Anda di halaman 1dari 69

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Acute kidney injury (AKI) telah menjadi masalah kesehatan global di seluruh

dunia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kejadian AKI baik yang terjadi di

masyarakat (community acquired) maupun di rumah sakit (hospital acquired).

Morbiditas dan mortalitas akibat AKI semakin meningkat begitu juga biaya yang

diperlukan untuk perawatan di rumah sakit.

Prevalensi AKI mencapai 7% pada pasien yang dirawat di rumah sakit

(Lattanzio dan Kopyt, 2009). Pada pasien yang dirawat di intensive care unit

(ICU), kejadian AKI mencapai 36-67% dan 5-6% dari penderita tersebut

memerlukan hemodialisis (Osterman dan Chang, 2007). Hal yang sama juga

didapatkan di RSUP Sanglah, prevalensi AKI pada pasien yang dirawat di ICU

sebesar 20,7% (Nugraha, 2012) hingga 34,65% (Emria, 2014). Hal ini

mengakibatkan peningkatan lama rawat di rumah sakit, biaya perawatan serta

tingkat mortalitas yang tinggi (Levy dkk.,1996). Penderita AKI yang menjalani

hemodialisis di ICU, tingkat mortalitasnya lebih dari 50% dan sebagian penderita

yang berhasil selamat berkembang menjadi gagal ginjal terminal dalam 3 tahun

(Hoste dkk., 2006). Konsep yang dianut sekarang ialah AKI telah menjadi

penyakit dengan sekuele jangka panjang serta berpotensi menjadi penyakit ginjal

kronik (Ishani dkk., 2009; Lafrance dkk., 2010).

Terdapat berbagai definisi AKI, namun terdapat dua definisi yang banyak

digunakan yaitu; berdasarkan kriteria dari Acute Dialysis Quality Initiative


2

(ADQI) yaitu: Risk, Injury, Failure, Loss dan End stage renal disease (RIFLE)

serta kriteria dari Acute Kidney Injury Network (AKIN). Penelitian oleh Joannidis

dkk. (2009) yang membandingkan kriteria RIFLE dan AKIN, melaporkan bahwa

kedua kriteria tersebut masing-masing memiliki kekurangan dalam mendeteksi

adanya AKI. Berdasarkan hal tersebut, Kidney Disease Improving Global

Outcome (KDIGO) pada tahun 2012, mengajukan definisi dan klasifikasi AKI

untuk kepentingan keseragaman dalam penelitian dan pelaporan. Definisi AKI

menurut KDIGO yaitu: peningkatan kreatinin serum ≥ 0,3 mg/dl dalam 48 jam;

atau peningkatan kreatinin serum ≥ 1,5 kali nilai dasar, baik yang diketahui

maupun diasumsikan terjadi dalam 7 hari; atau volume urin ˂ 0,5 ml/kgbb/jam

selama 6 jam. Stadium AKI dibagi menjadi stadium 1, 2 dan 3 berdasarkan

parameter kreatinin serum dan produksi urin (KDIGO, 2012).

Komplikasi AKI muncul seiring derajat keparahan AKI. Komplikasi tersebut

mulai dari kelebihan cairan, hiponatremia, hiperkalemia, asidosis metabolik,

hiperfosfatemia, hipokalsemia, hipermagnesemia hingga hiperurikemia (Hoste

dan Kellum, 2004; Gibney dkk., 2008). Gangguan metabolisme mineral tersebut

hingga kini belum sepenuhnya dimengerti. Penelitian mengenai gangguan

metabolisme mineral pada pasien AKI, khususnya hiperfosfatemia dan

peningkatan kadar fibroblast growth factor 23 serum (FGF-23) masih sangat

terbatas. Fibroblast Growth Factor 23 merupakan protein dengan berat 32 kDa

yang merupakan regulator utama keseimbangan fosfat dalam tubuh. Mekanisme

kerjanya pada tubulus proksimal ginjal untuk meningkatkan ekskresi fosfat urin

bila terjadi retensi maupun peningkatan kadar fosfat serum (Wolf, 2010).
3

Berbagai penelitian terbaru menunjukkan bahwa gangguan metabolisme

mineral pada AKI identik dengan penyakit ginjal kronik (PGK). Peningkatan

kadar fosfat dan FGF-23 serum pada PGK, seiring dengan perburukan stadium

PGK. Peningkatan kadar FGF-23 serum telah terjadi pada PGK stadium 2 dan

mencapai 1000 kali lipat pada PGK stadium 5, namun hiperfosfatemia baru terjadi

pada PGK stadium 3 (Wolf, 2010). Filler dkk. (2011) melaporkan hubungan yang

signifikan antara FGF-23 dengan estimasi laju filtrasi glomerolus (LFG) dengan

menggunakan cystatin C (r = - 0,47, p <0,0001). Hal yang sama juga dilaporkan

oleh Dominguez dkk. (2013), yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara

estimasi LFG dengan ln{C terminal FGF23} (r = - 0,35, p < 0,05).

Publikasi pertama peningkatan kadar fosfat dan FGF-23 serum pada pasien

AKI dilaporkan oleh Leaf dkk. (2010). Publikasi tersebut berupa laporan kasus

AKI akibat rhabdomyolysis, yang diikuti peningkatan kadar fosfat serum sebesar

10,5 mg/dl (nilai normal 2,8-4,5 mg/dl) serta peningkatan kadar FGF-23 serum

sebesar 619 RU/ml (nilai normal 7-71 RU/ml).

Penelitian selanjutnya dilaporkan oleh Zhang dkk. (2011) pada 12 pasien

critically ill dengan AKI (dua pasien AKI stadium 1; lima pasien AKI stadium 2;

serta lima pasien AKI stadium 3) dibandingkan dengan 8 pasien critically ill tanpa

AKI. Pada penelitian ini didapatkan peningkatan kadar FGF-23 serum lebih tinggi

pada pasien critically ill dengan AKI dibandingkan dengan pasien critically ill

tanpa AKI (median [interquartile range/IQR]=1948 [347-4969] versus 252 [65-

533] RU/ml, p=0,01). Hiperfosfatemia juga ditemukan lebih tinggi pada pasien

critically ill dengan AKI jika dibandingkan dengan pasien tanpa AKI (4,5 ±1
4

mmol/L versus 3,3 ± 1,1 mmol/L, p=0,02). Peningkatan kadar fosfat serum

tersebut tidak berkorelasi terhadap peningkatan kadar FGF-23 serum (r = 0,08, p

= 0,74). Kadar FGF-23 serum pada AKI stadium 1 mencapai 437 RU/ml dan pada

AKI stadium 3 kadarnya mencapai 4369 RU/ml (mencapai 10 kali lipat).

Peningkatan kadar FGF-23 serum tersebut tidak berkorelasi dengan stadium AKI

(berdasarkan kriteria AKIN).

Penelitian oleh Leaf dkk. (2012) mendapatkan hasil yang berbeda. Penelitian

tersebut melibatkan 30 orang pasien dengan AKI, dibandingkan dengan 30 pasien

tanpa AKI sebagai kontrol. Pada AKI stadium 1 kadar fosfat mencapai 3,8 mg/dl

dan pada AKI stadium 3 kadarnya mencapai 5,3 mg/dl. Kadar FGF-23 serum pada

stadium 1 mencapai 224 RU/ml dan pada AKI stadium 3 kadarnya mencapai 2534

RU/ml. Peningkatan kadar fosfat serum berkorelasi secara signifikan dengan

kadar FGF-23 serum (r = 0,32, p = 0,02) (Leaf dkk., 2012).

Penelitian terbaru oleh Christov dkk. (2013) pada model binatang percobaan

mencit dengan AKI dibandingkan dengan mencit tanpa AKI. Peningkatan kadar

FGF-23 serum secara signifikan 1 jam setelah onset AKI dan mencapai 18 kali

lipat nilai dasar setelah 24 jam (4500 ± 562 pada AKI versus 307 ± 19 pada non

AKI; p < 0,01). Peningkatan kadar fosfat secara signifikan terjadi dalam 24 jam

pada mencit dengan AKI dibandingkan dengan tanpa AKI (11,2 ± 1,4 vs 6,4 ±

0,3; p<0,05). Kadar neutrofil gelatinase-associated lipocalin (NGAL) serum yang

merupakan penanda spesifik untuk deteksi dini AKI, baru terjadi 6 jam setelah

onset AKI. Peningkatan FGF-23 serum pada percobaan binatang dengan AKI,

mendahului peningkatan fosfat dan NGAL. Chistov dkk. (2013) selanjutnya


5

melakukan penelitian lanjutan pada 14 pasien yang menjalani operasi jantung,

dimana terdapat 4 orang yang mengalami AKI. Kadar FGF-23 serum pada pasien

operasi jantung yang mengalami AKI, meningkat 15,9 kali lipat 24 jam setelah

operasi. Hasil tersebut sebanding dengan penelitian pada binatang mencit

sebelumnya (Christov dkk., 2013).

Peningkatan kadar FGF-23 dan fosfat serum pada pasien AKI memiliki

implikasi klinis yang besar. Leaf dkk. (2012) melaporkan peningkatan kadar FGF-

23 serum berhubungan dengan peningkatan risiko kematian dan diperlukannya

renal replacement therapy (RRT) pada pasien AKI (OR=13,73 per 1SD log FGF-

23, 95%, CI=1,75-107,50). Berdasarkan hal tersebut, peningkatan kadar FGF-23

dan fosfat serum telah menjadi kajian untuk dijadikan target terapi pada pasien

AKI. Beberapa obat-obatan seperti pengikat fosfat dan calcimimetic (cinacalcet)

dapat menurunkan kadar FGF-23 dan fosfat serum (Wetmore dkk., 2010).

Diperlukan penelitian dalam skala besar untuk mengetahui manfaat pemberian

kedua obat tersebut dalam menurunkan mortalitas pasien AKI.

Penelitian-penelitian diatas menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kadar

fosfat dan FGF-23 serum pada pasien AKI. Penelitian ini dilakukan untuk

membuktikan hubungan antara peningkatan kadar fosfat serum, FGF-23 serum

dan stadium AKI.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah terdapat hubungan antara kadar fosfat serum dan stadium AKI?

2. Apakah terdapat hubungan antara kadar FGF-23 serum dan stadium AKI?
6

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum: mengetahui kadar fosfat dan FGF-23 serum pada penderita

AKI serta hubungannya dengan stadium AKI.

1.3.2 Tujuan khusus:

1. Mengetahui hubungan antara kadar fosfat serum dan stadium AKI

2. Mengetahui hubungan antara kadar FGF-23 serum dan stadium AKI.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan: dapat diketahui hubungan

antara kadar fosfat serum, FGF-23 serum dan stadium AKI.

2. Manfaat praktis: dengan mengetahui hubungan antara kadar fosfat serum,

FGF-23 serum dan stadium AKI, maka kedua parameter tersebut dapat

dipertimbangkan sebagai parameter dalam deteksi dini serta sasaran terapi

pada AKI.
7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Stadium AKI

2.1.1 Definisi AKI

Terdapat berbagai definisi AKI yang telah diajukan para ahli, dengan berbagai

keterbatasannya. Berdasarkan hal tersebut KDIGO mengajukan definisi AKI

untuk kepentingan praktis dan keseragaman dalam penelitian. Definisi AKI

menurut KDIGO ialah salah satu dari kondisi berikut:

1. Peningkatan kreatinin serum ≥ 0,3 mg/dl dalam 48 jam; atau

2. Peningkatan kreatinin serum ≥ 1,5 kali nilai dasar, baik yang diketahui

maupun diasumsikan terjadi dalam 7 hari; atau

3. Volume urin ˂ 0,5 ml/kgbb/jam selama 6 jam

2.1.2 Stadium AKI

Stadium AKI dibagi berdasarkan dua parameter yaitu kadar kreatinin serum

dan produksi urin. Kedua parameter tersebut dipakai dengan pertimbangan bahwa

bila laju filtrasi glomerolus (LFG) tiba-tiba menjadi nol, maka peningkatan

kreatinin serum tidak akan terdeteksi dalam beberapa jam, sedangkan produksi

urin akan langsung terpengaruh. Berdasarkan hal tersebut, diagnosis AKI dibuat

dengan menggabungkan parameter kreatinin serum dan produksi urin (KDIGO,

2012). Stadium AKI ditetapkan berdasarkan stadium yang paling berat dari

parameter kreatinin serum dan produksi urin.


8

Tabel 2.1 Stadium AKI Menurut KDIGO 2012

Stadium Kreatinin serum Produksi urin

1 1,5 -1,9 kali nilai dasar ˂ 0,5 ml/kgbb/jam


atau selama 6-12 jam
Meningkat ≥ 0,3 mg/dl
2 2,0-2,9 kali nilai dasar ˂ 0,5 ml/kgbb/jam
selama ≥ 12 jam
3 3,0 kali nilai dasar ˂ 0,3 ml/kgbb/jam
atau selama ≥ 24 jam
Peningkatan kreatinin serum ≥ 4,0 mg/dl atau
atau Anuria selama ≥ 12
Inisiasi dari RRT jam
atau pada pasien ˂ 18 tahun, terjadi
penurunan LFG ˂ 35ml/menit per 1,73 m2

Yang dimaksud dengan nilai dasar kreatinin serum disini, ialah:

1. Kadar kreatinin serum terendah dalam 3 bulan terakhir yang tercatat dalam

rekam medis pasien.

2. Bila kreatinin serum awal tidak diketahui, maka nilai dasar kreatinin serum

ialah nilai terendah yang didapatkan setelah pengulangan pemeriksaan

kreatinin serum dalam 24 jam, atau dapat juga menggunakan estimasi

kadar kreatinin serum normal berdasarkan umur, jenis kelamin dan ras

seperti tercantum dalam tabel 2.2.

2.2 Penyebab AKI

Penyebab terjadinya AKI secara patogenesis dibagi menjadi 3 kelompok

utama yaitu: (1) penyakit yang mengakibatkan penurunan perfusi ke ginjal tanpa

menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI prerenal); (2) penyakit yang

secara langsung menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI

renal/intrinsik) serta (3) penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih
9

(AKI pascarenal). Sebagian besar penyebab AKI ialah prerenal (55%) diikuti oleh

renal sebesar 40% serta pascarenal sebesar 5% (Thadani dkk., 1996).

