Anda di halaman 1dari 94

LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN APENDISITIS

Disusun oleh : kelompok 1

1. ELFERA HERNIANSYAH
2. HANANTA ULINUHA AN NIZAR
3. ILHAM AZHAR WANARDI
4. INTAN LIYANA
5. TITI WARTIAH
6. TRI HANDAYANI PUJILESTARI

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN DAN NERS (PROGRAM TRANSFER)


FAKULTAS ILMU KESEHATAN-UNIVERSITAS BHAMADA SLAWI

TAHUN 2023
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN APENDISITIS

A. PENGERTIAN
Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis karena
struktur yang terpuntir. Apendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri
untuk berkumpul dan multiplikasi (Chang, Khammash, Qasaimeh,
Shammari, Bani, dan Hammori, 2010). Apendiks disebut juga apendiks
vermiformis merupakan organ yang sempit dan berbentuk tabung yang
mempunyai otot serta terdapat jaringan limfoid pada dindingnya.
Letak apendiks sekitar satu inci (2,5 cm) di bawah junctura ileocaecalis
dan melekat pada permukaan posteromedial caecum. Apendiks terletak di
fossa iliaca dextra dan dalam hubungannya dengan dinding
anterior abdomen, pangkalnya terletak sepertiga ke atas di garis yang
menghubungkan spina iliaka anterior superior dan umbilikus. Apendiks
berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum.
Karena pengosongannya tidak efektif, dan lumennya kecil, apendiks
cenderung menjadi tersumbat dan terutama rentan terhadap infeksi yang
biasa disebut apendisitis (Snell, 2014). Apendisitis merupakan
proses peradangan akut maupun kronis yang terjadi pada apendiks
vemiformis oleh karena adanya sumbatan yang terjadi pada lumen
apendiks (Fransisca, Gotra, dan Mahastuti, 2019). Jadi, apendisitis
merupakan proses inflamasi akibat sumbatan ataupun infeksi yang terjadi
di apendiks vermiformis.

B. PENYEBAB/FAKTOR PREDISPOSISI
Apendiks merupakan organ yang belum diketahui fungsinya tetapi
menghasilkan lender 1-2 mL per hari yang normalnya dicurahkan ke dalam
lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan lender dimuara apendiks
tampaknya berperan dalam pathogenesis apendiks. (Nurarif, Amin dan Hardhi
Kusuma,2015).
Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik, tetapi ada faktor
predisposisi yaitu :
a. Faktor tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini terjadi
karena :
1).Hyperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak
2).Adanya fekolit dalam lumen appendiks
3).Adanya benda asing seperti biji –bijian
4).Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya
b. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E.Coli dan Streptococcus
c. Laki - laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30 tahun.
Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limfoid pada masa tersebut.
d. Tergantung pada bentuk appendiks :
1) Appendiks yang terlalu panjang
2) Massa apendiktomi yang pendek
3) Penonjolan jaringan limfoid dalam lumen appendiks
4) Kelainan katup di pangkal appendiks
(Nuzulul, 2009)

