Anda di halaman 1dari 16

UPAYA MEMUTUS RANTAI INFEKSI

(PRECAUTION DAN MEDICATION SAFETY)


Bela Novita Amaris Susanto., S.Kep., M.K.M
Dasar-dasar K3
Kesehatan yang baik tergantung sebagian pada lingkungan yang aman. Praktisi atau teknisi
yang memantau atau mencegah penularan infeksi membantu melindungi klien dan pekerja
kesehatan dari penyakit. Setiap tahun diperkirakan 2 juta pasien mengalami infeksi saat di
Rumah Sakit. Hal ini terjadi karena pasien yang dirawat di Rumah Sakit mempunyai daya tahan
tubuh yang melemah sehingga resistensi terhadap mikroorganisme. Penyebab penyakit menjadi
turun adanya peningkatan paparan terhadap berbagai mikroorganisme dan dilakukannya
prosedur invasif terhadap pasien di Rumah Sakit.
Mikroorganisme bisa eksis di setiap tempat, dalam air, tanah, permukaan tubuh seperti kulit,
saluran pencernaan dan area terbuka lainnya. Infeksi yang diderita pasien dirawat di Rumah
Sakit dimana sebelumnya pasien tidak mengalami infeksi tersebut dinamakan infeksi
nosokomial. Menurut Patricia C Paren, pasien dikatakan mengalami infeksi nosokomial jika
pada saat masuk belum mengalami infeksi kemudia setelah dirawat selama 48-72 jam klien
menjadi terinfeksi.
Dalam kamus keperawatan disebutkan bahwa infeksi adalah invasi dan multiplikasi
mikroorganisme dalam jaringan tubuh, khususnya yang menimbulkan cedera seluler setempat
akibat metabolisme kompetitif, toksin, replikasi intraseluler atau reaksi antigen-antibodi.
Munculnya infeksi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan dalam rantai infeksi.
Adanya patogen tidak berarti bahwa infeksi akan terjadi.
Mikroorganisme yang bisa menimbulkan penyakit disebut pathogen (agen infeksi) sedangkan
mikroorganisme yang tidak menimbulkan penyakit/kerusakan disebut asimtomatik. Penyakit
timbul jika patogen berkembang biak dan memnyebabkan perubahan pada jaringan normal. Jika
penyakit bisa ditularkan dari satu orang ke orang lain, penyakit ini merupakan penyakit menular
(contagius). Mikroorganisme mempunyai keagamaan dalam virulensi/keganasan dan juga
beragam dalam menyebabkan beratnya suatu penyakit yang disebabkan.
Pada saat sekarang ini, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan maka akan semakin tinggi
pula rasa ingin tahu seseorang terhadap apa yang terdapat di alam sampai pada mikroorganisme
yang tak dapat dilihat dengan mata telanjang/berukuran kecil. Dari hal inilah muncul ilmu
pengetahuan yang mempelajari tentang mikroorganisme tersebut yang disebut dengan
mikrobiologi. Para peneliti mulai muncul mencari tahu akan apa yang terkandung pada
mikroorganisme tersebut. Dalam bidang penelitian mikroorganisme ini, tentunya menggunakan
teknik atau cara-cara khusus untuk mempelajari serta untuk bekerja pada skala laboratorium
untuk meneliti mikroorganisme ini baik sifat dan karakteristiknya, tentu diperlukan untuk
meneliti mikroorganisme ini baik sifat dan karakteristknya.
Perkembangan ilmu mikrobiologi telah memberikan sumbangan besar bagi dunia kesehatan,
dengan ditemukannya berbagai macam alat berkat penemuan beberapa ilmuan besar. Bahwa
terbukti untuk mencegah atau mengendalikan infeksi tenaga kesehatan dapat menggunakan
konsep steril ataupun besih, untuk membantu proses penyembuhan pasiennya dan lebih spesifik
lagi untuk mengendalikan dan mencegah terjadinya infeksi.

Pengontrolan Mikroorganisme
Mikroorganisme adalah organisme yang berukuran renik (kecil). Karena sifatnya yang
kecil, organisme ini sulit untuk dilihat dengan mata telanjang. Namun, walaupun sulit dilihat,
organisme ini terdapat dimana-mana. Mikroorganisme banyak yang membahayakan. Selain
merugikan, mikroorganisme juga ada yang menguntungkan, misalnya bakteri yang dapat diolah
menjadi antibiotik. Mikroorganisme tidak dapat dibasmi/dimusnahkan, tetapi dapat dikendalikan.
Dengan upaya tersebut, peluang mikroorganisme, terutama bakteri, untuk menginfeksi manusia
pun akan berkurang.
Mikroorganisme dapat menyebabkan berbagai bahaya dan kerusakan. Mikroorganisme
juga dapat mencemari makanan; dengan menimbulkan berbagai perubahan kimiawi di dalamnya,
bakteri membuat makanan tidak dapat dimakan atau bahkan beracun. Oleh sebab itu, adanya
prosedur untuk mengendalikan pertumbuhan dan kontaminasi oleh mikroba merupakan suatu
keharusan.
