Disusun oleh
Riki Akbar Fadzilah
052119027
Masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang bertempat tinggal di daerah pantai yang sebagian
besar merupakan nelayan memiliki karakteristik yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Perbedaan
ini dikarenakan keterkaitan erat dengan karakteristik ekonomi wilayah, latar belakang budaya dan
ketersediaan sarana dan prasarana penunjang. Pada umumnya masyarakat pesisir memiliki budaya yang
berorientasi selaras dengan alam sehingga teknologi memanfaatkan sumber daya alam adalah teknologi
adaptif dengan kondisi pesisir. Panjang pesisir di wilayah Indonesia yang menduduki pesisir terpanjang
kedua setelah Kanada ini menyebabkan sektor perikanan merupakan potensi sumber daya alam yang
menjajikan dari negara ini yang perlu dijaga kelestariannya. Wilayah pesisir yang panjang disertai
keaneka ragaman suku menyebabkan hampir disetiap pesisir Indonesia memiliki adat istiadat yang
variatif. Adat istiadat masyarakat pesisir yang di dominasi oleh nelayan ini salah satunya adalah
kearifan lokal atau lokal wisdom.
Menurut Ridwan (2007) Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai
usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap
sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di atas, disusun secara
etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal
pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa
yang terjadi. Sebagai sebuah istilah, wisdom sering diartikan sebagai kearifan/kebijaksanaan. Lokal
secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai
ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola
hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya.
Berdasarkan curah hujan rata-rata 2.664 mm/tahun dengan rata-rata 128 hari hujan/tahun,
dengan temperature 22o C s/d 32oC. Distribusi curah hujan umumnya hampir merata Berdasarkan
topografi maka luas wilayah kerja BPP Samatiga mempunyai topografi datar dan berbukit dengan
ketinggian 0 s/d 10 m dpl. Jenis tanah berdasarkan peta geologi terbentuk dari bahan endapan marine
dan AluviaL. Pada daerah yang terkena tsunami kadar garam sangat tinggi. Pada daerah perbukitan
jenis tanah berwarna coklat kemerahan sebahagian besar berwarna kuning.
Gambar 1. 1 Peta Administrasi Kabupaten Aceh Barat
BAB II
KARAKTERISTIK SUMBER DAYA ALAM
2.1 Mangrove
Kawasan hutan mangrove di Kecamatan Samatiga Kabupaten Aceh Barat terdapat di beberapa
desa (gampong) salah satunya adalah Desa Kuala Bubon. Desa kuala bubon merupakan desa yang
mengalami kerusakan terberat akibat gempa dan tsunami pada tahun 2004, seluruh infrastruktur
perdesaan mengalami kerusakan menyebabkan nilai kerusakan fisik dan korban jiwa yang cukup
besar.Desa Kuala Bubon berbatsan dengan sebelah utara berbatsan dengan Desa Gampong Teungoh,
sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah timur berbatasan dengan Desa Suak
Timah dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Gampong Cot Sejak terjadinya tsunami hingga saat
ini tidak dilakukan lagi kegiatan penebangan kayu mangrove untuk berbagai kebutuhan di masyarakat
baik untuk pembangunan perumahan maupun kayu bakar. Dengan adanya aturan dari masyarakat
setemapt yang melarang terhadap penebangan kayu di Kawasan mangrove menyebabkan tidak adanya
pemanfaatan terhadap komoditas tersebut. Manfaat langsung dari hutan mangroveDesa Kuala Bubon
yang di manfaatkan oleh masyarakat setempat terdiri dari 2 jenis yaitu,
sarana produksi yang digunakan adalah bahan baku sebagai pendukung untuk mengolah daun
nipah menjadi rokok tradisional, sedangkan kegunaan sampan adalah alat transportasi untuk
mengumpulkan daun nipah yang tumbuh diperairan, sedangkan parang adalah untuk memotong pelepah
daun nipah pada batangnya dan pisau adalah untuk memisahkan lidi dan daun nipah dan timbangan
adalah untuk mengetahui pengukuran kuantitas daun yang yang sudah diproduksi untuk dipasarkan,
setelah diikat maka daun nipah di masukan kedalam karung untuk membukus daun nipah yang sudah
siap diproduksi. jumlah produksi mencapai sebesar 50 kepingan untuk sekali produksi. sedangkan untuk
harga pergulungan mencapai Rp. 22.000. dengan hasil penjualan sebesar Rp.1.100.000. Sehingga nilai
pendapatan yang diperoleh usaha daun nipah sebagai rokok tradisional mencapai Rp. 774.444, untuk
sekali produksi.