C. GEJALA KLINIS
Apendisitis sering tampil dengan gejala khas yang didasari
oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat,
disertai maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik
apendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri
viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering
disertai mual dan kadang ada muntah dan umumnya nafsu makan
menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke
titik Mc. Burney dan nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas
letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat (Sjamsuhidayat &
de Jong, 2012). Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai oleh
demam ringan, mual, dan hilangnya nafsu makan. Selain itu, nyeri tekan
lepas juga sering dijumpai pada klien dengan apendisitis. Nyeri dapat
dirasakan saat defekasi atau pun saat berkemih. Nyeri saat defekasi
menunjukkan bahwa ujung apendik berada di dekat rektum, sedangkan
nyeri saat berkemih menunjukkan bahwa letak ujung apendik dekat dengan
kandung kemih atau ureter (Smeltzer & Bare, 2012). Apendiks yang
terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan gejala
dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltis
meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-
ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih dapat terjadi
peningkatan frekuensi kencing karena rangsangan dindingnya
(Sjamsuhidayat & de Jong, 2012).
a. Nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilicus atau
periumbilikus.
b. Mual
c. Muntah
d. Anoreksia
e. Nafsu makan menurun.
f. Nyeri di perut kanan bawah
g. Demam diatas 37,5°C
h. Biasanya terdapat konstipasi atau diare
(Nurarif, Amin dan Hardhi Kusuma,2015).
D. PATOFISIOLOGI
Apendisitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas
dalam 24-36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan
pembentukkan abscess setelah 2-3 hari Appendicitis dapat terjadi karena
berbagai macam penyebab, antara lain obstruksi oleh fecalith, gallstone, tumor,
atau bahkan oleh cacing (Oxyurus vermicularis), akan tetapi paling sering
disebabkan obstruksi oleh fecalith dan kemudian diikuti oleh proses peradangan.
Hasil observasi epidemiologi juga menyebutkan bahwa obstruksi fecalith adalah
penyebab terbesar, yaitu sekitar 20% pada ank dengan appendicitis akut dan 30-
40% pada anak dengan perforasi appendiks. Hiperplasia folikel limfoid
appendiks juga dapat menyababkan obstruksi lumen. Insidensi terjadinya
appendicitis berhubungan dengan jumlah jaringan limfoid yang hyperplasia.
Penyebab dari reaksi jaringan limfatik baik lokal atau general misalnya akibat
infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti
Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris.
Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enteric atau sistemik,
seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Pasien dengan cyctic fibrosis
memiliki peningkatan insidensi appendicitis akibat perubahan pada kelenjar yang
mensekresi mucus. Carcinoid tumor juga dapat mengakibatkan obstruksi
appendiks, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari
200 tahun, benda asaning seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan
dalam terjadinya appendicitis. Trauma, stress psikologis, dan herediter juga
mempengaruhi terjadinya appendicitis. Awalnya, pasien akan merasa gejala
gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan
BAB yang minimal, dan kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada
diagnosis appendicitis, khususnya pada anak-anak. Distensi appendiks
menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral dan dipersepsikan sebagai
nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri dalam, tumpul,
berlokasi di dermatom Th 10. Adanya distensi yang semakin bertambah
menyebabkan mual dan muntah, dalam beberapa jam setelah nyeri. Jika mual
muntah timbul lebih dulu sebelum nyeri, dapat dipikirkan diagnosis lain.
Appendiks yang obstruksi merupakan tempat yang baik bagi bakteri untuk
berkembang biak. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi
gangguan aliran limf, terjadi oedem yang lebih hebat. Akhirnya peningkatan
tekanan menyebabkan obstruksi vena, yang mengarah pada iskemik jaringan,
infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke dinding appendiks;
diikuti demam, takikardi, dan leukositosis akibat kensekuensi pelepasan
mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik. Saat eksudat inflamasi dari
dinding appendiks berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf
somatic akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi appendiks,
khususnya di titik Mc Burney’s. Nyeri jarang timbul hanya pada kuadran kanan
bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada appendiks retrocaecal
atau pelvic, nyeri somatic biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak
mengenai peritoneum parietale sampai saat terjadinya rupture dan penyebaran
infeksi. Nyeri pada appendiks retrocaecal dapat muncul di punggung atau
pinggang. Appendiks pelvic yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah
testis dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau
keduanya. Inflamasi ureter atau vesica urinaria pada appendicitis dapat
menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi retensi urine.
Perforasi appendiks akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis
umum. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan
kemampuan pasien berespon terhadap adanya perforasi. Tanda perforasi
appendiks mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000,
dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala
sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa
perforasi. Secara umum, semakin lama gejala berhubungan dengan peningkatan
risiko perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi karena tidak
adanya jaringan lemak omentum. Anak yang lebih tua atau remaja lebih
memungkinkan untuk terjadinya abscess yang dapat diketahui dari adanya massa
pada pemeriksaan fisik. Konstipasi jarang dijumpai tetapi tenesmus sering
dijumpai. Diare sering didapatkan pada anak-anak, dalam jangka waktu sebentar,
akibat iritasi ileum terminal atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan
adanya abscess pelvis.

