Anda di halaman 1dari 22

SISTEM SARAF PUSAT DAN PERIFER PADA BOVINE

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Fisiologi
yang diampu oleh :
Okta Wismandanu, drh., M. Epid
Dwi Utari Rahmiati, drh., M.Si
Aziiz Mardanarian Rosdianto, S.Kep., Ns., MH (Kes)., M.Si., AIF.,

Disusun Oleh :
Kelompok 2
Nida Nasywa Syafiqa (130210180004)
Gisela Nurfitriani (130210180005)
Maulinda Rachmawati (130210180015)
Pebi Diah Patmawati (130210180020)
Chandra Rizkia Putri (130210180038)

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PADJAJARAN
SUMEDANG 2019
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………...........………………………. i

DAFTAR ISI …………………………………….................……………….… ii

KATA PENGANTAR …………………............………………….………. iii

BAB I PENDAHULUAN ………………………….............…………….. 1

1.1 Latar Belakang ………………………………………….. 2


1.2 Tujuan Penulisan ……………………………………….. ..2

BAB II ISI ……………………………………….……………………3

2.1.1. Sistem saraf …………………………………………...


2.1.2. Sistem Saraf Pusat pada Sapi …………………………
2.1.3. Perkembangan Sistem Saraf Pusat pada Sapi …………
2.1.4. Susunan saraf tepi pada sapi (System nervosum pheriphericum)
………………………………………………………….
2.1.5. Transmisi Impuls pada sistem saraf……………………
2.1.6. Penyakit yang berhubungan dengan Sistem Saraf bouvine
………………………………………………………….

BAB III PENUTUP ………………………………………………..…17

 A. Simpulan …………………………………………………... 17
 B. Saran ………………………………………………………. 17

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………….…. 18


KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di
akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat
sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis
mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah “sistem saraf pusat dan perifer
pada bouvine”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, agar
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.
Penulis

Kelompok 2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sistem Saraf adalah jaringan kompleks yang memungkinkan suatu
organisme dapat berinteraksi dengan lingkungannya. Komponen sensorik
yang mendeteksi rangsangan lingkungan, dan komponen motor yang
menyediakan kontrol otot rangka, jantung, dan otot polos, serta kontrol sekresi
kelenjar, dikoordinasikan dalam sistem untuk memaksa respons motorik yang
sesuai dengan stimuli atau input sensorik yang telah diterima, disimpan, dan
diproses (Ludwig, PE. 2019).
Sistem saraf terdiri dari jaringan saraf yang luas; pensinyalan dalam sirkuit ini
memungkinkan pemikiran, bahasa, perasaan, pembelajaran, memori, dan
semua fungsi dan sensasi. Melalui plastisitas sel, sistem saraf kita dapat
beradaptasi dengan situasi yang sebelumnya tidak dijumpai, tetapi juga telah
ditunjukkan bahwa sel sistem saraf adalah plastis atau fleksibel dan terlibat
dalam menciptakan koneksi baru dalam adaptasi dan respons terhadap cedera.
Sel sistem saraf memiliki peran mendasar dalam pengembangan, dan dalam
kemampuan untuk menanggapi rangsangan di lingkungan dan cedera.

