Anda di halaman 1dari 8

Anggota Kelompok:

1. Komang Trisna Ayu Widari (2017051004)


2. Ni Putu Putri Mahalliani (2017051014)
3. I Gede Bagus Krisna Mahardika (2017051020)
4. Luh Putu Rani (2017051029)

PENDAHULUAN

Perubahan merupakan kunci dari kesuksesan. Dalam dunia industri, bisnis akan
berkelanjutan apabila mampu untuk melakukan inovasi dan peningkatan kualitas secara terus
menerus demi menunjang keunggulan kompetitifnya. Maka dari itu, perubahan akan selalu
terjadi dengan harapannya bahwa perubahan tersebut mampu untuk memberikan efisiensi dan
efektivitas dalam operasional organisasi atau perusahaan. Namun, di sisi lain banyak organisasi
menolak, dan cenderung mempertahankan status quo atau cara kerja dan budaya yang telah
berlangsung lama. Perubahan secara umum merupakan keadaan yang telah berubah, dimana
keadaan saat ini tidak akan sama dengan di masa depan. Sehingga, penting bagi individu atau
kelompok mampu untuk menghadapinya agar tidak tergerus. Pada implementasinya,
perubahan akan selalu mendapatkan hambatan dan resistensi (penolakan) dari berbagai pihak,
mulai dari tingkat individu, kelompok, maupun organisasi. Munculnya resistensi ini dapat
dikatakan suatu hal yang wajar, dan dapat dipertimbangkan sebagai sumber informasi yang
berguna dalam menciptakan proses perubahan yang berhasil (Pardo Del Val & Martínez
Fuentes, 2003).

Resistensi menurut Ansof (1990) dapat diartikan sebagai fenomena yang


mempengaruhi proses perubahan tertunda, atau berjalan lambat pada awal, menghalangi dan
menghambat saat pelaksanannya dan meningkatkan biaya. Sebagian besar orang-orang takut
keluar dari zona nyamannya dan tidak ingin mencoba sesuatu yang baru lewat perubahan dan
memulai semuanya dari nol. Semua orang harus mengetahui bahwa perubahan tidak akan
pernah berhenti bahkan bila perlu kita harus mampu berteman dengan perubahan itu sendiri.
Berbagai macam penolakan pun akhirnya dilakukan, seperti melakukan protes, menyebarkan
desas-desus, unjuk rasa, pemogokan, sering terlambat, tidak peduli terhadap tugas, minat
terhadap pekerjaan semakin menurun, etos kerja makin merosot, dan adanya sikap tidak mau
belajar akan berdampak negatif bagi organisasi ke depannya. Hal tersebut dilakukan tidak
semata-mata tanpa alasan, tetapi ada alasan yang melandasi seseorang melakukan resistensi,
misalnya ketika waktu dan sumber daya dalam organisasi dinyatakan belum siap, merasa takut
gagal, perubahan yang dilakukan dirasa tidak mendatangkan keuntungan, bahkan hingga
perubahan yang dituju tidak memiliki titik fokus yang mampu membuat organisasi tersebut
berkembang.

Disamping itu, akhir-akhir ini perkembangan teknologi informasi yang semakin


canggih dan cepat akan menciptakan berbagai industri-industri baru yang bermunculan.
Hadirnya teknologi ini pun memicu perusahaan tradisional untuk bisa mengadopsi teknologi.
Teknologi semakin memaksa perusahaan-perusahaan tradisional untuk melakukan perubahan
ke arah digital yang memberikan efisiensi serta produktivitas yang tinggi. Beberapa sektor
industri di Indonesia pun kini telah mengalami disrupsi, seperti halnya perbankan, ritel,
komunikasi, hingga hiburan. Sehingga, mau tidak mau perubahan kini perlu dilakukan oleh
setiap organisasi atau perusahaan untuk bisa tetap bertahan dan bersaing di lingkungannya.
Perubahan yang cepat ini menjadi sangat penting, namun di sisi lain tingkat resistensi pun akan
semakin tinggi. Maka dari itu, penting untuk dapat memahami sumber atau hal-hal yang dapat
memicu terjadinya resistensi yang berkepanjangan dan bagaimana strategi yang dapat
diterapkan oleh organisasi untuk mengurangi resistensi yang terjadi. Dalam pembahasan
selanjutnya akan dibahas terkait hal-hal tersebut, yang merujuk pada 5 artikel yang telah
diperoleh.
PEMBAHASAN

