akan
menyebabkan kehamilan di luar nikah. Salah satu jalan yang ditempuh ketika seseorang
wanita hamil di luar nikah adalah aborsi. Aborsi dilakukan karena tidak adanya kesiapan
untuk mempunyai anak dan rasa malu kepada masyarakat karena hamil di luar nikah.

2.3 Pandangan Gereja Katolik Tentang Aborsi


A. Pandangan Gereja Katolik Pada Zaman Dahulu
Gereja Katolik menentang segala bentuk prosedur aborsi atau menggugurkan
kandungan yang tujuannya adalah untuk menghancurkan embrio, blastostil, zigot atau janin
(fetus), karena berpegang pada keyakinan bahwa “kehidupan manusia harus dihormati dan
dilindungi secara mutlak sejak saat pembuahannya”. Sejak saat pertama keberadaannya,
seorang manusia insani harus diakui hak-haknya sebagai seorang pribadi, di antaranya
untuk hidup yang tidak dapat diganggu gugat yang dimiliki setiap makhluk tak bersalah.
Namun, Gereja Katolik juga mengakui bahwa tindakan-tindakan tertentu yang secara tidak
langsung mengakibatkan kematian janin dapat dibenarkan secara moral, seperti ketika tujuan
langsung tindakannya adalah pengangkatan rahim dengan sel kanker.
Selain mengajarkan bahwa aborsi adalah tidak bermoral, Gereja Katolik juga kerap
mengeluarkan pernyataan-pernyataan publik dan melakukan tindakan-tindakan untuk
menentang legalitasnya. Menurut Penghormatan bagi Kehidupan Manusia yang Belum
Terlahir: Ajaran Tetap Gereja, sebuah dokumen yang dirilis oleh Komite Aktivitas Pro-
Kehidupan Konferensi Uskup Katolik Amerika Serikat, Gereja Katolik telah mengutuk
“abortus prokurator” sebagai perbuatan amoral sejak abad ke-1. Karya tulis Kristen awal
yang menentang aborsi misalnya Didache, Surat Barnabas, Apokalips Petrus, serta karya-
karya penulis awal seperti tertulianus, Athenagoras dari Athena, Klemens dari Aleksandria,
dan Basilius Agung. Undang-undang Gereja yang paling awal tidak membedakan antara
janin “berbentuk” dan “belum berbentuk”. Pada abad ke-4 dan ke-5, sejumlah penulis
seperti Gregorius dari Nyssa serta Maximus sang Pengaku Iman menyatakan bahwa
kehidupan manusia telah dimulai sejak saat pembuahan, beberapa penulis seperti Laktansius
xii
mengikuti pandangan Aristoteles menyatakan bahwa jiwa manusia “dimasukkan” dalam
periode empat puluh hari atau lebih, dan beberapa penulis seperti Hieronimus serta
Agustinus dari Hippo menyerahkan misteri waktu “pemasukan” tersebut kepada Allah.
Agustinus dari Hippo dengan gigih mengutuk praktik aborsi langsung yang disengaja
sebagai suatu kejahatan, dalam tahap, kendati ia menerima perbedaan antara janin
“berbentuk” dan “belum berbentuk“ yang disebutkan dalam Keluaran 21:22-23 terjemahan
Septuaginta, serta tidak mengklasifikasikan aborsi janin “belum berbentuk” sebagai
pembunuhan karena ia berpikir bahwa belum dapat dikatakan secara pasti apakah sang janin
telah menerima jiwanya. Para penulis setelahnya seperti Yohanes Krisostomusdan Sesarius
dari Arlesserta konsili-konsili Gereja kemudian (misalnya Lerida dan Braga II) juga
mengutuk aborsi sebagai perbuatan yang “sama sekali salah”, tanpa membedakan antara
janin “berbentuk” dan “belum berbentuk” ataupun mendefinisikan secara tepat pada tahap
kehamilan mana kehidupan manusia dimulai. Mengikuti pandangan Aristoteles, terdapat
pandangan umum di antara beberapa “pemikir Katolik terkemuka” dalam sejarah awal
Gereja bahwa manusia jiwa tidak seketika ada pada saat konsepsi, tetapi baru beberapa
minggu setelahnya. Aborsi tetap dipandang sebagai suatu dosa, kendati bukan pembunuhan,
hingga embrio dihidupkan atau dianimasi oleh jiwa insaninya, Anselmus dari Canterbury
(1033 – 1109) mengatakan bahwa “tidak ada intelek kemanusiaan yang menerima
pandangan bahwa seorang bayi memiliki jiwa rasionalnya sejak saat pembuahan”. Beberapa
dekade setelah wafatnya Anselmus, hukum kanon Katolik, dalam Decretum Gratiani,
menyatakan bahwa “bukanlah seorang pembunuh ia yang mendatangkan aborsi sebelum
jiwa berada dalam tubuhnya." Bagaimanapun, kendati dahulu hukum Gereja menerapkan