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks


oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, struktur karena fibrosis
akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut
menyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin
lama mucus tersebut semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan
intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe
yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat
inilah terjadi apendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila
sekresi mucus yang terus berlanjut dan tekanan akan terus meningkat, hal ini
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan
menembus dinding apendiks.

Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat


sehingga menimbulkan nyeri abdomen didaerah kanan bawah, keadaan ini
disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu
akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangrene, stadium ini
disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah
akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses ini berjalan lambat,
omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah apendik sehingga
timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate apendikularis. Pada anak-anak,
kerena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, maka dinding
apendiks lebih tipis, keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang
masih kurang sehingga memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada
orangtua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pada pembuluh
darah (Wijaya & Putri, 2013).
E. PATHWAY

Invasi&multiplikasi Hipertermi Febris

Appendicitis Peradangan pada Kerusakan kontrol


jaringan suhu terhadap
inflamasi

Operasi Secresi mucus berlebih


pada lumen apendik

Luka incisi Ansietas Apendic teregang

Kerusakan jaringan Pintu masuk kanan

Pelepasan
Ujung sarafprostlagandin
terputus Resiko infeksiintegritas
Kerusakan
jaringan

Stimulasi dihantarkan Spasme dinding Tekanan intraluminal lebih


dari tekanan vena
Spinal cord
Nyeri Akut Hipoxia jaringan apendic

Cortex cerebri Nyeri di persepsikan Ulcerasi

Anestesi Resiko perfusi


Reflek gastrointestinal
batuk Perforasi
tidak efektif
peristaltic usus Depresi sistem respirasi Akumulasi sekret

Distensi abdomen Anorexia Bersihan Jalan


Napas Tidak

Sumber: NANDADefisit Nutrisi2012. Aplikasi


NIC-NOC.
Hipovolemia Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Gangguan rasa nyaman Mual&muntah
Medis Jilid 1. Jakarta: EGC)
F. KLASIFIKASI
a. Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut
pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh
proses infeksi dari apendiks. Penyebab obstruksi dapat berupa :
1) Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
2) Fekalit
3) Benda asing
4) Tumor.
Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang
diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin
meningkatkan tekanan intra luminer sehingga menyebabkan tekanan
intra mukosa juga semakin tinggi. Tekanan yang tinggi akan
menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks sehingga terjadi
peradangan supuratif yang menghasilkan pus / nanah pada dinding
apendiks. Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh
penyebaran infeksi dari organ lain yang kemudian menyebar secara
hematogen ke apendiks.
b. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema
menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan
menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema
pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke
dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa
menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan
mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat
eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal
seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan
nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi
pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
c. Apendisitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri
berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apendiktomi
dan hasil patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila
serangn apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun,
apendisitis tidak perna kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fribosis
dan jaringan parut. Resiko untuk terjadinya serangn lagi sekitar 50
persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya dilakukan apendektomi
yang diperiksa secara patologik. Pada apendiktitis rekurensi biasanya
dilakukan apendektomi karena sering penderita datang dalam serangan
akut.
d. Apendisitis kronis
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua
syarat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang
kronik apendiks secara makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan
menghilang satelah apendektomi.
Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis menyeluruh
dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya
jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi
kronik. Insidens apendisitis kronik antara 1-5 persen.
e. Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin
akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa
jaringan fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa
infeksi. Walaupun jarang,mukokel dapat disebabkan oleh suatu
kistadenoma yang dicurigai bisa menjadi ganas.
Penderita sering datang dengan eluhan ringan berupa rasa tidak enak di
perut kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka
kanan. Suatu saat bila terjadi infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut.
Pengobatannya adalah apendiktomi.
f. Tumor Apendiks (Adenokarsinoma apendiks)
Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu
apendektomi atas indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke
limfonodi regional, dianjurkan hemikolektomi kanan yang akan
memberi harapan hidup yang jauh lebih baik dibandingkan hanya
apendiktomi.
g. Karsinoid apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang
didiagnosa prabedah, tetapi ditemukan secara kebetulan pada
pemeriksaan patologis atas spesimen apendiks dengan diagnose
prabedah apendisitis akut. Sindrom karsinoid berupa rangsangan
kemerahan (flushing) pada muka, sesak nafas karena spasme bronkus,
dan diare yang hanya ditemukan pada sekitar n6% kasus tumor karsinoid
perut. Sel tumor memproduksi serotonin yang menyebabkan gejala
tersebut.

