Anda di halaman 1dari 16

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN Maret 2022


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

FOBIA SOSIAL (F40.0)

OLEH :
Riska Rianti
11120212074

Dokter Pembimbing Klinik:


Dr. Hidajah, M. Kes., Sp. KJ

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2022
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. B.M

No. RM : Tidak Dicantumkan

Tanggal Lahir : 20 Februari 1989 (32 tahun)

Agama : Islam

Suku : Tidak Dicantumkan

Status Pernikahan : Sudah Menikah

Pendidikan Terakhir : S1

Pekerjaan : Kepala Bagian

Alamat : Tidak Dicantumkan


II. RIWAYAT PSIKIATRI
Diperoleh dari catatan medis, autoanamnesis, dan alloanamnesis dari:
1. Nama : Tn. x
Umur : Tidak Dicantumkan
Jenis kelamin : Tidak Dicantumkan
Agama : Islam
Pendidikan Terakhir : Tidak Dicantumkan
Pekerjaan : Tidak Dicantumkan
Alamat : Tidak Dicantumkan

Hubungan dengan pasien : Suami Pasien

A. Keluhan Utama

Gelisah

B. Riwayat Gangguan Sekarang


Seorang pasien (wanita) Ny.B.M. (usia 32 th) dikonsul ke poliklinik Psikiatri
dengan keluhan jantung berdebar-debar, keringat dingin, perut mulas, dan pusing.
Keluhan ini telah berlangsung sejak 3 tahun yang lalu. Sehari sebelumnya pasien pingsan
tak sadarkan diri. Dari auto dan alloanamnesis (dari suami pasien), didapatkan hal-hal
sebagai berikut : keluhan utama/alasan berobat/alasan perawatan, pasien pingsan tak
sadarkan diri pada saat akan berpidato di depan undangan, saat pelantikan pasien
sebagai Kepala Bagian. Pasien dibawa ke institusi gawat darurat. Setelah tenang,
disarankan untuk konsultasi ke poliklinik Psikiatri.
Dari anamnnesis diperoleh kesan pasien tidak akan mengikuti kegiatan
bila harus berhadapan pada situasi publik (sosial) lainnya. Selalu dalam pikirannya
sudah tersedia jawaban bahwa “saya tidak bisa dan akan malu-maluin“. Pada
pertemuan khusus, misalnya resepsi perkawinan yang mengharuskan pasien
bersama suaminya pergi ke tempat tersebut, selalu tersedia jawaban, lebih baik
saya “ tinggal di rumah, kasihan anak- anak tidak mempunyai teman.“ guna
menolak ajakan.
Deskripsi umum menunjukkan, pasien tampak gelisah, mengeluh
dadanya sakit, kesemutan yang menjalar ke lengan kiri, deg-degan, pusing,
keringat dingin dan mual. Sikap terhadap pemeriksa: koperatif, pembicaraan
lancar, tingkah laku motorik dalam batas normal. Tidak diketemukan tanda-tanda
psikopatologis lainnya, dalam proses pikir, alam perasaan, tingkah laku motorik,
persepsi, sensorium dan kognisi, orientasi, daya ingat, dan konsentrasi. Daya
menilai realitas: baik. Penghayatan terhadap penyakit : tingkat V (intelektual).
Pasien mengeluh dadanya sakit, disertai nyeri yang menjalar pada daerah lengan
kiri yang berasal dari daerah dada, dan untuk menyikirkan kelainan gangguan
kardiovaskular pasien dikonsulkan ke dokter ahli jantung. Dilakukan pemeriksaan
elektrokardiograf dan tidak didapatkan kelainan elektrokardiogram (EKG). Dan
pemeriksaan echocardiography menunjukkan hasil sebagai berikut, dimensi ruang:

3
ruang jantung normal. Left ventricle (LV): tebal normal. Fungsi sistolik : baik, normokinetik,
semua segmen dan katub-katub jantung: normal. Diagnostic impression dari pada
jantung: Fungsional normal dan tidak tampak gangguan kinetik. Karena ada keluhan
mulas, pasien dikonsulkan ke bagian penyakit dalam, namun tidak didapatkan kelainan
yang signifikan.

