Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PENDIDIKAN LINTAS BUDAYA

“ Konflik Suku Aceh dan Suku Jawa “

Kelas 7C

Disusun oleh kelompok 5 :

1. Dbriyan Gusti P (1902101061)


2. Mahrul Kolil (1902101076)
3. Syalma Eka F (1902101078)
4. Umi Nada Halim (1902101079)
5. Fiorennica Agustin (1902101085)

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI MADIUN
2022/2023

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT dan sholawat serta salam
kita sampaikan kepada nabi kita Muhammad SAW. Atas limpahan rahmat dan kasih sayang
Allah SWT, kami sebagai penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul
“Konflik Suku Aceh dan Suku Jawa ”. Penulisan ini merupakan salah satu tugas yang diberikan
dalam mata kuliah Makalah Pendidikan Lintas BudayaUniversitas PGRI Madiun.
Kami selaku penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
pihak-pihak yang banyak membantu dalam penulisan ini, khususnya kepada dosen kami Ibu
Hartini, M.Pd yang telah memberikan tugas dan arahan kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikannya.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar dapat memperbaiki tugas ini. Akhir kata
kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap
pembaca.

Madiun, 20 Desember 2022

Kelompok 5
DAFTAR ISI
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konflik Aceh yang berlangsung selama 29 tahun, yaitu dari pertama
diproklamirkannya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 1976 yang pada akhirnya
dapat diselesaikan dengan cara damai dan bermartabat. Ditandai dengan adanya perjanjian
Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki antara Penerintah Republik Indonesia (RI)
dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) (Fahmi, 2013). Perjanjian tersebut memberikan
dampak yang signifikan terhadap roda pemerintahan Aceh. Dimana Aceh diberi
kewenangan untuk mengatur sendiri pemerintahannya sesuai dengan butir-butir MoU
Helsinki yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh. Undang-undang tersebut merupakan bentuk kewenangan yang
diberikan oleh pemerintah pusat kepada Aceh, agar dapat mengatur pemerintahannya
sendiri.
Sebelumnya kebijakan khusus untuk Aceh diatur dalam Undang-Undang nomor 18
tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi provinsi daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Namun, pasca MoU Helsinki diganti dengan UU nomor 11
tahun 2006. Dampak dari Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) sangatlah
menentukan arah kebijakan setiap pengambilan keputusan baik terhadap perkembangan
situasi daerah maupun kondisi riil dimasyarakat yang peka konflik, sehingga terhindar dari
gesekan-gesekan yang memicu terjadinya instabilitas daerah (Zainal, 2016).
Pasca ditandatanganinya nota kesepahaman atau Memorandum Of Understanding
(MoU) Helsinki antara Pemerintah RI dan GAM pada tanggal 15 Agustus 2005. Maka Aceh
memasuki pada tahap pembangunan perdamaian (peace building) yang diartikan sebagai
proses rekonstruksi dari segi kehidupan social masyarakat. Sesuai dengan pandangan Alger
(Webel dan Galtung, 2007) yang mengatakan bahwa pembangunan perdamaian berarti
mempersiapkan proyek pembangunan perdamaian dari aspek sosial, ekonomi dan politik.
Dimana agar terciptanya perdamaian yang berkelanjutan dalam artian positive peace dimana
pihak-pihak yang terlibat didalam konflik internal khususnya korban konflik, tahanan politik
dan mantan kombatan GAM merasakan dampak dari pembangunan perdamaian (Hermawan,
2007). Maka dalam hal ini, pembangunan perdamaian Aceh yang akan dilihat dari tiga aspek
