Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi

A. Tulang
Tulang terdiri dari sel-sel yang terletak di bagian intraseluler.
Tulang berasal dari tulang rawan hialin embrionik, yang nantinya akan
mengalami proses pembentukan menjadi tulang melalui "osteogenesis".
Proses ini dilakukan oleh sel yang disebut osteoblas. Proses pengerasan
tulang akibat penimbunan garam kalsium. Tulang adalah kerangka tubuh
yang memungkinkan tubuh untuk berdiri tegak, tempat otot-otot melekat
untuk memungkinkan pembuluh darah lewat, tempat sumsum tulang dan
saraf melindungi jaringan lunak, tulang juga merupakan organ yang
dibutuhkan seseorang untuk mengangkat dan membawa benda
berat. Terdapat 4 fungsi utama jaringan tulang yaitu :
1) Fungsi mekanik, dimana tulang berfungsi sebagai penyokong
tubuh dan tempat melekat jaringan otot untuk pergerakan. Otot
merupakan alat gerak aktif, sedangkan tulang merupakan alat gerak
pasif.
2) Fungsi protektif, dimana tulang berfungsi untuk melindungi
berbagai alat vital dalam tubuh dan juga sumsum tulang belakang.
3) Fungsi metabolik, dimana tulang berfungsi sebagai cadangan dan
tempat metabolisme berbagai mineral yang penting seperti kalsium
dan phospat.
4) Fungsi hemopotik, dimana tulang berfungsi sebagai tempat
Berlangsungnya proses pembentukan dan perkembangan sel darah.

Berdasarkan bentuknya, tulang dapat dikelompokkan menjadi lima


kelompok yaitu tulang panajng (femur, humerus) terdiri dari satu batang
atau dua epifisis. Batang terbentuk oleh jaringan tulang yang padat,
sedangkan epifisis terbentuk oleh spongi bone (Cacellous atau trabecular).

B. Otot Rangka

Otot rangka adalah otot lurik yang melekat pada tulang yang
menyusun daging anggota gerak. Susunan tulang merupakan bagian dari
sistem penegak. Tulang manusia terhubung dengan tulang lainnya melalui
persendian. Otot bergerak aktif dan sumsum tulang atau kerangka pasif.
Otot rangka dan rangka bekerja sama dalam sistem muskuloskeletal. Otot
rangka terkadang disebut otot sadar karena bekerja di bawah kendali
kesadaran. Otot adalah jaringan ikat yang fungsi utamanya adalah
kontraksi, menggerakkan bagian tubuh secara sadar dan tidak sadar.
Sekitar 40% tubuh kita terdiri dari otot. Ada lebih dari 600 otot rangka
dalam tubuh manusia. Otot memiliki sel yang tipis dan panjang. Otot
bekerja dengan mengubah lemak dan glukosa menjadi energi kinetik dan
panas. Sel-sel otot ini dapat bergerak karena sitoplasma berubah bentuk. 

C. Kartilago

Kartilago terdiri dari serat-serat yang dilakukan pada gelatin yang


kuat. Kartilago sangat kuat tapi fleksibel dan tidak bervascular. Pada orang
dewasa tulang rawan hanya terdapat pada beberapa bagian tubuh,
misalnnya cuping hidung, cuping telinga, antara tulang rusuk dan tulang
dada, sendi-sendi tulang, antara ruas tulang belakang, pasa cakra episif.
Matriks tulang rawan merupakan campuran protein dengan poliskardia
yang di sebut kondrin. Tulang rawan ada tiga tipe yaitu hialin, elastic dan
serat. Nutrisi mencapai kesel-sel kartilago dengan proses difusi melalui
gelatin dari kapiler-kapiler yang berada di perichondrium (fibros yang
menutupi kartilago) atau sejumlah serat-serat kolagen didapatkan pada
kartilago.
D. Ligament

Ligament adalah kumpulan fibrosa tebal dimana merupakan akhir


dari suatu otot dan berperan dalam mengikat suatu tulang. Ligamen adalah
jaringan berserat yang bentuknya menyerupai pita elastis dan berperan
sebagai penghubung antartulang di dalam tubuh. Jaringan ini ada di
berbagai bagian tubuh, seperti bahu, lengan, dan lutut.

E. Tendon

Tendon adalah perpanjangan dari selubung berserat yang


mengelilingi setiap otot dan berhubungan dengan periosteum Jaringan ikat
yang mengelilingi tendon tertentu, misalnya pada pergelangan tangan dan
tumit. pembungkus ini dibatasi oleh membran sinovial yang memberikan
pelumasan dalam memfasilitasi gerakan tendon.

