Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN DISKUSI

PEMICU 1
MODUL ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

Disusun Oleh :

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2018
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. I
DAFTAR ISI ......................................................................................................... II

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1 PEMICU ...................................................................................................... 1


1.2 KLARIFIKASI DAN DEFINISI ........................................................................ 1
1.3 KATA KUNCI .............................................................................................. 2
1.4 RUMUSAN MASALAH ................................................................................. 2
1.5 ANALISIS MASALAH .................................................................................. 3
1.6 HIPOTESIS .................................................................................................. 4
1.7 PERTANYAAN DISKUSI ............................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 5

2.1 INFORMED CONSENT .................................................................................. 5


2.1.1 Definisi.................................................................................................. 5
2.2 TUJUAN ...................................................................................................... 6
2.3 ISI .............................................................................................................. 6
2.4 DASAR ....................................................................................................... 8
2.4.1 Pemanfaatan ........................................................................................ 15
2.4.2 Bentuk ................................................................................................. 16
2.5 TRANSFUSI DARAH .................................................................................. 16
2.5.1 Efek samping ...................................................................................... 16
2.5.2 Indikasi................................................................................................ 22
2.5.3 Kontraindikasi ..................................................................................... 25
2.6 JELASKAN DASAR HUKUM TINDAKAN DOKTER TERHADAP PASIEN ........... 28
2.7 JELASKAN HAK DAN KEWAJIBAN DOKTER ................................................ 33
2.8 JELASKAN HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN TERHADAP TINDAKAN YANG

DILAKUKAN DOKTER ................................................................................ 34

2.9 PROSEDUR PENOLAKAN TINDAKAN MEDIS ............................................... 35

ii
2.10 BAGAIMANA KEPERCAYAAN PASIEN MEMPENGARUHI PERSETUJUAN

PENGAMBILAN TINDAKAN MEDIS ............................................................. 36

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 42

3.1 KESIMPULAN............................................................................................ 42

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 43

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pemicu

Sebuah keluarga yang menganut saksi Yehova, dimana dalam


ajaran saksi yehova tidak memperbolehkan adanya transfusi darah.
Mereka mempunyai 1 orang anak, dan suatu ketika terjadi kecelakaan
lalu lintas, dimana anak mereka memerlukan tindakan bedah dan juga
mengalami perdarahan yang hebat dan memerlukan transfusi darah untuk
menyelamatkan jiwanya. Dokter yang merawatnya sudah menjelaskan
kepada keluarga pasien bahwa anak mereka memerlukan pertolongan
darah dengan segera, karena bila tidak diberikan transfusi darah anak
mereka akan meninggal yang disebabkan oleh kehilangan banyak darah.
Tetapi orang tua pasien menolak untuk melakukan transfusi darah
dengan alasan apapun, karena menurut ajaran agama mereka transfusi
darah tidak diperbolehkan. Dan merekapun menandatangani surat
penolakan tindakan medik. Tetapi karena sang dokter tidak tega, tanpa
sepengetahuan orang tua anak tersebut sang dokter tetap memberikan
transfusi darah. Tetapi ternyata beberapa saat setelah transfusi darah
dilakan anak tersebut menderita demam sampai menggigil dan orang tua
si pasien mencurigai bahwa dokter tersebut telah melakukan kelalaian
dalam operasi dan mencurigai alat-alat operasi tidak steril. Padahal
demam yang dialami oleh sang anak merupakan salah satu reaksi
transfusi dan akan membaik setelah atau beberapa saat transfusi.
Kemudia orang tua anak tersebut mempertanyakan kepada dokter
tersebut.

1.2 Klarifikasi dan Definisi

1
1.3 Kata Kunci

1) Keluarga penganut saksi Yehova


2) Anak kecelakaan lalu lintas
3) Perdarahan hebat
4) Memerlukan transfusi darah
5) Keluarga menolak transfusi darah
6) Dokter memberikan transfusi tanpa sepengetahuan keluarga
7) Demam dan menggigil setelah transfusi

1.4 Rumusan Masalah

Bagaimana cara menjelaskan kepada keluarga pasien mengenai


tindakan transfusi darah yang telah dilakukan oleh dokter kepada pasien
yang telah menolak tindakan tersebut?

2
1.5 Analisis Masalah

Pasutri

Saksi Yehova

Anak

Kecelakaan lalu Informed Refusal


lintas

Perdarahan hebat

Dokter Informed

Operasi Transfusi
Darah

Kegawatdaruratan Pelanggaran otonomi pasien? K


O
Profesionalisme? N
Dilaksanakan F
Hak kewajiban pasien?
Transfusi diam-diam L
Hak kewajiban dokter? I
Reaksi transfusi darah K

KODEKI
Demam dan menggigil
UU 29 Tahun 2004

Kep Menkes 434.MenKes/SK/X/1983 Pasien meminta pnejelasan

Kesimpulan

3
1.6 Hipotesis

Dokter menjelaskan kepada keluarga mengenai pengambilan


tindakan transfusi serta efek sampingnya dengan dasar kegawatdaruratan
serta asas profesionalisme.

1.7 Pertanyaan diskusi

1) Informed Consent
a) Definisi
b) Tujuan
c) Isi
d) Dasar
e) Pemanfaatan
f) Bentuk
2) Transfusi Darah
a) Indikasi
b) Kontraindikasi
c) Efek samping
3) Jelaskan dasar tindakan dokter terhadap pasien!
4) Jelaskan hak dan kewajiban dokter!
5) Jelaskan hak dan kewajiban pasien terhadap tindakan yang
dilaksanakan dokter!
6) Prosedur penolakan tindakan medis
7) Bagaimana kepercayaan pasien mempengaruhi persetujuan
pengambilan tindakan medis?

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Informed Consent

2.1.1 Definisi

Informed Consent teridiri dari dua kata yaitu “informed”


yang berarti informasi atau keterangan dan “consent” yang
berarti persetujuan atau memberi izin, sehingga pengertian
Informed Consent adalah suatu persetujuan yang diberikan
setelah mendapat informasi. Dengan demikian Informed
Consent dapat di definisikan sebagai pernyataan pasien atau
yang sah mewakilinya yang isinya berupa persetujuan atas
rencana tindakan kedokteran yang diajukan oleh dokter setelah
menerima informasi yang cukup untuk dapat membuat
persetujuan atau penolakan.1
“Penolakan Tindakan Medik” atau Informed Refusal
merupakan hak pasien yang berarti suatu penolakan yang
dilakukan pasien sesudah diberi informasi oleh dokter.
Penolakan Tindakan Medik ini pada dasarnya adalah hak asasi
dari seseorang untuk menentukan apa yang hendak dilakukan
terhadap dirinya sendiri.2
Persetujuan ini dianggap sah apabila memenuhi syarat
sebagai berikut:1
1) Pasien telah diberi penjelasan/ informasi
2) Pasien atau yang sah mewakilinya dalam keadaan
cakap (kompeten) untuk memberikan
keputusan/persetujuan.
3) Persetujuan harus diberikan secara sukarela.

5
2.2 Tujuan

Informed consent atau persetujuan tindakan medik memiliki tujuan


sebagai berikut:3
1) Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang
dilakukan tanpa sepengetahuan pasien
2) Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap
akibat yang tidak terduga dan bersifat negatif, misalnya
terhadap risiko terapi/tindakan yang tak mungkin dihindarkan
walaupun dokter sudah mengusahakan semaksimal mungkin
dan bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti.

2.3 Isi

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan no.