C. Riwayat Gangguan Sebelumnya

1. Riwayat Penyakit Dahulu

Tidak ditemukan adanya riwayat penyakit fisik seperti infeksi, trauma


kapitis, dan kejang yang mempengaruhi fungsi otak.
2. Riwayat Penggunaan Zat Psikoaktif
Pasien tidak pernah ada riwayat penyalahgunaan narkotika dan
psikotropika.
3. Riwayat Gangguan Psikiatrik Sebelumnya
Tidak dicantumkan dalam jurnal
D. Riwayat Kehidupan Pribadi

1. Riwayat Prenatal dan Perinatal


Tidak dicantumkan dalam jurnal
2. Riwayat Masa Kanak Awal (Usia 1-3 tahun)
Tidak dicantumkan dalam jurnal
3. Riwayat Masa Kanak Pertengahan (Usia 4-11 tahun)
Tidak dicantumkan dalam jurnal
4. Riwayat Masa Kanak Akhir dan Remaja (Usia 12-18 tahun)
Tidak dicantumkan dalam jurnal
5. Riwayat Masa Dewasa
a. Riwayat Pekerjaan
Dari alloanamnesi Pasien baru saja dilantik sebagai kepala bagian,
yang mengharuskannya berpidato di depan tamu undangan dihari
pelantikannya dan pasien pingsan tak sadarkan diri. Saat dilakukan
autoanamnesis pasien mengatakan tidak akan mengikuti kegiatan serupa
bila harus berhadapan pada situasi publik (sosial) lainnya. Dengan pikiran
bahwa sanya “saya tidak bisa dan akan malu-maluin“.
b. Riwayat Pernikahan
Pasien Telah menikah

4
c. Psikoseksual
Tidak dicantumkan dalam Jurnal

d. Riwayat Agama
Tidak dicantumkan dalam Jurnal
e. Riwayat Militer

Pasien tidak pernah mengikuti kegiatan militer.

f. Riwayat Pelanggaran Hukum

Pasien belum pernah terlibat masalah hukum sebelumnya.


g. Aktivitas Sosial
Tidak dicantumkan dalam Jurnal

6. Riwayat Keluarga
Tidak dicantumkan dalam Jurnal

E. Situasi Kehidupan Sekarang

Saat ini pasien tinggal bersama suaminya. Pasien saat ini istirahat
dari pekerjaanya. sebelum sakit pasien dilantik sebagai kepala
bagian di suatu daerah

F. Persepsi Pasien tentang Diri dan Kehidupannya

Bila harus berhadapan pada situasi publik (sosial) dalam pikirannya sudah
tersedia jawaban bahwa “saya tidak bisa dan akan malu-maluin“. Pada
pertemuan khusus, misalnya resepsi perkawinan yang mengharuskan pasien
bersama suaminya pergi ke tempat tersebut, selalu tersedia jawaban, lebih baik
saya “ tinggal di rumah, kasihan anak- anak tidak mempunyai teman.“ guna
menolak ajakan

III. PEMERIKSAAN FISIS DAN NEUROLOGIS

1. Status Internus

Keadaan umum tidak tampak sakit, gizi cukup, kesadaran compos


mentis, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterus. Jantung, paru-
paru, dan abdomen kesan dalam batas normal, ekstremitas atas dan
bawah tidak ada kelainan.
5
2. Status Neurologis

Gejala rangsang selaput otak: kaku kuduk (-), Kernig’s sign (-)/(-), pupil
bulat dan isokor 2,5 mm/2,5 mm, refleks cahaya (+)/(+), fungsi motorik
dan sensorik keempat ekstremitas dalam batas normal, tidak ditemukan
refleks patologis.

IV. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL

A. Deskripsi Umum

1. Penampilan

Seorang Wanita, wajah kesan sesuai usia , perawatan diri kesan


cukup.
2. Kesadaran

Kuantitas : Glasgow Coma Scale 15 (E4M6V5)

Kualitas : Composmentis
3. Perilaku dan Aktivitas Psikomotor
tenang saat dilakukan wawancara
4. Pembicaraan

Pasien menjawab pertanyaan dengan spontan, lancar, intonasi biasa.