1.2. Tujuan
1.2.1. Mengetahui pengertian dari sistem saraf
1.2.2. Mengetahui Sistem Saraf Pusat pada Sapi
1.2.3. Mengetahui Perkembangan Sistem Saraf Pusat pada Sapi
1.2.4. Mengetahui Susunan saraf tepi pada sapi (System nervosum
pheriphericum)
1.2.5. Transmisi Impuls pada sistem saraf
1.2.6. Mengetahui penyakit yang berhubungan dengan sistem saraf bouvine
BAB II
ISI
2.1 Sistem saraf
Sistem saraf adalah suatu jalinan jaringan saraf yang kompleks,
sangat khusus dan saling berhubungan satu dengan yang lain. Sistem saraf
mengkoordinasi, menafsirkan, dan mengontrol interaksi antara individu
dengan lingkungan sekitarnya. Sistem tubuh yang penting ini juga
mengatur kebanyakan aktivitas system – system tubuh lainnya. Karena
pengaturan saraf tersebut maka terjalin komunikasi antara berbagai system
tubuh hingga menyebabkan tubuh berfungsi sebagai unit yang harmonis.
Dalam system inilah berasal segala fenomena kesadaran, pikiran, ingatan,
sensasi dan gerakan. Jadi kemampuan untuk dapat memahami, belajar dan
memberi respon terhadap suatu rangsangan merupakan hasil kerja
integrasi dari system saraf yang puncaknya dalam bentuk kepribadian dan
tingkah laku individu.
Jaringan saraf terdiri dari Neuroglia dan sel Schwann (sel – sel
penyokong) serta Neuron (sel – sel saraf). Kedua jenis sel tersebut
demikian erat berkaitan dan terintegrasi satu sama lainnya sehingga
bersama – sama berfungsi sebagai satu unit.
1. Neuroglia
Neuroglia ( berasal dari nerve glue ) mengandung berbagai
macam sel yang secara keseluruhan menyokong, melindungi dan
sumber nutrisi sel saraf (Neuron) pada otak dan Medulla spinalis;
sedangkan sel Schwann merupakan pelindung dan penyokong
neuron – neuron di luar system saraf pusat. Neuroglia menyusun
40 % volume otak dan medulla spinalis. Neuroglia jumlahnya lebih
banyak dari sel – sel neuron dengan perbandingan sekitar sepuluh
banding satu. Ada empat sel Neuroglia yang berhasil diidentifikasi
yaitu : Oligodendroglia, Ependima, Astroglia dan Microglia.
Masing – masing mempunyai fungsi yang khusus.
Oligodendroglia merupakan sel glia yang
bertanggungjawab menghasilkan myelin dalam susunan saraf
pusat. Sel ini mempunyai lapisan dengan substansi lemak
mengelilingi penonjolan atau sepanjang sel saraf sehingga
terbentuk selubung mielin. Mielin pada susunan saraf tepi dibentuk
oleh sel Schwann. 3,4
2. Sel schwann
Sel Schwann membentuk myelin maupun neurolemma
saraf tepi. Tidak semua neuron susunan saraf tepi bermielin.
Neurolema adalah membrane sitoplasma halus yang dibentuk oleh
sel – sel Schwann yang membungkus semua neuron SST
( bermielin atau tidak bermielin ). Neurolema merupakan struktur
penyokong dan pelindung bagi tonjolan saraf.
Mielin merupakan suatu kompleks protein lemak bewarna
putih yang mengisolasi tonjolan saraf. Mielin menghalangi aliran
ion Natrium dan Kalium melintasi membran neuronal dengan
hampir sempurna. Selubung myelin tidak kontinu di sepanjang
tonjolan saraf, dan terdapat celah – celah yang tidak memiliki
myelin, dinamakan nodus Ranvier. Tonjolan saraf pada susunan
saraf pusat dan tepi dapat bermielin atau tidak bermielin. Serabut
saraf yang mempunyai selubung myelin dinamakan serabut
bermielin, dan dalam SSP dinamakan massa putih (Substansia
Alba). Serabut – serabut yang tak bermielin dinamakan serabut tak
bermielin dan terdapat dalam massa kelabu (Substansia Grisea)
SSP. Transmisi impuls saraf di sepanjang serabut bermielin lebih
cepat dari transmisi di sepanjang serabut tak bermielin, karena
impuls berjalan dengan cara “ meloncat “ dari nodus ke nodus yang
lain di sepanjang selubung myelin. Cara transmisi seperti ini
dinamakan konduksi saltatorik.
Hal terpenting dari peran myelin pada proses transmisi di
serabut saraf dapat terlihat dengan mengamati hal yang terjadi jika
tidak lagi terdapat myelin disana. Pada orang – orang dengan
Multiple Sclerosis, lapisan myelin yang mengelilingi serabut saraf
menjadi hilang. Sejalan dengan hal itu orang tersebut mulai
kehilangan kemampuan untuk mengontrol otot – ototnya dan
akhirnya menjadi tidak mampu sama sekali.
Ependima berperanan dalam produksi Cerebro Spinal
Fluid. Ependima adalah neuroglia yang membatasi system
ventrikel SSP. Sel - sel inilah yang merupakan epithel dari Plexus
Coroideus ventrikel otak.
Microglia mempunyai sifat - sifat phagocyte yang
menyingkirkan debris – debris yang dapat berasal dari sel – sel
otak yang mati, bakteri dan lain – lain. Sel jenis ini ditemukan di
seluruh SSP dan dianggap berperanan penting dalam proses
melawan infeksi.