F. Persendian

Pergerakan tidak akan mungkin terjadi bila kelenturan dalam


rangka tulang tidak ada. Kelenturan dimungkinkan karena adanya
persendian (Anwar, 2012). Sendi adalah struktur dalam tubuh manusia
yang menghubungkan dua tulang atau lebih. Ini berperan dalam
menyatukan kerangka tubuh dan memungkinkannya bergerak bebas. Sendi
dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan rentang gerak, yaitu:1) sendi
mati, seperti tengkorak, yang tidak memiliki tempat untuk bergerak; 2)
sendi kaku dapat bergerak, tetapi terbatas; 3) sendi gerak seperti bahu,
paha, lutut, jari tangan, pergelangan tangan, siku, yang dapat bergerak
maju, mundur, berputar, menyamping dan gerakan penting lainnya. 

2.2 Definisi

Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit autoimun inflamasi


kronis. Hal ini ditandai dengan keterlibatan sendi yang simetris dan
manifestasi ekstraartikular. Penghancuran jaringan sendi dan periartikular
terjadi sebagai akibat peradangan pada sendi sinovial, yang menyebabkan
gangguan fungsional. Artritis reumatoid adalah penyakit autoimun yang
memengaruhi jaringan sendi dan seringkali organ lain yang ditandai
dengan sinovitis erosif sistemik. RA dapat memengaruhi sendi sinovial apa
pun. Namun, biasanya mempengaruhi persendian kecil tangan dan kaki
secara simetris. RA juga mempengaruhi sejumlah sistem tubuh termasuk
jantung, paru-paru, mata, dan pembuluh darah kecil dan ini meningkatkan
risiko penyakit kardiovaskular, osteoporosis, anemia, dan infeksi. Puncak
usia penderita RA antara 40 dan 60 tahun, lebih sering terjadi pada wanita
dibandingkan pria. American College of Rheumatology (2012) menyatakan
bahwa rheumatoid arthritis adalah kondisi kronis (jangka panjang) yang
menyebabkan rasa sakit, kaku, bengkak, dan keterbatasan pada banyak
sendi. Artritis pasca-trauma, yang dapat terjadi setelah cedera lutut yang
serius. Patah tulang lutut atau ligamen lutut dapat merusak tulang rawan
sendi dan menyebabkan nyeri lutut serta penurunan fungsi lutut. Setelah
terbentuk dan, jika terus-menerus aktif, RA umumnya mudah dikenali dan
ditandai dengan poliartritis simetris yang berubah bentuk, walaupun
tingkat dan keparahannya sangat berbeda. Diagnosis dan pengobatan dini
adalah kunci untuk meminimalkan tantangan sehari-hari yang signifikan
yang dialami oleh pasien dan mendukung hasil yang lebih sukses.

2.3 Etiologi
Penyebab Rheumatoid Arthritis belum dapat diketahui dengan
pasti. Namun, kejadiannya dikorelasikan dengan interaksi yang kompleks
antara faktor genetik dan lingkungan :
a) Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini
memiliki angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%.
Selain itu, penyakit komorbid seperyi diabetes melitus juga dapat
meningkatkan kerentanan mengalami RA.
b) Hormon Sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari
Placental Corticotraonin Releasing Hormone yang mensekresi
dehidropiandrosteron (DHEA), yang merupakan substrat penting
dalam sintesis estrogen plasenta. Dan stimulasi esterogen dan
progesteron pada respon imun humoral (TH2) dan menghambat
respon imun selular (TH1). Pada RA respon TH1 lebih dominan
sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang
berlawanan terhadap perkembangan penyakit ini (Suarjana, 2009).

c) Faktor Infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel


induk semang (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T
sehingga muncul timbulnya penyakit RA. Agen infeksius yang
diduga merupakan penyebab rheumatoid arthritis Antara lain
bakteri, mikoplasma atau virus.
d) Faktor Lingkungan, salah satu contohnya adalah merokok dan
aktifitas yang berat sehari-harinya.

