Anda di halaman 1dari 6

oleh Amin Saefullah Muchtar pada 5 Januari 2012 pukul 22:51 ·

 Oleh: Amin Muchtar

 2. Fungsi Uang Menurut Konsep Islam

Harta  kekayaan, baik dalam bentuk uang maupun barang dinilai  oleh Allah Swt. sebagai
qiyaman, yaitu sarana pokok kehidupan. Allah swt. berfirman:

‫َواَل تُْؤ تُوا ال ُّسفَهَا َء َأ ْم َوالَ ُك ْم الَّتِي َج َع َل هَّللا ُ لَ ُك ْم قِيَا ًما َوارْ ُزقُوهُ ْم فِيهَا َوا ْكسُوهُ ْم َوقُولُوا لَهُ ْم قَوْ اًل َم ْعرُوفًا‬

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta
(mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.
Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka
kata-kata yang baik. Q.s. An-Nisa:5

Tidak heran  jika  Islam  memerintahkan  untuk menggunakan harta itu pada tempatnya
dan secara baik, serta tidak memboroskannya.  Bahkan memerintahkan  untuk  menjaga 
dan memeliharanya sampai-sampai Alquran melarang pemberian harta kepada
pemiliknya sekalipun, apabila sang pemilik dinilai boros, atau tidak pandai mengurus
hartanya secara baik. Dalam  konteks  ini,  Alquran  berpesan kepada mereka yang diberi
amanat memelihara harta seseorang: “(artinya) Dan janganlah kamu serahkan kepada
orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu)
yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari
hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” Q.s. An-Nisa:5

Bukan  hanya  itu,  Alquran  memerintahkan  siapa  pun   yang melakukan  transaksi 
hutang  piutang,  agar  mencatat  jumlah hutang piutang itu, jangan  sampai  oleh  satu 
dan  lain  hal tercecer hilang atau berkurang.

‫ص ِغيرًا َأوْ َكبِيرًا ِإلَى َأ َجلِ ِه‬


َ ُ‫َواَل تَ ْسَأ ُموا َأ ْن تَ ْكتُبُوه‬

Jangan bosan (enggan) menulisnya sedikit atau banyak sampai batas waktu
pembayarannya. Q.s. Al-Baqarah:282

Bahkan   kalau   perlu   meminta   bantuan    notaris    dalam pencatatannya. Kepada 


notaris  serta  yang  melakukan  transaksi  itu, Allah berpesan pada lanjutan ayat di atas:

‫ق بِ ُك ْم َواتَّقُوا هَّللا َ َويُ َعلِّ ُم ُك ْم هَّللا ُ َوهَّللا ُ بِ ُك ِّل َش ْي ٍء َعلِي ٌم‬ َ ُ‫َوَأ ْش ِهدُوا ِإ َذا تَبَايَ ْعتُ ْم َواَل ي‬
ٌ ‫د َوِإ ْن تَ ْف َعلُوا فَِإنَّهُ فُسُو‬oٌ ‫ضا َّر َكاتِبٌ َواَل َش ِهي‬

Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling
sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu
adalah suatu kefasikan pada dirimu.

Hendaknya  notaris  jangan  merugikan  orang  yang melakukan   transaksi   terutama  


dengan   mengurangi  haknya masing-masing, dan bagi  yang  melakukan  transaksi 
hendaknya jangan  pula  merugikan  sang notaris dalam waktu, tenaga, dan pikirannya
tanpa memberi  imbalan  yang  wajar.  Diperintahkan juga  agar memilih saksi-saksi
dalam hal hutang-piutang, kalau bukan dua orang lelaki, maka  seorang  lelaki  dan  dua 
orang perempuan:

‫ض َّل ِإحْ دَاهُ َما فَتُ َذ ِّك َر ِإحْ دَاهُ َما اُأْل ْخ َرى‬
ِ َ‫َأ ْن ت‬

Agar kalau seseorang tersesat/lupa, maka yang satu lainnya akan mengingatkannya. Q.s
Al-Baqarah:282

Demikian antara lain  kandungan  pesan  ayat  yang  terpanjang dalam Al-Quran.