Astrocytes atau Astroglia berfungsi sebagai “ sel pemberi
makan “ bagi neuron yang halus. Badan sel Astroglia berbentuk
bintang dengan banyak tonjolandan kebanyakan berakhir pada
pembuluh darah sebagai kaki perivaskular atau “foot processes
“ .Bagian ini juga membentuk dinding perintang antara aliran
kapiler darah dengan neuron, sekaligus mengadakan pertukaran zat
diantara keduanya. Dengan kata lain membantu neuron
mempertahankan potensial bioelektris yang sesuai untuk konduksi
impuls dan transmisi sinaptik. Dengan cara ini pula sel – sel saraf
terlindungi dari substansi yang berbahaya yang mungkin saja
terlarut dalam darah. Tetapi fungsinya sebagai sawar darah otak
tersebut masih memerlukan pemastian lebih lanjut, karena diduga
celah endothel kapiler darahlah yang lebih berperan sebagai sawar
darah otak.
Neuroglia secara struktur menyerupai neuron, tetapi tidak
dapat menghantarkan impuls saraf, suatu fungsi yang merupakan
bagian yang paling berkembang pada neuron. Perbedaan lain yang
penting adalah neuroglia tidak pernah kehilangan kemampuan
untuk membelah dimana tidak dipunyai oleh neuron. Karena alasan
inilah kebanyakan tumor – tumor otak adalah Gliomas atau tumor
yang berasal dari sel – sel glia.
3. Neuron
Neuron adalah suatu sel saraf dan merupakan unit anatomis
dan fungsional system saraf. Setiap neuron mempunyai badan sel
yang mempunyai satu atau beberapa tonjolan. Dendrit adalah
tonjolan yang menghantarkan informasi menuju badan sel.
Tonjolan tunggal dan panjang yang menghantarkan
informasikeluar dari badan sel disebut Axon. Dendrit dan akson
secara kolektif sering disebut sebagai serabut saraf atau tonjolan
saraf. Kemampuan untuk menerima, menyampaikan dan
meneruskan pesan – pesan neural disebabkan oleh karena sifat
khusus membran sel neuron yang mudah dirangsang dan dapat
menghantarkan pesan elektrokimia.
Neuron dapat diklasifikasikan menurut bentuknya atas
neuron unipolar, bipolar atau multipolar. Neuron unipolar hanya
mempunyai satu serabut yang dibagi menjadi satu cabang sentral
yang berfungsi sebagai satu akson dan satu cabang perifer yang
berguna sebagai satu dendrite. Jenis neuron ini merupakan neuron-
neuron sensorik saraf perifer (misalnya, sel-sel ganglion
cerebrospinalis). Neuron bipolar mempunyai dua serabut, satu
dendrite dan satu akson. Jenis neuron ini dijumpai dalam epithel
olfaktorius, dalam retina mata dan dalam telinga dalam.
Neuron multipolar mempunyai beberapa dendrite dan satu
akson. Jenis neuron ini merupakan yang paling sering dijumpai
pada system saraf sentral (misalnya, sel-sel motoris pada cornu
anterior dan lateralis medulla spinalis, sel- sel ganglion otonom).
Neurotransmitter merupakan zat kimia yang disintesis
dalam neuron dan disimpan dalam gelembung sinaptik pada ujung
akson. Zat kimia ini dilepaskandari ujung akson terminal dan juga
direabsorbsi untuk daur ulang. Neurotransmiter merupakan cara
komunikasi amntar neuron. Setiap neuron melepaskan satu
transmitter. Zat – zat kimia ini menyebabkan
perubahanpermeabilitas sel neuron, sehingga neuron menjadi lebih
kurang dapat menyalurkan impuls. Diketahui atau diduga terdapat
sekitar tigapuluh macam neurotransmitter, diantaranya adalah
Norephinephrin, Acetylcholin, Dopamin, Serotonin, Asam Gama-
Aminobutirat (GABA) dan Glisin.
Tempat –tempat dimana neuron mengadakan kontak
dengan dengan neuron lain atau dengan organ –organ efektor
disebut sinaps. Sinaps merupakan satu –satunya tempat dimana
suatu impuls dapat lewat dari suatu neuron ke neuron lainnya atau
efektor. Ruang antara satu neuron dan neuron berikutnya ( atau
organ efektor ) dikenal dengan nama celah sinaptik (synaptic cleft).
Neuron yang menghantarkan impuls saraf menuju ke sinaps
disebut neuron prasinaptik. Neuron yang membawa impuls dari
sinaps disebut neuron postsinaptik.
2.2. Sistem Saraf Pusat pada Sapi
Sistem saraf dapat dibagi menjadi sistem saraf pusat (SSP) dan
sistem saraf tepi (SST). Sistem saraf pusat terdiri dari Otak dan medulla
Spinalis. Otak dibagi menjadi empat bagian utama: (1) batang otak, terdiri
dari medula, pons, dan otak tengah; (2) otak kecil; (3) diencephalon,
dengan thalamus dan hipotalamus; dan (4) hemisfer serebral, terdiri dari
korteks serebral, ganglia basal, materi putih, hippocampi, dan amigdala.
a. Batang otak
Medula adalah kelanjutan rostral sumsum tulang belakang dan
berisi pusat otonom yang mengontrol fungsi dan sistem vital yang
terlibat dalam pernapasan dan mempertahankan tekanan darah yang
tepat. Bagian ini juga mengatur refleks diafragma dan faring. Pons