2.4 Faktor Risiko


Berikut adalah beberapa faktor risiko terjadinya Rheumatoid
Arthritis (RA) yang terbagi menjadi 2, yaitu :
a) Faktor yang tidak dapat diubah
 Faktor Genetik
Faktor genetic berperan 50% hingga 60% dalam
perkembangan RA. Gen yang berkaitan kuat adalah HLA-
DRB1. Selain itu juga ada gen tirosin fosfatase PTPN 22 di
kromosom 1. Perbedaan substansial pada faktor genetik RA
terdapat diantara populasi Eropa dan Asia. HLADRB1
terdapat di seluruh populasi penelitian, sedangkan
polimorfisme PTPN22 teridentifikasi di populasi Eropa dan
jarang pada populasi Asia. Selain itu ada kaitannya juga
antara riwayat dalam keluarga dengan kejadian RA pada
keturunan selanjutnya.
 Usia
RA biasanya timbul antara usia 40 tahun sampai 60 tahun.
Namun penyakit ini juga dapat terjadi pada dewasa tua dan
anak-anak (Rheumatoid Arthritis Juvenil). Dari semua
faktor risiko untuk timbulnya RA, faktor penuaan adalah
yang tertinggi. Prevalensi dan parahnya RA semakin
meningkat dengan bertambahnya usia. RA hampir tak
pernah terjadi pada anak-anak, jarang pada usia dibawah 40
tahun dan sering pada usia diatas 60 tahun.
 Jenis kelamin
RA jauh lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki
dengan rasio 3:1. Meskipun mekanisme yang terkait jenis
kelamin masih belum jelas. Perbedaan pada hormon seks
kemungkinan memiliki pengaruh.

b) Faktor yang dapat diubah


Kebiasaan pola hidup atau gaya hidup kurang sehat dapat
meningkatkan resiko terjadinya RA antara lain :
 Merokok
Sejumlah studi cohort dan case-control menunjukkan
bahwa rokok tembakau berhubungan dengan peningkatan
risiko RA. Merokok berhubungan dengan produksi dari
rheumatoid factor(RF) yang akan berkembang setelah 10
hingga 20 tahun. Merokok juga berhubungan dengan gen
ACPA-positif RA dimana perokok menjadi 10 hingga 40
kali lebih tinggi dibandingkan bukan perokok. Penelitian
pada perokok pasif masih belum terjawab namun
kemungkinan peningkatan risiko tetap ada.
 Diet
Kebiasaan konsumsi makanan yang kurang sehat atau
berlebihan dapat mempengaruhi risiko mengalami RA.
Dalam penelitian Pattison dkk, isu mengenai faktor diet ini
masih banyak ketidakpastian dan jangkauan yang terlalu
lebar mengenai jenis makanannya. Penelitian tersebut
menyebutkan daging merah dapat meningkatkan risiko RA
sedangkan buah-buahan dan minyak ikan memproteksi
kejadian RA. Selain itu penelitian lain menyebutkan
konsumsi kopi juga sebagai faktor risiko namun masih
belum jelas bagaimana hubungannya.
 Infeksi
Banyaknya penelitian mengaitkan adanya infeksi Epstein
Barr virus (EBV) karena virus tersebut sering ditemukan
dalam jaringan synovial pada pasien RA. Selain itu juga
adanya parvovirus B19, Mycoplasma pneumoniae, Proteus,
Bartonella, dan Chlamydia juga memingkatkan risiko RA.
 Berat badan
Risiko RA meningkat pada obesitas atau yang memiliki
Indeks Massa Tubuh (IMT) lebih dari 30.
 Faktor hormonal
faktor reproduksi yang meningkatkan risiko RA yaitu pada
perempuan dengan sindrom polikistik ovari, siklus
menstruasi ireguler, dan menarche usia sangat muda.

2.5 Patofisiologi
Sistem imun merupakan bagian pertahanan tubuh yang dapat
membedakan komponen self dan non-self. Pada kasus rheumatoid arthritis
sistem imun tidak mampu lagi membedakan keduanya dan menyerang
jaringan sinovial serta jaringan penyokong lain. Proses fagositosis
menghasilkan enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga
terjadi edema, proliferasi membran sinovial dan akhirnya pembentukan
pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan
erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan
mengganggu gerak sendi. Otot akan turut terkena karena serabut otot akan
mengalami perubahan degeneratif dengan menghilangnya elastisitas otot
dan kekuatan kontraksi otot.
Inflamasi awalnya akan mengenai sendi-sendi synovial seperti
edema, kongesti vascular, eksudat fibrin, dan infiltrasi selular. Peradangan
yang berkelanjutan, synovial menjadi menebal, terutama pada sendi
articular kartilago dari sendi. Pada persendian ini granulasi membentuk
pannus, atau penutup yang menutupi kartilago. Pannus masuk ke tulang
sub chondria. Jaringan granulasi menguat karena radang menimbulkan
gangguan pada nutrisi kartilago artikuler, sehingga kartilago menjadi
nekrosis. Tingkat erosi dari kartilago menentukan ketidakmampuan sendi.
Bila kerusakan kartilago sangat luas maka terjadi adhesi diantara
permukaan sendi, karena jaringan fibrosa atau tulang bersatu (ankilosis).
Kerusakan kartilago dan tulang menyebabkan tendon dan ligament
menjadi lemah dan bisa menimbulkan subluksasi atau dislokasi dari
persendian. Keadaan seperti ini akan mengakibatkan terjadinya nekrosis
(rusaknya jaringan sendi), nyeri hebat dan deformitas.