Tabel 2.2 Nilai Dasar Kreatinin Serum Normal Berdasarkan Umur, Jenis
Kelamin dan Ras (Bellomo dkk., 2004)

Pria (mg/dl) Wanita (mg/dl)


Umur (tahun)
kulit hitam non kulit hitam kulit hitam non kulit hitam

20-24 1.5 1,3 1,2 1,0


25-29 1.5 1,2 1,1 1,0
30-39 1.4 1,2 1,1 0,9
40-54 1,3 1,1 1,0 0,9
55-65 1,3 1,1 1,0 0,8
> 65 1,2 1,0 0,9 0,8

2.2.1 Penyebab Prerenal

Penyebab AKI prerenal ialah efek sekunder dari hipoperfusi. Penyebab

prerenal biasanya memiliki reversibilitas yang baik bila dikoreksi dengan cepat.

Penyebab AKI prerenal di masyarakat paling sering oleh diare, muntah-muntah,

demam tinggi dengan asupan cairan yang kurang. Penyebab AKI prerenal yang

terjadi di rumah sakit paling sering oleh gagal jantung dan syok sepsis (Roesli,

2011, Emria 2014). Berbagai penyebab AKI prerenal dapat dilihat dalam tabel

2.3.

2.2.2 Penyebab Renal

Penyebab intrinsik pada proses renal dapat dikategorikan secara anatomi

menjadi: tubuler, interstitial, glomerular, dan vaskuler. Analisis mikroskospis dari

urin merupakan proses yang terintegrasi untuk menentukan lokasi kerusakan

nefron. Kerusakan tubuler biasanya muncul dalam manifestasi sebagai muddy

brown cast granuler. Kerusakan interstitial dapat muncul sebagai pembentukan


10

cetakan sel darah putih. Analisis mikroskopis dari proses glomerular dan

kerusakan mikrovaskuler menunjukkan sel darah merah yang dismorfik. Acute

tubuler necrosis (ATN) dapat disebabkan oleh paparan berkepanjangan dari

proses prerenal (misalnya iskemik) atau oleh kerusakan langsung oleh toksin yang

bersifat nefrotoksik (Lattanzio dan Kopyt, 2009). Berbagai penyebab renal dari

AKI selengkapnya disampaikan dalam tabel 2.4.

Tabel 2.3 Penyebab AKI Prerenal (dimodifikasi dari Roesli, 2011)

Mekanisme Contoh

Kehilangan volume cairan Dehidrasi, perdarahan masif, kehilangan cairan


tubuh melalui: gastrointestinal (diare, muntah); ginjal
(diuretik, osmotik diuretik, insufisiensi adrenal;
kulit (luka bakar, diaphoresis), peritoneum
(drain pasca operasi)
Penurunan volume efektif Infark miokard, kardiomiopati, perikarditis,
pembuluh darah (cardiac aritmia, disfungsi katup, gagal jantung, emboli
output) paru, hipertensi puulmonal, dll.
Redistribusi cairan Hipoalbumin (sindrom nefrotik, sirosis hepatis),
syok sepsis, gagal hati, peritonitis, pankreatitis,
rhabdomiolysis, obat-obatan vasodilator dll.
Obstruksi renovaskuler Arteri renalis (stenosis intravaskuler, emboli),
vena renalis (trombosis intravaskuler, infiltrasi
tumor)
Vasokontriksi intra-renal NSAID, siklosporin, sindrom hepatorenal,
primer hipertensi maligna, preeklamsia, skleroderma

2.2.3 Penyebab Pascarenal

Sekitar 10% dari AKI disebabkan oleh penyebab pascarenal. Obstruksi

saluran kencing bisa terjadi dimulai dari ureter, kandung kemih hingga urethra.

Obstruksi tersebut mengakibatkan peningkatan tekanan di dalam kapsula bowmen

dan menurunkan tekanan hidrostatik sehingga terjadi penurunan LFG. Obstruksi

ureter baik bilateral maupun unilateral dapat disebabkan oleh tumor


11

(endometrium, servik, limfoma, metastase), sedangkan obstruksi kandung kemih

atau urethra dapat disebabkan oleh tumor/hipertrofi prostat, tumor kandung

kemih, prolap uteri, neurogenic bladder, bekuan darah serta obstruksi ureter

(Roesli, 2011).

Tabel 2.4 Penyebab AKI Renal (dimodifikasi dari Thadani dkk., 1996).

Mekanisme Penyebab

Nekrosis tubuler akut Obat-obatan (aminoglikosida, cisplatin, ampoteresin


B), iskemia berkepanjangan, syok septik, obstruksi
intratubuler (rhabdomiolysis, hemolisis, multiple
mieloma, asam urat, kalsium oksalat), toksin (bahan
kontras radiologi, karbon tetraklorid, etilen glikol,
logam berat)
Nefritis interstitial akut Obat-obatan (penisilin, NSAID, ACE inhibitor,
alupurinol, cimetidine, H2 blocker, proton pump
inhibitor), infeksi (streptokokus, difteri, leptospirosis),
metabolik (hiperurikemia, nefrokalsinosis), toksin
(etilene glikol, kalsium oksalat), penyakit autoimun
(SLE, cryoglobulinemia)
Glomerulonefritis akut Pascainfeksi (streptokokus, bakteri, hepatitis B, HIV,
abses visceral), vasculitis sistemik (SLE, Wegeners
granulomatous, poliartritis nodusa, Henoch-Sconlein
purpura, IgA nefritis, sindrom goodpasture),
glomerulonefritis membranoploriferatif serta idiopatik
Oklusi Trombotik thrombositopenia purpura, hemolitic
mikrokapiler/glomerular uremic syndrom, disseminated intravasculer
coagulation, cryoglobulinemia, emboli kolesterol

2.3 Diagnosis AKI

2.3.1 Diagnosis Klinis

Pendekatan klinis untuk diagnosis AKI ialah melalui prosedur rutin

anamnesis dan pemeriksaan fisik. Diagnosis harus dibuat secara komprehensif,

mencakup penilaian faktor risiko individu untuk mengalami AKI, etiologi hingga

komplikasinya. Risiko terjadinya AKI meningkat dengan adanya paparan terhadap


12

bahan-bahan yang dapat menyebabkan AKI (misalnya: sepsis, luka bakar, trauma,

operasi jantung, obat nefrotoksik dll.) atau adanya berbagai faktor yang

meningkatkan kerentanan seseorang untuk menderita AKI (seperti: dehidrasi,

umur tua, pasien PGK, DM, penyakit kronis dll.).

2.3.2 Pemeriksaan Penunjang

Untuk menegakkan diagnosis serta etiologi AKI diperlukan beberapa

pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan

radiologis serta penanda biologis (biomarker) baru. Pemeriksaan laboratorium

meliputi pemeriksaan kreatinin serum, urea, urinalisis, fraksi ekskresi natrium,

fraksi ekskresi ureum, serta osmolalitas urin. Aplikasi pemeriksaan laboratorium

serta radiologis untuk membedakan etiologi AKI disampaikan dalam tabel 2.5.

Tabel 2.5 Pemeriksan Penunjang Diagnosis untuk Menentukan Etiologi AKI


(Agraharkar dkk., 2007; Lattanzio dan Kopyt, 2009)

Parameter Prerenal Renal Pascarenal

Rasio BUN: SC > 20:1 < 20:1


Faksi ekskresi natrium <1 >2
(%)
Fraksi ekskresi dari < 35 > 35
ureum (%)
Berat jenis urin >1,020 1,010-1,020
Osmolaliritas urin > 500 mOsm < 400 mOsm
Sedimen urin, tipe cast Bland, Granuler Red cell cast
hyaline
Sodium urin, mEq/L < 20 > 40
USG Normal Normal Hidronefrosis,
pielonefrosis

2.3.3 Diagnosis Banding


13

Diagnosis banding AKI ialah kondisi akut pada PGK (acute on chronic

kidney disease/ACKD). Cara membedakan AKI dengan kondisi akut pada PGK

dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

baik laboratorium maupun radiologis (tabel 2.6).

Tabel 2.6 Perbedaan AKI dengan Kondisi Akut pada PGK (KDIGO, 2012)

Penanda AKI Kondisi akut pada


PGK/ACKD

Kelainan patologi - +
Penanda urinalisis
RBC/casts + +
WBC/casts + +
RTE/casts + +
Granuler cast kasar dan halus + +
Proteinuria + +
Penanda darah (sindroma tubuler) + +
Radiologis
Ginjal mengecil - +
Hidronefrosis + +
Kista - +
Batu - +
Riwayat transplantasi ginjal - +

2.4 Fosfat

Fosfat sangat penting untuk berbagai fungsi sel. Fosfat berperanan dalam

komponen DNA, membran lipid sel, sintesis energi, second messenger (inositol

triphosphate; cyclic adenosine monophosphate/cAMP; cyclic guanosine

monophosfate), proses fosforilasi protein, regulasi berbagai enzim serta aktvitas

reseptor dalam tubuh (Juppner, 2011).

Fosfat total tubuh adalah 500-700 g, dan 85% terdiri dari kristal

hydroxypatite pada tulang bersama-sama dengan kalsium, 15% terletak di


14

kompartemen selular dan kurang dari 1% terletak di cairan ekstraselular seperti

tampak pada gambar 2.1 (Mirza, 2010).

Gambar 2.1 Homeostasis Fosfat (Mirza, 2010)

Fosfat dalam darah bebas dari pengikat protein dan ada dalam bentuk

H2PO4, HPO4-2 dan PO4, sehingga fosfat yang beredar sering dinotasikan sebagai

fosfat anorganik. Konsentrasi fosfat serum normal 2,8-4,5 mg/dl (0,9-1,5 mmol/l)

dan dipertahankan melalui interaksi yang kompleks antara usus, ginjal, tulang dan

kelenjar paratiroid (Kestenbaum dan Drueke, 2010).

Absorpsi dan reabsorpsi fosfat terutama di intestinal dan ginjal. Konsumsi

harian fosfat sekitar 800 mg-1500 mg, dan 65% dari fosfat tersebut diabsorbsi di

duodenum dan jejunum dan bervariasi sesuai dengan konsumsi fosfat melalui

proses paraselular dan intraselular (Raina dkk., 2012). Proses intraselular di

mediasi melalui type IIb natrium fosfat cotransporters (NPT2b) yang terdapat

pada vili usus halus. Jalur paraselular merupakan gradient-dependent atau

transport pasif (gambar 2.2). Mekanisme kerja dari Npt2b pada usus halus

ditentukan oleh jumlah asupan fosfat melalui makanan serta calcitriol/vitamin D.


15

Calcitriol (1,25[OH] 2 D) menstimulasi ko-transporter NPT2b, merupakan

hormon utama yang mengatur absorpsi fosfat di usus. Kation, seperti kalsium,

magnesium, dan aluminium, berikatan dengan fosfat di saluran cerna dan

menghambat absorpsinya. Pada hewan dan manusia, diet tinggi fosfat

menyebabkan eksresi cepat fosfat di urin, tanpa peningkatan kadar fosfat serum

(Kestenbaum dan Drueke, 2010).

Gambar 2.2 Absorpsi Fosfat di Usus (Blaine dkk., 2014)

Ginjal merupakan organ utama yang mengatur homeostasis fosfat

ekstraselular. Fosfat difiltrasi di glomerulus dan direabsorpsi di tubulus proksimal.

Sekitar 85% reabsorpsi fosfat terjadi di tubulus proximal ginjal melalui proses

intraselular (Raina dkk., 2012; Blaine dkk., 2014). Proses ini dimediasi oleh tiga

sodium phosphate cotransporters: NPT2a, NPT2c dan PiT-2 yang terletak di

membran apikal dari sel tubulus proximal ginjal. Pada manusia NPT2a dan

NPT2c memiliki peranan utama dalam reabsorpsi fosfat di tubulus proksimal.

Dalam melakukan fungsinya ketiga sodium cotransporters tersebut menggunakan

energi yang berasal dari perpindahan sodium melalui perbedaan gradien untuk
16

memindahkan fosfat dari filtrate glomerolus kedalam sel tubulus (gambar 2.3).

Jumlah fosfat yang direabsorbi tergantung dari banyaknya sodium phosphate

cotransporter yang terletak di membran apikal sel tubulus proximal. Dalam

keadaan normal, jumlah fosfat yang difiltrasi sama dengan jumlah fosfat yang

diabsorpsi (Kestenbaum dan Drueke, 2010). Pada kondisi ginjal normal, diet

tinggi fosfat menyebabkan penurunan aktivitas NPT2a dan NPT2c sehingga

menurunkan reabsoprsi fosfat dari ultrafiltrasi glomerolus, sebaliknya pada diit

rendah fosfat maka akan meningkatkan aktivitas NPT2a dan NPT2c sehingga

meningkatkan reabsorpsi fosfat (Blaine dkk., 2014).

Gambar 2.3 Absorpsi Fosfat di Ginjal (Blaine dkk., 2014)

Hormon paratiroid (PTH) dan FGF-23 merupakan dua hormon fosfaturic

utama yang bekerja pada ginjal dengan cara menekan aktivitas NPT2a, NPT2c

serta PiT-2 (Kestenbaum dan Drueke, 2010; Blaine dkk., 2014). Mekanisme kerja

kedua hormon tersebut pada ginjal dijelaskan sebagai berikut. Pada kondisi

penurunan LFG baik pada AKI maupun PGK maka akan terjadi peningkatan

kadar fosfat, yang akan menstimulasi pelepasan hormon PTH dari kelenjar
17

paratiroid (gambar 2.4). Peningkatan kadar PTH akan menyebabkan penurunan

jumlah NPT2a dan NPT2c pada membran basal tubulus proximal, yang akan

menyebabkan peningkatan ekskresi fosfat lewat urin (Blaine dkk.,2014).