Dalam berbagai literatur terdapat beragam faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
suatu penolakan atau resistensi terhadap perubahan dalam organisasi. Pertama, sumber adanya
resistensi berasal dari nilai atau budaya yang telah mengakar di suatu organisasi (Javdani
Gandomani & Ziaei Nafchi, 2016; Pardo Del Val & Martínez Fuentes, 2003). Budaya dalam
organisasi merupakan suatu bentuk etika yang tertulis maupun tidak tertulis sehingga apa yang
boleh dilakukan dan tidak dilakukan sudah diatur sedemikian rupa. Hal ini secara tidak
langsung telah membentuk pemikiran untuk menolak suatu perubahan. Pardo del Val (2003)
dalam penelitiannya, mencatat bahwa dari 86 responden dari berbagai perusahaan di Spanyol
menyatakan bahwa sumber utama yang menyebabkan terjadinya resistensi atau inersia dalam
perubahan organisasinya, baik yang bersifat evolusioner dan revolusioner adalah nilai atau
budaya yang telah kuat dipegang seluruh komponen organisasi. Pardo del Val menyatakan
bahwa adanya nilai kesetiaan ataupun kebersamaan yang kokoh dalam organisasi menjadi
kunci terciptanya suatu batasan terhadap sikap pertentangan atau pandangan yang berbeda.
Disamping itu, Javdani yang dalam penelitiannya mengangkat agile yang kini tidak hanya
sebatas proses pengembangan software melainkan bentuk pola pikir untuk terus berkolaborasi
dan berinovasi mendapatkan hambatan yang signifikan dalam adopsinya akibat permasalahan
budaya. Wawancara yang dilakukan Javdani terhadap beberapa praktisi agile menemukan
bahwa sebagian besar dari mereka percaya budaya organisasi sebelumnya telah mendikte nilai-
nilai baru yang dirasa ekonomis ke orang-orang dalam organisasi (Javdani Gandomani & Ziaei
Nafchi, 2016). Walaupun begitu, nilai atau budaya organisasi yang telah kokoh ini tidak selalu
berpengaruh dalam memicu terjadinya resisten, khususnya di industri perhotelan dikarenakan
sifat perubahan yang selaras nilai-nilai hospitality (Okumus & Hemmington, 1998). Budaya
organisasi yang kuat menciptakan benteng kokoh sehingga meminimalisir adanya peluang ide
dan pandangan baru yang kreatif untuk muncul.

Faktor budaya yang telah mengakar, pada kenyataannya belum mampu sepenuhnya
untuk menjawab terjadinya penolakan atau resistensi. Faktor psikologi individu mencoba
membantu menjawab hal tersebut dengan menggunakan konsep psikoanalitis. Konsep ini
mengedepankan bahwa pusat dari resistensi berasal dari kecemasan yang akhirnya direspons
oleh alam bawah sadar sebagai defend mechanism (mekanisme pertahanan) yang termanifestasi
menjadi sebuah tindakan yang sifatnya adaptif atau sebaliknya (Bovey & Hede, 2001). Bovey
dalam analisisnya membuktikan bahwa ketika mekanisme pertahanan yang tidak adaptif pada
seseorang cenderung lebih sering digunakan dibandingkan dengan yang adaptif, maka akan
berkorelasi pada peningkatan resistensi organisasi. Ini yang kemudian memicu anggapan
bahwa perubahan tersebut sulit, berbahaya, akan gagal, dan menghasilkan kehancuran karena
perubahan yang berada di masa depan (tidak pasti). Ketika mekanisme pertahanan tidak adaptif
diterapkan dalam melawan kecemasan atau rasa tidak aman, maka akan timbul niat bertindak
secara impulsif. Tindakan ini menghasilkan suatu pengalaman yang kemudian menciptakan
kebiasaan pada individu dan berujung pada budaya kelompok masyarakat hingga organisasi
yang cenderung resisten. Alhasil, dapat diketahui bahwa orang-orang yang resisten merupakan
orang-orang yang mencari kepastian di masa depan atau gagal melihat masa depan
(myopia)(Pardo Del Val & Martínez Fuentes, 2003), dan tidak akan berakhir jika tidak diatasi
dengan memberanikan diri hidup bersama ketidakpastian (adaptif). Hal ini berakhir dengan
gagasan bahwa organisasi hidup berdasarkan pada basis psikologi manusia, sehingga
penolakan atau resistensi yang terjadi dalam organisasi merupakan akibat dari
ketidakmampuan manusia untuk mengaktifkan kesadaran dan bertindak adaptif.