yaitu yang pertama ekonomi, dimana adanya proses reintegrasi mantan kombatan GAM,
tahanan politik, dan korban konflik. Kedua, politik adanya pembentukan partai lokal Aceh.
Dan yang ketiga sosial, dimana adanya penerapan syariat islam secara kaffah di Aceh dan
pembentukan lembaga Wali Nanggroe.
Namun, hal pertama yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat yaitu
memfokuskan untuk melakukan proses reintegrasi bagi seluruh mantan kombatan GAM,
korban konflik dan tahanan politik. Proses reintegrasi tersebut dilakukan dengan
mengembalikan para kombatan GAM dan tahanan politik untuk kembali kedalam
masyarakat. Selanjutnya diberikan bantuan dana yang disalurkan melalui Badan Reintegrasi
Aceh (BRA) bagi ketiga kelompok penerima manfaat yaitu mantan kombatan GAM, korban
konflik dan tahanan politik. Maka untuk melakukan proses reintegrasi Aceh tersebut
diperlukan suatu badan untuk mengelola hal tersebut.
Dibentuklah Badan Reintegrasi Aceh (BRA) yang merupakan bagian dari amanah MoU
Helsinki, dimana pemerintah Republik Indonesia berkewajiban untuk melakukan proses
reintegrasi para mantan kombatan, korban konflik dan tahanan politik melalui
pengembangan secara politik, ekonomi, dan sosial. Walaupun dalam proses reintegrasi Aceh
sudah dikelola oleh badan tersendiri yaitu BRA. Namun, dalam prosesnya reintegrasi Aceh
tidak berjalan dengan sempurna, dikarenakan terdapat beberapa hambatan dalam proses
reintegrasi tersebut. Dikarenakan hal tersebut maka proses reintegrasi belum terselesaikan
sampai sekarang dikarenakan faktor-faktor penghambat tersebut.
Meskipun Aceh sudah damai, namun tidak dipungkiri Aceh masih mengalami konflik.
Namun, konflik yang dialami Aceh kini sudah berubah menjadi konflik internal yang
disebabkan oleh perpecahan kelompok elit GAM. Sehingga menimbulkan tindak
kriminalitas yang dilakukan antara elit GAM yang berkonflik tersebut. Sesuai dengan data
yang diperoleh kriminalitas yang terjadi dilakukan oleh oknum partai lokal pada saat masa
kampanye pemilu. Isu kriminalitas dan kekerasan dapat terjadi berupa pembakaran posko,
penculikan orang, penembakan, penganiayaan bahkan sampai pembunuhan. Tercatat ada 54
posko yang terbakar pada pemilu tahun 2012 dan 70 posko pada pemilu legislatif tahun
2014.
Sedangkan penculikan orang ada 12 kasus pada pemilu tahun 2012 dan 17 kasus pada
pemilu tahun 2014. Selanjutnya penembakan dan pembunuhan ada 20 kasus pada tahun
2012 dan 67 kasus pada tahun 2014. (Sumber: Badan Kesbangpol Aceh Tahun 2014).
Mengingat Aceh merupakan daerah pasca konflik, maka sangat rentan konflik akan terjadi.
Dikarenakan setelah konflik antara GAM dan RI berakhir, kini Aceh masih mengalami
konflik dengan sesama masyarakat Aceh atau dapat dikatakan konflik secara horizontal.
Oleh sebab itu, sesuai dengan pandangan Wiratmadinata dan Putra (2017) yang
menyebutkan bahwa hal yang tersulit setelah melakukan perdamaian adalah menjaga
perdamaian tersebut agar tidak kembali terjadi konflik. Hal tersebutlah yang sedang dialami
Aceh saat ini yaitu melakukan keberlanjutan perdamaian pasca perjanjian damai MoU
Helsinki.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang suku aceh?
2. Bagaimana munculnya gerakan aceh merdeka?
3. Bagaimana sejarah singkat awal mula konflik aceh dan jawa?
4. Bagaimana awal kembali munculnya kebencian orang aceh terhadap jawa?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana latar belakang suku aceh
2. Untuk mengetahui bagaimana munculnya gerakan aceh merdeka
3. Untuk mengetahui bagaimana sejarah singkat awal mula konflik aceh dan jawa
4. Untuk mengetahui bagaimana awal kembali munculnya kebencian orang aceh
terhadap jawa
BAB 1