Gambar 2.4 Peranan PTH dalam Homeostasis Fosfat Bila Terjadi Penurunan
LFG (Blaine dkk., 2014)

Pada kondisi penurunan LFG seperti pada AKI dan PGK, peningkatan kadar

fosfat yang terjadi juga akan merangsang sel osteosit tulang untuk meningkatkan

produksi FGF-23 (gambar 2.5). Fibroblast growth factor 23 memerlukan kofaktor

kloto di ginjal dan mengaktifkan FGF reseptor 1. Selanjutnya FGF-23-kloto

kompleks menurunkan aktivitas NPT2a dan NPT2c di tubulus proximal, sehingga

menurunkan reabsorpsi fosfat serta meningkatkan ekskresi fosfat lewat urin.

Peningkatan kadar FGF-23 serum juga menurunkan kadar 1,25 (OH)2 D

(calsitriol) dengan cara menekan aktvitas 1α-hydroxylase yang berfungsi untuk

sintesis calsitriol serta meningkatkan aktivitas enzim 24-hydroxylase yang

berfungsi meningkatkan degradasi calcitriol. Penurunan kadar calsitriol akan

menurunkan absorpsi fosfat di usus. Sehingga dengan meningkatkan ekskresi


18

fosfat urin dan menurunkan absorpsi fosfat di usus halus, maka peningkatan kadar

FGF-23 serum tersebut diharapkan mampu mencegah terjadinya hiperfosfatemia

(Blaine dkk.,2014; Scialla dan Wolf, 2014).

Gambar 2.5 Peranan FGF-23 dalam Homoestasis Fosfat Bila Terjadi Penurunan
LFG (Blaine dkk., 2014)

2.5 Fibroblast Growth Factor 23

2.5.1 Struktur dan asal dari FGF-23

Fibroblast growth factor 23 merupakan protein 32-kDa dengan 251 asam

amino yang disekresi terutama oleh osteosit dan osteoblas tulang kedalam

sirkulasi (Dominguez dkk., 2013). Protein ini juga diekspresikan dalam jumlah

yang kecil oleh glandula salivatorius, lambung, dan dalam konsentrasi rendah juga

terdapat di otot rangka, otak, glandula mamaria, liver dan jantung (Martin dkk.,

2012). Strukturnya terdiri dari 24 sequens asam amino hydrofilik dan terminal

NH2 yang terdiri dari 154 asam amino mengandung inti FGF dengan regio yang

homolog dan domain terminal COOH yang mengandung 73 asam amino (gambar
19

2.6). Terjadi pemotongan dan O-glikosilasi terhadap sequens signal 24 asam

amino oleh enzim UDP-N-asetil-α-D-galactosamine dan polypeptide N

acetylgalactosaminyl-tranferase 3 (GALNT3), sebelum akhirnya protein FGF-23

mature disekresikan kedalam sirkulasi. Pada aliran darah protein FGF-23 beredar

dalam dua bentuk yaitu: bentuk yang mature/ a full length mature form (25

FGF23251) dan dalam bentuk yang lebih pendek yaitu (25FGF23179) yang tidak

mengandung 73 asam amino (COOH-terminal tail). Hanya bentuk mature yang

aktif, karena domain terminal COOH sangat penting untuk berinteraksi dengan

dengan kofaktor α-kloto dan aktivasi dari signal FGF-23 (Martin dkk., 2012;

Diniz dan Frazao, 2013).

Fibroblast growth factor 23 pertama kali di temukan pada tikus sebagai

anggota baru keluarga FGF dan diidentifikasi sebagai faktor humoral penyebab

autosomal dominan hypophosphatemic rakhitis/ osteomalacia (ADHR) dan tumor

yang diinduksi osteomalacia (TIO). Kelainan ini ditandai oleh hypophosphatemia,

rendahnya kadar 1,25 (OH)2 vitamin D dan rakhitis/osteomalasia (Razzaque dan

Lanske, 2007).

Mekanisme kerja FGF-23 dengan berikatan terhadap fibroblast growth

factor reseptor (FGFR) serta membutuhkan kofaktor klotho pada ginjal dan

kelenjar paratiroid. Terdapat beberapa reseptor FGF yaitu FGFR1, FGFR3 serta

FGFR4. Khusus pada ginjal FGFR1 merupakan reseptor utama. Fibroblast

growth factor reseptor 1 merupakan reseptor utama FGF23 yang memediasi efek

fosfaturic dari FGF-23, sedangkan FGFR3 dan 4 lebih berperan dalam

metabolisme vitamin D.
20

Gambar 2.6 Struktur FGF-23 ( Razzaque dan Lanske, 2007)

2.5.2 Peranan FGF-23 dalam Kondisi Fisiologis

Peranan utama FGF-23 ialah menjaga keseimbangan metabolisme fosfat

dalam tubuh. Peranan tersebut melibatkan ginjal, tulang serta kelenjar paratiroid.

Secara skematis pernanan FGF-23 daalam menjaga keseimbangan fosfat dalam

kondisi normal dirangkum dalam gambar 2.7 berikut:

Gambar 2.7 Peranan FGF23 dalam Meregulasi Metabolisme Fosfat pada Keadaan
Fisiologis (Lafage-Proust, 2010)
21

Pada kondisi fisiologis, bila terjadi peningkatan kadar fosfat dalam darah

(hiperfosfatemia) maka akan memicu peningkatan kadar FGF-23 serum. Pada

ginjal, FGF23 akan terikat dengan reseptornya (FGFR) serta kofaktor α-kloto.

Pada sel tubulus proksimal ginjal, FGF-23 akan menekan ekspresi NPT2a serta

NPT2c sehingga menyebabkan peningkatan ekskresi fosfat lewat urine dalam

rangka menormalkan kembali kadar fosfat serum. Natrium phosphate transporter

2a merupakan cotransporter utama dalam proses reabsorpsi fosfat dan ditemukan

secara ekslusif pada membran apikal sel tubulus proksimal ginjal.

Fibroblast growth factor 23 juga menekan sintesis 1,25 dihydroxyvitamin D.

Efek tersebut melalui penghambatan 25-hydroxyvitamin D 1-α-hydroxilase

(Cyp27b1) dan stimulasi dari 1,25 dyhydroxyvitamin D 24-hydroxylase (Cyp24a1)

pada tubulus proximalis (Shimada dkk., 2004; Liu dkk., 2006). Kedua enzim

tersebut yaitu: Cyp27b1 dan Cyp24a1 merupakan enzim pada ginjal yang masing-

masing bertanggung jawab untuk sintesis bentuk bioaktif dari vitamin D dan

inisiasi dari degradasi dari bentuk bioaktif vitamin D menjadi bentuk tidak aktif

asam calsitriol. Bila kita amati efek FGF-23 pada peningkatan ekskresi fosfat

serta penekanan sintesis vitamin D terjadi di bagian tubulus proksimal ginjal

(gambar 2.8). Sesunguhnya reseptor FGF-23 (FGFR) serta α-kloto sebagian besar

terletak di tubulus distal, sehingga hal ini dikenal dengan hipotesis distal to

proximal tubulur feedback mechanism (Martin dkk., 2012).


22

Gambar 2.8 Pengaturan Homeostasis Fosfat oleh Ginjal: Hipotesis Distal to


Proximal Feedback Mecahnism (Martin dkk., 2012)

Pengaruh FGF-23 pada kelenjar paratiroid dalam kondisis fisiologis masih

belum diketahui secara jelas (Canalejo dkk., 2010). Beberapa penelitian

menunjukkan FGF-23 diduga menghambat sekresi PTH baik secara invitro

(Krasjisnik dkk., 2007) maupun in vivo (Ben-Dov dkk., 2007). Hormon paratiroid

(PTH) memiliki efek menstimulasi osteoklas yang menyebabkan terjadinya

resorbsi tulang sehingga terjadi peningkatan kadar fosfat dan calsium. Sementara

pada ginjal PTH memiliki efek menstimulasi 1-α-hydroxilase sehingga terjadi

peningkatan sintesis 1,25 dihydroxyvitamin D, kemudian meningkatkan reabsopsi

kalsium pada tubulus distal. Kadar kalsium dalam darah sendiri memiliki efek

umpan balik negatif pada kelenjar paratiroid melalui calsium sensing

reseptor/CaSR (Saliba dkk., 2009).

2.5.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kadar FGF-23 Serum

Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar FGF-23 serum dibagi menjadi 3

katagori yaitu: faktor sistemik, faktor lokal serta faktor posttranslational (Martin
23

dkk., 2012). Faktor sistemik meliputi: 1) vitamin D (1.25 (OH) 2D; 2) kadar

fosfat serum; 3) PTH serta 4) faktor sistemik yang lain.

Vitamin D merupakan faktor sistemik terpenting terhadap kadar FGF-23

serum. Pemberian vitamin D meningkatkan kadar FGF-23 serum, ganguan dalam

metabolisme vitamin D menurunkan kadar FGF-23 serum (Salto dkk., 2005 dan

Liu dkk., 2006). Peningkatan kadar Vitamin D menyebabkan peningkatan

absorpsi kalsium dan fosfat pada saluran cerna. Kedua hal ini akan menyebabkan

penekanan produksi PTH oleh kelenjar paratiroid, dan kemudian pada ginjal

meningkatkan eksresi kalsium urin untuk mempertahankan kadar kalsium pada

kadar normal. Penurunan kadar PTH yang menyebabkan penurunan ekskresi

fosfat, kemungkinan menyebabkan keseimbangan fosfat yang positip, oleh

karena efek vitamin D untuk meningkatan absorbsi fosfat di saluran cerna, tidak

mampu mengatasi peningkatan FGF-23 yang juga menekan sintesis 1,25(OH)2D.

Siklus hormonal yang klasik ini menjadi: peningkatan 1,25 (OH) 2D 

meningkatkan FGF-23 menurunkan kadar 1,25 (OH)2 D (Martin dkk., 2012).

Kerja dari FGF-23 juga diatur oleh aktivitas reseptor vitamin D (VDR) baik

secara dependent maupun independent. Stimulasi pada 1,25 (OH)2 D-VDR akan

meningkatkan ekpresi FGF-23 yang dibuktikan dengan meningkatnya kadar FGF-

23 setelah diberikan 1,25 (OH) 2D. Penelitian pada mencit yang telah dihilangkan

aktivitas VDR, ternyata pemberian diet untuk menormalkan kadar kalsium dan

fosfat dapat meningkatkan kadar FGF23. Hal tersebut menujukkan bahwa, ekpresi

FGF-23 juga dikendalikan oleh vitamin D yang tidak tergantung pada VDR

(Shimada dkk., 2004; Marsell dkk., 2008).


24

Efek fosfat terhadap FGF-23 masih belum sepenuhnya diketahui. Pemberian

fosfat pada mencit percobaan, meningkatkan kadar FGF-23. Penelitian pada

manusia ternyata memberikan hasil yang tidak konsisten. Efek pemberian diet

dengan fosfat yang tinggi maupun rendah, akan memberikan efek terhadap kadar

FGF-23 bila diberikan dalam jangka panjang (Larson dkk., 2003; Burnett dkk.,

2006; Parwad dkk., 2005). Pada penderita dengan PGK, terjadi juga peningkatan

kadar FGF-23 yang sebanding dengan peningkatan kadar fosfat serum. Pemberian

diet fosfat digabung dengan fosfat binder dilaporkan cukup untuk menurunkan

ekskresi fosfat urin akan tetapi sangat sedikit efeknya dalam menurunkan kadar

FGF-23 serum (Oliveira dkk., 2010).

Faktor sistemik penting yang lain ialah kadar PTH serum. Penelitian secara

invitro menunjukkan PTH secara langsung meningkatkan ekpresi gen FGF-23.

Pada penderita dengan hiperparathyroid primer terdapat peningkatan kadar FGF-

23 serum, sedangkan paratiroidektomi akan menurunkan kadar FGF-23 pada

penderita PGK (Sato dkk., 2004; Kawata dkk., 2007).

Terdapat beberapa faktor sistemik lain yang diduga mempengaruhi kadar

FGF-23 serum. Faktor tersebut ialah leptin, terapi dengan glukokortikoid, hormon

estrogen serta inflamasi sistemik (Tsuji dkk., 2010; Carrilo-lopez dkk., 2009;

Cristov dkk., 2013).

Faktor lokal khususnya pada tulang juga berperanan dalam meregulasi kadar

FGF-23 serum. Faktor tersebut ialah regulasi oleh phosphate regulating gene with

homologies to endopeptidases on the X chromosome (PHEX) serta dentin matrix

protein 1 (DMP1). Bila terjadi mutasi atau inaktivasi dari PHEX, maka akan
25

meningkatkan ekpresi gen FGF-23 pada sel osteoblas dan osteosit tulang (Liu

dkk., 2006; Yuan dkk., 2008). Mutasi maupun inaktivasi dari DMP1 juga

menyebabkan peningkatan ekpresi FGF-23 pada osteoblas dan osteosit tulang

(Feng dkk., 2006; Liu dkk., 2006). Ekpresi FGF-23 pada tulang juga dipengaruhi

oleh reseptor FGF-23 (FGFR). Mutasi pada FGFR-1 seperti pada penyakit

osteoglophonic dysplasia (OGD) akan menyebabkan peningkatan kadar FGF-23

serum serta hipofosfatemia (White dkk., 2005).

Kadar FGF-23 dalam plasma khususnya dalam bentuk yang aktif, juga diatur

secara posttranslational oleh furin-like proteases serta GalNAC tranferase 3

(GALNT3), yang masing-masing bertanggungjawab dalam proses proteolitik dan

inisiasi dari O-glycosylation dari FGF-23. Mutasi pada GALNT3 seperti pada

penyakit hiperphosfatemic familial tumoral calcinosis/HFTC menyebabkan

rendahnya kadar FGF-23, hiperfosfatemia serta kalsifikasi ektopik (Specktor

dkk., 2006; Balbieri dkk., 2007).