sanksi berbeda pada aborsi fase awal dan lanjut, sejalan dengan teori yang saat itu umum
diterima mengenai pemerolehan jiwa yang tertunda, aborsi pada setiap tahap kehamilan
tetap dipandang sebagai suatu kejahatan serius. Karenanya Thomas Aquinas, yang
menerima teori Aristotelian bahwa jiwa manusia dimasukkan setelah 40 hari untuk janin
laki-laki, 90 hari untuk janin perempuan, senantiasa memandang aborsi janin yang belum
berjiwa sebagai tindakan yang tidak etis, suatu kejahatan serius, suatu dosa berat, suatu
kelakuan yang jahat dan bertentangan dengan kodrat. Ia menuliskan: "Dosa ini, meskipun
berat dan perlu diperhitungkan di antara kelakuan-kelakuan jahat serta melawan kodrat,
adalah hal yang bukan seperti pembunuhan kecuali seseorang melakukan aborsi janin yang
telah terbentuk."
Pandangan Aristotelian tentang penundaan pemerolehan jiwa ini telah ditinggalkan
sejak abad ke-17, mengiringi unggulnya keyakinan bahwa jiwa telah hadir sejak saat
pembuahan, serta pembuktian ilmiah pada tahun 1827 mengenai keberadaan sel telur
xiii
perempuan dan pada tahun 1875 mengenai keterlibatan penyatuan sel gamet dari masing-
masing orang tua dalam pembuahan menjatuhkan spekulasi tentang suatu perubahan
substansial yang tertunda.
Walaupun Decretum Gratiani, yang tetap menjadi dasar hukum kanon Katolik
sampai digantikan oleh Kitab Hukum Kanonik 1917, membedakan antara aborsi fase-awal
dan fase-akhir, pembedaan kanonik tersebut dihapuskan oleh Bulla Effraenatam yang
dikeluarkan Paus Sikstus V pada tahun 28 Oktober 1588, dan bertahan selama tiga tahun
setelah itu. Bulla Effraenatam menetapkan beragam penalti terhadap segala bentuk aborsi
tanpa membeda-bedakannya. Dengan menyebut aborsi sebagai pembunuhan, dekret itu
menyatakan bahwa siapa saja yang melakukan aborsi janin, entah telah beroleh hidup atau
belum, berbentuk atau belum berbentuk (tam animati, quam etiam inanimati, formati, vel
informis) perlu menerima hukuman yang sama seperti "para pembunuh sesungguhnya yang
benar-benar dan memang melakukan pembunuhan" (veros homicidas, qui homicidium
voluntarium actu, re ipsa patraverint). Selain menyatakan hukuman-hukuman tersebut bagi
para penduduk Negara Gereja, tempat ia menjadi pemegang kewenangan sipil, Paus Sikstus
juga menjatuhkan hukuman rohani ekskomunikasi otomatis kepada para pelakunya (bagian
7). Penerusnya, Paus Gregorius XIV, menyadari bahwa hukuman tersebut tidak
menghasilkan dampak yang diharapkan sehingga ia mencabutnya, memberlakukan hukuman
tersebut sebatas pada aborsi janin yang "berbentuk”. Melalui Bulla Apostolicae Sedis
moderatori, Paus Pius IX pada Tahun 1869 mencabut kembali pengecualian terhadap janin
‘yang belum beroleh hidup’ berkenaan dengan hukuman spiritual ekskomunikasi,
menyatakan bahwa mereka yang melakukan aborsi efektif terkena ekskomunikasi yang
hanya dapat dilepaskan oleh para uskup atau ordinasi. Sejak saat itu penalti ini dikenakan
secara otomatis dengan dilakukannya aborsi pada semua tahap kehamilan, yang bahkan
sebelum saat itu memang tidak pernah dipandang sebagai dosa ringan semata. Dalam hal
lain hukum kanon Katolik pada saat itu tidak mengalami perubahan, bahkan setelah tahun
1869, dengan mempertahankan perbedaan antara aborsi janin yang “telah terbentuk” dan
yang “belum terbentuk”. Sebagaimana diindikasikan di atas dalam kutipan dari Thomas
Aquinas, seseorang yang melakukan aborsi janin yang “telah beroleh hidup” dipandang
“irregular”, yang berarti bahwa ia didiskualifikasi dari kesempatan untuk menerima ataupun
mempraktikkan Tahbisan. Paus Sikstus V memperluas penalti ini hingga mencakup
aborsifase-awal (Bulla Effraenatam Bagian 2), tetapi Paus Gregorius XIV kembali membuat
pembatasan atasnya. Paus Pius IX tidak membuat keputusan dalam hal ini, sehingga penati
irregularitas masih terbatas pada aborsi fase-akhir hingga saat dibuatnya artikel “Aborsi”
dalam Catholic Encyclopedia 1907.
xiv
Pada akhirnya Kitab Hukum Kanonik 1917 menghapus pembedaan tersebut. Pada