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Suku Aceh


Suku bangsa Aceh adalah yang dominan mendiami propinsi Aceh. Terdiri dari 17
kabupaten dan 4 kotamadya (1999). Wilayah asli yang dominan diduduki oleh suku bangsa
Aceh adalah Kotamadya Banda Aceh, Sabang, Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara,
sebagaian kabupaten Aceh Barat, Aceh Selatan dan sebagaian kabupaten Aceh Timur. Suku
bangsa Aceh memiliki bahasa sendiri, yaitu Bahasa Aceh yang terdiri dari bebrapa Dialek,
dianataranya dialek peusangan, Banda, Bueng, Daya, Pase. Tunong, Matang, Seunagan dan
Meulaboh. Dari keseluruhan pada umumnya masyarakat Aceh dapat memahami kata-kata
dari kalimat yang diucapkan dari perbedaan dialek tersebut. Disamping itu pula, Aceh
terdapat beberapa suku bangsa yang berdomisi dan tersebar dibeberapa wilayah. Suku
tersebut adalah suku Aneuk Jame’e, suku Gayo, Suku Alas, Suku Kluet, suku singkil, suku
Taming, dan Suku Simeulue. Yang memiliki corak bahasa yang berbeda satu sama lain.

Gambar suku Gayo Gambar suku singkil

B. Munculnya Gerakan Aceh Merdeka


Dahulu Aceh merupakan satu-satunya daerah di Sumatra yang memiliki nilai politis di
mata orang-orang Barat sehingga daerah ini pantas menjadi subjek sejarah umum. Aceh
dengan latar belakang budaya dan historis keagamaan namun atas dasar paham nasionalisme
para pendiri bangsa, tuntutan rakyat Aceh tidak terkabulkan. Hal ini yang memunculkan rasa
kekecewaan yang sangat mendalam bagi rakyat Aceh. Kekecewaan ini muncul karena ada
alasan yang sangat fundamental, yaitu, dalam proses menuju kemerdekaan, peran rakyat
Aceh sangatlah besar dengan berbagai pemberontakan menentang kedaulatan negara yang
baru berdiri, yaitu dalam wadah Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) oleh Daud
Beureuh.
Permasalahan yang di hadapi antara GAM dengan pemerintahan pusat sangat
kompleks terutama dalam bidang ekonomi dan politik. Hal ini dikarenakan kelanjutan dari
DI/TII di Aceh yang belum usai, yang kemudian memunculkan permasalahan baru yaitu
GAM. Salah satu yang belum selesai antara lain GAM yang ingin merdeka atau melepaskan
wilayah Aceh dari Indonesia, Sentimen etnis dalam konflik (dikotomi Aceh dan Jawa).
Selain itu pemerintahan pusat juga mengiginkan Aceh tetap dalam wilayah Indonesia.
Munculnya GAM secara diam-diam dikarenakan ketidaksiapan pihak GAM untuk
langsung berhadapan dengan pihak penguasa, baik pemerintah daerah maupun pemerintah
pusat. GAM terungkap karena ada beberapa perusahaan besar yang beroperasi di Aceh
dikirimi surat berisikan kewajiban mereka membayar pajak kepada GAM, akan tetapi
perusahaan-perusahaan tersebut tidak memberikan dana seperti yang di inginkan GAM.
Dengan demikian, keberadaan dan aktifitas gerakan ini mulai diketahui oleh pemerintah
pusat bahwa ada gerakan bawah tanah yang memproklamasikan kemerdekaan di Aceh.