5. Sikap terhadap pemeriksa

Kooperatif, pembicaraan lancar

B. Mood dan Afek

1. Mood : disforia

2. Afek : serasi

3. Keserasian : serasi

4. Empati : dapat dirabarasakan

C. Fungsi Intelektual (Kognitif)

1. Taraf Pendidikan

6
Tidak dicantumkan dalam jurnal
2. Orientasi

a. Waktu : baik

b. Tempat : baik

c. Orang : baik

3. Daya Ingat

a. Jangka Panjang : baik

b. Jangka Sedang : baik

c. Jangka Pendek : baik

d. Jangka Segera : baik

4. Konsentrasi dan Perhatian : cukup

5. Pikiran Abstrak : baik

6. Bakat Kreatif : tidak ada

7. Kemampuan Menolong diri sendiri

Cukup, pasien mampu merawat diri dan makan secara mandiri

D. Gangguan Persepsi

1. Halusinasi : Halusinasi auditorik (-)

2. Ilusi : Tidak ada

3. Depersonalisasi : tidak ada

4. Derealisasi : tidak ada

E. Proses Berpikir

1. Produktivitas : cukup

2. Kontinuitas : cukup relevan

3. Hendaya berbahasa : tidak ada

7
4. Isi Pikiran

Terdapat gangguan isi pikiran berupa :

Fobia : rasa takut berbicara di depan umum, serta takut akan keramaian

F. Pengendalian Impuls
Selama wawancara pengendalian impuls cukup baik.

G. Daya Nilai dan Tilikan

1. Norma Sosial : Baik

2. Uji daya nilai : Baik

3. Penilaian Realitas : Baik

4. Tilikan : tilikan 5 intelektual (pasien mengetahui


bahwa ia sakit dan tahu bahwa gejala atau kegagalan dalam
penyesuaian sosialnya disebabkan oleh perasaan atau gagasan
irasional atau gangguan gangguan yang dialami tanpa
menggunakannya untuk pengalaman yang akan datang
H. Taraf Dapat Dipercaya

Dapat dipercaya
I. Pemeriksaan penunjang
a. Elektrokardiogram (EKG) : Dalam Batas Normal

b. Echocardiography : Dalam Batas Normal

V. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA

Seorang pasien (wanita) Ny.B.M. (usia 32 th) dikonsul ke poliklinik Psikiatri


dengan keluhan jantung berdebar-debar, keringat dingin, perut mulas, dan pusing.
Keluhan ini telah berlangsung sejak 3 tahun yang lalu. Sehari sebelumnya pasien pingsan
tak sadarkan diri. Dari auto dan alloanamnesis (dari suami pasien), didapatkan hal-hal
sebagai berikut : keluhan utama/alasan berobat/alasan perawatan, pasien pingsan tak
sadarkan diri pada saat akan berpidato di depan undangan, saat pelantikan pasien
sebagai Kepala Bagian. Pasien dibawa ke institusi gawat darurat. Setelah tenang,
disarankan untuk konsultasi ke poliklinik Psikiatri.
Dari anamnnesis diperoleh kesan pasien tidak akan mengikuti kegiatan bila
8
harus berhadapan pada situasi publik (sosial) lainnya. Selalu dalam pikirannya
sudah tersedia jawaban bahwa “saya tidak bisa dan akan malu-maluin“. Pada
pertemuan khusus, misalnya resepsi perkawinan yang mengharuskan pasien
bersama suaminya pergi ke tempat tersebut, selalu tersedia jawaban, lebih baik
saya “ tinggal di rumah, kasihan anak- anak tidak mempunyai teman.“ guna
menolak ajakan.
Deskripsi umum menunjukkan, pasien tampak gelisah, mengeluh
dadanya sakit, kesemutan yang menjalar ke lengan kiri, deg-degan, pusing,
keringat dingin dan mual. Sikap terhadap pemeriksa: koperatif, pembicaraan
lancar, tingkah laku motorik dalam batas normal. Tidak diketemukan tanda-tanda
psikopatologis lainnya, dalam proses pikir, alam perasaan, tingkah laku motorik,
persepsi, sensorium dan kognisi, orientasi, daya ingat, dan konsentrasi. Daya
menilai realitas: baik. Penghayatan terhadap penyakit : tingkat V (intelektual).
Pasien mengeluh dadanya sakit, disertai nyeri yang menjalar pada daerah
lengan kiri yang berasal dari daerah dada, dan untuk menyikirkan kelainan
gangguan kardiovaskular pasien dikonsulkan ke dokter ahli jantung. Dilakukan
pemeriksaan elektrokardiograf dan tidak didapatkan kelainan elektrokardiogram
(EKG). Dan pemeriksaan echocardiography menunjukkan hasil sebagai berikut,
dimensi ruang: ruang jantung normal. Left ventricle (LV): tebal normal. Fungsi sistolik :
baik, normokinetik, semua segmen dan katub-katub jantung: normal. Diagnostic
impression dari pada jantung: Fungsional normal dan tidak tampak gangguan kinetik.
Karena ada keluhan mulas, pasien dikonsulkan ke bagian penyakit dalam, namun tidak
didapatkan kelainan yang signifikan.
V. EVALUASI MULTI AKSIAL