Abad Pertengahan, Gereja mengutuk semua aborsi dan pada abad ke-14, seorang Diminikan
bernama Yohanes dari Napoli dilaporkan sebagai orang pertama yang mengeluarkan
pernyataan eksplisit bahwa jika tujuannya adalah menyelamatkan hidup sang ibu, aborsi
sebenarnya diizinkan, asalkan belum sampai fase “pemerolehan jiwa”.
Pandangan ini mendapat dukungan maupun penolakan dari para teolog lainnya. Pada
abad ke-16, kendati Thomas Sanchez mendukung pendapat tersebut, Antonius de Corduba
membuat perbedaan yang sejak saat itu diterima secara umum di antara para teolog Katolik,
yaitu bahwa pembunuhan janin secara langsung tidak dapat diterima, tetapi tindakan untuk
menyembuhkan sang ibu perlu dilakukan sekalipun akan secara tidak langsung
mengakibatkan kematian janin. Pada abad ke-17, ketika Francisco Torreblanca menyetujui
aborsi yang ditujukan sekadar untuk menyelamatkan nama baik seorang wanita. Biro Suci
(yang sekarang disebut Kongregasi Ajaran Iman), yang pada waktu itu dipimpin oleh Paus
Innosensius XI, mengutuk proposisi tersebut yang menyatakan bahwa “adalah sah
melakukan aborsi sebelum pemerolehan jiwa pada janin agar jangan seorang perempuan,
yang didapat hamil, dibunuh atau tercemar reputasi baiknya”. Terkadang dikatakan kalau
Alfonsus Liguori dari abad ke-18 berpendapat bahwa aborsi, meski secara umum salah
secara moral, dapat diterima dalam kondisi-kondisi seperti ketika kehidupan sang ibu berada
dalam bahaya, karena ketidakpastian mengenai kapan jiwa memasuki janin. Namun, ia jelas
menyatakan bahwa tidak pernah dibenarkan menggunakan suatu obat dengan tujuan
membunuh janin, walaupun diperbolehkan untuk memberikan seorang ibu berpenyakit
ekstrem suatu pengobatan yang hasil langsungnya adalah keselamatan hidup sang ibu,
sekalipun secara tidak langsung menyebabkan keluarnya janin. Liguori menyebutkan
pembedaan antara janin yang "hidup" dan "belum hidup", namun ia menjelaskan bahwa
tidak ada kesepakatan mengenai kapan jiwa "dimasukkan", di mana menurutnya banyak
kalangan meyakini bahwa hal itu terjadi pada saat pembuahan. Ia juga mengatakan bahwa
Gereja berbaik hati mengikuti opini 40-hari tersebut dengan menerapkan penalti irregularitas
dan ekskomunikasi hanya bagi mereka yang dengan sengaja berhasil melakukan aborsi janin
"hidup”. Pada tahun 1930, Paus Pius XI tidak memperbolehkan perbuatan yang ia sebut
"pembunuhan langsung orang yang tidak bersalah" sebagai suatu cara untuk menyelamatkan
ibunya. Dan Konsili Vatikan Menyatakan: "Kehidupan harus dilindungi dengan kepedulian
sepenuhnya dari saat pembuahan: aborsi dan infantisida adalah kejahatan-kejahatan
mengerikan. “Kehamilan ektopik (kehamilan yang terjadi di luar rahim) merupakan salah
satu dari sedikit kasus dimungkinkannya kematian embrio yang tak terelakkan, karena kasus
ini dikategorikan sebagai aborsi tidak langsung. Pandangan ini juga dikemukakan pada
xv
tahun 1953 oleh Paus Pius XII dalam suatu sambutan kepada Asosiasi Urologi Italia. Umat
Katolik yang melakukan suatu aborsi terkena ekskomunikasi secara otomatis dan langsung
(Latae sententiae). Itu berarti bahwa ekskomunikasi tersebut tidak perlu dinyatakan atau
dijatuhkan seperti halnya penalti ferendae sententiae ("masih harus diputuskan"). Hukum
kanon menyatakan bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu "pelaku pelanggaran tidak terkena
penalti latae sententiae", dan sebagai gantinya akan diberikan suatu penitensi atau silih; di
antara 10 kondisi yang tercantum dalam hukum kanon terdapat klausul delik yang dilakukan
oleh orang yang belum berusia 16 tahun, orang yang bukan karena kesalahan atau
kelalaiannya tidak mengetahui adanya penalti tersebut, dan "orang yang terpaksa bertindak
karena ketakutan berat, kendati hanya relatif berat, ataupun karena kebutuhan mendesak atau
kesusahan berat “.
B. Pandangan Gereja Pada Masa Sekarang
Untuk mengerti mengapa Gereja Katolik menolak aborsi, di bawah ini dasar yang
menunjukkan alasan Gereja Katolik menolak aborsi. Berdasarkan alasan dari berbagai