Salah satu gambar rakyat Aceh yang berdemo ingin Aceh Merdeka
C. Sejarah Singkat Awal Mula Konflik Aceh dan Jawa
Etnisitis merupakan salah satu unsur yang menjadi objek utama kajian ilmu-ilmu
sosial. Dalam sejarah relasai antar etnik di berbagai belahan bumi, selalu diwarnai oleh
konflik etnik itu sendiri. Konflik anatar etnik selalu saja mencari akarnya pada persoalan
sosial ekonomi dan budaya seperti halnya konflik Aceh. Studi yang dilakukan oleh peneliti
menunjukkan bahwa akar dari semua konflik yang terjadi di Aceh merupakan persoalan
ketidakadilan sosial ekonomi dalam proses pemabangunan serta serangkaian tuntutan janji
atas hak-hak istimewa yang tidak teralisasi.
Beberapa unsur besar diatas merupakan alasan yang paling logis dibalik catatan
perjalanan konflik di Aceh, Namun disamping hal itu pula, terdapat salah satu bagaian
terpenting yang menggoreskan fakta sejarah dibalik konflik serta pergolakan yang terjadi
dikemudian hari di Aceh. Yakni kebencian suku bangsa Aceh terhadap suatu etnik tertentu,
yakni suku Jawa. Memang hal ini sangat jarang dikaitkan sebagai faktor pemicu munculnya
konflik Aceh, dan orang cenderung mengabaikan fakta ini. akan tetapi sejarah telah
membuktikannya.
Ketika Belanda melakukan penjajahan di Nusantara, kurang lebih 350 tahun lamanya,
Aceh juga berjuang melakukan perlawanan terhadap penjajah belanda. Bahkan Aceh
memiliki andil besar terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia di Kemudian Hari. Aceh
pula lah yang banyak membantu Indonesia dalam upaya mempertahankan kemerdekaan dari
datangnya kembali gangguan Belanda yang ingin menjajah Indonesia. Pada Tahun 1945
setelah Proklamasi Kemeerdekaan Indoensia dikumandangkan Soekarno dan Hatta di
Jakarta, tak lama setelah itu pada 15 Oktober 1945 atas nama seluruh masyarakat, Aceh
menyatakan diri dengan patuh berdiri dibawah payaung NKRI.
Meskipun sebenarnya Aceh dapat berdiri sebagai sebuah negara merdeka dan
berdaulat, tetapi, karena rakyat Aceh pada saat itu diliputi oleh semangat Nasionalisme yang
tinggi $maka Aceh menyatakan diri menjadi bagaian dari Indonesia. Kemudian pemerintah
Darurat Indonesia langsung mengeluarkan ketetapan mengenai posisi Aceh didalam
Republik. Ketetapan itu diberlakukan pad 17 Desember No. 8 / Des/ W.K.P.H yang
menetapkan Aceh sebagai sebuah propinsi.
D. Awal Kembali Munculnya Kebencian Orang Aceh Terhadap Jawa
Namun pada 8 Agustus 1950 Dewan menteri Republik indonesia Serikat (RIS)
menetapakan Kalau wilayah RIS dibagi kedalam 10 propinsi dan Aceh tidak lagi termasuk
ke dalam salah satu propinsi. Keputusan itu menggugurkan janji Sjarifuddin Prawiranegara
tentang pembentukan Propinsi Aceh. Keputusan pembubaran propinsi Aceh kemudian di
umumkan oleh Perdana Menteri M Natsir yang disiarkan oleh RRI di Koetaradja, Aceh pada
23 Januari 1951. Keputusan tersebut telah melukai perasaan seluruh masyarak Aceh dan
menumbuhkan dendam serta frustasi para pimpinan Ulama yang tergabung didalam PUSA.
Setelah pengkhianatan yang dilakukan oleh jawa (demikian orang Aceh menyatakan
identitas pemerintah Indonesia) tersebut, maka terbesitlah dibenak Daud Beuereueh untuk
melakukan perlawanan dengan membentuk sebuah gerakan yang bernama DI/TI
(sebelumnya NII). Namun pada bulan April 1957, tunutuan masyarakat Aceh tentang hak
menerapkan syariat Islam serta daerah otonomi khusus ditidaklanjuti oleh pemerintah
