Anda di halaman 1dari 4

NAMA : RASIDA

NIM : G70120098
KELAS :C
MATA KULIAH : BIOTEKNOLOGI FARMASI

TUGAS RANGKUMAN
1. Terapi gen
Definisi
Terapi gen adalah pendekatan yang didasarkan pada pengobatan penyakit
melalui modifikasi (melalui pengenalan, penghilangan, dan perubahan) gen
pasien, dalam beberapa dekade terakhir, penelitian tentang terapi dan gen
telah berkembang pesat dan sekarang muncul sebagai terapi alternatif untuk
banyak penyakit. Terapi gen pada manusia didefinisikan sebagai transfer
asam nukleat berupa DNA ke sel somatik pasien sehingga gen tersebut
memiliki efek pengobatan terhadap penyakit pasien, baik dengan
mengoreksi ketidaknormalan gen maupun over ekspresi protein yang
dikode oleh gen tersebut. Menurut Johnson (2017), terapi gen sudah banyak
digunakan untuk pengobatan kanker, penyakit kardiovaskuler, penyakit
infeksius, penuruna fungsi metabolisme tubuh, penyakit limfatik, hingga
cedera akibat radiasi dan penyembuhan pascabedah. Namun, tidak menutup
kemungkinan berkembangnya terapi gen untuk mengobati jenis penyakit
lainnya (widyastuti, et al 2017)

Prinsip pembuatan (in vivo dan ex vivo)


Pada terapi gen dengan sel somatik, DNA yang mengandung gen untuk
fungsi terapi ditransfer ke dalam sel somatik baik secara in vivo maupun ex
vivo. Transfer gen tersebut biasanya ditujukan secara langsung ke organ
atau jaringan spesifik sehingga gen dapat terekspresi dengan baik. Pada
terapi gen dengan sel somatik juga tidak akan memberikan pengaruh
terhadap sel embrional.
a) secara in vivo
Terapi gen secara in vivo tetap menggunakan bantuan vektor untuk
mentransfer gen target ke dalam jaringan atau organ pasien penderita
penyakit tertentu. Pada terlihat adanya vektor transfer gen berupa virus
yang dimodifikasi menjadi virus rekombinan dengan menyisipkan DNA
dengan gen target untuk terapi melalui metode teknologi DNA
rekombinan. Vektor virus yang telah mengandung gen target tersebut
kemudian diinjeksikan ke dalam tubuh pasien secara langsung menuju
jaringan atau organ target di mana gen untuk terapi tersebut dibutuhkan
atau diekspresikan. Terapi gen secara in vivo melibatkan proses
transduksi secara langsung di dalam tubuh, lebih mudah dilaksanakan
dan dikembangkan dalam skala tertentu, dan tidak membutuhkan fasilitas
khusus karena injeksi atau transfer gen bisa dilakukan dengan metode
umum maupun menggunakan biolistic gene gun. Namun, Wang et al.
(2016) menyatakan bahwa terapi gen secara in vivo memiliki spesifitas
dan efisiensi yang lebih rendah dibandingkan terapi gen secara ex vivo.
b) Secara ex vivo
Terapi gen secara ex vivo memiliki tahapan yang lebih kompleks
dibanding secara in vivo. Terapi ini melibatkan transduksi di
laboratorium dengan kondisi spesifik tertentu sehingga membutuhkan
fasilitas laboratorium yang lebih lengkap. Metode ex vivo ini juga
mengakibatkan kurangnya populasi sel yang diproliferasi. menunjukkan
tahapan dalam metode terapi gen secara ex vivo yang terdiri dari
beberapa langkah, yaitu:
• Isolasi sel yang memiliki gen abnormal dari pasien penderita penyakit
tertentu.
• Sel hasil isolasi ditumbuhkan pada media kultur tertentu yang sesuai
dengan karakteristik sel.
• Sel target yang telah dikultur kemudian diinfeksi dengan retrovirus
yang mengandung rekombinan gen dalam bentuk gen normal untuk
menggantikan gen abnormal pada sel
• Produksi rDNA dari RNA rekombinan (jika vektor virus merupakan
virus dengan materi genetik berupa RNA) dengan transkripsi balik
(reverse transcription)
• Translasi gen normal pada sitoplasma sel menghasilkan protein yang
bertanggung jawab pada gen yang mengalami kerusakan (terjadi
integrasi antara gen target untuk terapi dengan gen pada sel yang
dikultur
• Seleksi, perbanyakan, dan pengujian sel yang telah ditransfeksi untuk
mendapatkan sel normal yang gen abnormalnya telah berhasil
digantikan oleh gen baru
• Injeksi kembali sel yang telah berhasil direkayasa dengan terapi gen
ke dalam jaringan atau organ pasien.

Tujuan terapi
Rekayasa genetika dilakukannya untuk manipulasi gen-gen tertentu
sehingga ekspresi gen dapat dikontrol dan produknya dapat dimanfaatkan
untuk tujuan tertentu, salah satunya untuk pengobatan penyakit dengan
terapi gen. Terapi ini melibatkan transfer asam nukleat berupa DNA ke sel
embrionik maupun somatik pasien sehingga gen tersebut memiliki efek
pengobatan terhadap penyakit pasien. Gen fungsional yang ditransfer
berperan menggantikan fungsi gen abnormal yang menyebabkan penyakit
tertentu.
Contoh terapi
1. Immunoterapi
Menggunakan sel yang telah dimodifikasi secara genetik dari partikel
virus untuk menstimulir sistem imun tubuh sehingga mampu
mengalahkan keganasan sel kanker.
2. Viro onkolitik
Menggunakan partikel sel virus yang bereplikasi di dalam sel kanker dan
menyebabkan sel kanker menjadi mati.
3. Transfer Gen
Teknik ini relative baru, dengan cara memperkenalkan 2 gen baru yang
dimasukkan ke dalam sel kanker atau mengelilingi jaringan kanker
sehingga dapat menghentikan pertumbuhan dan menghancurkan sel
kanker. (kurniawati, 2017)