dokumen dan ajaran para pemimpin tertinggi Gereja serta Kitab Suci sebagai dasar utama
kehidupan umat Kristiani, Gereja dengan tegas menolak aborsi. Karena berdasarkan sumber
di atas manusia adalah hasil ciptaan Allah menurut Gambar dan rupa-Nya. Maka, manusia
sejak awal adalah kudus.
 Kitab suci
Kitab Suci perjanjian Lama dengan keras melarang orang melakukan pembunuhan
“Jangan membunuh” (Kel. 20:13; Ul. 5:17). Ini berarti kehidupan sangat dihormati dan
perlu dijaga agar tidak mengalami kematian baik secara alami maupun campur tangan
pihak lain. Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama tidak disebutkan secara langsung kata
“aborsi”. Kita hanya melihat teks-teks Kitab suci yang sering digunakan sebagai dasar
argumen bila berbicara soal aborsi. Semua orang setuju bahwa membunuh itu tidak baik
dan tidak boleh. Tetapi persoalan yang muncul ialah bagaimana dengan aborsi? Gereja
Katolik melihat bahwa aborsi adalah perbuatan terkutuk, sebab janin adalah manusia.
Aborsi selalu digolongkan sebagai suatu aksi yang terkutuk sehingga pembunuhannya
masuk klasifikasi pembunuhan manusia. Apalagi pembunuhan itu dilakukan secara
sengaja dengan berbagai motif misalnya ekonomi, dll. Jadi, pembunuhan janin adalah
pembunuhan manusia yang adalah Gambar Allah sendiri. Dalam rahim ibu Allah
berdiam. Ini sesuai dengan apa yang tertulis dalam Kitab Suci, “Sebab Allah membuat
manusia itu menurut gambar-Nya sendiri” (Kej. 9:6b). Maka, barang siapa melakukan
tindakan yang merugikan orang lain terutama aborsi adalah melawan hukum Allah dan
dari padanya akan dituntut nyawa juga. Hidup manusia itu keramat dan tidak dapat
xvi
diganggu gugat. Hanya Dia yang boleh mengambil. Dalam kitab Suci Perjanjian Baru
sebagai dasar kehidupan umat Kristiani atau disebut Injil Kehidupan merupakan inti
amanat Yesus. Kelahiran Yesus merupakan kabar gembira. Kabar gembira ini adalah
dasar untuk pemenuhan kegembiraan pada tiap anak yang lahir di dunia Perjanjian baru
pun tidak berbicara secara langsung mengenai aborsi. Larangan melakukan aborsi adalah
konsekuensi langsung dari permenungan akan harkat dan martabat manusia yang selalu
diperjuangkan Yesus dalam ajaran-Nya dan yang telah diwartakan oleh para murid-Nya.
Dapat kita lihat dalam Kitab Suci bahwa kehamilan tidak pernah menjadi sebuah masalah
atau beban. Ini terlihat pada Injil Lukas 1: 46 “Jiwaku memuliakan Tuhan”. Anak selalu
dimengerti sebagai anugerah dari pencipta kehidupan yakni Allah sendiri. Ketika mulai
ada kehidupan dalam rahim ibu, di sanalah terletak karya penciptaan Allah. Maka,
keluarga selalu bahagia atas kehamilan dan kelahiran anak. Manusia mempunyai
keistimewaan karena berpartisipasi dalam karya penciptaan Allah dalam pro kreasi yakni,
melangsungkan kehamilan dan kelahiran anak. Manusia adalah “pembantu” Allah dalam
menciptakan manusia baru. Maka, penghentian paksa atas kehamilan (aborsi) bukan
hanya berarti berbuat kekejaman terhadap sesama ciptaan tetapi juga merusak karya
ciptaan Allah seperti dikatakan oleh rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di
Korintus:” Yang dari padanya berasal segala sesuatu danyang untuk Dia kita hidup”
(1Kor. 8:6). Membunuh anak adalah perbuatan yang melanggar perintah Allah karena
bayi adalah manusia lemah tak berdaya. Ia tidak mampu membela diri. Allah selalu
berpihak pada orang lemah dan tertindas. Maka, Ia tidak menghendaki kematiannya”
Bulu yang patah terkulai tidak akan diputuskan- Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya
tidak akan dipadamkan-Nya “(Mat. 12:20). Keberpihakan Allah pada orang lemah juga
menjadi sikap Yesus yang bisa kita temukan dalam periskop Kitab Suci, “Barang siapa
menyesatkan salah satu dari anak kecil yang percaya ini, lebih baik baginya jika sebuah
batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia dibuang ke dalam laut” (Mrk. 9:42).
Mengenai penyesatan terhadap anak kecil, Yesus memberi hukuman yang sangat berat
dan Dia tidak membicarakan hal yang sama bagi yang menyesatkan orang dewasa.