Alasan utama untuk pengontrolan mikroorganisme dapat dirangkum sebagai berikut :
1. Mencegah penyebaran penyakit dan infeksi
2. Membasmi mikroorganisme pada inang yang terinfeksi
3. Mencegah pembusukan dan perusakan bahan oleh mikroorganisme
Mikroorganisme dapat disingkirkan, dihambat, atau dibunuh melalui suatu sarana yang
bekerja dengan berbagai cara dan masing-masing mempunyai keterbatasan dalam penerapan
praktisnya. Beberapa istilah khusus sering digunakan untuk menggambarkan sarana serta proses
pengontrolan mikroorganisme. Penggunaan istilah ini penting dalam pemberian etiket pada obat-
obatan serta bahan kimia yang digunakan terhadap mikroorganisme. Baik pabrikan maupun
konsumen harus memahami makna yang tepat dari istilah-istilah tersebut.
Istilah yang digunakan tersebut sebaiknya didefinisikan dalam bahasa sehari-hari yang dapat
dijumpai di dalam kamus umum, yaitu:
1. Sterilisasi adalah proses penghancuran semua bentuk kehidupan mikroorganisme. Suatu
benda yang steril, dipandang dari sudut mikrobiologi, artinya bebas dari mikroorganisme
hidup.
2. Desinfektan adalah suatu bahan, biasanya zat kimia, yang mematikan sel vegetatif tetapi
belum tentu mematikan bentuk-bentuk spora mikroorganisme penyebab penyakit.
3. Antiseptik adalah substansi yang melawan infeksi atau mencegah pertumbuhan atau kerja
mikroorganism dengan cara menghancurkan atau menghambat pertumbuhan serta
aktivitasnya.
4. Bahan sanitasi adalah suatu bahan yang mengurangi populasi mikroba sampai pada batas
yang dianggap aman menurut standar kesehatan masyarakat. Biasanya, bahan ini
merupakan bahan kimia yang mematikan 99,9% bakteri yang sedang tumbuh.
5. Germisida (mikrobisida) adalah suatu bahan yang mematikan sel-sel vegetatif tetapi
tidak selalu mematikan bentuk spora resistan kuman. Di dalam praktiknya, germisida
hampir sama dengan desinfektan. Akan tetapi, germisida biasanya digunakan untuk
semua jenis kuman (mikroorganisme) untuk penerapan yang mana saja.
6. Bakterisida adalah suatu bahan yang mematikan bentuk-bentuk vegetatif bakteri.
7. Bakteriostasis adalah suatu keadaan yang menghambat pertumbuhan bakteri. Bahan-
bahan yang mempunyai kesamaan dalam hal kemampuan menghambat pertumbuhan
mikroorganisme secara kolektif dinamakan mikrobistatik.
8. Bahan antimikrobial adalah bahan yang mengganggu pertumbuhan dan metabolisme
mikroba. Beberapa bahan antimikrobal digunakan secara khusus untuk mengatasi infeksi.
Bahan ini disebut sebagai bahan terapeutik.

a) Pengendalian Mikroorganisme dengan Sarana Fisik


Berbagai sarana atau proses fisik telah tersedia untuk mengendalikan populasi mikroba.
Pengendalian tersebut dapat dilakukan dengan cara mematikan mikroorganisme, menghambat
pertumbuhan dan metabolismenya, atau secara fisik menyingkirnkannya. Cara pengendalian
mana yang akan digunakan bergantung pada kondisi yang dihadapi pada situasi tertentu.
Penerapan sarana fisik untuk megendalikan mikroorganisme dilakukan melalui beberapa
metode, diantaranya metode panas lembap, panas kering, pengeringan, radiasi, filtrasi, dan
pembersihan fisik.
1. Metode Panas Lembap
Beberapa cara pengendalian mikroorganisme melalui metode panas lembap adalah sebagai
berikut.
a. Uap bertekanan. Panas dalam bentuk uap jenuh bertekanan adalah sarana paling praktis
serta dapat diandalkan untuk sterilisasi. Uap bertekanan memberikan suhu jauh diatas
titik didih. Uap bertekanan mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya pemanasan
dapat berlangsung cepat dan mempunyai daya tembus serta menghasilkan kelembapan
yang tinggi. Semuanya tentu akan mempermudah koagulasi protein sel-sel mikroba. Alat
yang digunakan untuk sterilisasi dengan uap panas bertekanan adalah autoclave.