terletak di antara medula dan otak tengah, berkontribusi pada
pemeliharaan postur dan keseimbangan, dan pernapasan. Pons
membawa informasi dari otak besar ke otak kecil melalui saluran
corticopontocerebellar. Otak tengah adalah bagian paling rostral dari
batang otak dan terlibat dalam gerakan mata serta jalur relai visual dan
pendengaran melalui nukleus geniculate lateral dan nukleat geniculate
medial (Tziridis K,et al. 2012).
b. Otak kecil
Terletak di fossa posterior dan berperan dalam mengoordinasikan
gerakan kepala dan mata, perencanaan dan pelaksanaan gerakan, serta
pemeliharaan postur. Di samping peran utamanya dalam fungsi
motorik, otak kecil telah terbukti menjadi komponen penting dari
banyak proses motorik kognitif dan sensorik, termasuk jalur
pendengaran yang terlibat dalam fungsi seperti pengenalan suara
(McLachlan NM,et al. 2017).
c. Talamus dan hipotalamus
Terletak di antara belahan otak dan batang otak. Talamus adalah
area pemrosesan utama untuk informasi sensorik yang menuju ke
korteks serebral dan informasi motor yang bergerak dalam arah yang
berlawanan menuju batang otak dan sumsum tulang belakang.
Hipotalamus mengendalikan sekresi kelenjar hipofisis dengan
mensekresi hormon ke dalam portal hipofisial darah yang merangsang
atau menghambat pelepasan hormon hipofisis anterior. Sekresi
hipofisis posterior, yang meliputi hormon antidiuretik dan oksitosin,
juga dikendalikan oleh hipotalamus. Hipokampus merupakan bagian
dari sistem limbik dan berkaitan dengan memori. Amigdala
memproses informasi emosional menjadi efek pada sistem otonom
melalui hipotalamus dan sekresi hormon. Korteks serebral sebagian
besar terlibat dalam persepsi dan fungsi motorik yang lebih tinggi
melalui pemrosesan informasi sensorik dan integrasi fungsi motorik.
Korteks berisi daerah motorik primer, sekunder, dan tersier. Fungsi
kortikal berpusat pada kemampuannya untuk mengintegrasikan
beragam sinyal dan memberikan arah dalam respons. Sumsum tulang
belakang adalah perpanjangan dari SSP. Sumsum tulang belakang
tersegmentasi, seperti halnya tulang belakang, dan memproyeksikan 31
pasang saraf tulang belakang (dengan komponen aferen dan eferen).
Ada delapan pasang saraf tulang belakang leher, 12 pasang saraf
toraks, lima pasang saraf lumbar, lima pasang saraf sakral, dan satu
pasang saraf tulang ekor.
Saraf aferen terdiri dari saraf sensorik dan membawa informasi
dari kulit, sendi, otot, dan organ visceral. Sedangkan saraf eferen
terdiri dari saraf motorik, baik somatik dan otonom, serta otot rangka,
jantung, dan polos, serta jaringan kelenjar dan sel sekretorik. Sumsum
tulang belakang berperan untuk mentransmisikan sinyal antara perifer
dan sisa SSP melalui jalur naik dan turun.
2.3. Perkembangan Sistem Saraf Pusat pada Sapi
Morini (2009) menyatakan bahwa sistem saraf pusat muncul dari
neural plate dan kemudian menjadi neural tube yang menjadi bakal lapisan
ektodermal. Dengan pertumbuhan embrio, selama kehamilan, ada tiga
vesikel encephalic, yang disebut: prosencephalon, mesencephalon dan
rhombencephalon (Sinowatz 2010, Franciolli et al. 2011).
Embrio sapi pada usia 17 hari memiliki neural tube, cranial
neuropore, caudal neuropore dan somites. Setelah 24 hari perkembangan,
diamati di bagian tengkorak neural tube terdapat lima vesikel encephalic,
yaitu: telencephalon, diencephalon, mesencephalon, metencephalon dan
myelencephalon. Selain itu, terdapat bagian ekor dari neural tube dengan
sumsum tulang belakang primitif. Diferensiasi SSP primordial terjadi dari
90 hingga 110 hari.
Diamati juga lima vesikel encephalic, medulla spinalis primordial
dan rongga: ventrikel ketiga, mesencephalic saluran air, ventrikel keempat
dan kanal sentral di sumsum tulang belakang. Pada usia 90 hari, terdapat
beberapa struktur yaitu: (1) hemisphere otak, corpus callosum dan fornix,
dari telencephalon; (2) adhesi interthalamic, thalamus, hypothalamus dan
epythalamus (glandula pinealis), dari diencephalon; (3) peduncles dan
badan quadruplets otak, dari mesencephalon; (4) pons dan otak kecil, dari
metencephalon; (5) medula oblongata, dari myelencephalon; dan (6)
sumsum tulang belakang, dari sumsum tulang belakang primitif. Setelah
110 hari kehamilan, lima vesikel encephalic dan strukturnya benar-
benarberkembang.
Tercatat adanya sumsum tulang belakang dengan intumescence
cervicothoracic dan lumbossacral. Singkatnya, hasilnya menggambarkan
pembentukan neural tube dari neural plate ektoderm, dan vesikel
encephalic yang berasal dari neural dan subdivisi struktural dan rongga
