Anda di halaman 1dari 141

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji syukur bagi Allah


SWT yang telah memberikan berbagai macam
kenikmatan sehingga penulis dapat menyelesaikan
karya yang berjudul Kepemimpinan Dalam
Berorganisasi Pada Sekolah Menengah Kejuruan.
Sholawat teriring salam selalu tercurahkan kepada
Rasulullah SAW yang selalu memberikan
keteladanan untuk terus berkarya bagi masyarakat.
Dalam buku ini menjelaskan bahwa dalam
kepemimpinan organisasi pada Sekolah Menengah
Kejuruan, dibutuhkanlah komitmen organisasional,
kemudian memperbaiki juga kualitas persepsi
terhadap karakteristik pekerjaan, reward system,
dan kepuasan kerja. Meskipun banyak factor
potensial yang memengaruhi komitmen dalam
kepemimpinan berorganisasi, namun secara teoritik
yang memengaruhi komitmen dalam kepemimpinan
berorganisasi adalah karakteristik pekerjaan,
reward system, dan kepuasan kerja. Dalam

i
melakukan penulisan dan penelitian, peneliti
memiliki keterbatasan ruang dan waktu, sehingga
membatasinya berdasarkan judul yang dirigidkan
ke dalam pengaruh karakteristik pekerjaan, reward
system, dan kepuasan kerja terhadap komitmen
organisasional pada Sekolah Menengah Kejuruan.
Terimakasih yang tak terhingga kepada
semua pihak yang telah membantu dalam
melakukan penulisan dan penelitian pada karya ini
sehingga dapat terealisasikan sebuah buku yang
bermanfaat bagi para pembaca. Semoga Allah
SWT selalu memberikan yang terbaik atas setiap
aktivitas yang dilakukan. Penulis memersembahkan
buku ini untuk orang tua, suami, dan anak yang
telah mendukung selama penulis melakukan
penyusunan buku ini.
Semoga buku ini bermanfaat bagi para
pembaca dan menjadi berkah untuk kita semua,
Amin.
Jakarta, 1 April 2022
Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................i
DAFTAR ISI............................................................iii
BAB I.......................................................................1
Konsep Dasar Kepemimpinan Sekolah..............1
A. Analisis masalah............................................1
B. Rumusan Masalah.........................................9
C. Tujuan Penelitian..........................................10
BAB II....................................................................12
Komitmen Organisasi.........................................12
A. Pengertian Komitmen Organisasional.........12
B. Jenis-Jenis Komitmen Organisasional........19
C. Komponen Komitmen Organisasional.........22
D. Tujuan Komitmen Organisasional...............25
BAB III...................................................................28
Karakteristik Pekerjaan.......................................28
A. Pengertian Karakteristik Pekerjaan.............28
B. Dimensi Karakteristik Pekerjaan..................31
C. Ciri-Ciri Pekerjaan........................................46
D. Pendekatan Pekerjaan................................55

iii
BAB IV..................................................................64
Reward System....................................................64
A. Pengertian Reward System.........................64
B. Fungsi-Fungsi Reward System....................68
C. Tujuan Reward System...............................69
D. Kaidah Reward System...............................70
E. Bentuk-Bentuk Reward System...................72
BAB V...................................................................74
Kepuasan Kerja...................................................74
A. Pengertian Kepuasan Kerja.........................74
B. Penyebab Ketidakpuasan Kerja..................76
C. Dimensi Kepuasan Kerja.............................77
D. Unsur-Unsur Kepuasan Kerja......................83
E. Faktor Kepuasan Kerja................................84
BAB VI..................................................................90
Penelitian Kepemimpinan Dalam Berorganisasi
...............................................................................90
A. Metode Penelitian yang Digunakan..............90
B. Model Hipotetik Penelitian............................91
C. Tempat dan Waktu Penelitian......................91
D. Populasi dan Sampling.................................92
E. Teknik Pengumpulan Data...........................93
F. Teknik Analisis Data.....................................94

iv
G. Hipotesis Statistik.........................................94
H. Pengaruh Langsung Karakteristik Pekerjaan
terhadap Komitmen Organisasional.............96
I. Pengaruh Langsung Reward System
terhadap Komitmen Organisasional...........101
J. Pengaruh Langsung Kepuasan Kerja
terhadap Komitmen Organisasional...........106
K. Pengaruh Langsung Karakteristik Pekerjaan
terhadap Kepuasan Kerja..........................110
L. Pengaruh Langsung Reward System
terhadap Kepuasan Kerja..........................115
M. Kesimpulan Penelitian................................121
DAFTAR PUSTAKA...........................................124

v
BAB I

Konsep Dasar Kepemimpinan Sekolah

A. Analisis masalah
Human Development Index (HDI) Indonesia
hingga kini tidak menunjukkan kemajuan. HDI
Indonesia masih berkutat di atas peringkat 100 dari
174 negara di dunia. Pada tahun 2008 misalnya,
Indonesia berada pada peringkat 106, sedangkan
HDI negara-negara di kawasan ASEAN lainnya
seperti Malaysia berada pada peringkat 61,
Thailand peringkat 74, dan Philipina peringkat 84

(UNDP HDI Rank, 2008). Kondisi ini benar-benar


kontras dengan tuntutan globalisasi. Ketika
globalisasi internasional menyaratkan kualitas
sumber daya manusia (SDM) yang unggul dan
kompetitif, indeks pertumbuhan manusia Indonesia
justru stagnan. Artinya, kualitas SDM Indonesia
tidak mengalami kemajuan sama sekali sehingga
tidak siap berkompetisi, bahkan dengan sesama
SDM negara-negara ASEAN.

1
Fenomena ini jelas merefleksikan persoalan
serius yang tidak mungkin diabaikan dalam
perspektif pendidikan nasional, baik di masa lalu,
masa kini, maupun masa depan. SDM yang ada
sekarang adalah produk pendidikan di masa lalu,
sehingga apabila kondisi SDM masa kini tidak
berkualitas itu berarti merupakan bagian dari
kegagalan pendidikan di masa lalu.
Kegagalan tersebut merupakan produk
kolektif, dari guru, kepala sekolah, sampai
pengambil kebijakan di tingkat pusat. Dari semua
yang terlibat tersebut, kepala sekolah merupakan
pihak yang sangat menentukan, karena kepala
sekolah adalah pemegang otoritas tertinggi pada
tingkat operasional di sekolah. Dalam hal ini kepala
sekolah mempunyai peran strategis dalam
menerjemahkan kebijakan-kebijakan dalam bentuk
operasional yang memungkinkan dilakukan oleh
segenap warga sekolah. Lebih dari itu, kepala
sekolah juga mempunyai tujuh peran utama.
Pertama, sebagai educator (pendidik). Kegiatan
belajar mengajar merupakan inti proses pendidikan

2
dan guru merupakan pelaksana dan pengembang
utama kurikulum di sekolah. Kepala sekolah yang
menunjukkan komitmen tinggi dan fokus terhadap
pengembangan kurikulum dan kegiatan belajar
mengajar sangat memperhatikan kompetensi yang
dimiliki guru dan sekaligus berusaha memfasilitasi
serta mendorong para guru secara terus menerus
meningkatkan kompetensinya. Kedua, sebagai
manajer. Dalam mengelola tenaga kependidikan,
salah satu tugas yang harus dilakukan kepala
sekolah adalah melaksanakan kegiatan
pemeliharaan dan pengembangan profesi para
guru. Ketiga, sebagai administrator. Khususnya
berkenaan dengan pengelolaan keuangan, untuk
tercapainya peningkatan kompetensi guru tidak
lepas dari faktor biaya. Seberapa besar sekolah
dapat mengalokasikan anggaran peningkatan
kompetensi guru akan mempengaruhi tingkat
kompetensi guru. Keempat, sebagai supervisor.
Untuk mengetahui sejauh mana guru mampu
melaksanakan pembelajaran, secara berkala
kepala sekolah melaksanakan kegiatan supervisi,

3
yang dapat dilakukan melalui kegiatan kunjungan
kelas untuk mengamati proses pembelajaran
secara langsung, terutama dalam pemilihan dan
penggunaan metode dan media serta keterlibatan
siswa dalam proses pembelajaran. Kelima, sebagai
pemimpin. Ini terkait dengan gaya kepemimpinan
kepala sekolah seperti apakah yang dapat
menumbuh-suburkan kreativitas sekaligus dapat
mendorong terhadap peningkatan kompetensi
guru. Keenam, sebagai pencipta iklim kerja.
Budaya dan iklim kerja yang kondusif akan
memungkinkan guru lebih termotivasi untuk
menunjukkan kinerjanya secara unggul, yang
disertai usaha untuk meningkatkan kompetensinya.
Ketujuh, sebagai wirausahawan. Dalam
menerapkan prinsip-prinsip kewirausaan
dihubungkan dengan peningkatan kompetensi
guru, kepala sekolah dapat menciptakan
pembaharuan, keunggulan komparatif, serta
memanfaatkan berbagai peluang (Bestary, 2022).
Melihat peran strategis kepala sekolah
tersebut, maka salah satu hal yang urgent

4
mendapat perhatian serius adalah komitmen
organisasional kepala sekolah, karena kepala
sekolah yang memiliki komitmen
organisasional tinggi akan cenderung berikhtiar
terus menerus secara total demi kemajuan sekolah
dan warganya. Dalam konteks ini, komitmen
organisasional terkait dengan identifikasi diri kepala
sekolah atas tujuan sekolah; keterlibatan dan
kesediaan berusaha seoptimal mungkin demi
kepentingan sekolah; dan keinginan kuat bertahan
dan menjadi bagian sekolah. Semua aspek ini
sangat diperlukan dalam rangka mewujudkan
penyelengggaraan pendidikan yang berkualitas
unggul, yang diproyeksikan dapat menghasilkan
output yang bermutu tinggi dan dapat bersaing
dalam level lokal, nasional, regional maupun global.
Komitmen organisasional kepala sekolah tidak
terjadi begitu saja, melainkan dipengaruhi oleh
sejumlah faktor atau variabel, baik yang bersifat
internal maupun eksternal. Paling tidak ada tiga
faktor/variabel penting yang mempengaruhi
komitmen organisasional kepala sekolah, yakni:

5
karakteristik pekerjaan, reward system, dan
kepuasan kerja. Karakteristik pekerjaan dan reward
system merupakan faktor eksternal, sedangkan
kepuasan kerja merupakan faktor internal.
Karakteristik pekerjaan adalah atribut-atribut
tugas yang ada dalam pekerjaan, seperti variasi
keterampilan, identitas tugas, signifikansi tugas,
otonomi dan umpan balik. Atribut-atribut ini apabila
sesuai dengan keinginan, harapan, kebutuhan dan
potensi individu akan mendorong keterlibatan
individu semakin intens dalam organisasi.
Sebaliknya atribut-atribut tugas yang tidak sesuai
dengan minat dan potensi individu akan
menjauhkan individu dari organisasi. Demikian pula
reward system yang mereleksikan rangkaian unsur-
unsur balas jasa yang diberikan kepada pegawai
secara terorganisasi, saling berinteraksi, saling
tergantung satu sama lain, teratur dan terpadu
sebagai sarana untuk mencapai tujuan organisasi
yang meliputi upah/gaji, tunjangan, insentif,
penghasilan tambahan, perasaan mampu,
kecakapan, tanggung jawab, dan pertumbuhan

6
pribadi yang diberikan dengan baik, akan
mendorong komitmen yang tinggi terhadap
organisasi. Sedangkan kepuasan kerja, tidak pelak
lagi, merupakan anteseden komitmen
organisasional yang penting. Kepuasan kerja
dalam tataran ini terkait dengan perasaan
menyenangkan terhadap pekerjaan dan aspek-
aspek yang melingkupinya, seperti pekerjaan itu
sendiri, promosi, pengawasan, mitra kerja, kondisi
kerja, dan upah. Selama ini, kepuasan kepala
sekolah atas aspek-aspek pekerjaan tersebut
dirasakan kurang memadai, sehingga muncul
kegelisahan dan kekecewaan di kalangan kepala
sekolah.
Dari uraian di atas terlihat dengan jelas bahwa
komitmen organisasional sangat penting dan vital
bagi kehidupan organisasi sekolah. Namun dalam
prakteknya masih ada saja kepala sekolah yang
belum memiliki komitmen organisasional secara
memadai, padahal kepala sekolah merupakan
pemegang otoritas tertinggi organisasi sekolah.
Sebagai contoh, di kalangan Kepala Sekolah

7
Menengah Kejuruan (SMK) Swasta di Provinsi
DKI Jakarta yang menjadi obyek penelitian ini
masih banyak kepala sekolah yang kurang memiliki
komitmen organisasional sesuai kebutuhan
pengajaran, pendidikan, dan sekolah. Hasil
wawancara dengan lima Pengurus Yayasan
Pengelola Pendidikan Swasta di wilayah Provinsi
DKI Jakarta menunjukkan masih ada kepala
sekolah yang menggunakan jam kerja untuk
kepentingan pribadi, menggunakan fasilitas
sekolah untuk keperluan perbadi, mengajar di
sekolah-sekolah lain, tidak sanggup memfasilitasi
penyelenggaraan proses pembelajaran secara
tuntas, enggan melakukan terobosan-terobosan
baru terkait dengan kemajuan pendidikan dan
sekolah, dan tidak mempunyai ide-ide kreatif-
inovatif yang dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan pengajaran, pendidikan, dan sekolah.
Selain itu, capaian nilai Ujian Nasional (UN) SMK
Swasta juga masih jauh dari optimal (skor 10).
Sebagai gambaran, pada tahun 2011 nilai rata-rata
UN SMK Swasta untuk mata pelajaran Bahasa

8
Indonesia = 6,72, Bahasa Inggris = 7,06,
Matematika = 6,71, Komputer 8,56, Teori Produktif
= 6,47, dan Prektek Produktif = 8,56. Hasil UN ini
selain masih jauh dari optimal, juga lebih rendah
dibandingkan hasil UN SMK Negeri, yakni Bahasa
Indonesia = 7,73, Bahasa Inggris = 7,71,
Matematika = 7,65, Teori Produktif = 6,76,
Komputer 8,61 dan Praktek Produktif = 8,80.
Kondisi ini semakin menunjukkan bahwa kepala
sekolah SMK Swasta sebagai pimpinan sekolah
belum berhasil menunjukkan komitmennya dalam
mewujudkan hasil UN yang optimal.
Fenomena tersebut menarik untuk dikaji
secara mendalam dan komprehensif melalui
penelitian ilmiah guna mengungkap pengaruh
karakteristik pekerjaan, reward system, dan
kepuasan kerja terhadap komitmen organisasional
Kepala SMK Swasta, dengan mengambil obyek
penelitian pada SMK Swasta di Provinsi DKI
Jakarta.

B. Rumusan Masalah

9
Berdasarkan analisis masalah di atas, maka
dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai
berikut:
1. Apakah karakteristik pekerjaan berpengaruh
langsung terhadap komitmen organisasional
Kepala SMK Swasta di Provinsi DKI Jakarta?
2. Apakah reward system berpengaruh langsung
terhadap komitmen organisasional Kepala SMK
Swasta di Provinsi DKI Jakarta?
3. Apakah kepuasan kerja berpengaruh langsung
terhadap komitmen organisasional Kepala SMK
Swasta di Provinsi DKI Jakarta?
4. Apakah karakteristik pekerjaan berpengaruh
langsung terhadap kepuasan kerja Kepala SMK
Swasta di Provinsi DKI Jakarta?
5. Apakah reward system berpengaruh langsung
terhadap kepuasan kerja Kepala SMK Swasta di
Provinsi DKI Jakarta?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari
informasi empirik tentang pengaruh:

10
1. Karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja
Kepala SMK Swasta di Provinsi DKI Jakarta.
2. Karakteristik pekerjaan terhadap komitmen
organisasional Kepala SMK Swasta di Provinsi DKI
Jakarta.
3. Reward system terhadap kepuasan kerja Kepala
SMK Swasta di Provinsi DKI Jakarta.
4. Reward system terhadap komitmen organisasional
Kepala SMK Swasta di Provinsi DKI Jakarta.
5. Kepuasan kerja terhadap komitmen organisasional
Kepala SMK Swasta di Provinsi DKI Jakarta.

11
BAB II

Komitmen Organisasi

A. Pengertian Komitmen Organisasional

Menurut Goetz dan Wald (2022), menyatakan


bahwa organisasi adalah Sebagai situasional yang
memiliki peluang dan keterbatasan dalam
lingkungan organisasi yang lebih luas,
mempengaruhi hasil individu seperti kepuasan
kerja dan kinerja karyawan. Sedangkan menurut
Shrestha, Krishna, Krogh (2021), menyatakan
bahwa organisasi adalah sebagai wadah atau
tempat untuk pengambilan keputusan berdasarkan
informasi yang didapatkan.

Menurut Si, Zhang, Yao, Liu, Lu (2021),


menyatakan bahwa komitmen adalah suatu kontrak
yang harus di jalankan oleh kedua belah pihak, dan
tidak boleh ada pihak yang merasa di rugikan.
Menurut Fitranti, Izzati, Setyowati (2021),
menyatakan bahwa komitmen adalah sebagai

12
hubungan psikologis antara karyawan dan
organisasi yang membuat kecil kemungkinan
karyawan akan secara sukarela meninggalkan
organisasi. Komitmen adalah kemampuan dan
kemauan untuk menyelaraskan perilaku pribadi
dengan kebutuhan, prioritas dan tujuan organisasi.

Menurut Muis, Jufrizen, Fahmi (2018),


menyatakan bahwa Komitmen organisasi secara
umum merupakan suatu ketentuan yang
disetujui bersama dari semua personil dalam
suatu organisasi mengenai pedoman,
pelaksanaan serta tujuan yang ingin dicapai
bersama dimasa yang akan datang.
Sedangkan menurut Lubis, Onsardi (2021),
menyatakan bahwa komitmen organisasi
merupakan keinginan kuat seorang karyawan untuk
bertahan di perusahaan dan mempertahankan
keanggotaannya. Komitmen organisasi adalah
keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota
organisasi, keinginan untuk berusaha keras sesuai
keinginan organisasi, keyakinan tertentu, dan

13
penerimaan nilai dan tujuan organisasi. Dapat
dimaknai bahwa seberapa tinggi komitmen
karyawan terhadap organisasi tempat mereka
bekerja, menentukan pencapaian tujuan organisasi
itu.jika komitmen para pengikut organisasi tinggi,
mereka akan melaksanakan tugasnya secara
maksimal dan dapat menghasilkan kinerja tinggi.

