1. Maskumambang
Maskumambang menceritakan tentang fase pertama kehidupan manusia yaitu
pada saat masih berada di dalam kandungan. Karakter tembang ini
menggambarkan kesedihan, ketidakberdayaan, serta sikap cemas menghadapi
kehidupan.
2. Mijil
Mijil melambangkan tentang suatu bentuk sebuah biji atau benih yang lahir ke
dunia. Atau secara filosofis tembang ini menggambarkan tentang kelahiran
manusia di dunia. Tembang Mijil memiliki watak pengharapan, belas kasih, dan
ketabahan menjalani hidup.
3. Kinanthi
Tembang Kinanthi berasal dari kata kanthi yang berarti tuntunan. Tembang ini
memiliki makna tentang pembentukan jati diri, cita-cita serta makna diri.
Tembang Kinanthi memiliki watak penuh cinta kasih dan senang.
4. Sinom
Secara bahasa Sinom berarti daun muda. Atau memiliki makna yaitu
penggambaran masa muda manusia yang sedang tumbuh dan berkembang.
Tembang Sinom memiliki watak gembira dan senang.
Nuladha laku utama,, tumraping wong tanah Jawi,, wong agung ing
Ngeksiganda,, panembahan Senapati, kepati amarsudi, sudane hawa lan nepsu,,
pinesu tapa brata,, tanapi ing siyang ratri, amemangun karyenak tyas ing
sasama.
Makna
Contohlah perilaku utama, bagi kalangan orang Jawa (Nusantara), penguasa dari
Ngeksiganda (Mataram), panembahan Senopati, yang selalu tekun, mengurangi
hawa nafsu, dengan jalan prihatin (bertapa), baik siang maupun malam, selalu
berkarya membuat tenteram bagi sesama.
5. Asmarandana
Tembang Asmarandana adalah jenis tembang yang menceritakan kehidupan
manusia ketika sedang kasmaran dengan lawan jenisnya. Makna dari tembang ini
adalah tentang kisah cinta yang dialami anak muda yang sedang membara. Watak
dari tembang Asmarandana adalah kasmaran, cinta kasih, sedih dan prihatin.
6. Gambuh
Tembang Gambuh menceritakan tentang bagaimana menjalin hubungan antar
manusia. Selain itu tembang ini juga mengajarkan kita untuk membangun
hubungan dengan Tuhan. Tembang Gambuh juga banyak menceritakan tentang
kebersamaan, toleransi, dan juga rasa persaudaraan. Watak dari tembang Gambuh
adalah ramah kepada siapa pun serta menjalin persaudaraan yang erat.
Aja nganti kabanjur, jangan sampai terlanjur, barang polah ingkang nora jujur,
bertingkah polah yang tidak jujur, yen kebanjur sayekti kojur tan becik,, jika
telanjur tentu akan celaka dan tidak baik, becik ngupayaa iku, lebih baik
berusahalah, pitutur ingkang sayektos, ikuti ajaran yang sejati, Tutur bener puniku,
ucapan yang benar itu, sayektine apantes tiniru,, sejatinya pantas untuk diikuti,
nadyan metu saking wong sudra papeki, meskipun keluar dari orang yang rendah
derajatnya, lamun becik nggone muruk, ‘jika baik dalam mengajarkan, iku pantes
sira anggo, ‘itu pantas engkau gunakan’ Ana pocapanipun, ada sebuah ungkapan
adiguna adigang adigung,adiguna, adigang, adigung pan adigang kidang adigung
pan esthi, adigang itu seperti kijang, adigung itu seperti gajah adiguna ula iku,
adiguna itu ular, telu pisan mati sampyuh. ketiganya mati bersama secara sia-sia Si
kidang ambegipun, si kijang memiliki watak ngendelaken kebat lumpatipun,
menyombongkan kecepatannya berlari, pan si gajah ngendelaken gung ainggil, si
gajah menyombongkan tubuhnya yang tinggi besar, ula ngendelaken iku, ular
menyombongkan, mandine kalamun nyakot, keampuhannya ketika menggigit, Iku