a). Aksis I : Berdasarkan alloanamnesis, autoanamnesis, dan pemeriksaan


status mental didapatkan gejala klinis yang bermakna yaitu perilaku gelisah,
mengeluh dadanya sakit keringat dingin dan mual. Keadaan ini
menimbulkan penderitaan (distress) pada pasien, hendaya (dissability)
ringan pada fungsi psikososial, pekerjaan, dan penggunaan waktu
senggang sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien menderita Gangguan
Jiwa.
Pada pemeriksaan status mental tidak ditemukan adanya hendaya
dalam menilai realita berupa kurangnya kepercayaan diri tampil didepan
umum, sehingga didiagnosis Gangguan Jiwa non psikotik
Pada pemeriksaan status internus dan neurologis tidak ditemukan
9
adanya kelainan, sehingga kemungkinan adanya gangguan mental organik
dapat disingkirkan dan berdasarkan PPDGJ-III didiagnosis Gangguan Jiwa
non Psikotik Non Organik.
Dari alloanamnesis, autoanamnesis, dan pemeriksaan status mental
didapatkan adanya berupa kurangnya kepercayaan diri tampil didepan umum
dengan perlangsungan gejala lebih dari 6 bulan, sehingga memenuhi
diagnosis Fobia Sosial (F40.1)

b). Aksis II : Data yang didapatkan belum dapat mengarahkan ke ciri


kepribadian tertentu.

c). Aksis III : Takikardi

d). Aksis IV : Tidak ada

e). Aksis V : GAF Scale : 70 - 61 : Beberapa gejala ringan dan menetap,


secara umum masih baik
VI. DAFTAR MASALAH
Organobiologik
Tidak ditemukan kelainan fisik yang bermaknakoterapi.
Psikologik
Ditemukan adanya hendaya dalam menilai realitas berupa adanya fobia
sosial yang menimbulkan gejala psikis sehingga pasien memerlukan
psikoterapi.
Sosiologik

Ditemukan adanya hendaya dalam bidang sosial sehingga perlu


dilakukan sosioterapi.
VII. PROGNOSIS

Quo ad Vitam : Bonam

Quo ad functionam : Dubia ad bonam

Quo ad sanationam :Dubia ad bonam


VIII. RENCANA TERAPI

A. Psikofarmakoterapi

a). Alprazolam 0,5 mg 2 x1 /12 jam

b). Flouxatine 20 mg 1 x 1/ 24 jam


10
B. Psikoterapi

Suportif :

Memberikan dukungan kepada pasien untuk dapat membantu


pasien dalam memahami dan menghadapi penyakitnya. Memberi
penjelasan dan pengertian mengenai penyakitnya, manfaat
pengobatan, cara pengobatan, efek samping yang mungkin timbul
selama pengobatan, serta memotivasi pasien supaya mau minum
obat secara teratur.