Benkhoff (1997) menyatakan bahwa komitmen


merupakan derajat kepedulian karyawan dan
kontribusinya terhadap keberhasilan organisasi
(the degree to which employees care about, and
contribute to, organizational success). Sedangkan
Morris & Sherman sebagaimana dikutip Shaw,
Delery & Abdulla (2003), memandang komitmen
sebagai hasil dari investasi atau kontribusi terhadap
organisasi, atau suatu pendekatan psikologis yang
menggambarkan suatu hal yang positif, keterlibatan
yang tinggi, dan orientasi intensitas tinggi terhadap
organisasi (the result of investments or
contributions to the organization, or psychological
approach, in which commitment is depicted as a

14
positive, high-involvement, high-intensity
orientatation toward the organization).

Sedangkan menurut Robbins (2006), ia


mendefinisikan komitmen sebagai suatu keadaan
seorang individu memihak organsiasi serta tujuan-
tujuan dan keinginannya untuk memperetahankan
keanggotaannya. Dalam artian bahwa individu
tersebut memiliki idealisme yang kuat dalam
mendorong dan mendukung suatu lingkungan atau
organisasi untuk mencapai visi dan misi yang
direncanakan, serta sebagai bentuk eksistensinya
sebagai anggota dalam lingkungan atau organisasi
tersebut.

Lanjut lagi menurut Prasetyono dan Kompyurini


(2007) mendefinisikan bahwa komitmen sebagai: 1)
keyakinan dan penerimaan tujuan dan nilai-nilai
organisasi, 2) kemauan untuk berusaha atau
bekerja untuk mencapai tujuan organisasi, dan 3)
Hasrat untuk menjaga keanggotaan organisasi.
Jadi, dari beberapa pengertian di atas, penulis
dapat simpulkan bahwa komitmen adalah suatu

15
bentuk keyakinan, kepedulian, dan kontribusi
secara nyata dan aktif pada diri seorang individu di
dalam suatu lingkungan atau organisasi untuk
dapat bersama-sama berjuang dalam mencapai visi
dan misi lingkungan atau organisasi tersebut.

Dari beberapa pandangan tersebut pula tampak


bahwa komitmen diorientasikan pada organisasi
sebagai objeknya. Kepedulian, keterlibatan,
investasi atau kontribusi sebagai reresentasi dari
komitmen individu sepenuhnya didedikasikan untuk
organisasi.

Sedangkan pengertian organisasi, Jones


sebagaimana dikutip Jaffee (2001), menyatakan
bahwa organisasi merupakan alat yang digunakan
oleh orang-orang untuk mengoordinasikan
tindakannya guna memeroleh sesuatu yang
mereka inginkan atau hargai. Kemudian Morgan
sebagaimana dikutip Scott & Davis (2007),
mendefinisikan organisasi sebagai mesin untuk
mencapai tujuan atau sebagai masyarakat kecil
dengan struktur sosial dan budaya, atau sebagai

16
organisasi yang menerobos lingkungan sumber
daya. Selain itu, Greenberg (2003), mendefinisikan
organisasi merupakan sebuah sistem sosial
terstruktur yang terdiri atas kelompok dan individu
yang bekerjasama untuk memenuhi sasaran yang
disepakati.

Jadi, dari beberapa definisi di atas, dapat


penulis simpulkan bahwa organisasi merupakan
sekumpulan beberapa orang menjadi sebuah tim
yang saling bekerjasama untuk mencapai tujuan
bersama. Dari beberapa pandangan tersebut
tampak bahwa intinya organisasi sebagai alat atau
instumen untuk mencapai tujuan bersama.

Sejalan dengan pengertian komitmen dan


organisasi di atas, Luthans (2008) mengatakan
bahwa komitmen organisasional merupakan suatu
hasrat yang kuat untuk tetap menjadi anggota
organisasi; suatu keinginan untuk menunjukkan
usaha tingkat tinggi atas nama organisasi; dan
keyakinan yang kuat dalam menerima nilai-nilai dan
tujuan-tujuan organisasi. Kemudian bagi Newstrom

17
(2007), komitmen organisasional adalah suatu
tingkat atau derajat identifikasi diri pegawai dengan
organisasi dan keinginan-keinginannya untuk
meneruskan partisipasi aktifnya dalam organisasi
(is the dehree to which an employee indentifies
with the organization and wants to continue actively
participating in it). Sementara itu menurut Mowdey,
Porter & Steers (2007), komitmen organisasional
adalah kekuatan pegawai dalam
mengidentifikasikan keterlibatan dirinya ke dalam
bagian organisasi, yang dapat ditandai:
penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan
organisasi, kesiapan dan kesediaan untuk
berusaha dengan sungguh-sungguh atas nama
organisasi, dan keinginan untuk mempertahankan
keanggotaan di dalam organisasi (menjadi bagian
dari organisasi).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa komitmen


organisasional adalah keinginan dan kepedulian
seorang individu untuk dapat terlibat secara aktif
dan menjadi bagian dari organisasi.

18
B. Jenis-Jenis Komitmen Organisasional
Menurut Meyer dan Allen bahwa komitmen
organisasi terdiri dari tiga dimensi, yakni komitmen
afektif, komitmen kelanjutan, dan komitmen
normatif.
1. Dimensi komitmen afektif merupakan hubungan
emosinal yang dimiliki oleh karyawan dengan
perusahaan tempat karyawan tersebut bekerja.
Karyawan memiliki rasa keinginan untuk terus
bekerja karena sependapat dengan nilai-nilai
dan tujuan yang ada dalam perusahaan
tersebut. Hal tersebut membuat karyawan tetap
bekerja di perusahaan dan mendukung serta
membantu untuk mencapai tujuan dari
perusahaan.
2. Dimensi Komitmen berkelanjutan merupakan
keinginan yang dimiliki oleh karyawan untuk
tetap tinggal dalam perusahaan dengan
perhitungan mengenai untung rugi yang
didapatkan. Hal tersebut telah dipertimbangkan

19
oleh karyawan dan memilih untuk tetap tinggal
daripada harus meninggalkan perusahaan.
3. Komitmen normatif merupakan perasaan
ketertarikan yang dimiliki oleh karyawan untuk
berada dalam perusahaan. Perasaan
ketertarikan yang dimiliki oleh karyawan ini
didasari dengan pertimbangan mengenai norma,
nilai yang ada dalam organisasi dan keyakinan
karyawan.

Dimensi berikutnya terdiri dari:

1. Komitmen berkesinambungan (continuance


commitment), yaitu komitmen yang berhubungan
dengan dedikasi anggota dalam melangsungkan
kehidupan organisasi dan menghasilkan orang
yang mau berkorban dan berinvestasi pada
organisasi;
2. Komitmen terpadu (cohesion commitment), yaitu
komitmen anggota terhadap organisasi sebagai
akibat adanya hubungan sosial dengan anggota
lain di dalam organisasi. Ini terjadi karena
karyawan percaya bahwa norma-norma yang

20
dianut organisasi merupakan norma-norma yang
bermanfaat;
3. Komitmen terkontrol (control commitment), yaitu
komitmen anggota pada norma anggota
organisasi yang memberikan perilaku yang
diinginkannya. Norma yang dimiliki organisasi
mampu memberikan sumbangan terhadap
perilaku yang diinginkannya.

Meyer dan Allen mengidentifikasi tiga dimensi


komitmen organisasional. Pertama, komitmen
afektif (affective commitment), yaitu: “involves the
employee’s emotional attachment to, identification
with, is involvement in the organization). Hal ini
mengandung makna bahwa komitmen afektif
berasal dari kelekatan emosional terhadap
organisasi, mengidentifikasikan diri dan terlibat aktif
dalam organisasi. Kedua, komitmen rasional
(continuance commitment), yaitu: “involves
commitment based on the cost that the employee
associated with leaving the organization.”
Komitmen rasional berkaitan dengan komitmen

21
yang didasarkan pada persepsi pegawai atas
kerugian yang akan diperolehnya jika
meninggalkan organisasi. Ketiga, komitmen
normatif (normative commitment), yakni: “involves
employee’s feeling of obligation to to stay with the
organization”. Komitmen normatif berkaitan dengan
perasaan pegawai terhadap keharusan untuk tetap
bertahan dalam organisasi.

C. Komponen Komitmen Organisasional


Menurut Luthans, bahwa komponen yang harus
dimiliki dalam berkomitmen didalam organisasi
diantaranya : (1) keinginan kuat bagi seseorang
untuk menjadi anggota organisasi, (2) kesediaan
untuk mengerahkan upaya organisasi dan (3)
kepercayaan dan penerimaan nilai dari tujuan
organisasi, yang dapat disimpulkan bahwa
komitmen organisasi adalah proses berkelanjutan
terkait sikap loyalitas dan perhatian anggota
organisasi terhadap kesuksesan sebuah organisasi
Buchanan mengemukakan komponen-
komponen komitmen organisasional yang terdiri

22
atas: kesesusaian diri (identifikasi diri) pegawai
dengan tujuan organisasi, keterikatan psikologis
pegawai dalam tugas-tugas organisasi, dan
kesetiaan (loyalitas) dan kecintaan pegawai kepada
organisasi yang ditunjukkan oleh ketidakinginan
pegawai untuk meninggalkan organisasi. Begitu
pula Moore (2008), meskipun menggunakan
retorika bahasa yang berbeda, juga
mengemukakan pandangan serupa. Menurutnya,
komitmen organisasional melibatkan tiga sikap,
yakni: suatu rasa identifikasi dengan tujuan-tujuan
organisasi, suatu perasaan keterlibatan dalam
kewajiban-kewajiban organisasi, dan suatu
perasaan loyalitas terhadap organisasi.

Sebagai variabel terikat, komitmen


organisasional dipengaruhi banyak faktor/variabel.
Tiga di antaranya yang secara teoretik
memengaruhi komitmen organisasional adalah
karaktaristik pekerjaan, reward system, dan
kepuasan kerja. Hal ini seperti tampak pada Model

23
Motivasi Kerja Terpadu (An Integrated Model of
Work Motivation) berikut ini:

Gambar 2.1. An Integrated Model of Work


Motivation
Sumber: E. A. Locke and G. P. Latham, “What
Should We Do About Motivation Theory? Six
Recommendations for the 21st Century, “Academy
of Management, Vol. 10. (Greenwhich, Ct: Jai
Press, 1997): 375-412. Academy Of Management
Review By E.A. Locke & G.P. Latham, Copyright

24
2001 By Academy Of Management (Ny).
Reproduced With Permission Of The Academy Of
Management (Ny).

Dari model tersebut tampak bahwa komitmen


organisasional (organizational commitment) secara
langsung dipengaruhi oleh kepuasan kerja
(satisfaction) serta secara tidak langsung
dipengaruhi oleh karakteristik pekerjaan (work
characteristic) dan reward.

D. Tujuan Komitmen Organisasional

Tujuan adalah indikator yang harus dilalui oleh


suatu organisasi, yang juga berfungsi untuk
mengukur kinerjanya. Organisasi yang sukses
adalah organisasi yang memenuhi sebagian besar
tujuan yang telah ditetapkan.Semakin banyak
tujuan yang dicapai akan meyakinkan klien atau
investor di masa depan. Tujuan harus memenuhi
beberapa karakteristik berikut :

25
1. Kejelasan, tujuan harus didefinisikan dengan
jelas, sehingga tidak ada keraguan pada orang
yang bertanggung jawab untuk berpartisipasi
dalam pencapaian tujuan.
2. Fleksibilitas, fleksibel yang dimaksud adalah
untuk dimodifikasi ketika keadaan berubah.
3. Terukur, tujuan harus dapat diukur dalam
periode waktu tertentu agar bisa dicapai.
4. Realistis, tujuan harus masuk akal (realistis0 dan
mungkin untuk dicapai.
5. Koheren, suatu tujuan harus konsisten, yaitu
tidak boleh saling bertentangan antara satu
orang dengan orang yang lain.
6. Memotivasi, tujuan harus dibuat sedemikian rupa
agar menjadi elemen yang memotivasi dan
tantangan bagi orang yang bertanggung jawab
atas pemenuhan tujuan ini.

Adanya komitmen organisasional ini akan


mampu membawa seorang individu akan lebih
bersemangat dalam berperan sebagai anggota di
organisasi atau lingkungan tertentu untuk bisa

26
bersama-sama dalam berkontribusi mencapai
tujuan atau visi dan misi yang ada di organisasi
tersebut. Selain itu, adanya komitmen
organisasional ini mampu membentuk anggota
untuk bersikap loyalitas dan adanya rasa bangga
diri, serta rasa saling mencintai dan menjaga nama
baik lingkungan atau organisasi dalam keadaan
apapun.

27
BAB III

Karakteristik Pekerjaan

A. Pengertian Karakteristik Pekerjaan


Menurut Purnamasa, dkk (2021) menyatakan
bahwa Karacteristik Kerja ialah pekerjaan yang
mempunyai tingkat paradigma puncak, yang
akan merumuskan tingkat mental yang maksimal
ke dalam diri pegawai. Kondisi critical psycholigic
tentunya akan merangsang tumbuhnya motivasi
kerja yang maksimal, hasil kerja yang optimal,
dan disiplin serta tertib kepada tanggung
jawabnya. Sedangkan menurut Pardede dan
sembiring (2021) menyatakan bahwa karakteristik
pekerjaan adalah sikap aspek internal dari kerja itu
sendiri yang terdiri dari variasi keterampilan yang
dibutuhkan, prosedur dan kejelasan tugas, tingkat
kepentingan tugas, kewenangan dan tanggung
jawab serta umpan balik dari tugas yang telah
dilakukan.

28
Hackman dan Oldham (dalam Widagdo, 2006)
mengatakan bahwa karakteristik pekerjaan
merupakan aspek internal dari suatu pekerjaan
yang mengacu pada isi dan kondisi dari pekerjaan.
Sementara Gunastri (2009) menjelaskan bahwa
karakteristik pekerjaan itu sendiri merupakan sifat
dan tugas yang meliputi tanggungjawab, macam
tugas dan tingkat kepuasan yang diperoleh dari
pekerjaan itu sendiri. Apabila memahami
karakteristik pekerjaan, setiap individu yang bekerja
dapat memantapkan pekerjaannya secara lebih
produktif.

Definisi yang berbeda dikemukakan oleh


Menurut Hackman dan Oldham (dalam Dost, 2012)
setiap inti dari pekerjaan mencakup aspek materi
pekerjaan yang dapat mempengaruhi kepuasan
kerja seseorang, semakin besarnya keragaman
aktivitas pekerjaan yang dilakukan maka seseorang
akan merasa pekerjaannya semakin berarti.
Apabila seseorang melakukan pekerjaan yang
sama, sederhana dan rutin maka akan

29
menyebabkan rasa kejenuhan atau kebosanan.
Memberi kebebasan dalam menangani tugas
tugasnya akan membuat seorang mampu
menunjukkan inisiatif dan upaya mereka sendiri
dalam menyelesaikan pekerjaan, dengan demikian
desain kerja yang berbasis ekonomi ini merupakan
fungsi dan faktor pribadi.

Karakteristik kerja ini akan mempengaruhi tiga


keadaan psikologis yang penting, yaitu:

a. Mendalami makna kerja,


b. Memikul tanggung jawab akan hasil kerja dan
c. Pengetahuan akan hasil kerja.

Akhirnya, ketiga kondisi psikologis ini akan


mempengaruhi kualitas kinerja,

Jadi, dari beberapa pandangan di atas, dapat


disimpulkan bahwa karakteristik pekerjaan
merupakan dasar bagi produktivitas dan
kepuasaan kerja yang dirancang untuk memainkan
peran pentingnya dalam kesuksesan dan
kelangsungan hidup seseorang.