290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran,
dalam pasal 7 ayat 3 disebutkan bahwa penjelasan tentang tindakan
kedokteran sekurang-kurangnya mencakup :4
1) Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran
2) Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan
3) Alternatif tindakan lain, dan risikonya
4) Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
5) Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
6) Perkiraan pembiayaan
Pasal 8 menyebutkan bahwa penjelasan tentang diagnosis dan
keadaan kesehatan pasien dapat meliputi : 4
1) Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat
tersebut
2) Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakkan,
maka sekurang-kurangnya diagnosis kerja dan diagnosis
banding
3) Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan
dilakukannya tindakan kedokteran

6
4) Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak
dilakukan tindakan
Penjelasan tentang tindakan kedokteran yang dilakukan meliputi : 4
1) Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan
preventif, diagnostik,terapeutik, ataupun rehabilitatif.
2) Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien
selama dan sesudah tindakan, serta efek samping atau
ketidaknyamanan yang mungkin terjadi
3) Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya
dibandingkan dengantindakan yang direncanakan
4) Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-
masing alternatif tindakan
5) Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi
keadaan darurat akibatrisiko dan komplikasi tersebut atau
keadaan tak terduga lainnya
Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran
adalah semua risiko dan komplikasi yang dapat terjadi mengikuti
tindakan kedokteran yang dilakukan, kecuali: 4
1) Risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan
umum
2) Risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang
dampaknya sangat ringan
3) Risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan
sebelumnya (unforeseeable)
Penjelasan tentang prognosis meliputi: 4
1) Prognosis tentang hidup-matinya (ad vitam)
2) Prognosis tentang fungsinya (ad functionam)
3) Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam)

7
2.4 Dasar

Persetujuan tindakan Kedokteran telah diatur dalam Pasal 45


Undang – undang no. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.
Sebagaimana dinyatakan setiap tindakan kedokteran atau kedokteran
gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien
harus mendapat persetujuan. Persetujuan tersebut dapat diberikan baik
secara tertulis maupun lisan. Disebutkan didalamnya bahwa setiap
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi
harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh
yang berhak memberikan persetujuan.5
1) Peraturan Menteri Kesehatan RI No.290/Menkes/Per/III/2008
tentang persetujuan tindakan Kedokteran dinyatakan dalam
pasal 1, 2, dan 3 yaitu :4
Pasal 1
a) Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan
yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat
setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan
dilakukan terhadap pasien.
b) Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu
kandung, anak-anak kandung, saudara-saudara kandung
atau pengampunya.
c) Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang
selanjutnya disebut tindakan kedokteran adalah suatu
tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik
atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien.
d) Tindakan Invasif adalah suatu tindakan medis yang
langsung dapat mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh
pasien.

8
e) Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi
adalah tindakan medis yang berdasarkan tingkat
probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan kematian
atau kecacatan.
f) Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis,
dokter gigi dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun
di luar negeri yang diakui oleh pemerintah Republik
Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
g) Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau
bukan anak menurut peraturan perundang-undangan
atau telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran
fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak
mengalami kemunduran perkembangan (retardasi)
mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga
mampu membuat keputusan secara bebas.
Pasal 2
a) Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan
terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
b) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diberikan secara tertulis maupun lisan.
c) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang
diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran
dilakukan.
Pasal 3
a) Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko
tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang
ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.

9
b) Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diberikan dengan persetujuan lisan.
c) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dibuat dalam bentuk pernyataan yang tertuang
dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu.
d) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
diberikan dalam bentuk ucapan setuju atau bentuk
gerakan menganggukkan kepala yang dapat diartikan
sebagai ucapan setuju.
e) Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap
meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis.
2) Pasal 1 Permenkes No. 585/1989
Informed consent adalah hak atas persetujuan yang
diberikan pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan
mengenai tindakan medik yang dilakukan terhadap pasien
tersebut. Artinya, hak yang dimiliki oleh setiap pasien untuk
memberikan persetujuan atau menolak untuk menjalani
prosedur percobaan medik yang dilakukan secara profesional
dan didasarkan atas informasi yang diberikan oleh dokter.
Sebelum dokter melakukan suatu tindakan medik, pasien atau
keluarga pasien (bila kondisi pasien tidak sadar atau koma
dan masih dibawah umur) harus menanda-tangani informed
consent.6
3) KODEKI Pasal 10
Seorang dokter wajib menghormati hak-hak- pasien,
teman sejawatnya, dan tenaga kesehatan lainnya, serta wajib
menjaga kepercayaan pasien. Sesuai dengan anjuran WHO
tentang hak atas kesehatan. Pelaksanaannya adalah dokter
dengan penuh kejujuran, martabat kehormatan dan penuh

10
pertimbangan ia menjunjung tinggi hak atas perolehan
informasi secara memadai dan hak untuk menentukan diri
sendiri. Termasuk hak-hak pasien adalah memperoleh
pelayanan medis dan perawatan, bebas memilih dokter,
konsultan, rumah sakit dan kelas perawatan, memperoleh
penjelasan secukupnya, mengambil keputusan untuk
persetujuan atau penolakan, setelah memahami informasi
yang diberikan (informed consent), menolak tindakan
pemeriksaan dan pengobatan (refusal of treatment),
memperoleh alih dan kesinambungan pelayanan medis
(transfer and continuity of care), mengetahui identitas
pemberi pelayanan medis (identity of medical care
providers), berhubungan bebas dengan siapa pun,
memperoleh kepribadian, kesendirian yang tidak terganggu
dan kerahasiaan, memperoleh keselamatan dan perlindungan
hukun, mengetahui biaya pelayanan bagi dirinya,
memperoleh pendapat medis kedua, menghentikan,
pelayanan di rumah sakit atas tanggung jawab sendiri
setelah mendapat penjelasan, melihat isi rekam medis,
memperoleh pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur,
memperoleh pelayanan medis yang bermutu sesuai dengan
standar pelayanan medis dan tanpa diskriminasi,
memperoleh perawatan sesuai dengan standar pelayanan
keperawatan, dirawat oleh dokter yang bebas menentukan
pendapat etisnya tanpa campur tangan pihak luar,
menjalankan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaan
yang dianutnya selama tidak mengganggu pasien lainnya,
mengajukan saran usul perbaikan atas perlakukan rumah sakit
terhadap dirinya, menerima atau menolak bimbingan moral
maupun spiritual, memperoleh perlindungan sewaktu
diadakan penelitian kesehatan, memutuskan tentang

11
penghentian kehamilannya, memperoleh perlindungan karena
terpaksa dirawat di RS Jiwa, dan mendapatkan upah untuk
pekerjaan yang dilakukan, penghapusan rekam medis
mengenai dirinya setelah tidak dirawat lagi, mengetahui
keterbatasan dan kemampuan rumah sakit, dan peraturan
mengenai sikap dan tindakan di rumah sakit, memutus
hubungan dengan dokter di rumah sakit, menerima bantuan
hukum dan ganti rugi, dan menolak mendapatkan informasi.7
Salah satu hak pasien adalah hak untuk menolak
tindakan medis. Penolakan Tindakan Medik” atau “Informed
Refusal”. Penolakan tindakan medik ini merupakan hak
pasien yang berarti suatu penolakan yang dilakukan pasien
sesudah diberi informasi oleh dokter. Penolakan Tindakan
Medik ini pada dasarnya adalah hak asasi dari seseorang
untuk menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap
dirinya sendiri. Penolakan dari pasien untuk dilakukan
tindakan medik tertentu diputuskan sesudah pasien diberikan
informasi oleh dokternya yang menyangkut segala sesuatu
yang berkenaan dengan tindakan medik yang akan diambil.
Dalam hal ini pasien dianggap sudah memahami segala
konsekuensi yang mungkin timbul sebagai akibat dari
penolakan tersebut.8
4) The Declaration of Lisbon
Memuat tentang hak-hak pasien, diantaranya hak untuk
menentukan nasibnya sendiri dengan menerima atau menolak
pengobatan yang akan diberikan setelah mendapat-kan
informasi yang cukup dan dapat dimengerti. Tidak ada
perbuatan atau tindakan dapat dilakukan secara melanggar
atau bertentangan dengan hukum yang berlaku, ini berarti
pula bahwa seorang dokter dalam mengintervensi pasien
harus mendapatkan ijin dari pasien sebagai pemilik tubuh,