Soekarno. Kemudian ditanda tangani perjanjian atau ikrar Lam Teh. Sehingga mengakhiri
pemberontakan Muhammad Daud Beureueh.
Pada tanggal 30 September tahun 1965, tak lama setelah Aceh kembali bergabung
kedalam NKRI dengan pemeberian status Daerah Istimewa, terjadi kudeta politik yang
dilakukan oleh Soeharto terhadap Soekarno dengan tuduhan ia terlibat dalam PKI dan
memanfaatkan momentum krisis ekonomi dan politik. Setelah Soeharto berkuasa ternyata ia
membuat kebijakan yang sangat sentralistik. Daerah istimewa yang dijnjikan dulu tidak
pernah ditepati dan bahakan dilupakan. Kekecewaan rakyat Aceh terhadap orang jawa
diperkuat oleh penemuan sumber cadanagan minyak dan gas alam terbesar pada tahun 1971
di Lhokseumawe. Empat tahun kemudian Mobil Oil Indonesia perusahaan raksasa yang
bermarkas di Amerika serikat diberikan hak untuk mengeksploitasinya. Sehingga kemudian
disusul oleh beridirinya perusahaan-perusahaan industri besar seperti PT. PIM, PT AAF, PT
KKA dan sejumlah industri hilir lainnya. Meskipun Aceh telah ditetapkan sebagai kawasan
ZIL (zona industri Lhoseumawe) namun keuntungan tidak pernah dirasakan oleh rakyat
Aceh. Aceh tetap miskin dan masyarakatya tetap hidup dalam kemelaratan. Seluruh
keuntungan mengalir ke pusat. Ekspansi besar-besaran tenaga kerja asing terjadi. Sebagian
besar birokrat serta posisi-posisi penting didalam pemerintahan di Aceh dikuasai dan
didominasi oleh orang Jawa maka semakin menumbuhkan kebencian orang-orang Aceh
terhadap orang jawa.
Kekecewaan demi kekecewaan dirasakan oleh orang Aceh akibat pengkhianatan dan
kezaliman yang dilakukan oleh Jakarta (Jawa-red) membuat orang Aceh menyimpan
dendam teramat dalam terhadap orang-orang jawa. Puncaknya adalah, lahirnya kembali
sebuah gerakan perlawanan yang diberi nama ASLNF (Aceh Sumatera Liberation Front)
atau yang sering disebut Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yanh diproklamirkan oleh Hasan
Tiro pada tanggal 4 Desember 1976. sebuah gerakan perlawanan terhadap pemerintah
Indonesia yang oleh orang Aceh menyebutnya pemerintahan Jawa. Gerakan ini dibentuk
atas inisiatif Hasan Tiro yang juga merupakan cicit dari pahlawan Aceh yakni tengku Chik
Di Tiro. Secara diam-diam ia mencoba kembali membuka ruang perlawanan terhadap
pemerintah yang didominasi oleh orang-orang yang berasal dari etnis jawa. Doktrin
perlawanan yang disuarakan adalah tentang ketidakadilan, pengkhianatan, kekecewaan yang
diselimuti dengan kebangkitan Nasionalisme orang Aceh.
Meskipun perlawanan ini dilatarbelakangi oleh aspek politik, Agama dan ekonomi,
yaitu penentuan hak otonomi serta eksploitasi hasil Alam yang timpang sehingga membuat
orang-orang Aceh tetap berada dibawah garis kemiskinan meskipun kaya akan sumberdaya
Alam, serta janji pemerintah atas penerapan syariat Islam di Aceh yang urung terealisasi.
namun disamping itu pula, perjuangan ini didasarkan atas kebencian terhadap etnis jawa.
Bagi orang Aceh, NKRI adalah milik bangsa Jawa. Karena fakta politik dimasa orde baru
etnis jawa mendominasi struktur pemerintahan.4GAM membangun rasa benci dengan
memanfaatkan sentimen entis tersebut. 5Orang jawa merupakan musuh Historis bagi rakyat
Aceh. Dalam hal ini, Hasan Tiro membangkitkan kembali sejarah penajajahan Majapahit
terhadap Kerajaan Samudera Pasai sehingga permusuhan dengan pihak jawa merupakan
garis merah atas apa yang terjadi pada masa lalu pada bangsa Aceh. Seiring perjalanan