30
B. Dimensi Karakteristik Pekerjaan

Model karakteristik pekerjaan, terdiri dari lima


dimensi pekerjaan inti, antara lain:
a. Variasi ketrampilan (skill variety)
b. Identitas tugas (task identity)
c. Signifikansi tugas (task significance)
d. Otonomi (autonomy)
e. Umpan balik (feedback)
Kekompleksitasan pekerjaan dari enam
karakteristik tugas yaitu (1) variasi, (2) otonomi, (3)
tanggungjawab, (4) pengetahuan dan ketrampilan,
(5) interaksi sosial yang dibutuhkan dan (6)
interaksi sosial pilihan. Keenam karakteristik tugas
ini digunakan untuk menilai efek dari jenis-jenis
pekerjaan yang berbeda terhadap kepuasan dan
absensi karyawan. Para karyawan akan lebih
memilih pekerjaan-pekerjaan yang kompleks dan
menantang yakni jenis-jenis pekerjaan yang dapat
meningkatkan kepuasan dan menyebabkan angka
ketidakhadiran menjadi lebih rendah. Berikut ini

31
akan dijelaskan lima dimensi dari karakteristik
pekerjaan:
a. Variasi Keterampilan
Variasi keterampilan sebagai lingkup dimana
pekerjaan memerlukan seorang individu yang
mampu melakukan berbagai tugas yang
mengharuskannya menggunakan keterampilan dan
kemampuan yang berbeda. Pekerjaan yang
memerlukan banyak interaksi dengan pelanggan
adalah contoh pekerjaan yang mempunyai variasi
yang tinggi.
Variasi keterampilan adalah tingkatan dimana
pekerjaan tersebut memerlukan aktivitas yang
berbeda sehingga pekerja dapat menggunakan
sejumlah keterampilan dan bakat yang berbeda-
beda.
Dapat di simpulkan bahwa variasi keterampilan
adalah dapat menjadi tolak ukur di dalam sebuah
pekerjaan dimana para karyawan di tuntut untuk
melaksanakan tugas yang mempunyai kecakapan
yang luas dan memakai berbagai perlengkapan
dan prosedur dalam pekerjaan mereka

32
b. Identitas Tugas
Identitas tugas adalah sejauh mana karyawan
melaksanakan seluruh pekerjaan secara utuh, dan
dengan jelas dapat mengidentifikasi hasil usaha.
Pendapat berikutnya mengenai identitas tugas
identitas tugas sebagai tingkatan dimana pekerjaan
tersebut memerlukan penyelesaian dari seluruh
detail pekerjaan yang dapat diidentifikasi.
Sigit (2003) menyatakan bahwa task identity
(identitas tugas) adalah sejauh manakah tugas-
tugas dalam suatu pekerjaan dapat diidentifikasi
(dikenali) dan dapat diselesaikan dalam konteks
sebagai bagian tersendiri dalam suatu pekerjaan.
Dapat di simpulkan bahwa identitas tugas
adalah ruang lingkup dimana seseorang di
haruskan untuk melaksanakan seluruh pekerjaan
secara lengkap dan dapat di identifikasi.
c. Signifikansi Tugas
Menurut Robbins (2009) bahwa signifikansi
tugas atau tingkat pentingnya adalah tingkatan
dimana pekerjaan tersebut memiliki dampak yang

33
substansial terhadap kehidupan atau pekerjaan
orang lain.
Hackman dan Oldham dalam Robbins (2009)
menyatakan bahwa contoh dari pekerjaan yang
memiliki kepentingan tinggi adalah merawat orang
yang sakit di unit perawatan intensif di Rumah
Sakit, dan contoh pekerjaan yang memiliki tingkat
kepentingan rendah adalah mengepel lantai
Rumah Sakit. Kemudian Sigit (2003) menyatakan
bahwa; task significance (arti pentingnya tugas)
adalah sejauh manakah tugas itu mempunyai arti
penting bagi pekerjaan orang lain atau berdampak
bagi kehidupan orang lain. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa signifikansi tugas merupakan
tingkat manfaat tugas bagi kehidupan orang lain.
Semakin tinggi tingkat manfaat tugas yang kita
lakukan bagi orang lain berarti semakin tinggi
signifikansi tugas tersebut.
d. Otonomi
Gibson (2003) menyatakan bahwa otonomi
adalah sampai sejauh mana karyawan berhak
memberikan pendapatnya dalam menjadwal

34
pekerjaan mereka, memilih perlengkapan yang
akan mereka pergunakan, dan memutuskan
prosedur yang harus diikuti. Kemudian Robbins
(2009) menyatakan bahwa otonomi adalah
tingkatan dimana pekerjaan memerlukan
kebebasan yang substansial, independensi dan
keleluasaan terhadap individu dalam menyusun
jadwal pekerjaan untuk menentukan prosedur
prosedur yang digunakan dalam melaksanakannya.
Dari beberapa pernyataan di atas dapat
disimpulkan bahwa otonomi adalah kebebasan
bagi pekerja untuk mandiri mengambil keputusan
tentang pekerjaan dan tanggungjawab atas
pekerjaannya.
e. Umpan Balik
Menurut Sigit (2003) bahwa feedback (umpan
balik) adalah sejauh manakah selama karyawan
mengerjakan dapat memperoleh informasi secara
langsung dan jelas tentang keberhasilan atau
efektivitas pekerjaan mereka yang dilakukan itu.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
umpan balik adalah sejauh mana kita menerima

35
informasi baik dari pihak internal maupun eksternal
tentang baik atau buruknya pekerjaan yang telah
kita lakukan maupun penampilan kita dalam
bekerja.
Hackman dan Oldham (2008) merinci
karakteristik pekerjaan menjadi lima dimensi inti,
yakni: (1) variasi keterampilan, (2) identitas tugas,
(3) signifikansi tugas, (4) otonomi, dan (5) umpan
balik. Hackman dan Oldham telah mengidentifikasi
dimensi inti (core dimension) untuk memperkaya
pekerjaan (job enrichment). Apabila salah satu
dimensi tidak ada, secara psikologis karyawan
merasa ada yang hilang dan motivasi cenderung
menurun. Seluruh dimensi inti itu cenderung
mempertinggi motivasi, kepuasan, dan kualitas
kerja dan mengurangi pergantian pegawai dan
kemangkiran.

Kelima dimensi inti yang disebutkan Hackman


dan Oldham tersebut secara rinci dijelaskan
Newstom dan Davis (2007), sebagai berikut:

36
Pertama, variasi keterampilan (skill variety).
Variasi memungkinkan karyawan untuk
melaksanakan bidang tugas yang berbeda yang
mengharuskan adanya keterampilan yang berbeda-
beda. Pekerjaan yang sangat beragam dipandang
para karyawan lebih menantang karena mencakup
beberapa jenis keterampilan. Pekerjaan seperti ini
juga meniadakan kemonotonan yang timbul dari
setiap aktivitas yang berulang. Apabila pekerjaan
itu bersifat fisik, digunakan otot yang berbeda,
sehingga satu bidang otot tidak digunakan
berlebihan dan letih pada sore hari. Keragaman
menimbulkan perasaan kompeten yang lebih besar
bagi pegawai, karena mereka dapat melakukan
jenis pekerjaan yang berlainan dengan cara yang
berbeda.

Kedua, identitas tugas (task identity). Identitas


tugas memungkinkan karyawan untuk
melaksanakan sebuah pekerjaan seutuhnya.
Banyak upaya pemerkayaan pekerjaan telah
dilakukan pada dimensi ini, karena di masa lampau

37
gerakan manajemen ilmiah menimbulkan pekerjaan
yang terlalu dispesialisasikan dan rutin. Para
karyawan secara individu mengerjakan bagian kecil
pekerjaan sehingga mereka tidak dapat
mengidentifikasikan salah satu produk dengan
upaya mereka. Mereka tidak dapat memiliki rasa
menyelesaikan atau bertanggung jawab bagi
produk secara keseluruhan. Apabila tugas
diperluas untuk menghasilkan sebuah produk
secara keseluruhan atau bagiannya yang dapat
diidentifikasi, maka telah terbentuk identitas tugas.
Sebuah tugas menjadi bagian kerja yang dijelaskan
secara sempit dan dirancang bagi seseorang.
Namun, dalam klasifikasi tugas, ada kemungkinan
untuk mewujudkan kinerja kelompok yang
mengerjakan berbagai tugas. Di sini fokus bukan
ditujukan pada sifat atau peran anggota kelompok
yang lebih disukai atau sebenarnya pada proses
kelompok khusus, tetapi pada tipe tugas yang akan
diselesaikan oleh kelompok itu. Dalam konteks ini,
yang diutamakan adalah kesesuaian antara tipe
tugas dan kelompok yang mengerjakannya.

38
Ketiga, signifikansi tugas (task significance).
Dimensi ini mengacu pada kadar dampak
pekerjaan terhadap orang lain, seperti yang
dipersepsikan karyawan. Dampak itu bisa terjadi
pada atas orang lain dalam organisasi
bersangkutan, seperti pada saat karyawab
melakukan langkah pokok adalam proses kerja,
tetapi bisa juga terjadi pada pihak lain di luar
organisasi. Hal yang penting adalah bahwa
karyawan percaya mereka melakukan sesuai yang
penting dalam organisasi atau lingkungan
masyarakat.

Keempat, otonomi (autonomy). Dimensi ini


memberikan kebijaksanaan dan kendali tertentu
bagi karyawan untuk mengambil suatu keputusan
yang berkaitan dengan pekerjaan. Dimensi ini
merupakan hal yang mendasar untuk menimbulkan
rasa tanggung jawab dalam diri karyawan.
Walaupun karyawan mau bekerja dalam berbagai
kendala organisai, karyawan juga bersikeras untuk
memiliki keluasaan tertentu. Terkait dengan hal ini,

39
para pakar memberikan pandangan yang hampir
serupa. Schunk, Pintrich dan Meece (2008)
mendefinisikan otonomi sebagai mendapatkan
kebebasan, menolak tekanan dan pembatasan,
bebas dan merdeka untuk bertindak, menghindari
atau aktivitas melepaskan diri yang diatur oleh
pejabat yang berkuasa (to get free, to resist
coercion and restriction, to be independent and free
to act, to aovid or quit activities prtescribed bu
domineering authorities). Kemudian menurut Snell
dan Bohlander, otonomi adalah tingkat sejauh
mana pekerjaan memberikan kebebasan besar,
kemerdekaan dan keleluasaaan kepada individu
dalam menjadwalkan pekerjaan dan dalam
menentukan prosedur untuk digunakan dalma
melaksanakannya.

Lalu bagi Furnham (2006), otonomi adalah


tingkat kebebasan, kemerdekaan dan keleluasaan
yang dimiliki pelaksana kerja dalam pekerjaannya;
menjadi tanggung jawab pribadi bagi proses dan
hasil kerja. Sementara itu menurut Gomez-Mejia,

40
Balkin, dan Cardy (2007), otonomi adalah jumlah
kebebasan, kemerdekaan dan keleluasaan yang
dimiliki pegawai di bidang seperti penjadwalan
kerja, pembuatan keputusan dan menentukan
bagaimana melaksanakan pekerjaan.

Selain itu, Mondy dan Noe (2005), memandang


otonomi sebagai tingkat kebebasan dan
keleluasaan individu yang dimiliki pegawai dalam
mengerjakan pekerjaannya (the extend of
individual freedom and discretion employees have
in performaing their jobs). Menurut Mondy dan Noe
(2005), pekerjaan yang memberikan otonomi sering
mendorong pegawai untuk merasa bertanggung
jawab bagi hasil kerjanya.

Kebanyakan pekerja tidak ingin seseorang


menanggung sendiri di pundaknya sepanjang hari
sambil menunggunya melakukan kesalahan.
Individu mengetahui apa yang perlu dilakukan dan
dengan alasan menghendaki kebebasan untuk
menyelesaikan pekerjaannya. Otonomi menjadi inti
dari tim kerja yang mengatur sendiri. Beberapa

41
kelompok ini memiliki otonomi untuk membuat
keputusan siapa yang akan disewa dan
dipromosikan, jadwal kerja dan metode yang harus
diikuti.

Kebebasan bertindak ini menciptakan rasa


bertanggung jawab yang mungkin tidak bisa
dicapai dengan cara lain. Otonomi juga merujuk
pada kontrol atas (aspek) pelaksanaan tugas dan
khususnya dianggap sebagai sesuatu yang positif,
menyehatkan dan memuaskan bagi pegawai yang
terlepas darinya, dan proses kerja efisien,
keuntungan dan klien yang puas bagi majikan yang
memberikannya. Otonomi dalam pekerjaan pada
masyarakat merupakan “otonomi yang diberikan” –
sejauh berusaha memadukan pekerja dengan
proses kerja, seperti memadukan unsur-unsur yang
tidak bisa diduga misalnya kepandaian, koordinasi
dan mobilisasi subyektif. Kepentingannya adalah
menyelidiki dan menganalisis otonomi di tempat
kerja yang berkaitan dengan informasi dan
teknologi komunikasi.

42
Dalam kajian di bidang manufaktur, perubahan
menunjukkan tuntutan yang dibebankan kepada
pekerja bagi mobilisasi subyektif untuk mencapai
tugasnya. Ini mulai membentuk kondisi “otonomi
yang diberikan” – otonomi diberikan dalam arti
“diserahkan” kepada pekerja, tetapi sekaligus
merupakan kewajiban yang harus diikuti. Dari
bebagai pandangan ini terlihat bahwa otonomi
terkait dengan pemberian kebebasan kepada
seseorang untuk melakukan hal-hal tertentu secara
leluasa.

Kelima, umpan balik (feedback). Umpan balik


mengacu pada informasi yang memberi tahu
karyawan tentang seberapa baik prestasinya.
Umpan balik timbul dari pekerjaan itu sendiri,
pimpinan, dan karyawan lainnya. Gagasan umpan
balik timbul dari pekerjaan itu sendiri, pimpinan,
dan karyawan lainnya. Gagasan umpan balik cukup
sederhana, tetapi sangat penting bagi orang-orang
di tempat kerja karena karyawan menginvestasikan
bagian yang substansial dari kehidupannya dalam

43
pekerjaan, karyawan ingin mengetahui seberapa
baik prestasinya. Lebih lanjut, karyawan perlu
mengetahui agak sering karena mengakui bahwa
prestasi itu memang berbeda-beda, dan satu-
satunya cara untuk megnadakan penyesuaian
adalah dengan mengetahui bagaimana prestasinya
sekarang. Menurut Kreitner dan Kinicki (2004),
umpan balik merupakan informasi obyektif tentang
kinerja individu atau kelompok (objective
information about individual or collective
performance). Umpan balik memiliki dua fungsi
bagi yang menerimanya. Pertama, fungsi
instruksional. Kedua, fungsi motivasional. Umpan
balik menuntut ketika menjelaskan peran atau
mengajarkan perilaku baru (feedback instructs
when it clarifies role or tecehs new behavior). Di sisi
lain, umpan balik memotivasi ketika berfungsi
sebagai imbalan atau menjanjikan suatu imbalan
(feedback motivates when it serves as a reward or
promise a reward).

44
Ketika dipertimbangkan secara luas, umpan
balik kinerja merupakan sarana bagi hal-hal berikut
ini: 1) bimbingan: perbaikan yang harus dilakukan
oleh pekerja dalam kinerjanya, dan langkah-
langkah yang bisa dia ambil untuk perbaikan. Ini
berada di antara tanggungjawab manager paling
dasar, 2) evaluasi: bagaimana organisasi
memandang kinerja pegawai sehubungan dengan
harapan dan bagi orang lain. Apakah pegawai
bekerja dengan baik, buruk, atau rata-rata? 3)
pengakuan: mengungkapkan penghargaan atas
pekerjaan yang dilakukan, 4) imbalan: pengakuan
yang dituangkan dalam sesuatu yang bisa
dijangkau (biasanya uang), 5) arah: menyampaikan
atau memperkuat apa yang diperlukan organisasi,
nilai-nilai dan harapan dari pegawai.

Lima aspek dan hasil umpan balik ini


diperlukan bagi karyawan dan organisasi. Meskipun
kebanyakan orang memiliki tingkat tanggung jawab
dan ingin menyelesaikan tugasnya, motivasi
menurun tajam jika tidak seorangpun

45
memperhatikan. Di sisi lain, jika tidak seorangpun
yang memperhatikan kecuali ketika sesuatu
berubah buruk, motivasi segera akan berubah
menjadi kebencian. Umpan balik penting dalam
mempertahankan motivasi. Agar efektif secara
maksimal, umpan balik harus disajikan secepat
mungkin setelah perilaku yang tidak memadai
terjadi. Artinya, umpan balik perlu diberikan tepat
waktu agar lebih faktual dan kontekstual.
Pemberian umpan balik dengan tenggang waktu
lama dapat menyebabkan distorsi makna dari
muatan umpan balik yang diberikan karena
dianggap kurang penting.

C. Ciri-Ciri Pekerjaan
Menurut Rickey (1987) sebagaimana dikutif
soetjipto dan kosasi (2009) mengemukakan ciri-ciri
guru sebagai profesi, yaitu :
1. Adanya komitmen dari para guru bahwa jabatan
itu mengharuskan pengikutnya menjunjung tinggi
martabat kemanusiaan lebih dari pada mencari
keuntungan diri sendiri.

46
2. Suatu profesi menssyaratkan orangnya
mengikuti persiapan professional dalam jangka
waktu tertentu.
3. Harus selalu menambah pengetahuan agar terus
menerus berkembang dalam jabatannya.
4. Memiliki kode etik jabatan.
5. Memiliki kemampuan intelektual menjawab
masalah-masalah yang dihadapi.
6. Selalu ingin belajar terus-menerus mengenai
bidang keahlian yang ditekuni.
7. Menjadi anggota dari suatu organisasi profesi.
8. Jabatan itu dipandang sebagai suatu karir hidup.
Menurut National Education Association (NEA),
syarat guru sebagai profesi terpenuhi karena
memiliki kriteria:
1. Jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual
2. Jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh
ilmu yang khusus
3. Jabatan yang memerlukan persiapan
professional yang lama (bandingkan dengan
pekerjaan yang memerlukan latihan umum
belaka).

47
4. Jabatan yang melibatkan memerlukan latihan
dalam jabatan yang berkesinambungan.
5. Jabatan yang menjanjikan karier hidup dalam
keanggotan yang permanen.
6. Jabatan yang menentukan buku (standar)
sendiri.
7. Jabatan yang lebih mementingkan layanan di
atas keuntungan pribadi.
8. Jabatan yang mempunyai organisasi
professional yang kuat dan terjalin erat.
Robert W. Richey (Arikunto, 1990)
mengemukakan ciri-ciri dan syarat-syarat profesi
sebagai berikut :
1. Lebih mementingkan pelayanan kemanusiaan
yang ideal dibandingkan dengan kepentingan
pribadi.
2. Seorang pekerja professional, secara aktif
memerlukan waktu yang panjang untuk
mempelajari konsep-konsep serta prinsip-prinsip
pengetahuan khusus yang mendukung
keahliannya.

48
3. Memiliki kualifikasi tertentu untuk memasuki
profesi tersebut serta mampu mengikuti
perkembangan dalam pertumbuhan jabatan.
4. Memiliki kode etik yang mengatur keanggotaan,
tingkah laku, sikap dan cara kerja.
5. Membutuhkan suatu kegiatan intelektual yang
tinggi.
Berdasarkan lima dimensi di atas atau yang
disebut ciri-ciri intrinsik pekerjaan, Hackman dan
Oldham (2008), mengembangkan model
karakteristik kerja dari motivasi kerja. Keduanya
mengasumsikan bahwa ciri-ciri pekerjaan di atas
menimbulkan tiga kritikal psychological states,
yaitu: (1) experienced meaningfulness of the work:
(2) experienced responsibility for outcomes of the
work. (3) knowledge of the actual results of the
work activities.