berikutnya, sehingga mewakili embriologi lengkap dari sistem saraf pusat
(Ferreira et al,. 2018).
2.4. Susunan saraf tepi pada sapi (System nervosum
pheriphericum)
Sistem saraf tepi terdiri atas jaringan syaraf yang tersebar
melalui berbagai macam organ tubuh, termasuk indera penglihatan
(Organon visus), penciuman (Organon sensum), dan pendengaran
(Organon auditive). Sistem syaraf tepi ini memungkinkan adanya
hubungan antara lingkungan luar maupun dalam melalui penerima
rangsangan (receptor) menuju ke system syaraf pusat dan
diteruskan ke organ efektor.
Macam-macam saraf kranial diantaranya adalah:
 Saraf penciuman - (bau) membawa impuls dari organ
penciuman hidung ke otak.
 Saraf optik - (penglihatan) membawa impuls dari retina
mata ke otak.
 Saraf pendengaran (akustik) - (pendengaran) membawa
impuls dari koklea telinga bagian dalam ke otak.
 Saraf vagus - mengontrol otot yang menyebabkan menelan.
Ini juga mengontrol otot-otot jantung, saluran udara, paru-
paru, lambung dan usus.
 Saraf tulang belakang menghubungkan sumsum tulang
belakang ke organ, otot, dan kelenjar di tubuh. Pasangan
saraf tulang belakang meninggalkan sumsum tulang
belakang dan muncul di antara setiap pasangan vertebra
yang berdekatan.
 Saraf sciatic adalah saraf tulang belakang terbesar di tubuh.
Ini meninggalkan sumsum tulang belakang karena beberapa
saraf yang bergabung membentuk pita datar jaringan saraf.
Ini melewati paha menuju kaki belakang di mana ia
memberikan cabang ke berbagai otot anggota badan ini.
 Sistem saraf otonom mengontrol fungsi-fungsi tubuh
internal yang tidak di bawah kendali sadar. Misalnya ketika
hewan mangsa dikejar oleh predator, sistem saraf otonom
secara otomatis meningkatkan laju pernapasan dan detak
jantung. Ini melebarkan pembuluh darah yang membawa
darah ke otot, melepaskan glukosa dari hati, dan membuat
penyesuaian lain untuk menyediakan peningkatan aktivitas
yang tiba-tiba. Ketika hewan telah melarikan diri dan aman
sekali lagi, sistem saraf memperlambat semua proses ini
dan melanjutkan semua aktivitas normal tubuh seperti
pencernaan makanan.
Saraf sistem saraf otonom berasal dari sumsum
tulang belakang dan pingsan di antara tulang belakang
untuk melayani berbagai organ. Ada dua bagian utama
sistem saraf otonom — sistem simpatik dan sistem
parasimpatis.
o Sistem simpatik merangsang respons "lari,
ketakutan, berkelahi" yang memungkinkan
seekor hewan menghadapi penyerang atau
melakukan keberangkatan yang cepat. Ini
meningkatkan tingkat jantung dan
pernapasan, serta jumlah darah yang
mengalir ke otot rangka sementara darah
mengalir ke daerah yang kurang kritis
seperti usus dan kulit berkurang. Ini juga
menyebabkan pupil mata membesar.
Perhatikan bahwa efek sistem simpatetik
mirip dengan efek hormon adrenalin.
o Sistem parasimpatis melakukan yang
berlawanan dengan sistem simpatis. Ini
mempertahankan fungsi normal tubuh yang
rileks. Ini kadang-kadang dikenal sebagai
fungsi "tata graha". Ini mempromosikan
pencernaan yang efektif, merangsang
defekasi dan buang air kecil dan
mempertahankan detak jantung dan laju
pernapasan teratur.
2.5. Transmisi Impuls pada sistem saraf
Transmisi impuls ke seluruh sistem saraf dilakukan melalui neuron
yang menggunakan koneksi sinaptik. Akibatnya, ada komponen listrik dan
kimia yang terlibat dalam transmisi sinyal. Berbagai neurotransmiter
digunakan dalam berbagai sinapsis, neuroeffektor, dan persimpangan
neuromuskular; contohnya termasuk asetilkolin, norepinefrin, dopamin,
serotonin, glutamat, asam gamma-aminobutyric (GABA), neuropeptida,
hormon, dan bahkan oksida nitrat. Konsentrasi ion juga memainkan peran
penting dalam pembentukan dan konduksi impuls. Keseimbangan ion
yang sehat dipertahankan dengan menggunakan transportasi aktif.
Penggunaan Na + / K + -ATPase yang banyak menyebabkan kebutuhan
saraf akan glukosa. Kalsium diperlukan untuk eksitasi di persimpangan
neuromuskuler dan sinapsis ganglionik dan magnesium menghambat
eksitasi (Ludwig, PE. 2019).
2.6. Penyakit yang berhubungan dengan Sistem Saraf bouvine
Eksportir daging sapi terbesar di dunia adalah Brasil, India,
Australia, dan Amerika Serikat (AS). Sejak 1995, Brasil telah
meningkatkan produksi daging sapi dan globalnya partisipasi pasar.
Antara 1995 dan 2012, daging sapi global ekspor meningkat 47%
sedangkan ekspor Brasil meningkat 568%. Namun, dari 1995 hingga 2002
pengekspor daging sapi menghadapi masa yang sulit. Ensefalopati
spongiformis sapi atau krisis "sapi gila" menyebabkan pengurangan ekspor
di Indonesia periode yang sama (Melz et al. 2014).
