Oleh :
Reza Ashari Ramadhan
(1020104)
ii
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 24
LAMPIRAN....................................................................................................................... 25
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR TABEL
2.1 Kolom Stratigrafi Pulau Bangka (Mangga dan Djamal, 1994) ................................... 9
2.2 Himpunan mineral berdasarkan ph dan suhu pembentukan (Corbett dan Leach,
1996) ............................................................................................................................ 15
3.1 Rencana Kerja .............................................................................................................. 23
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
untuk meningkatkan kemampuan penulis dalam aspek geologi, demi meningkatkan kesiapan
individu menghadapi dunia profesional.
2
1.4 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berada di wilayah IUP PT. Timah Tbk.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Gambar 2.1 Penyebaran Timah Jalur Granit
5
Evolusi tektonik dari pembentukkan Daratan Sunda telah dimulai semenjak Silur Akhir
hingga Jura (Metcalfe, 2011). Pada Silur Akhir, terjadi fenomena rifting pada batas timurlaut
Gondwana yang menyebabkan blok Cina Selatan, Tarim, Indocina dan Cina Utara berpisah
dari Gondwana (Metcalfe, 1996 dalam Metcalfe, 2011). Rifting yang terjadi memicu
pembukaan laut Paleo-Tetis pada Devon Awal hingga Devon Tengah yang dibuktikan dengan
keberadaan endapan rijang radiolarian laut dalam pada zona sutur. Pada Karbon Awal, blok
Cina Selatan dan Indocina–Malaya Timur telah teramalgamasi sepanjang zona sutur Song Ma,
membentuk blok yang dinamakan Daratan Cathaysia (Cathaysialand). Hal ini ditandai dengan
kemiripan fauna pada zaman tersebut (Laveine dkk., 1999 dalam Metcalfe, 2011). Pada Karbon
Akhir hingga Perm Awal, blok Sibumasu mulai melepaskan diri dari baratlaut Gondwana dan
bergerak kearah utara. Hal ini mengakibatkan laut Paleo-Tetis tertutup dan mensubduksi
Daratan Cathaysia. Subduksi ini menyebabkan terjadinya back-arc spreading yang
menghasilkan pembentukkan Busur Sukhotai kearah barat sebagai busur kepulauan pada Perm
Akhir. Namun, akibat dari desakan subduksi laut Paleo-Tetis, busur tersebut terdorong kearah
timur, menyebabkan back arc collapse berupa kolisi antara Busur Sukhotai dan Daratan
Cathaysia membentuk zona sutur Jinghon, Nan-Uttaradit dan Sra Kaeo pada akhir Perm (Sone
dan Metcalfe, 2008 dalam Metcalfe, 2011). Pada Trias Awal, penutupan laut Paleo-Tetis yang
diikuti dengan kolisi antara blok Sibumasu dan Busur Sukhotai menghasilkan zona sutur
Changnin-Menglian, Inthanon dan Bentong-Raub. Selain itu, pada masa ini juga terjadi
pergerakan transcurrent baratlaut dari blok Burma Barat dan Baratdaya Borneo akibat
pembukaan laut Meso-Tetis kearah utara dan pegerakan laut Paleo-Pasifik kearah barat. Kedua
blok tersebut kemudian teramalgamasi dengan blok Sibumasu pada Jura.
Pulau Bangka yang posisinya berada di baratdaya dari blok Indocina-Malaya Timur
membuat Pulau tersebut sangat dekat dengan perbatasan Daratan Cathaysia dan blok
Sibumasu. Kedua blok ini dibatasi oleh zona sutur Bentong-Raub (Bentong-Raub Suture Zone)
yang terbentuk di Trias Awal dan memanjang sepanjang Semenanjung Malaya (Malaya
Peninsula) (Metcalfe, 2000).
Menurut Katili (1967), menjelaskan bahwa pada batuan metamorf dan sedimen di Bangka
Utara terdapat adanya perlipatan silang akibat dua buah deformasi. Deformasi pertama
mengakibatkan lipatan dengan arah baratlaut-tenggara, umurnya sulit ditentukan dengan pasti.