12
jika ijin tidak diperolehnya maka dapat dikatakan melanggar
atau bertentangan dengan hukum yang berlaku. Masalah hak
asasi manusia (HAM) saat ini sudah mendunia dan diakui
keberadaannya oleh negara-negara di dunia. Dalam
pemberian pelaya-nan kesehatan kepada masyarakat, terdapat
hal yang berkaitan dengan HAM di dalam doktrin informed
consent.2
5) Otonomi
Merupakan salah satu kaidah dasar bioetik yang berarti
mengakui hak setiap pribadi untuk memutuskan sendiri
mengenai masa-lah kesehatan, kehidupan serta kematiannya.
Perbedaan mendasar antara tindak pidana biasa dengan tindak
pidana medis terletak pada fokus tindak pidana tersebut.
Fokus tindak pidana biasa terletak pada akibat dari tindak
pidana, sedangkan pada tindak pidana medis fokusnya pada
sebab dari tindak pidana. Dalam tindak pidana medis
pertanggung-jawaban pidananya harus dapat dibuktikan
tentang adanya kesalahan profesional, misalnya kesalahan
diagnosa sehingga menimbulkan kesalahan dalam pemberian
terapi atau cara pengobatan atau pera-watan. Kesalahan
dalam tindak pidana medis pada umumnya terjadi karena
kelalaian yang dilakukan oleh dokter. Dalam hal ini dapat
terjadi karena dokter melakukan sesuatu yang seharusnya
tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang
seharusnya dilakukan.9
Seorang dokter baru bisa dihadapkan ke pengadilan
kalau sudah timbul kerugian bagi pasien. Kerugian itu timbul
akibat adanya pelanggaran kewajiban di mana sebelumnya
telah dibuat suatu persetujuan. Sekalipun kewajiban dokter
itu tidak secara rinci dimuat dalam kontrak terapeutik, namun
kewajiban seorang dokter sudah tercakup dalam standar

13
pelayanan medis. Standar pelayanan medis dibuat
berdasarkan hak dan kewajiban dokter, baik yang diatur
dalam kode etik maupun yang diatur dalam perundang-
undangan.
Kadang dokter terpaksa harus melakukan operasi atau
cara pengobatan tertentu yang membahayakan. Hal ini dapat
dilakukan asal tindakan ini diambil setelah
mempertimbangkan masak-masak bahwa tidak ada jalan/cara
lain untuk menyelamatkan jiwa selain pembedahan. Sebelum
operasi dibulai, perlu dibuat persetujuan tertulis lebih dahulu
atau dari keluarga. Sesuai peraturan menteri Kesehatan
tentang informed consent, batas umur yang dapat memberi
informed consent adalah 18 tahun.9
Peraturan Informed Consent apabila dijalankan dengan
baik antara Dokter dan pasien akan sama-sama terlindungi
secara Hukum. Tetapi apabila terdapat perbuatan diluar
peraturan yang sudah dibuat tentu dianggap melanggar
Hukum. Dalam pelanggaran Informed Consent telah diatur
dalam pasal 19 Permenkes No. 290 Tahun 2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran, dinyatakan terhadap
dokter yang melakukan tindakan tanpa Informed Consent
dapat dikenakan sanksi berupa teguran lisan, teguran tertulis
sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik. 4
Informed Consent di Indonesia juga di atur dalam
peraturan berikut:
1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23
tahun 1992 tentang Kesehatan.
2) Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI).
3) Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan
Tindakan Medis.

14
4) Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1419/Men.Kes/Per/X/2005 tentang
Penyelanggaraan Praktik Kedokteran.
5) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996
Tentang Tenaga Kesehatan.
6) Surat Keputusan PB IDI No 319/PB/A4/88.

2.4.1 Pemanfaatan

Berikut merupakan manfaat dari dilaksanakannya


informed consent baik untuk pasien maupun dokter.2
1) Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien
selaku manusia
2) Penghormatan terhadap hak otonomi perorangan
yaitu hak untuk menentukan nasibnya sendiri
3) Proteksi terhadap pasien sebagai subjek penerima
pelayanan kesehatan (health care receiver = HCR)
4) Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian
dalam mengobati pasien
5) Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
6) Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
7) Mendorong keterlibatan publik dalam masalah
kedokteran dan kesehatan
8) Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam
bidang kedokteran dan kesehatan
9) Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis
untuk melakukan introspeksi terhadap diri sendiri.

15
2.4.2 Bentuk

Terdapat dua bentuk informed consent, yaitu:10


1. Implied Consent (dianggap diberikan)
Umumnya implied consent diberikan dalam keadaan
normal, artinya dokter dapat menangkap persetujuan
tindakan medis tersebut dari isyarat yang
diberikan/dilakukan pasien. Demikian pula pada kasus
gawat darurat, sedangkan dokter memerlukan tindakan
segera sementara pasien dalam keadaan tidak bisa
memberikan persetujuan dan keluarganya tidak ada
ditempat, maka dokter dapat melakukan tindakan medik
terbaik menurut dokter.
2. Expressed Consent (dinyatakan)
Dapat dinyatakan secara lisan maupun tertulis.
Dalam tindakan medis yang bersifat invasive dan
mengandung resiko, dokter sebaiknya mendapatkan
persetujuan secara tertulis, atau yang secara umum dikenal
di rumah sakit sebagai surat izin operasi.

2.5 Transfusi Darah

2.5.1 Efek samping

Berikut merupakan efek yang ditimbulkan dari pemberian


transfusi: 11
1) Reaksi hemolitik akut
Reaksi hemolitik akut adalah hasil dari
transfusi darah yang tidak sesuai dan menyebabka
hemolisis intravaskular akut. Reaksi hemolitik
intravaskular akut disebabkan oleh transfusi sel
darah merah yang tidak sesuai, yaitu darah yang
tidak cocok. Antibodi dalam plasma pasien

16
haemolyse sel-sel darah merah yang tidak sesuai
ditransfusikan. Bahkan volume kecil (5–10 mL)
darah yang tidak sesuai dapat menyebabkan reaksi
yang berat dan lebih besar volume meningkatkan
risiko. Penyebab reaksi paling umum adalah
transfusi ABO yang tidak sesuai. Ini hampir selalu
muncul dari:
a) Kesalahan dalam formulir permintaan
darah.
b) Mengambil darah dari pasien yang salah
ke dalam tabung sampel pra-label.
c) Pelabelan yang salah dari tabung sampel
darah yang dikirim ke pusat transfusi
darah.
d) Pemeriksaan label darah yang tidak
memadai terhadap identitas pasien.
Antibodi dalam plasma pasien terhadap
antigen sel darah merah lainnya yang ada pada darah
yang ditransfusi, seperti sistem darah Kidd, Kell atau
Duffy, juga bisa menyebabkan hemolisis akut. Pada
pasien yang sadar, tanda dan gejala biasanya muncul
dalam hitungan menit sejak dimulai transfusi,
kadang-kadang ketika <10 mL darah telah diberikan.
Pada pasien tidak sadar atau dibius, hipotensi dan
perdarahan yang tidak terkendali, dari situs transfusi,
mungkin satu-satunya tanda transfusi yang tidak
sesuai. Karena itu penting untuk memantau pasien
sejak dimulainya transfusi hingga penyelesaiannya.