Ketiga kondisi psikologik kritikal ini


menghasilkan empat macam personal and work
outcomes (keluaran pribadi dan kerja), yaitu: (1)
motivasi kerja internal tinggi; (2) unjuk kerja

49
bermutu tinggi; (3) kepuasan kerja tinggi dengan
pekerjaan; (4) angka kemangkiran dan keluar
pegawai rendah.

Selain pandangan Hackman dan Oldham


tersebut, ada juga pendapat lain mengenai
karakteristik pekerjaan. Menurut Stone dan
Gueuthal (2008), karakteristik pekerjaan memiliki
enam dimensi, yaitu: (1) keragaman (variety), (2)
otonomi (autonomy), (3) interaksi yang dibutuhkan
(required interaction), (4) interaksi pilihan (optional
interaction), (5) pengetahuan dan keterampilan
yang dibutuhkan (knowledge and skill required),
dan (6) tanggung jawab (responsibilty). Apabila
dibandingkan dengan dimensi inti karakteristik
pekerjaan dari Hackman dan Oldham, terlihat ada
beberapa dimensi inti yang sama, yaitu variasi dan
otonomi. Pengetahuan dan keterampilan yang
dibutuhkan pada dasarnya juga sama dengan
variasi keterampilan dalam dimensi inti karakteristik
pekerjaan Hackman dan Oldham.

50
Di samping itu masih ada satu paket
karakteristik pekerjaan lain dari Sims, Jr., Szilagyi &
Keller (2009), sebagaimana dikutip oleh Gibson,
Ivancevich, Donnelly & Konopaske berikut:

Tabel 3.1
Karakteristik Pekerjaan
Characteristic Description
Variety Degree to which a job
(Keragaman) employees to perform a
wide range of in their work,
and/or degree to which
employees must use a
variety of equipment and
procedures in their work.
(Derajat dimana pekerjaan
membutuhkan karyawan
yang dapat mengerjakan
operasi dengan rentang
yang lebar, dan/ atau derajat
dimana karyawan harus
menggunakan serangkaian

51
peralatan dan prosedur di
pekerjaan mereka).

Autonomy Extent to which employees


(otonomi) have a major say in
scheduling their work,
selecting the equipment
they use, and deciding on
procedures to be followed
(Tingkat dimana karyawan
mempunyai satu bidang
utama katakanlah mejadual
kerja mereka, menyeleksi
peralatan yang digunakan,
dan memutuskan prosedur
yang harus diikuti).
Task identity Extent to which employees
(indentitas do an entire or whole piece
tugas) of work and can clearly
identify whith the result of
their efforts. (Tingkat
dimana karyawan

52
melakukan segala atau
seluruh bagian kerja dan
bisa jelas mengidentifikasi
hasil upaya mereka).
Feedback Degree to which employees,
(umpan balik) as they are working, receive
information that reveal how
well they are performing on
the job.
(Derajat dimana karyawan,
karena mereka bekerja
menerima informasi yang
menyatakan seberapa baik
mereka melaksanakan
pekerjaan mereka).
Dealing with Degree to which a job
others requires employees to deal
(Berhubungan other people to complete
dengan pihak their work.
lain) (Derajat dimana suatu
pekerjaan membutuhkan

53
karyawan bersangkutan
berhubungan dengan pihak
lain guna menyelesaikan
kerja mereka).
Friendship Degree to which a job
opportunitues allows employees to talk
(Peluang with one another on the job
persahabatan) and to establish informal
relationship with other
employees at work.
(Derajat dimana suatu
pekerjaan memungkinkan
karyawan berbicara satu
dengan lainnya di dalam
pekerjaan dan menjalin
suatu hubungan informasi
dengan karyawan lain di
dunia kerja)

Dari enam dimensi karakterikstik pekerjaan


versi Sims, Jr., Szilagyi & Keller (2009), empat di
antaranya sama dengan formula atau model

54
sebelumnya, yakni keragaman, otonomi, identitas
tugas, dan umpan balik. Sedangkan dua lainnya,
yaitu berhubungan dengan pihak lain dan peluang
persahabatan, relatif berbeda.
D. Pendekatan Pekerjaan
Karakteristik pekerjaan merupakan sifat dari
tugas yang meliputi tanggung jawab, macam tugas
dan tingkat kepuasan yang diperoleh dari
pekerjaan itu sendiri. Dengan memahami
karakteristik pekerjaan, setiap individu yang bekerja
dapat diharapkan memantapkan pekerjaan mereka
secara lebih produktif. bahwa secara umum model
karakteristik pekerjaan merupakan wujud dari
gagasangagasan internal yang diperoleh individu
jika dirinya mempelajari (pengetahuan tentang
kesimpulan dan kualitas hasil kerja) secara pribadi
(merupakan tanggung jawab pribadi) setelah
individu tersebut bertindak dengan baik dalam
suatu pekerjaan yang dikerjakannya (pekerjaan
tersebut mempunyai kebermakanaan bagi dirinya).

55
Mengutip pendapat Munandar (2011) beban
kerja adalah tugas-tugas diberikan pegawai untuk
diselesaikan waktu tertentu dengan menggunakan
keterampilan dan potensi dari tenaga kerja.
Setyawan dan Kuswati (2008) apabila beban kerja
terus menerus bertambah tanpa adanya
pembagian beban kerja yang sesuai maka kinerja
pegawai akan menurun. Menurut Shan, et., al
(2011) menyatakan tekanan beban kerja dapat
menjadi positif, dan hal ini mengarah ke
peningkatan kerja.

Kinerja merupakan hasil atau tingkat


keberhasilan seseorang secara keseluruhan
selama periode tertentu di dalam melaksanakan
tugas dibandingkan dengan berbagai
kemungkinan, seperti standar hasil kerja,
target/sasaran atau kriteria yang telah disepakati
Bersama. kinerja adalah hasil kerja yang dicapai
seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang
dibebankan kepadanya, berdasarkan kecakapan,
pengalaman, kesungguhan dan waktu. Selanjutnya

56
dikatakan juga hasil kerja atau prestasi itu
merupakan gabungan dari tiga faktor terdiri dari
minat dalam bekerja, penerimaan delegasi tugas
dan peran serta tingkat motivasi seorang pekerja.
Dapat disimpulkan bahwa Kinerja merupakan
prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang
dicapai seseorang. Kinerja adalah hasil atau tingkat
keberhasilan seseorang secara keseluruhan
selama periode tertentu didalam melaksanakan
tugas dibandingkan dengan berbagai
kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target
atau sasaran atau kriteria tertentu yang telah
ditetapkan terlebih dahulu dan telah disepakati
bersama.

Motivasi merupakan dorongan untuk bertindak


terhadap serangkaian proses perilaku manusia
dengan mempertimbangkan arah, intensitas, dan
ketekunan pada pencapaian tujuan. Motivasi
menurut Sutrisno (2014) motivasi adalah suatu
faktor yang mendorong seseorang untuk
melakukan suatu aktivitas tertentu, oleh karena itu

57
motivasi sering kali diartikan pula sebagai faktor
pendorong perilaku seseorang.

Beban kerja adalah besaran pekerjaan yang


harus dipikul oleh suatu jabatan/unit organisasi dan
merupakan hasil kali antara volume kerja dan
norma waktu (Utomo, 2008). Menurut Kasmir
(2016) analisis beban kerja perlu dilakukan karena
memberikan banyak manfaat bagi pegawai dan
perusahaan. Everly dan Girdano (2011)
menambahkan kategori lain dari beban kerja, yaitu
kombinasi dari beban kerja berlebih kuantitatif dan
kualitatif. Beban berlebihan secara fisik maupun
mental, yaitu harus melakukan terlalu banyak hal,
merupakan kemungkinan sumber stress pekerjaan.
Unsur yang menimbulkan beban berlebih kuantitatif
adalah desakan waktu, yaitu setiap tugas
diharapkan dapat diselesaikan secepat mungkin
dengan cermat dan tepat pada saat tertentu, dalam
hal waktu akhir (deadline) justru dapat
meningkatkan Semangat Kerja dan menghasilkan
Kinerja yang tinggi.

58
Konsep karakteristik pekerjaan terkait dengan
desain pekerjaan. Ada tiga macam cara
memandang subjek desain pekerjaan, yaitu:
pendekatan mekanistik, motivasional, dan secara
biologis. Pada desain pekerjaan mekanistik, setiap
pekerja hanya diharuskan melakukan satu atau dua
hal yang sederhana, terus menerus. Kebanyakan
dari pekerjaan ini amat mudah dipelajari dan
dilakukan. Pada desain pekerjaan motivasional,
ketika keterbatasan pendekatan mekanistik menjadi
jelas, mulai mencari cara membuat pekerjaan lebih
bervariasi dan menantang. Sedangkan pada desain
pekerjaan secara biologis, atau lazim ergonomik,
merupakan usaha sistematik untuk membuat
pekerjaan seaman mungkin. Ini artinya bahwa
karakteristik pekerjaan diperlukan karena adanya
desain pekerjaan yang menuntut karakteristik
pekerjaan tertentu yang sesuai.

Karakteristik pekerjaan baru bermakna apabila


dipersepsi oleh individu, dan dari persepsi itu lalun
muncul sikap dan perilaku. Persepsi dalam artian

59
ini, menurut Champoux, adalah proses kognitif
yang membiarkan seseorang merasakan dorongan
dari lingkungan. Pengaruh dorongan tersebut dapat
dirasakan dalam bentuk penglihatan, sentuhan,
kenikmatan, penciuman dan pendengaran.
Dorongan tersebut dapat berasal dari orang lain,
kejadian-kejadian, objek fisik dan ide-ide. Robbin
memberikan batasan bahwa persepsi adalah
proses yang digunakan individu mengelola dan
menafsirkan kesan inderanya dalam rangka
memberikan makna kepada lingkungannya.
Sementara McShane dan Von Glinow (2009),
mendefinisikan persepsi sebagai proses
penerimaan informasi dan membuat pengertian
tentang dunia di sekelilingnya. Dari beberapa
definisi ini tampak bahwa pada intinya persepsi
adalah bagaimana individu menilai dan
memberikan pendapat mengenai suatu objek, atau
apa yang dilihat dan dirasakan.

Atkinson dan Hilgard (1991), menyatakan


bahwa sebagai cara pandang, persepsi timbul

60
karena adanya respon terhadap stimulus. Stimulus
yang diterima seseorang sangat komplek, stimulus
masuk ke dalam otak, kemudian diartikan,
ditafsirkan serta diberi makna melalui proses yang
rumit baru kemudian dihasilkan persepsi. Dalam hal
ini menurut Gibson (1996), persepsi mencakup
penerimaan stimulus (inputs), pengorganisasian
stimulus, dan penerjemahan atau penafsiran
stimulus yang telah diorganisasi dengan cara yang
dapat mempengaruhi perilaku dan membentuk
sikap, sehingga orang dapat cenderung
menafsirkan perilaku orang lain sesuai dengan
keadaannya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa
persepsi mencakup tiga tahapan proses, yakni
penerimaan stimulus, pengorganisasian stimulus,
dan penerjemahan atau penafsiran stimulus.

Terdapat sejumlah faktor yang dapat


mempengaruhi persepsi individu, antara lain: (1)
Orang atau obyek yang diamati. Setiap individu
berusaha membuat penilaian terhadap tingkah laku
orang atau obyek yang diamati dengan

61
memberikan perhatian (atensi) pada orang/obyek
tersebut, namun seringkali individu tidak menyadari
faktor yang mempengarui penilaiannya. Proses
persepsi dipengaruhi oleh status orang atau obyek
yang diamati; (2) Situasi. Aspek-aspek situasional
juga berkaitan dengan proses perseptual. Jabatan
seseorang atau Kebijakan tertentu dalam
organisasi akan mempengaruhi obyek yang
diamati; (3) Pengamat. Persepsi juga dipengaruhi
oleh kondisi dalam diri individu yang melakukan
pengamatan. Salah satu aspek internal yang
mempengaruhinya adalah faktor kebutuhan.

Seseorang cenderung mengarahkan


perhatiannya pada hal-hal yang dapat memenuhi
kebutuhannya, sehingga individu dapat
menginterpretasikan suatu masalah dengan cara
yang berbeda; (4) Persepsi diri. Bagaimana
seseorang memandang dirinya akan mempengarui
persepsinya. Konsep diri adalah bagaimana
individu memandang dirinya sendiri. Struktur diri ini
tidak hanya khas tetapi juga konsisten bagi setiap

62
individu; (5) Karakteristik pribadi. Karakteristik
pribadi seseorang mempengaruhi persepsinya
terhadap orang lain. Jika seseorang menerima
dirinya sendiri, maka ia akan cenderung
memandang aspek-aspek yang menyenangkan
pada diri orang lain dari sudut pandang kelemahan
dirinya sendiri.

Hal ini menunjukkan bahwa persepsi dapat


dipengaruhi oleh sejumlah faktor, antara lain:Orang
atau obyek yang diamati, situasi, pengamat,
persepsi diri, dan karakteristik pribadi. Dari uraian
mengenai karakteristik pekerjaan diatas dapat
disintesiskan bahwa kerakteristik pekerjaan adalah
penilaian atas atribut- atribut pekerjaan yang berisi
sifat-sifat tugas spesifik yang dilakukan pekerja dan
dianggap dapat mempengaruhi perasaannya yang
meliputi indikator: variasi keterampilan, identitas
tugas, signifikansi tugas, otonomi, umpan balik,
berhubungan dengan pihak lain, dan peluang
persahabatan.

63
BAB IV

Reward System

A. Pengertian Reward System


Reward memiliki makna balas jasa yang
diberikan setelah seseorang melakukan aktivitas
kerja yang dilakukan. Dalam beberapa literatur juga
menggunakan istilah compensasiton yang memiliki
keserupaan makna, akan tetapi dalam reward
mencakup adanya kompensasi sehingga penulis
menggunakan istilah reward. Menurut Diao, dkk
(2022) reward pada umumnya dianggap sebagai
motivator yang efektif dari kinerja individu maupun
kelompok. Ketika seseorang telah melakukan suatu
pekerjaan, target yang diberikan oleh instansi
ataupun perusahaan telah dicapai, bahkan melebihi
dari target. Maka instansi ataupun perusahaan
dapat memberikan reward sebagai motivasi bagi
para anggotanya untuk selalu bersemangat dalam
mencapai target yang telah ditetapkan. Song, dkk
(2019) juga menyampaikan bahwa reward dapat

64
mendorong visual motor seseorang untuk
melakukan adaptasi terhadap sesuatu yang
diinstruksikan.
Saputra mengemukakan tentang reward
merupakan suatu motivasi bagi pegawai dalam
melakukan pekerjaannya (Saputra, 2017).
McKenne juga berpendapat bahwa reward merujuk
pada bagian aktivitas organisasi yang ditunjukan
bagi alokasi kompensasi dan tunjangan bagi
pegawai sebagai imbalan atas usaha dan
sumbangan yang dibuat untuk mencapai tujuan
organisasi (McKenna, 2006). Sedangkan pendapat
Amstrong sebagaimana dikutip Milmore, dkk (2007)
mendefinisikan imbalan sebagai “how people are
rewarded in accordance with their value to the
organization. It ia concerned with both financial and
non-financial reward and embarace the
philosophies, strategies, policies, plan and process
used by organizations to develop and maintain
reward system”. Definisi ini menunjukan bahwa
imbalan adalah sejauh mana orang dihargai sesuai
dengan nilainya terhadap organisasi. Hal tersebut

65
baik terkait dengan imbalan materi mauoun non
materi dan mencakup filosopi, strategi, kebijakan,
rencana, dan proses yang digunakan organisasi
untuk mengembangkan dan memelihara sistem
imbalan.
Pendapat lain bagi Ruky, reward mencakup
semua pengeluaran yang dikeluarkan oleh
perusahaan (organisasi) untuk pekerja dan diterima
atau diminati oleh pekerja, baik secara langsung
atau tidak langsung (pada suatu hari) (Ruky, 2000).
Dari berbagai definisi terkait reward merupakan
rangkaian sejumlah unsur atau komponen balas
jasa yang diberikan kepada seseorang atas
kontribusinya terhadap organisasi.
Penggunaan Istilah reward adakalanya tidak
berdiri sendiri melainkan disandingkan dengan
istilah system. Penggabungan tersebut tentu
menghasilkan makna baru. Menurut Wongso
(2016) System merupakan kumpulan atau
rangkaian komponen-komponen yang saling
berhubungan, bekerja sama dan saling berinteraksi
untuk mencapai suatu tujuan dengan melalui tiga

66
tahapan input (masuk), proses dan output (keluar).
Pendapat berikutnya mengenai System adalah
kumpulan atau himpunan unsur, komponen atau
variable-variabel yang terorganisasi, saling
berinteraksi, saling tergantung satu sama lain dan
terpadu (Tosin dan Putra, 2000). Sedangkan
menurut Kort dan Silberschatz (1991), system
adalah suatu jaringan kerja dari prosedur-prosedur
yangsaling berhubungan, berkumpul bersama-
sama, untuk melakukan suatu kegiatan atau
menyelesaikan suatu sasaran tertentu.
Pengertian lain dari Anthony & Govindarajan
(2007) menggambarkan system sebagai cara yang
biasanya berulang kali dilakukan untuk
melaksanakan suatu aktivitas atau seperangkat
aktivitas. Sistem diwarnai dengan serangkaian
Langkah yang berirama, terkoordinir dan terulang
yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan khusus.
Pendapat lain dari McKenna, suatu system yang
terdiri atas input, proses transformasi, output dan
timbal balik dari lingkungan, merupakan satuan
terorganisir yang terdiri atas dua atau beberapa

67
bagian atau subsistem yang saling tergantung dan
bisa dibedakan dari lingkungannya dengan
Batasan yang jelas (McKenna, 2006).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
reward system merupakan rangkaian sejumlah
unsur atau komponen balas jasa yang diberikan
kepada seseorang atas kontribusinya terhadap
organisasi yang berlangsung secara terorganisasi,
saling berinteraksi, saling tergantung satu sama
lain, teratur dan terpadu sebagai sarana untuk
mencapai tujuan organisasi.