Struktur lipatan berarah timurlaut-baratdaya (orogen II) disebabkan oleh deformasi pada
Yura atas. Orogen yang kedua ini menghilangkan jejak orogen yang lebih tua. Struktur lipatan
ini kemungkinan merupakan hasil tumbukan lempeng yang ada pada barat sumatera karena
6
wilayah Bangka relatif stabil atau tidak terlalu terganggu oleh pergerakan tektonik karena
posisinya yang berada di back volcanic.
Gambar 2.2 Blok-blok penyusun Sundaland (Metcalfe, 2011). Pulau Bangka (Kotak
Kuning), berada pada zona pertemuan (amalgamasi) yang melibatkan blok East Malaya dan
Sibumasuarc.
Gambar 2.3 Struktur Geologi Regional Pulau Bangka (Gambar ulang, U Ko Ko (1986))
7
2.3 Rangkaian Granit Regional Pulau Bangka
Pulau Bangka termasuk Tin Islands, terletak pada Sundaland Craton Lempeng Eurasia
(Barber et al., 2005), serta merupakan bagian Sabuk Timah Asia Tenggara (Cobbing, 2005).
Keberadaan pulau-pulau timah erat kaitannya dengan sabuk bagian tengah Semenajung
Malaysia yang mempunyai umur kisaran 207 – 230 ma (Cobbing dkk, 1992), dimana rangkaian
sabuk-sabuk sebaran granit membentuk kelompok-kelompok granit yang berbeda serta
terdistribusikan secara luas sebagai pluton dan batolit. Granit pembawa timah mempunyai
komposisi kisaran kandungan SiO2 umumnya di atas 70%, yang kemudian dikorelasikan
mempunyai kesamaan dengan sabuk bagian tengah (main range provinces) dimana granit pada
sabuk ini dikenal sebagai granit tipe S yang mengandung timah (Hutchison, 1989).
8
parallel laminasi dan silang siur. Tebal 150 m. Fosil yang dijumpai antara lain moluska,
Amonia sp., Quinqueloculina sp. Dan Triloculina sp., dan menunjukan umur relative
lebih tua dari Miosen Akhir. Lingkungan pengendapan diduga fluviatil.
• Aluvium, bongkah, kerakal, kerikil, pasir, lempung, dan gambut. Material lepas dan
belum terkonsolidasi, memiliki fragmen yang beragam yang terdiri dari batuan yang
lebih tua.
Tabel 2.1 Kolom Stratigrafi Pulau Bangka (Mangga dan Djamal, 1994).
9
Tethys menyempit dan menghasilkan busur gunungapi di East Malaya (Sevastjanova, dkk,
2011).
Sejalan dengan kedua mikrokontinen tersebut yang semakin mendekat akibat subduksi,
proses kolisi terjadi pada akhir permian hingga awal trias yang menghasilkan sutur Raub-
Bentong.
Gambar 2.4 Evolusi tektonik Daratan Sunda pada Karbon Akhir-Jura Awal (gambar
ulang, berdasarkan Ueno dan Hisada, 1999; Sone dan Metcalfe, 2008 dalam Metcalfe,
2011).
10
Mineralisasi timah primer di pulau bangka berhubungan dengan sumber berupa batuan
grantoid seri ilmenit yang secara umum berupa granit biotit. Mineralisasi timah primer dapat
terbentuk pada zona kontak antara granit biotit dengan batuan dinding maupun pada geometri
urat hingga diseminasi. Mineralisasi dengan sistem urat dapat ditemukan dalam beberapa
geometri seperti lodes vein, sheeted parallel simple vein, stockwork dan sebagainya.
Mineralisasi dengan sistem urat, khususnya pada daerah 15 penelitian, memiliki trend
tenggara-barat laut yang berkembang akibat pengaruh dari sistem sesar regional di pulau
bangka.
Mineralisasi dengan sistem urat yang paling umum dijumpai adalah sistem kekar
berlembar (Sheeted Vein System) yang dapat terbentuk akibat proses tarikan (tensional)
maupun kompresi (Compression) (Seatrad, 1987).