waktu, intensitas perang semakin meningkat.
Namun disisi lain, pemerintah penguasa Orde baru sedang giat-giatnya merealisasikan
program pembangunan serta penyebaran Transmigrasi terutama yang berasal dari pulau jawa
yang kemudian ditempatkan didaerah-daerah. Tak sedikit Transmigaran yang berasal dari
pulau jawa membangun pemukiman-pemukiman baru di Aceh. Hal ini semakin menambah
kemarahan orang Aceh terhadap Jawa dan tak jarang selama kurun waktu tahun 80-90-an
para Transmigran menjadi sasaran amarah masyarakat Aceh terutama sekali GAM. Para
transmigran banyak yang mendapat perlakuan tidak manusiawai mulai dari penganiayaan,
penculikan terhadap etnis Jawa pembakaran rumah hingga kehilangan nyawa. Hal ini yang
kemudian membuat orang-orang Jawa transmigran merasa terancam hidupnya dan bahkan
kebanyakan dari mereka memilih keluar dari Aceh.
Sejarah awal kebencian orang Aceh terhadap suku Jawa pertama kali terjadi pada
masa kerajaan Aceh dulu. ketika kerjaan Samudera Pasai diserang oleh kerjaan Majapahit
yang notabene merupakan kerjaan terbesar dipulau Jawa sekitar tahun 750-796 H yang
dipimpin oleh panglima Patih Nala Ketika Sultan Zainul Abidin Malik Al Zhahir
memimpin. Sejak saat itu genderang perang dinyatakan oleh rakyat Aceh terhadap kerjaan
Jawa tersebut. Hal diatas merupakan bagian kecil dari catatan sejarah menegenai hubungan
awal antara Aceh dengan Jawa yang ditandai dengan konflik. Meskipun pada periode tahun-
tahun berikutnya kedua etnis ini nyaris tidak pernah melakukan kontak fisik berupa perang
dan mulai membangun hubungan melalui bidang penyebaran agama dan perdagangan.
Ketika itu orang Aceh sangat membenci orang Jawa. Bagi orang Aceh, jawa adalah
bangsa pengkhianat, meskipun sebenarnya yang patut dibenci adalah oknum pemerintah
Indonesia, yang dominan di tempati oleh orang-orang yang ber etnis Jawa, namun para
transmigran pula tak luput dari teror serta ancaman dan intimidasi. Karena orang Aceh
beranggapan, semua orang jawa adalah penipu, sehingga orang-orang Aceh terutama GAM,
telah mempersepsikan atau memaknai negatif secara umum terhadap etnis Jawa.Setelah
melakukan perlawanan selama kurang lebih 30 tahun lamanya yang mengorbankan ribuan
nyawa baik dikedua belah pihak dan terutama sekali rakyat sipil akhirnya pihak-pihka
berkonflik yakni GAM dan RI bersepakat melakukan genjatan senjata dan menempuh jalur
damai untuk menyelesaikan konflik. Untuk menghindari jatuhnya kembali korban dari
rakyat sipil. Terlebih ketika itu tanggal 26 Desember tahun 2004 Aceh dilanda musibah
Gempa dan Tsunami sehingga pihak-pihak berkonflik didesak untuk mengakhiri perang.
Pada Agustus 2005 pihak pemerintah Indonesia dan GAM bersepakat menandatangani
perjanjian damai di Helsinki Finlandia, yang kemudian melahirkan nota kesepahaman
bersama atau yang biasa dikenal MoU Helsinki. Bahkan setelah damai pun, sikap sentimen
terhadap etnis Jawa pun tetap ditunujukan oleh orang Aceh. Bukti nyatanya adalah, masih
terjadinya tindak kekerasan dan pembunuhan terhadap etnis Jawa yang dilakukan oleh
oknum-oknum tertentu meskipun bukan dilatarbelakangi oleh faktor etnisitas, namun tetap
orang Jawa yang menjadi sasarannya. Meskipun kini, eskalasi kebencian telah menurun
drastis, namun tak menuntut kemungkinan, apabila Jakarta (Jawa) kembali mengkhianati
orang Aceh, akan timbul kembali konflik-konflik baru antar kedua etnis tersebut atau lebih.
BAB 1