upamanipun, itu sebuah perumpamaan, aja ngendelaken sira iku, jangan
menyombongkan diri, suteng nata iya sapa kumawani,, anak seorang raja siapa
yang berani, iku ambeke wong digang, itu perilaku yang adigang, ing wasana dadi
asor, pada akhirnya malah merendahkan martabat, Adiguna puniku, watak adiguna
itu, ngendelaken kapinteranipun, menyombongkan kepandaiannya, samubarang
kabisan dipundheweki, seolah semua bisa dilakukan sendiri, sapa bisa kaya ingsun,
siapa yang bisa seperti aku, togging prana nora enjoh, pada akhirnya tak bisa
berbuat apa-apa, Ambek adigung iku,watak orang adigung itu, angungasaken ing
kasuranipun, menyombongkan keperkasaannya, para tantang candhala
anyenyampahi, semua ditantang berkelahi dan diremehkan, tinemenan nora pecus,,
padahal jika diladeni, ia tak berdaya, satemah dadi geguyon, akhirnya menjadi
bahan tertawaan , Ing wong urip puniku, dalam kehidupan manusia, aja nganggo
ambek kang tetelu, jangan sampai memiliki watak ketiga tadi, anganggoa rereh
ririh ngati-ati, milikilah sifat sabar, cermat, dan berhati-hati, den kawangwang
barang laku, selalu introspeksi pada tingkah laku, kang waskitha solahing wong.
pandailah membaca perilaku orang lain
7. Dhandhanggula
Tembang Dhandhanggula memiliki makna pengungkapan cita-cita dan harapan
kepada manusia. Tembang ini mengajarkan kita untuk selalu bersyukur terhadap
nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan. Watak dari tembang Dhandhanggula
yaitu kerja keras, kegigihan dan perjuangan.
Nanging yen sira ngguguru kaki, amiliha manungsa kang nyata, ingkang becik
martabate, sarta kang wruh ing kukum, kang ngibadah lan kang ngirangi, sukur
oleh wong tapa, ingkang wus amungkul, tan mikir pawewehing liyan, iku pantes
sira guronana kaki, sartane kawruhana.
Makna
Jika engkau berguru, Nak, pilihlah guru yang sebenarnya, yang baik martabatnya,
memahami hukum, dan rajin beribadah, syukur-syukur jika menemukan pertapa,
yang sudah mumpuni, tanpa mengharapkan imbalan, dialah yang pantas kau
jadikan guru, serta menimba pengetahuan.
8. Durma
Tembang Durma menggambarkan sifat dan karakter manusia yang sedang lalai
dan ingin menang sendiri. Masa tersebut biasanya dialami oleh manusia dewasa
yang telah mampu mendapatkan kesuksesan dan kejayaan hidupnya. Tembang ini
memiliki watak keras, sombong dan angkuh.
Makna
Hendaklah kalian menahan diri, mengurangi makan dan tidur, agar berkurang,
nafsu yang tidak keruan, tenangkan hati kalian, jadi segalanya, agar lestari.
9. Pangkur
Tembang Pangkur memiliki makna yaitu sebagai pengingat manusia untuk
mengenang masa lalunya yang buruk dan mengajaknya untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan. Pangkur berasal dari kata 'mungkur' yang berarti mundur,
menjauhkan diri dan pergi. Tembang Pangkur memiliki watak gagah,
bersemangat serta ketulusan hati yang besar.
10. Megatruh
Megatruh berasal dari kata Bahasa Jawa yaitu 'megat' yang artinya berpisah dan
'ruh' yang artinya jiwa. Tembang Megatruh memiliki makna berpisah dengan
jiwa lalu menuju alam keabadian. Watak tembang Megatruh adalah kesedihan
yang mendalam dan berduka.
Makna
Mengalirlah segera sang rakit ditopang buaya, empat puluh penjaganya, di depan
juga di belakang, taklupa pula di kanan kiri, sang rakit pun berjalan pelan.
