Anda di halaman 1dari 7

Kelompok B

1. Meistein Bangowa
2. Evalin Lalala
3. Jelita Polakian
4. Nofela Debora Laganda
5. Deivy Gebby Lemeng
6. Anggita Delfi Aiba
7. Destiana Tahulending
8. Agnes Natasya Lolaroh
9. Imanuela Tambayong
10. Christover S. Makarantuge

Haruskah gereja wajib membayar pajak ke negara? Jawabannya tidak wajib

 Pengertian Pajak

Menurut Undang-Undang dan Tata Cara Perpajakan, pajak adalah kontribusi Wajib Pajak kepada Negara yang
terutang oleh Orang Pribadi atau Badan yang bersifat yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang sifatnya
dapat di paksakan dan di pungut oleh Undang-Undang, serta tidak mendapat imbalan secara langsung dan di
gunakan untuk keperluan Negara bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Terdapat beberapa pengertian atau
definisi dari pajak berdasarkan pendapatan para ahli yang Nampak berbeda namun mempunyai inti dan tujuan
yang sama adalah sebagai berikut:

Pengertian pajak menurut Nj. Peldman dalam buku De Over Heidsmiddelen Van Indonesia (terjemahan):
pajak adalah prestasi yang di paksakan sepihak oleh dan terutang kepada pengusaha (menurut norma-norma
yang di tetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi yang dapat di tunjukan dalam hal yang individual,
di maksudkan unntuk membiayai pengeluaran pemerintah.

Menurut Rochmat Soemitro yang di kutip oleh Madiasmo bahwa: “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas
Negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat di paksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal (kontra
prestasi) yang langsung dapat di tunjukkan dan yang di gunakan untuk membayar pengeluaran umum”.

Menurut S.I. Djajadiningrat yang di kutip oleh Siti Resmi bahwa: “Pajak adalah sebagai suatu kewajiban
menyerahkan asebagai dari kekayaan ke kas Negara yang di sebabkan suatu keadaan, kejadian,dan perbuatan
yang memeberikan kedudukan tertentu,tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang di tetapakan
pemerintah serta dapat di paksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari Negara secara langsung untuk
memelihara kesejahtraan secara umum”.

Dari beberapa definisi di atas yang telah di kemukakan oleh beberapa ahli bahwa terdapat ciri-ciri yang melekat
pada pengertian pajak yaitu sebagai berikut:

1. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undangundang serta aturan pelaksanaannya.
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat di tunjukan antara kontraprestasi individual oleh pemerintah.
3. Pajak di pungut oleh Negara, baik pemerintah pusat maupunpemerintah daerah.
4. Pajak di peruntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dalam pemasukannya masih
terdapat surplus, di gunakan untuk membiayai.
 Fungsi Pajak

Pajak mempunyai peranan penting dalam kehidupan bernegara, khususnya dalam pelaksanaan pebangunan
karena pajak merupakan sumber pendapatan Negara untuk membiayai semua pengeluaran, termasuk
pengeluaran pembangunan.Pajak mempunyai beberapa fungsi yaitu sebagai berikut:

a. Fungsi anggaran (budgetair)

Fungsi ini terletak pada sector fublik, yaitu mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya, sesuai dengan
undang-undang yang berlaku untuk membiayai pengeluaran Negara. Sebagai suber pendapatan Negara pajak,
berfungsi untuk membiayai pengeluaran Negara.untuk menjalankan tugas-tugas rutin Negara dan melaksanakan
pembangunan. Digunakan untuk pembiayaan rutin, seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan
segainya.

b. Fungsi mengatur (regulered)

Fungsi mengatur berarti pajak di jadikan alat bagi pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu, baik dalam bidang
ekonomi moneter, social, kultural, maupun dalam bidang politik. Selain dua fungsi di atas, pajak juga memiliki
fungsi lain yaitu:

1) Fungsi stabilitas

Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk melaksanakan kebijakan yang berkaitan dengan stabilitas
harga sehingga inflasi dapat di kendalikan. Hal ini dapat di lakukan dengan mengatur peredaran uang yang
beredar di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.

2) Fungsi redistribusi pendapatan

Pajak yang sudah di pungut oleh Negara di gunakan untuk membiayai kepentingan umum, termasuk untuk
membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja yang pada akhirnya akan meningkatkan
pendapatan masyarakat.

3) Fungsi demokrasi

Pajak yang sudah di fungut oleh Negara merupakan wujud sitem gotong royong. Fungsi ini di kaitkan dengan
tingkat pelayanan pemerintah kepada masyarakat pembayar pajak.