Mengapa demikian? Karena orang dewasa mempunyai kemampuan untuk membela diri.
Oleh karena itu, membunuhan orang yang paling lemah adalah berlawanan dengan sikap
dan kehendak Allah yang ingin melindungi orang yang lemah tak berdaya Warta Injil
diterima oleh Gereja penuh kasih dan harus diwartakan dengan kesetiaan penuh
keberanian sebagai warta kebaikan kepada umat manusia pada tiap zaman dan pada tiap
kebudayaan. Warta itu adalah amanat dari Yesus bahwa manusia mempunyai nilai
pribadi yang tiada bandingnya. Hidup manusia itu keramat karena sejak awal mulanya
xvii
melibatkan “tindakan kreativitas Allah” dan untuk selamanya tetap ada dalam naungan
Sang Pencipta, satu-satunya tujuannya. Hanya Dialah awal dan akhir tujuan hidup
 Dokumen Konsili Vatikan II: Gaudium Et Spes
Dalam Gaudium Et spes ditegaskan bahwa dalam situasi apa pun aborsi adalah kejahatan
yang mengerikan. Apalagi pembunuhan bermotif banyaknya anak, ekonomi dan
ketidakharmonisan keluarga. Pembunuhan anak melanggar hukum Ilahi. Sebab Allah,
Tuhan kehidupan telah mempercayakan kepada manusia tugas luhur memelihara
kehidupan. Dengan demikian suami istri harus hormat terhadap kehidupan manusia
melampaui hal-hal yang pada derajat-derajat kehidupan yang lebih rendah. Maka, sejak
pembuahan kehidupan harus dilindungi dengan perawatan yang baik karena anak adalah
ciptaan Allah menurut gambar-Nya. Kongregasi Ajaran Iman: Pernyataan tentang Aborsi
Masalah aborsi hampir di mana-mana menjadi bahan diskusi alot. Melihat masalah ini
kongregasi suci ajaran iman terdorong untuk mengeluarkan pernyataan tentang aborsi.
Kongregasi ini menyadari bahwa tugas Gereja adalah melindungi manusia terhadap
segala aspek yang dapat merusak atau melecehkannya dan memajukan iman dan moral di
seluruh Gereja. Maka, mengenai masalah aborsi Gereja tidak tinggal diam Kongregasi
ajaran iman dalam berbicara mengenai aborsi merujuk pada Kitab Suci. “Allah tidak
menciptakan kematian dan tidak bergembira atas kebinasaan apa yang hidup” (Keb. 1:
13).” Allah bukanlah Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup” (Mat. 22:32).
Perikop di atas menjelaskan bahwa Allah telah menciptakan manusia dan yang
dikehendaki-Nya adalah kehidupan. Ia menciptakan manusia menurut gambar-Nya agar
manusia menjadi mahkota dunia. Maka, aborsi adalah melawan kehendak Allah. Hormat
terhadap hidup manusia adalah suatu kewajiban karena manusia bebas. Ia bebas
menentukan nasibnya dan berkuasa atas dirinya. Manusia diciptakan oleh Allah dan
dalam Allah ia menemukan pemenuhannya. Ketika manusia dinyatakan sebagai persona,
ia sudah bebas. Ia sudah menjadi orang lain bagi ibu dan Ayahnya.
 Ensiklik
Para pemimpin Gereja tidak berdiam diri melihat kasus aborsi yang dilakukan oleh
keluarga-keluarga kristiani. Mereka sebagai pemimpin tertinggi Gereja dan pengajar
ajaran moral yang benar sangat prihatin atas masalah aborsi. Aborsi menjadi masalah
yang cukup serius yang harus dibahas tuntas karena aborsi menyangkut pembunuhan dan
ini melawan ajaran Gereja yang tertuang dalam Kitab Suci. Pernyataan terbaru mengenai
posisi Gereja-gereja mengajarkan bahwa "kehidupan manusia harus dihormati dan
dilindungi secara mutlak sejak saat pembuahannya. Sejak saat pertama keberadaannya,
seorang manusia insani harus diakui hak-haknya sebagai seorang pribadi, di antaranya
xviii
adalah hak untuk hidup yang tidak dapat diganggu gugat yang dimiliki oleh setiap
makhluk tak bersalah”. Sejak abad pertama, Gereja telah menegaskan bahwa setiap aborsi
langsung adalah kejahatan moral, suatu ajaran yang Katekismus Gereja Katolik nyatakan
"belum berubah dan tetap tidak dapat berubah “Gereja mengajarkan bahwa hak yang
tidak dapat dicabut atas kehidupan, yang dimiliki setiap individu manusia yang tak
bersalah, merupakan suatu elemen pokok dalam masyarakat sipil dan perundang-
undangannya. Dengan kata lain, masyarakat terikat pada kewajiban untuk secara hukum
melindungi kehidupan mereka yang belum terlahir.