17
2) Kontaminasi bakteri dan syok septik
Kontaminasi bakteri mempengaruhi hingga
0,4% sel darah merah dan 1‐2% konsentrat
trombosit. Darah bisa terkontaminasi oleh:
a) Bakteri dari kulit donor memasuki unit
darah selama pengumpulan (biasanya
staphylococci).
b) Bakteremia hadir dalam darah donor
selama pengumpulan (misalnya
Yersinia).
c) Penanganan yang tidak benar selama
proses darah.
d) Cacat atau kerusakan pada kantong
darah.
e) Mencairkan FFP atau cryoprecipitate
dalam air-mandi (sering terkontaminasi).
Beberapa kontaminan, terutama spesies
Pseudomonas, tumbuh pada + 2 ° C hingga + 6 ° C
dan dapat bertahan hidup atau berkembang biak
dalam unit sel darah merah yang didinginkan.
Staphylococci tumbuh dalam kondisi yang lebih
hangat dan dapat berkembang biak di PC yang
disimpan di + 20 ° C hingga + 24 ° C.
Tanda-tanda biasanya muncul dengan cepat
setelah memulai infus, tetapi mungkin tertunda
selama beberapa jam. Reaksi yang parah dapat
ditandai dengan munculnya demam tinggi,
kekakuan, dan hipotensi yang tiba-tiba. Perawatan
suportif darurat dan antibiotik intravena dosis tinggi
diperlukan.

18
3) Transfusion Associated Overload Peredaran Darah
Transfusi terkait kelebihan beban sirkulasi
(TACO), yaitu kelebihan cairan, dapat menyebabkan
gagal jantung dan edema paru. Dapat terjadi ketika:
a) Terlalu banyak cairan ditransfusikan.
b) Transfusi diberikan terlalu cepat.
c) Fungsi ginjal terganggu.
Kelebihan cairan sangat mungkin terjadi pada
pasien dengan:
a) Anemia berat kronis.
b) Penyakit kardiovaskular yang mendasari.
4) Reaksi anafilaksis
Ini adalah komplikasi yang jarang dari
transfusi komponen darah atau turunan plasma.
Risiko meningkat dengan infus cepat, biasanya
ketika fresh frozen plasma digunakan. Defisiensi
IgA pada penerima merupakan penyebab yang
jarang dari anafilaksis yang sangat berat. Ini bisa
disebabkan oleh produk darah apa pun karena
sebagian besar mengandung jejak IgA. Sitokin
dalam plasma kadang-kadang dapat menyebabkan
broncho-konstriksi dan vasokonstriksi pada
penerima.
Terjadi dalam beberapa menit setelah memulai
transfusi dan ditandai dengan:
a) Kolaps kardiovaskular.
b) Gangguan pernapasan.
c) Tidak demam.
Anafilaksis kemungkinan fatal jika tidak
dikelola dengan cepat dan agresif.

19
a) Reaksi transfusi hemolitik tertunda
Tanda-tanda muncul 5‐10 hari
setelah transfusi:
• Demam.
• Anemia.
• Jaundice.
• Kadang-kadang
hemoglobinuria.
Reaksi transfusi hemolitik tertunda
yang berat dan mengancam kehidupan
dengan syok, gagal ginjal dan DIC
jarang.
b) Purpura pasca-transfusi
Ini adalah komplikasi transfusi sel
darah merah atau trombosit yang jarang
tetapi berpotensi fatal konsentrat, yang
disebabkan oleh antibodi yang diarahkan
terhadap antigen spesifik platelet di
penerima. Paling sering terlihat pada
pasien wanita multigravida.
Tanda dan gejala:
• Tanda-tanda perdarahan.
• Trombositopenia akut 5-10 hari
setelah transfusi, didefinisikan
sebagai trombosit hitungan <100 x
109/ L.
c) Komplikasi yang tertunda: transfusi
menular infeksi
Infeksi berikut dapat ditularkan
melalui transfusi:

20
• HIV, Hepatitis B dan C,
sifilis (Treponema pallidum),
malaria.
• Cytomegalovirus (CMV).
• TTI lainnya termasuk
parvovirus manusia B19,
brucellosis, virus Epstein-
Barr, toksoplasmosis,
Penyakit Chagas,
mononukleosis menular dan
penyakit Lyme.
Karena reaksi transfusi yang
tertunda dapat terjadi beberapa hari,
minggu atau bulan setelah transfusi,
hubungan dengan transfusi dapat dengan
mudah diabaikan. Penting untuk
mencatat semuanya transfusi secara
akurat dalam catatan kasus pasien dan
mempertimbangkan transfusi
diperbedaan diagnosa.
Berikut merupakan tabel reaksi-
reaksi yang terjadi pasca transfusi.12

21
2.5.2 Indikasi

Secara umum, dari beberapa panduan yang telah


dipublikasikan, tidak direkomendasikan untuk melakukan
transfusi profilaksis dan ambang batas untuk melakukan
transfusi adalah kadar hemoglobin dibawah 7,0 atau 8,0 g/dl,
kecuali untuk pasien dengan penyakit kritis.13
Kadar hemoglobin 8,0 g/dl adalah ambang batas transfusi
untuk pasien yang dioperasi yang tidak memiliki faktor risiko
iskemia, sementara pasien dengan risiko tersebut ambang batas
dapat dinaikkan sampai 10,0 g/dl. Pemberian transfusi untuk
menambah kapasitas pengiriman oksigen, seperti yang kerap
dilakukan di unit perawatan intensif tidak dianjurkan. Sebuah
studi pada pasien sepsis melaporkan bahwa transfusi tidak

22
menyebabkan perubahan kapasitas pengiriman oksigen 6 jam
setelah transfusi.13
Adapun transfusi darah diperlukan dalam keaadan berikut
:11
1) Kehilangan darah, misalnya karena trauma atau
perdarahan.
2) Produksi yang tidak memadai, misalnya pada
penyakit thalassemia dan leukemia.
3) Penghancuran sel yang berlebihan.
i.
Selain iu, transfusi darah ini umumnya lebih sering
dibutuhkan dalam situasi berikut:11
4) Bersalin, yaitu pada anemia kehamilan.
5) Pasien dengan penyakit darah kronis, misalnya
thalassemia atau leukemia.
Terdapat juga Indikasi dilakukan sesuai dengan jenis
komponen darah yang dibutuhkan yaitu :14
1) Darah Utuh (Whole Blood)
Indikasi :
a) Perdarahan akut dengan hypovolemia
b) Transfusi Tukar (Exchange transfusion)
c) Pengganti darah merah endap (packed red cell)
saat memerlukan transfusi sel darah merah
2) Darah Endap (packed red cell)
Indikasi :
a) Pengganti sel darah merah pada anemia
b) Anemia karena perdarahan akut (setelah
resusitasi cairan kristaloid atau koloid)
3) Darah Merah Cuci ( Washed Red Cells)
Indikasi :
a) Transfusi masif pada neonatus sampai usia < 1
tahun

23
b) Transfusi intrauterin
c) Penderita dengan anti-IgA atau defisiensi IgA
dengan riwayat alergi transfusi berat
d) Riwayat reaksi transfusi berat yang tidak
membaik dengan pemberian premedikasi
4) Trombosit Konsentrat (TC)
Indikasi :
a) Perdarahan akibat trombositopenia atau
gangguan fungsi trombosit
b) Pencegahan perdarahan karena
trombositopenia (gangguan sumsum tulang)
kurang dari 10.000 /micro liter
c) Profilaksis perdarahan pada pre operatif
dengan trombosit kurang atau sama dengan
50.000 /microliter , kecuali operasi trepanasi
dan cardiovaskuler kurang atau sama dengan
100.000 micro liter.
5) Fresh Frozen Plasma (FFP)
Indikasi :
Defisiensi faktor koagulasi (penyakit hati,
overdosis antikoagulan-warfarin, kehilangan faktor
koagulasi pada penerima transfusi dalam jumlah
besar)
6) Cryoprecipitate
Indikasi :
a) Alternatif terapi F VIII konsentrat pada
defisiensi :
• Faktor von Willebrand (von
Willebrand’s disease)
• Faktor VIII (hemofilia A)
• Faktor XIII

