Disusun oleh :
UNIVERSITAS MALANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak asasi manusia (HAM) adalah prinsip-prinsip moral atau norma-norma yang
menggambarkan standart tertentu dari prilaku manusia dan di lindungi secara teratur sebagai
hak-hak hukum kota dan internasioanal. Mereka umumnya dipahami sebagai hal yang mutlak
sebagai hak-hak dasar yang seseorang secara inheren berhak karena dia adalah manusia. Dan
yang melekat pada manusia, terlepas dari bangsa,lokasi,bahasa,agama,asal usul,etnis atau
status lainnya. Ia berlaku dimana-mana dan pada setiap kali dalam arti dalam arti Universal,
dan ini legaliter dalam arti yang sama bagi setiap orang. HAM membutuhkan empati dan
aturan hukum dan memaksa kewajiban pada orang untuk menghormati hak asasi manusia
dari orang lain. Mereka tidak harus diambil kecuali sebagai proses hukum berdasarkan
keadaan tertentu , misalnya : hak asasi manusia mungkin termasuk kebebasan dari penjara
mmelanggar hukum , penyiksaan, dan eksekusi. Doktrin dari hak asasi manusia telah sangat
berpengaruh dalam hukum internasional , lembaga-lembaga global dan regional.
PEMBAHASAN
Tahun 2013, Rusia dan Turki adalah negara yang paling sering digugat ke Mahkamah
Eropa di Strasbourg. Sejak tahun 1953 diberlakukan Konvensi HAM Eropa yang diawasi
oleh Mahkamah. Setiap penduduk Eropa berhak mengajukan gugatan ke Mahkamah Eropa
kalau merasa hak asasi manusianya dilanggar. Tapi ada syaratnya: Gugatan itu sebelumnya
harus diajukan ke pengadilan nasional dan melewati semua instansi pengadilan sampai
tingkat tertinggi. Setelah itu, baru gugatan bisa diteruskan ke Mahkamah Eropa. Anggota
Konvensi HAM Eropa terdiri dari 47 negara Eropa yang tergabung dalam Dewan Eropa.
Setiap negara anggota diwakili oleh seorang hakim.
Rusia adalah negara dengan gugatan pelanggaran HAM terbanyak, kata Ketua
Mahkamah Dean Spielmann ketika memperkenalkan Neraca Mahkamah Eropa 2013. Tapi ia
menambahkan, jumlah kasus dari Rusia juga turun drastis. Dari sebelumnya 42.000 kasus
turun menjadi 16.800 kasus. "Ini benar-benar hasil yang mengesankan," kata Spielmann.
Tahun 2013, Mahkamah Eropa mengeluarkan 129 vonis terhadap Rusia dan 124 vonis
tehadap Turki. Kedua negara itu memang menduduki peringkat atas dalam pelanggaran
Konvensi HAM Eropa. Kasus-kasusnya kebanyakan berkaitan dengan penangkapan semena-
mena, perlakuan tidak manusiawi atau penyiksaan.
Makin banyak gugatan datang dari Italia, terutama karena proses hukum di negara itu
berlangsung terlalu lama dan sering ditunda-tunda. "Kami sudah mendesak otoritas di Italia
untuk mengubah situasi ini", kata Dean Spielmann.
Tapi banyak juga kritik yang dilancarkan ke Mahkamah Eropa. Seorang hakim Inggris
menyebut Mahkamah di Strasbourg "terlalu banyak aksionisme" dan melanggar kedaulatan
parlemen Inggris. Ia mengusulkan agar Inggris keluar dari Mahkamah Eropa.
Ketua Mahkamah Dean Spielmann menolak tuduhan itu. "Kami tidak menciptakan
aturan hukum baru. Kami hanya menerapkan hukum yang ada sesuai situasi dan kondisi saat
ini. Itu dilakukan oleh semua pengadilan", katanya. Ia menyayangkan jika Inggris keluar dari
Mahkamah Eropa, sebab secara tradisional Inggris selalu punya kontribusi penting untuk
demokrasi dan hak asasi.Keputusan Mahkamah Eropa memang sering menyulut kontroversi
politik. Salah satu kasus yang belum diproses adalah gugatan tentang pelarangan burka di
Perancis
Konvensi HAM Eropa diberlakukan sejak tahun 1953, pesertanya adalah 47 negara
yang tergabung dalam Dewan Eropa. Dugaan adanya penyiksaan terhadap Siyono –terduga
teroris asal Klaten- dalam proses penyelidikan pihak Kepolisian semakin menguat. Tim
Forensik Muhammadiyah akhirnya mengungkapkan ada bekas kekerasan di tubuh jenazah
Siyono. Dugaannya, bekas penyiksaan diperoleh Siyono ketika masih hidup, saat dia usai
diperiksa oleh aparat Densus 88.