11. Pucung
Tembang Pocung berada di urutan terakhir dalam 11 fase tembang macapat.
Tembang Pocung menceritakan tentang perjalanan hidup manusia yang paling
akhir. Makna dari tembang ini adalah agar kita dapat selalu mengingat kematian.
Watak dari tembang Pocung yaitu berisi nasehat dan bahagia.
Beberapa tembang dengan bentuk-bentuk syair tersebut sangat menarik untuk
diteliti. Namun, penulis pada saat ini ingin memfokuskan tentang tembang
pangkur relevansinya dengan tembang nilai-nilai moral.
Mingkar-
mingkuring
angkara,Akarana
karenan mardi siwi,
Sinawung
resmining kidung,
Akarana karenan
mardi siwi,
Sinawung
resmining kidung,
Sinuba sinukarta,
Mrih kretarta pakartining
ngelmu luhung,Kang tumrap
neng tanah Jawi,
Agama ageming aji.
Karya-karya yang muncul di Nusantara merupakan penyumbang
khasanah budaya yang paling dominan. Pulau Jawa tempat berdiamnya
orang Jawa dengan segala budayanya selalu menjadi center peradaban. Oleh
karena itu wilayah pulau Jawa sebagai kediaman orang Jawa menjadi
rujukan entitas budaya lain di seantero nusantara. Fakta ini terlihat dalam
gaya hidup, cara berpikir, dialek, cara bergaul, menjadi trend center atau
tempat masyarakat lainnya untuk mengimitasi secara total. Fakta ini jelas
mengedepankan posisi budaya Jawa yang diperankan orang Jawa menjadi
determinan.
Karya dalam bait Pangkur karya Mangkunegara IV ini menyiratkan
banyak hal bagi orang Jawa. Karya ini lahir secara alami sebagai kristalisasi
pikiran dan perasaan orang Jawa seperti perasaan Mangkunagara IV. Apa
yang dimaksud Mangkunegara IV belum tentu bisa diserap oleh orang Jawa.
Setiap karya yang dihasilkan pada masa itu tentu menjelaskan suasana
pikiran dan perasaan penulisnya. Dalam menuju sebuah penafsiran yang
dikehendaki menggambarkan atau menyimbulkan apa yang dialami penulis.
Hal ini dapat dipahami apakah masyarakat Jawa semua merasakan seperti
saat ini. Indonesia sedang mengalami kondisi kehidupan yang boleh
dikatakan,krisis moral, krisis ekonomi, krisis tata nilai.
Bait-bait dalam tulisan Mangkunegaran sebuah bentuk kontrol sosial
yang berisi ajaran pendidikan moralitas Mangkunegaran IV merupakan
sosok budayawan yang populer dan karyanya banyak dikenang oleh
masyarakat Jawa. Berdasarkan karya beliau tersebut entitas budaya
masyarakat Jawa memperoleh ajaran/tuntunan yang sangat luar biasa. Oleh
karena itu tidak jarang Mangkunegaran bisa disetarakan seorang wali dengan
berdasar pada karya monumentalnya banyak dianut hampir seluruh
masyarakat Jawa. Salah satu karyanya adalah serat Wedhatama yang banyak
dikenal para sastrawan, para budayawan, masyarakat awam sebagai karya
yang berkualitas maka dijuluki master-piece. Naskah asli karya tersebut
terdapat dalam Perpustakaan Istana Mangkunegara Surakarta.dalam bentuk
tembang mocopatdengan menggunakan Bahasa Jawa Kromo, Bahasa Jawa
Ngoko, Bahasa Jawa Kuna. Isi karya tersebut sebuah ajaran pendidikan
moralitas yang berisi dorongan, himbauan, kritikan, ajakan yang dirangkai
secara kohesif dan koherensif dalam bait- bait Mocopat. Oleh karena itu
karya ini sebagai kontrol sosial dalam kehidupan masyarakat.