PENUTUP

A. Kesimpulan
Gerakan Aceh Merdeka, atau GAM (bahasa Aceh: Geurakan Acèh Meurdèka) adalah
bekas sebuah gerakan separatisme bersenjata yang memiliki tujuan supaya Aceh lepas dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik antara pemerintah RI dan GAM yang
diakibatkan perbedaan keinginan ini telah berlangsung sejak tahun 1976-2005 dan
menyebabkan jatuhnya hampir sekitar 15.000 jiwa. Gerakan ini juga dikenal dengan nama
Aceh Sumatra National Liberation Front (ASNLF). GAM dipimpin oleh Hasan di Tiro yang
selama hampir tiga dekade bermukim di Swedia.
Konflik antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
di Aceh muncul sejak diproklamirkan kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976 di Pidie
oleh GAM yang dipelopori oleh Muhammad Hasan Tiro. Demikianlah GAM lahir karena
nasionalisme etnis Aceh bangkit sebagai jawaban terhadap kebijakan pemerintah pusat yang
sentralistik1. GAM dikenal dengan nama ASNLF (Aceh Sumatra National Liberation
Front). ASNLF selalu digunakan bila berhubungan dengan dunia International. Pemerintah
pusat menjalankan berbagai operasi baik secara politik maupun militeristik untuk menumpas
gerakan ini.
Sejarah awal kebencian orang Aceh terhadap suku Jawa pertama kali terjadi pada
masa kerajaan Aceh dulu. ketika kerjaan Samudera Pasai diserang oleh kerjaan Majapahit
yang notabene merupakan kerjaan terbesar dipulau Jawa sekitar tahun 750-796 H yang
dipimpin oleh panglima Patih Nala Ketika Sultan Zainul Abidin Malik Al Zhahir
memimpin. Sejak saat itu genderang perang dinyatakan oleh rakyat Aceh terhadap kerjaan
Jawa tersebut. Hal diatas merupakan bagian kecil dari catatan sejarah menegenai hubungan
awal antara Aceh dengan Jawa yang ditandai dengan konflik. Meskipun pada periode tahun-
tahun berikutnya kedua etnis ini nyaris tidak pernah melakukan kontak fisik berupa perang
dan mulai membangun hubungan melalui bidang penyebaran agama dan perdagangan.
Pada Agustus 2005 pihak pemerintah Indonesia dan GAM bersepakat menandatangani
perjanjian damai di Helsinki Finlandia, yang kemudian melahirkan nota kesepahaman
bersama atau yang biasa dikenal MoU Helsinki. Bahkan setelah damai pun, sikap sentimen
terhadap etnis Jawa pun tetap ditunujukan oleh orang Aceh. Bukti nyatanya adalah, masih
terjadinya tindak kekerasan dan pembunuhan terhadap etnis Jawa yang dilakukan oleh
oknum-oknum tertentu meskipun bukan dilatarbelakangi oleh faktor etnisitas, namun tetap
orang Jawa yang menjadi sasarannya. Meskipun kini, eskalasi kebencian telah menurun
drastis, namun tak menuntut kemungkinan, apabila Jakarta (Jawa) kembali mengkhianati
orang Aceh, akan timbul kembali konflik-konflik baru antar kedua etnis tersebut atau lebih

B. Saran
Menurut saya konflik antara suku aceh dan suku jawa ini akan melahirkan
permasalahan-permasalahan sosial, ekonomi dan agama yang bervariasi, oleh karena itu
pembahasan materi ini sebagai wawasan agar permasalahan antara suku aceh dan suku jawa
di indonesia dapat diatasi dengan sebaiknya.
Kami menyadari bahwa masih banyak kesalahan sehingga belum sempurnanya
makalah kelompok kami. Maka kami harap kritik dan saran yang membangun dari Dosen
pembimbing.
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_Aceh_Merdeka

https://prezi.com/p/h1zyvzo4rkli/konflik-aceh-dengan-jawa/

https://steemit.com/aceh/@aroel/konflik-aceh-dan-jawa-20171229t174455399z

https://www.academia.edu/29923695/Gerakan_Aceh_Merdeka

https://www.kompas.com/stori/read/2021/08/02/130000979/gerakan-aceh-merdeka-latar-
belakang-perkembangan-dan-penyelesaian?page=all

Anda mungkin juga menyukai