Autoclave merupakan alat yang sangat dibutuhkan di setiap laboratorium mikrobiologi,
ruang sterilisasi rumah sakit, serta tempat lain yang memproduksi produk steril. Waktu
yang diperlukan untuk sterilisasi bergantung pada sifat bahan yang disterilkan, tipe
wadah, dan volume bahan. Autoclave tidak efektif terhadap organisme yang terdapat
dalam bahan yang kedap uap dan tidak dapat digunakan untuk benda-benda yang peka
terhadap panas.
b. Air mendidih. Sel-sel vegetatif mikroorganisme akan terbunuh dalam waktu 10 menit di
dalam air mendidih. Namun, beberapa spora bakteri dapat bertahan dalam kondisi seperti
ini selama berjam-jam karena air mendidih hanya menghancurkan patogen yang tidak
membentuk spora. Air mendidih tidak dapat diandalkanuntuk sterilisasi karena tidak
menjamin tercapainya keadaan steril apabila perlakuan hanya diberikan satu kali.
2. Panas Kering
Beberapa carapengendalian mikroorganisme melalui metode panas kering adalah sebagai
berikut.
a. Sterilisasi dengan udara panas. Sterilisasi dengan udara panas dianjurkan apabila
penggunaan uap bertekanan tidak dikehendaki atau bila tidak dapat terjadi kontak antara
uap bertekanan dengan benda yang akan disterilkan. Untuk tujuan ini, digunakan alat
yang disebut oven. Alat ini dipakai untuk mensterilkan alat-alat gelas seperti Erlenmeyer,
tabung reaksi, cawan Petri, dan alat gas lainnya. Temperatur yang sering dipakai adalah
170-1800C selama kurang lebih 2 jam. Perlu diperhatikan bahwa lamanya sterilisasi
bergantung pada jumlah alat-alat yang disterilkan dan ketahanan alat terhadap panas.
b. Sterilisasi dengan pemijaran. Cara ini terutama dipakai untuk sterilisasi jarum platina,
ose, dan alat lainnya yang terbuat dari platinba atau nikrom. Caranya adalah dengan
membakar alat-alat tersebut diatas api lampu spirtus sampai berpijar.
c. Sterilisasi dengan pembakaran. Pembakaran bahan yang mengandung mikroorganisme
berarti juga membasmi mikroorganisme. Sterilisasi dnegan cara ini digunakan untuk
memusnahkan benda-benda tecemar yang tidak dapat digunakan kembali.

3. Pengeringan
Pengeringan sel mikroba serta lingkungannya dapat sangat mengurangi atau menghentikan
aktivitas metabolik diikuti dengan matinya sejulah sel. Lamanya suatu mikroorganisme bertahan
hidup setelah proses pengeringan bervariasi, bergantung pada faktor-faktor berikut:
a. Jenis mikroorganisme
b. Bahan pembawa yang dipakai untuk mengeringkan mikroorganisme
c. Kesempurnaan proses pengeringan
d. Kondisi fisik (cahaya, suhu, kelembapan) yang dikenakan pada organisme yang
dikeringkan
4. Radiasi
Beberapa cara pengendalian mikroorganisme melalui metode radiasi adalah sebagai berikut.
a. Cahaya ultraviolet. Cahaya ultraviolet digunakan untuk mengendalikan infeksi-asal
udara dan mendesinfeksi permukaan bahan yang disinar. Namun, cahaya ini tidak dapat
menembus kaca transparan atau benda-benda tembus cahaya karena daya tembusnya
rendah. Dalam pratiknya, pengguna harus berhati-hati karena cahaya UV dapat
menyebabkan iritasi pada mata dan kulit.
b. Sinar X, radiasi gamma, dan radiasi katode. Ketiga sinar ini dapat mensterilkan
perlengkapan bedah yang peka terhadap panas serta alat-alat medis lainnya. Namun,
ketiga sarana penyinaran ini tergolong mahal dan membutuhkan fasilitas khusus.
Perbedaan karakteristik beberapa jenis sinar dalam proses sterilisasi adalah sebagai
berikut.
Jenis Sinar Karakteristik penyinaran
Sinar X Daya penetrasi baik, tetapi perlu energi
besar.
Sinar alfa Memiliki sifat bakterisidal, tetapi tidak
memiliki daya penetrasi.
Sinar beta Daya penetrasinya sedikit lebih besar
daripada sinar X.
Sinar gamma Kekuatan radiasinya besar dan efektif
untuk sterilisasi bahan makanan.

b) Pengendalian Mikroorganisme dengan Bahan Kimia


Terdapat banyak zat kimia yang dipakai untuk mengendalikan mikroorganisme. Penting
sekali untuk memahami ciri pembeda masing-masing zat terkait mikroorganisme apa saja yang
dapat dikendalikannya serta bagaimana zat tersebut dipengaruhi oleh lingkungan. Setiap zat
kimia mempunyai kebatasan dan keefektifan bila digunakan dalam kondisi praktis. Keterbatasan-
keterbatasan ini perlu diamati. Selain itu, tujuan yang dikehendaki dalam pengendalian
mikroorganisme tidak selalu sama. Pada beberapa kasus, kita mungkin pelu mematikan sebagian
besar mikroorganisme tetapi tidak semua (sanitasi). Dengan demikian, pemilihan sesuatu bahan
kimia untuk penggunaan praktis dipengaruhi juga oleh hasil akhir yang diharapkan.