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan pendekatan
fenomenologi. Metode kualitatif merupakan metode yang tidak berdasarkan
pada angka-angka namun mendasarkan pada langkah-langkah antara lain;
penentuan lokasi, penentuan informan, dokumentasi, wawancara dan
analisis data. Informan sebagai pusat data. Penggalian informasi dilakukan
dengan wawancara secara mendalam. Sedang sebagai instrumen penelitian
adalah peneliti sendiri sehingga peneliti berusaha memaknai data dari hasil
penelitian yang dihasilkan. Penelitian kualitatif ini bertujuan
menggambarkan realitas, situasi dan berbagai fenomena sosial. Jadi realitas
merupakan ciri, nilai sifat, model sesuai dengan objek yang diteliti yakni
tembang Pangkur Karya Mangkunegara IV sebagai kontrol sosial.
D. PEMBAHASAN
Tersohornya karya Mangkunegara dalam bait Pangkur sungguh
menarik untuk dipelajari dengan sungguh. Kajian yang mendekati realitas
budaya ini dilandasibeberapa sudut pandang antara lain sudut pandang sosial
sudut pandang budaya dan sudut pandang perubahan sosial budaya. Sudut
pandang budaya bagaimana bait Pangkur karya Mangkunegaran ini
dimaknai oleh orang Jawa sejak dulu hingga saat ini. Sudut pandang sosial
Karya Mangkunegaran ini sebagai produk tunggal mampu mempengaruhi
pola hubungan antar warga budaya masyarakat Jawa. Sudut pandang
perubahan sosial Karya Mangkunegara dengan bait Pangkur dari dahulu
hingga saat ini keberadaannya telah menimbulkan efek pergeseran dan
perubahan pola perilaku sosial budaya dari yang tidak baik menjadi perilaku
yang baik.
1. Perspektif Budaya
Mangkunegaran IV dengan karyanya dalam Serat Wedhatama pada
bait Pangkur menurut Surya Sumantri (1997) dalam penjelasannya
menyebutkan bahwa kehidupan manusia ada lima hal antara lain agama,
mitos filsafat dan seni. Lima hal tersebut dapat digolongkan sebagai inti
persoalan antropologi. Pada ilmu antropologi sosial inilah terdapat disiplin
etnologi, linguistik, arkeologi. Bentuk mitos, agama, filsafat dan seni
menunjukkan menjelaskan bahwa aktifitas manusia sungguh dilandasi pada
kepentingan tersebut. Apa yang melatarbelakangi Mangkunegaran IV
menulis bait tersebut Mangkunegara IV merupakan sosok manusia yang
memproduksi sebuah karya dengan berbagai alasan. Konsep seni dalam hal
ini tembang Mocopat Bait Pangkur dalam serat Wedhatama yang hidup
pada saat seni budaya Jawa dijunjung tinggi, kata kata dalam bentuk
tembang Pangkur tersebut menjadi sebuah karya yang dihadirkan untuk
dinikmati sekaligus direnungi maknanya sebagai dasar kehidupan manusia
pada jamannya. Tembang Pangkur tersebut sangat tepat apabila digolongkan
sebagai seni. Disamping tinjauan filsafat akan menguatkan bahwa produk
budaya tersebut sebagai hasil aktifitas K.G.P.A.A Mangkunegaran IV.
Sebelum Mangkunegara IV menulis bait tersebut sastrawan/pujangga
tersebut melakukan perenungan yang sangat mendalam. Hasil kontempelasi
memberikan resolusi yang luar biasa, khususnya dalam memotret keadaan
tersebut. Apabila dikaji dalam agama orang Jawa. Ada kalimat (mingkar-
mingkuring angkara, agama
ageming aji). Kalimat ini sebuah bentuk akulturasi antara Jawa dan Agama.
Itulah sebuah filosofi yang pada akhirnya dijadikan sebuah pegangan
akfitifitas. Bentuk kata “mingkar mingkur” merupakan sebuah ajaran yang
menjadi dasar hidup untuk menghindari angkara agar tercapai keselamatan.