24
b) Sumber fibrinogen pada gangguan koagulopati
dapatan misalnya DIC

2.5.3 Kontraindikasi

1) Darah Utuh (Whole Blood)15


a) Deskripsi : Volume 350 ml WB mengandung : – 350
ml darah donor – 63 ml larutan pengawet
antikoagulan – Hb ± 12 g/dl; Hct 35-45% – Tidak
terdapat faktor koagulasi labil (f. V dan VIII)
b) Indikasi : – Perdarahan akut dengan hipovolemia –
Transfusi Tukar (Exchange transfusion) – Pengganti
darah merah endap (packed red cell) saat
memerlukan transfusi sel darah merah
c) Kontraindikasi : – Resiko overload cairan misalnya
pada anemia kronik & gagal jantung
d) Resiko Infeksi : – Tidak steril – Dapat menularkan
infeksi pada eritrosit atau plasma yang tidak
terdeteksi pemeriksaan rutin (HIV-1 dan HIV-2,
hepatitis B dan C, virus hepatitis lain, syphilis,
malaria, TORCH dan Chagas disease)).
e) Penyimpanan : – Suhu +2° hingga +6°C, dapat
terjadi perubahan komposisi akibat metabolisme sel
darah merah – Maksimal penyimpanan WB di Bank
Darah 3 minggu – Harus segera ditransfusikan 30
menit setelah keluar dari tempat penyimpanan
f) Perhatian : – Golongan darah harus sesuai (ABO dan
RhD compatible) – Dilarang memasukkan obat-
obatan ke dalam kantong darah – Waktu transfusi
maksimal 4 jam

25
2) Darah Endap (Packed Red Cells) 15
a) Deskripsi : – Volume 150-250 ml eritrosit dengan
jumlah plasma yang minimal – Hb ± 20 g/100 dl ( ≥
45 g/unit) – Hct 55-75%
b) Indikasi : – Pengganti sel darah merah pada anemia
– Anemia karena perdarahan akut (setelah resusitasi
cairan kristaloid atau koloid)
c) Perhatian : – Resiko infeksi dan cara penyimpanan
sama dengan WB – Pemberian sama dengan WB –
Penambahan infus cairan NS 50-100 ml dengan
infus set-Y memperbaiki aliran transfusi – Waktu
transfusi maksimal 4 jam kecuali pasien dengan
Congestive Heart Failure, AKI (Acute Kidney Injury
dan Chronic Kidney Disease)
3) Darah Merah Cuci (Washed Erythroyte) 15
a) Deskripsi : – Volume 260 ml ; Hct 0,57 L/L;
leukosit < 1x108 ; plasma < 0,2 ml
b) Indikasi : – Transfusi masif pada neonatus sampai
usia < 1 tahun – Transfusi intrauterin – Penderita
dengan anti-IgA atau defisiensi IgA dengan riwayat
alergi transfusi berat – Riwayat reaksi transfusi berat
yang tidak membaik dengan pemberian premedikasi
c) Kontraindikasi2 : – Defisiensi IgA yang belum
pernah mendapat transfusi komponen darah
(eritrosit, plasma, trombosit) – Defisiensi IgA yang
tidak pernah mengalami reaksi alergi terhadap
komponen darah sebelumnya – Belum diketahui
mempunyai antibodi anti-IgA – Tidak pernah
mengalami reaksi transfusi berat terhadap eritrosit

26
4) TC (Trombocyte Concentrates)
a) Deskripsi : – Setiap 50-60 ml plasma yang
dipisahkan dari WB mengandung : • Trombosit
minimal 55 x 109 • Eritrosit < 1,2 x 109 • Leukosit <
0,12 x 109
b) Indikasi : – Perdarahan akibat trombositopenia atau
gangguan fungsi trombosit – Pencegahan perdarahan
karena trombositopenia (gangguan sumsum tulang)
kurang dari 10.000 /micro liter – Profilaksis
perdarahan pada pre operatif dengan trombosit
kurang atau sama dengan 50.000 /microliter, kecuali
operasi trepanasi dan cardiovaskuler kurang atau
sama dengan 100.000 micro liter
c) Kontraindikasi : • ITP tanpa perdarahan • TTP tanpa
perdarahan • DIC yang tidak diterapi •
Trombositopenia terkait sepsis, hingga terapi
definitif dimulai atau pada hipersplenisme
5) FFP (Fresh Frozen Plasma)
a) Deskripsi : – Plasma dipisahkan dari satu kantong
WB (maksimal 6 jam) dibekukan pada - 25°C atau
lebih – Terdiri dari faktor pembekuan stabil,
albumin dan imunoglobulin; F VIII minimal 70%
dari kadar plasma segar normal – Volume 60-180 ml
b) Indikasi : – Defisiensi faktor koagulasi (penyakit
hati, overdosis antikoagulan-warfarin, kehilangan
faktor koagulasi pada penerima transfusi dalam
jumlah besar) – DIC – TTP
c) Dosis : awal 10 -15 ml/kgBB
d) Perhatian : – Reaksi alergi akut dapat terjadi dengan
pemberian cepat – Jarang terjadi reaksi anafilatik
berat – Hipovolemia bukan suatu indikasi – ABO

27
kompatibel untuk menghindari resiko hemolisis –
Diberikan segera setelah thawing dengan alat
transfusi darah standar – Faktor koagulasi labil,
cepat terdegradasi, berikan maksimal 30 menit
setelah thawing
e) Penyimpanan : – Pada -25°C atau lebih bertahan
hingga 1 tahun – Sebelum digunakan harus di
thawing dalam air 30-37°C di bank darah, suhu yang
lebih tinggi akan merusak faktor pembekuan dan
protein – Sekali thawing harus disimpan pada suhu
+2°C hingga +6°C
6) Cryoprecipitate
a) Deskripsi : – Presepitasi dari FFP saat thawing 4°C
dan dicampur 10-20 ml plasma – Berisi setengah F
VIII dan fibrinogen darah utuh ( F VIII 80-100
iu/kantong; fibrinogen 150-300 mg/kantong)
b) Indikasi : – Alternatif terapi F VIII konsentrat pada
defisiensi : • Faktor von Willebrand (von
Willebrand’s disease) • Faktor VIII (hemofilia A) •
Faktor XIII – Sumber fibrinogen pada gangguan
koagulopati dapatan misalnya DIC
c) Perhatian : – Berikan segera setelah thawing, dengan
set transfusi darah standar, maksimal 30 menit
setelah thawing (pencairan)

2.6 Jelaskan dasar hukum tindakan dokter terhadap pasien

Terdapat beberapa dasar hukum terkait tindakan yang dilakukan


dokter dalam kasus ini sebagai berikut:
1) Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran 5

28
a) Pasal 51d: “Dokter atau dokter gigi dalam
melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
kewajiban melakukan pertolongan darurat atas dasar
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain
yang bertugas dan mampu melakukannya”
b) Padal 53b: “Pasien dalam menerima pelayanan pada
praktik kedokteran, mempunyai kewajiban mematuhi
nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi”.
Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan
jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan. Namun, setelah
pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan,
segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan.
Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang
tidak sadar, maka penjelasan diberikan kepada keluarganya
atau yang mengantar. Apabila tidak ada yang mengantar dan
tidak ada keluarganya sedangkan tindakan medis harus
dilakukan maka penjelasan diberikan kepada anak yang
bersangkutan atau pada kesempatan pertama pasien sudah
sadar.
2) Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) 2012 7

a) Pasal 1: “Setiap dokter wajib menjunjung tinggi,


menghayati dan mengamalkan sumpah dan atau janji
dokter”. Dalam sumpah dokter tersebut tercakup
banyak poin yang memiliki maksud bahwa seorang
dokter berjanji akan membaktikan hidup dan
menjalankan tugasnya demi kepentingan
perikemanusiaan, mengutamakan kesehatan pasien dan
tidak akan terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan,
kebangsaan, kesukuan, gender, politik, kedudukan
sosial, dan jenis penyakit.