Ciri-ciri desinfektan yang ideal:


1. Desinfektan harus dapat memperhatikan berbagai jenis mikroba pada konsentrasi rendah.
2. Desinfektan harus dapat larut dalam air atau pelarut lain sampai pada konsentrasi yang
diperlukan untuk dapat digunakan secara efektif.
3. Perubahan yang terjadi pada desinfektan ketika didiamkan beberapa saat harus
seminimial mungkin dan tidak boleh mengakibatkan hilangnya sifat antimikobial atau
harus bersifat stabil.
4. Tidak bersifat racun bagi manusia maupun hewan lain.
5. Aktivitas antimikrobial harus pada suhu kamar atau suhu tubuh.
6. Tidak menimbulkan karat dan warna.
7. Memiliki kemampuan menghilangkan bau yang kurang sedap.
8. Desinfektan juga harus berfungsi sebagai deterjen (pembersih).
9. Desinfektan harus tersedia dalam jumlah besar dengan harga yang wajar.
c) Rantai Pengendalian Infeksi
Proses terjadinya infeksi seperti rantai yang paling terkait antar berbagai faktor yang
mempengaruhi, yaitu agen infeksi, yaitu agen infeksi, reservoir, portal of exit, cara penularan,
portal of entry dan host/pejamu yang rentan.
1. Agen Infeksi
Mikroorganisme yang termasuk dalam agen infeksi antara lain bakteri, virus, jamur,
dan protozoa. Mikroorganisme di kulit bisa merupakan flora transient maupun organisme
transient normalnya ada dan jumlahnya stabil, organisme ini bisa hidup dan berbiak di kulit.
Organisme ini siap ditularkan, kecuali dihilangkan dengan cuci tangan. Organisme resisten tidak
dengan mudah bisa dihilangkan melalui cuci tangan dengan sabun dan deterjen biasa kecuali bila
digosokan dilakukan dengan seksama. Mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi tergantung
pada jumlah mikroorganisme, virulensi (kemampuan menyebabkan penyakit), kemampuan untuk
masuk dan bertahan hidup dalam host serta kerentanan dari host/penjamu.
2. Reservoir (sumber mikroorganisme)
Reservoir merupakan tempat dimana mikroorganisme patogen dapat hidup baik
berkembang biak atau tidak. Yang bisa berperan sebagai reservoir adalah manusia, binatang,
makanan, air, serangga, dan benda lain. Kebanyakan reservoir adalah tubuh manusia, misalnya di
kulit mukosa, cairan maupun drainase. Adanya mikroorganisme patogen dalam tubuh tidak
selalu menyebabkan penyakit pada hostnya. Sehingga reservoir yang di dalamnya terdapat 
mikroorganisme patogen bisa menyebabkan orang lain menjadi sakit (carrier). Kuman akan
hidup dan berkembang biak dalam reservoir jika karakteristik reservoarnya cocok dengan
kuman. Karakteristik tersebut yaitu oksigen, air, suhu, pH, dan pencahayaan.
3. Portal Of Exit (Jalan Keluar)
Mikroorganisme yang hidup di dalam reservoar harus menemukan jalan keluar (portal of
exit) untuk masuk ke dalam host dan menyebabkan infeksi. Sebelum menimbulkan infeksi,
mikroorganisme harus keluar terlebih dahulu dari reservoarnya. Jika reservoarnya manusia,
kuman dapat keluar melalui salura pernafasan, pencernaan, perkemihan, genetalia, kulit, dan
membran mukosa yang rusak disertai darah.
4. Cara Penularan
Kuman dapat menular atau berpindah ke orang lain dengan berbagai cara seperti kontak
langsung dengan penderita melalui oral, fekal, kulit atau darahnya, kontak tidak langsung
melalui jarum atau balutan bekas luka penderita, peralatan yang terkontaminasi, makan yang
dioalah tidak tepat, dan melalui vektor nyamuk atau lalat.
5. Portal Masuk
Sebelum seseorang terinfeksi, mikroorganisme harus masuk dalam tubuh. Kulit merupakan
barier pelindung tubuh terhadap masuknya kuman infeksius. Rusaknya kulit atau ketidakutuhan
kulit dapat menjadi portal masuk. Mikroba dapat masuk ke dalam tubuh melalui rute atau jalan
yang sama dengan portal keluar. Faktor-faktor yang menurunkan daya tahan tubuh memperbesar
kesempatan patogen masuk ke dalam tubuh.
6. Daya Tahan Hospes (Manusia)
Seseorang terkena infeksi bergantung pada kerentanan terhadap agen infeksius. Kerentanan
bergantung pada derajat ketahanan tubuh individu terhadap patogen. Meskipun seseorang secara
konstan kontak dengan mikroorganisme dalam jumlah yang besar, infeksi tidak akan terjadi
sampai individu rentan terhadap kuman yaitu usia, keturunan, stress (fisik dan emosional), status
nutrisi, terapi medis, pemberian obat dan penyakit penyerta.