2.6 Fibroblast Growth Factor 23 dan Fosfat pada PGK

Pada PGK terjadi hiperfosfatemia yang diakibatkan oleh berkurangnya

kemampuan filtrasi glomerolus terhadap fosfat, sehingga terjadi retensi fosfat. Hal

ini diikuti oleh peningkatan kadar fibroblast growth factor 23 (FGF-23) serum

oleh sel osteosit tulang. Fibroblast growth factor 23 bekerja pada tubulus ginjal

untuk meningkatkan ekskresi fosfat urin, sehingga kadar fosfat serum kembali

normal. Peningkatan kadar FGF-23 serum juga menekan sintesis 1,25-

dihydroxyvitamin D, sehingga terjadi hipokalsemia yang selanjutnya merangsang


26

peningkatan hormon paratiroid/hiperparatiroid sekunder (Oliveira dkk., 2010;

Russo, 2011).

Kadar FGF-23 serum ini secara signifikan meningkat seiring progresi

penyakit ginjal kronik serta secara independent berhubungan dengan peningkatan

risiko kematian, kejadian kardiovaskuler, progresi menjadi gagal ginjal terminal

serta kegagalan awal cangkok ginjal (Isakova dkk., 2011; Juppner, 2011).

Hubungan antara peningkatan FGF-23 serum dan penurunan LFG telah

diketahui secara baik pada pasien PGK. Penelitian oleh Bachchetta dkk. (2010)

menemukan hubungan yang terbalik antara LFG dengan kadar C terminal FGF-

23 serta intact FGF23 plasma (r = - 0,214 dan r = - 0,30; p = 0,001). Filler dkk.

(2011) juga melaporkan hubungan yang signifikan antara FGF-23 dengan estimasi

LFG dengan menggunakan cystatin C (r = - 0,47, p <0,0001). Hasil yang

sebanding dilaporkan oleh Dominguez dkk. (2013). Terdapat hubungan yang

signifikan antara estimasi LFG dengan ln{C terminal FGF23} (r = - 0,35, p <

0,05). Pada penelitian tersebut juga didapatkan hubungan yang signifikan antara

estimasi LFG dengan fraksi ekskresi fosfat urine (r = -0,40, p = <0,05)

(Dominguez dkk., 2013).

2.7 Fibroblast Growth Factor 23 dan Fosfat pada Penyakit Jantung

Belakangan ini, banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan

kadar fosfat dan FGF-23 serum berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit

kardiovaskuler baik pada pasien dengan atau tanpa PGK ( Kendrik dkk., 2011;

Scialla dan Wolf, 2014). Peningkatan kadar fosfat serum menginduksi kalsifikasi

vaskuler dan disfungsi endotelial secara in vitro pada model percobaan binatang,
27

begitu juga penelitian observasional pada manusia menunjukan hasil yang serupa

(Scialla dan Wolf, 2014). Peningkatan kadar FGF-23 serum berhubungan dengan

hipertrovi ventrikel kiri dan gagal jantung kongestif. Hal ini kemungkinan

disebabkan oleh efek hipertropik langsung FGF-23 terhadap sel miosit kardiak

(Faul dkk., 2011). Terapi untuk mengontrol kadar FGF-23 dan fosfat serum

dipertimbangkan sebagai target terapi untuk menurunkan risiko penyakit

kardiovaskuler di populasi terutama pada pasien dengan PGK.

2.8 Fibroblast Growth Factor 23 pada Pasien Sakit Berat (Critically Ill)

Pasien dengan penyakit berat/critically ill meskipun tanpa gangguan ginjal

dilaporkan mengalami peningkatan kadar FGF-23 serum, yang diduga akibat

tingginya proses inflamasi pada pasien tersebut (Martin dkk., 2012; Leaf dkk.,

2012). Peningkatan kadar FGF-23 serum pada pasien critically ill kemungkinan

merupakan acute phase reactan (Leaf dkk.,2012). Derajat keparahan penyakit

pada pasien critically ill dapat diukur dengan menggunakan skor dari Acute

Physiology And Chronic Health Evaluation (APACHE) II (Wong dan Knaus,

1991). Penelitian oleh Zhang dkk. (2011) melaporkan terdapat perbedaan skor

APACHE II yang bermakna antara pasien critically ill dengan AKI dibandingkan

dengan pasien critically ill tanpa AKI ( 27 ± 11 versus 17 ± 8, p= 0,04).

Berdasarkan analisis regresi linear multivariat, tidak terdapat hubungan yang

bermakna antara peningkatan FGF-23 serum dengan skor APACHE II ( r= 0,05, p

= 0,14, CI: -0,22-0,11) (Zhang dkk., 2011).


28

2.9 Fibroblast Growth Factor 23 dan Fosfat pada Berbagai Etiologi AKI

Etiologi AKI dapat disebabkan oleh faktor prerenal, renal dan pascarenal

seperti pada uraian sebelumnya. Pengaruh berbagai etiologi AKI terhadap kadar

fosfat FGF-23 dan fosfat serum belum diketahui secara jelas. Leaf dkk. (2012)

melaporkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan kadar FGF-23 serum

berdasarkan etiologi AKI. Diperlukan penelitian lanjutan berskala besar untuk

membuktikan hal tersebut.

2.10 Pengaruh Hemodialisis pada Kadar Fosfat dan FGF-23 Serum

Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari fungsi

ginjal dengan menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan terapi

pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) yang dilakukan pada AKI

stadium 3 maupun AKI stadium 2 dengan indikasi khusus (KDIGO, 2012).

Menurut prosedur, hemodialisis dibedakan menjadi 3 yaitu: hemodialisis

darurat/emergency, hemodialisis persiapan/preparative serta hemodialisis

kronik/reguler (Daugirdas dkk.,2007). Pada penderita AKI dengan gangguan

hemodinamik digunakan metode sustained low efficient dialysis (SLED). Metode

ini menggunakan waktu dialisis yang panjang (6-10 jam) dengan mengurangi

blood flow dan dialisate flow rate. Pada umumnya kecepatan aliran darah sebesar

200 ml per menit dan kecepatan dialisat sebesar 100-300 ml per menit (Daugirdas

dkk., 2007).

Hemodialisis hanya menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal.

Pengaruh hemodialisis terhadap kadar fosfat dan FGF-23 pada penderita AKI

belum belum sepenuhnya diketahui. Pada PGK yang menjalani hemodialisis


29

regular, kadar FGF-23 serum tetap tinggi, hingga mencapai 1000 kali lipat nilai

normal (Wolf dkk., 2010). Hal ini diduga, karena peningkatan produksi FGF-23

serum bukan karena penurunan bersihannya. Peningkatan produksi FGF-23 serum

sebanyak dua kali lipat oleh sel tulang juga telah dibuktikan pada model

percobaan tikus dengan AKI (Chistov dkk., 2013).

2.11 Fibroblast Growth Factor 23 dan Fosfat pada AKI

Mekanisme gangguan metabolisme mineral pada AKI belum sepenuhnya

diketahui. Publikasi atau laporan penelitian yang membahas terjadinya disregulasi

mineral pada AKI masih sangat terbatas. Hiperfosfatemia dan hipokalsemia

merupakan gangguan mineral yang sering dilaporkan. Mekanisme terjadinya

hiperfosfatemia pada AKI disebabkan oleh penghancuran jaringan yang

berlebihan akibat rhabdomiolysis (Shresta dkk., 2004; Shied dkk., 1995; Sperling

dan Tumlin, 1996). Gangguan metabolisme vitamin D, hiperkalsemia maupun

hipokalsemia juga dilaporkan terjadi pada AKI dengan penyebab selain

rhabdomiolysis (Pietrek dkk., 1978; Mallete dan Silvermean, 1980; Massry dkk.,

1974).

Penelitian mengenai kadar FGF-23 serum pada AKI, pertama kali dilaporkan

oleh Leaf dkk. (2010) pada seorang pasien AKI akibat rhabdomiolysis. Laporan

kasus tersebut menemukan peningkatan kadar FGF-23 serum sebesar 619 RU/ml

(nilai normal 7-71 RU/ml). Hal ini diduga karena stimulasi langsung oleh

hiperfosfatemia akibat rhabdomiolysis serta hiperparatiroid yang bersifat transient

akibat terjadinya sekuestrasi kalsium di otot.


30

Penelitian lanjutan oleh Zhang dkk. (2011) juga menemukan peningkatan

kadar FGF-23 pada pasien AKI dengan etiologi selain rhabdomiolysis. Pada

penelitian pendahuluan tersebut melibatkan 12 sampel pasien critically ill di ICU

yang mengalami AKI dibandingkan dengan 8 pasien critically ill tanpa AKI

sebagai kontrol. Kadar FGF-23 serum secara signifikan lebih tinggi pada pasien

critically ill dengan AKI jika dibandingkan dengan kontrol (median FGF-23

serum 1948 RU/ml; IQR,347-4969 versus 252 RU/ml; IQR,65-533, p=0,01). Pada

penelitian ini juga didapatkan hiperfosfatemia lebih tinggi pada pasien dengan

AKI jika dibandingkan dengan pasien tanpa AKI (4,5 ±1 mmol/L versus 3,3 ± 1,1

mmol/L, p=0,02). Hiperpatiroid berat (PTH > 250 mg/dl) ditemukan pada pasien

AKI, meskipun tidak bermakna secara statistik.

Penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar dilaporkan oleh Leaf dkk.

(2012). Pada penelitian ini melibatkan 30 pasien AKI dibandingkan dengan 30

pasien tanpa AKI sebagai kontrol. Hiperfosfatemia secara signifikan lebih tinggi

pada pasien yang mengalami AKI dibandingkan kontrol (4.5 ± 1 vs 3,3 ± 1,1,

p=0,02). Kadar FGF-23 serum juga lebih tinggi pada pasien dengan AKI jika

dibandingkan dengan kontrol (median [interquatil range]= 1471 [224-2534]

versus 263 [96-574] RU/ml, p=0,003). Peningkatan kadar FGF-23 serum secara

signifikan telah terjadi 24 jam setelah onset AKI dan menurun pada hari ke-5.

Christov dkk. (2013) melakukan penelitian pada model tikus percobaan

dengan AKI untuk mengetahui waktu dan mekanisme terjadinya peningkatan

FGF-23 dan fosfat serum pada AKI. Pada percobaan ini digunakan injeksi asam

folat intraperitoneal untuk menginduksi terjadinya AKI. Peningkatan kadar fosfat


31

secara signifikan terjadi dalam 24 jam pengamatan pada tikus dengan AKI

dibandingkan dengan tanpa AKI (11,2 ± 1,4 vs 6,4 ± 0,3; p<0,05). Ditemukan

juga peningkatan hormon PTH secara signikan lebih tinggi pada tikus yang

mengalami AKI jika dibandingkan tikus tanpa AKI (1359 ± 320 versus 85 ± 38, p

< 0,05). Peningkatan kadar FGF-23 serum secara signifikan 1 jam setelah onset

AKI dan mencapai 18 kali lipat nilai dasar setelah 24 jam (4500 ± 562 pada AKI

versus 307 ± 19 pada non AKI; p < 0,01). Pada percobaan tersebut (gambar 2.7)

didapatkan peningkatan blood urea nitrogen (BUN) dan FGF-23 serum terjadi

secara signifikan 1 jam setelah onset AKI, sedangkan peningkatan kadar fosfat

serum baru terjadi setelah 2 jam munculnya AKI. Kadar neutrofil gelatinase-

associated lipocalin (NGAL) yang merupakan penanda dini terjadinya AKI, baru

terjadi 6 jam setelah onset AKI. Hal tersebut menyatakan bahwa peningkatan

kadar FGF-23 serum pada percobaan binatang dengan AKI, mendahului

peningkatan kadar fosfat dan NGAL serum. Pada penelitian ini juga dilaporkan

bahwa terdapat peningkatan produksi FGF-23 oleh tulang, sebesar 2 kali lipat

pada binatang mencit dengan AKI jika dibandingkan dengan kontrol.


32

Gambar 2.9 Peningkatan Kadar FGF-23 Sejak Awal Onset AKI (Chritov dkk.,
2013). Pengambilan Sampel Darah Diambil pada Jam ke 0, 1,2,4,6 dan 8 setelah
Injeksi Vehicle (garis putus-putus) serta Injeksi Asam folat ( garis lurus). (a)
Kadar BUN plasma (mg/dl). (b) Kadar Fosfat Plasma (mg/dl). (c) Kadar iFGF-23
plasma (pg/ml). (d) Kadar NGAL Plasma (ng/ml). (e) Kadar cFGF-23 Plasma
(pg/ml)

Hasil penelitian diatas juga diperkuat oleh hasil penelitian pada manusia.

Christov dkk. (2013) melakukan penelitian pada penderita AKI yang terjadi

setelah operasi jantung (gambar 2.10). Pada penelitian ini melibatkan 14 pasien

yang menjalani operasi jantung, dimana terdapat 4 orang yang mengalami AKI.

Dilaporkan peningkatan kreatinin serum 1,4 kali lipat dan peningkatan kadar

FGF-23 serum sebesar 15,9 kali lipat 24 jam setelah operasi. Hasil penelitian

tersebut sebanding dengan penelitian pada model percobaan tikus, ditemukan

peningkatan kadar FGF-23 serum secara signifikan sejak awal terjadinya AKI,

meskipun belum terdapat peningkatan kreatinin serum.


33

Gambar 2.10 Kadar FGF-23 Serum Meningkat pada Pasien Pascaoperasi Jantung
yang Mengalami AKI ( Christov dkk., 2013)

2.12 Hubungan antara Kadar Fosfat Serum, FGF-23 Serum dan Stadium

AKI

Hingga kini belum ada penelitian untuk mencari hubungan antara peningkatan

kadar fosfat serum, FGF-23 serum dan stadium AKI. Zhang dkk. (2011)

melakukan penelitian pendahuluan pada 12 pasien critically ill dengan AKI, yang

terdiri dari dua pasien AKI stadium 1, lima pasien AKI stadium 2 serta lima

pasien AKI stadium 3. Pada pasien AKI stadium 1 kadar fosfat serum mencapai

3,5 mg/dl (nilai normal 2,8 - 4,5 mg/dl) sedangkan pada AKI stadium 3 kadarnya

mencapai 5,5 mg/dl. Kadar FGF-23 serum pada AKI stadium 1 mencapai 437

RU/ml (nilai normal 7-71 RU/ml) dan pada AKI stadium 3 kadarnya mencapai

4369 RU/ml. Peningkatan kadar fofat serum tersebut tidak berkorelasi terhadap

peningkatan FGF-23 serum (r = 0,08, p = 0,74). Peningkatan kadar FGF-23 serum

tidak berkorelasi dengan stadium AKI berdasarkan kriteria AKIN (Zhang dkk.,

2011).
34

Penelitian oleh Leaf dkk. (2012) mendapatkan hasil yang berbeda. Pada

penelitian ini melibatkan 30 pasien AKI baik yang dirawat di ruang perawatan

biasa maupun di ICU. Pada AKI stadium 1 kadar fosfat serum mencapai 3,8 mg/dl

dan pada AKI stadium 3 kadarnya mencapai 5,3 mg/dl. Kadar FGF-23 serum pada

AKI stadium 1 mencapai 224 RU/ml dan pada AKI stadium 3 kadarnya mencapai

2534 RU/ml. Peningkatan kadar fosfat serum berkorelasi dengan kadar FGF-23

serum (r = 0,32, p = 0,02) seperti tampak pada gambar 2.11.