29
b) Pasal 2 menyatakan bahwa: Seorang dokter wajib
selalu melakukan pengambilan keputusan professional
secara independent, dan mempertahankan perilaku
professional dalam ukuran yang tertinggi”
c) Pasal 3: “Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya,
seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu
yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi”
d) Pasal 11: “Setiap dokter wajib senantiasa mengingat
kewajiban dirinya melindungi hidup makhluk insani”
e) Pasal 17: “Setiap dokter wajib melakukan pertolongan
darurat sebagai suatu wujud tugas perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan
mampu memberikannya”
f) (6) Setiap dokter yang melakukan pertolongan darurat
maka kewajiban etis ini mengalahkan pertimbangan-
pertimbangan etika lainnya.Dalam menjalankan
kewajiban etis ini, dokter tersebut harus dilindungi
dan dibela oleh teman sejawat, mitra bestari dan/atau
organisasi profesi, pemerintah dan/atau masyarakat.
g) (8) Dalam hal terdapat perbedaan penafsiran kondisi
darurat antara penderita dengan dokter sebagaimana
dimaksud pada Pasal 17, dokter seyogyanya dengan
tulus berupaya menjelaskan kepada
penderita/keluarganya untuk sedapat mungkin
menyamakan penafsiran tersebut.
Dalam menjalankan kewajiban etis ini, dokter tersebut
harus dilindungi dan dibela oleh teman sejawat, mitra bestari
dan/atau organisasi profesi, pemerintah dan/atau masyarakat.
Berdasarkan cakupan pasal 17 tersebut maka dalam
menjalankan tugasnya ini, dokter mempertimbangkan situasi

30
dan kondisi, serta harus dilindungi oleh seluruhnya.
Memerangi tim medis dalam kondisi apapun tidak dapat
dibenarkan. Dalam pertolongan konteks bencana, tim medis
wajib menyusun susunan alur komando, jaringan komunikasi,
dan dokter penanggungjawab utama.
Pelurusan persepsi diperbolehkan dikerjakan setelah
menangani kondisi gawat darurat pada pasien, karena
pertolongan ini sifatnya segera.
3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Pasal 32 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa: “Dalam
keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik
pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan
kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan mencegah
kecacatan terlebih dahulu” 16
4) Dasar-dasar hukum di atas mendukung tindakan yang dipilih
dokter, yang mana dokter tersebut memilih bertindak dengan
prinsip beneficent dibanding otonomy yang berarti dokter
dalam kondisi ini lebih mementingkan perbaikan kondisi
pasien dibandingkan hak pasien untuk mengambil keputusan
sendiri. Dalam kasus ini pasien adalah anak yang merupakan
pasien tidak kompeten untuk memberi persetujuan maupun
penolakan. Penolakan yang diajukan merupakan keputusan
dari orang tua dengan satu alasan yaitu kepercayaan mereka
yang tidak mengizinkan adanya transfusi darah, walaupun
dokter telah menjelaskan mengenai kondisi anak mereka
yang sangat memerlukan transfusi darah. Berdasarkan dasar
hukum di atas, dokter memiliki kewajiban dan tanggung
jawab untuk menyelamatkan nyawa pasien dan memberikan
pelayanan yang menjadi kompetensinya. Dalam KODEKI
pasal 1 juga mempertegas bahwa seorang dokter dalam

31
bertindak tidak boleh dipengaruhi oleh berbagai aspek
bahkan aspek keagamaan sekalipun.7
Berikut merupakan hal-hal yang dapat dianggap
melanggar hak pasien :
d) Pasal 45 ayat 1 Undang-undang RI No 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran 5

“Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan


dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus
mendapat persetujuan.”

Pada prinsipnya yang berhak memberikan persetujuan atau


penolakan tindakan medis adalah pasien yang bersangkutan.
Namun, apabila pasien yang bersangkutan berada di bawah
pengampuan (under curatele) persetujuan atau penolakan tindakan
medis dapat diberikan oleh keluarga terdekat antara lain
suami/istri, ayah/ibu kandung, anak-anak kandung atau saudara-
saudara kandung.

e) Ketentuan pasal 53 ayat (2) Undang-Undang No. 23 tahun 1992 16

“Dokter wajib menghormati hak yang dimiliki oleh pasiennya serta


memberi kesempatan pasien untuk melaksanakan haknya itu.”

Apabila dokter telah menjalankan kewajibannya dan pasien dalam


menggunakan hak-nya memilih untuk menolak tindakan medik
maka dokter terlepas dari segala akibat hukum yang tim-bul setelah
penolakan tersebut.

32
2.7 Jelaskan hak dan kewajiban dokter

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 29 tahun


2004 tentang Praktik Kedokteran dalam paragraf 6 Pasal 50 dan 51, hak
dan kewajiban dokter atau dokter gigi adalah :5
1) Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik
kedokteran mempunyai hak (Pasal 50) :
a) memperoleh perlindungan hukum sepanjang
melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional
b) memberikan pelayanan medis menurut standar profesi
dan standar prosedur operasional
c) memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari
pasien atau keluarganya
d) menerima imbalan jasa.
2) Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik
kedokteran mempunyai kewajiban (Pasal 51) :
a) memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional serta
kebutuhan medis pasien
b) merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang
mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik,
apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan
atau pengobatan
c) merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia
d) melakukan pertolongan darurat atas dasar
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain
yang bertugas dan mampu melakukannya
e) menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti
perkembangan ilmu kedokteranatau kedokteran gigi.

33
2.8 Jelaskan hak dan kewajiban pasien terhadap tindakan
yang dilakukan dokter

Dalam hal persetujuan maupun penolakan tindakan medis, pasien


memiliki hak dan kewajiban sebagai berikut:35
1) Hak pasien
Dalam Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran Pasal 52, menyebutkan bahwa pasien,
dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran,
mempunyai hak:5
a) Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang
tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 ayat (3), yaitu: diagnosis dan tata cara
tindakan medis; tujuan tindakan medis yang
dilakukan; alternatif tindakan lain dan risikonya;
risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
b) Meminta pendapat dokter lain
c) Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan
medis
d) Menolak tindakan medis
e) Mendapatkan isi rekam medis
Pasien berhak menolak pengobatan atas dasar hak
untuk menentukan diri sendiri (otonomi pasien). Pasien yang
kompeten (pasien memahami informasi, menahannya dan
mempercayainya, serta mampu membuat keputusan) berhak
untuk menolak suatu pemeriksaan atau tindakan kedokteran,
meskipun keputusan pasien tersebut terkesan tidak logis. Jika
hal seperti ini terjadi dan konsekuensi penolakan tersebut
berakibat serius maka keputusan tersebut harus didiskusikan
dengan pasien, tidak dengan maksud untuk mengubah

34
pendapatnya tetapi untuk mengklarifikasi situasinya. Untuk
itu perlu dicek kembali apakah pasien telah mengerti
informasi tentang keadaan pasien, tindakan atau pengobatan,
serta semua kemungkinan efek sampingnya.1
2) Kewajiban pasien
Pasien memiliki kewajiban secara moral maupun secara
yuridis. Secara moral pasien berkewajiban memelihara
kesehatannya dan menjalankan aturan-aturan perawatan
sesuai dengan nasihat dokter yang merawatnya. Beberapa
kewajiban pasien yang harus dipenuhinya dalam pelayanan
kesehatan termuat dalam pasal 53 Undang-Undang Nomor 29
tahun 2004, adalah sebagai berikut:5
a) Memberikan keterangan informasi sebanyak
mungkin tentang penyakitnya
b) Menaati nasihat dan petunjuk dokter
c) Menaati aturan yang berlaku di sarana pelayanan
kesehatan
d) Memberikan imbalan jasa kepada dokter atau
wajib melunasi biaya rumah sakit.