11
pada sistem hidrotermal, biasanya erat hubungannya dengan magmatisme. Sumber fluida pada
sistem hidrotermal yang berperan sebagai media pelarut dan terlarut, sumber fluida pada sistem
ini dapat berasal dari fluida magmatik (air juvenil), air meteorik, air connate, air metamorfik,
dan air laut. Proses pembentukan endapan hidrotermal juga dipengaruhi kehadiran zona
pelapasan (Channel ways) baik hadir tunggal maupun serangkaian rekahan yang halus.
Pengaruh zona pelepasan tersebut menyebabkan endapan ini sering ditemukan pada zona
patahan maupun jaringan rekahan (Pirajno,2009). Faktor lainnya yang mengontrol
pembentukan endapan hidrotermal adalah batuan dinding (Host Rock). Karakteristik batuan
dinding sangat berpengaruh terhadap persebaran endapan, dimana batuan dinding yang
cenderung memiliki permeabilitas tinggi akan menghasilkan endapan hidrotermal yang luas.
Berikut merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan endapan
hidrotermal (Bateman, 1981).
• Larutan Hidrotermal (Ore bearing Fluids)
• Zona Lemah (Struktur geologi, kontak perlapisan batuan, pori-pori batuan)
• Ruang Pengendapan
• Reaksi Kimia (Batuan dinding dengan Fluida hidrotermal)
• Konsentrasi mineral
Gambar 2.5 Konseptual sistem aliran fluida dan model endapan Hidrothermal (Corbett dan
Leach, 1995 dalam Pirajno, 2009)
12
2.8 Alterasi Hidrotermal
Alterasi hidrotermal merupakan suatu proses yang kompleks yang melibatkan mineralogi,
kimiawi, dan tekstur yang disebabkan oleh interaksi fluida panas dengan batuan yang
dilaluinya. Proses alterasi merupakan suatu bentuk metasomatisme, yaitu proses pertukaran
komponen kimiawi antara cairan dengan batuan dinding (Pirajno,1992).
Creasey (1966, dalam Sutarto 2004) membuat alterasi hidrotermal pada endapan tembaga
porfir menjadi empat tipe, diantaranya propilitik, argilik, potasik, dan himpunan kuarsa-serisit-
pirit. Lowell dan Guilbert (1970, dalam Sutarto, 2004) mengembangkan model alterasi
mineralisasi pada endapan bijih porfir, menambahkan zona filik untuk himpunan mineral
kuarsa, serisit, pirit, klorit, rutil, kalkopirit.
Ada 7 faktor yang mempengaruhi terjadinya alterasi mineral pada sistem hidrotermal
(Browne, 1978), yaitu:
1. Suhu
2. Kimia Fluida
3. Konsentrasi
4. Komposisi host rock
5. Reaksi kinetik
6. Durasi terjadinya dan kesetimbangan
7. Permeabilitas
Zona alterasi merupakan suatu daerah dengan kesamaan sebaran himpunan mineral
alterasi (Guilbert dan Park, 1986). Berikut adalaah beberapa klasifikasi zona alterasi
berdasarkan himpunan mineral, suhu, dan pH larutan :
1. Propilitik
Propilitik merupakan alterasi yang dicirikan dengan kehadiran mineral klorit dan
disertai oleh beberapa mineral seperti epidot, ilit/serisit, kalsit, albit, dan anhidrit.
Propilitik terbentuk pada temperatur 200o C sampai 300o C pada pH mendekati netral,
dengan salinitas beragam, dan umumnya terbentuk pada daerah dengan permeabilitas
rendah. Terdapat empat kecenderungan himpunan mineral pada zona alterasi propilitik
(Creasey,1966 dalam Sutarto, 2004), diantaranya :
• Klorit-Kalsit-Kaolinit
• Klorit-Kalsit-Talk
• Klorit-Epidot-Kalsit
13
• Klorit-Epidot
2. Argilik
Argilik merupakan alterasi dengan kecenderungan memiliki dua himpunan mineral,
yaitu muskovit-kaolinit-monmorilonit dan muskovit-klorit-monmorilonit. Argilik
terbentuk pada suhu 100o C sampai 300o C (Pirajno, 1992, dalam Sutarto 2004), dengan
fluida asam sampai netral, dan salinitas yang rendah.