B. Fungsi-Fungsi Reward System


Penggunaan reward system dalam organisasi
memiliki fungsi sebagai berikut :
1. Fungsi motivasi, yaitu reward yang diberikan
kepada pegawai sebagi bentuk motivasi agar
dapat memotivasi kinerjanya dan mendorong
kesetiaan serta rasa memiliki. (Luthans, 2008)
2. Fungsi pengawasan, yaitu reward memiliki
potensi untuk mengontrol. Jadi reward yang
diberikan sebagai bentuk pengawasan terhadap

68
perilaku individu yang menyelesaikan tugas
tertentu atau bekerja di tingkat tertentu. (Schunk,
Pintrich & Meece, 2008)
3. Fungsi informasi, fungsi ini memungkinkan
reward untuk menjadi penyampai informasi
tentang keahlian atau kemampuan seseorang
Ketika dihubungkan dengan kinerja atau
kemajuan. Contohnya, Ketika guru memuji siswa
untuk mempelajari keahlian baru tau
memperoleh pengetahuan baru, pengawas
memberi pekerja kenaikan upah untuk bekerja di
atas standar dan orang tua membelikan anaknya
mainan karena merapihkan mainannya setelah
selesai bermain. (Schunk, Pintrich & Meece,
2008)

C. Tujuan Reward System


Tujuan reward system adalah mendorong,
menarik dan memotivasi orang-orang yang
berkompeten untuk menunjukan kinerja yang
maksimal dan untuk mempertahankan orang orang
berbakat itu dengan kepuasan dalam pekerjaan

69
dan imbalan yang sesuai dengan nilai diberikan.
(Kreitner & Kenicki, 2004).
Tresia Karli Kawulur (2018) juga
mengemukakan tujuan utama dari program reward
system ini adalah:
1. Memperkuat motivasi untuk memacu diri agar
mencapai prestasi.
2. Memberikan tanda bagi seseorang yang memiliki
kemampuan lebih.
3. Bersifat Universal.

D. Kaidah Reward System


Reward system perlu mengindahkan prinsip-
prinsip program reward yang baik. Menurut Hiam
(1999) prinsip-prinsip tersebut meliputi:
1. Reward hendaknya memberi timbal balik positif
bagi setiap orang.
2. Reward hendaknya memberi timbal balik tentang
kinerja, bukan orang.
3. Reward hendaknya memberi timbal balik
sementara yang akurat dan bisa dicapai.

70
Selain itu, Kreitner dan Kinicki (2004)
mengemukakan 3 hal yang perlu di perhatikan
dalam reward system, yakni:
1. Norma, yaitu hubungan antara pimpinan dan
pegawai bisa dipandang sebagai hubungan
pertukaran. Pegawai menukarkan waktu dan
bakatnya demi reward dan ada 4 norma
alternatif dalam pertukaran ini, yaitu:
memaksimalkan keuntungan, keadilan,
persamaan dan kebutuhan.
2. Kriteria distribusi, terdapat 3 kriteria distribusi
yang dianjurkan, yakni:
a. Kinerja: hasil (kinerja individu, kelompok atau
organisasi, kuantitas dan kualitas);
b. Pelaksanaan: Tindakan dan perilaku (kerja
tim, kerjasama, pengambilan resiko, dan
kreativitas);
c. Pertimbangan di luar pekerjaan: tipe kerja,
sifat kerja, keadilan, lama kerja, tingkatan
dalam hirarki dan sebagainya, dihargai.
3. Hasil sistem, suatu sistem imbalan yang baik
hendaknya menarik orang-orang berbakat dan

71
memotivasi serta memuaskannya Ketika
memasuki organisasi tersebut dengan memacu
pertumbuhan dan perkembangan pribadi serta
mempertahankan orang orang berbakat
tersebut.
Prinsip-prinsip ini memperlihatkan bahwa
reward system harus dirancang, dibangun dan
diberikan berdasarkan prinsip-prinsip khusus yang
mengacu dan menjamin kepentingan/kebutuhan
individu dan tercapainya tujuan organisasi.

E. Bentuk-Bentuk Reward System


Reward system harus menjamin efektivitasnya,
maka para ahli menawarkan berbagai formula
reward system. Nnaji dan Egbunike membagi
reward system menjadi dua yaitu ekstrinsik dan
intrinsic (Nnaji dan Egbunike, 2015).
1. Reward system ekstrinsik
Reward ekstrinsrik adalah suatu penghargaan
yang datang dari luar diri orang tersebut (Saputra,
2017). Vecchio (2006) juga menyampaikan bahwa
adalah reward yang berasal dari luar individu.

72
Sedangkan menurut pendapat lain reward
ekstrinsik adalah imbalan di luar kerja, seperti:
upah/gaji, tunjangan, insentif, penghasilan
tambahan dan promosi. (Gibson, Ivancevich &
Donnelly, 1995)
2. Reward system intrinsik
Reward intrinsik adalah suatu penghargaan
yang diatur oleh diri sendiri (Saputra, 2017).
Reward intrinsic terdiri dari: perasaan mampu,
kecakapan, tanggung jawab, tantangan dan
pertumbuhan pribadi. (Gibson, Ivancevich &
Donnelly, 1995)

73
BAB V

Kepuasan Kerja

A. Pengertian Kepuasan Kerja


Kepuasan kerja menurut Spector adalah
bagaimana orang merasakan tentang pekerjaannya
dan berbagai aspek pekerjaannya. Sejauh mana
orang suka (puas) dan tidak suka (tidak puas)
terhadap pekerjaannya (Spector, 1997). Wanous,
Reiches dan Hudy melihat kepuasan kerja sebagai
sikap mengenai pekerjaan atau kerja seseorang.
(Baron et al. 2006).
Kemudian Nelson dan Quick (2006)
mendefinisikan kepuasan kerja sebagai kondisi
emosi positif atau menyenangkan yang muncul dari

penilaian kerja atau pengalaman kerja. Sedangkan


Locke memberikan definisi kepuasan kerja sebagai
hal melibatkan reaksi kognitif, afektif dan evaluatif
atau sikap dengan menyatakan sebagai kondisi
emosi positif atau menyenangkan dari penilaian

74
kerja atau pengalaman kerja seseorang.
Sementara itu, bagi Luthans, kepuasan kerja
merupakan hasil dari persepsi pekerja tentang
bagaimana pekerjaannya memberikan sesuatu
yang dianggap penting. (Luthans, 2008).
Secara sederhana, Abdullah dan Tanri, (2013),
menjelaskan bahwa kepuasan dapat diartikan
sebagai tingkat perasaan seseorang setelah
membandingkan kinerja produk atau hasil yang ia
rasakan dengan harapannya.
Selanjutnya Blum, (2013), mengatakan bahwa
kepuasaan kerja adalah sikap umum yang
merupakan hasil dari sikap khusus terhadap skor-
skor pekerjaan, penyesuaian diri dan hubungan
sosial individu,
Lajut Parnawi, (2020), menyatakan bahwa
kepuasaan kerja karyawan adalah respons yang
merupakan rasa senang atau rasa tidak senang
terhadap pekerjaan ayng sebenanrnya secara
individu sebagai luaran dari evaluasi terhadap
pekerjaan yang dipengaruhi oleh faktor pekerja,
hubungan antara rekan kerja, dan nilai yang

75
memberikan manfaat kepada individu tersebut
dalam jangka waktu tertentu.
Dari beberapa pengertian, definisi dan batasan
di atas terlihat bahwa kepuasan kerja merefleksikan
kondisi emosi positif (menyenangkan) seseorang
yang muncul dari penilaian atau pengalaman kerja.
Kepuasaan kerja pada prinsipnya satu hal yang
bersifat individual. Hal Mana setiap individu
memiliki tingkat kepuasaan yang berbeda sesuai
dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya.
Semakin banyak aspek-aspek dalam pekerjaan
ayng sesuai dengan individu tersebut tercapai,
semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan.

B. Penyebab Ketidakpuasan Kerja


Persoalan kepuasan kerja tidak pernah surut
menjadi bahan diskusi di tataran praktis maupun
akademis, karena beberapa alasan. Pertama,
kepuasan menunjukkan hasil pengalaman kerja
dan tingkat kekecewaan tinggi yang membantu
menunjukkan masalah organisasi yang
memerlukan perhatian. Kedua, kekecewaan kerja

76
berkaitan erat dengan absen, pergantian
(pegawai) dan masalah kesehatan fisik dan mental.
(Slocum & Hellriegel, 2007) Ketiga, ketika pekerja
tidak puas dengan pekerjaannya, keterlibatan kerja
menjadi berkurang, komitmen pada organisasi
rendah, suasana sangat negatif, dan serangkaian
akibat negatif akan muncul. Pekerja yang tidak
puas bisa terlibat dalam kemerosotan psikologi,
kemerosotan fisik (tidak masuk tanpa alasan,
pulang lebih awal, istirahat yang lama, atau
kelambatan kerja), atau tindakan agresi yang
berlebihan dan pembalasan terhadap kesalahan
yang terjadi. Berbeda dengan pegawai yang puas
mereka akan bisa bekerja dengan pelayanan yang
di luar panggilan tugas, membuat laporan kerja
yang baik, dan aktif terjun dalam semua bidang
pekerjaannya. (Newstrom, 2007)

C. Dimensi Kepuasan Kerja


Menurut Luthans (2008) menyatakan bahwa
kepuasan kerja meliputi 6(enam) dimensi, yakni
gaji, pekerjaan itu sendiri, promosi, pengawasan,

77
kelompok kerja, dan kondisi kerja. Hal ini dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Gaji
Berkaitan dengan kompensasi yang diperoleh
pegawai atas pekerjaan yang dilakukan. Uang yang
diperoleh pegawai tidak hanya untuk memenuhi
kebutuhan dasar pegawai namun juga untuk
kebutuhan yang lebih tinggi. Oleh karena itu gaji
yang diterima pegawai haruslah memenuhi
kebutuhan nominal, bersifat mengikat,
menimbulkan semangat, diberikan secara adil, dan
bersifat dinamis.
2. Pekerjaan itu sendiri.
Pekerjaan harus menarik bagi pegawai,
memberikan kesempatan belajar, dan kesempatan
menerima tanggung jawab. Pekerjaan yang terlalu
mudah memberikan rasa jenuh, akan tetapi
pekerjaan terlalu berat membuat pegawai tertekan.
3. Promosi
Merupakan proses pemindahan dari satu
jabatan ke jabatan lainnya yang lebih tinggi di
dalam organisasi. Promosi diikuti oleh tugas,

78
tanggungjawab, dan wewenang yang baru yang
lebih tinggi dari jabatan sebelumnya. Kesempatan
promosi ini memberikan pengaruh yang bervariasi
terhadap kepuasan kerja pegawai dalam
organisasi.
4. Kelompok kerja.
Teman kerja yang ramah dan mudah diajak
kerjasama memberikan kepuasan kerja bagi
pegawai lainnya. Teman kerja seperti ini jika terjadi
secara merata diantara kelompok kerja akan
membuat pekerjaan menjadi mudah dilakukan dan
akibatnya pegawai mendapat kepuasan kerja.
5. Pengawasan
Gaya atasan dalam menjalankan pengawasan
terhadap pegawai dapat berupa memberikan
perhatian dan partisipasi pegawai. Pengawasan
yang memberikan perhatian terhadap kepentingan
pegawai dan mengajak pegawai berpartisipasi
dalam pengambilan keputusan terhadap pekerjaan
pegawai sendiri akan sulit dilupakan pegawai.
6. Kelompok Kerja

79
Di dalam organisasi pegawai masuk ke dalam
kelompok kerja. Kelompok kerja yang kondusif
akan memberikan kemudahan pegawai bekerja
dan pada akhimya memberikan kepuasan pegawai.

Selanjutnya, Nelson dan Quick (2006) bahwa


kepuasan kerja terdiri dari lima dimensi kerja
khusus, Yaitu:
1. Kerja itu sendiri: sejauh mana pekerjaan
memberi individu tugas yang menarik,
kesempatan untuk belajar dan peluang
menerima tanggung jawab.
2. Upah: jumlah ganti rugi keuangan yang diterima
dan sampai di mana ini dianggap sepadan
dibandingkan upah orang lain dalam organisasi.
3. Peluang promosi: Peluang bagi kemajuan dalam
organisasi.
4. Pengawasan: Kemampuan pengawas
memberikan bantuan teknik dan dukungan
tingkah laku.
5. Mitra kerja: sejauh mana sesama pekerja secara
teknik memadai dan secara sosial saling

80
membantu.
Sedangkan, Wexley dan Yukl (2005)
menyatakan berdasarkan karakteristik pekerjaan,
kepuasaan kerja terdiri menjadi 7 (tujuh) dimensi,
yaitu sebagai berikut:
1. Kompensasi.
Imbalan yang diterima pegawai merupakan
faktor penting bagi kepuasan kerja pegawai.
Imbalan yang terlalu kecil membuat pegawai tidak
puas, demikian juga terhadap pemberian gaji yang
tidak adil.
2. Supervisi.
Perilaku atasan dalam melakukan pengawasan
terhadap pegawai sangat diperhatikan oleh
pegawai. Pengawasan yang dilakukan dengan
memperhatikan dan mendukung kepentingan
pegawai akan berdampak terhadap kepuasan kerja
pegawai.
3. Pekerjaan itu sendiri.
Sifat dari pekerjaan yang dihadapi oleh
pegawai dalam organisasi yakni skill variety, task
identity, task significance, autonomy, dan feedback,

81
akan memberikan pengaruh yang berbeda- beda
terhadap kepuasan kerja pegawai
4. Hubungan dengan rekan kerja.
Interaksi antara pegawai dalam organisasi
dapat mempengaruhi kepuasan kerja pegawai
tersebut. Secara individu rekan kerja yang
bersahabat dan mendukung akan memberikan
kepuasan kerja pegawai lainnya
5. Kondisi kerja.
Kondisi kerja yang bersih dan tertata rapi akan
membuat pekerjaan lebih mudah dilakukan
pegawai dan hal ini pada akhirnya memberikan
dampak terhadap kepuasan pegawai
6. Kesempatan memperoleh perubahan status.
Bagi pegawai yang memiliki keinginan besar
untuk mengembangkan dirinya, maka kebijakan
promosi yang adil yang diberlakukan organisasi
akan memberikan dampak puas kepada pegawai
7. Keamanan kerja.
Rasa aman didapatkan pegawai dari adanya
suasana kerja yang menyenangkan, tidak ada rasa

82
takut akan suatu hal yang tidak pasti dan tidak ada
kekhawatiran akan diberhentikan secara tiba-tiba.
Dari uraian di atas dapat disintesiskan bahwa
kepuasan kerja adalah perasaan menyenangkan
yang dirasakan seseorang yang muncul sebagai
akibat dari penilaian kerja dan pengalaman kerja
yang meliputi indikator: pekerjaan itu sendiri,
promosi, pengawasan, mitra kerja, dan kondisi
kerja.

D. Unsur-Unsur Kepuasan Kerja


Spector (1997) mengidentifikasi dimensi atau
unsur kepuasan kerja dalam cakupan yang lebih
luas dengan menambahkan beberapa unsur
sebagaimana tampak pada tabel berikut:
Tabel 5.1
Unsur-unsur dari Penelitian Kepuasan Kerja
Unsur Deskripsi
Upah Kepuasan dengan upah dan
kenaikan upah
Promosi Kepuasan dengan peluang promosi

83
Pengawasan Kepuasan dengan pengawasan ketat
seseorang
Tunjangan Kepuasan dengan tunjangan
luar tambahan
Imbalan Kepuasan dengan imbalan (tidak
satuan selalu uang) yang diberikan bagi
pekerjaan yang baik.
Kondisi kerja Kepuasan dengan aturan dan
prosedur
Mitra kerja Kepuasan dengan mitra kerja
Sifat Kerja Kepuasan dengan tipe pekerjaan
yang dilakukan
Komunikasi Kepuasan dengan komunikasi dalam
organisasi

E. Faktor Kepuasan Kerja


Mullins menyebut serangkaian variabel yang
lebih luas lagi dengan melibatkan individu, faktor
sosial, budaya, organisasi dan lingkungan yang
memengaruhi kepuasan kerja, dengan rincian:

84
1. Faktor individu, mencakup: kepribadian,
pendidikan dan kualifikasi, kecerdasan dan
kemampuan, usia, status perkawinan, orientasi
bekerja.
2. Faktor-faktor sosial, mencakup: hubungan
dengan mitra kerja, kerja kelompok dan norma,
kesempatan bagi interaksi, organisasi informal.
3. Faktor-faktor budaya, mencakup: sikap,
keyakinan dan nilai yang mendasari.
4. Faktor organisasi, mencakup: sifat dan ukuran,
struktur formal, kebijakan dan prosedur
pegawai, hubungan pegawai, sifat kerja,
teknologi dan organisasi kerja, pengawasan dan
gaya kepemimpinan, sistem manajemen, kondisi
kerja.
5. Faktor lingkungan, mencakup: pengaruh
ekonomi, sosial, teknik dan pemerintah. (Mullins,
Laurie J., 2007)
Dari berbagai dimensi, unsur dan faktor
tersebut dapat disarikan beberapa aspek penting
dari kepuasan kerja yang memperoleh perhatian
sama dari para pakar, yakni: pekerjaan itu sendiri,

85
promosi, pengawasan, mitra kerja, dan kondisi
kerja.
Dengan kondisi seperti itu, maka kepuasan kerja
perlu ditingkatkan dari waktu ke waktu. Pedoman
yang bisa dimanfaatkan untuk itu antara lain:
1. Membuat pekerjaan lebih menyenangkan.
2. Memberikan upah yang layak, tunjangan dan
kesempatan promosi.
3. Sesuaikan orang dengan pekerjaan yang layak
dengan kepentingan dan keahliannya
4. Rancang pekerjaan yang membuat orang tertarik
dan puas
5. Perencanaan pekerjaan yang sesuai dengan
orang. (Luthans, 2008) Ini berarti bahwa
peningkatan kepuasan kerja hanya mungkin
dilakukan secara terkonsep, terpadu dan
strategis.
Robbins (2003:103) Menyatakan bahwa
kepuasaan kerja dapat terpengaruh oleh beberapa
faktor yakni faktor menially challenging work,
equitable rewards, supportive working conditions,

86
dan faktor supportive mileagues. Hal ini dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Mentally Challenging Work
Faktor mentally challenging work pegawai
dalam kepuasan kerja menggambarkan bahwa
pegawai lebih menyukai pekerjaan yang
memberikan peluang kepadanya untuk
menggunakan seluruh kemampuannya dalam
menyelesaikan pekerjaan yang diberikan secara
bebas. Pegawai sangat mengharapkan tanggapan
atasan tentang seberapa baik pekerjaan tersebut
dikerjakan. Pekerjaan yang tidak menantang
seringkali membuat pegawai bosan, sebaliknya jika
pekerjaan terlalu menantang cenderung akan sulit
dikerjakan dan membuat pegawai frustasi.
Pekerjaan yang tantangannya di antara kedua
batas ekstrim inilah yang mampu membuat
pegawai menjadi senang dan puas.
2. Equitable Rewards
Pegawai menginginkan kebijakan organisasi
dalam sistem pembayaran dan kesempatan
promosi yang adil dan sesuai dengan yang

87
diharapkan. Kepuasan kerja akan tercipta jika
pembayaran gaji dilakukan dengan adil yakni
sesuai ruang lingkup pekerjaan, sesuai
kemampuan pegawai, serta sesuai standar yang
berlaku. Walaupun tidak semua pegawai bertujuan
mencari uang semata.
3. Supportive Working Conditions
Pegawai selalu akan memperhatikan
lingkungan kerja untuk memperoleh rasa nyaman.
Pegawai tidak menyukai jika fasilitas kerja tidak
menyenangkan dan berbahaya bagi keselamatan
jiwanya. Pegawai menghendaki suasana
lingkungan kerja mendekati suasana ketika sedang
berada dirumah.
4. Supportive Colleagues
Pegawai tidak hanya bekerja untuk uang atau
penghargaan fisik semata. Bagi kebanyakan
pegawai bekerja pada dasarnya adalah untuk
memenuhi kebutuhan interaksi sosial. Memiliki
dukungan rekan kerja positif akan memberikan
kepuasan kerja pegawai. Perilaku pimpinan juga
mempengaruhi kepuasan kerja pegawai.

