Anda di halaman 1dari 4

Secara harfiah pengertian impor artinya adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah

pabean. Suatu barang dianggap sebagai barang impor bilamana telah dimasukkan ke dalam daerah
pabean. Itu artinya bahwa ketika kapal atau pesawat udara yang membawa barang-barang niaga telah
melewati batas daerah pabean Indonesia maka barang-barang tersebut secara defacto telah memenuhi
syarat sebagai barang impor. Perlakuan terhadap barang impor yang dimasukkan ke dalam daerah
pabean berdasarkan kebijakan pemerintah sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang
Kepabeanan dimungkinkan diberikan skema fasilitas fiskal kepabeanan maupun perpajakan perpajakan.
Berdasarkan dasar hukum yang ada, yaitu:
1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69/PMK.04/2012 tentang Pembebasan Bea Masuk
dan/atau Cukai atas Impor Barang Kiriman Hadiah/Hibah untuk Kepentingan Penanggulangan
Bencana Alam (PMK-69);
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 231/KMK.03/2001 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, atas Impor Barang Kena Pajak Yang Dibebaskan
dari Pungutan Bea Masuk, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri
Keuangan nomor 196/PMK.010/2016;
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.010/2017 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan
Pasal 22 Sehubungan Dengan Pembayaran Atas Penyerahan Barang Dan Kegiatan Di Bidang
Impor Atau Kegiatan Usaha Di Bidang Lain, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan
Menteri Keuangan nomor 110/PMK.010/2018;
fasilitas fiskal yang diberikan terhadap barang-barang impor dalam rangka bantuan hibah bencana alam
meliputi:
1. pembebasan bea masuk, yaitu peniadaan pembayaran bea masuk yang diwajibkan;
2. tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM, serta
3. dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor.

Perlakuan skema pembebasan kategori ini dalam praktiknya dibedakan berdasarkan situasi dan kondisi
tertentu. Dalam kondisi yang normal, fasilitas pembebasan atas barang kiriman hadiah/hibah harus
mengacu pada PMK nomor 70/PMK.04/2012. Khusus untuk situasi dan kondisi penanggulangan bencana
telah dikeluarkan aturan PMK-69/PMK.04/2012 yang lebih memberikan fleksibilitas dan perlakuan-
perlakuan diskresi dalam pemberian skema pembebasan. Namun, hal-hal terkait penggolongan kondisi
penanggulangan bencana alam, subjek, objek, serta prosedurnya harus menjadi perhatian kita bersama
agar fasilitas fiskal kepabeanan tersebut dapat terpenuhi.

1. Penggolongan kondisi penanggulangan bencana alam


Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang
disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan,
angina topan, dan tanah longsor (Pasal 1, poin 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69/PMK.04/2012).
Diatur lebih lanjut dalam pasal 2, bahwa Pembebasan bea masuk dan/atau cukai sebagaimana dimaksud
dalam kondisi bencana alam tersebut diberikan dalam kondisi sebagai berikut:
a. masa Tanggap Darurat Bencana;
b. masa transisi menuju Rehabilitasi dan Rekonstruksi; atau
c. masa Rehabilitasi dan Rekonstruksi.
yang dinyatakan secara tertulis oleh BNPB, BPBD, atau Pemerintah Daerah serta hanya diberikan
terhadap barang yang dimasukkan melalui pintu masuk (entry point) bantuan internasional yang telah
ditetapkan oleh BNPB atau BPBD.

2. Subyek
a. Dalam masa tanggap darurat bencana dan masa transisi
 Badan atau lembaga yang bergerak di bidang ibadah untuk umum, amal, sosial, atau
kebudayaan;
 Pemerintah pusat atau pemerintah daerah;
 Lembaga internasional atau lembaga asing non pemerintah (dalam hal ini berlaku ketentuan
mengenai badan internasional)
b. Dalam masa rehabilitasi dan rekonstruksi
 Badan atau lembaga yang bergerak di bidang ibadah untuk umum, amal, sosial, atau
kebudayaan;
 Pemerintah pusat atau pemerintah daerah;

Kriteria badan atau lembaga lokal yang dapat mengajukan permohonan pembebasan harus
memenuhi persyaratan berikut:
 merupakan badan hukum yang berkedudukan di dalam wilayah NKRI;
 pendirian badan hukum tersebut dibuktikan dengan akta notaris;
 badan atau lembaga tersebut bersifat non profit.

3. Obyek
 Barang logistik
 Barang peralatan, yang dikelompokkan menjadi:
a. Kelompok kendaraan bermotor dan/atau alat berat;
b. Kelompok barang selain kendaraan bermotor dan/atau alat berat.

4. Mekanisme
Pemohon mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal melalui Kepala Kantor
Pabean tempat pemasukan barang.