3. Potasik
Zona potasik merupakan zona alterasi yang umumnya hadir dekat dengan intrusi. Zona
alterasi ini dicirikan dengan himpunan mineral alterasi berupa biotit sekunder - k-feldspar
– kuarsa – serisit - magnetit.
4. Filik
Zona alterasi ini biasanya terdapat pada bagian luar potasik. Zona ini dicirikan dengan
himpunan mineral alterasi berupa kuarsa-serisit-pirit, serta kemungkinan kehadiran
mineral anhidrit yang melimpah. Zona alterasi ini terbentuk pada suhu 200o C sampai 400o
C.
5. Propilitik dalam (Inner Propilitik)
Zona alterasi ini umumnya hadir pada tipe endapan epitermal sulfidasi rendah, untuk
menjelaskan zona alterasi seperti pada sistem porfir. Istilah propilitik dalam adalah istilah
untuk menggambarkan zona alterasi dengan suhu pembentukan diatas 300o C, yang terdiri
atas himpunan mineral alterasi berupa epidot, aktinolit, klorit, dan ilit. (Hedenquist, 1985,
dalam Sutarto, 2004).
6. Argilik Lanjut (Advanced Argilic)
Zona alterasi ini umumnya hadir pada tipe endapan epitermal sufidasi tinggi. Zona
alterasi ini dicirikan dengan himpunan mineral berupa pirofilit-diaspor, dan kemungkinan
kehadiran mineral seperti andalusit, kuarsa, turmalin, enargit, dan luzonit.
7. Skarn
Alterasi ini terbentuk akibat adanya interaksi antara fluida panas dengan batuan dinding
yang mengandung unsur Ca tinggi. Zona alterasi ini dicirikan dengan mineral berupa
garnet, klino proksen, dan wolastonit. Alterasi ini terbentuk pada fluida dengan salinitas
tinggi, dengan suhu sekitar 300o C sampai 700o C.
8. Greisen
Alterasi greisen dicirikan dengan himpunan mineral alterasi berupa kuarsa-muskovit
(atau lepidolit) dengan sejumlah mineral asesori seperti topas, turmalin, dan flourit yang
14
dibentuk oleh alterasi metasomatik post-magmatik granit (Best, 1982, Stemprok, 1987,
dalam Sutarto, 2004).
Tabel 2.2 Himpunan mineral berdasarkan ph dan suhu pembentukan (Corbett dan Leach,
1996)
15
2.8.1 Alterasi Hidrotermal pada Endapan Timah Primer
Taylor (1979) menambahkan beberapa alterasi yang umum berkembang pada
endapan timah primer diantaranya feldspatisasi, seritisasi, muskovitisasi, kloritisasi,
turmalinisasi, silisifikasi serta hematisasi. Berikut adalah penjelasan mengenai tipetipe
alterasi yang berkembang pada endapan timah primer :
1. Albitisasi
Alterasi albitisasi atau bisa disebut juga feldspatisasi-Na menurut Pirajno (2009)
dicirikan oleh mineral pembawa unsur Na (albit) yang menggantikan mineral primer
magmatik. Albit akan menggantikan mineral pertit yang sudah ada sebelumnya atau
dapat juga menggantikan secara langsung mineral K-feldspar. Albitisasi terbentuk
oleh proses metasomatisme Na yang terbentuk pada kondisi temperatur antara 400-
600° C dan tekanan 1 kbar atau kurang (Pollard, 1983 dalam Pirajno, 2009). Haapala
(1997) menambahkan bahwa albitisasi menjadi penciri utama pada granit yang
termineralisasi. Mineral kasiterit ± columbite/tantalite terkadang hadir secara
disseminated pada batuan yang mengalami pengkayaan albit atau albitisasi
(Serebryakov, 1961, Aubert, 1969, dalam Taylor, 1979).