2. Produk biosimilar
Definisi
Pengertian Biosimilar menurut badan kesehatan dunia (WHO) adalah istilah
yang dipakai untuk obat biologis yang memiliki karakteristik yang mirip
dengan obat biologis yang sudah disetujui (originator) atau dapat dibuat
ketika masa paten obat originatornya sudah habis, namun tidak identik.
Kemiripan tersebut meliputi regulasi, proses produksi, kualitas, keamanan,
kemurnian dan potensi atau kemanjurannya. Biosimilar dapat berupa
rekombinan protein terapetik, hormon dan antibodi. Obat biologis adalah
zat aktif yang terbuat atau diperoleh dari sel-sel hidup melalui proses biologi
sebagai contoh adalah insulin dapat diproduksi oleh mahluk hidup (seperti
bakteri dan yeast) melalui teknik rekayasa genetika. Efek produk biologis
ini diyakini lebih mudah dicerna tubuh karena terbuat dari bahan-bahan
makhluk hidup (herawati, et al. 2018)

Perkembangan biosimiliar
Perkembangan teknologi kedokteran telah memberikan banyak harapan
baru bagi manusia. Berbagai jenis penyakit yang sebelumnya tidak dapat
disembuhkan karena keterbatasan terapi, saat ini telah dapat diatasi.
Bioteknologi sebagai salah satu cabang ilmu yang berkembang dalam 10
tahun terakhir memberi andil cukup besar dalam penyediaan produk biologi
untuk kepentingan terapi, pencegahan (preventif), maupun penatalaksanaan
berbagai jenis penyakit keganasan. Hingga saat ini, terdapat sekitar 150 obat
dan vaksin yang termasuk dalam kategori produk bioteknologi yang telah
secara ilmiah terbukti mampu menyembuhkan ataupun mencegah berbagai
jenis penyakit. Produk biologi umumnya digunakan untuk mengobati
berbagai jenis penyakit serius, termasuk multiple sclerosis, penyakit genetik
yang jarang, anemia, dan defisiensi hormon pertumbuhan. Kemajuan
penelitian bidang bioteknologi, memungkinkan diproduksinya biosimilar
dari beberapa sel hidup atau sistem ekspresi (host) dengan memanfaatkan
teknologi DNA rekombinan. Sistem-sistem ekspresi tersebut diantaranya:
bakteri, yeast, tanaman, serangga dan mammalia. Albumin, Interferon
(Roferon A dan Intron A), Insulin (Insulin glargin) dan Eritropoietin
(Epoitin alfa) adalah beberapa contoh produk biosimilar yang telah beredar
di dunia industri farmasi. Seiring semakin bertambahnya pola penyakit di
masyarakat modern, kebutuhan akan obat biosimilar akan semakin
bertambah pula. Hal ini disebabkan karena pola perkembangan penyakit di
masyarakat mulai bergeser dari penyakit infeksi menuju penyakit
degeneratif (yaitu penyakit yang terjadi akibat bertambahnya usia
seseorang) dan penyakit-penyakit serius. Contoh penyakit ini adalah: stroke,
kanker, dan diabetes. Obat biosimilar, diharapkan dapat bersaing secara
harga dengan obat-obat kimia yang relatif berbiaya tinggi. Munculnya
produk-produk biosimilar di pasaran harus dipandang sebagai peluang
untuk memperoleh produk obat biologi dengan harga yang lebih murah dan
dengan manfaat yang sama atau mendekati produk originatornya. Kondisi
ini tentu saja sangat menggiurkan bagi industri farmasi di negara negara
maju dan berkembang. (herawati et al. 2018)

Persyaratan produk biosimiliar


produk biosimilar bersifat sangat kompleks, rumit, dan melalui proses
produksi yang sangat khusus. Oleh sebab itu cara penilaian produk
biosimilar tidak dapat disamakan dengan konsep obat copy yang disintesis
secara kimiawi. Sebagai gantinya, produk biosimilar harus mengadopsi
pendekatan berdasarkan studi komparabilitas. Syarat keamanan dan efikasi
bersifat mutlak. Oleh karena itu, kebutuhan akan informasi dari studi non-
klinik dan klinik diperlukan. Mengingat hingga saat ini teknologi yang ada
belum bisa secara spesifik mengidentifikasi perbedaan antara produk
biosimilar dengan originatornya, maka produsen produk biosimilar harus
melakukan studi farmakovigilans. Pemilihan produk pembanding untuk
studi komparabilitas harus didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
❖ Zat aktif suatu produk biosimilar harus mirip (baik molekuler maupun
efek biologik) dengan zat aktif produk pembanding yang sudah disetujui
untuk diedarkan di Indonesia.
❖ Produk obat pembanding terpilih harus digunakan sebagai acuan pada
seluruh studi komparabilitas untuk aspek mutu, keamanan, dan efikasi,
agar dihasilkan data dan kesimpulan yang koheren.
❖ Bentuk sediaan, kekuatan dan cara pemberian produk biosimilar harus
sama dengan produk pembanding.
❖ Bila terdapat perbedaan antara produk biosimilar dan produk
pembanding, perbedaannya harus dijustifikasi dengan studi yang sesuai
atas dasar kasus-per-kasus. Pertimbangan faktor keamanan lebih
diprioritaskan. (BPOM, 2015)

Anda mungkin juga menyukai