Gambar 2.11 Hubungan antara Peningkatan Kadar Fosfat Serum dan FGF-23
Serum pada Pasien AKI (Leaf dkk., 2012)

Pada penelitian tersebut tidak dicari korelasi antara peningkatan kadar fosfat

serum maupun FGF-23 serum dengan stadium AKI. Peningkatan 1SD dari

lnFGF-23 serum berhubungan dengan dengan peningkatan risiko untuk menjalani

RRT/Renal Replacement Therapy dan kematian pada pasien AKI (Adjusted odds

ratio = 13,73:95% CI= 1,75-107,50). Seperti diuraikan sebelumnya, pasien AKI

yang memerlukan RRT/hemodialisis termasuk AKI stadium 3, sehingga secara

tidak langsung pada penelitian ini menyatakan bahwa peningkatan kadar FGF-23

serum berhubungan dengan stadium AKI, seperti tampak pada gambar 2.12.
35

Gambar 2.12 Peningkatan FGF-23 Serum Meningkatkan Risiko Kematian dan


Diperlukannya RRT pada AKI (Leaf dkk., 2012).

Peningkatan kadar FGF-23 serum pada penderita AKI juga menekan sintesis

1,25 dihydroxyvitamin D, melalui penghambatan 25-hydroxyvitamin D 1-α-

hydroxilase (Cyp27b1) dan stimulasi dari 1,25 dyhydroxyvitamin D 24-

hydroxylase (Cyp24a1) pada tubulus proximalis (Shimada dkk., 2004; Liu dkk.,

2006). Semakin tinggi kadar FGF-23 serum maka akan semakin rendah kadar

1,25 dihydroxyvitamin D. Leaf dkk. (2012) melaporkan pada AKI stadium I kadar

1,25 dihydroxyvitamin D berkisar 20-22 pg/ml (nilai normal 18-72 pg/ml) dan

pada AKI stadium 3 kadarnya turun mencapai 10 pg/ml. Peningkatan kadar FGF-

23 serum berkorelasi negatif dengan kadar 1,25 dihydroxyvitamin D (r = - 0,39,

p= 0,003) seperti tampak pada gambar 2.13.


36

Gambar 2.13 Peningkatan Kadar FGF-23 Serum Berkorelasi Negatif dengan


Kadar 1,25 dyhydroxyvitamin D (Leaf dkk., 2012)

Peningkatan kadar FGF-23 dan fosfat serum pada AKI juga akan

meningkatkan kadar PTH serum. Peningkatan kadar PTH serum akan

menyebabkan penurunan jumlah NPT2a dan NPT 2c pada membran basal tubulus

proximal, yang akan menyebabkan peningkatan ekskresi fosfat lewat urin (Blaine

dkk.,2014). Penelitian oleh Zhang dkk. (2011) pada 12 pasien critically ill dengan

AKI, melaporkan terjadi hiperparatiroid berat (kadar intac PTH serum >250

mg/dl) pada AKI stadium III. Penelitian oleh Leaf dkk. (2012), pada 30 pasien

AKI, melaporkan peningkatan kadar FGF-23 serum berkorelasi dengan

peningkatan kadar PTH serum ( r= 0,37, p = 0,005) seperti tampak pada gambar

2.14.
37

Gambar 2.14 Peningkatan Kadar FGF-23 Serum Berkorelasi Positip dengan


Kadar PTH Serum pada Pasien AKI (Leaf dkk., 2012)
38

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Berpikir

Berbagai penyebab AKI baik prerenal, renal dan pascarenal melalui

serangkaian tahapan menyebabkan iskemia renal dengan hasil akhir penurunan

LFG. Penurunan LFG pada AKI akan menyebabkan gangguan keseimbangan

meabolisme mineral, termasuk peningkatan kadar fosfat dan FGF-23 serum.

Belakangan ini penelitian menunjukkan bahwa penurunan LFG pada AKI

menyebabkan kemampuan ginjal untuk mengekresikan fosfat terganggu, sehingga

terjadi retensi fosfat serta hiperfosfatemia. Hiperfosfatemia akan merangsang

osteosit tulang meningkatkan produksi FGF-23 serum. Peningkatan produksi

FGF-23 serum akan meningkatkan ekskresi fosfat urin untuk mengembalikan

kadar fosfat serum ke arah normal. Pada AKI mekanisme tersebut terganggu

akibat disfungsi nefron global yang menyebabkan peningkatan kadar fosfat dan

FGF-23 serum. Pada penelitian ini kami ingin meneliti hubungan antara

peningkatan kadar fosfat, FGF-23 serum dan stadium AKI.

Peningkatan kadar FGF-23 juga diakibatkan oleh PGK, penyakit jantung

kongestif atau pembesaran ventrikel kiri. Terapi dengan obat pengikat fosfat,

hemodialisis, vitamin D dapat menurunkan kadar fosfat dan FGF-23 serum.

Derajat keparahan penyakit dasar yang mendasari AKI juga berpengaruh terhadap

peningkatan kadar FGF-23 serum.


39

3.2 Konsep

1. Penderita AKI yang telah 1. Usia


menjalani hemodialisis 2. Derajat keparahan penyakit
1. PGK dasar (APACHE II)
2. Diabetes melitus 3. Penyakit Jantung Kongestif
3. Terapi pengikat fosfat atau pembesaran ventrikel kiri
4. Terapi vitamin D

Fosfat↑ Stadium AKI


AKI FGF-23↑ (1,2,3)

1. Genetik
2. Diet Fosfat

Gambar 3.1 Konsep Penelitian

Keterangan:
FGF-23 : Fibroblast Growth Factor 23
variabel yang diteliti
variabel perancu yang dikontrol dengan restriksi (eksklusi)
variabel perancu yang dikontrol secara analisis
variabel rambang
korelasi

Konsep penelitian diatas adalah: Variabel penderita AKI yang telah menjalani

hemodilalisis, PGK, DM, terapi pengikat fosfat dan terapi vitamin D merupakan

variabel yang akan diesklusi, sedangkan usia, derajat keparahan penyakit dasar,

pembesaran ventrikel kiri atau penyakit jantung kongestif akan dikontrol dengan

analisis. Variabel genetik dan diet fosfat tidak diukur pada penelitian ini.
40

3.3 Hipotesis

1. Terdapat hubungan antara peningkatan kadar fosfat serum dan stadium

AKI.

2. Terdapat hubungan antara peningkatan kadar FGF-23 serum dan stadium

AKI
41

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan potong

lintang analitik (analytic cross-sectional study) untuk mengetahui hubungan

antara kadar fosfat serum, FGF-23 serum dan stadium AKI.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Sanglah, Denpasar pada bulan

Maret sampai Mei 2015.

4.3 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini berada dalam ruang lingkup Ilmu Penyakit Dalam, khususnya

bagian penyakit ginjal (nefrologi).

4.4 Populasi Penelitian

4.4.1 Populasi target

Populasi target adalah semua pasien AKI dewasa (17-60 tahun).

4.4.2 Populasi terjangkau

Populasi terjangkau ialah semua pasien AKI dewasa yang berobat jalan di

poliklinik penyakit dalam (nefrologi) maupun yang menjalani rawat inap di

bangsal perawatan penyakit dalam RSUP Sanglah.

4.5 Sampel Penelitian

4.5.1 Teknik pengambilan sampel


42

Pemilihan sampel dalam penelitian ini adalah secara consecutive sampling,

yaitu dengan mengikutsertakan semua pasien AKI yang memenuhi kriteria

sebagai sampel hingga mencapai jumlah yang direncanakan.

4.5.2 Besar sampel

Untuk menentukan besar sampel minimal pada penelitian analisis korelatif

digunakan rumus sebagai berikut (Hulley, Cummings, 1988; dikutip oleh

Madiyono, dkk., 2011):

1. Fosfat

[ ]+3
2
( zα+ zβ )
n=
0,5∈ [ (1+ r ) / (1−r ) ]

N : Perkiraan besar sampel minimal yang diperlukan

α : Kesalahan tipe I, ditetapkan 5%, hipotesis dua arah, sehingga zα = 1,96

β : Kesalahan tipe II, ditetapkan 20%, sehingga power = 80%; zβ = 0,84

r : Koefisien korelasi= 0,32 (Leaf dkk., 2012)

[ ]+3
2
( 1,96+0,84 )
n=
0,5∈ [ (1+ 0,32 ) / ( 1−0,32 ) ]

Maka besar sampel: n = 74,3 75

Dengan menggunakan rumus di atas, maka jumlah sampel yang diperlukan

untuk pemeriksaan kadar fosfat serum adalah 75 sampel.

2. FGF-23

[ ]+3
2
( zα+ zβ )
n=
0,5∈ [ (1+ r ) / (1−r ) ]

n : Perkiraan besar sampel minimal yang diperlukan


43

α : Kesalahan tipe I, ditetapkan 5%, hipotesis dua arah, sehingga zα = 1,96

β : Kesalahan tipe II, ditetapkan 20%, sehingga power = 80%; zβ = 0,84

r : Koefisien korelasi= 0,35 (Dominguez dkk., 2013)

[ ]+3
2
( 1,96+0,84 )
n=
0,5∈ [ (1+ 0,35 ) / (1−0,35 ) ]

Maka besar sampel: n = 51,2  53

Dengan menggunakan rumus di atas, maka jumlah sampel yang diperlukan

untuk pemeriksaan FGF-23 serum adalah 53 sampel.

Dengan demikian jumlah sampel minimal yang diperlukan dalam penelitian

ini adalah 75 orang untuk kedua hipotesis penelitian.

4.6 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

4.6.1 Kriteria inklusi:

1. Penderita AKI berusia berusia 17-60 tahun baik pria maupun wanita

2. Bersedia ikut dalam penelitian dengan menandatangi informed consent

4.6.2 Kriteria eksklusi:

1. Pasien AKI yang telah menjalani hemodialisis

2. Pasien PGK

3. Pasien diabetes melitus

4. Pengunaan obat pengikat fosfat

5. Penggunaan suplementasi vitamin D dalam 1 bulan terakhir

4.7 Bahan dan Instrumen Penelitian

Pemeriksaan kadar FGF-23 serum menggunakan metode ELISA dengan kit

Human FGF-23 (C-term) ELISA, Immunotopics. Satu kit FGF-23 terdiri dari 96
44

tes kit, dimana 75 kit digunakan untuk pemeriksaan spesimen, bahan yang

digunakan adalah serum tanpa puasa. Pemeriksaan dilakukan di Laboratorium

Prodia Denpasar. Adapun prosedur pemeriksaan FGF-23 adalah; 1) Ambil

spesimen darah vena tanpa antikoagulan sebanyak 5 cc secara septis, 2) Biarkan

30 menit lalu centrifuge spesimen 3000 round per minute (rpm) selama 15 menit,

3) Ambil serum dan masukkan ke dalam 2 tabung, serum tersebut kemudian

disimpan dalam lemari pendingin minus 1000 C di Laboratorium Prodia Denpasar,

setelah jumlah sampel terkumpul, serum dikirim ke Laboratorium Prodia Pusat

Jakarta untuk diperiksa.

Fosfat serum diperiksa dengan alat Cobas 501 dari Roche 2010, dengan

metode molibdate UV. Pemeriksaannya dilakukan di Laboratorium Prodia

Denpasar. Sedangkan kreatinin serum diperiksa dengan alat Cobas 501 dari

Roche 2010, dengan metode Jaffe Compensated Rate Blanked, dilakukan di

Laboratorium Patologi Klinik Denpasar.

Instrumen yang digunakan adalah kuisioner dan rekam medis yang dipakai

untuk mendapatkan data-data tentang faktor demografi (nama, umur, alamat, jenis

kelamin), etiologi penyakit, penyakit penyerta, data laboratorium, data

pemeriksaan radiologis, dan terapi pasien. Alat mengukur berat badan berupa

timbangan badan digital merek Seca Digital Scale. Alat ukur tekanan darah yaitu

sphygmomanoter merkuri merek Riester. Stetoskop untuk melakukan pemeriksaan

tekanan darah menggunakan merek Litmann.


45

4.8 Alur Penelitian

Sebelum penelitian dilakukan, peneliti meminta izin kepada kepala

bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar. Peneliti

juga akan bekerjasama dengan para kepala ruangan dan poliklinik bagian/SMF

tersebut. Peneliti kemudian memohon agar penelitian ini dinyatakan laik etik dari

Bagian Diklat (Unit Litbang) FK UNUD/RSUP Sanglah.

Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling terhadap semua

pasien AKI yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi

hingga tercapai jumlah sampel yang diinginkan. Terlebih dahulu diberikan

penjelasan tentang manfaat dan tujuan penelitian. Bila penderita secara sukarela

menyatakan bersedia untuk ikut sebagai sampel maka diminta untuk

menandatangani informed consent. Pada pasien critically ill dengan AKI yang

dirawat di ICU yang mengalami penurunan kesadaran, maka informed concent

ditandatangani oleh pihak keluarga pasien, bila bersedia ikut dalam penelitian.