Selain itu, resistensi dapat terjadi pula dari komunikasi yang tidak efektif. Komunikasi
merupakan kunci dari distribusi informasi di dalam organisasi sehingga setiap komponennya
dapat terhubung. Hambatan komunikasi dalam sebagian besar literatur dinyatakan dapat
menjadi faktor yang dapat menimbulkan resistensi (Javdani Gandomani & Ziaei Nafchi, 2016;
Pardo Del Val & Martínez Fuentes, 2003; Romadona & Setiawan, 2020). Hal ini dapat terjadi
dikarenakan informasinya yang ada pada satu pihak tertentu, tidak terdistribusi dengan merata,
mengalami distraksi, hingga tidak tepat pada waktunya. Romadona & Setiawan (2020) dalam
penelitiannya menyatakan bahwa karyawan yang bekerja di Litbang sebagian besar menolak
perubahan walaupun telah melihat urgensi di masa mendatang. Hal ini disebabkan oleh adanya
rumor-rumor yang bermunculan, tanpa adanya konfirmasi dari pimpinan organisasi. Hal ini
pun akhirnya memicu perasaaan takut dan cemas pada karyawan karena tidak adanya
kepastian. Hadirnya rumor atau informasi yang belum jelas kebenarannya, menciptakan rasa
ketidakpercayaan pada individu yang mana akhirnya akan termanifestasi menjadi resistensi
atau penolakan. Dalam kasus tersebut, dapat terlihat bahwa komunikasi yang terjadi pun hanya
searah sehingga hal ini cenderung menutupi kesempatan adanya feedback (umpan balik) dari
berbagai pihak yang belum mendapatkan kejelasan informasi. Adanya feedback dari berbagai
pihak memiliki peranan yang penting dalam membentuk arah perubahan organisasi ke depan
yang lebih baik dibandingkan tanpa adanya kritisk sedikitpun. Namun begitu, jika budaya
perusahaan dibentuk oleh kepemimpinan yang otoriter maka hal ini sulit dilakukan.
Di samping faktor-faktor yang asalnya dari manusia itu sendiri, terdapat faktor lainnya
yang sifatnya teknis dan menjadi pertimbangan utama bagi organisasi dalam menerima
perubahan atau tidak, yakni persepsi kebermanfaatannya dari perubahan dan kepemilikan
sumber daya. Perubahan identik dikenal dengan ketidakpastian, dan dari hal itu manusia akan
bertindak berdasarkan apa yang menguntungkan mereka. Ketika individu tersebut mampu
untuk memandang dengan persepsi secara luas bahwa manfaat yang akan didapat jika
perubahan tersebut terjadi lebih besar dibandingkan dengan biayanya, maka resistensi mampu
untuk ditekan serendah mungkin, dan begitupula sebaliknya. Giangreco & Peccei (2005)
menilai peran dari manajer menengah sangat penting dalam menentukan suatu perubahan.
Dalam hasil survei terhadap 322 orang manajer menengah ditemukan bahwa persepsi manfaat
dan keterlibatan di dalam perubahan berperan positif dalam membentuk sikap terhadap
perubahan (Giangreco & Peccei, 2005). Di lain sisi, keterbatasan sumber daya yang dimiliki
mampu menghambat terjadinya perubahan. Ketersediaan sumber daya berperan potensial
terhadap niat organisasi untuk resisten atau tidak terhadap perubahan. Berdasarkan wawancara
Okumus & Hemmington terhadap para manajer hotel di Inggris, menunjukkan bahwa
mayoritas dari mereka menjadi resisten terhadap perubahan dikarenakan adanya kendala
keuangan, dimana hasil analisis menunjukkan biaya untuk melakukan perubahan lebih besar,
sehingga mereka terpaksa untuk menunda bahkan membatalkan perubahan tersebut (Okumus
& Hemmington, 1998). Hal ini menunjukkan bahwa penolakan atas perubahan tidak hanya
terjadi karena ketidakmampuan individu melainkan pula sumber daya lainnya yang ada di
organisasi.

Dari beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya resistensi pada perubahan dapat
diketahui bahwa manusia itu sendiri yang menjadi inti permasalahannya. Dari hal tersebut,
terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan organisasi untuk mengurangi tingkat resistensi
yang terjadi, yaitu :