2. Mikroklinisasi
Alterasi mikroklinisasi atau bisa disebut juga feldspatisasi-K menurut Pirajno
(2009) dicirikan oleh penggantian unsur Na menjadi K pada mineral plagioklas albit
dan membentuk mineral mikroklin atau ortoklas. Mikroklinisasi umumnya terbentuk
sebelum proses albitisasi namun intensitasnya lebih rendah dibandingkan albitisasi
(Taylor, 1979). Selama proses mikroklinisasi akan terjadi peningkatan unsur Rb, Li,
dan Zn serta penurunan unsur Na. Studi inklusi fluida pada pembentukan K-feldspar
mengindikasikan temperatur antara 320 – 700° C dan tekanan 1.2 – 2 Kbar (Pirajno,
2009).
3. Filik (Serisitisasi)
Alterasi Filik atau dapat disebut juga serisitisasi dicirikan dengan melimpahnya
mineral serisit dan kuarsa. Istilah mineral serisit itu sendiri yaitu mineral mika seperti
muskovit, paragonit, phengite, fuchsite, roscoelite namun memiliki ukuran yang
halus. Alterasi serisitisasi akan menjadi transisi menuju alterasi greisen apabila
terjadi peningkatan mineral seperti topaz, kuarsa, dan zunyite (Pirajno, 2009).
4. Greisen
Greisenisasi merupakan proses dekomposisi mineral feldspar dan biotit menjadi
kuarsa, topaz, muskovit, dan kasiterit pada granit serta beberapa mineral dengan 21
16
jumlah yang bervariasi seperti fluorite, dickite, hematit, turmalin, dan mineral bijih
(scheelite, wolframit, molibdenit, bismuth) (Taylor, 1979). Greisenisasi terbentuk
pada kondisi temperatur 450° C dan tekanan 3.5 ± 1 kbar (Halter, 1995).
5. Argilitisasi
Argilitisasi merupakan alterasi yang relatif umum berkembang pada endapan
bijih timah (Taylor, 1979). Alterasi argilitisasi menurut Pirajno (2009) dicirikan
dengan kelimpahan mineral lempung yang terbentuk sebagai proses metasomatisme
kaya ion H+ pada suhu antara 100-300oC. Mineral lempung hadir menggantikan
mineral plagioklas dan mineral mafik seperti hornblenda dan biotit. Alterasi ini
dicirikan oleh mineral dari kelompok kaolin seperti kaolinit, dickite, halloysite serta
mineral lain seperti ilit, montmorillonite, klorit, pirofilit, dan alunit. Hasil investigasi
Sainsbury (1960, dalam Taylor, 1979) pada batuan granit, granit tergreisenisasi,
rhyolitic porphyry, dan batugamping yang ada di Lost River, Alaska menunjukkan
alterasi argilitisasi pada semua batuan tersebut baik minor maupun argilitisasi lanjut
dimana hal ini merupakan proses setelah terbentuk greisen.
6. Turmalinisasi
Alterasi turmalinisasi dicirikan oleh kelimpahan mineral turmalin yang
berhubungan dengan magma granitik. Pada batuan granitik yang mengalami
greisenisasi, turmalin berkembang secara disseminated yang kemudian meningkat
kelimpahannya terutama pada zona rekahan. Mineral turmalin terdiri dari schorl
(kaya Fe), elbaite (kaya Al, Li), dan dravite (kaya Mg). Mineral turmalin yang kaya
dengan unsur Fe umumnya berasosisasi dengan endapan timah primer (Pirajno,
2009). Turmalinisasi berdasarkan data inklusi fluida terbentuk pada ke dalaman 1-3
km dan temperatur >300° C dari fluida dengan salinitas yang tinggi (Kirwin, 1985,
dalam Pirajno, 2009).
7. Silisifikasi
Alterasi silisifikasi memiliki pengertian yaitu penambahan mineral silika (kuarsa)
tanpa menggantikan mineral asli pada batuan. Pada endapan timah silisifikasi
berkembang selama atau setelah proses greisenisasi (Pirajno, 2009).