Menurunkan Mikroorganisme
Banyak faktor dan keadaan yang mempengaruhi upaya menghambat atau membasmi
mikroorganisme melalui penggunaan bahan atau proses antimikrobial. Faktor-faktor tersebut
harus menjadi pertimbangan agar penerapan metode-metode pengontrolan menjadi efektif.
1. Konsentrasi atau intensitas zat antimikrobial. Bakteri akan cepat mati bila konsentrasi
dan intensitas antimikrobialnya besar/tinggi. Sebagai contoh, sinar X atau cahaya
ultraviolet akan lebih cepat membunuh sel-sel apabila intensitas radiasinya bertambah
besar. Sel-sel juga akan lebih cepat mati apabila konsentrasi zat kimia (zat antimikrobial)
lebih tinggi.
2. Jumlah mikroorganisme. Jumlah mikroorganisme juga mempengaruhi kerja zat
antimikrobial. Makin banyak jumlah mikroorganisme, makin banyak pula waktu yang
dibutuhkan zat antimikrobial untuk membunuh mikroorganisme tersebut.
3. Suhu. Kenaikan suhu yang sedang dapat meningkatkan keefektifan kerja desinfektan atau
bahan antimikrobial lain. Hal itu dapat dijelaskan dengan fakta bahwa laju reaksi kimia
dipercepat dengan meningkatkan suhu.
4. Spesies mikroorganisme. Spesies mikroorganisme menunjukkan kerentanan yang
berbeda-beda terhadap saran fisik dan bahan kimia. Kita tahu bahwa pada spesies
pembentuk spora, sel vegetatif yang sedang tumbuh lebih mudah dibunuh dibandingkan
dengan sporanya. Diantara semua organisme hidup, spora bakteri adalah yang paling
resisten dalam hal kemampuan untuk bertahan hidup pada kondisi fisik dan kimiawi yang
kurang menguntungkan.
5. Adanya bahan organik. Adanya bahan organik asing dapat menurunkan keefektifan zat
antimikrobial secara signifikan dengan cara menginaktifkan bahan-bahan tersebut atau
melindungi mikroorganisme dari bahan tersebut. Sebagai contoh, adanya bahan organik
di dalam campuran desinfektan mikroorganisme dapat mengaktifkan:
a. Penggabungan desinfektan dengan bahan organik di dalam campuran desinfektan
produk yang tidak bersifat mikrobial.
b. Penggabungan desinfektan dengan bahan organik yang menghasilkan suatu endapan
sehingga desinfektan tidak mungkin lagi mengikat mikroorganisme.
c. Akumulasi bahan organik pada permukaan sel mikroba menjadi suatu pelindung
yang akan mengganggu kontak antara desinfektan dan sel. Di dalam penerapannya,
apabila ada serum atau darah pada benda yang akan diberi zat antimikrobial, maka
serum atau darah itu dapat menginaktifkan sebagian zat tersebut.
6. Tingkat keasaman atau kebasaan (pH). Mikroorganisme yang terdapat pada bahan
dengan pH asam dapat dibasmi pada suhu yang lebih rendah dan dalam waktu yang lebih
singkat dibandingkan dengan mikroorganisme yang sama di dalam lingkungan basa.
Kontaminasi 
Menurunkan jumlah kontaminan dan mencegah transmisi dapat dilakukan dengan
mencuci tangan. Mencuci tangan merupakan metode terbaik mencegah transmisi
mikroorganisme. Telah terbukti bahwa tindakan mencuci tangan secara signifikan menurunkan
infeksi pada ICU dan infeksi saluran pencernaan.
Faktor penting adalah untuk mempertahankan hygiene yang baik dan mempertahankan integritas
kulit seperti :
1. Lama mencuci tangan.
2. Paparan semua area tangan dan pergelangan tangan ke alat yang digunakan.
3. Menggosok dengan keras hingga terjadi friksi.
4. Pembilasan menyeluruh.
5. Memastikan tangan telah dikeringkan.
Hampir semua bakteri transien dapat dihilangkan dengan sabun dan air, tetapi bakteri residen
akan tetap tinggal. Pencuci tangan bakterisida, misalnya Hibicrub Povodone-iodine. Yang perlu
perhatian khusus saat mencuci tangan adalah tempat berkumpulnya mikroorganisme, seperti
sela-sela jari. Walaupun mencuci tangan dengan menggunakan bakterisida, namun tidak semua
bakteri dapat dihilangkan. Tangan tidak pernah steril maka dari itu kita memerlukan sarung
tangan steril dalam melkukan tindakan-tindakan steril. Selain itu pakaian pelindung yang
digunakan ketika memasuki ruangan steril juga mencegah transmisi mikroorganisme. Dalam
menurunkan jumlah organisme kontaminan hal yang perlu diperhatikan adalah keberhasilan,
baik itu kbersihan diri maupun kebersihan lingkungan.