Pengisian data-data pada kuisioner dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan

fisik, dan dari rekam medis pasien. Diagnosis dan stadium AKI dilakukan dengan

pemeriksaan kreatinin serum serta pengukuran produksi urin setiap 6 jam

(dinyatakan dalam cc/kgbb/jam). Bila terdapat perbedaan dalam penentuan

stadium AKI, berdasarkan kreatinin serum dan produksi urin, maka stadium AKI

ditetapkan berdasarkan stadium yang paling berat. Pemeriksaan kadar FGF-23

serum dan fosfat serum paling lambat 24 jam setelah diagnosis dan stadium AKI

ditegakkan. Data yang diperoleh dianalisis, seperti tampak pada gambar 4.1.
46

Populasi target

Populasi terjangkau

Kriteria inklusi Kriteria eksklusi

Sampel (consecutive sampling)

Informed concent

Pemeriksaan kreatinin serum, produksi urin per 6 jam (dalam cc/kgbb/jam)


Untuk menentukan stadium AKI
Pengisian kuisioner dari anamnesis, pemeriksaan fisik, rekam medis pasien

Pemeriksaan kadar FGF-23 serum dan fosfat serum


(Paling lambat 24 jam setelah diagnosis dan stadium AKI ditegakkan)

Analisis data

Hasil penelitian

Gambar 4.1 Alur Penelitian

4.9 Variabel Penelitian

4.9.1 Identifikasi variabel

Variabel bebas (independent variabel) pada penelitian ini adalah kadar fosfat

serum dan FGF-23 serum.

Variabel tergantung (dependent variable) pada penelitian ini adalah stadium

AKI.
47

Variabel perancu pada penelitian ini adalah penderita AKI yang telah

menjalani hemodialisis, pasien dengan PGK, DM, terapi pengikat fosfat, terapi

vitamin D, usia, penyakit jantung kongestif atau pembesaran ventrikel kiri serta

derajat keparahan penyakit dasar berdasarkan kriteria APACHE II.

Variabel rambang pada penelitian ini adalah genetik dan diet fosfat.

4.9.2 Definisi operasional variabel

1. Fibroblast growth factor-23 (FGF-23) serum adalah protein dengan berat

molekul 32-kDa berperan pada regulasi fosfat dan calcitriol diperiksa dengan

metode two site enzyme-linked immunosrbent assay (ELISA) menggunakan

mesin Reader 680 dari spesimen darah vena 10 cc oleh Laboratorium Prodia

Denpasar. Dilakukan pemeriksaan selama 24 jam setelah diagnosis AKI

ditegakkan. Satuannya RU/ml, nilai normal 7-71 RU/ml, menggunakan

human FGF-23 (C-terminal) ELISA Kit dari Immutopics

(www.immutopicsint.com).

2. Fosfat serum adalah kadar fosfat dalam darah yang diukur dengan metode

molibdate UV menggunakan reagen fosfat dinyatakan dalam mg/dL, nilai

normal 2,8-4,5 mg/dl (Cobas, 2010).

3. Usia: dinyatakan dalam tahun ditentukan berdasarkan tanggal, bulan dan

tahun lahir hingga saat masuk rumah sakit berdasarkan kartu tanda penduduk

(KTP). Bila tanggal lahir tidak diketahui digunakan tanggal 31 Desember

pada tahun dimana terjadi peristiwa penting.


48

4. Kreatinin serum adalah kadar kreatinin darah yang diukur dengan mesin

cobas 501 yang menggunakan metode enzimatik 2 point End dari spesimen

darah vena 10 cc, satuannya : mg/dl (Cobas, 2011).

5. Acute Kidney Injury (AKI) ialah: peningkatan kreatinin serum ≥ 0,3 mg/dl

dalam 48 jam atau peningkatan kreatinin serum ≥1,5 kali dari nilai dasar

yang diketahui atau diasumsikan yang terjadi dalam 7 hari, dengan nilai dasar

keratinin serum tidak melebihi batas atas nilai kreatinin serum berdasarkan

umur (lampiran 1; table 4.1), atau volume urine ˂0,5 ml/kgbb/jam selama 6

jam ( KDIGO, 2012).

6. Stadium AKI ditetapkan berdarsarkan parameter kadar kreatinin serum dan

produksi urin seperti kriteria dari KDIGO 2012 (lampiran 1; tabel 4.2). Bila

terdapat perbedaan stadium antara parameter kreatinin serum dan produksi

serum, maka dipakai stadium yang paling berat.

7. Penderita AKI yang telah menjalani hemodialisis ialah penderita AKI stadium

3 yang telah menjalani hemodialisis baik hemodialisis biasa maupun dengan

metode sustained low efficient dialysis (SLED).

8. Penyakit ginjal kronis (PGK) adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama 3

bulan atau lebih. Kerusakan ginjal ditandai dengan gangguan struktural atau

fungsional dari ginjal yang disertai atau tanpa disertai penurunan LFG,

ditentukan dengan test kliren kreatinin dengan perhitungan memakai rumus

Cokroft- Gault (K/DOQI, 2002):

Kliren kreatinin (ml/mnt) = (140-umur)x berat badan (Kg)

72 x serum kreatinin (mg/dl) (X 0,85 pada wanita)


49

9. Pasien dengan diabetes melitus (DM) ialah, pasien yang telah didiagnosis

diabetes melitus baik DM tipe 1 maupun DM tipe 2 sesuai dengan data yang

tercatat dalam rekam medis pasien.

10. Obat pengikat fosfat adalah obat oral yang digunakan untuk menghambat

penyerapan fosfat dalam saluran pencernaan. Pengikat fosfat yang banyak

dipakai adalah garam kalsium seperti kalsium karbonat (CaCO 3) dan kalsium

asetat (Ca Acetat), aluminium hidroksida (Al(OH)3, dan garam magnesium

(Mg(OH)2) atau MgCO3 (Suwitra K, 2009).

11. Penggunaan suplementasi vitamin D ialah penggunaan suplemen yang

mengandung vitamin D analog (calsitriol) secara oral dalam 1 bulan terakhir.

12. Derajat keparahan penyakit ialah derajat keparahan penyakit pada pasien

critically ill yang dihitung dengan metode dari Acute Physiology And

Chronic Health Evaluation (APACHE II) (lampiran 3). Score APACHE II

berkisar 0-60 yang dinilai berdasarkan parameter: temperatur, mean arterial

pressure (MAP), denyut jantung, laju pernapasan, PaO2, PH arterial, kadar

natrium serum, kadar kalium serum, serum creatinin, hematokrit, sel darah

putih, skor Glasgow Coma Scale, serta umur (Wong dan Knaus, 1991).

Parameter-parameter tersebut diambil dari anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan penunjang serta data yang tercatat dalam rekam medis pasien.

13. Penyakit jantung kongestif dibuat berdasarkan kriteria Framingham melalui

anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang (thorak foto atau

echocardiografi) yang tercatat dalam rekam medis pasien. Diagnosis gagal

jantung kongestif ditegakkan bila terdapat minimal 1 kriteria mayor dan 2


50

kriteria minor (Panggabean, 2012). Kriteria mayor meliputi: paroksismal

nokturnal dispnea, distensi vena leher, ronki paru, kardiomegali, edema paru

akut, gallop S3, peninggian tekanan vena jugular dan refluks hepatojugular.

Sedangkan kriteria minor meliputi: edema ekstremitas, batuk malam hari,

sesak saat beraktivitas, hepatomegali, efusi pleura, penurunan kapasitas vital

setengah dari normal serta takikardia (nadi > 120 kali/menit).

14. Pembesaran ventrikel kiri ialah bila pada gambaran elektrokardiografi (EKG)

ditemukan: Gelombang R di V5-V6 + gelombang S di V1-V2 > 35 mm atau

Gelombang R di lead 1 + S di lead III > 25 mm (Levine, 2010).

4.10 Analisis Data

Data yang terkumpul diolah dengan bantuan komputer sebagai berikut:

1. Uji deskriptif, dilakukan untuk memperoleh karakteristik subyek penelitian

dan distribusi frekuensi berbagai variabel.

2. Uji normalitas, dilakukan untuk mengetahui data berdistribusi normal atau

tidak. Sampel dalam penelitian ini berjumlah >30 orang, sehingga digunakan

uji normalitas Kolmogorov-Smirnov

3. Uji homogenitas, dilakukan untuk mengetahui apakah subyek-subyek

penelitian homogen atau tidak.

4. Uji inferensial, dalam penelitian ini dilakukan uji korelasi spearman untuk

mengetahui korelasi antara fosfat serum, FGF-23 serum dengan stadium AKI.

5. Uji regresi logistik untuk menilai besarnya pengaruh variabel usia, riwayat

penyakit jantung kongestif atau pembesaran ventrikel kiri serta derajat


51

keparahan penyakit dasar APACHE II terhadap terhadap kadar FGF-23

serum.

Semua data dianalisis menggunakan program komputer SPSS for windows

version 17.0. Nilai p dianggap bermakna apabila p < 0,05 dengan interval

kepercayaan 95%.

4.11 Perkiraan Biaya

Dalam penelitian ini, diperkirakan biaya yang akan digunakan adalah sebagai

berikut:

1. Kit FGF-23 Rp 12.100.000,-

2. Pemeriksaan fosfat serum Rp 3.000.000,-

3. Biaya centrifuge dan penyimpanan beku Rp 1.000.000,-

4. Biaya pengiriman sampel Rp 1.000.000,-

5. Biaya bahan pendukung pemeriksaan FGF 23 Rp 1.000.000,-

6. Alat tulis, kertas, dan tinta Rp 1.000.000,-

7. Biaya tak terduga Rp 500.000,-


+
Rp 19.600.000,-

4.12 Rencana Kegiatan

No. Kegiatan Bulan


Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags
1. Proposal
2. Pengambilan
sampel
3. Analisis data
4. Pembuatan
laporan
penelitian
5. Ujian hasil
penelitian
52

DAFTAR PUSTAKA

Agraharkar, M. 2007. Acute Renal Failure.[cited 2014 August 1). Available from
http:www.emedicine.com/me/topic1595.htm.

Bacccheta, J., Dubourg, L., Harambat, J., Ranchin, B., Abau-Joude, P., Arnaud,
S., Carlier, M., Richard, M., Cochat, P. 2010. The Influence of Glomerular
Filtration Rate and Age on Fibroblast Growth Factor 23 Serum Level in Pediatric
Chronic Kidney Disease. J Clin Endocrinol Metab, 95(4): 1741-1748.

Balbieri, A.M., Filopati, M., Bua, G., Beck-Pecozz, P. 2007. Two Novel
Nonsence Mutation in GALNT3 Gene are Responsible for Familial Tumoral
Calcinosis. J Huan Genet, 52: 464-468.

Bellomo, R., Kellum, J.A., Ronco, C. 2004. Defining Acute Renal Failure:
Physiological Principles [review] [published online ahead of print November 15,
2003]. Intensive Care Med, 30: 33-37.

Ben-Dov, I.Z., Galitzer, H., Lavi-Moshayoff, V., Goetz, R., Kuro-o, M.,
Mohammadi, M., Sirkis, R., Naveh-Many, T., Silver, J. 2007. The parathyroid is a
Target Organ for FGF-23 in Rats. J Clin Invest, 117(2): 4003-8.

Blaine, J., Chonchol, M., Levi, M. 2014. Renal Control of Calcium, Phosphate,
and Homeostasis. Clin J Am Nephrol, doi;10.22215/CJN.09750913:1-16.

Burnett, S.M., Gunawardane, S.C, Bringhurts, F.R., Juppner, H., Lee, H.,
Finkelstein, J.S. 2006. Regulation of C-teriminal and Intact FGF-23 by Dietery
Phosfate in Men and Women. Bone Marrow Rev, 21:1187-1196.

Canalejo, R., Canalejo, A., Martinez-moreno, J.M., Rodrigues-Ortiz, M.E.,


Estepa, J.C., Mendosa, F.J., Munoz-Castaneda, J.R., Shalcuoub, V. Almaden, Y.,
Rodrigues, M. 2010. FGF23 Fails to Inhibit Uremic Parathyroid Glands. J Am Soc
Nephrol, 21: 1125-1135.

Carrillo-Lopez, N., Roman-Garcia, P., Rodriguez-Rebolar, A., Fernandez-Marin,


J.L., Nbavezz-Diaz, M., Canatta-Andia, J.B. 2009. Indirect Regulatuon of PTH by
Estrogens may Require FGF23. J Am Soc Nephrol, 20: 209-2017.

Christov, M., Waikar, S.S., Pereira, R.C., Havasi, A., Leaf, D.E., Goltzman, D.,
Pajevic, P.D., Wolf, M., Jüppner, H. 2013. Plasma FGF23 Levels Increase
Rapidly after Acute Kidney Injury. Kidney Int, 84(4): 776-785.

Cobas, 2010. PHOS2 Phosphate (Inorganic) ver.2. Roche/Hotachi Cobas C


Systems Information, Roche Diagnostics, Indianapolis.
53

Cobas, 2011. CREP2 Creatinine plus ver.2. Roche/Hotachi Cobas C Systems


Information, Roche Diagnostics, Indianapolis.

Daugirdas, J.T., Blake, P.G., Ing, T.S. 2007. Slow Continuous Therapies. In:
Handbook of Dialysis. Lippinncoot Williams& Wilkins. pp 19-249.

Diniz, H., Frazao, J.M. 2013. The Role of Fibroblast Growth Factor 23 in Chronic
Kidney Disease Mineral and Bone Disorder. Nefrologia, 33(6): 835-44.

Dominguez, J.R., Shlipak, M.G., Whooley, M.A., Ix, J.H. 2013. Fractional
Excretion of Phosphorus Modifeis the Association between Fibrobalst Growth
Factor-23 and Outcomes. J Am Soc Nephrol, 24(4): 647-654.

Emria, H. 2014. “Prevalensi Acute Kidney Injury serta Faktor-faktor yang


Berhubungan dengan Acute Kidney Injury pada Pasien yang Dirawat di Ruang
Perawatan Intensif RSUP Sanglah Denpasar” (tesis). Denpasar: Universitas
Udayana.