2.9 Prosedur penolakan tindakan medis

Hak pasien atau keluarga untuk menolak tindakan yang akan


dilakukan dokter disebutinformed refusal. Tidak ada hak dokter yang
dapat memaksa pasien mengikuti anjurannya,walaupun dokter
menganggap penolakan bisa berakibat gawat atau kematian pasien.
Biladokter gagal dalam meyakinkan pasien pada alternatif tindakan yang
diperlukan, maka untuk keamanan dikemudian hari, sebaiknya dokter
atau rumah sakit meminta pasien atau keluargamenandatangani surat
penolakan terhadap anjuran tindakan medik yang diperlukan.Dalam
kaitan transaksi terapeutik dokter dengan pasien, pernyataan penolakan
pasienatau keluarga ini dianggap sebagai pemutusan transaksi terapeutik.

35
Dengan demikian apayang terjadi dibelakang hari tidak menjadi
tanggung jawab dokter atau rumah sakit lagi.Penolakan tindakan medis
diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia NOMOR
290/MENKES/PER/III/2008 yang berisi : 4
1) Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien
dan atau keluarga terdekatnya setelah menerima penjelasan
tentang tindakan kedokteran yang akandilakukan.
2) Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilakukansecara tertulis.
3) Akibat penolakan tindakan kedokteran sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) menjaditanggung jawab pasien.
4) Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak memutuskan hubungan dokter dan pasien.

2.10 Bagaimana kepercayaan pasien mempengaruhi


persetujuan pengambilan tindakan medis

Nilai-nilai agama serta ikatan keluarga sangat kuat di masyakarat


Indonesia. Nilai-nilai agama, budaya, dan kepercayaan sangat
berpengaruh dalam interaksi pasien dan dokter. Kepercayaan merupakan
pusat dari semua hubungan manusia termasuk di antaranya hubungan
dokter dan pasien.17,18 Kepercayaan mempengaruhi sejumlah perilaku
dan sikap, termasuk mendorong pasien untuk mencari perawatan,
mengungkapkan informasi yang sensitif, mengikuti pengobatan,
berpartisipasi dalam penelitian, patuh pada pengobatan, tidak berganti-
ganti dokter, dan merekomendasikan dokter pada orang lain.19,20
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar
senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam
beribadat dan atau dalam masalah lainnya. Pikiran, persepsi dan tindakan
orang lain bukanlah hal mudah untuk diatur dan diintervensi. Maka dari
itu, hendaklah seorang dokter yang mampu melakukan adaptasi dengan
cepat dan tepat untuk pasien-pasien yang berbeda. Banyak pasien yang

36
memiliki fleksibilitas tinggi dalam kaitannya dengan penerapan nilai-
nilai agama dan budaya yang dimilikinya. Untuk pasien seperti ini, tidak
ada hambatan atau masalah dalam hubungan dokter pasien. Pasien dapat
memberikan toleransi tanpa perlu ada permintaan khusus, begitu juga
dengan dokter. Namun, ada pula pasien yang kesulitan untuk
memberikan toleransi. Bukan hanya karena tidak mau, tetapi sering kali
juga tidak bisa. Dalam hal ini, dokter dapat menjadi pihak yang
memberikan toleransi. Salah satu bentu interaksi pasien dan dokter
adalah melalui informed consent. Informed consent dimaksudkan
persetujuan bebas yang diberikan oleh pasien terhadap suatu tindakan
medis, setelah ia memperoleh semua informasi penting mengenai sifat
serta konsekuensi tindakan tersebut. Prinsip informed consent berakar
pada martabat manusia di mana otonomi dan integritas pribadi pasien
harus dilin dungi. Integritas manusia menuntut bahwa setiap orang
bertindak menurut apa yang diketahuinya dan berdasarkan pilihan
bebasnya. Pilihan sedemikian secara personal bersumber dari dalam diri
sendiri.21
Kewajiban dokter terhadap pasien pada pasal 11 KODEKI
menyatakan bahwa “Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada
pasien agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan
penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya”. Selain
menyangkut aspek jasmani, kehidupan manusia juga menyangkut aspek
mental, spiritual dan sosial. Nilai dan norma yan dianut serta
kepercayaan yang diyakini menentukan reaksi/ tanggapan seseorang
terhadap suatu kejadian / ungkapan. Dokter harus mengetahui dan
memahami latar belakang kehidupan pasien. Dokter berkewajiban atau
wajib menghormati agama dan kepercayaan pasien serta adat istiadat
yang dihormati masyarakat setempat, khususnya yang tidak bertentangan
dengan agama, perundang-undangan yang berlaku di bidang kesehatan.7
Sikap yang mengabai kan prinsip informed consent ini berlatar
belakang pada sikap paternalistis dokter yang dewasa ini semakin

37
dipersoalkan karena semakin berkembangnya kesadaran akan otonomi
pasien dan/atau keluarga yang harus dihormati. Yang dimaksud dengan
paternalisme yaitu setiap tingkah laku yang memperlakukan seseorang
seolah-olah dia seorang anak. Dalam konteks etika, kata paternalisme
biasanya dipakai untuk menunjukkan setiap tindakan yang membatasi
kebebasan seseorang tanpa persetujuannya dengan maksud atau
mencegah kerugian bagi dia atau melakukan sesuatu yang baik, yang
tidak dapat diperolehnya dengan cara lain. Memang sikap paternalistis
tidak selalu salah karena sikap ini juga berdasar pada prinsip
beneficentia. Namun sikap ini salah jika dokter berhadapan dengan
pasien yang otonom yang berhak memperoleh informasi yang benar
dan jelas mengenai keadaan penyakitnya serta tindakan medis yang
akan dijalani.22
Namun tidaklah benar mempertahankan otonomi pasien bila ada
kriteria yang kuat untuk melanggarnya. Bila pasien dan/atau keluarga
tidak memiliki pengertian yang tepat dan benar untuk mengambil
keputusan, maka tidak diperlukan informed consent. Informed consent
juga tidak dibutuhkan pada keadaan pasien kritis atau darurat yang
membutuhkan tindakan medis secara cepat dan tepat sesuai kemampuan
tenaga medis dan peralatan medis yang tersedia. Dalam situasi seperti ini
dokter memutuskan sendiri untuk melakukan yang terbaik demi
kepentingan terbaik pasien, dan hal ini dilakukan atas dasar prinsip
beneficentia.23
Tugas tenaga medis tidak hanya memahami, tetapi juga
menghargai sikap pasiennya, karena pasien yang telah memahami
informasi dokter tidak selalu mau memberikan persetujuannya. Bila
dijumpai orang yang tidak dapat bertanggung jawab, maka
perawatan dapat saja dilaksanakan sekalipun mungkin tidak sesuai
dengan keinginan pasien.23 Bila pasien itu bebas, berarti ia juga berhak
untuk menolak pengobatan. Situasi ini bisa menimbulkan konflik antara
prinsip autonomi dan prinsip beneficentia. 21

38
Selain memberi persetujuan, pasien juga berhak menolak tindakan
medis tertentu sebagai individu yang kompeten, informed, dan bebas.
Atas penolakan itu dapat diajukan pertanyaan kritis,”apakah ada
implikasi dan batas-batas dari prinsip otonomi”? Dalam The Patient’s
Bill of Rights dikatakan: ”The patient has the right to refuse treatment to
the extent permitted by law, and to be informed of the medical
consequences of his actions”. Penolakan itu dibuat atas dasar hak untuk
menentukan diri sendiri. Masalah akan muncul bila pasien menolak
tindakan medis tertentu yang justru sangat penting untuk
mempertahankan hidupnya. Sebagai contoh, penolakan transfusi darah,
amputasi, atau melanjutkan dialisis ginjal. Begitu pula muncul masalah
sehubungan dengan penolakan pihak kedua (keluarga misalnya) dalam
kasus anak-anak dan pasien-pasien yang tidak kompeten. Pengadilan
misalnya tidak dapat memaksakan persetujuan dari pasien kompeten
yang menolak diberi transfusi darah atas dasar keyakinan religiusnya
(Saksi Yehova). Tetapi pihak pengadilan tidak dapat menerima
penolakan transfusi darah orang tua Saksi Yehova atas nama anak
mereka yang baru lahir yang justru tak kompeten.23
Hukum yang berlaku umum ini tetap berlaku juga bagi profesi
kedokteran. Namun masih terdapat faktor-fakor khusus yang berlaku
untuk profesi medis yang tidak dijumpai dalam hukum yang berlaku
umum, seperti :21
1) Risk of treatment : resiko inheren, reaksi alergi, komplikasi
dalam tubuh pasien. Dalam tindakan medis tertentu (operasi,
pemberian obat) selalu ada resiko melekat (inherent risk of
treatment). Dokter sudah bertindak hati-hati dan memenuhi
standar praktek profesi medis dan informed consent, namun
efek samping (risiko) tetap terjadi. Dalam situasi ini dokter
tidak dipersalahkan. Sama halnya dengan bila terjadi reaksi
alergi yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya.