Infeksi Nosokomial
Infeksi adalah kondisi masuknya suatu organisme ke dalam jaringan atau cairan tubuh
yang disertai gejala klinis tertentu, baik lokal maupun sistemik. Infeksi nosokomial, yang disebut
juga sebagai infeksi rumah sakit, adalah infeksi yang terjadi di rumah sakit oleh kuman yang
berasal dari rumah sakit. Infeksi nosokomial dapat terjadi pada pasien, tenaga kesehatan, dan
juga setiap orang yang datang ke rumah sakit. Manifestasi penyakit tidak hanya dapat timbul di
rumah sakit, tetapi di luar rumah sakit apabila masa inkubasi mikroorganisme lebih lama dari
lama rawat/tinggal di rumah sakit. Penyakit infeksi yang sedang dalam masa inkubasi pada saat
penderita masuk ke rumah sakit bukanlah infeksi nosokomial.
Infeksi nosokomial dapat berasal dari dalam tubuh penderita maupun dari luar tubuh.
Infeksi endogen disebabkan oleh mikroorganisme yang semula memang sudah ada di dalam
tubuh dan berpindah ke tempat baru yang kita sebut dengan self-infection atau auto-infection,
sedangkan infeksi eksogen (cross infection) disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari
rumah sakit dan dari satu pasien ke pasien lainnya.
Rumah sakit merupakan suatu tempat orang yang sakit dirawat dan ditempatkan dalam
jarak yang sangat dekat. Di tempat ini, pasien mendapatkan terapi dan perawatan untuk sembuh.
Namun, selain sebagai tempat untuk menyembuhkan, rumah sakit juga merupakan depot bagi
berbagai macam penyakit yang berasal dari penderita maupun dari pengunjung yang berstatus
pembawa (carrier). Kuman penyakit ini dapat hidup dan berkembang di lingkungan rumah sakit,
seperti di udara, air, lantai, makanan, dan perlatan medis maupun non medis.
Terjadinya infeksi nosokimal akan menimbulkan banyak kerugian, diantaranya lama
rawat pasien yang memanjang, penderitaan pasien bertambah, dan biaya meningkat. Infeksi
nosokomial mengharuskan digantinya obat-obatan biasa dengan obat-obatan mahal dan
digunakannya jasa di luar rumah sakit. Oleh sebab itu, di negara-negara miskin dan berkembang,
pencegahan infeksi nosokomial lebih diuatamakan guna meningkatkan kualitas pelayanan pasien
di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya.
Di beberapa unit perawatan, terutama dibagian penyakit dalam, terdapat banyak prosedur
dan tindakan yang dilakukan, baik untuk tujuan diagnosis maupun untuk memantau perjalanan
penyakit. Semua prosedur dan tindakan tersebut dapat menyebabkan pasien rentan karena
terkena infeksi nosokomial. Pasien yang berusia lanjut, berbaring dalam waktu lama, atau
menjalani berbagai prosedur (misalnya diagnostik invasif, infus yang lama, dan pengguaan
kateter urine yang lama) atau pasien dengan penyakit tertentu (misalnya penyakit yang
memerlukan kemoterapi, penyakit yang sangat parah, keganasan, diabetes, anemia, penyakit
autoimun) serta pasien yang mendapat imosupresan atau steroid diketahui berisiko tinggi terkena
infeksi.
Sumber penularan dan cara penularan infeksi terutama melalui tangan dan dari petugas
kesehatan, jarum injeksi, kateter IV, kateter urine, kassa pembalut atau perban, dan cara yang
keliru dalam menangani luka. Infeksi nokomial ini pun tidak hanya mengenai pasien, tetapi juga
seluruh personel rumah sakit yang berhubungan langsung dengan pasien maupun penunggu dan
pengunjung pasien.
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terdapat dalam saran kesehatan. Sebetulnya
rumah sakit memang sumber penyakit. Di negara majupun, infeksi yang didapat dalam rumah
sakit terjadi dengan angka yang cukup tinggi. Misalnya, di AS, ada 20.000 kematian setiap tahun
akibat infeksi nosokomial. Di seluruh dunia, 10% pasien rawat inap rumah sakit mengalami
infeksi yang baru selama -1,4 juta infeksi setiap tahun. Di Indonesia, penelitian yang dilakukan
di 11 rumah sakit di DKI Jakarta pada 2004 menunjukkan bahwa 9,8 persen pasien rawat inap
mendapay infeksi yang baru selama dirawat.
Hal-hal yang berhubungan dengan infeksi nosokomial :
1. Secara umum infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapatkan penderita selama
dirawat di rumah sakit.
2. Infeksi nosokomial sukar diatasi karena sebagai penyebabnya adalah mikro
organisme/bakteri yang sudah resisten terhadap anti biotika.