Pandangan  Al-Quran  terhadap  uang  atau  harta  seperti yang dikemukakan sekilas  ini, 
bertitik  tolak  dari  pandangannya terhadap   naluri   manusia.   Seperti   diketahui,   Al-
Quran memperkenalkan agama Islam antara lain  sebagai  agama  fitrah dalam  arti 
ajaran-ajarannya sejalan dengan jati diri manusia serta naluri positifnya. Dalam  bidang 
harta  atau  keuangan, Kitab Suci umat Islam secara tegas menyatakan: Telah menjadi
naluri manusia kecintaan kepada lawan seksnya, anak-anak, serta harta yang banyak
berupa emas, perak, kuda piaraan, binatang ternak, sawah, dan ladang. Q.s. Ali Imran:l4

"Harta  yang  banyak"  oleh  Al-Quran  disebut   "khair"   (QS Al-Baqarah  [2): 180),
yang arti harfiahnya adalah "kebaikan". Ini bukan saja berarti bahwa  harta  kekayaan 
adalah  sesuatu yang  dinilai  baik,  tetapi  juga  untuk mengisyaratkan bahwa perolehan
dan penggunaannya  harus  pula  dengan  baik.  Tanpa memperhatikan   hal-hal  
tersebut,   manusia  akan  mengalami kesengsaraan dalam hidupnya.

Karena daya tarik uang atau harta seringkali menyilaukan  mata dan  menggiurkan hati,
maka berulang-ulang Alquran dan hadis, memperingatkan agar manusia tidak  tergiur 
oleh  kegemerlapan uang,  atau  diperbudak  olehnya sehingga menjadikan seseorang lupa
akan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi.

Demikian  pandangan sekilas dari Alquran tentang harta dan keuangan serta
pengembangannya dalam kegiatan ekonomi. Pada  hakikatnya pandangan  Alquran
terhadap uang dan harta itu amat positif. Ini menunjukkan bahwa perhatian Islam dalam
masalah ekonomi keuangan sangat besar. Hal itu diperkuat oleh kenyataan sejarah
dimana dalam perekonomian Islam uang dalam fungsinya sebagai alat tukar dan
pengukur nilai telah dicetak sejak zaman Khalifah Umar dan Usman, bahkan mata uang
yang dicetak pada masa Khalifah Ali masih tersimpan dalam sebuah museum di Paris.
Hal ini menunjukkan bahwa dunia Islam telah mengenal mata uang jauh sebelum Adam
Smith, Bapak Ekonomi Konvensional, menulis buku “The Wealth of Nations” pada tahun
1766.

Demikian besarnya penekanan dan perhatian Islam pada ekonomi keuangan, karena itu
tidak mengherankan jika ribuan  kitab Islam membahas konsep ekonomi moneter Islami.
Kitab-kitab fikih senantiasa membahas topik-topik mudharabah, musyarakah,
musahamah, murabahah, ijarah, wadi’ah, wakalah, hawalah, kafalah, jialah, riba, dan
ratusan konsep muamalah lainnya.  Selain dalam kitab-kitab  fikih, terdapat karya-karya
ulama klasik yang sangat melimpah dan secara panjang lebar (luas) membahas konsep
ekonomi keuangan. Pendeknya, kajian-kajian ekonomi keuangan yang dilakukan para
ulama Islam klasik sangat melimpah, misalnya al-Ghazali dan Ibnu Khaldun.

Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, yang ditulis pada awal abad ke-
11, telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau menjelaskan, bahwa ada
kalanya seseorang mempunyai sesuatu yang tidak dibutuhkannya dan membutuhkan
sesuatu yang tidak dimilikinya. Dalam ekonomi barter, transaksi hanya terjadi jika kedua
pihak mempunyai dua kebutuhan sekaligus, yakni pihak pertama membutuhkan barang
pihak kedua dan sebaliknya pihak kedua membutuhkan barang pihak pertama, misalnya
seseorang mempunyai onta dan membutuhkan kain.

Menurut al-Ghazali, walaupun dalam ekonomi barter tetap saja dibutuhkan suatu alat
pengukur nilai yang disebut sebagai “uang”. Sebagaimana contoh di atas, misalnya nilai
onta adalah 100 dinar dan kain senilai 1 dinar. Dengan adanya uang sebagai alat
pengukur nilai, maka uang akan berfungsi sebagai media penukaran.

Namun demikian, uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri, artinya uang diciptakan
untuk memperlancar pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran
tersebut. Menurut al-Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna,
tetapi dapat merefleksikan semua warna. Maksudnya adalah uang tidak mempunyai
harga, tetapi merefleksikan harga semua barang, atau dalam istilah ekonomi klasik
disebutkan bahwa uang tidak memberikan kegunaan langsung (direct utility function),
yang artinya adalah jika uang digunakan untuk membeli barang, maka barang itu yang
akan memberikan kegunaan.