88
Chruden and Sherman (dalam Yusuf, 2010),
menyatakan faktor-faktor yang digunakan untuk
mengukur kepuasan kerja seorang pegawai adalah
pekerjaan, pekerjaan aktual sebagai kontrol
terhadap pekerjaan, supervisi oleh atasan,
organisasi dan manajemen, kesempatan untuk
maju, gaji dan keuntungan finansial, rekan kerja,
dan kondisi pekerjaan. Selanjutnya Dunn and
Stephens (dalam Yusuf, 2010) menyatakan faktor
penyebab kepuasan kerja adalah bekerja pada
tempat yang tepat, pembayaran yang sesuai,
organisasi dan manajemen, supervise pada
pekerjaan yang tepat, dan orang yang berada
dalam pekerjaan adalah orang yang tepat.

89
BAB VI

Penelitian Kepemimpinan Dalam Berorganisasi

A. Metode Penelitian yang Digunakan


Penelitian ini menggunakan metode survei
dengan melakukan pengumpulan informasi dari
para informan melalui serangkaian pertanyaan
pada lembar instrumen (Ponto, 2015). Penelitian
survei juga untuk mengkaji populasi besar maupun
kecil dengan menyeleksi dan mengkaji sampel
yang dipilih dari populasi itu untuk menemukan
insidensi, distribusi, dan interrelasi relatif dari

variabel-variabel (Kerlinger & Lee, 2000). Survei


digunakan menggambarkan karakteristik tertentu
dari kependudukan dan/atau menguji hipotesis
tentang sifat hubungan dalam populasi (BRM,
2022). Tidak hanya itu, Survei juga digunakan
untuk mempelajari sikap, keyakinan, nilai-nilai,
demografi, tingkah laku, opini, kebiasaan,
keinginan, ide-ide dan tipe informasi lain (McMillan

90
& Schumacher, 2006). Dari data, fakta atau
informasi itu kemudian dideskripsikan kondisi
masing-masing variabel penelitian sehingga
memungkinkan untuk diketahui pengaruh variabel
yang satu dengan variabel yang lain, yang dalam
konteks penelitian ini adalah pengaruh varaiabel
eksogen (karakteristik pekerjaan dan reward
system) terhadap variable endogen (kepuasan kerja
dan komitmen organisasional).

B. Model Hipotetik Penelitian

Gambar 6.1. Model Hipotetik Penelitian

C. Tempat dan Waktu Penelitian

91
Penelitian ini mengambil tempat di SMK
Swasta di Provinsi DKI Jakarta. Lokasi ini dipilih
karena selama ini belum pernah dilakukan
penelitian secara intensif mengenai komitmen
organisasional di SMK Swasta di Provinsi DKI
Jakarta dilihat dari perspektif kerakteristik
pekerjaan, reward system, dan kepuasan kerja. Uji
coba instrumen dan penelitian lapangan
dilaksanakan di lokasi tersebut. Sedangkan
penyelenggaraan penelitian, dari tahap persiapan
awal, penyusunan proposal, penyusunan
instrumen, uji coba instrumen, penelitian lapangan,
sampai penulisan laporan penelitian, berlangsung
selama enam bulan, terhitung dari bulan Januari
sampai dengan bulan Juni 2010.

D. Populasi dan Sampling


Populasi merupakan semua objek atau
peristiwa dari jenis tertentu yang ingin dicari tahu
oleh peneliti (Allen, 2017). Peneliti menentukan
populasi pada penelitian ini adalah seluruh Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) Swasta Provinsi DKI

92
Jakarta dengan target Kepala SMK yang berjumlah
493 orang. Untuk populasi 493 orang, menurut
ketentuan Tabel Krejcie & Morgan, diperlukan
sampel minimal 216 orang. Berdasarkan ketentuan
tersebut, maka sampel penelitian ini ditetapkan 216
orang. Pengambilan sampel dilakukan secara
proportionate random sampling sesuai sebaran
Kepala SMK Swasta di lima wilayah Provinsi DKI
Jakarta.

E. Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data penelitian komitmen
organisasional, karakteristik pekerjaan, reward
system, dan kepuasan kerja dilakukan melalui
penyebaran kuesioner yang didesain dalam bentuk
rating scale (skala peringkat) dan Likert scale
(skala Likert). Dalam skala ini pernyataan-
pernyataan yang diajukan dilengkapi dengan lima
alternatif jawaban berikut bobotnya untuk setiap
alternatif. Rinciannya adalah: Selalu/sangat setuju
= 5, sering/setuju = 4, Jarang/Ragu-ragu = 3,
Kadang-kadang/tidak setuju = 2, dan tidak

93
pernah/sangat tidak setuju = 1.

F. Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi analisis statistik deskriptif, uji
persyaratan analisis, dan statistik inferensial.
Analisis statistik deskriptif bertujuan untuk
mengetahui gambaran masing-masing variabel
penelitian dilihat berdasarkan nilai rata-rata,
median, modus, standar deviasi, varians, skor
maksimum dan minimum, serta distribusi
frekuensi dan histrogram. Uji persyaratan analisis
dilakukan dengan uji linearitas dan uji normalitas
galat taksiran. Sedangkan analisis inferensial
dengan menggunakan analisis jalur (path analysis)
yang dilengkapi dengan model persamaan
struktural digunakan untuk pengujian hipotesis
penelitian.

G. Hipotesis Statistik
Berdasarkan hipotesis penelitian, maka dapat

94
dirumuskan hipotesis statistik sebagai berikut:
1. H0 : P41 = 0
H1 : P41 > 0
2. H0 : P42 = 0
H1 : P42 > 0
3. H0 : P43 = 0
H1 : P43 > 0
4. H0 : P31 = 0
H1 : P31 > 0
5. H0 : P32 = 0
H1 : P32 > 0
Keterangan:
P41 = Karakteristik pekerjaan berpengaruh
langsung terhadap komitmen organisasional Kepala
SMK Swasta di Provinsi DKI Jakarta.

P42 = Reward system berpengaruh langsung


terhadap komitmen organisasional Kepala SMK
Swasta di Provinsi DKI Jakarta.

P43 = Kepuasan kerja berpengaruh langsung


terhadap komitmen organisasional Kepala SMK

95
Swasta di Provinsi DKI Jakarta.

P31 = Karakteristik pekerjaan berpengaruh


langsung terhadap kepuasan kerja Kepala SMK
Swasta di Provinsi DKI Jakarta.

P32 = Reward system berpengaruh langsung


terhadap kepuasan kerja Kepala SMK Swasta di
Provinsi DKI Jakarta.

H. Pengaruh Langsung Karakteristik Pekerjaan


terhadap Komitmen Organisasional
Hipotesis pertama yang diuji dalam penelitian
ini adalah: "terdapat pengaruh langsung secara
positif karakteristik pekerjaan terhadap komitmen
organisasional Kepala SMK Swasta di Provinsi DKI
Jakarta.” Hasil perhitungan koefisien jalur dan t
hitung dengan menggunakan program LISREL
untuk menguji hipotesis di atas disajikan dalam
tabel berikut ini:

96
Tabel 6.1
Koefisien Jalur dan t hitung Pengaruh Karakteristik
Pekerjaan Terhadap Komitmen Organisasional

Hasil perhitungan LISREL 8.7 sebagaimana


terlihat pada tabel diatas menunjukkan koefisien
jalur pengaruh karakteristik pekerjaan terhadap
komitmen organisasional (P41) sebesar 0,45.
Koefisien jalur yang diperoleh bernilai positif
sehingga menunjukkan arah pengaruh positif
karakteristik pekerjaan terhadap komitmen
organisasional. Dengan merujuk skala positif
koefisien jalur antara 0 sampai dengan 1, maka
koefisien jalur sebesar 0,45 menunjukkan tingkat

97
pengaruh yang tergolong cukup kuat.
Selanjutnya dari perhitungan di atas
ditampilkan nilai t hitung, yaitu sebesar 5,25.
Sementara nilai t tabel untuk dk = 214 pada tingkat
kesalahan 1% sebesar 2,34. Nilai t hitung > t tabel,
yang berarti H1 diterima dan Ho ditolak, sehingga
hipotesis pertama yang menyatakan: terdapat
pengaruh langsung secara positif karakteristik
pekerjaan terhadap komitmen organisasional
Kepala SMK Swasta di Provinsi DKI Jakarta
diterima. Hasil ini menunjukkan bahwa perubahan
peningkatan penilaian positif pada karakteristik
pekerjaan menyebabkan peningkatan komitmen
organisasional kepala sekolah.
Hasil pengujian hipotesis tersebut memberikan
penegasan secara empiris tentang pentingnya
karakteristik pekerjaan dalam mempengaruhi
komitmen organisasional. Secara logika dapat
dimengerti jika karakteristik pekerjaan memiliki
pengaruh signifikan terhadap komitmen
organisasional. Kerakteristik pekerjaan merupakan
kumpulan atribut-atribut tugas yang ada dalam

98
pekerjaan seperti dalam bentuk variasi
keterampilan, identitas tugas, signifikansi tugas,
otonomi, dan umpan balik. Atribut-atribut tersebut
apabila kondisinya sesuai dengan harapan kepala
sekolah akan memberikan dorongan bagi
tumbuhnya komitmen organisasional. Karakteristik
pekerjaan seperti dalam bentuk otonomi akan
memberikan semangat terhadap kepala sekolah
dalam bekerja, karena setiap orang dalam bekerja
menginginkan keleluasaan untuk menyelesaikan
pekerjaannya. Otonomi adalah karakteristik
pekerjaan yang memberikan kebijaksanaan dan
kendali tertentu bagi kepala sekolah untuk
mengambil keputusan yang berkaitan dengan
pekerjaan. Dimensi ini merupakan hal yang
mendasar untuk menimbulkan rasa tanggung jawab
dalam diri kepala sekolah. Dengan adanya rasa
tanggung jawab ini, maka kepala sekolah akan
berusaha semaksimal mungkin untuk
menyelesaikan pekerjaannya dengan sebaik-
baiknya.
Bentuk karakteristik pekerjaan lain yang

99
potensial menimbulkan komitmen organisasional
adalah signifikansi tugas. Jika kepala sekolah
merasakan bahwa apa yang dilakukan banyak
memberikan manfaat bagi orang lain, diri sendiri
atau keluarganya, maka akan semakin mendorong
semangatnya untuk menuntaskan setiap
pekerjaannya dan akan menimbulkan komitmen
yang lebih kuat dalam menjalankan setiap tugas.
Karakteristik pekerjaan lain yang penting bagi
terwujudnya komitmen organisasional adalah
umpan balik. Umpan balik seperti dalam bentuk
penghargaan atau pujian dari organisasi atau
pimpinan menunjukkan adanya perhatian dan
pengakuan atas eksistensi kepala sekolah dalam
sebuah organisasi. Adanya pengakuan ini akan
mendorong kepala sekolah untuk lebih antusias
dan bersemangat dalam berperan serta dalam
mewujudkan tujuan-tujuan organisasi.
Adanya pengaruh karakteristik pekerjaan
terhadap komitmen organisasional juga telah
dibuktikan dalam penelitian-penelitian terdahulu.
Penelitian Chang & Lee (2006) membuktikan

100
bahwa karakteristik pekerjaan memiliki pengaruh
positif secara signifikan terhadap komitmen

organisasional. Penelitian lain sebagaimana


dikutip Fang juga dilakukan Buchanan (1974),
Eisenberger, Fasolo & Davis LaMastro (1990),
Flynn & Tannenbaum (1993), Harris, Hirschfeld,
Field & Mossholder (1993), Mathieu & Zajac
(1990), dan Van Dyne, serta Graham & Dienesch
(1994) yang hasilnya menunjukkan bahwa
karakteristik pekerjaan merupakan prediktor bagi

komitmen organisasional (Min Fang, 2001). Selain


itu, penelitian Bhuian, Al-Shammari & Jefri (1996)
juga memberikan dukungan kuat pengaruh variasi
keterampilan, yang merupakan salah satu dimensi
karakteristik pekerjaan, terhadap komitmen
organisasional.
Dari penjelasan di atas, maka sangat jelas
bahwa secara teoretis dan empiris karakteristik
pekerjaan terbukti memiliki pengaruh terhadap
komitmen organisasional, termasuk Kepala SMK
Swasta.

101
I. Pengaruh Langsung Reward System terhadap
Komitmen Organisasional
Hipotesis kedua yang diuji dalam penelitian ini
adalah: "terdapat pengaruh langsung secara positif
reward system terhadap komitmen organisasional
Kepala SMK Swasta di Provinsi DKI
Jakarta.” Hasil perhitungan koefisien jalur dengan
menggunakan program LISREL untuk menguji
hipotesis di atas disajikan dalam tabel di bawah ini:
Tabel 6.2
Koefisien Jalur dan t hitung Pengaruh Reward
System Terhadap Komitmen Organisasional

Berdasarkan hasil perhitungan LISREL 8.7


yang terlihat pada tabel diatas diperoleh koefisien
jalur pengaruh reward system terhadap komitmen
organisasional (P42) sebesar 0,14. Koefisien jalur

102
yang diperoleh bernilai positif sehingga
menunjukkan arah pengaruh positif karakteristik
pekerjaan terhadap komitmen organisasional.
Dengan merujuk skala positif koefisien jalur antara
0 sampai dengan 1, maka koefisien jalur sebesar
0,1 mengindikasikan tingkat pengaruh yang
tergolong lemah.
Dari perhitungan juga ditampilkan nilai t hitung,
yaitu sebesar 3,65. Sementara nilai t tabel untuk dk
= 214 pada tingkat kesalahan 1% sebesar 2,34.
Nilai t hitung > t tabel, yang berarti H1 diterima dan
Ho ditolak, sehingga hipotesis kedua yang
menyatakan: terdapat pengaruh langsung secara
positif reward system terhadap komitmen
organisasional Kepala SMK Swasta di Provinsi DKI
Jakarta diterima. Hasil ini menunjukkan bahwa
perubahan peningkatan penilaian positif pada
reward system menyebabkan peningkatan
komitmen organisasional kepala sekolah.
Hasil pengujian hipotesis tersebut memberikan
penegasan bahwa reward system merupakan

103
anteseden komitmen organisasional, sehingga
penurunan komitmen organisasi kepala sekolah
antara lain disebabkan oleh reward system yang
tidak mendukung. Dapat dipahami reward system
menjadi faktor penting yang mempengaruhi tinggi
rendahnya komitmen organisasional. Setiap kepala
sekolah mempunyai kebutuhan mulai dari
kebutuhan dasar berupa pangan, sandang
(pakaian), dan tempat tinggal, sampai dengan
kebutuhan tambahan seperti dalam bentuk
kendaraan dan rekreasi. Dalam rangka memenuhi
kebutuhan itu, imbalan (reward) sebagai balas jasa
atas pekerjaan yang dilakukan menjadi sumber
penting bagi terpenuhinya kebutuhan. Dengan kata
lain, kepala sekolah menaruh harapan besar agar
imbalan yang diterimanya dapat dimanfaatkan
untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi dirinya dan
keluarganya. Apabila harapan terhadap imbalan
dapat dipenuhi, maka akan mendorong sikap loyal
kepala sekolah dan lebih memberikan semangat
dalam menyelesaikan setiap pekerjaannya.
Loyalitas antara lain dapat dilihat dalam bentuk

104
sikap dan perilaku menjunjung tinggi nilai-nilai
atau norma-norma yang berlaku di tempat kerja,
sungguh-sungguh dalam bekerja, dan terlibat aktif
dalam berbagai kegiatan sekolah. Perilaku-perilaku
loyal tersebut merupakan bentuk nyata dari
komitmen organisasional.
Penelitian-penelitian terdahulu juga
menunjukkan bukti bahwa reward system
merupakan prediktor komitmen organisasional.
Cohen dan Gattiker (1994) dengan menggunakan
studi meta analisis hasilnya menunjukkan bahwa
imbalan (reward) berbentuk pendapatan riil atau
kepuasan pada pembayaran memiliki pengaruh

terhadap komitmen organisasional. Kemudian studi


yang dilakukan oleh Painter, dkk (2000) Juga
menunjukkan bahwa komitmen organisasional
ditentukan oleh imbalan tugas-tugas secara
intrinsik berupa dukungan lingkungan, gaji dan

kesempatan promosi. Penelitian lainnya yang


dilakukan oleh Daniel dan Caryl (2004) hasilnya
juga menunjukkan bahwa kombinasi imbalan, nilai-

105
nilai biaya dan ukuran investasi merupakan
prediktor terbaik bagi komitmen kerja.
Dari penjelasan di atas maka sangat jelas
alasan-alasan empirik yang terkait pengaruh
reward system terhadap komitmen organisasional.
Demikian pula dengan dukungan penelitian
terdahulu juga cukup kuat, sehingga dapat
dipahami jika reward system memiliki pengaruh
terhadap komitmen organisasional.