Mangkunegaran hendak dielaborasi untuk menginstruksi suatu harmoni
budaya yang berujung keselamatan. Hal ini seperti dikatakan Straus dalam
Restrospeksi (176;2011) bahwa manusia jelimenemukan tanda-tanda khusus
seperti ungkapan-ungkapan. Dalam tulisan ini sebuah ungkapan dalam
tembang.
2. Perspektif Sosial
Dalam konteks ini bait Pangkur Mangkunegaran menarik dianalisis
menggunakan konsep interaksi simbolik,yakni menjelaskan konsep dari
sosial bahwa manusia merupakan satu-satuya yang menggunakan bahasa.
Manusia merupakan makhluk individu sekaligus makhluk sosial selalu
berinteraksi dan melakukan hubungan sosial dengan manusia lainnya. Untuk
menjalin sosial diperlukan suatu alat yakni bahasa untuk bisa mengadakan
kontak dengan lingkungannya. Berdasarkan hal tersebut maka bait-bait
karya Mangkunegaran IV tersebut sebagai kontak untuk memberikan
tuntunan perilaku pada manusia.
Ungkapan-ungkapan yang muncul dalam pola keseharian
masyarakat seperti (mrih kertarta pakartining ngelmu luhur) dalam Serat
Wedhatama mengharapkan suatu pesan agar terhindar dari penyimpangan
(mingkar mingkur ing angkara) dan ditutup suatu kalimat pesan “agama
ageming aji”. Semua ungkapan ini artinya segala bentuk interaksi yang
kontradiktif, kontraventif bernuansa konflik, deviatif dan cenderung pada
kekerasan akan sirna dengan menanamkan suatu spirit agama ageming aji
yang maknanya sebagai orang yang pandai hendaknya paham bahwa agama
adalah suatu bentuk tuntunan yang baik untuk menuju harmoni sosial.
3. Perspektif Perubahan Budaya
Bentuk perubahan budaya disebabkan oleh ketidaksamaan adanya
unsur-unsursosial budaya yang berbeda,yang akhirnya menjadi disharmoni
dan disfungsi. Hal ini dikatakan Gillin bahwa perubahan sosial budaya
merupakan suatu variasi dari cara hidup yang diterima yang disebabkan
perubahan kondisi geografis, komposisi penduduk, kebudayaan materiil,
ideologi maupun adanya disfusi dan penemuan baru dalam masyarakat.
Masyarakat Jawa sebagai bagian entitas sosial budaya bergulir sejalan waktu
juga mengalami suatu perubahan budaya. Hal itu terbukti sejak jaman
Mangkunegaran hingga sekarang telah mengalami pertumbuhan diantaranya
mulai jaman kerajaan, jaman penjajahan Belanda, jaman penjajahan
Jepang, jaman orde lama, jaman orde baru sampai sekarang tidak ada arah
yang jelas bentuk konflik, bentuk perubahan sesuatu yang harus terjadi.
Mangkunegaran terbukti memperjelas kejadian itu dengan bait Pangkurnya
yakni “mingkar mingkuring angkara” juga “agama ageming aji”. Bait ini
menjadi suatu tanda atau alasan bahwa situasi konflik dan ketegangan
menjadi kehidupan sehari-hari (everyday life). Keadaan yang dibayangkan
Mangkunegaran beberapa abad yang lalu ternyata dirasakan masyarakat
Jawa dan umumnya masyarakat Indonesia. Realisme dan sikap perilaku
tersebut patut direnungi sebagai bagian integral dan inheren masyarakat
Jawa.
Pada akhirnya teori perubahan sosial budaya baik perubahan cepat
(revolusiisme) atau bentuk perubahan lambat atau (evolusionis) dan bentuk
progresif atau perubahan belakang merupakan sebuah refleksi bait Pangkur
Mangkunegoro IV yang maknanya tertulisnya bait tersebut suatu kontrol
sosial untuk keselamatan yang dibangun dengan sikap perilaku agar
senantiasa menghindari segala perbuatan yang tidak baik yang
membahayakan dalam hal ini “mingkar mingkuring angkara” dan baris
selanjutnya “agama ageming aji”.