 Perdebatan politik atas legalisasi aborsi


“Pada saat suatu hukum positif merampas satu kategori manusia dari perlindungan yang
sepatutnya diberikan kepada mereka oleh undang-undang sipil, negara menyangkal
kesetaraan semua orang di hadapan hukum. Ketika negara tidak menempatkan
kekuasaannya untuk melayani hak-hak setiap warga, dan terutama mereka yang lebih
lemah, maka landasan-landasan utama suatu negara yang berdasarkan hukum terkikis
secara perlahan. Sebagai konsekuensi dari penghormatan dan perlindungan yang harus
dijamin bagi anak yang tidak terlahirkan sejak saat pembuahannya, hukum harus
memberikan sanksi-sanksi pidana untuk setiap pelanggaran yang disengaja terhadap hak-
hak sang anak." Karena Gereja Katolik memandang aborsi langsung adalah sama sekali
salah, maka Gereja Katolik merasa wajib untuk mengurangi penerimaannya oleh
masyarakat dan dalam undang-undang sipil. Meski umat Katolik dilarang mendukung
aborsi langsung dalam bidang apa pun, menurut Frank K. Flinn, diakui juga bahwa umat
Katolik dapat menerima kompromi-kompromi yang, ketika membiarkan terjadinya aborsi
langsung, menurunkan prevalensi dengan cara-cara seperti melarang beberapa bentuknya
atau menetapkan berbagai solusi terhadap kondisi-kondisi yang menimbulkan
peningkatan prevalensi. Flinn mengatakan bahwa dukungan dapat diberikan kepada suatu
platform politik yang mengandung sebuah klausul yang berpihak pada aborsi tetapi juga
berisi unsur-unsur yang secara aktual mengurangi jumlah aborsi, daripada suatu platform
anti-aborsi yang mengarah pada peningkatan jumlahnya. Pada tahun 2004, Joseph
Kardinal Ratzinger, Prefek Kongregasi Ajaran Iman, menyatakan: "Seorang Katolik
bersalah saat bekerja sama secara formal dalam kejahatan, dan sangat tidak layak hadir
untuk menerima Komuni Kudus, apabila ia dengan sengaja memilih seorang kandidat
justru karena sikap permisif sang kandidat dalam hal aborsi dan/atau eutanasia. Ketika
seorang Katolik tidak menyetujui sikap kandidat yang mendukung aborsi dan/atau
eutanasia, tetapi memilih kandidat itu karena alasan-alasan lain, maka hal itu dianggap
xix
kerja sama material yang tak terkait, yang dapat diperkenankan dengan adanya alasan-
alasan proporsional. “Terdapat kontroversi seputar perlakuan terhadap para politisi
Katolik yang mendukung legalisasi aborsi. Dalam kebanyakan kasus, para pejabat Gereja
mengancam untuk tidak memberikan Komuni Kudus kepada politisi-politisi tersebut.
Pastor RichardJohn Neuhaus termasuk salah seorang pendukung utama tindakan itu.
Dalam beberapa kasus, mereka menyatakan bahwa para politisi tersebut seharusnya
menahan diri untuk tidak menerima komuni; dalam kasus yang lain, kemungkinan
dijatuhkannya ekskomunikasi pernah dikemukakan.

 Pandangan Gereja Katolik tentang Aborsi karena Indikasi Medis


Saat ini Aborsi menjadi salah satu masalah yang cukup serius, dilihat dari tingginya
angka aborsi yang kian meningkat dari tahun ke tahun. Frekuensi terjadinyaaborsi sangat
sulit dihitung secara akurat, karena aborsi buatan sangat sering terjadi tanpa dilaporkan,
kecuali jika terjadi komplikasi sehingga perlu perawatan di Rumah Sakit. Tidak ada data
yang pasti tentang besarnya dampak aborsi terhadap kesehatan ibu. WHO memperkirakan
10-50 persen kematian ibu disebabkan oleh aborsi (tergantung kondisi masing-masing
negara). Diperkirakan di seluruh dunia, setiap tahun dilakukan 20 juta aborsi tidak aman,
70.000 wanita meninggal akibat aborsi tidak aman, dan 1 dari 8kematian ibu disebabkan
oleh aborsi tidak aman. Di Asia tenggara, WHO memperkirakan4,2 juta aborsi dilakukan
setiap tahunnya, di antaranya 750.000 sampai 1,5 juta terjadi diindonesia. Risiko
kematian akibat aborsi tidak aman di wilayah Asia diperkirakan antara1 dari 250, negara
maju hanya 1 dari 3700. Angka tersebut memberikan gambaran bahwa masalah aborsi di
Indonesia masih cukup besar.
 Pengampunan bagi wanita yang melakukan aborsi
Terlepas dari indikasi dalam hukum kanon bahwa ekskomunikasi otomatis tidak berlaku
pada wanita yang melakukan aborsi karena rasa takut yang berat atau karena kesusahan
berat, Gereja Katolik, di luar pembedaan tersebut, menjamin dimungkinkannya
pengampunan bagi para wanita yang telah melakukan aborsi. Paus Yohanes Paulus
Menuliskan: Sekarang saya ingin menyampaikan suatu perkataan khusus bagi para
wanita yang telah melakukan aborsi. Gereja menyadari adanya banyak faktor yang
mungkin telah mempengaruhi keputusan Anda, dan ia tidak ragu bahwa dalam banyak
kasus hal itu mungkin suatu keputusan yang menyakitkan dan bahkan sangat
menggelisahkan. Luka dialam hati Anda mungkin belum tersembuhkan. Tentu saja apa
yang telah terjadi adalah dan tetap sangat keliru. Namun, jangan menyerah pada
keputusasaan dan jangan kehilangan harapan. Berusahalah untuk lebih memahami apa
xx
yang telah terjadi dan hadapilah dengan jujur. Apabila Anda belum melakukannya,
serahkanlah diri Anda pada kerendahan hati dan percayalah pada penyesalan. Bapa yang
penuh belas kasihan siap memberikan Anda pengampunan dan damai sejahtera-Nya
dalam Sakramen Rekonsiliasi. Dalam kesempatan Yubileum Luar Biasa Kerahiman pada
tahun 2015, Paus Fransiskus mengumumkan bahwa semua imam (selama tahun
Yubileum-Yang berakhir pada tanggal 20 November 2016), melalui Sakramen Tobat,
diizinkan untuk melepaskan sanksi ekskomunikasi atas tindakan aborsi, yang sebelumnya
wewenang itu hanya dikhususkan bagi para uskup dan imam tertentu yang diberi mandat
tersebut oleh uskupnya. Kebijakan ini dijadikan permanen melalui sebuah surat apostolik
berjudul: Misericordia et misera (Kerahiman dan Penderitaan), yang dikeluarkan pada
tanggal 21 November 2016.