J. Pengaruh Langsung Kepuasan Kerja terhadap


Komitmen Organisasional
Hipotesis ketiga yang diuji dalam penelitian ini
adalah: “terdapat pengaruh langsung secara positif
kepuasan kerja terhadap komitmen organisasional
Kepala SMK Swasta di Provinsi DKI Jakarta.” Hasil
perhitungan koefisien jalur dengan menggunakan
program LISREL untuk menguji hipotesis di atas
disajikan dalam tabel 6.3 berikut ini:
Tabel 6.3
Koefisien Jalur dan t hitung Pengaruh Kepuasan
Kerja Terhadap Komitmen Organisasional

106
Berdasarkan hasil perhitungan LISREL 8.7
yang terlihat pada tabel diatas diperoleh koefisien
jalur pengaruh kepuasan kerja terhadap komitmen
organisasional (P43) sebesar 0,29. Koefisien jalur
yang diperoleh bernilai positif yang menunjukkan
arah pengaruh positif kepuasan kerja terhadap
komitmen organisasional. Dengan merujuk skala
positif koefisien jalur antara 0 sampai dengan 1,
maka koefisien jalur sebesar 0,29 mengindikasikan
tingkat pengaruh yang tergolong lemah.
Dari perhitungan juga ditampilkan nilai t hitung,
yaitu sebesar 2,87. Sementara nilai t tabel untuk dk
= 214 pada tingkat kesalahan 1% sebesar 2,34.
Nilai t hitung > t tabel, yang berarti H1 diterima dan
Ho ditolak, sehingga hipotesis ketiga yang
menyatakan: terdapat pengaruh langsung secara
positif kepuasan kerja terhadap komitmen

107
organisasional Kepala SMK Swasta di Provinsi DKI
Jakarta diterima. Hasil ini menunjukkan bahwa
perubahan peningkatan penilaian positif pada
kepuasan kerja menyebabkan peningkatan
komitmen organisasional kepala sekolah.
Hasil pengujian hipotesis tesebut membuktikan
bahwa bahwa kepuasan kerja merupakan salah
satu variabel yang dapat digunakan sebagai
prediktor komitmen organisasional. Dengan
demikian menurunnya kepuasan kerja sudah dapat
dipastikan akan secara signifikan berimplikasi
terhadap menurunnya komitmen organisasional.
Komitmen organisasional yang tercermin dalam
rasa identifikasi dan keterlibatannya dalam
organisasasi tumbuh karena kepala sekolah
memperoleh apa yang diharapkannya dari
organisasi. Dalam hal ini kepuasan kerja adalah
salah satu hal yang secara implisit sangat
didambakan oleh setiap pegawai, termasuk kepala
sekolah. Kepala sekolah yang tidak puas
cenderung melakukan tindakan-tindakan negatif
yang merugikan organisasi, seperti malas bekerja,

108
sering absen, pindah kerja, tidak taat terhadap
aturan organisasi, dan cenderung bekerja di bawah
standar yang ditetapkan. Sementara, kepala
sekolah yang puas dalam bekerja cenderung rajin
bekerja, tertib terhadap aturan organisasi dan
disiplin. Selain itu, kepuasan kerja juga akan
mendorong kepala sekolah untuk tetap loyal dan
tidak memiliki keinginan untuk pindah kerja ke
tempat lain.
Kepuasan kerja merupakan kebutuhan bagi
setiap individu dalam bekerja. Hal itu terutama jika
merujuk pada aspek-aspek kepuasan kerja, yang
meliputi pekerjaan itu sendiri, promosi,
pengawasan, mitra kerja, dan kondisi kerja. Aspek-
aspek tersebut memiliki peranan sangat penting
dalam membentuk kondisi emosional seseorang.
Apabila aspek-aspek tersebut dapat dipenuhi
dengan baik, maka kepala sekolah akan diselimuti
perasaan senang dalam berkerja, sehingga dengan
atau tanpa disadari yang bersangkutan telah
menunjukkan komitmen organisasionalnya dalam
bekerja.

109
Beberapa hasil penelitian terdahulu juga
membuktikan bahwa kepuasan kerja berpengaruh
terhadap komitmen organisasional. Penelitian
mengenai kepuasan kerja dalam hubungannya
dengan komitmen organisasional antara lain
dilakukan oleh Cetin (2006) yang hasilnya
menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif
antara kepuasan kerja dengan komitmen afektif,

normatif dan kontinuasi. Penelitian Eccles (2003)


juga memberikan bukti bahwa terdapat hubungan
positif antara kepuasan kerja dengan komitmen

organisasi. Sementara penelitian yang dilakukan


Slattery, dkk (2005) umumnya membuktikan bahwa
kepuasan kerja adalah anteseden dari komitmen
organisasional.
Dengan demikian temuan ini semakin
memertegas hasil penelitian sebelumnya yang
membuktikan bahwa kepuasan kerja merupakan
faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap
komitmen organisasional.

110
K. Pengaruh Langsung Karakteristik Pekerjaan
terhadap Kepuasan Kerja
Hipotesis keempat yang diuji dalam penelitian
ini adalah: “terdapat pengaruh langsung secara
positif karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan
kerja Kepala SMK Swasta di Provinsi DKI Jakarta.”
Hasil perhitungan koefisien jalur dengan
menggunakan program LISREL untuk menguji
hipotesis di atas dirangkum pada tabel di bawah ini:

Tabel 6.4
Koefisien Jalur dan t hitung Pengaruh Karakteristik
Pekerjaan Terhadap Kepuasan Kerja

Dari hasil perhitungan LISREL 8.7 yang terlihat


pada tabel diatas diperoleh koefisien jalur pengaruh
karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja
(P31) sebesar 0,52. Koefisien jalur yang diperoleh

111
bernilai positif sehingga menunjukkan arah
pengaruh positif karakteristik pekerjaan terhadap
kepuasan kerja. Dengan mengacu skala positif
koefisien jalur antara 0 sampai dengan 1, maka
koefisien jalur sebesar 0,52 mengindikasikan
tingkat pengaruh yang tergolong sedang.
Dari perhitungan juga ditampilkan nilai t hitung,
yaitu sebesar 11,6. Sementara nilai t tabel untuk dk
= 214 pada tingkat kesalahan 1% sebesar 2,34.
Nilai t hitung > t tabel, yang berarti H1 diterima dan
Ho ditolak, sehingga hipotesis keempat yang
menyatakan: terdapat pengaruh langsung secara
positif karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan
kerja Kepala SMK Swasta di Provinsi DKI Jakarta
diterima. Hasil ini menunjukkan bahwa
perubahan
peningkatan penilaian positif pada karakteristik
pekerjaan menyebabkan peningkatan kepuasan
kerja kepala sekolah.
Pembuktian dari hasil pengujian hipotesis
ketiga tersebut memberikan pengertian bahwa

112
karakteristik pekerjaan memiliki peranan penting
dalam meningkatkan kepuasan kerja, sehingga
semakin sesuai karakteristik pekerjaan, maka
semakin tinggi pula kepuasan kerja. Secara logika
terjadinya pengaruh karaktersitik pekerjaan
terhadap kepuasan kerja dapat dimengerti.
Karakteristik pekerjaan merupakan faktor penting
yang menentukan perilaku kepala sekolah dalam
bekerja. Faktor-faktor yang terdapat dalam
karakteristik pekerjaan antara lain variasi
keterampilan, otonomi, identitas tugas, signifikansi
tugas, dan umpan balik. Pekerjaan yang memiliki
karakteristik membutuhkan keterampilan beragam
memungkinkan kepala sekolah untuk
melaksanakan tugasnya dengan ketarampilan yang
berbeda-beda. Pekerjaan yang sangat beragam
dipandang kepala sekolah lebih menantang karena
mencakup beberapa jenis keterampilan.
Keragaman juga menimbulkan perasaan kompeten
yang lebih besar bagi kepala sekolah, karena
kepala sekolah dapat melakukan jenis pekerjaan
yang berlainan dengan cara yang berbeda. Hal ini

113
tentunya secara psikologis juga akan memberikan
perasaan puas dalam diri kepala sekolah.
Karakteristik pekerjaan lain yang penting dalam
meningkatkan kepuasan kerja adalah singnifikansi
tugas. Signifikansi tugas akan memberikan
dorongan bagi kepala sekolah untuk bekerja lebih
giat, apabila tugas-tugas yang dikerjakan dirasakan
memberikan manfaat bagi orang lain. Signifikansi
tugas mengacu pada kadar dampak pekerjaan,
terhadap orang lain atau organisasi. Semakin besar
dampak positif yang dihasilkan dari pekerjaan yang
dilakukan, maka tentu akan menimbulkan perasaan
yang lebih puas dalam dirinya. Karakteristik
pekerjaan dalam bentuk umpan balik juga penting
dalam menumbuhkan kepuasan kerja. Umpan balik
dapat berupa penghargaan atau pemberian pujian
dari pimpinan (Ketua Yayasan SMK Swasta)
kepada kepala sekolah. Pemberian umpan balik
seperti itu tentunya akan menimbulkan perasaan
senang, sehingga dapat memunculkan rasa puas
dalam diri kepala sekolah.
Hasil penelitian sebelumnya juga memberikan

114
bukti signifikansi karaktersitik pekerjaan dalam
mempengaruhi kepuasan kerja. Hal ini seperti
terlihat dalam penelitian Aldag, Barr & Brief (1981)
yang hasilnya menunjukkan bahwa karakteristik
pekerjaan salah satunya berpengaruh terhadap

kepuasan kerja. Penelitian yang dilakukan oleh


Judge, Bono dan Locke (2010) juga membuktikan
bahwa karakteristik pekerjaan yang dirasakan
oleh pegawai memiliki pengaruh signifikan terhadap

kepuasan kerja. Demikian pula dengan penelitian


yang dilakukan oleh Hadi dan Adil (2010) juga
membuktikan bahwa karakteristik pekerjaan,
terutama dimensi identitas tugas, memiliki
pengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja.
Hasil penelitian ini berarti memberikan
dukungan terhadap hasil penelitian terdahulu
tentang pentingnya karakteristik pekerjaan dalam
mempengaruhi kepuasan kerja, termasuk Kepala
SMK Swasta.

L. Pengaruh Langsung Reward System terhadap

115
Kepuasan Kerja
Hipotesis kelima yang diuji dalam penelitian ini
adalah: “reward system berpengaruh langsung
secara positif terhadap kepuasan kerja Kepala
SMK Swasta di Provinsi DKI Jakarta.” Hasil
perhitungan koefisien jalur dengan menggunakan
program LISREL untuk menguji hipotesis di atas
disajikan dalam tabel 6.5 berikut ini:

Tabel 6.5
Koefisien Jalur dan t hitung Pengaruh Reward
System Terhadap Kepuasan Kerja

Dari hasil perhitungan LISREL 8.7 yang terlihat

116
pada tabel diatas diperoleh koefisien jalur pengaruh
reward system terhadap kepuasan kerja (P32)
sebesar 0,16. Koefisien jalur yang diperoleh bernilai
positif sehingga menunjukkan arah pengaruh positif
reward system terhadap kepuasan kerja. Dengan
mengacu skala positif koefisien jalur antara 0
sampai dengan 1, maka koefisien jalur sebesar
0,16 mengindikasikan tingkat pengaruh yang
tergolong lemah.
Dari perhitungan juga ditampilkan nilai t hitung,
yaitu sebesar 6,56. Sementara nilai t tabel untuk dk
= 214 pada tingkat kesalahan 1% sebesar 2,34.
Nilai t hitung > t tabel, yang berarti H1 diterima dan
Ho ditolak, sehingga hipotesis kelima yang
menyatakan: terdapat pengaruh langsung secara
positif reward system terhadap kepuasan kerja
Kepala SMK Swasta di Provinsi DKI Jakarta
diterima. Hasil ini menunjukkan bahwa
perubahan peningkatan penilaian positif pada
reward system menyebabkan peningkatan
kepuasan kerja kepala sekolah.

117
Hasil pengujian hipotesis tersebut memperjelas
bahwa reward system memiliki peran yang penting
dalam meningkatkan kepuasan kerja. Dalam
kaitannya dengan reward system atau imbalan,
maka faktor ini rasional jika memiliki hubungan
signifikan dengan kepuasan kerja. Reward system
dalam organisasi sangat diperlukan oleh setiap
anggota organisasi. Reward system tidak hanya
berguna bagi anggota organisasi untuk memenuhi
kebutuhan pokoknya, tetapi juga diperlukan untuk
mewujudkan kebutuhan-kebutuhan pada jenjang
yang lebih tinggi. Mengacu pada teori Maslow yang
dikutip Luthans, secara hirarkis kebutuhan manusia
tersusun atas kebutuhan dasar (basic needs),
kebutuhan keamanan (security needs), kebutuhan
sosial (social needs), kebutuhan kehormatan
(esteem needs) dan kebutuhan aktualisasi diri (self

actualization). (Luthans, 2008). Hal itu dapat


dipahami karena reward system memiliki cakupan
luas yang tidak hanya terbatas dalam bentuk
finansial, tetapi juga dalam bentuk non finansial.

118
Ditegaskan oleh McKenna bahwa sistem imbalan
mencakup berbagai aktivitas organisasi yang
ditujukan bagi alokasi kompensasi dan tunjangan
bagi pegawai sebagai penghargaan atas usaha
dan sumbangan yang dibuat untuk mencapai
tujuan organisasi (McKenna, 2006).
Reward dalam bentuk ekstrinsik seperti gaji
dan insentif berfungsi memenuhi kebutuhan-
kebutuhan fisik, tetapi imbalan intrinsik berguna
untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan yang
bersifat psikologis, misalnya kebutuhan rasa
hormat, kebutuhan sosial dan kebutuhan
aktualisasi diri. Uang dalam kenyatataannya
memang tidak mampu memenuhi semua
kebutuhan kepala sekolah sebagaimana yang
tertuang dalam hirarkhi kebutuhan Maslow. Oleh
karenanya, diperlukan imbalan komplementer
berupa penghargaan intrinsik agar pegawai
(termasuk kepala sekolah) dapat memenuhi
kebutuhannya hingga pada level tertinggi.
McShane dan von Glinov (2010) mempertegas
adanya keterkataitan reward dengan kepuasan

119
kerja. Dikemukakan bahwa: “higher performers
receive more rewards and, consequently, are more
satisfied than low performing employees who

receive fewer rewards. Penjelasan ini memberikan


makna bahwa karyawan yang berkinerja tinggi
akan memperoleh banyak imbalan dan sebagai
konsekuensinya akan lebih puas jika dibandingkan
dengan karyawan yang berkinerja rendah yang
menerima imbalan lebih sedikit. Pernyataan
tersebut secara tegas menunjukkan peran penting
reward sebagai faktor yang mendorong orang lebih
puas dalam bekerja. Konseptualisasi teori nilai juga
memperkuat hubungan reward dengan kepuasan
kerja. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh
Greenberg dan Baron (2003) terkait dengan teori
nilai, yaitu: “job satisfaction exist to the extent that
the job outcomes (such as rewards) an individual
receivers matches those outcomes that are

desired.” Penjelasan ini pada prinsipnya


menyatakan bahwa keberadaan kepuasan kerja itu
ditentukan oleh sejauhmana hasil kerja, seperti

120
imbalan, yang diterima individu sesuai dengan yang
dikehendaki.
Hasil penelitian sebelumnya juga membuktikan
bahwa reward memiliki pengaruh terhadap
kepuasan kerja. Hasil penelitian Lawler
menyimpulkan bahwa imbalan (reward) intrinsik
dan ekstrinsik yang diterima oleh karyawan
mempengaruhi kepuasan kerja (Gibson, dkk.,

2009). Kemudian penelitian Daniel dan Caryl juga


menunjukkan hal yang sama bahwa penghargaan
dan nilai biaya di tempat kerja merupakan prediktor

terbaik kepuasan kerja (Ajila dan Abiola, 2004).


Selain itu, hasil penelitian O’Reily dan Caldwell juga
memerlihatkan bahwa baik imbalan tugas (task
reward) maupun imbalan organisasional
(organizational reward) memberikan kontribusi

terhadap kepuasan kerja (Yew, 2007). Hasil-hasil


penelitian terdahulu tersebut merupakan petunjuk
yang jelas bahwa imbalan memiliki pengaruh
terhadap kepuasan kerja.
Koefisien jalur dan nilai t hitung pengaruh

121
karakteristik pekerjaan, reward system, dan
kepuasan kerja terhadap komitmen organisasional
dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 6.2. Koefisien Jalur dan t hitung Pengaruh


Karakteristik Pekerjaan, Reward System Dan
Kepuasan Kerja terhadap Komitmen Organisasional

M. Kesimpulan Penelitian
Dari hasil penelitian yang dilakukan, maka
temuan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Pertama, karakteristik pekerjaan berpengaruh
langsung terhadap komitmen organisasional Kepala
SMK Swasta di Provinsi DKI Jakarta. Temuan ini
menunjukkan bahwa perubahan peningkatan
penilaian positif pada karakteristik pekerjaan
menyebabkan peningkatan komitmen

122
organisasional kepala sekolah.
Kedua, reward system berpengaruh langsung
terhadap komitmen organisasional Kepala SMK
Swasta di Provinsi DKI Jakarta. Temuan ini
menunjukkan bahwa perubahan peningkatan
penilaian positif pada reward system menyebabkan
peningkatan komitmen organisasional kepala
sekolah.
Ketiga, kepuasan kerja berpengaruh langsung
terhadap komitmen organisasional Kepala SMK
Swasta di Provinsi DKI Jakarta. Hasil ini
menunjukkan bahwa perubahan peningkatan
penilaian positif pada kepuasan kerja menyebabkan
peningkatan komitmen organisasional kepala
sekolah.
Keempat, karakteristik pekerjaan berpengaruh
langsung terhadap kepuasan kerja Kepala SMK
Swasta di Provinsi DKI Jakarta. Hasil ini
menunjukkan bahwa perubahan peningkatan
penilaian positif pada karakteristik pekerjaan
menyebabkan peningkatan kepuasan kerja kepala
sekolah.

