Anda di halaman 1dari 11

A. Hakikat Ruh Menurut Al-Qur’an, Hadis dan Sufi.

1. Hakikat ruh menurut Al-Qur’an

Mempercayai adanya ruh adalah salah satu keyakinan yang diajarkan al-Qur’an
dan mempercayai soal-soal gaib merupakan salah satu sendi keyakinan beragama.Akan
tetapi kepercayaan mengenai soal-soal gaib sebagaimana yang diajarkan al-Qur’an
mempunyai kelebihan istimewa karena kepercayaan tersebut karean kepercayaan tersebut
tidak membekukan akal orang-orang yang beriman, tidak menghilangkan kewajiban yang
dipikulkan kepada manusia dan tidak melenyapkan peranan akal yang sadar akan
tanggungjawabnya. Kepercayaan mengenai soal-soal gaib itu justru merupakan
perwujudan dari kebenaran iman dan islam,yaitu : Menyerahkan segala sesuatu kepada
Allah Al-Khaliq1.

Mempercayai adanya ruh merupakan salah satu kepercayaan mengenai soal-soal


gaib yang dapat kita rasakan kelebihannya yang istimewa. Seolah-olah ia merupakan
kenyataan inderawi yang mengharuskan manusia mempercayainya, kendatipun ia sadar,
bahwa soal-soal ghaib yang diketahuinya hanya sekelumit belaka. Dengan iman kita
berserah diri disertai keyakinan bahwa soal-soal gaib itu berada di dalam lingkaran
pengetahuan Allah.

Al-Qur’an memberikan kejelasan kepada kita bahwa “ruh” adalah unsur yang
paling dekat dengan kehidupan abadi dan paling jauh dari jangkauan daya indera. Ruh
merupakan unsur yang khusus hanya diketahui Allah dan tertutup bagi para nabi dan
rasul-Nya. Sebab, ruh adalah rahasia mutlak alam wujud yang tidak dapat dijaangkau
oleh kesanggupan akal manusia yang amat terbatas. Pengetahuan tentang ruh yang dapat
dicapai oleh manusia hanyalaah sekedar isyarat, sebagaimana yang dinyatakaan Allah
melalui firman-Nya.:

‫وح ۖ قُ ِل ٱلرُّ و ُح ِم ْن َأ ْم ِر َربِّى َو َمٓا ُأوتِيتُم ِّمنَ ْٱل ِع ْل ِم ِإاَّل قَلِياًل‬


ِ ُّ‫َويَ ْسـَٔلُونَكَ َع ِن ٱلر‬

1
Abbas Mahmud Al-Aqal, Manusia Diungkap Qur’an, (Jakarta: pustaka firdaus, 1993 ) hal. 31
Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu (hai Muhammad) tentang ruh, jawablah :
“Ruh adalaah termasuk urusan Tuhamku, dan tidak diberi pengetahuan (mengenai itu)
kecuali hanya sedikit. ( QS al-isra Ayat : 85).