2.6 Klasifikasi
Diagnosis RA dibuat berdasarkan penilaian klinis. Tetapi karena
heterogenitas presentasi, dan bukti kuat bahwa hasil jangka panjang terbaik
dapat dicapai dengan intervensi awal yang efektif, kriteria klasifikasi yang
diperbarui diterbitkan pada tahun 2010 oleh American College of
Rheumatology (ACR) dan European League Against Rheumatism (EULAR
) dengan maksud untuk mendorong pengenalan terapi tepat waktu. Kriteria
ini menerapkan skor tertimbang untuk masing-masing dari empat domain
yang terdiri dari distribusi sendi, serologi, adanya respons fase akut, dan
durasi gejala. Skor 6 atau lebih dari kemungkinan maksimal 10 merupakan
klasifikasi RA “pasti”.
Buffer (2010) mengklasifikasikan rheumatoid arthritis menjadi 4 tipe,
antara lain :
1. Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda
dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit
dalam waktu 6 minggu.
2. Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda
dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit
dalam waktu 6 minggu.
3. Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria
tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling
sedikit dalam waktu 6 minggu.
4. Possible rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda
dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit
dalam waktu 3 bulan.

2.7 Manifestasi Klinis


Mayoritas sekitar 75% pasien RA adalah wanita. Keluhan yang
biasanya dirasakan penderita RA berupa nyeri pada sendi-sendi tangan dan
kaki, selain itu sendi bahu, panggul, dan tulang belakang terutama
servikal. Sebaliknya, pada pria, lebih sering bermanifestasi pada sendi-
sendi besar. Pada fase awal, karakteristik RA umumnya adalah keterlibatan
sendi-sendi tangan dan kaki (sendi metacarpophalangeal, proximal
interphalangeal, dan sendi metatarsophalangeal). Manifestasi klinis
sistemik seperti kelemahan, mudah lelah, dan penurunan berat badan
sering terjadi. Pasien RA biasanya mengeluh nyeri pada sendi baik pada
saat istirahat maupun saat beraktivitas, disertai dengan sendi yang bengkak
dan kaku.

Berikut beberapa gejala klinis yang umum ditemukan pada pasien


rheumatoid arthritis. Gejala klinis ini tidak harus timbul secara bersamaan.
Oleh karenanya penyakit ini memiliki gejala klinis yang sangat bervariasi.
 Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan
menurun, dan demam. Terkadang dapat terjadi kelelahan yang
hebat.
 Poliaritis simetris, terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi
di tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalang
distal, hampir semua sendi diartrodial dapat terangsang.
 Pentingnya untuk membedakan nyeri yang disebabkan perubahan
mekanis dengan nyeri yang disebabkan inflamasi. Nyeri yang
timbul setelah aktivitas dan hilang setelah istirahat serta tidak
timbul pada pagi hari merupakan tanda nyeri mekanis. Sebaliknya
nyeri inflamasi akan bertambah berat pada pagi hari saat bangun
tidur dan disertai kaku sendi atau nyeri yang hebat pada awal gerak
dan berkurang setelah melakukan aktivitas.
 Kekakuan di pagi hari selama lebih dari satu jam, dapat bersifat
generalisata terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda
dengan kekakuan sendi pada osteoartratis, yang biasanya hanya
berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari satu jam.
 Arthritis erosif, merupakan ciri khas rheumatoid arthritis pada
gambaran radiologic. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan
erosi di tepi tulang dan dapat dilihat pada radiogram.
 Deformitas, kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi
dengan perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari,
sublukasi sendi metakarpofalangeal, leher angsa adalah beberapa
deformitas tangan yang sering di jumpai pasien. Pada kaki terdapat
protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dari
subluksasi metatarsal. Sendi-sendi yang besar juga dapat terangsang
dan akan mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama
dalam melakukan gerakan ekstensi.
 Nodula-nodula rheumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan
pada sekitar sepertiga orang dewasa penderita rheumatoid arthritis.
Lokasi yang paling sering dari deformitas ini adalah bursa
elekranon (sendi siku), atau di sepanjang permukaan ekstanor dari
lengan, walaupun demikian nodul-nodul ini dapat juga timbul pada
tempat-tempat lainnya. Nodul-nodul ini biasanya merupakan suatu
tanda penyakit yang aktif dan lebih berat.
 Manifestasi ekstra articular, rheumatoid arthritis juga dapat
menyerang organorgan lain diluar sendi. Jantung (pericarditis),
paru-paru (pleuritis), mata, dan rusaknya pembuluh darah.