Memang, sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, belum bisa
disimpulkan bahwa pihak Densus 88 telah melakukan penyiksaan. Namun, desas-desus atau
dugaan ke arah sana semakin kuat pasca dibukanya hasil forensik itu. Apalagi, kasus
penyiksaan atau intimidasi aparat polisi terhadap tersangka atau bahkan yang masih terduga
pelaku tindak pidana seringkali ditemui.
Kasus seperti itu tidak hanya ditemui di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain.
Mendengar kasus Siyono di atas, saya teringat sebuah kasus yang sempat bikin heboh Jerman
–bahkan Uni Eropa- pada sekira 2002 lalu. Namanya, kasus Gafgen (Gafgen Case). Kasus ini
menjadi bacaan wajib bagi mereka yang mengambil mata kuliah “European Protection of
Human Rights” di program European Law. Ini berkaitan dengan hak asasi seseorang untuk
tidak mengalami penyiksaan.
Tersangka dalam kasus ini adalah Magnus Gafgen, seorang mahasiswa hukum asal
Jerman. Dia menculik seorang anak berusia 11 tahun, berinisial J. Gafgen yang mengenal
kakak perempuan J berpura-pura bahwa jaket kakaknya tertinggal di apartemennya. Lalu,
Gafgen secara sadis mencekik J hingga tewas. Lalu, Gafgen meminta tebusan ke orangtua J
sambil berpura-pura bahwa J masih hidup. Ketika sedang mengambil tebusan, Gafgen
ditangkap polisi. Saat interogasi, polisi terus mendesak Gafgen untuk memberi tahu dimana
ia menyembunyikan J. Saat itu, kepolisian beranggapan bahwa J masih hidup. Hingga
akhirnya, kekerasan dalam penyidikan pun dilakukan.
Gafgen memang akhirnya divonis seumur hidup atas pembunuhan J. Namun, ia tetap tak
terima disiksa oleh pihak Kepolisian. Ia menggugat Kepolisian ke Pengadilan Jerman.
Gugatan itu kandas. Gafgen tak mau menyerah. Gugatan baru disiapkan. Kali ini, gugatan
diajukan ke Pengadilan HAM Eropa terhadap pemerintah Jerman. Ia berargumen bahwa
sikap aparat Kepolisian terhadap dirinya telah melanggar Pasal 3 (larangan terhadap
penyiksaan) dan Pasal 6 (hak untuk mendapat proses pengadilan yang adil) di Konvensi
HAM Eropa.
Dalam putusannya, Pengadilan HAM Eropa memutuskan bahwa telah terjadi penyiksaan
terhadap Gafgen. Pengadilan memutuskan bahwa Jerman bersalah, walau kekerasan
dilakukan pada tahap penyidikan untuk menggali informasi tentang korban. Namun,
Pengadilan HAM Eropa menyatakan tidak ada pelanggaran terhadap “right to a fair trial”.
Akhirnya, berbekal dengan putusan Pengadilan HAM Eropa ini, Gafgen kembali mengajukan
gugatan ke Pengadilan Jerman di Frankfurt. Pengadilan memerintahkan Pemerintah Jerman
untuk membayar ganti rugi sebesar 3.000 euro (setara dengan Rp 44,5 juta) ke Gafgen.
Kasus Gafgen memang berbeda dengan Siyono. Ketika diperiksa polisi, Gafgen sudah
berstatus sebagai tersangka, sedangkan Siyono masih berstatus terduga. Artinya, Siyono
diperiksa masih pada tahap penyelidikan (bukan penyidikan), yakni masih mencari ada atau
tidaknya tindak pidana. Bahkan, dalam kondisi seperti Gafgen sekalipun, penyiksaan
terhadap tersangka tetap tidak diperbolehkan.
Melihat kasus Gafgen, Pengadilan HAM Eropa telah memberi pelajaran berharga, bahwa
penyiksaan tidak boleh dilakukan dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Munculnya hak asasi manusia universal ditandai dengan lahirnya deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (Declaration Of Human Right) pada tanggal 10 desember 1948 oleh PBB
yang berisi 30 pasal. Deklarasi tersebut diadopsi untuk menjadi standart dan norma mengenai
hak asasi manusia saat ini. Dari deklarasi tersebut kemudian diikuti oleh dua covenant pada
tahun 1966. Dua covenant itu meliputi internasioanal tentang hak-hak sipil (International
Covenant On Civil And Political Right) dan politik dan covenant internasional tentang hak-
hak ekonomi,social dan budaya (International Covenant On Economic, Social Dan Cultural
Right)
Tidak hanya soal agama dan pendidikan saja, dimata hukum pun HAM
secara umum berlaku di setiap masyarakat dan berhak untuk
mendapatkan perlindungan hukum secara Sah, tidak terlepas siapakah
orangnya, baik pejabat ataupun bukan, miskin atau kaya semuanya
berhak mendapatkan perlindungan HAM tersebut.
Kelemahan :
4.Kedewasaan Berpolitik.
5.Hukum HAM sifatnya internasional, maka apabila di suatu wilayah melarang hal terlarang,
tapi di wilayah lain memperbolehkan maka hal tersebut masih di halalkan oleh hukum HAM