2. Hakikat ruh menurut hadis

ُ ‫ـال َحـ َّدثَنَا اَأْل ْع َمشُ ُسـلَ ْي َم‬


‫ان ب ُْن ِم ْهـ َرانَ ع َْن‬ َ َ‫ص قَا َل َح َّدثَنَا َعبْـ ُد ْال َوا ِحـ ِد ق‬ ٍ ‫َح َّدثَنَا قَيْسُ ب ُْن َح ْف‬
‫ب‬
ِ ‫ـر‬ َ ‫ال بَ ْينَا َأنَا َأ ْم ِشي َم َع النَّبِ ِّي‬
ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فِي َخـ‬ َ َ‫ِإ ْب َرا ِهي َم ع َْن ع َْلقَ َمةَ ع َْن َع ْب ِد هَّللا ِ ق‬
‫ْض َسـلُوهُ ع َْن‬ ُ ‫ـر ِم ْن ْاليَهُــو ِد فَقَــا َل بَع‬
ٍ ‫ْضـهُ ْم لِبَع‬ ٍ ‫ْال َم ِدينَ ِة َوهُ َو يَت ََو َّكُأ َعلَى ع َِسي‬
ٍ ‫ب َم َعهُ فَ َم َّر بِنَفَـ‬
‫ْضـهُ ْم لَن َْسـَألَنَّهُ فَقَــا َم‬
ُ ‫ضهُ ْم اَل تَ ْسَألُوهُ اَل يَ ِجي ُء فِيـ ِه بِ َشـ ْي ٍء تَ ْك َرهُونَـهُ فَقَــا َل بَع‬ ُ ‫وح َوقَا َل بَ ْع‬ ِ ُّ‫الر‬
ُ‫ت فَلَ َّما ا ْن َجلَى َع ْنـه‬ ُ ‫ال يَا َأبَا ْالقَا ِس ِم َما الرُّ و ُح فَ َسكَتَ فَقُ ْل‬
ُ ‫ت ِإنَّهُ يُــو َحى ِإلَ ْيـ ِه فَقُ ْم‬ َ َ‫َر ُج ٌل ِم ْنهُ ْم فَق‬
‫ـر َربِّي } َو َمــا ُأوتُــوا ِم ْن ْال ِع ْل ِم ِإاَّل قَلِياًل قَــا َل‬
ِ ‫وح قُلْ الرُّ و ُح ِم ْن َأ ْمـ‬
ِ ُّ‫قَا َل { َويَ ْسَألُونَكَ ع َْن الر‬
‫اَأْل ْع َمشُ هَ َك َذا فِي قِ َرا َءتِنَا‬

Artinya : Telah menceritakan kepada kami Qais bin Hafsh berkata, telah menceritakan
kepada kami 'Abdul Wahid berkata, telah menceritakan kepada kami Al A'masy
Sulaiman bin Mihran dari Ibrahim dari 'Alqamah dari 'Abdullah berkata, "Ketika aku
berjalan bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di sekitar pinggiran Kota Madinah,
saat itu beliau membawa tongkat dari batang pohon kurma. Beliau lalu melewati
sekumpulan orang Yahudi, maka sesama mereka saling berkata, "Tanyakanlah
kepadanya tentang ruh!" Sebagian yang lain berkata, "Janganlah kalian bicara
dengannya hingga ia akan mengatakan sesuatu yang kalian tidak menyukainya." Lalu
sebagian yang lain berkata, "Sungguh, kami benar-benar akan bertanya kepadanya."
Maka berdirilah seorang laki-laki dari mereka seraya bertanya, "Wahai Abul Qasim,ruh
itu apa?" Beliau diam. Maka aku pun bergumam, "Sesungguhnya beliau sedang
menerima wahyu." Ketika orang itu berpaling, beliau pun membaca: '(Dan mereka
bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh itu termasuk urusan Rabbku, dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit) ' (Qs. Al Israa`: 85). Al A'masy
berkata, "Seperti inilah dalam qira`ah kami." (HR.Bukhori)
3. Hakikat ruh menurut sufi

 Definisi Ruh Secara leksikal kata ruh diartikan dengan roh, nyawa, jiwa, sukma,


intisari, perasaan, atau esensi. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kataruh diartikan
dengan:

1. Sesuatu yang hidup yang tidak berbadan jasmani, namun berakal budi dan
berperasaan

2. Jiwa atau badan halus atau

3. Semangat.

Menurut al-Ghazali, kata ruh memiliki dua makna, yaitu :

1. Jenis yang halus (al-lathifah) memancar dari rongga yang ada pada al-qalb al
jasmani (jantung), menyebar ke seluruh bagian tubuh melalui urat nadi yang
memancarkan cahaya hidup, rasa, penglihatan, pendengaran, dan penciuman pada
berbagai bagian tubuh menyerupai cahaya lampu yang dapat menerangi sekeliling
rumah. Kehidupan bisa diibaratkan dengan cahaya yang menerangi dinding rumah,
sedangkan ruh adalah lampunya. Ruh menurut pengertian ini adalah merupakan
suatu gas yang halus yang digerakkan oleh hawa nafsu (udara) yang ada di dalam
jantung. Ruh pengertian yang pertama inilah seringkali disebutkan oleh para dokter
dengan sebutan jiwa.
2. Nur Lathifah (cahaya halus) pada diri manusia yang dengannya ia dapat mengetahui
dan mengidra sebagaimana fungsi kalbu dan ruh inilah merupakan hakikat hati.2
inilah yang bertanggung jawab atas gerak-gerik hati, tingkah laku, serta perbuatan-
perbuatan. Ruh pula yang memegang komando dalam seluruh aktivitas kehidupan
manusia.