Sosioterapi :
Memberikan penjelasan kepada orang-orang terdekat pasien
sehingga bisa menerima keadaan pasien dan memberikan
dukungan moral serta menciptakan lingkungan yang kondusif untuk
membantu proses penyembuhan dan keteraturan pengobatan.

IX. DISKUSI
Fobia sosial adalah ketakutan yang tidak rasional terhadap pandangan
negatif orang lain. Penderita merasa bahwa semua orang memandangi dan
mengevaluasi dirinya sehingga mereka cenderung menghindari situasi sosial,
seperti berbicara di depan publik, tampil di panggung, bekerja ketika diawasi,
makan di tempat umum, dan berkencan, karena khawatir akan berbuat sesuatu
yang memalukan. Keadaan ini menetap, berlangsung terus menerus dan dapat
ditimbulkan oleh orang yang mereka kenal. Kecemasan penderita lebih kuat
ditimbulkan oleh kelompok daripada individual, teman-teman sebaya daripada
orang yang lebih tua, orang dengan jenis kelamin yang berbeda, dan orang yang
lebih berkuasa Terdapat dua tipe fobia sosial, yaitu fobia sosial umum yang lebih
parah dan lebih buruk prognosisnya dimana penderitanya cemas dalam
sebagian besar situasi sosial; dan fobia sosial spesifik yang lebih mudah
ditangani dengan prognosis yang lebih baik karena kecemasan penderita hanya
terbatas pada situasi sosial tertentu.
GAMBARAN KLINIS
Secara umum, penderita fobia sosial terlihat tidak nyaman, cemas, ragu-
ragu dan sulit mengungkapkan pendapat di tengah orang banyak. Namun pada
situasi percakapan satu lawan satu menunjukkan keterampilan sosial yang

11
normal. Hal ini dapat menjadi diagnosis diferensial untuk sindrom Asperger
dimana penderitanya mengalami kekurangan pada kemampuan berkomunikasi.
Karena kelainan ini sering terjadi bersamaan dengan depresi, penderita
mungkin mengeluh merasa tertekan karena khawatir berlebihan. Pikiran pasien
dipenuhi oleh apa yang orang lain pikirkan mengenai mereka, kadang sampai
mencapai tingkat delusi, dengan proses berpikir dan tingkat kecerdasan yang