Referensi:
1. Modul ADBI4235, Kepabeanan dan Cukai
2. https://repository.beacukai.go.id
Dalam rangka pelaksanaan tugasnya, pejabat Bea dan Cukai juga diberikan wewenang untuk
menegah barang dan sarana pengangkut. Menegah barang adalah tindakan administratif untuk
menunda pengeluaran, pemuatan dan pengangkutan barang impor atau barang ekspor hingga
dipenuhinya kewajiban pabean. Sedangkan yang dimaksud dengan menegah sarana pengangkut adalah
tindakan untuk mencegah keberangkatan sarana pengangkut. Hal in dimaksudkan agar jangan sampai
barang memasuki atau keluar dari daerah pabean tanpa memenuhi kewajiban pabean.
Barang tangkapan atau tegahan Bea Cukai memiliki proses baku yang tidak singkat. Semenjak
barang tersebut ditegah Bea Cukai, barang tersebut akan menjalani beberapa tahapan yang terdiri atas
tahapan pemeriksaan, tahapan penetapan status dan tahapan penyelesaian. Pada tahapan
pemeriksaan, barang tegahan ini akan dilakukan pencacahan barang untuk mengetahui jumlah saat awal
ditegah Bea Cukai serta melakukan pendalaman informasi melalui pemeriksaan subyek-subyek terkait
barang tersebut. Pemeriksaan ini dilakukan dengan waktu yang bervariasi bergantung dari kecukupan
informasi yang didapat.
Apabila informasi yang diperlukan telah cukup memadai, tahapan selanjutnya adalah penetapan
status barang. Untuk menentukan status barang tersebut, pejabat bea dan cukai harus mendalami
status apa yang dapat dikategorikan ke dalam barang tersebut berdasarkan PMK Nomor 62 Tahun 2011
tentang Penyelesaian Terhadap Barang Yang Dinyatakan Tidak Dikuasai, Barang Yang Dikuasai Negara,
Dan Barang Yang Menjadi Milik Negara dan PMK Nomor 240 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengelolaan
Barang Milik Negara Yang Berasal Dari Aset Eks Kepabeanan Dan Cukai.
Perbedaan kategori Barang Dikuasai Negara (BDN) dan Barang yang Dinyatakan Tidak Dikuasi (BTD)
adalah sebagai berikut:
1. Barang Dikuasai Negara (BDN)
Barang yang dikuasai negara adalah barang yang untuk sementara waktu penguasaannya berada
pada negara sampai dapat ditentukan status barang yang sebenarnya. Barang yang dikuasai negara
meliputi:
a. Barang yang dibatasi atau dilarang yaitu barang yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dinyatakan dilarang atau dibatasi untuk diimpor dan
tidak diberitahukan atau diberitahukan secara tidak benar;
b. barang dan/atau sarana pengangkut yang ditegah oleh Pejabat Bea dan Cukai; atau
c. barang dan/atau sarana pengangkut yang ditinggalkan di Kawasan Pabean oleh pemilik
yang tidak dikenal.
Barang yang dikuasai negara disimpan di Tempat Penimbunan Pabean.

2. Barang Dinyatakan Tidak Dikuasai (BTD)


Barang dinyatakan tidak dikuasai adalah barang yang penempatannya dalam suatu tempat
penimbunan diambil alih aparat pabean karena adanya ketentuan penimbunan yang tidak dipenuhi
importir. Status kepemilikan barang masih tetap milik eksporir atau imprortir untuk menghindari
kongesti, yaitu meningkatnya biaya sewa gudang, timbulnya kerusakan, kehilangan barang impor
atau ekspor yang akhirnya menyebabkan ekonomi biaya tinggi.
Jenis-jenis barang yang dinyatakan tidak dikuasai meliputi:
a. Barang yang ditimbun di TPS yang melebihi jangka waktu.
 30 (tiga puluh) hari di Tempat Penimbunan Sementara di area pelabuhan;
 60 (enam puluh) hari di TPS di luar area pelabuhan.
b. Barang yang tidak dikeluarkan dari Tempat Penimbunan Berikat (TPB) yang telah dicabut
izinnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari.
c. Barang kiriman pos melalui Kantor Pos Lalu Bea.
 yang ditolak ole di penerima (si alamat) karena satu dan lain hal, misalkan: si penerima
tidak mampu membayar bea masuk dan PDRI yang terhutang atau barang kiriman
tersebut memerlukan izin instansi terkait.
 tujuan luar daerah pabean yang diterima kembali karena ditolak oleh penerima di luar
daerah pabean atau tidak disampaikan kepada alamat yang dituju. Kemudian
diberitahukan kepada pengirim, akan tetapi dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
diterimanya pemberitahuan dari kantor pos, si pengirim tidak juga mengambil kiriman
pos yang ditolak di luar daerah pabean tersebut.

Setelah menentukan status dari barang tersebut, tahapan berikutnya adalah tahapan
penyelesaian. Pada tahapan ini, Bea Cukai akan akan mengajukan usulan penyelesaian barang kepada
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara sesuai dengan PMK Nomor 62 Tahun 2011 tentang Penyelesaian
Terhadap Barang Yang Dinyatakan Tidak Dikuasai, Barang Yang Dikuasai Negara, Dan Barang Yang
Menjadi Milik Negara dan PMK Nomor 240 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Milik
Negara Yang Berasal Dari Aset Eks Kepabeanan Dan Cukai.
Apabila barang berstatus BTD atau BDN, maka terdapat beberapa usulan yang menjadi pilihan
untuk diajukan:
a. Apabila barang busuk, segera dimusnahkan;
b. Apabila barang memiliki sifat berupa tidak tahan lama, merusak, berbahaya; atau pengurusannya
memerlukan biaya tinggi, maka segera dilelang dengan memberitahukan secara tertulis kepada
pemiliknya, sepanjang bukan barang lartas untuk diimpor atau diekspor.
c. BTD atau BDN yang merupakan barang yang dilarang untuk diimpor atau diekspor, dinyatakan
sebagai BMN, kecuali terhadap barang tersebut penyelesaiannya ditetapkan lain berdasarkan
peraturan perundang-undangan.

Referensi:
1. Modul ADBI4235, Kepabeanan dan Cukai
2. Official Website Direktorat Bea dan Cukai, https://www.beacukai.go.id/berita/-proses-
penyelesaian-barang-tegahan-bea-cukai.html

Anda mungkin juga menyukai