Hati manusia merupakan wilayah yang terletak antara Kesatuan dan


keanekaragaman. Jika wilayah itu dikuasai oleh nafs dan bala tentara hawanafs-nya, yang
membentuk pasukan keanekaragaman, maka hati akan mengalami kehancuran dan

2
M. Yaniyullah Delta Auliya, Melejitkan Kecerdasan Hati dan Otak, (Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada : 2005) h. 126
tertawan. Jika tentara kasih sayang, yang merupakan kekuatan ruh Kesatuan, mengusir
pasukan nafs dari hati, maka hati berada dalam pengaruh ruh, yang akan menjadi
atasannya. Pada maqam ini, jiwa Sufi berhubung dengan alam Kesatuan dan terpisah dari
dunia keanekaragaman.3

Ruh ketika berada dalam tubuh, tidak sama dengan keberadaan air dalam gelas.
Bukan pula seperti bejana ilmu pada ahli ilmu pengetahuan. Bukan pula seperti
melekatnya warna biru pada laut. Bila gelas tersebut pecah, maka air yang di dalamnya
akan tumpah, dan bila seorang ahli ilmu pengetahuan meninggal dunia, maka ilmunya
akan lenyap, juga bila air laut kering, maka warna biru yang dipantulkan akan sirna. Ruh 
inilah yang merupakan hal mengagumkan yang bersifat rabbani yang tidak mampu
diketahui hakikatnya oleh kebanyakan akal manusia.

1. Daya-Daya Ruhani (al-nafs, al-aql, al-qalb dan al-sir )

A. Definisi Al-‘Aql

Secara leksikal (bahasa), kata al-‘aql didalam Kamus Kontemporer Arab-


Indonesia merupakan sinonim bagi kata hija yang berarti pikiran, otak, dan alasan.
Sedangkan di dalam Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia kata al-‘aql juga
berarti quwwah al-idrak  (daya yang dapat menangkap, mempersepsi, memahami, dan
mencerapi), qalb (hati), al-dzakirah (ingatan), al-quwwah al-‘aqilah (daya atau kekuatan
yang dapat berfikir), al-fahm (pengertian), al-diyyat (diyat), al-hishn (benteng) dan al-
malja (tempat berlindung). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akal diartikan
dengan : (1) daya pikir, pikiran, ingatan; (2) jalan atau cara melakukan sesuatu; daya
upaya, ikhtiyar; (3) tipu daya, muslihat, kecerdikan, dan kelicikan.

Menurut Imam al-Ghazali, kata al-‘aql memiliki empat hakikat, yaitu :

·         Pertama, sesuatu yang siap menerima pengetahuan teoretis dan mengatur


kepandaian berpikir yang tersembunyi.

3
Javad Nurbakhsy, Psikologi Sufi, penerjemah Arief Rakhmat (Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru :
2001) h.214
·         Kedua, pengetahuan yang ada pada diri manusia sejak usia anak dapat
menentukan yang mungkin bagi yang perkara yang mungkin dan mustahil bagi yang
perkara yang mustahil. Pengertian ini, hematnya, sama dengan hati, yaitu perasaan halus
(lathifah).

·         Ketiga, pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman /empirik.

·         Keempat, kekuatan gharizah (insting) untuk mengetahui konsekuensi berbagai


masalah dan menahan keinginan untuk mendapatkan kelezatan sesaat.

Al-‘aql juga bisa dipahami dalam dua makna yaitu pertama, otak yang berada di
dalam kepala bagian belakang dan yang kedua adalah potensilathifah robbaniyyah yang
mempunyai potensi akademik, mengetahui hakekat segala sesuatu.