1. Pelatihan, komunikasi, dan partisipasi (Giangreco & Peccei, 2005; Okumus &
Hemmington, 1998; Pardo Del Val & Martínez Fuentes, 2003; Romadona & Setiawan,
2020). Strategi ini merupakan strategi yang telah lama dikenal dan berdampak, yang
dibawa oleh Kotter & Schlesinger. Adanya pelatihan dan partisipasi berguna bagi
karyawan untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan, serta kesadaran akan
pentingnya perubahan dalam perusahaan. Dengan adanya hal tersebut, maka resistensi
yang cenderung tinggi di awal perubahan akan kian menurun seiring meningkatnya
pemahaman. Di samping, itu dengan seluruh karyawan dilibatkan dalam proses
perubahan, mereka akan merasa dipercaya dan akan berkomitmen pada organisasi.
Selain itu, budaya komunikasi secara intens perlu dilakukan oleh pimpinan atau
manajer pada karyawan secara langsung untuk menghindari adanya rumor serta
informasi yang tidak tepat waktu yang dapat menimbulkan kesalahan dalam proses
perubahan dan pengambilan keputusan. Komunikasi pun dapat dilakukan dengan
melakukan FGD (Focus Grup Discussion) dengan seluruh komponen perusahaan
sehingga setiap aspirasi ataupun kritik dapat membantu proses perubahan berjalan
dengan lebih baik
2. Melakukan intervensi berdasarkan basis informasi dan konseling (Bovey & Hede,
2001). Untuk yang pertama melakukan intervensi dengan basis informasi tentunya
dapat memberikan individu terkait informasi yang lebih akurat dan lengkap, sehingga
dengan hal ini dapat menciptakan perhatian (awareness) serta pemahaman khususnya
pada alam bawah sadar individu tersebut yang akan membentuk motivasi dan perilaku
terhadap perubahan. Informasi yang terus-menerus diberikan pada karyawan akan
menambah pengetahuan, serta di sisi lain memicu persepsi pada dirinya bahwa
perubahan yang terjadi penting dilakukan. Sedangkan, yang kedua intervensi konseling
ini berfokus pada aktivitas membantu individu dalam organisasi untuk nantinya bisa
menganalisis, mengintepretasikan serta mampu memahami bagaimana mekanisme
pertahanan dalam diri untuk mempengaruhi persepsi dan motivasi terhadap perubahan
yang ada. Ketika terjadi permasalahan dalam adopsi perubahan, manajer bersedia untuk
membantu memberikan informasi tambahan dan penyelesaiannya.
3. Perlu adanya narasi untuk membangun motivasi pada seluruh komponen organisasi.
Pemimpin harus mulai membangun narasi-narasi yang bijaksana kepada seluruh
karyawannya. Adanya ketidakpastian dalam perubahan perlu diatasi dengan
menciptakan narasi berupa fiksi-fiksi yang disertai dengan fakta yang dapat
menghubungkan seluruh komponen dalam organisasi untuk bertekad mewujudkan
perubahan tersebut. Narasi memiliki kemampuan dalam menciptakan pesan yang halus,
yang mampu mengakomodasi individu untuk terserap ke dalam dunia narasi dan
memvisualisasikan dirinya dalam cerita. Sehingga, mereka akan cenderung menerima
suatu perubahan dan lebih percaya diri dalam meresponsnya (Murrar & Brauer, 2019).
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

Bovey, W. H., & Hede, A. (2001). Resistance to organisational change: The role of defence
mechanisms. Journal of Managerial Psychology, 16(7), 534–548.
https://doi.org/10.1108/EUM0000000006166

Giangreco, A., & Peccei, R. (2005). The nature and antecedents of middle manager resistance
to change: Evidence from an Italian context. International Journal of Human Resource
Management, 16(10), 1812–1829. https://doi.org/10.1080/09585190500298404

Javdani Gandomani, T., & Ziaei Nafchi, M. (2016). Agile transition and adoption human-
related challenges and issues: A Grounded Theory approach. Computers in Human
Behavior, 62, 257–266. https://doi.org/10.1016/j.chb.2016.04.009

Murrar, S., & Brauer, M. (2019). Overcoming Resistance to Change: Using Narratives to
Create More Positive Intergroup Attitudes. Current Directions in Psychological Science,
28(2), 164–169. https://doi.org/10.1177/0963721418818552

Okumus, F., & Hemmington, N. (1998). Barriers and resistance to change in hotel firms: An
investigation at unit level. International Journal of Contemporary Hospitality
Management, 10(7), 283–288. https://doi.org/10.1108/09596119810240906

Pardo Del Val, M., & Martínez Fuentes, C. (2003). Resistance to change: a literature review
and empirical study. Management Decision, 41(2), 148–155.
https://doi.org/10.1108/00251740310457597

Romadona, M. R., & Setiawan, S. (2020). Communication of Organizations in Organizations


Change’s Phenomenon in Research and Development Institution. Journal Pekommas,
5(1), 91–104. https://doi.org/10.30818/jpkm.2020.2050110

Anda mungkin juga menyukai