2.4 Pandangan Negara Tentang Abrosi


Setiap negara memiliki peraturan yang berbeda-beda dalam menghadapi kasus aborsi,
diantaranya:
A. Hukum di Indonesia:
1. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Undang- undang di Indonesia
dengan tegas melarang tindakan aborsi. Larangan ini diberikan perkecualian terhadap 2
hal yaitu kedaruratan medis atau akibat pemerkosaan. Indikasi kedaruratan medis
dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin,
yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat
diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan. Indikasi
kehamilan karena pemerkosaan dapat dilakukan bila menyebabkan trauma psikologis
bagi korban perkosaan. Semua kegiatan aborsi berdasarkan dua ketentuan yang diizinkan
pemerintah dapat dilakukan bila pasien telah melakukan konseling dan/atau penasehatan
pratindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor
yang kompeten dan berwenang. Penjabaran mengenai peraturan tersebut, yaitu sebagai
berikut:
a. Pasal 75
1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan.
a) Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat
dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga
menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
xxi
b) Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi
korban perkosaan.
3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah
melalui konseling dan/atau penasehatan pratindakan dan diakhiri dengan konseling
pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan,
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
b. Pasal 76
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
1) Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid
terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
2) Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki
sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
3) Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
4) Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan penyedia layanan kesehatan
yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh menteri.
c. Pasal 77
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan
tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan
peraturan perundang-undangan)
d. Pasal 194
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
2. Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi Pada Peraturan
Pemerintah mengenai kesehatan reproduksi ini dijelaskan bahwa syarat umur kandungan
yang boleh dilakukan aborsi ialah berumur 6 minggu / 40 hari (dihitung dari hari pertama
haid terakhir), kecuali dalam hal kedaruratan medis. Semua kegiatan aborsi harus
dilakukan oleh tenaga medis yang terampil dengan kewenangan yang ditetapkan oleh
menteri dengan bukti sertifikat keterampilan, dilakukan berdasarkan persetujuan ibu
hamil dan/ izin suami (kecuali korban perkosaan), serta dilakukan di tempat penyedia
layanan kesehatan yang memenuhi syarat sesuai ketetapan menteri. Berdasarkan PP no
xxii
61 tahun 2014 pasal 39 setiap pelaksanaan aborsi pimpinan fasilitas layanan kesehatan
wajib dilaporkan kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dengan tembusan kepala
dinas kesehatan provinsi. Peraturan tersebut secara lengkap dapat dilihat di bawah ini:
a. Pasal 31
1) Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan:
a) indikasi kedaruratan medis; atau
b) Kehamilan akibat pemerkosaan
2) Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh)
hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
b. Pasal 32 (1)
Indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a
meliputi:
1) Kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu; dan/atau
2) Kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita
penyakit genetic berat dan/atau acat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki
sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan)
c. Pasal 35
1) Aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan
harus dilakukan dengan aman, bermutu dan bertanggungjawab.
2) Praktik aborsi yang aman, bermutu dan bertanggung jawabsebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a) Dilakukan oleh dokter sesuai dengan standar;
b) Dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat yang
ditetapkan oleh Menteri;
c) Atas permintaan atau persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan;
d) Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan;
e) Tidak diskriminatif; dan
f) Tidak mengutamakan imbalan materi
3) Dalam hal perempuan hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c tidak
dapat memberikan persetujuan, persetujuan aborsi dapat diberikan oleh keluarga
yang bersangkutan.
3. Peraturan Menteri Kesehatan No. 3 Tahun 2006 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan
Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan.
Pada peraturan ini mengatur mengenai standar pelayanan medis dalam menangani aborsi.
xxiii