4. Simbolisasi Bahasa Sebagai Kontrol Sosial
Bahasa memegang peranan penting dalam menghadapi tanda-tanda
dalam bentuk bahasa. Secara kokoh bahasa mampu mendirikan bangunan
representasi simbolik. Bahasa pada kenyataan sosial mampu membangun
makna-makna yang dimiliki para pelaku dalam suatu interaksi. Ungkapan–
ungkapan yang dipetik dalam bait Pangkur Mangkunegoro dapat dipetik
sebagai spirit budaya yang selalu muncul sampai sekarang yakni manusia
dituntut untuk menghindari angkoro (mingkar mingkuring angkara.
Berdasarkan analisis wacana dalam bahasa yang tersirat dalam bait
Pangkur Serat Wedhatama menjelaskan suatu diskripsi tindak ilokosi yang
mempunyai makna suatu penekanan dari tindak tutur dalam hal ini
Mangkunegara. Penekanan yang dimaksud adalah memberitahukan,
menyarankan, menganjurkan menasehati. Terjemahan bait Pangkur dalam
serat Wedhatama ini Mangkunegaran IV mengajak, menganjurkan
menasehati agar masyarakat mampu menjauhi hawa nafsu agar
mendapatkan keselamatan. Ungkapan bahasa dalam bait Pangkur ini
K.G.P.A.A Mangkunegaran IV statusnya sebagai pujangga penutur,
memberitahukan atau menyampaikan ajaran budi luhur dan menuntun
manusia. Dalam hal ini masyarakat Jawa untuk memiliki watak ke-Tuhanan
(agama ageming aji) pada akhirnya harmonisasi dan keseimbangan akan
terwujud hanya dengan mengedepankan sikap perilaku atas dasar “mingkar
mingkuring angkoro”.
E. KESIMPULAN
Bait Pangkur dalam Serat Wedhatama menempati posisi sentral
sebagai karyacipta yang sungguh diminati masyarakat Jawa. Karya teruji
sebagai tuntunan orang Jawa mengandung tatanan moralitas dan sebagai
kontrol sosial. Deretan kata-kata dalam bait Pangkur, Mingkar mingkuring
angkara, akarana karenan mardi siwi, sinawung resmining kidung, sinuba
sinukarta, mrih kertarta pakartining ngelmu kuhur,kang tumrap neng tanah
Jawi, agama ageming aji menyiratkan dinamika interaktif dalam entitas
sosial budaya. Karya ini sudah teruji dari sudut pandang budaya, sudut
pandang sosial maupun sudut pandang perubahan sosial budaya. Bait
Pangkur Mangkunegaran pada konteks ini mengedepankan nilai budi pekerti
yang luhur untuk mencapai keselamatan. Hal ini tertulis dalam ungkapan
agama ageming aji.
Bait Pangkur Mangkunegaran berhasil direnungkan dan ditulis. Hal
ini merupakan sebuah data bahwa pada jamannya telah terjadi konflik,
penyimpangan, ketegangan (kontroversial), kompetisi dan tindakan–
tindakan agresif dan destruktif. Oleh karena itu Mangkunegaran yang
berstatus pujangga menyampaikan imperatif dengan menjaga harmonisasi
dan keseimbangan dengan mengedepankan sikap perilaku sebagai wujud
kontrol sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Johnson, Paul. 1994. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia
Nasional. Jakarta:
UI Press.
Wacana. Sundari, Asri. 2000. Bentuk Gaya Bahasa dalam Bahasa Jawa.
Jember: Pusat
Pengembangan Budaya Jawa (Sanggar Mustika Budaya)
----------------.2011. Mengangan-
angan KeIndonesiaan dalam Perspektif
Sejarah,Sastra, Budaya. Yogyakarta: Kepel Press