Rissi et al. (2010) menemukan bahwa penyakit utama sistem saraf
pusat (SSP) yang didiagnosis pada sapi di Brasil adalah rabies,
ensefalopati hati karena gagal hati oleh konsumsi Senecio spp., bovine
herpesvirus meningoencephalitis, babesiosis otak, keracunan Solanum
fastigiatum, bluetongue dan polioencephalomalacia.
Diantaranya penyakit-penyakit pada bouvine yang berhubungan
dengan susunan saraf :
1. Bovine Viral Diarrhea
Infeksi janin selama perkembangan janin dan organogenesis pada
trimester tengah dapat menyebabkan berbagai jenis kelainan
kongenital. Kombinasi kerusakan seluler langsung oleh virus dan
respon inflamasi yang dihasilkan terhadap antigen virus asing telah
diusulkan sebagai mekanisme patogen untuk anomali kongenital.
Cacat bawaan dari sistem saraf pusat adalah yang paling umum
dapat mencakup cerebellar hypoplasia, microencephaly,
hydrocephalus, hydranencephaly, porencephaly, dan hypomyelination.
Hipoplasia serebelar adalah defek kongenital yang paling sering
dikenal terkait dengan infeksi BVDV. Infeksi kongenital telah
dikorelasikan dengan ataksia, tremor, sikap berdasar lebar, tersandung
tanpa kompensasi atau resolusi, "dummy calves", dan kegagalan atau
ketidakmampuan untuk merawat. Cacat sering cukup parah sehingga
kompensasi tidak terjadi dan betis dapat mati atau membutuhkan
eutanasia.
Secara histologis, jumlah lesi serebelar dideskripsikan berkurang
dari sel-sel lapisan molekul dan sel-sel lapisan granular juga
mengurangi jumlah dan memindahkan sel-sel purkinje. Efek cerebellar
janin telah terlihat setelah infeksi secepatnya 79 hari dan paling lambat
150 hari kehamilan. Tingkat keparahan lesi serebelar tampaknya
meningkat saat usia janin berada diwaktu terinfeksi hingga 150 hari
kehamilan. Sejumlah cacat bawaan lainnya telah dikaitkan dengan
infeksi BVDV dan termasuk retardasi pertumbuhan penyakit hyena,
neuritis optik, degenerasi retina, hipoplasia timus, hipotrichosis /
alopecia, rambut keriting, osteogenesis yang rusak, mikroopthalmia,
katarak, brachygnatisme, dan pertumbuhan. Dari aspek diagnostik,
penting untuk dicatat bahwa umumnya sulit untuk mengisolasi BVDV
atau menunjukkan antigen virus pada anak sapi yang menunjukkan
cacat bawaan seperti yang dijelaskan.
2. Bovine Spongiform Encephalopathy
Kasus patologis awal BSE didasarkan pada perubahan
histopatologis dalam sistem saraf pusat, dan ini telah memberikan
konfirmasi diagnosis BSE secara klinis. Perubahan histopatologis
bersifat neurodegeneratif dan khas dari TSE lain termasuk scarpie
domba. Vakuola dan perubahan spongiformis biasanya mencolok di
neuropil vakuola tunggal atau dalam perikarya neuronal.
Dalam BSE, perubahan spongiformis adalah bentuk vakuolisasi
yang dominan. Vakuolisasi neuropil dan vakuola perikaryonal neuron
terdistribusi secara bilateral dan biasanya simetris dengan konsisten
terhadap otak. Kedua bentuk vakuolasi neuroparenchymal mencapai
intensitas terbesarnya pada nukleus anatomi spesifik dari medula
oblongata pada tingkat obex.
Perubahan histopatologis selain vakuolisasi tidak menonjol pada
otak sapi dengan BSE. Gliosis, terutama astrositosis, yang biasanya
paralel dengan besarnya dan lokalisasi perubahan vakuolar. Defeksi
gliosis ditingkatkan dengan menggunakan pewarnaan khusus dan
mengikuti pelabelan imunohistokimia untuk protein asam glial
fibrillary. Jarang, plak amiloid, fokus perubahan inflamasi, neurofagia
dan nekrosis saraf juga dapat terlihat. 'In Situ' dan pelabelan otak yang
terkena BSE telah dicoba untuk menunjukkan perubahan apoptosis,
tetapi tidak disarankan apoptosis neuron secara luas.
Pemeriksaan imunohistokimia dan ultrastruktural dari tempat-
tempat di mana kehilangan neuron terjadi pada BSE telah gagal
mengungkapkan adanya perubahan yang terjadi bersamaan, seperti
hilangnya sinaps atau degenerasi terminal akson, yang biasanya
ditemukan pada otak tikus yang terkena scrapie. Apa yang disebut
badan tubulovesikular telah dideskripsikan di sebagian besar TSE dan
meskipun ada juga pada sapi yang terkena BSE dan domba yang
terkena scrapie, sangat jarang.
3. Polioencephalomalacia (PEM)
Polioencephalomalacia (PEM) adalah istilah diagnostik yang
menggambarkan nekrosis gray matter otak. Lesi ini menjadi identik
dengan penyakit neurologis disebut polio, yang dapat menjangkit sapi,
domba, kambing, rusa, dan unta. Nekrosis serebrokortikal dan nekrosis
laminar kortikal identik dengan PEM. Kelebihan sulfur dalam
makanan telah diketahui menyebabkan PEM selama lebih dari 30
tahun.
Sulfur yang terkandung dalam asupan pakan dalam jumlah berlebih