Pembahasan mengenai uang juga terdapat dalam kitab Muqaddimah yang ditulis oleh
Ibnu Khaldun pada abad ke-14. Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa kekayaan suatu negara
tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat
produksi negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Apabila suatu negara
mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bukan merupakan refleksi pesatnya
pertumbuhan sektor produksi, maka uang yang melimpah tersebut tidak ada nilainya.
Sektor produksi merupakan motor penggerak pembangunan suatu negara karena akan
menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan permintaan
(pasar) terhadap produksi lainnya.

Menurut Ibnu Khaldun, jika nilai uang tidak diubah melalui kebijaksanaan pemerintah,
maka kenaikan atau penurunan harga barang semata-mata akan ditentukan oleh kekuatan
penawaran (supply) dan permintaan (demand), sehingga setiap barang akan memiliki
harga keseimbangan. Misalnya, jika di suatu kota makanan yang tersedia lebih banyak
daripada kebutuhan, maka harga makanan akan murah, demikian pula sebaliknya. Inflasi
(kenaikan) harga semua atau sebagian besar jenis barang tidak akan terjadi karena pasar
akan mencari harga keseimbangan setiap jenis barang, karena jika satu barang harganya
naik, namun karena tidak terjangkau oleh daya beli, maka harga akan turun kembali.
Merujuk kepada Alquran, al-Ghazali berpendapat bahwa orang yang menimbun uang
adalah seorang penjahat, karena menimbun uang berarti menarik uang secara sementara
dari peredaran. Dalam teori moneter modern, penimbunan uang berarti memperlambat
perputaran uang. Hal ini berarti memperkecil terjadinya transaksi, sehingga
perekonomian menjadi lesu. Selain itu, al-Ghazali juga menyatakan bahwa mencetak atau
mengedarkan uang palsu lebih berbahaya daripada mencuri seribu dirham, karena
mencuri adalah suatu perbuatan dosa, sedangkan mencetak dan mengedarkan uang palsu
dosanya akan terus berulang setiap kali uang palsu itu dipergunakan dan akan merugikan
siapapun yang menerimanya dalam jangka waktu yang lebih panjang.

Dari sini tampak jelas bahwa al-Ghazali dan Ibnu Khaldun jauh mendahului Adam
Smith, Keyneys, Ricardo dan Robert Malthus. Artinya al-Ghazali dan Ibn Khaldun telah 
menemukan sejumlah besar ide dan pemikiran ekonomi fundamental beberapa abad
sebelum kelahiran ”resminya” (di Eropa).

Menurut konsep ekonomi Syariah, uang adalah uang, bukan capital, sementara dalam
konsep ekonomi konvensional, konsep uang tidak begitu jelas, misalnya dalam buku
“Money, Interest and Capital” karya Colin Rogers, uang diartikan sebagai uang dan
capital secara bergantian, sedangkan dalam konsep ekonomi Syariah uang adalah sesuatu
yang bersifat flow concept (konsep uang mengalir) dan merupakan milik umum (public
goods), sedangkan capital bersifat stock concept (konsep uang mengendap) dan
merupakan private goods (milik pribadi). Uang yang mengalir adalah public goods,
sedangkan yang mengendap menjadi private good.

Islam, telah lebih dahulu mengenal konsep public goods, sedangkan dalam ekonomi
konvensional konsep tersebut baru dikenal pada tahun 1980-an seiring dengan
berkembangnya ilmu ekonomi lingkungan yang banyak membicarakan masalah
externalities, public goods dan sebagainya. Konsep publics goods tercermin dalam sabda
Rasulullah saw., yakni “Tidaklah kalian berserikat dalam tiga hal, kecuali air, api, dan
rumput.”

Persamaan fungsi uang dalam sistem ekonomi Syariah dan konvensional adalah uang
sebagai alat tukar (medium of exchange) dan satuan nilai (unit of account), sedangkan
perbedaannya ekonomi konvensional menambah satu fungsi lagi sebagai penyimpan nilai
(store of value) yang kemudian berkembang menjadi “motif money demand for
speculation” yang merubah fungsi uang sebagai salah satu komoditi perdagangan. Jauh
sebelumnya, Imam al-Ghazali telah memperingatkan bahwa “Memperdagangkan uang
ibarat memenjarakan fungsi uang, jika banyak uang yang diperdagangkan, niscaya
tinggal sedikit uang yang dapat berfungsi sebagai uang.”