2.3 Kepiting
Beberapa nelayan di Kecamatan Samatiga yang melakukan pekerjaan menangkap kepiting
bakau sebagai kerja tambahannya yang disebabkan karna minimnya pendapatan sehari-hari dan ada
juga nelayan yang memanfaatkan pekerjaannya sebagai penangkap kepiting untuk pekerjaan tetapnya.
Produksi kepiting hasil tangkapan nelayan ini di pasok untuk kebutuhan konsumsi masyarakat Aceh
Barat khususnya di Kecamatan Samatiga seperti warung wisata kuliner dan juga rumah makan. usaha
penangkapan kepiting bakau ada beberapa persiapan para nelayan kepiting bakau sebelum melakukan
pengoperasian di antaranya yaitu : persiapan modal, persiapan perahu (sampan), persiapan bubu dan
persiapan umpan. Persiapan modal. Kepiting bakau menjadi salah satu komoditas andalan nilai
ekonomi. Namun kerusakan mangrove akibat bencana alam sangat mempengaruhi keberadaan kepiting
bakau karena kondisi habibat yang telama mengalami gangguan. Kerusakan terhadapa ekosistem
mangrove dapat megurangi jumlah ketersediaan nahan makanan terhadap beberapa organisme yang
hidup di dalamnya termasuk kepiting bakau. Untuk saat ini jumlah hasil tangkapan kepiting bakau di
wilayah ekosistem mangrove di Desa Kuala Bubon semakin menurut serta ukuran yang tertangkap juga
semakin kecil, hal ini akibat dari kejadian tsunami.
2.4 Perikanan
Ikan merupakan salah satu komodita yang paling banyak jumlahnya pada kawasan mangrove.
Masyarakat yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di kawasan mangrove Kuala Bubon
menyatakan yang paling umum tertangkap dan di manfaatkan oleh masyarakat seperti ikan belanak
(Mugil cephalus), ketang-ketang (Scatophagus argus), beronang (Siganus sp), kuweh/mirah mata,
lemuru dan teri, serta beberapa jenis kakap. Jenis-jenis ikan tersebut pada umum nya merupakan yang
paling sering di konsumsi oleh masyarakat.
Gambar 2. 7 Ikan Belanak Gambar 2. 8 Ikan Baronang
BAB III
KARAKTERISTIK SOSIAL DAN BUDAYA
Kanuri Blang ini dimaksudkan untuk mengumpulkan petani dan memberitahukan jadwal turun
ke sawah, hewan ternak sudah boleh dikandangkan, dan sudah berhentinya sewa-menyewa, bayar-
membayar utang. Selain itu Kanuri Blang juga dimaksudkan untuk berterimakasih dan mensyukuri atas
rahmat dan rezeki yang telah Allah berikan sehingga mereka bisa melakukan panen dimusim yang lalu
dan berdoa agar tanam kali ini juga masih diberikan rezeki dan terhindar dari hama penyakit. Kanuri
Blang dalam pelaksanaannya bersifat santai tetapi serius. Keseriusan ini diharapkan agar petani
mematuhi peraturan yang telah disampaikan dalam pidato Kanuri Blang. Terhadap petani yang tidak
mematuhinya tidak akan diberi sanksi adat tetapi hanya akan dikucilkan oleh masyarakat setempat.
Setiap masyarakat yang hadir berinteraksi dengan menggunakan bahasa Aceh secara lisan (vokal).
Setiap momennya menggunakan bahasa dan Adat Aceh. Masyarakat Aceh merupakan masyarakat yang
paham dengan agama dan adat, sehingga mereka lebih menghormati teungkuimuem (ulama) daripada
kepala desa. Perbedaan ini menyebabkan adanya perlakuan khusus untuk teungkuimuem dan santri-
santri pesantren, baik dari segi tempat duduk maupun pada saat hidangan makan bersama. Dari segi
tempat duduk, mereka disediakan tempat di dalam jambo (sawung) atau di dalam teratak, sedangkan
masyarakat biasa tidak disediakan tempat khusus. Pada saat makan bersama, teungkuimuem dan
santrinya diberi hidangan terpisah sehingga jatah gulainya tidak diambil oleh masyarakat biasa.
Sedangkan jatah gulai bagi masyarakat biasa dijatah satu ember untuk satu kelompok (5-10 orang).
Nilai-nilai sosial budaya masyarakat Aceh sangat kuat, dan mengutamakan keseimbangan.