mengarah pada pembentukan kelebihan hidrogen sulfida (), memasuki
aliran darah dan menyebabkan kerusakan langsung ke otak. Bakteri
yang terdapat pada rumen memetabolisme unsur, sulfur anorganik, dan
organik. Oleh karena itu, kandungan total sulfur dalam pakan dan air
harus ditentukan untuk dapat menentukan asupan sulfur total.
Pengobatan pada PEM adalah symptomatic, yaitu hanya mengobati
gejalanya saja dengan rawat jalan dan asupan makanan yang baik.
Terapi termasuk tiamin yang diberikan dengan dosis 10 mg / kg hingga
20 mg / kg secara intravena (IV) atau secara intramuskuler 2 hingga 3
kali pada hari pertama diikuti oleh yang sama dosis dua kali sehari
selama 2 hingga 3 hari lagi. Deksametason, pada 1 mg / kg hingga 2
mg / kg, membantu mengurangi edema serebral. Mannitol, furosemide,
dimethyl sulfoxide, sedative, dan tranquilizer dapat digunakan untuk
mengendalikan kejang, jika ada.
4. Bovine Bonkers
Histeria sapi dan sindrom pakan teramoniasi adalah nama lain
untuk penyakit neurologis ini, dengan tanda-tanda klinis gelisah dan
hipereksitabilitas diikuti oleh mania yang terjadi pada sapi dan domba.
Ketika hewan terkejut, mereka mungkin menyereruduk benda dan
pagar, sdengan membabi buta. Gelisah, telinga berkedut, gemetar,
rahang menggeretak, air liur, sering buang air kecil dan buang air
besar, dan kejang-kejang bisa terjadi. Umumnya, binatang tampak
normal bila dibiarkan selama 15 hingga 20 menit. Stimulus berulang
menginisiasi siklus lagi.
Toksin yang terlibat adalah 4-methylimidazole, yang ditemukan
dalam hijauan amoniak, produk molase, dan protein blocks. Toksin
dikeluarkan melalui susu, menyebabkan penyakit pada sapi dan domba
menyusui. Pengangkatan dari akarnya umumnya membantu proses
pemulihan yang cepat. Kematian dapat terjadi karena trauma.
5. Urea Toxicosis
Toksikosis urea dapat terjadi pada sapi, domba, dan kambing yang
diberi suplemen protein mengandung produk nonprotein nitrogen
(NPN). Urea adalah sumber NPN utama ditambahkan ke pakan
ruminansia. Ureases dalam rumen mengubah NPN menjadi amonia
(NH3), yang digunakan oleh bakteri rumen untuk mensintesis asam
amino dan protein yang dapat dimanfaatkan. Proses ini membutuhkan
energi yang membutuhkan karbohidrat yang tersedia. Dibutuhkan 5
hingga 7 hari untuk mikroflora rumen untuk menyesuaikan diri dengan
penggunaan NPN yang efisien tetapi penyesuaian ini hilang hanya
dalam 1 hari. Toksikosis urea terjadi ketika ternak yang tidak
beradaptasi mendapat pakan yang mengandung NPN.
Ketika pH rumen netral ke asam, NH3 yang tidak digunakan
dikonversi menjadi amonium, yang tetap berada di rumen. Toksikosis
terjadi ketika produksi NH3 melampaui kemampuan bakteri rumen
untuk mengubahnya menjadi protein yang dapat dimanfaatkan. Hal ini
meningkatkan jumlah NH3 dan meningkatkan pH rumen menjadi lebih
besar atau sama dengan 8, memungkinkan kelebihan NH3
terakumulasi dalam rumen. NH3 diserap ke dalam darah dan
mengganggu siklus asam tricarboxylic (TCA).
Tanda-tanda klinis terjadi hanya dalam 20 menit pada sapi dan 30
menit pada domba. Tremor, kelemahan otot, dispnea, urinasi
meningkat, dan kejang terjadi. Bahkan dapat menyebabkan kematian.
Perawatan toksikosis urea meliputi pemberian air dingin (20-40 L)
untuk memperlambat metabolisme mikroba rumen dan asam asetat 5%
(0,5–2 L domba; 4–8 L ternak), untuk menurunkan pH rumen.
Untuk pencegahan, ruminansia harus secara perlahan-lahan
disesuaikan dengan NPN dan diberi umpan yang memasok energi yang
cukup untuk menggunakan NPN. Urea tidak boleh lebih dari sepertiga
dari total nitrogen dalam ransum. Jumlah urea harus kurang dari 3%
dari bagian konsentrat ransum dan tidak melebihi 1% dari total
ransum. Kedelai mentah mengandung urease dan seharusnya tidak
diberikan untuk pakan hewan yang mengonsumsi NPN (Niles, 2017).
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari makalah ini dapat diketahui bahwa sistem saraf adalah
suatu jalinan jaringan saraf yang kompleks, sangat khusus dan
saling berhubungan satu dengan yang lain. Sistem saraf dapat
dibagi menjadi sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf tepi
(SST). Sistem saraf pusat terdiri dari Otak dan medulla
Spinalis.Sistem saraf tepi terdiri atas jaringan syaraf yang tersebar
melalui berbagai macam organ tubuh, termasuk indera penglihatan
(Organon visus), penciuman (Organon sensum), dan pendengaran
(Organon auditive). Sistem syaraf tepi ini memungkinkan adanya
hubungan antara lingkungan luar maupun dalam melalui penerima
rangsangan (receptor) menuju ke system syaraf pusat dan
diteruskan ke organ efektor.