Faul, C., Amaral, A.P., Oskouei, B., Hu, M.C., Sloan, A., Isakova, T., Gutie´ rrez,
O.M., Aguillon-Prada, R., Lincoln, J., Hare, J.M,, Mundel, P., Morales, A.,
Scialla, J., Fischer, M., Soliman, E.Z., Chen, J., Go, A.S., Rosas, SE.,Nessel, L.,
Townsend, R.R., Feldman, H.I., St John Sutton, M., Ojo, A., Gadegbeku, C., Di
Marco, G.S., Reuter, S., Kentrup, D., Tiemann, K., Brand, M., Hill, J.A., Moe,
O.W., Kuro-O, M, Kusek, J.W., Keane, M.G., Wolf, M.2011. FGF23 Induces Left
Ventricular Hypertrophy. J Clin Invest,121: 4393–4408.

Feng, J.Q., Ward, L.M., Liu, S., Lu, Y., Xie, Y., Yuan, B., Yu, X., Rauch, F.,
Davis, S.I., Zhang, Z., Rios, H., Drezner, M.K., Quarles, L.D., Bonewald, L.F.,
White, K.E. 2006. Loss of DMP1 causes Rickets and Osteomalacea and
Iddentifies a Role of Osteocytes in Mineral Metabolism. Nat Genet, 38; 1310-
1315.

Filler, G., Lui, D., Huang, S.S., Casier, S., Chau, A.L., Madernas, J. 2011.
Impaired GFR is the Most Important Determinant for FGF-23 Increased in
Chronic Kidney Disease. Clinical Biochemistry, 44: 435-437.

Gibney, N., Hoste, E., Emmanuel, A. 2008. Timing Initiation and discontinuation
of renal replacement therapy in AKI: Unsaved key question. Clin J Am Soc
Nephrol, 3:876-880.

Hoste, E.H., Kellum, J.A. 2004. Acute renal failure in critical ill:Impact on
morbidity and mortality. Contrib Nephrol,144:1-11.

Hoste, E., Clermont, G., Kersten, A. 2006. RIFLE Criteria for Acute Kidney
Injury are Associated with Hospital Mortality in Critically Ill Patients: A cohort
analysis. Critical Care, 10:R73.
54

Immutopics. Human FGF-23 (C-Term) ELISA Kit. [cited August 1]. Available et
www.immutopicsintl.com.

Isakova, T., Gutierrez, O.M., Smith, K., Epstein, M., Keating, L.K, Juppner, H.,
Wolf, M. 2011. Pilot Study of Dietery Phosforus Restriction and Fosforus Binder
to Target Fibroblast Growth Factor 23 in Patient with Chronik Kidney Disease.
Nephrol Dial Transplant, 26: 584-591.

Ishani, A., Xue, J.L., Himmelfarb, J., Egger, P.W., Kimmel, P.L., Molitoris, B.A.,
Collins, A.J. 2009. Acute Kidney Injury Increases Risk of ESRD Among Elderly.
Am Soc Nephrol, 20; 223-228.

Joannidis, M., Metnitz, B., Bauer, P.2009. Acute Kidney Injury in Critically Ill
Patients Classified by AKIN versus RIFLE Using the SAPS 3 Database. Intensive
Care Med, 35: 1692–1702.

Juppner, H. 2011. Phosphate and FGF-23. Kidney Int; 79(Suppl 121): S24-S27.

K/DOQI. 2002. Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease:


Evaluation, Classification, and Stratification. Am J Kidney Dis, 39(1): 12-15.
Kawata, T., Imanishi, Y., Kobayashi, K., Niki, T., Arnold, A., Inaba, M.,
Nishizawa, Y. 2007. Parathyroid Hormone Regulates Fibroblast Growth Factor in
Mouse of Primary Hyperparathyroidism. J Am Soc Nephrol, 18: 2683-2688.

Kendrik, J., Cheung, A.K, kaufman, J.S., Greene, T., Robert, W.L., Smiths, G.,
Chonchol, M. 2011.FGF-23 Associates with Death, Cardiovasculer Events, and
Initiatiuon of Chronic dialysis. J Am Soc Nephrol, 22:1913-1922.

Kestenbaum, B., Drueke, T.B. 2010. Disorders of Calcium, Phosphate, and


Magnesium Metabolism. In: Floege, J., Johnson, R.J., Feehally, J., editors.
Comprehensive Clinical Nephrology 4th . Ed. Missouri: Saunders. p. 969-983.
Kidney Disease. 2012. Improving Global Outcomes (KDIGO) Acute Kidney
Injury Work Group. KDIGO Clinical Practice Guideline for Acute Kidney Injury.
Kidney inter; 2 (Suppl. 1): 1–138.

Krajisnik, T., Bjorklund, P., Marsell, R.., Ljunggren, O., Akerstorm, G., Jonsson,
K.B., Westin, G., Larsson, T.E. 2007. Fibroblast Growth Factor-23 Regulates
Parathyroid Hormone and 1 alpha-hydroxylase Expression in Cultured Bovine
Parathyroid Cells. J Endocrinol, 195(1): 125-31.

Lafage-Proust, M.H. 2010. Does the Downregulation of the FGF23 Signaling


Pathway in Hyperplastic Parathyroid Glands Contribute to Refractory Secondary
Hyperthyroiddism in CKD Patients?. Kidney International, 77: 390-392.

Lafrance, J.P. and Miller, D.R. 2010. Acute Kidney Injury Associates with
Increased Long-term Mortality. J Am Soc Nephrol, 21: 345-352.
55

Larson, T., Niebetg, U., Ljunggren, O., Juppner, H., Jonson, K.B. 2003.
Circulating Concentration of FGF23 Increases as Renal Fungtion Declines in
Patient with Chronic Kidney Disease, but Doesnt not Change in Response to
Variation in Phosfate Intake in Healty Volunteers. Kidney Int, 64: 2272-2279.

Lattanzio, M.R., Kopyt, N.P. 2009. Acute Kidney Injury: New Concepts in
Definition, Diagnosis, Pathophysiology, and Treatment. JAQA, 109(1): 13-19.

Leaf, D.E., Wolf, M., Stem, L. 2010. Elevated FGF-23 in Patient with
Rhabdomyolysis-induced Acute Kidney Injury. Neprol Dial Transplant, 25; 1335-
1337.

Leaf, D.E., Wolf, M., Waikar, S.S., Chase, H., Christov, M., Cremers, S., Stern,
L. 2012. FGF-23 in Patients with AKI and Risk of Adverse Outcomes. Clin J Am
Soc Nephrol, 7: 1217-1233.

Levine, G.N. 2010. Electrocardiogram. Cardiology Secrets. 3th eds. Philadelphia.


Mosby Elsevier. p. 23-28.

Levy, E.M., Viscoli, C.M., Horwitz, R.I. 1996. The Effect of Acute Renal Failure
on Mortality: a Cohort Analysis. JAMA, 275: 1489-1494.

Liu, S., Zhou, J., Tang, W., Jiang, X., Rowe, D.W., Quarles, L.D. 2006.
Pathogenic Role of FGF23 in Hyp Mice. Am J Physiol Endocrinol Metab, 291:
E38-E49.

Madiyono, B., Moeslichan, S., Sastroasmoro, S., Budiman, I., Purwanto, S.H.
2011. Perkiraan Besar Sampel. Dalam : Sudigdo, S., Ismael, S. (eds). Dasar-
dasar Metodologi Penelitian Klinis edisi ke-4. Jakarta: Sagung Seto. 348-81.
Mallette, L.E., Silverman,V. 1980. Hypercalcemia after Acute Renal Failure.
South Med J, 73: 1453-1456.

Marsell, R., Krajisnikk, T., Gorranson, T., Ohhinsson, C., Ljunggren, O., Larson,
T.E, Jhonsonn, K.B. 2008. Gene Expresssion Analysis of Kidneys from
Transgenic Mice Expressing Fibroblast Growht Factor-2. Nephrol Dial
Transplant, 23: 827-833.

Martin, A., David, V., Querles, L.D. 2012. Regulation and Fungtion of the
FGF23/Kloto Endocrine Pathways. Physiol Rev, 92(131): 131-155.

Massry, S., Arieff, A., Coburn, J., Palmieri, G., Kleeman, C. 1974. Divalent Ion
Metabolism in Patients with Acute Renal Failure: Studies on the Mechanism of
Hypocalcemia. Kidney Int, 5: 437-445.

Mirza, M.A.I. 2010. “The Role of Fibroblast Growth Factor-23 in Chronic Kidney
Disease Mineral and Bone Disorder” (tesis). Sweden: Uppsala University.
Nugraha, A. 2012. “Peranan NGAL Urine Sebagai Biomarker Dini Acute Kidney
Injury” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.
56

Oliveira, R.B., Cancella, A.L., Graciolli, G.G., Dos Reis, R.M., Drabie, S.A.,
Cuparpari, L., Carvalho, A.B., Jorgetti, V., Canziani, M.E., Moyes, R.M. 2010.
Early Control of PTH and FGF23 in Normophosfatemic CKD Patients: A New
Target in CKD-MBD Therapy? Clin J Am Soc Nephrol, 5: 286-291.

Osterman, M., Chang, R. 2007. Acute Kidney Injury in the Intensive Care Unit
According to RIFLE. Critical Care Medicine, 35: 1837-1843.

Panggabean, M.M. 2012. Gagal Jantung. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B.,
Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S., editor. Buku Ajar Penyakit Dalam. Edisi V.
Jakarta: InternaPublishing. p. 1583-1585.

Parward, F., Azam, N., Zhang, M.Y, Yamasita, T., Tenenhouse, H.S., Portale,
A.A. 2005. Dietary and Serum Phosphate Regulate Fibroblast Growth Factor 23
Expression and 1,25(OH)2D Metabolisme in Mice. Endocrinology, 146: 5358-
5364.

Pietrek, J., Kokot, F., Kuska, J. 1978. Kinetics of Serum 25-hydroxyvitamin D in


Patients with Acute Renal Failure. Am J Clin Nutr, 31: 1919-1926.

Raina, R., Garg, G., Sethi, S.K. 2012. Phosphorus Metabolism. J Nephrol
Theurapeutic, S3:1-7.

Razzaque, M.S, Lanske, B. 2007. The Emerging Role of the Fibroblast Gwowth
Factor 23-kloto Axis in Renal Regulation of Phosfate Homeostasis. Journal of
Endocrimology, 194: 1-10.

Roesli, R.M.A. 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Gangguan Ginjal Akut (”Acute
Kidney injury”). Edisi kedua. Bandung: Pusat Penerbitan Ilmiah Bagian Penyakit
dalam Fakultas Kedokteran UNPAD/RS dr. Hasan Sadikin. p. 9-118.

Russo, D., Battaglia, Y. 2011. Clinical Significance of FGF-23 in Patients with


CKD. International Journal of Nephrology, 76: 435-440..

Saliba, W., El Haddad, B. 2009. Seconndary Hperthyroidism: Pathophysiology


and Treatment. J Am Board Fam Med, 22(5): 574-581.

Salto, H., Maeda, A. Ohtomo, S., Hirata, M., Kusano, K., Kato, S., Ogata, E.,
Segawa, H., Miyamoto, K., Fukushima, N. 2005. Circulating FGF-23 is Regulated
by Alpha,25-dihydroxyvitamin D3 and Phosforus in Vivo; J Biol Chem, 280:
2543-2549.

Sato, T., Tominaga, Y., Ueki, T., Goto, N., Matsuoka, S., Katayama, A., Haba, T.,
Uchida, K., Nakanishi, S., Kazama, J.J., Gejyo, F., Yamashiyta, T., Fgawa, M.
2004. Total Parathyroidectpmy Reduces Elevated Circulating Fibroblast Growth
Factor 23 in Advanced Secondary Hyperparatyhroidism. Am J Kidney Dis, 44: 81-
487.
57

Scialla, J.J., Wolf, M. 2014. Roles od Phosphate and Fibroblast Growth Factor in
Cardiovasculer Disease. Nat Rev Nephrol, 10:268-2278.

Shied, S.D., Lin, Y.F., Lin, S.H., Lu, K.C. 1995. A Prospective Study of Calcium
Metabolism in Exertional Heat Stroke with Rhabdomyolysis and Acute Renal
Failure. Nephron, 71: 428-432.

Shimada, T., Hasegawa, H., Yamazaki, Y., Muto, T., Hino, R., Tacheuchi, Y.,
Fujita, T., Nakahara, K.,Fukumoto, S., Yashaamita, T. 2004. FGF-23 is the Potent
Regulator of Vitamin D Metabolism and Phospate Homeostasis. J Bone Miner
Res, 19: 429-435.

Shrestha, S.M., Berry, J.L., Davies, M., Ballardie, F.W. 2004. Biphasic
Hypercalcemia in Severe Rhabdomyolysis: Serial Analysis of PTH and Vitamin D
Metabolites. A Case Report and Literature Review. Am J Kidney Dis, 43: e31-e35.

Specktor, P., Cooper, J.G., Indelman, M., Specher, E. 2006. Hyperphosfatemic


Familial Tumoral Calcinosis Caused by a Mutation in GALNt3 in a European
Kindred. J Hum Genet, 51: 487-490.

Sperling, L.S., Tumlin, J.A. 1996. Case Report: Delayed Hypercalcemia after
Rhabdomyolysis-induced Acute Renal Failure. Am J Med Sci, 311: 186-188.

Suwitra, K. 2009. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Sudoyo, A.W., Setyohadi, B.,
Idrus, A., Simadibrata, M., Setiati, S.editor. Buku Ajar Penyakit Dalam. Edisi 7.
Jakarta: Internal publising. p. 1035-1040.

Thadani, R., Pascual, M., Bonvetre, J.V. 1996. Acute Renal Failure. New Engl J
Med, 56: 1448-1460.

Tsuji, K., Maeda, T., Kawane, T., Matsunuma, A., Horiuchi, N. 2010. Leptin
Stimulates Fibroblast Growth Factor-23 Expression in Bone and Suprreasess
Renal Alfa,25-dyhidroxyvitamin D(3) Synthesis in Leptin-deficient 0b/ob Mice. J
Bone Miner Rfes, 25: 1711-1723.