Pada masyarakat Aceh, dikenal budaya tulak bala yang bergantung pada keharmonisan yang tercipta
antara Ciptaan Allah, manusia, dan lingkungan. Dalam akar kepercayaan Islam, manusia merupakan
dunia kecil, yang berkaitan dengan alam yang lebih besar dan saling berinteraksi satu sama lain. Alam
perlu dihormati dan dijaga keseimbangannya perilaku merusak alam berarti mergkhianati interaksi
manusia dengan alam. Interaksi manusia dangan alam dalam konteks Sumber Daya Pesisir dikelola
masyarakat pesisir setempat melalui peraturan tertulis local yang dikomandoi oleh panglima Laot
(hukom laot). Dalam ketentuan tersebut menyangkut Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
Kelornpok Nelayan yang menerangkan berbagai aspek dalam pengelolaen Sumber Daya Pesisir
terrnasuk jumlah hari penangkapan, pemantauan penangkapan oleh nelayan, dan upaya rehabilitasi
Sumber Daya Pesisir seperti peremajaan tanaman penahan yang ditanam dibibir pantai yang di
dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan swadaya masyarakat. Tidak terdapat permasalahan yang berarti
dalam konfornitas dan penyimpangan terhadap aturan lokal.
Pengembangan masyarakat pesisir menuju kesejahteraan diawali oleh kesadaran masyarakat
untuk berubah, didukung pengembangan nilai sosial budaya, gaya kepemimpinan yang sesuai, dan
diversifikasi usaha di kawasan pesisir dengan tetap memperhatikan kondisi fisik lingkungan. Perilaku
masyarakat pesisir dalam mengelola Sumber Daya Pesisir secara ekologis, sosial dan ekonomi dapat
dikembangkan melalui penerapan penyuluhan oleh fasilitator yang kompeten dengan menggunakan
pendekatan sosial budaya, dukungan koordinasi antar lembaga yang terkait dengan Sumber Daya
Pesisir, dan dilakukan secara kontinyu. Fakta empirik memperlihatkan bahwa fasilitator yang memiliki
pengetahuan dan pengalaman tentang alat tangkap ikan ramah lingkungan, dengan aspek teknik lainnya,
disertai kemampuan berkomunikasi dan memotivsi individu atau kelompok masyarakat yang
didampingi, dapat dengan mudah menstimulasi terjadinya perubahan perilaku.
4.1 Kesimpulan
1. Ada beberapa pemanfaatan ekonomi dari tumbuhan nipah, diantaranya untuk pembuatan sirup
manis, memproduksi alkohol dan gula. Selain itu daun nipah juga dapat dimanfaatkan menjadi
kerajinan tangan seperti payung, topi, tikar, keranjang,dan kertas rokok. Masyarakat di desa
kualau bubon memanfaatkan daun nipah untuk pembungkus rokok tradisional (lembaran
pembungkus untung melinting tembakau).
2. Kepiting bakau menjadi salah satu komoditas andalan nilai ekonomi. Namun kerusakan
mangrove akibat bencana alam sangat mempengaruhi keberadaan kepiting bakau karena
kondisi habibat yang telama mengalami gangguan. Kerusakan terhadapa ekosistem mangrove
dapat megurangi jumlah ketersediaan nahan makanan terhadap beberapa organisme yang hidup
di dalamnya termasuk kepiting bakau. Untuk saat ini jumlah hasil tangkapan kepiting bakau di
wilayah ekosistem mangrove di Desa Kuala Bubon semakin menurut serta ukuran yang
tertangkap juga semakin kecil, hal ini akibat dari kejadian tsunami.
3. Ikan merupakan salah satu komodita yang paling banyak jumlahnya pada kawasan mangrove.
Masyarakat yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di kawasan mangrove Kuala Bubon
menyatakan yang paling umum tertangkap dan di manfaatkan oleh masyarakat seperti ikan
belanak (Mugil cephalus), ketang-ketang (Scatophagus argus), beronang (Siganus sp),
kuweh/mirah mata, lemuru dan teri, serta beberapa jenis kakap. Jenis-jenis ikan tersebut pada
umum nya merupakan yang paling sering di konsumsi oleh masyarakat
4. Manfaat langsung dari hutan mangroveDesa Kuala Bubon yang di manfaatkan oleh masyarakat
setempat terdiri dari 2 jenis yaitu, (1). manfaat hasil hutan berupa daun nipah, dan (2). manfaat
penangkapan hasil perikanan yaitu kepiting, ikan, udang, siput bakau dan kerang.