 Jenis Pajak

Pajak dapat di kelompokan ke dalam tiga jenis, yaitu:

a) Berdasarkan golongannya, pajak di kelompokan atas dua golongan yaitu:

1. Pajak Langsung
Pajak yang harus di pikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat di bebankan atau tidak dapat di
limpahkan kepada orang lain.Contoh: PPh, PPN, PPn BM, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan
Bea Materai.
2. Pajak Tidak Langsung
3. Pajak yang pada akhirnya dapat di bebankan atau dapat di limpahkan kepada orang lain. Contoh:
Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
b) Berdasarkan sifatnya

1. Pajak Subjektif
Pajak berpangkal atau berada pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
Contoh: Pajak Penghasilan (PPn).
2. Pajak Objektif
Pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh:
Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak atas Barang Mewah (PPn BM).

c) Berdasarkan Lembaga Pemungutannya.

1. Pajak Pusat
Pajak yang di pungut oleh pemerintah pusat dan di gunakan untuk membiayai rumah tangga Negara.
Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Atas Penjualan Barang Mewah, Pajak
Bumi dan Bangunan Dan Beamatrai.
2. Pajak Daerah
Pajak yang di pungut oleh pemerintah daerah dan di gunakan untuk membiayai rumah tangga
daerah.
a. Pajak provinsi, contoh: pajak kendaraan bermotor dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor.
b. Pajak kabupaten/kota, contoh: pajak hotel pajak restoran pajak hiburan.

 Tarif Pajak

Ada empat macam tarif pajak di antaranya :

a. Tarif Tetap
Suatu tarif yang berupa suatu jumlah tertentu yang sifatnya tetap dan tidak dipengaruhi oleh besarnya
jumlah dasar pajak (tak base), objek pajak maupun subjek pajak /wajib pajak.
b. Tarif Proposional/ Sebanding atau sepadan.
Tarif ini merupakan sebuah” persentase tunggal” yang di kenakan objek pajak berapapun nilainya. Jadi
apabila tarif ini di tetapkan di tentukan oleh jumlah/nilai dasar objek yang di kenai pajak (take base).
c. Tarif Progresif (Persentase Meningkat).
Tarif ini berupa persentase yang meningkat seiring peningkatan jumlah yang di kenai pajak.
d. Tarif Degresif (Persentase Menurun).
Tarif ini berupa persentase yang menurun seiring dengan meningkatnya jumlah yang di kenai pajak.

Di dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 2 ayat (1) sangat jelas menyebutkan bahwa yang menjadi
subjek pajak diantaranya adalah :

a. Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar
Indonesia.
b. Badan, sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha
maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa
pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak
investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Sehingga berdasarkan hal di atas, sangat jelas bahwa baik gereja yang merupakan persekutuan, perkumpulan,
yayasan, lembaga dan bentuk lainnya adalah subjek pajak demikian dengan pula Pendeta yang merupakan orang
pribadi yang dapat bertempat tinggal di Indonesia atau di luar Indonesia.

 Argumentasi

Berdasarkan UU PPH pasal 4 ayat 3 terdapat pengecualian yakni bantuan atau sumbangan, harta hibah,dll. Jadi
dalam hal ini tidak ada dasar untuk mengenakan pajak terhadap pendapatan gereja karena gereja hanya
menerima bantuan dan sumbangan yang berupa alat-alat perlengkapan gereja, kendaraan operasional gereja dan
lain-lain yang di dapat dari kelompok, organisasi, perorangan dan juga pemerintah. Sedangkan hibah dapat berupa
tanah dan bangunan serta lainnya, dan yang terakhir persembahan yang didapat dari jemaat.

Di dalam Ketentuan Perundang-undangan Pajak Bumi dan Bangunan yaitu Undang-undang nomor 12 Tahun 1985
tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun 1994
disebutkan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a bahwa Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan
adalah objek pajak yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial,
kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan, seperti
mesjid, gereja, rumah sakit pemerintah, sekolah, panti asuhan.

Terlebih dahulu kita tentukan apa saja Sumber Pendapatan Gereja :

1. Sumbangan atau bantuan : dapat berupa alat-alat perlengkapan gereja, kendaraan operasional gereja
dan lain-lain yang didapat dari kelompok organisasi, perorangan, pemerintah dll.
2. Hibah : dapat berupa Tanah dan Bangunan atau lainnya
3. Persembahan : didapat dari jemaat baik berupa kolekte maupun ucapan syukur

Dari Sumber Pendapatan Gereja yang telah disebutkan diatas, kita dapat lihat dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh,
yang dikecualikan dari objek pajak :

1. Bantuan atau sumbangan


2. Harta hibah
3. Warisan
4. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang tertentu
5. Iuran yang diterima dari dana pensiun
6. Imbalan atau pemberian dalam bentuk natura dan kenikmatan

Berdasarkan angka 1 dan 2, dapat ditelisik lebih dalam lagi.