3. Bila terjadi infeksi nosokomial, maka akan terjadi penderitaan yang berpanjangan serta
pemborosan waktu serta pengeluaran biaya yang bertambah tinggi kadang-kadang
kualitas hidup penderita menurun.
4. Infeksi nosokomial disamping berbahaya bagi penderita, juga berbahaya bagi lingkungan
baik selama dirawat di rumah sakit ataupun di luar rumah sakit etelah berobat jalan.
5. Dengan pengendalian infeksi nosokomial akan menghemat biaya dan waktu yang
terbuang.
6. Di negara yang sudah maju masalah ini telah diangkat menjadi masalah nasional,
sehingga bila angka infeksi nosokomial disuatu rumah sakit tinggi, maka izin
operasionalnya dipertimbangkan untuk dicabut oleh instansi yang berwenang.
Pencegahan Penularan Infeksi
Tindakan pembersihan yang rutin sangat penting untuk memastikan bahwa rumah
benar-benar bersih dari debu, minyak dan kotoran. Perlu diingat bahwa sekitar 90 persen dari
kotoran yang terlihat pasti mengandung kuman. Harus ada waktu yang teratur untuk
membersihkan dinding, lantai, tempat tidur, pintu, jendela, tirai, kamar mandi, dan alat-alat
medis yang telah dipakai berkali-kali.
Pengaturan udara yang baik sukar dilakukan dibanyak fasilitas kesehatan. Usahakan
adanya pemakaian penyaring udara, terutama bagi penderita dengan status imun yang rendah
atau bagi penderita yang dapat menyebarkan penyakit melalui udara. Kamar dengan pengaturan
udara yang baik akan lebih banyak mengurangi resiko penularan kuman tuberkulosis.
Selain itu, rumah sakit harus membangun suatu fasilitas penyaring air dan menjaga
kebersihan pemprosesan serta filternya untuk mencegahan terjadinya pertumbuhan bakteri.
Sterilisasi air di rumah sakit dengan prasarana yang terbatas dapat dilakukan dengan
menggunakan panas matahari. Toilet rumah sakit juga harus dijaga, terutama pada unit
perawatan pasien diare untuk mencegah terjadinya infeksi antar-pasien. Permukaan toilet harus
selalu bersih dan diberi desinfektan. Desinfektan akan membunuh kuman dan mencegah
penularan antar-pasien.
Desinfeksi yang digunakan harus :
1. Efektif
2. Mempunyai kriteria membunuh kuman.
3. Mempunyai efek sebagai detergen.
4. Mempunyai efek terhadap banyak bakteri, dapat melarutkan minyak dan protein.
5. Tidak sulit digunakan.
6. Tidak mudah menguap.
7. Bukan bahan yang mengandung zat yang berbahaya baik untuk petugas maupun pasien.
8. Tidak berbau, atau tidak berbau tidak enak.
a. Dekontaminasi Tangan
Transmisi penyakit melalui tangan dapat diminimalisasikan dengan menjaga hygiene tangan.
Akan tetapi, pada kenyataannya, hal ini sulit dilakukan dengan benar karena banyaknya alasan,
seperti kurangnya peralatan, alergi produk pencuci tangan, sedikitnya pengetahuan mengenai
pentingnya mencuci tangan, dan waktu mencuci tangan yang lama. Selain itu, penggunaan
sarung tangan sangat dianjurkan bila akan melakukan tindakan atau pemeriksaan pada pasien
dengan penyakit infeksi. Hal yang perlu diingat adalah selalu memakai sarung tangan ketika
akan mengambil atau menyentuh darah, cairan tubuh, atau keringat, tinja, urine, membran
mukosa, dan bahan yang kita anggap telah terkontaminasi dan segera mencuci tangan setelah
melepas sarung tangan.

b. Instrumen yang Sering Digunakan di Rumah Sakit


Simonsen, dkk (1999) menyimpulkan bahwa lebih dari 50% injeksi yang dilakukan di negara
berkembang tidaklah aman. Salah satu contohnya adalah penggunaan jarum, tabung, atau
keduanya secara berulang-ulang dan banyaknya tindakan injeksi yang tidak penting (misalnya
injeksi antibiotik).
Untuk mencegah penyebaran penyakit melalui jarum suntik, maka diperlukan :
1. Pengurangan tindakan injeksi yang kurang penting.
2. Penggunaan jarum steril.
3. Penggunaan alat suntik yang disposable.
Masker diperlukan sebagai sarana pelindung terhadap penyakit yang ditularkan melalui udara.