8. Hematisasi
Alterasi hematisasi atau alterasi kaya unsur Fe umumnya berasosiasi dengan
endapan bijih. Kehadiran hematit baik secara desiminasi maupun pada urat
umumnya terbentuk pada tahap akhir aktivitas hidrotermal yang berasosiasi dengan
mineralisasi Sn pada sistem greisen (Pirajno, 2009).
17
BAB III
METODE PENELITIAN
18
b. Analisa Citra Penginderaan Jauh
Analisa Citra Penginderaan Jauh merupakan tahapan yang dilakukan penulis
untuk membangun hipotesa dan target awal yang berkaitan dengan morfologi,
litologi, dan struktur geologi. Penulis melakukan analisa tersebut agar memiliki
gambaran tentatif tentang kondisi daerah penelitian dan dapat membuat rancangan
lintasan penelitian. Analisa tersebut diharapkan dapat membantu penulis
menghasilkan penelitian yang baik dan terarah. Beberapa interpretasi yang
dilakukan penulis, diantaranya :
- Interpretasi Geomorfologi, yaitu melakukan interpretasi kondisi morfologi
daerah telitian dengan menggunakan peta topografi. Dan membaginya
kedalam satuan bentuk lahan dengan klasifikasi Van Zuidam (1985)
- Interpretasi Peta Geologi, yaitu melakukan interpretasi kondisi geologi
termasuk satuan batuan dan kelurusan struktur dengan menggunakan peta
topografi, peta SRTM dan google earth.
- Membuat Peta Lintasan, yaitu membuat perencanaan pemetaan agar efektif
dan efisien.
19
analisa x-ray diffraction (XRD), dan analisa petrografi. Analisa tersebut memiliki tujuan
yang berbeda yang diharapkan membantu penelitian.
1. Analisis Petrografi
Analisa petrografi merupakan analisa dengan media mikroskop polarisasi.
Analisa petrografi adalah analisa yang dilakukan terhadap sampel batuan secara
mikroskopis dengan tujuan untuk dapat melakukan identifikasi secara lebih detail
tentang terhadap mineral penyusun batuan daerah penelitian. Tahapan ini selain
mengamati kehadiran mineral pada batuan juga dapat untuk melakukan analisa
terhadap kehadiran tekstur khusus pada batuan yang dapat menjelaskan gentika dari
batuan tersebut. Analisa ini juga dapat membantu peneliti untuk menentukan tipe
alterasi daerah penelitian dengan memperhatikan komposisi batuan alterasi daerah
penelitian. Analisa petrografi diharapkan dapat membantu peneliti untuk
menentukan jenis batuan, genetik batuan, himpunan mineral sekunder, dan tipe
alterasi daerah penelitian.
2. Analisis X-ray Diffraction (XRD)
Analisa XRD digunakan untuk analisis fasa atau senyawa dalam suatu material
dan mampu melakukan karakterisasi kristal.
20
Gambar 3.1 Diagram Alur Penelitian
21
3.2 Alat dan Fasilitas
Beberapa peralatan dan fasilitas yang diharapkan dapat menunjang kegiatan penelitian
skripsi ini, diantaranya:
• Peta Topografi daerah penelitian
• Peta Geologi Regional daerah penelitian
• Peta Geologi Lokal daerah penelitian
• Data geokimia, dan data lain yang menunjang
• Palu Geologi
• GPS
• Kompas Geologi
• Lup
• Komparator
• Buku Catatan Lapangan
• Papan dada / Clipboard
• Alat tulis lengkap
• Plastik sampel dan plastik peta
• HCL
• Magnet Pen Scriber
• Mikroskop
• Jas hujan
• Komputer
22
3.3 Rencana Kerja
Tabel 3.1 Rencana Kerja
Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3 Bulan 4
No Kegiatan
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Tahap Studi Pustaka
2 Tahap Pekerjaan Lapangan
3 Tahap Pekerjaan Laboratorium
4 Tahap Analisis dan Interpretasi
5 Laporan Akhir
23