3.2. Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan maka dari itu masukkan dan saran sangat kami
harapkan untuk makalah yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
 Goyal, S. M.;Ridpath, J. F.(2008). Bovine Viral Diarrhea Virus:
Diagnosis, Menagement, and Control.USA:Blackwell Publishing.
 Ferreira, A. O., Vasconcelos, B. G., Favaron, P. O., Santos, A.C., Leandro,
R. M., Pereira, F. T. V., ... Miglino, M. A. 2018. Bovine Central Nervous
System Development. Pesq. Vet. Bras. 38(1):147-153, janeiro 2018.
 Gross Anatomy, Binarupa Aksara, Jakarta, 1993, p. 7-8.
 Guyton, Arthur C, Fisiologi Kedokteran, 148 – 168, Edisi ke 5, EGC,
Jakarta, 1987.
 Harris, D.A.(2004). Mad Cow Disease and Related Spongiform
 Luciano, Dorothy S, ; Vander, Arthur J.; Sherman, James H.; Human
Function and Structure, 113 – 122, Mc Graw Hill International Book Co,
1988.
 Ludwig PE, Varacallo M. Neuroanatomy, Central Nervous System (CNS)
[Updated 2019 Feb 4]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island.
 Marieb, Elaine N, PhD, Essentials of Human Anatomy & Fisiologi, Chap.
5 : 88 – 92, Chap.6 : 117 – 125, Second edition, Benjamin / Cumming
Publishing Co, California, 1988.
 McLachlan NM, Wilson SJ. The Contribution of Brainstem and Cerebellar
Pathways to Auditory Recognition. Front Psychol. 2017;8:265.
 Melz L.J., Marion-Filho P.J., Bender-Filho R. & Gastardelo T.A.R. 2014.
Determinantes da Demanda Internacional de Carne Bovina Brasileira:
evidências de quebras estruturais. Revta Economia Sociologia Rural
52(4):743-760.
 Morini A.C. 2009. Desenvolvimento embrionário em búfalo (Bubalus
bubalis Linnaeus, 1758). Dissertação de Mestrado em Anatomia dos
Animais, Faculdade de Medicina Veterinária e Zootecnia, Universidade de
São Paulo, São Paulo.
 Niles, Gene A. 2017. Toxicoses of the Ruminant Nervous System. Vet
Clin Food Anim 33 (2017) 111– 138.
 Price, A. Silvia; Wilson, M. Lorraine, Patofisiologi, Konsep Klinis Proses
– proses Penyakit, 901 – 929, 1021 – 1022, EGC, Jakarta, 1995. 5. Chung,
KW, Encephalopathies.Germany:Springer.
 Rissi D.R., Pierezan F., Oliveira-Filho J.C., Lucena R.B., Carmo P.M.S. &
Barros C.S.L. 2010. Abordagem diagnóstica das principais doenças do
sistema nervoso de ruminantes e equinos no Brasil. Pesq. Vet. Bras.
30:958- 967.
 Sinowatz F. 2010. Development of the central and peripheral nervous
system. In: Hyttel P., Sinowatz F. & Vejlsted M. (Eds), Essential of
Domestic Animal Embriology. Elsevier, China
 Tziridis K, Dicke PW, Thier P. Pontine reference frames for the sensory
guidance of movement. Cereb. Cortex. 2012 Feb;22(2):345-62. .

Anda mungkin juga menyukai