Sedangkan manfaat/fungsi al-‘aql adalah potensi penyerapan pengetahuan,


membedakan baik dan buruk, dan jalan memperoleh iman sejati.

B.       Definisi Nafs

Secara leksikal (bahasa) antara lain diartikan dengan jiwa, ruh, semangat, hasrat,
kehendak. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, jiwa diartikan dengan : (1) ruh manusia
[yang ada di dalam tubuh dan menghidupkan] atau nyawa; (2) seluruh kehidupan batin
manusia [yang terjadi dari perasaan, pikiran, angan-angan, dan sebagainya].

Menurut al-Ghazali, kata nafs mengandung dua makna ganda, yaitu :

 Pertama, dimaksudkan berkolaborasinya kekuatan marah dan keinginan biologis


(syahwat) pada diri manusia. Hematnya, pengertian inilah yang dipakai oleh para ahli
tasawuf. Dan nafsu itu adalah cakupan sifat-sifat tercela pada diri manusia.

   Kedua, suatu perasaan halus (lathifah), yaitu jiwa manusia dan substansinya,
tetapi berbeda-beda sesuai dengan ahwal (kondisi-kondisi ruhani) masing-masing. Jika ia
tunduk di bawah perintah dan jauh dari kegoncangan yang disebabkan nafsu syahwat
disebut dengan nafs muthmainah (jiwa yang tentram). Nafs inilah yang merupakan
hakikat manusia yang dapat mengetahui Allah dan seluruh yang diketahuinya. Jika
ketundukannya tidak sempurna, hemat al-Ghazali, bahkan menjadi pendorong bagi nafsu
syahwat dan memperlihatkan keinginan kepadanya, maka nafs itu dinamai dengan nafs
al-lawwamah. Dan jika tunduk dan patuh terhadap tuntutan-tuntutan syahwat dan ajakan-
ajakan syetan, nafs itu disebut dengan nafs amarah.

Perumusan al-Ghazali mengenai macam-macam nafs diatas, ini bersumberkan pada


ayat-ayat al-Qur’an, yaitu :

1.  Nafs Muthmainnah ( QS. Al-Fajr : 27-28 )

ُ‫ٰۤياَيَّتُهَا النَّ ۡفسُ ۡال ُم ۡط َم ِٕٮنَّة‬

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhai-Nya.”

Nafs  merasa tenang karena menjalankan perintah Allah SWT dan mampu
mengalahkan syahwatnya, maka ini dinamakan nafs muthmainnah (jiwa yang
tentram/tenang).

2. Nafs al-lawwamah (QS. Al-Qiyamah : 2)

      

“Dan aku bersumpah dengan jiwa yang Amat menyesali (dirinya sendiri)”

Jika nafs tidak bisa tenang secara sempurna tetapi terus berusaha untuk


memerangi syahwatnya, maka itu dinamakan dengan nafs al-lawwamah, karena selalu
mencela pemiliknya ketika kendor semangat ibadahnya kepada Allah SWT. Atau bisa
dipahami bahwa nafs al-lawwamah ini adalah nafs yang masih labil, gelisah, terkadang
melakukan kebaikan dan terkadang masih melakukan kejahatan, akan tetapi ia selalu
sesal diri.

3. Nafs al-ammarah ( QS. Yusuf : 53 )

            
    
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu
selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.
Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.”

Jika nafs tidak lagi melakukan perlawanan bahkan selalu mengikuti syahwatnya


dan bujukan setan, maka itu dinamakan dengan nafs al-amarah bi al-su’. Allah SWT
berfirman menceritakan tentang istri pembesar Mesir dalam kisah Yusuf as.4

Kecenderungan nafs  adalah memaksakan hasrat-hasratnya dalam upaya untuk


memuaskan diri. Sedangkan akal berperan sebagai kekuatan pembatas sekaligus
penasihat bagi nafs, memberikan pertimbangan kepada nafs tentang tindakan-tindakan
positif yang seharusnya dilakukan dan tindakan-tindakan negative yang harus dihindari.