39
2) Medical accident or misadventure (kecelakaan tindakan
medis) yang sama sekali tidak dapat diduga dan bukan
merupakan tujuan tindakan.
3) Non-negligent error of judgment (kekeliruan penilaian
klinik). Dalam situasi ini selalu berlaku adagium dalam ilmu
hukum yaitu errare humanum est (Latin), artinya kesalahan
itu manusia Dan doktrin lain yang berlaku juga dalam ilmu
kedokteran yaitu respect-able minority rule, artinya seorang
dok-ter tidak dianggap melakukan kelalaian jika ia memilih
salah satu (dari sekian banyak) metode/cara pengobatan yang
lazim/diakui dalam dunia kedokteran.
4) Volenti non fit inura. Doktrin ini berdasarkan pandangan
bahwa bila seseorang telah mengetahui bahwa ada resiko dan
secara suka rela bersedia menanggung resiko tersebut, jika
kemudian resiko itu benar terjadi, ia tidak lagi dapat
menuntut (he who willingly undertakes a risk cannot
afterwards complains). Contoh di bidang olah raga yang
tergolong ke-ras seperti tinju, bela diri, terjun pa-yung, dan
sebagainya. Dalam dunia kedokteran seperti beberapa operasi
yang mengandung resiko yang sangat tinggi yaitu cangkok
ginjal dari donor hidup. Resiko ini melekat pada donor dan
resipiens, dan bila resiko ini terjadi dokter tidak mungkin
dituntut.
5) Contributory negligence, yaitu sikap tindak yang tidak wajar
dari pihak pasien, yang mengakibatkan kerugian atau cidera
pada dirinya, tanpa meman-dang apakah pada pihak dokter
terdapat pula kelalaian atau tidak. Doktrin ini juga tidak
memandang apakah sikap tindak pasien itu sengaja atau
tidak, dan ini menjadi dasar peniadaan/penghapusan
hukuman pada pihak dokter. Misal-nya pasien berkeras
pulang ke rumah setelah operasi padahal belum diizinkan

40
oleh dokter. Kelalaian dari pihak pasien seberapa kecilpun,
dapat menjadi alasan penghapusan/peniadaan hukuman pada
pihak dokter.
Batas usia pasien yang bisa menanda-tangani sendiri persetujuan
tindakan medis seperti operasi adalah 18 tahun. Bila usianya kurang dari
18 tahun harus mendapat persetujuan orang tua atau wali. 22
Perlu ditegaskan bahwa dasar pemenuhan informed consent dan
standar praktek profesi medis adalah landasan etika-moral dan bukan
landasan hukum yu-ridis. Bila ada dugaan bahwa tindakan medis tertentu
telah melanggar prinsip-prinsip etika moral yang mengakibatkan
kerugian bagi pasien, yakni tidak memenuhi prinsip informed consent,
berada di bawah standar praktek profesi medis,sedangkan melakukan
kelalaian (negligence) atau kesalahan, maka dapat dikenakan sanksi
yuridis. Penghapusan akan diberikan bila ternyata terbukti tidak
melakukan kelalaian atau kesalahan.21

41
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dokter menjelaskan secara jujur kepada keluarga mengenai


diberikannya tindakan transfusi serta efek sampingnya dengan dasar
kegawatdaruratan serta asas beneficence dan nonmaleficenc.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Konsil Kedokteran Indonesia. Komunikasi Efektik Dokter – Pasien.


Jakarta. 2006.
2. Guwandi, J, “Informed Consent & Informed Refusal”, 4th edition,
Jakarta:FKUI. 2006.
3. Guwandi J. Rahasia medis Jakarta: BP FKUI; 2005.
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
Tersedia dalam
http://www.bksikmikpikkfki.net/?p=download&action=go&pid=57
5. Presiden Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomr
29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
6. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585/MENKES/PER/IX/1989
tentang persetujuan tindakan medisMajelis Kehormatan Etik Kedokteran
Indonesia (MKEK)
7. Ikatan Dokter Indonesia, Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman
Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia, Jakarta, 2012
8. Zulhasmar, Eric. Implikasi Hukum Penolakan Tindakan Medik. Lex
Jurnalica Vol.5 No. 2, April 2008
9. Shannon Thomas A. Pengantar Bioetika, Seri Filsafat Atmajaya: 16,.
Jakarta: Gramedia, 1995; p. 20-33.
10. Wardhani RK. Tinjauan Yuridis Persetujuan Tindakan Medis (Informed
Consent) di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Semarang: Universitas
Diponegoro; 2009.

11. World Health Organization. Clinical Transfusion Practice: Guidelines for


Medical Interns. [Internet]. Global: World Health Organization; [disitasi
11 September 2018]. Tersedia di:
http://www.who.int/transfusion_sevices.pdf.

43
12. Chaffin, Joe. Transfusion Reactions. 2012. [Online]
https://www.bbguy.org/pdf/2012_11_TX_RXNs.pdf cited on September
11, 2018.
13. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, & Syam AF.
Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna
Publishing; 2014.
14. Weinstein, R. 2012 Clinical Practice Guide on Red Blood Cell
Transfusion. American Society of Hematology. WHO.
15. WHO. Blood Product; in The Clinical Use of Blood in Medicine,
Obstetrics, Paediatrics, Surgery and Anaesthesia, Trauma and Burn. WHO
Press: Switzerland; 2001.

16. Presiden Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009


tentang Kesehatan.
17. Thom DH, Hall MA, dan Pawlson LG. Measuring Patients‟ Trust In
Physicians When Assessing Quality Of Care. Health Affairs. 2004;
23(4):124-32.
18. Mascarenhas OAJ, Cardozo LJ, Afonso NM. Hypothesized Predictors of
Patient-physician Trust and Distrust in The Elderly: Implications For
Health and Disease Management. Dove Press. 2006; (2): 175-88
19. Hall MA, Dugan E, Zheng B, dan Mishra AK. Trust in Physicians and
Medical Institutions: What Is It, Can It Be Measured, and Does It Matter?.
Milbank Quarterly. 2001; 79:4.
20. Pearson SD dan Raeke LH. Patients‟ Trust in Physicians: Many Theories,
Few Measures, and Little Data. J Gen Intern Med. 2000; 15: 509-13.
21. Felenditi D. Penegakan Otonomi Pasien Melalui Persetujuan Tindakan
Medis (Informed Consent). Jurnal Biomedik. 2009; 1(1); 29-40.
22. Bertens K. Mencari Tema-Tema Bioetika dalam Konteks Indonesia, dalam
Bioetika, Refleksi Atas Masalah Etika Biomedis, Seri Filsafat Atmajaya:
12. Jakarta: PT. Gramedia, 1990; p. 84-88.

44
23. Beauchamp T/J. Childres. Principles of Biomedical Ethics, New
York/Oxford: Oxford University Press, 1983; p. 59-102, 222-225.

45

Anda mungkin juga menyukai