(1) Bantuan atau Sumbangan dikecualikan sebagai objek pajak penghasilan, sepanjang tidak
berhubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan di antara pihak-pihak
bersangkutan.
(2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 245/PMK.03/2008 menyatakan bahwa harta hibah, bantuan,
atau sumbangan yang dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan yaitu harta hibah, bantuan,
atau sumbangan yang diterima oleh salah satunya adalah lembaga keagamaan yang kegiatannya
semata-mata mengurus tempat-tempat ibadah dan/atau menyelenggarakan kegiatan di bidang
keagamaan, yang tidak mencari keuntungan.
 Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Objek Pajak Yang Tidak Dikenakan PBB (UU 12/1985 diubah UU 12/1994), yaitu:

(1) Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial, kesehatan,
pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan,
seperti mesjid, gereja, rumah sakit pemerintah, sekolah, panti asuhan, candi.
(2) Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis dengan itu.
(3) Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang
dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.
(4) Digunakan oleh perwakilan diplomatik berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
(5) Digunakan oleh badan dan perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri
Keuangan.

 Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang
diperoleh (Pasal 3 UU 20/2000):

Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang
diperoleh:

a) Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;


b) Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna
kepentingan umum;
c) Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan
syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau
perwakilan organisasi tersebut;
d) Orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak
adanya perubahan nama;
e) Orang pribadi atau badan karena wakaf;
f) Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

 Pajak Pertambahan Nilai/PPN, PPnBM, dan Bea Materai

Jasa Tidak kena Pajak (Pasal 4A angka 3 UU 18/2000, PPN Barang/Jasa). Penetapan jenis jasa yang tidak
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas kelompok-kelompok
jasa sebagai berikut :

a) Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik;


b) Jasa di bidang pelayanan sosial;
c) Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko;
d) Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi;
e) Jasa di bidang keagamaan;
f) Jasa di bidang pendidikan;
g) Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan;
h) Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan;
i) Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air;
j) Jasa di bidang tenaga kerja;
k) Jasa di bidang perhotelan;
l) Jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum.

 Pajak Penghasilan (PPh) UU 36/2008

A. Subjek Pajak (Pasal 2 UU 36/2008)

Yang menjadi subjek pajak adalah:

1. (a) orang pribadi (b) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuanmenggantikan yang berhak;
2. badan; dan
3. bentuk usaha tetap.

Penjelasan atas Pasal 1 UU 36/2008

Undang-Undang ini mengatur pengenaan Pajak Penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila
menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dalam
Undang-Undang ini disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak
apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.

Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun
yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan
usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau
organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

 Objek Pajak PPh (Pasal 4 UU 36/2008)

(1) Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang
dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan.
Poin (d) Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang
diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan,
badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha
mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan;

Penjelasan atas Pasal 4 Ayat (1) UU 36/2008

Undang-Undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak
dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun
asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut. Pengertian
penghasilan dalam Undang-Undang ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada
adanya tambahan kemampuan ekonomis.
Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan
menjadi:

a) Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium,
penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya;
b) Penghasilan dari usaha dan kegiatan;
c) Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti bunga, dividen, royalti,
sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha; dan
d) Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.

Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak.

 PPh untuk Gereja

1. Subjek Pajak: Gereja sebagai Badan Hukum memenuhi kriteria sebagai Subjek Pajak.
2. Objek Pajak: penghasilan gereja bersumber dari sumbangan/bantuan (persembahan umat) yang tidak
termasuk pertambahan ekonomis maupun penggunaannya, dikecualikan dalam Pasal 4 ayat (1) angka
d.4. Bukan penggunaan ekonomis, tetapi penggunaan pelayanan peribadahan.
3. Walaupun Gereja Toraja Berbadan Hukum (Subjek Hukum dan Subjek Pajak), namun dikecualikan dalam
Objek Pajak. Gereja tidak harus memiliki NPWP. (catatan: info yang saya dapatkan bahwa sudah ada
gereja yang memiliki NPWP, yaitu: GKI).

 Kesimpulan

Berdasarkan aturan yang ada, Sumber Pendapatan Gereja telah dikecualikan dari UU yang berlaku. Jadi tidak
ada dasar untuk mengenakan Pajak terhadap Penghasilan Gereja.

Sumber : https://id.quora.com/Apakah-gereja-perlu-dikenakan-pajak

https://paulusmtangke.wordpress.com/2013/03/07/gereja-dan-hukum-pajakretribusi/

http://repository.uinbanten.ac.id/2025/3/BAB%20II%20OK.pdf

Anda mungkin juga menyukai