Wetmore, J.B., Lui, S., Krebil, R., Menard, R., Quarles, D.L. 2010. Effects of
Cinacalcet and Concurent Low-dose Vitamin D on FGF23 Levels in ESRD. Clin
J Am Soc Nephrol, 5: 110-116.

White, K.E., Cabral, J.M., Davis, S.J., Fishburn, T., Evans, W.E., Ichikawa, S.,
Fields, J., Yu, X., Shaw, N.J., McLellan, N.J., McKeown, C., Fitzpatrick, D., YU,
K., Ornitz, D.M., Econs, M.J. 2005. Mutations that Cause Osteoglonophonic
Dysplasia Define Novel Roles for FGFR1 in Bone Elongation. Am J Hu Genet,
76; 361-367.

Wolf, M. 2010. Forging Forward with 10 Burning Question on FGF 23 in Kidney


Disease. J Am Soc Nephrol, 21; 1427-1435.
58

Wong, D.T., Knaus, W.A. 1991. Predicting Outcome in Critical Care: The
Current Status of the APACHE Prognostic Pcoring System. Can J Anaest; 38(2):
374-83.

Yuan, B., Takaiwa, M., Clemens, T.L., Feng, J.Q., Kumar, R.., Roew, P.S., Xie,
Y., Dreszner, M.K. 2008. Aberant Phex Fungtion in Osteoblasts and Osteocytes
Alone Underlies Murine X Linked Hyperphosfatemia. J Clin Invest, 118: 772-
734.

Zhang, M., Hsu, R.., Hsu, C.Y., Kordesch, K., Nicasio, E., Cortez, A., McAlpine,
I., Brady, S., Zhuo, H., Kangelaris, K.N., Stein, J., Calfee, C.S, Liu, K.D. 2011.
FGF-23 and PTH Levels in Patients with Acute Kidney Injury: A Cross-sectional
Case Series Study. Annals of Intensive Care, 1: 211-7.
59

Lampiran 1 Tabel 4.1 dan Tabel 4.2

Tabel 4.1 Nilai Dasar Kreatinin Serum Normal Berdasarkan Umur, Jenis
Kelamin, Ras (Bellomo dkk., 2004)

Umur (tahun) Pria (mg/dl) Wanita (mg/dl)


kulit hitam non kulit hitam kulit hitam non kulit hitam

20-24 1.5 1,3 1,2 1,0


25-29 1.5 1,2 1,1 1,0
30-39 1.4 1,2 1,1 0,9
40-54 1,3 1,1 1,0 0,9
55-65 1,3 1,1 1,0 0,8
> 65 1,2 1,0 0,9 0,8

Tabel 4.2 Stadium AKI (KDIGO, 2012)

Stadium Kreatinin serum Produksi urin

1 1,5 -1,9 kali nilai dasar ˂ 0,5 ml/kgbb/jam


atau selama 6-12 jam
Meningkat ≥ 0,3 mg/dl
2 2,0-2,9 kali nilai dasar ˂ 0,5 ml/kgbb/jam
selama ≥ 12 jam
3 3,0 kali nilai dasar ˂ 0,3 ml/kbbb/jam
atau selama ≥ 24 jam
Peningkatan kreatinin serum ≥ 4,0 mg/dl atau
atau Anuria selama ≥ 12
Inisiasi dari RRT jam
Atau pada pasien ˂ 18 tahun, terjadi
penurunan LFG ˂ 35 ml/menit per 1,73m2
60

Lampiran 2

Prosedur pemeriksaan FGF-23 dengan menggunakan Human FGF-23


(C-Term) ELISA KIT generasi kedua

Prosedur pemeriksaan FGF- 23 dengan metode ELISA

1. Tempatkan sejumlah Streptavidin Coated Strips secukupnya dalam pemegang

untuk menjalankan stadar FGF-23, kontrol dan sampel.

2.Ambil dengan pipet sejumlah 100 μ dari standar, kontrol atau sampel,

masukkan kedalam sumur yang dirancang khusus. Segera bekukan standar dan

kontrol yang tersisa sesegera mungkin setelah dibekukan.

3. Ambil denga pipet sejumlah 50 μL larutan antibody yang terdiri dari 1 bagian

Biotinylated Antibody dan satu bagian HRP Antibody kedalam masing-masing

sumur.

4. Bungkus cawan dengan penyekat cawan, kemudian bungkus dengan kertas

alumunium untuk menghindari paparan sinar.

5.Cawan dieramkan pada temperatur ruangan selama 3 jam pada rotator

horixontal dengan kecepatan 180220 RPM.

6. Buka kertas alumunium dan penyekat cawan. Dengan menggunakan pencuci

cawan microtiter otomatis aspirasi isi dari masing-masing sumur. Cuci masing-

masing sumur sebanyak 5 kali dengan cara mengggunakan 350 μL larutan

pencuci kedalam masing-masing sumur dan kemudian aspirasi secara komplit

isi dari sumur tersebut.

7. Ambil dengan pipet 150 μL dari substrat ELISA HRP kedalam masing-masing

sumur.
61

8. Bungkus kembali cawan dengan dengan penyekat cawan serta kertas

alumunium. Eramkan pada suhu rungan selama 30 menit pada rotator

horizontal dengan kecepatan 180-220 RPM.

9. Buka kertas alumunium dan penyekat cawan. Kemudian baca penyerapannya

pada 620 nm selama 5 menit dalam pembaca cawan microtiter dibandingkan

dengan standar sumur dalam satuan RU/ml sebagai standar.

10. Segera ambil dengan pipet sebanyak 50 μL dari larutan ELISA Stop kedalam

masing-masing sumur. Kemudian disentrifugasi selama 1 mienit.

11. Kemudian baca penyerapannya pada 450 nm selama 10 menit kedalam

pembaca microtiter dibandingkan dengan 150 μL substrat dan 50 μL larutan

ELISA Stop.
62

Lampiran 3

Skor APACHE II

Variabel Skor
fisiologik +4 +3 +2 +1 0 +1 +2 +3 +4

Temperatur ≥41 39-40,9 32- 38,5- 36-38,4 34- 32-33,9 30- ≤29,9
(°C) 33,9 38,9 35,9 31,9
MABP ≥16 130- 110- 70-109 55-69 40-54 ≤49
(mmhg) 0 150 129
Denyut ≥18 140- 110- 70-109 55-69 40-54 ≤39
jantung 0 179 139
Laju ≥50 35-49 25-34 12-24 10-11 6-9 35-49 ≤5
pernapasan
Pa O2 >70 61-70 5-60 ˂55
PH arteri ≥ 7,6- 7,25- 7,5- 7,33- 7,5- 7,25- 7,15- ˂7,15
7,7 7,69 7,32 7,59 7,49 7,59 7,32 7,24
Natrium ≥ 160- 155- 150- 130- 120- 111- ˂110
serum 180 179 159 154 149 129 119
(mmol/L)
Kalium serum ≥7 6-6,9 5,5- 3,5-5,4 3-3,4 2,5-2,9 ˂2,5
(mMol/L) 5,9
Kreatinin ≥3, 2-3,4 1,5- 0,6-1,4 ˂0,6
serum 5 1,9
(mg/100 ml)
Hematokrit ≥60 ˂20
(%)
WBC (total ≥40 20- 15- 3-14,9 1-2,9 ˂1
/mm3) 39,9 19,9
GCS (3-15)

Umur (tahun) 55-64 45-54 ≤ 44

Penyakit kronis seperti: 1) Sirosis yang dikonfirmasi dengan biopsi 2. NYHA

class IV 3. PPOK berat (hiperkapnia, penggunaan 02 dirumah atau hipertensi

pulmonal 4. Hemodialisis reguler 5. Imunocompromised. Tidak ada penyakit

kronis (0 poin); Non bedah (5 poin); Operasi emergensi (5 point); operasi elektif

(2 poin).
63

Lampiran 4. Informed Consent

INFORMASI BAGI PASIEN DAN FORMULIR

PERSETUJUAN IKUT SERTA DALAM PENELITIAN

Peneliti mengharapkan partisipasi pasien dalam penelitian ini yang akan

dilaksanakan oleh dr. I Ketut Suardana. Sebelum memutuskan untuk setuju ikut

dalam penelitian ini, maka diharapkan anda membaca informasi berikut, dan

peneliti akan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk bertanya tentang

penelitian ini.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kadar fosfat

serum, FGF-23 serum dan stadium acute kidney injury. Apabila anda setuju ikut

dalam penelitian, maka akan dilakukan wawancara, pemeriksaan fisik dan

laboratorium. Untuk pemeriksaan laboratorium awal, akan diambil darah vena

sebanyak 10 ml yang akan dipakai bahan untuk pemeriksaan fosfat serum dan

FGF-23 oleh petugas dari laboratorium prodia Denpasar. Pasien berhak

mengetahui seluruh hasil pemeriksaan tersebut.

Data yang telah dikumpulkan akan dianalisis dan disimpan dengan sistem

komputerisasi, tanpa disertai identitas pasien. Hasil penelitian ini mungkin akan

dipublikasikan dalam majalah kesehatan juga tanpa disertai identitas pasien.


64

Petugas kesehatan dan karyawan yang bertugas akan tetap menjaga

kerahasiaan riwayat kesehatan pasien, dan akan melakukan tugas dan

kewajibannya secara baik, benar dan bertanggung jawab.

Semua prosedur penelitian ini hanya dapat dilakukan sesudah anda

memahami informasi ini dan menandatangani lembar persetujuan. Sesudah

berpartisipasi dalam penelitian ini dirasakan terdapat hal-hal yang merugikan dan

terbukti, maka peneliti akan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan kode etik

kedokteran yang berlaku.

Apabila terdapat informasi yang belum jelas dan menimbulkan pertanyaan

maka anda dapat menghubungi peneliti:

1. Nama : dr. I Ketut Suardana

2. Alamat : Perum Sekar Antasura no 11, Denpasar

3. Telepon : 081338387665

Peneliti mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya

bagi pasien yang berpartisipasi dalam penelitian ini serta menyampaikan

permohonan maaf apabila terdapat hal yang kurang berkenan selama penelitian

berlangsung.

Hormat saya,

Peneliti

dr. I Ketut Suardana


65

Lampiran 5. Formulir Persetujuan

Menerangkan bahwa saya :


Nama :
Umur :
Jenis kelamin :
Alamat :
No Telepon :
Telah membaca keterangan terlampir dan telah berdiskusi mengenai penelitian ini
dengan dokter (nama, hurup cetak)
…………………………………………………. Dan mengerti hal-hal yang
menyangkut penelitian ini.

PASIEN Saya bersedia dengan sukarela ikut serta dalam


penelitian tentang :
HUBUNGAN ANTARA KADAR FOSFAT SERUM,
FIBROBLAST GROWTH FACTOR 23 SERUM DAN
STADIUM AKUTE KIDNEY INJURY
Bila ada hal-hal yang merugikan terkait penelitian,
saya berhak menolak untuk mengikuti penelitian ini
dan meminta ganti rugi sesuai aturan yang berlaku

…………………… …….………………….
Tanggal Nama dan tanda tangan

PENELITI saya telah menjelaskan maksud dan tujuan dari


penelitian ini kepada pasien tersebut diatas dengan
sebaik-baiknya.
66

………………….. ……..…………………
Tanggal Nama dan tanda tangan

Lampiran 6
FORMULIR PENGUMPULAN DATA

I. Identitas Pasien

Nomor CM : …………………………………………………….

Tgl pengambilan data : …………………………………………………….

Nama : …………………………………………………….

Umur : …………………………………………………….

Suku : …………………………………………………….

Pekerjaan : …………………………………………………….

Alamat : …………………………………………………….

Nomor telepon : …………………………………………………….

II. DATA UMUM

1. Berat badan (kg ) :

III. ANAMNESIS

1. Keluhan utama :

2. Riwayat menderita penyakit ginjal kronik sebelumnya:

a. Ya, sejak kapan:

b. Tidak

2. Riwayat menderita diabetes melitus sebelumnya

a. Ya, sejak kapan


67

b. Tidak

3. Riwayat menderita penyakit jantung sebelumnya:

a. Ya, sejak kapan:

b. Tidak

5. Riwayat minum suplemen vitamin D saat prosedeur penelitian berlangsung

( Ya/Tidak) ( lama:...........bln)

6. Penggunaan obat pengikat fosfat saat prosedur penelitian berlangsung :

( Ya / Tidak ) ( lama:..........bln )

IV. PEMERIKSAAN FISIK

1. Kesadaran : ( E V M )

2. Tekanan darah: mmHg)

3. Denyut nadi : kali/menit

4. Respirasi : kali/menit

5. temperatur axila: ºC

6. Mata : anemia:

7. THT :

8. Thoraks:

 Jantung:

 Paru-paru:

9. Abdomen:

10. Ekstremitas:

V. Pemeriksaan EKG:

VI: Echocardiografi:
68

VII. Pemeriksaan Radiologis

a. Thorak Foto :

b. BOF :

c. USG :

VIII. Parameter laboratorium dan produksi urine untuk menentukan

stadium AKI

Hari perawatan 1 2 3 4 5 6 7

BUN (mg/dl)
SC (mg/dl)
Produksi urine (ml)/24 jam
Fosfat serum (mg/dl)
FGF-23 serum (RU/ml)

Stadium AKI : 1 2 3

IX. Score APACHE 2

Parameter Skor

Temperatur (C)
MAP (mmHg)
Denyut jantung (x/menit)
Laju pernafasan (x/menit)
Pa02
PH arteri/HCO3
Natrium serum (meq/l)
Kalium serum (meq/l)
Kreatinin serum (mg/dl)
Hematokrit
WBC
GCS
Umur

Penyakit kronis seperti: 1) Sirosis yang dikonfirmasi dengan biopsi 2. NYHA

class IV 3. PPOK berat (hiperkapnia, penggunaan 02 dirumah atau hipertensi

pulmonal 4. Hemodialisis reguler 5. Imunocompromised. Tidak ada penyakit


69

kronis (poin 0): Non bedah (poin 5); Operasi emergency (poin 5); Operasi

berencana (poin 2).

Skor APACHE II total:

X. Diagnosis lengkap pasien:

XI. Terapi yang diberikan

Anda mungkin juga menyukai