2.8 Pemeriksaan Dignostik

Pemeriksaan untuk membantu proses diagnostic

Faktor rematik Positif pada 70-90% pasien RA. Tidak terlalu spesifik, dengan
5% orang sehat berusia 50 tahun dan 10-25% orang sehat
berusia 70 tahun positif

Antibodi anti-siklik Dianggap negatif untuk faktor reumatoid. Anti-CCP lebih


citrullinated peptide spesifik daripada faktor rheumatoid dan dapat dideteksi pada
(CCP). RA lebih awal sebelum gambaran klinis muncul. Ini
memprediksi perkembangan penyakit yang lebih cepat dan RA
erosif

X-ray kedua tangan Dapat menunjukkan pembengkakan jaringan lunak, osteopenia


dan kaki periartikular, hilangnya ruang sendi, erosi dan kelainan bentuk.
Membantu diagnosis dan penentuan tingkat keparahan penyakit

Hitung darah lengkap, Membantu memandu pengobatan dan mengidentifikasi


tes fungsi ginjal dan penyakit penyerta yang relevan
hati

Protein C-reaktif atau Dapat meningkat pada RA, tetapi tidak terlalu sensitif, hingga
tingkat sedimentasi 40% orang dengan RA memiliki tingkat normal
eritrosit

Pencitraan Penggunaan USG dan MRI untuk melihat perubahan jaringan


ultrasonografi atau lunak dan erosi awal pada sendi sering digunakan. Ultrasound
resonansi magnetik dapat berguna dalam melihat adanya sinovitis dan erosi tahap
sendi awal. Informasi tambahan mengenai vaskularisasi dapat
didapatkan dengan teknik Doppler.
Gambar ultrasonografi ibu jari pada pasien dengan riwayat Rheumatoid
Arthritis menunjukkan jumlah cairan yang tidak normal di dalam selubung
tendon fleksor pollicus longus, konsisten dengan peradangan tenosinovitis.

2.9 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Farmakologi
Tujuan utama merawat pasien dengan RA adalah untuk
memaksimalkan kualitas hidup terkait kesehatan jangka panjang
melalui pengendalian gejala, pencegahan kerusakan struktural,
normalisasi fungsi, dan partisipasi dalam aktivitas sosial dan terkait
pekerjaan. Rujukan ke rheumatologist untuk inisiasi pengobatan obat
anti-rematik sintetis konvensional (csDMARD) yang sangat awal,
sebelum timbulnya erosi, sangat mengurangi risiko kerusakan dan
kecacatan sendi di masa depan. CsDMARDs yang paling banyak
diresepkan termasuk methotrexate, leflunomide, sulfasalazine dan
hydroxychloroquine. EULAR merekomendasikan pengobatan dengan
csDMARDs setelah memulai pengobatan untuk RA. Penggunaan
glukokortikoid jangka pendek harus dipertimbangkan saat memulai
atau mengganti csDMARDs tetapi harus dikurangi secepat mungkin
secara klinis. Methotrexate saat ini merupakan terapi lini pertama yang
paling banyak digunakan untuk RA di dunia.
Monoterapi metotreksat direkomendasikan sebagai strategi
farmakologis awal tetapi juga dapat digunakan sebagai 'obat jangkar'
dalam kombinasi dengan csDMARDs lain dalam pengelolaan RA dini,
dan dengan terapi target biologis atau molekul kecil pada penyakit yang
sudah ada. Berdasarkan kemanjurannya, keamanannya, kisaran dosis-
titrasi yang besar, pilihan untuk rute pemberian oral atau parenteral, dan
efektivitas biaya, metotreksat memiliki tempat yang unik dalam
pengelolaan RA. Praktik yang direkomendasikan adalah untuk
mengobati target remisi atau aktivitas penyakit yang rendah, seperti
yang dinilai dengan skor gabungan dari aktivitas penyakit, dan untuk
mentitrasi terapi sesuai dengan respon. Namun, banyak pasien dengan
RA yang sudah mapan tidak mencapai target pengobatan dengan
monoterapi metotreksat yang mungkin juga memiliki masalah dengan
toleransi gastrointestinal. Jika metotreksat oral tidak efektif atau tidak
dapat ditoleransi, ada opsi untuk beralih ke obat yang diberikan secara
subkutan. Sementara bioavailabilitas metotreksat oral mencapai dataran
tinggi pada dosis mg/minggu, bioavailabilitas metotreksat subkutan
yang lebih tinggi dan lebih sedikit variabel, dikombinasikan dengan
ketergantungan dosis liniernya, menjadikannya pilihan yang menarik
untuk beralih jika titrasi metotreksat oral gagal menghasilkan respon
yang memadai. Jika target pengobatan tidak tercapai dengan strategi
csDMARD pertama, ketika terdapat faktor prognostik yang buruk,
penambahan terapi yang ditargetkan harus dipertimbangkan.