Seluruh manusia memiliki nafs dan menggunakannya dalam kehidupan di


masyarakat. Walaupun ada orang-orang tertentu yang dikendalikan oleh akal, namun
sebagian besar orang benar-benar dikendalikan oleh nafs-nya. dan perlu diperjelas bahwa
istilah akal, dalam konteks ini, merujuk pada “akal partikular” (‘aql al-juz’i), dan lebih
mendasar merujuk pada “akal yang berpikir”.5

C. Definisi ruh

Ruh mempunya dua pengertian, yaitu bersifat jasmani dan ruhani. Menurut
pengertian jasmani, ruh dalah bagian dari tubuh manusia, yaitu zat yang amat halus
bersumber dari dalam rongga hati (jantung) menjadi pusat dari semua urat (pembuluh
darah) yang terserak ke seluruh tubuh manusia. Sehingga karenanya manusia dapat hidup
dan bergerak, dapat merasakan berbagai rasa, baik pahit maupun manis, dan mengalami
banyak perasaan, seperti senang, susah, haus, atau lapar. Dengan mata dapat melihat,
dengan telingan dapat mendengar, dengan hidung dapat mencium, dengan otak dapat
berfikir, dengan tangan dapat menggenggam, mengangkat atau menggapai,.

Ruh menurut pengertian yang pertama ini, tidak ubahnya seperti lampu yang
menerangi sebuah kamar. Ruh menurut pengertian ini adalah merupakan suatu gas yang

4
Sa’ad Hawwa, Pendidikan Spiritual, (Yogyakarta : Mitra Pustaka : 2006 h. 30-31
5
Javad Nurbakhsy, Psikologi Sufi, penerjemah Arief Rakhmat (Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru :
2001) h. 4-5
halus yang digerakkan oleh hawa nafsu (udara) yang ada di dalam jantung. Ruh
pengertian yang pertama inilah seringkali disebutkan oleh para dokter dengan sebutan
jiwa.

Adapun ruh dan jiwa menurut pengertian yang kedua, tidaklah termasuk dari
bagian jasmani manusia, tetapi termasuk dari bagian ruhani manusia, yaitu bagian yang
halus dan gaib. Dan dengan ruh menurut pengertian kedua inilah manusia dapat
mengenal dirinya sendiri dan Tuhannya, juga dapat mempelajari berbagai ilmu
pengetahuan, dapat pula berperikemanusiaan, berakhlak yang baik dan mulia yang
berbeda dengan binatang.  

D.   Definisi Al-Qalb

Al-Qalb berasal dari kata qalabu yang bermakna berubah, berpindah, atau


berbalik. Qalabu mengalami beberapa perubahan bentuk seperti inqalaba dan qallaba,
namun artinya masih sama. Menurut Ibn Sayyidah, al-qalb jamaknya qulb yang berarti
hati.6

Al-Qalb/Hati mempunyai dua makna yaitu pertama, hati adalah salah satu


anggota tubuh manusia yang terletak di bagian kiri atas rongga perut, yang merupakan
suatu anugerah Allah SWT. yang diberikan kepada manusia. Yang mana mempunyai
kedudukan dan fungsi yang sangat penting dan utama, sebab hati berfungsi sebagai
penggerak dan pengontrol anggota tubuh lainnya. Apabila hatinya baik, maka anggota
badan yang lainnya pun akan ikut baik, sedangkan apabila hatinya jelek, maka anggota
tubuh yang lainnya pun akan ikut jelek. Dan hati ini adalah hati yang berbentuk jasmani.

Hali ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim
yang artinya :

6
Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Islam, (Yogyakarta : Lembaga Studi
Filsafat Islam : 1992) h. 108-109
“Ingatlah bahwa di dalam tubuh terdapat sepotong daging. Apabila ia baik, maka
baiklah badan itu seluruhnya dan apabila ia rusak, maka rusaklah badan itu seluruhnya.
Ingatlah sepotong daging itu adalah hati”.7

Makna al-Qalb yang kedua adalah lathifah Rabbaniyah Ruhaniyyah yang


memancarkan hangat dan mempunyai hubungan dengan daging ini. Dan mampu
melakukan peng-idrak-an. Idrak adalah memahami, mempersepsikan, dan mencerapi.
Misalnya perasaan sedih dan gembira. Yang berfikir dan merenungkan itu adalah
kekuatan batin yang disebut al-qalb. Dan ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
disebut dengan hati. Sehingga kalau ada sebutan “Hatinya hancur” maka yang disebut
bukan jantungnya. Tetapi, ada bagian jiwa seseorang yang hancur.8