Dengan demikian, dalam konsep Islam, uang tidak termasuk dalam fungsi utilitas karena
manfaat yang kita dapatkan bukan dari uang itu secara langsung, melainkan dari
fungsinya sebagai perantara untuk mengubah suatu barang menjadi barang yang lain.
Dampak berubahnya fungsi uang dari sebagai alat tukar dan satuan nilai menjadi
komoditi (barang dagangan) dapat kita rasakan sekarang, yang dikenal dengan teori
“Bubble Gum Economic”.
Namun sebenarnya, dampak tersebut sudah diingatkan oleh Ibnu Tamiyah yang lahir di
zaman pemerintahan Bani Mamluk tahun 1263. Ibnu Tamiyah dalam kitabnya “Majmu’
Fatwa Syaikhul Islam” menyampaikan lima butir peringatan penting mengenai uang
sebagai komoditi, yakni :

1. Perdagangan uang akan memicu inflasi;


2. Hilangnya kepercayaan orang terhadap stabilitas nilai mata uang akan
mengurungkan niat orang untuk melakukan kontrak jangka panjang, dan
menzalimi golongan masyarakat yang berpenghasilan tetap seperti pegawai/
karyawan;
3. Perdagangan dalam negeri akan menurun karena kekhawatiran stabilitas nilai
uang;
4. Perdagangan internasional akan menurun;
5. Logam berharga (emas & perak) yang sebelumnya menjadi nilai intrinsic mata
uang akan mengalir keluar negeri.

Prof.Dr. A. Mannan, salah seorang pakar ekonomi Islam, mengatakan bahwa Islam
mengakui fungsi uang sebagai alat tukar, bukan suatu komoditi. Diterimanya fungsi ini
dengan maksud melenyapkan adanya ketidakadilan, ketidakjujuran, dan pengisapan
dalam ekonomi tukar menukar (barter), karena ketidakjujuran ini digolongkan sebagai
riba al-fazal yang dilarang agama. Karena itu, dalam Islam, ditandaskan Mannan, uang
itu sendiri tidak menghasilkan sesuatu apapun. Dengan demikian, riba (bunga majemuk)
pada uang yang dipinjamkan dan meminjam dilarang.

Oleh karena uang yang diakui sebagai alat tukar yang mempunyai nilai tukar, maka uang
berfungsi juga sebagai pengukur nilai atau satuan hitung. Kalau fungsi uang tersebut
demikian, maka teori nilai uang (value teory of money) dalam kaitannya dengan
preferensi waktu (time preference) menyatakan bahwa uang sejumlah nilai yang sama
berdaya beli lebih rendah di masa datang dibandingkan daya beli pada saat sekarang.
Premis (anggapan) inilah yang menjadi dasar legitimasi praktek pembungaan uang.
Premis ini telah mengajarkan manusia modern untuk menunjuk sejumlah nominal yang
lebih besar di masa datang daripada menuntut jumlahnya pada saat sekarang, agar uang
tersebut memiliki daya beli setara.

Dengan memperhatikan premis di atas dan dengan melihat pendapat Ibn Taimiyah bahwa
uang itu berfungsi sebagai alat tukar dan bahkan Mannan berpendapat bahwa fungsi uang
itu hanya sebagai alat untuk melaksanakan fungsinya sebagai fungsi sosial, yaitu
mempermudah pengukuran nilai barang yang ditukarkan dan fungsi religius, yaitu untuk
mempermudah pengambilan zakat dan pembayarannya pada orang miskin, penulis
berpendapat bahwa uang tersebut berfungsi sebagai alat tukar dan sekaligus sebagai
pengukur nilai. Dengan demikian, supaya fungsi yang dikehendaki itu dapat diwujudkan,
maka nilai tukar uang tersebut kapan saja dimanfaatkan nilainya harus setara. Namun
demikian, dalam hal ini penulis lebih cenderung adanya kemungkinan perubahan nominal
di masa datang untuk menjaga nilai setara. Penulis juga berpendapat bahwa uang tidak
dibolehkan sebagai komoditi, dan uang hanya sebagai alat tukar yang mempunyai nilai
setara nominalnya. Hal ini untuk menjauhi kegiatan spekulasi dengan uang tersebut.
Untuk itu, marilah kita kembali kepada fungsi uang yang legal formal. Artinya dilegalisir
dalam Islam serta diakui dalam ekonomi konvensional, yakni sebagai alat tukar dan
satuan nilai, bukan sebagai salah satu komoditi. Di samping itu perlu dibangun kesadaran
jama'i (kolektif) bahwa sesungguhnya uang itu hanyalah sebagai perantara untuk
menjadikan suatu barang kepada barang yang lain.

Anda mungkin juga menyukai