Pasien yang menderita infeksi saluran nafas harus selalu menggunakan masker saat keluar dari
kamar. Sarung tangan sebaiknya digunakan terutama ketika menyentuh darah, caira tubuh, feses
maupun urine. Sarung tangan harus selalu diganti setiap menangani pasien yang berbeda. Setelah
membalut luka atau terkena benda yang kotor, sarung tangan harus segera diganti. Baju atau
gaun khusus juga harus dipakai untuk melindungi kulit dan pakaian selama kita melakukan suatu
tindakan atau mencegah percikan darah, cairan tubuh, urine, dan feses.
c. Memperbaiki Ketahanan Tubuh
Di dalam tubuh manusia, selain ada bakteri yang patogen oportunis, ada pula bakteri yang
secara mutualistik yang ikut membantu dalam proses fisiologis tubuh, dan membantu ketahanan
tubuh melawan invasi mikroorganisme patogen serta menjaga keseimbangan diantara populasi
mikroorganisme komensalisme pada umumnya, (misalnya seperti yang terjadi di dalam saluran
cerna manusia). Pengetahuan tentang mekanisme pertahanan tubuh orang sehat yang dapat
mengendalikan mikroorganisme opportunis perlu diidentifikasi secara tuntas sehingga dapat
pada penderita penyakit berat. Dengan demikian, bahaya infeksi dengan bakteri oportunis pada
penderita penyakit berat dapat diatasi tanpa harus menggunakan antibiotik.
d. Ruangan Isolasi
Penyebaran dari infeksi nosokomial juga dapat dicegah dengan memisahkan pasien. Ruang
isolasi sangat diperlukan terutama untuk penyakit yang penularannya melalui udara, contohnya
tuberkolosis, dan SARS, yang mengakibatkan kontaminasi berat. Penularan yang melibatkan
virus, contohnya DHF dan HIV. Biasanya, pasien yang mempunyai resistensi rendah seperti
leukemia dan pengguna obat immunosupresan juga perlu diisolasi agar terhindar dari infeksi.
Selain menjaga kebersihan tangan dan makanan, peralatan kesehatan di dalam ruang isolasi juga
sangat penting. Ruang isolasi ini harus selalu tertutup dengan ventilasi udara selalu menuju
keluar. Sebaiknya satu pasien berada dalam satu ruang isolasi, tetapi bila sedang terjadi kejadian
luar biasa dan penderita melebihi kapasitas, beberapa pasien dalam satu ruangan tidaklah apa-apa
selama mereka menderita penyakit yang sama.
Pencegahan infeksi nosokomial yaitu dengan :
1. Membatasi transmisi organisme diri atau antar pasien dengan cara mencuci tangan dan
penggunaan sarung tangan, tindakan septik dan aseptik, sterilisasi dan desinfektan.
2. Mengontrol resiko penularan dari lingkungan.
3. Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang adekuat, nutrisi yang cukup, dan
vaksinasi.
4. Membatasi resiko infeksi endogen dengan meminimalkan prosedur invasi.
5. Pengawasan infeksi, identifikasi penyakit dan mengontrol penyebarannya.
Selain itu pencegahan infeksi nosokomial juga dengan menggunakan standart kewaspadaan
terhadap infeksi, antara lain :
1. Cuci tangan
a. Setelah menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi, eksresi dan bahan terkontaminasi.
b. Segera setelah melepas sarung tangan.
c. Diantara sentuhan dengan pasien
2. Sarung tangan
a. Bila kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi, dan bahan yang terkontaminasi.
b. Bila kontak dengan selaput lendir dan kulit terluka.
3. Masker, kaca mata, dan masker muka.
Mengantisipasi bila terkena, melindungi selaput lendir mata, hidung dan mulut saat kontak
dengan darah dan cairan tubuh.
4. Baju pelindung
a. Lindungi kulit dari kontak dengan darah dan cairan tubuh.
b. Cegah pakaian tercemar selama tindakan klinik yang dapat berkontak langsung
dengan darah ataupun cairan tubuh.
5. Kain
a. Tangani kain tecemar, cegah dari sentuhan kulit/selaput lendir.
b. Jangan melakukan prabilas kain yang tercemar di are perawatan pasien.
6. Peralatan perawatan pasien
a. Tangani peralatan yang tercemar dengan baik untuk mencegah kontak langsung
dengan kulit atau selaput lendir dan mencegah kontaminasi pada pakaian dan
lingkungan.
b. Cuci peralatan bekas pakai sebelum digunakan kembali.
7. Pembersihan lingkungan
Perawatan rutin, pembersihan dan desinfeksi peralatan dan perlengkapan dalam ruang
perawatan pasien.
8. Instrumen tajam
a. Hindari memasang kembali penutup jarum bekas.
b. Hindari melepas jarum bekas dari semprit habis pakai.
c. Hindari membengkokkan, mematahkan atau memanipulasi jarum bekas dengan
tangan.
d. Masukkan instrumen tajam ke dalam tempat yang tidak tembus tusukan.
9. Resusitasi pasien
Usahakan gunakan kantong resusitasi atau alat ventilasi yang lain untuk menghindari kontak
langsung mulut dalam resusitasi mulut ke mulut.
10. Penempatan Pasien
Tempatkan pasien yang mengkontaminasi lingkungan dalam ruang pribadi/isolasi.

Anda mungkin juga menyukai