umumnya normal. Penderita fobia sosial tingkat lanjut dapat mengurung diri
mereka agar tidak bertemu dengan orang lain. Isolasi sosial ini dapat mengarah
ke perasaan putus asa, tertekan dan pikiran untuk bunuh diri.
Gejala yang dialami penderita saat cemas antara lain pemusatan perhatian
pada diri sendiri, malu, merasa rendah diri, bicara tergagap, pipi merona,
berkeringat, gemetar, dada berdebar, ingin melarikan diri, serta pemikiran bahwa
orang lain berpandangan negatif tentang dirinya. Tidak hanya itu, penderita juga
mengalami kecemasan berminggu-minggu sebelum menghadapi situasi yang
ditakutkan dan pikiran negatif yang mencela diri sesudahnya.
Menurut model kognitif dari Clark dkk. untuk menanggulangi rasa cemas
yang timbul, penderita umumnya akan melarikan diri dari situasi dengan cara
berusaha untuk tidak terlihat, menghindari kontak mata, dan menunjukkan
perilaku pengaman. Perilaku pengaman adalah perbuatan yang dilakukan untuk
menyelamatkan diri saat menghadapi situasi yang dicemaskan. Pada fobia sosial
dapat berupa minum alkohol, menghindari kontak mata, latihan berlebihan untuk
menghadapi presentasi, bertanya terlalu banyak, bicara dengan pelan, dan
menutupi bagian ketiak yang berkeringat.
FAKTOR PENYEBAB
Penyebab fobia sosial masih belum jelas. Terdapat beberapa pendapat
yang berusaha menjelaskan tentang hal ini dimana faktor genetik dan lingkungan
diduga saling berinteraksi di dalamnya. Keterbatasan utama dalam mencari
penyebab neurobiologinya adalah kesulitan menentukan apakah hal yang diteliti
merupakan akibat atau faktor risiko dari timbulnya fobia sosial.
Fobia sosial memiliki awitan pada saat remaja, kemudian berlanjut seumur
hidup secara kronis dengan disertai beberapa penyakit psikiatris lainnya.
Keadaan terkait gen yang hampir selalu berkembang menjadi kelainan ini adalah
perilaku terhambat, yaitu kecenderungan anak-anak untuk menunjukkan
ketakutan atau menarik diri dari situasi yang baru. Penelitian Jerome Kagan
12
tentang temperamen menguatkan pendapat ini. Hasil yang didapat menunjukkan
bahwa bayi dengan temperamen terhambat cenderung berkembang menjadi
anak yang menghindari hal-hal baru dan berlanjut sebagai penderita fobia sosial
saat mencapai masa remaja.
Penemuan ini menekankan pentingnya deteksi dan intervensi dini pada
anak-anak yang berisiko dengan beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama,
masih kurangnya penelitian tentang manfaat deteksi dan penanganan dini fobia
sosial pada anak-anak. Kedua, diperlukan penelitian genetik lebih lanjut untuk
mengetahui gen mana yang berperan sehingga dapat dijadikan target intervensi.
Temperamen terhambat diduga disebabkan oleh respon amigdala yang
berbeda pada tiap orang terhadap sesuatu yang baru. Dugaan ini didukung oleh
penelitian Schwartz & Rauch menggunakan magnetic resonance imaging yang
menemukan bahwa orang dewasa yang saat kecilnya memiliki temperamen
terhambat, amigdalanya memberikan respon lebih besar terhadap wajah baru
dibanding wajah yang sudah dikenal.
Jadi dapat disimpulkan bahwa fobia sosial erat hubungannya dengan amigdala.
Hal ini sesuai dengan penelitian Furmark dkk. yang menemukan bahwa terapi
fobia sosial menurunkan aliran darah otak pada daerah tersebut sehingga
aktivitas sarafnya turut berubah. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengerti
lebih baik tentang daerah ini, kemungkinan keterlibatan komponen otak lain, dan
hubungan antara amigdala dengan komponen tersebut dalam menimbulkan fobia
sosial.
Selain itu, terdapat dugaan bahwa neurotransmiter otak ikut berperan
dalam fobia sosial, kebanyakan diantaranya berhubungan dengan amigdala baik
langsung maupun tidak langsung. Dugaan ini didukung oleh fakta bahwa obat-
obatan untuk terapi fobia sosial menyeimbangkan substansi tersebut. Tetapi
masih belum jelas bagaimana keadaan masing-masing neurotransmiter dalam
tiap tahap perkembangan fobia sosial dan bagaimana interaksi antar substansi
ini dalam menimbulkan fobia sosial. Rangkuman cara kerja obat dan dugaan
penyebab sosial fobia.
untuk social phobia sebuah studi menunjukkan bahwa peran faktor genetik
sebagai faktor etiologi dalam fobia sosial diyakini sebagian besar tergantung pada faktor
lingkungan. Pengasuhan yang terlalu mengontrol atau mengganggu dapat
mengakibatkan temperamen yang terhambat pada anak-anak, meningkatkan risiko fobia

13
sosial. Peristiwa kehidupan yang merugikan dan penuh tekanan juga dapat
meningkatkan risiko. Pencarian faktor neurobiologis yang terkait dengan fobia sosial
sebagian besar tidak spesifik.
Sebuah studi juga menemukan bahwa orang dengan fobia sosial tipe kinerja
mungkin memiliki respons yang lebih besar dari sistem saraf otonom, termasuk
peningkatan denyut jantung. Selain itu, beberapa sistem neurotransmitter, termasuk
serotonin, dopamin, dan glutamat, mungkin terlibat dalam patogenesis gangguan
kecemasan sosial. Pencitraan otak orang-orang dengan gangguan kecemasan sosial
mengungkapkan peningkatan aktivitas sirkuit paralimbik dan limbik. Temperamen
tertentu dari balita dan stres ibu juga telah terbukti berhubungan dengan orang-orang
yang terkena fobia sosial.

Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) menghambat pengambilan


kembali serotonin dari sinapsis sehingga neurotransmiter ini dapat bekerja lebih
lama. Hal ini menunjukkan kemungkinan kekurangan serotonin dalam fobia
sosial.
Fungsi monoamine oxidase inhibitor (MAOI) dan reversible monoamine oxidase
(RIMA) adalah mengikat enzim pemecah monoamine (meliputi dopamin,
serotonin, norepinefrin dan epinefrin) sehingga aktivitas neurotransmiter ini
meningkat. Hal ini menunjukkan kemungkinan kekurangan monoamine dalam
fobia sosial. Pendapat ini ditopang oleh penelitian Rickel dkk yang menemukan
bahwa dual serotonin-norepinephrine reuptake inhibitor (obat penghambat
pengambilan kembali serotonin dan norepinefrin dari sinapsis) terbukti efektif
untuk terapi kelainan ini.
Tetapi dugaan ini dilemahkan oleh fakta bahwa benzodiazepines dan
analog GABA menurunkan distribusi norepinefrin ke amigdala; dan bahwa beta
blocker menghambat masuknya epinefrin ke amigdala. Kedua fakta tersebut
menunjukkan bahwa norepinefrin dan epinefrin meningkat pada fobia sosial.
Fakta yang saling bertentangan ini mungkin berkaitan dengan tahap
perkembangan fobia sosial. SSRI, MAOI dan RIMA termasuk obat-obatan anti
depresi yang bekerja dengan jalan meningkatkan aktivitas monoamine. Jadi
kekurangan monoamine dapat menyebabkan depresi yang merupakan salah
7
satu komplikasi dari fobia sosial. Sebaliknya benzodiazepine dan beta blocker
termasuk obat anti cemas yang bekerja dengan jalan menurunkan aktivitas
norepinefrin dan epinefrin. Jadi kelebihan norepinefrin dan epinefrin dapat
menyebabkan kecemasan yang merupakan gejala utama fobia sosial.
14
Faktor lingkungan berupa overprotektif atau reaksi penolakan orang tua
dalam mengasuh anak juga dapat meningkatkan risiko terjadinya fobia sosial
(Franklin 2003). Sedangkan teori belajar menduga bahwa fobia sosial dipelajari
sebagai usaha untuk menghindari hukuman, dalam hal ini berupa penolakan
atau pandangan rendah orang lain (Veale 2003). Kelainan ini juga dapat timbul
sebagai manifestasi pada body dysmorphic disorder ataupun olfactory reference
syndrome dimana penderita merasa malu untuk mengungkapkan kepada
dokternya bahwa sebenarnya bentuk tubuh atau bau badanlah yang merupakan
sumber kekhawatiran mereka .
Pedoman Diagnostik Menurut PPDGJ III, Kriteria diagnostic untuk Fobia Sosial:

1. Semua kriteri berikut harus dipenuhi untuk diagnosis pasti:

a. Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus


merupakan manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan sekunder
dari gejala- gejala lain seperti misalnya waham atau pikiran obsesif

b. Anxietas harus mendominasi atau terbatas pada situasi social


tertentu (outside the family circle); dan

c. Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang


menonjol

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Maslim, R. 2019. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ


III, DSM- 5- ICD- 11. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK- Unika
Atmajaya.
2. Supramaniam, Prabu. Social Phobia. E-Jurnal Medika Udayana, [S.L.], P.
1843-1861, Nov. 2013. Issn 2303-1395. Available At:
Https://Ojs.Unud.Ac.Id/Index.Php/Eum/Article/View/7027
3. Rose GM, Tadi P. Social Anxiety Disorder. [Updated 2021 Sep 29]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan

16

Anda mungkin juga menyukai