123
Kelima, reward system berpengaruh langsung
terhadap kepuasan kerja Kepala SMK Swasta di
Provinsi DKI Jakarta. Temuan ini menunjukkan
bahwa perubahan peningkatan penilaian positif
pada reward system menyebabkan peningkatan
kepuasan kerja kepala sekolah.
Dari temuan-temuan tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa variasi yang terjadi pada
komitmen organisasional Kepala SMK Swasta di
Provinsi DKI Jakarta secara langsung dipengaruhi
oleh karakteristik pekerjaan, reward system dan
kepuasan kerja. Oleh karena itu, untuk
meningkatkan komitmen organisasional Kepala
SMK Swasta, faktor karakteristik pekerjaan, reward
system dan kepuasan kerja perlu diperbaiki.

124
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Thamrin dan Tanri, Francis. (2013).


Manajemen Pemasaran, Jakarta: Graindo
Persada
Ajila, Chris & Awonusi Abiola. (2004). “Influence of
Rewards on Workers Performance in an
Organization,” Journal of Social Science, 8(1):
7-12
Aldag, J. Ramon, Steve H. Barr, and Arthur
P. Brief. (1981). Measurement of Received
Task Characteristics, Psychology Bulletin.
Allen, Mike. (2017). Population/Sample. The Sage
Encyclopedia of Communication Research
Methods.
DOI: https://dx.doi.org/10.4135/97814833814
11.n444
Anthony, Robert N. & Vijay Govindarajan,
Management Control Systems,
Atkinson, R. C. dan Hilgard, E.R. (1991).
Pengantar Psikologi, diterjemahkan oleh
Nurjanah Taufik dan Rukmini Barhana.
Jakarta: Erlangga.
Baron, Robert A., Donn Byrne, and Nyla R.
Branscombe. (2006) Social Psychology,
Boston: Pearson
Benkhoff. ( 1997). Ignoring Commitment Is Costly:
New Approaches Establish the Missink Link
Between Organizational Commitment and
Performance. Human Relations, 50, (6)

125
Bestary, Reisky. (2022). Peran Kepala Sekolah
Dalam Peningkatan Sumber Daya
Pendidikan. Diakses melalui
https://lpmpriau.kemdikbud.go.id/peran-
kepala-sekolah-dalam-peningkatan-sumber-
daya-pendidikan/. Pada Tanggal 23 Maret
2022.
Bhuian, Shadid N., Eid S. Al-Shammari, & Omar A.
Jefri. (1996). Organizational Commitment, Job
Satisfaction and Job Characteristics: An
Empirical Study of Expratiates in Saudi
Arabia. International Journal of Commerce &
Management
Blum, M.L. dan Naylor, J.C.. (2013). Industrial
Psychology: It‟s Theorical and social
Fondation. New York: Harper and Row
Publisher
Boston: McGraw-Hill, 2009.
Boston: Pearson, 2006.
BRM. (2022). Survey Method. Diakses melalui
https://research-methodology.net/research-
methods/survey-method/. Pada Tanggal 23
Maret 2022.
Cetin, M.O. (2006). Relationship between job
satisfaction, ocuppational and organizational
commitment of academics. Journal of
American Academy of Business, Vol. 8, 1,
ABI/INFORM Globa
Chang, Su-Chao & Ming-Shing Lee. (2006).
Relationships among Personality Traits, Job
Characteristics, Job Satisfaction. The

126
Business Review, Cambridge. 6, 1,
ABI/INFORM Global.
Cohen, Aaron & Urs E. Gattiker. (1994). Rewards
and Organizational Commitment Across
Structural Characteristics: A Meta-Analysis.
Journal of Business and Psychology, Volume
9, No. 2
Diao, dkk. (2022). Reward Modulates
Unconsciously Triggered Adaptive Control
Processes. Journal i-Perception, Vol. 13(1), 1-
18, DOI: 10.1177/20416695211073819
Dost, M.T. (2012.) Job satisfaction of Turkish
academics according to a set o f occupational
and personal variables. Procedia Journal of
Social and Behavioral Sciences. Vol. 46
Eccles, S. (2003). The relationship between job
satisfaction and organizational commitment
as perceived by irrigation worker in a quasi
irrigation company in Jamaica. Disertastion,
Shool of Business and Entrepreneurship
Nova Southeastern University.
Furnham, Ardian. (2006). The Psychology of
Behaviour at Work. New York:
Psychology Press
Gibson, James L., et al., Organizations :
Behavior, Structure, Processses,
Gibson, James L., Ivancevich, Jhon M. &
Donnelly, James H. (1995). Organizations.
New York: Richard Irwin
Gibson, James. (1996). Organisasi Prilaku, Struktur
dan Proses. Diterjemahkan oleh Djoerban

127
Wahid. Jakarta: Erlangga
Goetz, Nicolas. and Wald, Andreas. (2022).
International Journal of Project Management:
Similar but different? The influence of job
satisfaction, organizational commitment and
person-job fit on individual performance in the
continuum between permanent and temporary
organizations. School of Business and Law,
University of Agder, Postboks 422,
Kristiansand 4604, Norway
Greenberg, Jelard & Baron, Robert A. (2003).
Behavior in Organizations. New Jersey:
Pearson
Gunastri, Ni Made. (2009). Karakteristik Individu,
Karakteristik Pekerjaan, Karakteristik
Organisasi, Motivasi Kerja dan Kinerja
Karyawan. Studi pada CV. Kecak Denpasar,
Forum Manajemen, Volume 7, Nomor 1
H. van Mierlo, et al. (2005). Individual Autonomy in
Work Teams: the Role of Team Autonomy,
Self-efficacy and Social Support. Erasmus
University pf Rotterdam, Institute of
Psychology. Diakses melalui
http://www.scasss.uu.se/IIS2005/total_webb/t
othtml/abstracts/ autonomy_at_ work.pdf.
Hiam, Alexander. (1999). Motivating &
Rewarding Employees. Massachusetts:
Adams Media Corporation.
Indrasari, Meithiana. (2017). Kepuasan Kerja Dan
Kinerja Karyawan: Tinjauan dari Dimensi Iklim
Organisasi, Kreativitas Individu, dan

128
Karakteristik Pekerjaan. Sidoarjo: Indomedia
Pustaka
Ivancevich, John M., Konopaske, Robert and
Matteson, Michael T. (2008). Organizational
Bahavior and Management, Boston: McGraw-
Hill
Jaffee, David. (2001). Organization Theory:
Tension and Change. New York: McGraw-Hill
Julkifli. and D, Hamidah. (2021). Menciptakan
Organisasi Yang Baik Dan Efektif ( Dosen
Stkip Budidaya Binjai). Jurnal Serunai
Administrasi Pendidikan Vol 10, No. 2,
Oktober 2021 e-ISSN 2620-9209
Kawulur, T.K., dkk. (2018). Pengaruh Reward and
Punishment Terhadap Loyalitas Karyawan di
PT. Columbia Perdana Cabang Manado.
Jurnal Administrasi Bisnis, Vol. 6 No. 2
Korth, Henry F. & Abraham Silberschatz.
(1991). Database System Concepts.
Singapore: McGraw-Hill, Inc
Kreitner, Robert & Angelo Kinicki. (2004).
Organizational Behavior. New York:
McGraw-Hill
Lubis, Nurhasanah. and Onsardi. (2021). Pengaruh
Kompensasi, Komitmen Organisasi Dan
Kepuasan Kerja Terhadap Turnover Intention
Pada Pt. Bukit Angkasa Makmur Bengkulu.
Jurnal Entrepreneur dan Manajemen Sains
(JEMS) e-ISSN 2721-5415
Luthans, F. (2008). Organization Behavior, Eight
Edition. Singapore: Mc Graw Hill.

129
Luthans, Fred. (2008). Orgnazational Behavior 11tth
edition. Boston: McGraw-Hill
Mashudi, Imam. (2021). Dampak komitmen dan
Budaya Mutu terhadap Kinerja Guru. Ideas
Publishing: Gorontalo.
McGraw Hill. (2007). New York
McKenna, Eugene, Business and Psychology:
Organizational Behavior. (2006) New York:
Psychology Press
McShane, Steven L. & Glinow, Mary Ann Von.
(2009). Organizational Behavior: Essentials,
New York: McGraw-Hill
Mejia, Gomez, Luis R; etc. (2007). Managing
Human Resources. New Jersey: Pearson
Education Inc.
Millmore, Mike, Philip Lewis, Mark Saunders,
Andrian Thornhill, and Trevor Morrow. (2007).
Strategic Human Resource Management:
Contemporary Issues. Harlow: Prentice Hall
Mondy, R. Wayne & Noe, Robert M. (2005).
Human Resource Management. New Jersey:
Pearson Prentice Hall
Muis, Muhammad, Ras. Jufrizen, J. and Fahmi,
Muhammad. (2018). Pengaruh Budaya
Organisasi Dan Komitmen Organisasi
Terhadap Kinerja Karyawan. Program Studi
Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Nelson, Debra L. and James Campbell Quick.
(2006). Organizational Behavior: Foundations,
Realities & Challenges, Ohio: South-Western,

130
Newstrom, John W. (2007). Organization Behavior:
Human Behavior at Work, 12tth edition.
Boston: McGraw Hill
Nnaji-Ihedinmah, N., & Egbunike, F. (2015). Effect
of Rewards on Employee Performance in
Organizations: A Study of Selected
Commercial Banks in Awka Metropolis.
European Journal of Business and
Management.
Painter, Jane et al. (2000). Predictors of
Organizational Commitment Among Certified
Occupational Therapy Assistants. Journal of
Occupational Therapy in Health Care,
Volume: 12, Issue: 2/3
Parnawi, Afi. (2020). Optimalisasi Kepuasan Kerja
Tenaga Kependidikan. Yogyakarta: Penerbit
Deepublish
Ponto, Julie. (2015). Understanding and Evaluating
Survey Research. Journal Of The Advanced
Practitioner In Oncology. Vol 6 (2), 168-171.
Prasetyono dan Kompyurini, Nurul. (2007). Analisis
Kinerja Rumah Sakit Daerah Dengan
Pendekatan Balance Scorecard Berdasarkan
Komitmen Organisasi, Pengadilan Intern dan
Penerapan PrinsipPrinsip Good Corporate
Governance (GCG) (Survey Pada Rumah
Sakit Daerah di Jawa Timur). Simposium
Nasional Akuntansi X: Unhas Makasar
Pratiwi, Monalita, Nurindahsari. and Puspitadewi,
Ni, Wayan, Sukmawati. (2021). Hubungan
Antara Budaya Organisasi Dengan Komitmen

131
Organisasi Pada Karyawan Produksi Bagian
Circular Loom Di Pt X Sidoarjo. Jurusan
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, UNESA
Priazhanto, Rhadimas. (2021). Profesi Keguruan :
Profesi Guru Dan Peran Profesionalisme
Guru. Seri Publikasi Pembelajaran Vol 1 No 2
Rabia Hadi and Adnan Adil. (2010). Job
Characteristics as Predictors of Work
Motivation and Job Satisfaction of Bank
Employees, Journal of the Indian Academy of
Applied Psychology, Vol.36, No.2, pp. 294-
299.
Robbins S.P. (2003). Perilaku Organisasi: Konsep,
Kontroversi dan Aplikasi Jilid I. Jakarta: PT.
Prehalindo Persada
Robbins, Stephen P. (2006). Perilaku Organisasi,
Alih Bahasa: Benyamin Molan. Jakarta: PT.
Prenhallindo
Ruky, Achmad S. (2000). Manajemen Penggajian
& Pengupahan untuk Karyawan Perusahaan.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Saputra, Dicky., dkk. (2017). Pengaruh Reward
(Penghargaan) dan Punishment (Sanksi)
Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan PT.
Kereta Api Indonesia (Persero) Divisi
Regional II Sumatera Barat. Jurnal
Manajemen dan Kewirausahaan. Vol 8, No 1.
ISSN 20865031
Schunk, Dale H., Paul R. Pintrich and Judith L.
Meece. (2008) Motivation in Education:

132
Theory, Research and Application. New
Jersey: Upper Saddle River
Scott, Richard W. & Davis, Gerald F. (2007).
Organizations and Organizing. New Jersey:
Pearson Education
Shaw, Delery & Abdulla. (2003). Organizational
Commitment and Performance Among
Guest Workers and Citizens of An Arab
Country. Journal of Business Research, 56
Shrestha, Yash, Raj. Krishna, Vaibhav. and Krogh,
Georg, Von. (2021). Augmenting
organizational decision-making with deep
learning algorithms: Principles, promises, and
challenges. Journal of Business Research
ETH Zurich, Weinbergstrasse 56-58, Zurich,
CH 8092, Switzerland
Si, Ruishi. Zhang, Xueqian. Yao, Yumeng. Liu, Li.
and Lu, Qian. (2021). One Health : Influence
of contract commitment system in reducing
information asymmetry, and prevention and
control of livestock epidemics: Evidence from
pig farmers in China. (a School of Public
Administration, Xi’an University of Architecture
and Technology, Xi’an 710055, China b
Institute of Agricultural Economics and
Development, Chinese Academy of
Agricultural Sciences, Beijing 100083, China c
College of Economics and Management,
Northwest A&F University, Yangling 712100,
China)

133
Sihombing, Sarimonang. and Sitanggang Darna.
(2021). Pengaruh Karakteristik Pekerjaan Dan
Dimensi Ocb (Organizationalcitizenship
Behavior) Terhadap Kinerja Karyawan Pada
Pt. Bina Media Perintis Medan. JRAK ± Vol. 4
No. 1
Slattery, J. P. & T. T. R. Selvarajan. (2005).
Antecendents to Temporary Employee’s
Turnover Intention. Paper presented for the
Organizational Behavior and Organizational
Theory track at the March 31, 2005. Midwest
Academy of Management Annual Meeting
Slocum, John W. & Hellriegel, Donm. (2007).
Fundamental of Organizational Behavior,
Australia: Thomson-South Western
Snell, Scott and Bohlander, George. (2007).
Human Resource Management. Mason:
Thomson Higher Education
Song, Y., Lu, S., & Smiley-Oyen, A. L.
(2019). Author accepted manuscript:
Differential motor learning via reward and
punishment. Quarterly Journal of
Experimental Psychology,
174702181987117. doi:10.1177/1747021819
871173 
Spector, Paul E. (1997). Job Satisfaction,
California: SAGE Publ.
Timothy A. Judge, Joyce E. Bono and Edwin A.
Locke. (2000). Personality and Job
Satisfaction: The Mediating Role of Job

134
Characteristics. Journal of Applied
Psychology, Vol. 85, No. 2, 237-249
Tosin, Rijanto dan Indra Eka Putra. (2000). Cara
Mudah Belajar Microsoft Access 2000.
Jakarta: Dinastindo.
Triananda, Riski. Hendriani, Susi. and Machasin.
(2021). Pengaruh Karakteristik Pekerjaan dan
Beban Kerja terhadap Motivasi dan Kinerja
Pegawai BPJS Kesehatan Cabang Pekan
Baru. Universitas Riau Kampus Bina Widya
KM. 12,5, Simpang Baru, Kec. Tampan, Kota
Pekanbaru, Riau 28293.
Turner, Arthur N. and Lawrence, Paul R. (1965).
Industrial Job and the Worker: An
Investigation of Response of Attribute.
Cambridge: Harvard University Press
UNDP HDI Rank. (2008). Human Development
Data Center. Diakses melalui
https://hdr.undp.org/. Pada Tanggal 23 Maret
2022
Vecchio, Robert P. (2006). Organizational
Behavior, United State: Thomson South-
Western
Wexley K.N and Yukl G.A. (2005). Perilaku
Organisasi dan Psikologi Personalia, Alih
Bahasa M. Shobaruddin. Jakarta: PT. Rineka
Cipta
Widagdo, B (2006). Pengaruh Faktor Karakteristik
Individu dan Kepemimpinan terhadap Budaya
Organisasi, Manfaat Kehidupan Kerja dan
Kepuasan serta Kinerja Dosen pada

135
Perguruan Tinggi Muhammadiyah di Jawa
Timur. Disertasi, Universitas Airlangga,
Surabaya
Wongso, Fery. (2016). Perancangan Sistem
Pencatatan Pajak Reklame Pada
DinasPendapatan Kota Pekanbaru Dengan
Metode Visual Basic. Jurnal Ilmiah Ekonomi
dan Bisnis Vol. 14, No. 2
Yew, Lew Tek. (2007). Job satisfaction and
affective commitment: a study of employees in
the tourism industry in Sarawak Malaysia,”
Sunway Academic Journal, Volume 4
Yusuf, T. (2010). Pengaruh Kualitas Kehidupan
Kerja, Motivasi Kerja, dan Komitmen
Karyawan terhadap Kepuasan Kerja dan
Kinerja Karyawan PDAM Kota Balikpapan.
Disertasi, Program Doktoral. Tidak diterbitkan,
Fakultas Ekonomi Universitas 17 Agustus
1945 Surabaya

136

Anda mungkin juga menyukai