Pada kenyataannya, nafs yang tenang adalah hati yang paling dalam, yang oleh
para filosof disebut sebagai nafs rasional (nafs al-natiqa). Namun demikian, sebagian
besar manusia masih berada pada maqam sifat-sifat kebendaan (tab’), tingkat nafs, dan
belum memiliki hati.

Hati adalah sebuah tempat antara wilayah kesatuan (ruh) dan daerah
keanekaragaman (nafs). Jika hati mampu melepaskan selubung nafs yang melekat
padanya dia akan berada di bawah pengaruh ruh; itulah yang dikatakan telah menjadi hati
dalam makna yang sebenarnya, telah bersih dari segala kotoran keanekaragaman.
Sebaliknya, jika hati dikuasai olehnafs, dia menjadi keruh oleh kotoran
keanekaragaman nafs.9

D. Definisi As-sirr

Sirr Adalah isyarat halus yang ada dalam diri manusia seperti ruh dan nafs. Pada
prinsipnya, ia merupakan tempat “musyahadah ” seperti halnya ruh tempat “mahabbah”
dan qolb tempat “ma’rifah”. Ia merupakan substansi halus dan lembut dari rahmat Allah,
relung kesadaran paling dalam, tempat komunikasi rahasia antara Tuhan dan hambaNya.
Inilah tempat paling tersembunyi, dimana Allah memanifestasikan rahasiaNya kepada

7
 Zumroh, Tombo Ati Upaya Membersihkan Qalbu dari Kuman-kuman Penyakit, (Surabaya :
Bintang Usaha Jaya : 2011), h. 11
8
Jalaluddin Rakhmat, Renungan-renungan Sufistik, (Bandung : Penerbit Mizan : 1997) h. 69-70
9
Op.Cit, Javad Nurbakhsy, h. 135-136
diriNya sendiri. Sirr adalah ketersembunyian antara yang tiada dan ada. Ia adalah apa
yang diketahui Tuhan tetapi tidak diketahui makhluk. Sirr makhluk adalah apa yang
diketahui tuhan tanpa perantara. Rahasia Tuhan adalah sesuatu yang hanya diketahui
Tuhan. Sirr lebih halus dari ruh, dan ruh lebih halus dari qalb. Menurut para imam sufi as
sirr hanya dimiliki oleh para wali dan orang-orang yang telah mencapai ma’rifah Allah.
Dalam qalb mereka telah terdapat rahasia rahasia ketuhanan dan hakekat rabbani yang
harus dirahasiakan dari orang-orang awwam, agar mereka tidak salah paham. Dari uraian
di atas, dapat disimpulkan bahwa as sirr adalah potensi yang dimiliki manusia untuk
berkomunikasi dan berinteraksi langsung dengan Tuhan. Sirr terdapat di dalam ruh, dan
ruh terdapat di dalam qolb.

DAFTAR PUSTAKA
Asy’arie, Musa . Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Islam, (Yogyakarta : Lembaga Studi
Filsafat Islam : 1992)

Hawwa.Sa’ad, Pendidikan Spiritual, (Yogyakarta : Mitra Pustaka : 2006 )


Tafsir. Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam (A. Heris Hermawan, M.Ag., Ilmu Pendidikan Islam,)

Hermawan,  A. Heris Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia,1999)

Mahmud Al-Aqal, Abbas, Manusia Diungkap Qur’an, (Jakarta: pustaka firdaus, 1993 )

Nurbakhsy, Psikologi Sufi, penerjemah Arief Rakhmat (Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru : 2001)

Nurbakhsy, Javad,  Psikologi Sufi, penerjemah Arief Rakhmat (Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru :
2001 )

Rakhmat, Jalaluddi, Renungan-renungan Sufistik, (Bandung : Penerbit Mizan : 1997)

Anda mungkin juga menyukai