2. Penatalaksanaan Non Farmakologi


Intervensi farmakologis hanya mewakili satu aspek dari rencana
penatalaksanaan RA. Pendekatan multidisiplin sangat berharga untuk
mengatasi aspek perawatan penting lainnya termasuk pendidikan
pasien, termasuk evaluasi mengatasi aktivitas kehidupan sehari-hari
dengan akses yang tepat ke alat bantu dan adaptasi, serta dukungan
podiatri, dan konseling psikologis dan pekerjaan jika diperlukan.
Edukasi yang penting diberikan dalam pengobatan AR adalah perlunya
penjelasan kepada pasien tentang penyakitnya, apa itu AR, bagaimana
perjalanan penyakitnya, kondisi pasien saat ini dan bila perlu penjelasan
tentang prognosis penyakitnya. Pasien harus diberitahu tentang program
pengobatan, risiko dan keuntungan pemberian obat dan modalitas
pengobatan yang lain. Pendidikan pada pasien mengenai penyakitnya
dan penatalaksanaan yang akan dilakukan sehingga terjalin hubungan
baik serta ketaatan pasien untuk tetap berobat dalam jangka waktu yang
lama.
Pada saat diagnosis AR ditegakan maka program latihan fisik
aerobic dapat disarankan. Latihan fisik harus disesuaikan secara
individual berdasarkan kondisi penyakit dan komorbiditas yang ada.
Latihan aerobik dapat dikombinasikan dengan latihan penguatan otot
(regio terbatas atau menyeluruh), dan latihan untuk kelenturan,
koordinasi dan kecekatan tangan serta kebugaran tubuh. Terapi fisik
dengan menggunakan laser kekuatan rendah dan TENS (transcutaneous
electrical nerve stimulation), efektif mengurangi nyeri dalam jangka
pendek.

2.10 Diagnosa Keperawatan


Berikut beberapa diagnose keperawatan yang mungkin terjadi
berkaitan terhadap pasien Rheumatoid arthritis (RA):
- Nyeri akut
- Gangguan mobilitas fisik
- Gangguan citra tubuh
- Defisit Perawatan Diri
- Ansietas
- Defisit Nutrisi .
DAFTAR PUSTAKA

Garner, R., Ding, T. and Deighton, C. (2014) ‘Management of rheumatoid


arthritis’, Medicine (United Kingdom), 42(5), pp. 237–242. doi:
10.1016/j.mpmed.2014.02.004.

Guo, Q. et al. (2018) ‘Rheumatoid arthritis: Pathological mechanisms and modern


pharmacologic therapies’, Bone Research, 6(1). doi: 10.1038/s41413-
018-0016-9.

Lee, D. M. and Weinblatt, M. E. (2001) ‘Rheumatoid Arthritis News | Rheumatoid


Arthritis News’, Lancet, 358(July), pp. 903–911. doi:
10.1177/1755738019884346.

Taylor, P. C. (2020) ‘Update on the diagnosis and management of early


rheumatoid arthritis’, Clinical Medicine, Journal of the Royal College of
Physicians of London, 20(6), pp. 561–564. doi: 10.7861/clinmed.2020-
0727.

Anda mungkin juga menyukai