Semua kegiatan aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) UU
no 36 tahun 2009 yang dilakukan dengan paksaan dan tanpa persetujuan perempuan yang
bersangkutan, yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang tidak profesional, tanpa
mengikuti standar profesi dan pelayanan yang berlaku, diskriminatif, atau lebih
mengutamakan imbalan materi dari pada indikasi medis harus dicegah oleh pemerintah.
Semua orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00(satu miliar rupiah).
B. Hukum Internasional
Peraturan internasional mengenai aborsi tertuang dalam “Safe Abortion: Technical
and policy guidance for health systems” di Geneva Tahun 2012. Menurut WHO Aborsi
adalah salah satu prosedur medis yang paling aman jika dilakukan mengikuti panduan WHO
(WorldHealth Organization). Tetapi ini juga merupakan penyebab setidaknya satu dari enam
kematian ibu akibat komplikasi ketika tidak aman. Pada tahun 2004, penelitian oleh WHO
berdasarkan berdasarkan perkiraan dan data dari semua negara menunjukkan bahwa
semakin luas dasar hukum untuk aborsi, semakin sedikit kematian akibat aborsi yang tidak
aman. Bahkan, penelitian menemukan bahwa hanya ada enam dasar utama untuk
memungkinkan aborsi diterapkan di sebagian besar negara:
ground 1 - risiko untuk hidup
ground 2 - pemerkosaan atau pelecehan seksual
ground 3 - anomali janin yang serius
ground 4 -risiko terhadap kesehatan fisik dan mental kadang-kadang
ground 5 -alasan sosial dan ekonomi
ground 6 -berdasarkan permintaan Negara tetangga kita di Singapura peraturan mengenai
aborsi tertuang dalam “Termination of Pregnancy Act (CHAPTER 324)”.
Aborsi dapat dilakukan dengan syarat berumur 18 tahun ke atas jika kurang dari 18 harus
didampingi orang tua atau pendamping. Aborsi diizinkan bila kehamilan berumur kurang
dari 16 minggu dan dilarang jika lebih dari 24 minggu dapat dilakukan jika memang
mendesak untuk menyelamatkan kehidupan/ untuk mencegah kematian hingga sakit fisik
atau mental bagi ibu hamil. Kehamilan 16-24 minggu dapat dilakukan aborsi oleh otoritas
medis yang memiliki kualifikasi medis kebidanan/ bedah, orang yang memperoleh keahlian
dalam teknik aborsi atau penanganan aborsi yang disetujui oleh institusi dalam rentang
waktu yang disefinisikan. Orang yang memaksa untuk melakukan aborsi tanpa kehendak
sendiri, orang tersebut dikenai hukuman denda maksimal3000dolar atau penjara tidak lebih
dari 3 tahun atau keduanya
xxiv
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pengajaran Alkitab dan Gereja Katolik menyatakan, “Kehidupan manusia adalah Sakral
karena sejak dari awalnya melibatkan tindakan penciptaan Allah”. Kehidupan, seperti halnya
kematian adalah sesuatu yang menjadi hak Allah, dan manusia tidak Berkuasa untuk
‘mempermainkannya’. Perbuatan aborsi menentang hukum alam dan Hukum Allah, maka tak
heran, perbuatan ini mengakibatkan hal yang sangat negatif kepada orang-orang yang terlibat di
dalamnya. Aborsi adalah tindakan pembunuhan manusia, walaupun ada sebagian orang yang
menutup mata terhadap kenyataan ini. Gereja Katolik tidak pernah urung dalam menyatakan
sikapnya yang “Pro-life“ atau mendukung kehidupan, sebab, Gereja menghormati Allah
Pencipta yang memberikan kehidupan itu. Tindakan melindungi kehidupan ini merupakan
bukti nyata dari iman kita kepada Kristus, yang adalah Sang Hidup (Yoh14:6) dan pemberi
hidup itu sendiri. Mari, di tengah-tengah budaya yang menyerukan “kematian”/Culture of
death, kita sebagai Umat Katolik dengan berani menyuarakan “kehidupan”/Culture of life. Mari
kita melihat di dalam setiap anak yang lahir, di dalam setiap orang yang hidup maupun yang
meninggal, gambaran kemuliaan Tuhan Pencipta yang telah menciptakan manusia sesuai
dengan gambaran-Nya. Dengan demikian, kita dapat menghormati setiap orang, dan
memperlakukan setiap manusia sebagaimana mestinya demi kasih dan hormat kita kepada
Tuhan yang menciptakannya. Mari bersama kita mewartakan Injil Kehidupan, yang
menyatakan kepenuhan kebenaran tentang manusia dan tentang kehidupan manusia. Semoga
kita dapat memiliki hati nurani yang jernih, sehingga kita dapat mendengar seruan Tuhan untuk
memperhatikan dan mengasihi sesama kita yang terkecil, yakni Mereka yang sedang terbentuk
di dalam rahim para ibu. Sebab Yesus bersabda, “Apa Yang kau lakukan terhadap saudaramu
yang paling kecil ini, engkau lakukan untuk Aku…”

3.2 Saran
xxv
Gereja mengajak kita untuk menghormati hidup manusia sejak dari awal, oleh karena
itu dapat dikatakan dengan tegas, kita menolak adanya pengguguran. Aborsi hanya boleh
dilakukan dengan keadaan darurat sebagai cara untuk menyelamatkan ibunya. Jadi, aborsi yang
dilakukan oleh karena alasan lain, jelas-jelas dilarang.

DAFTAR PUSTAKA

https://id.scribd.com/document/433723740/Aborsi-Dalam-Pandangan-Gereja-Katolik

https://1drv.ms/w/s!Am_Yy1GASU0Ba951jryKH5hODyA- pandangan- gereja-tentang- Aborsi, di


akses pada 05 November 2023 pukul 23.10.

xxvi

Anda mungkin juga menyukai