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/PENUNJANG

Adapun beberapa pemeriksaan diagnostik/penunjang pada pasien


dengan apendisitis menurut Warsinggih (2016), yaitu:
1. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi : akan tampak adanya pembengkakan (swelling) rongga perut
dimana dinding perut tampak mengencang (distensi).
2) Palpasi : di daerah perut kanan bawah bila ditekan akan terasa
nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg sign)
yang mana merupakan kunci dari diagnosis apendisitis akut.
3) Dengan tindakan tungkai kanan dan paha ditekuk kuat/ tungkai di
angkat tinggi - tinggi, maka rasa nyeri di perut semakin parah (psoas
sign).
4) Kecurigaan adanya peradangan usus buntu semakin bertambah bila
pemeriksaan dubur dan atau vagina menimbulkan rasa nyeri juga.
5) Suhu dubur (rectal) yang lebih tinggi dari suhu ketiak (axilla), lebih
menunjang lagi adanya radang usus buntu.
6) Pada apendiks terletak pada retrosekal maka uji Psoas akan positif dan
tanda perangsangan peritoneum tidak begitu jelas, sedangkan bila
apendiks terletak di rongga pelvis maka obturator sign akan positif
dan tanda perangsangan peritoneum akan lebih menonjol.
Nama pemeriksaan Tanda dan gejala
Rovsing’s sign Positif jika dilakukan palpasi dengan
tekanan pada kuadran kiri bawah dan
timbul nyeri pada sisi kanan.
Psoas sign atau Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian
Obraztsova’s sign dilakukan ekstensi dari panggul kanan.
Positif jika timbul nyeri pada kanan bawah.
Obturator sign Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan
dilakukan rotasi internal pada panggul.
Positif jika timbul nyeri pada hipogastrium
atau vagina.
Dunphy’s sign Pertambahan nyeri pada tertis kanan bawah
dengan batuk
Ten Horn sign Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi
lembut pada korda spermatic kanan
Kocher (Kosher)’s sign Nyeri pada awalnya pada daerah
epigastrium atau sekitar pusat, kemudian
berpindah ke kuadran kanan bawah.
Sitkovskiy Nyeri yang semakin bertambah pada perut
(Rosenstein)’s sign kuadran kanan bawah saat pasien
dibaringkan pada sisi kiri
Aure-Rozanova’s sign Bertambahnya nyeri dengan jari pada petit
triangle kanan (akan positif Shchetkin-
Bloomberg’s sign)
Blumberg sign Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi
pada kuadran kanan bawah kemudian
dilepaskan tiba-tiba

2. Laboratorium, terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive


protein (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah
leukosit antara 10.000- 18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas
75%. Sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan
meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat
melalui proses elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan
spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
3. Radiologi, terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan
Computed Tomography Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG
ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada
apendik, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang
menyilang dengan fekalith dan perluasan dari apendiks yang mengalami
inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94%
dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan
CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi yaitu 90- 100% dan 96-97%.
4. Analisa urin, bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan
infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
5. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amylase, pemeriksaan ini
membantu mendiagnosa peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.
6. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (BHCG) bertujuan
untuk memeriksa adanya kemungkinan kehamilan.
7. Pemeriksaan barium enema bertujuan untuk menentukan lokasi
sekum. Pemeriksaan barium enema dan kolonoskopi merupakan
pemeriksaan awal untuk kemungkinan karsinoma colon.
8. Pemeriksaan foto polos abdomen yang biasanya tidak menunjukkan tanda
pasti apendisitis, tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan
apendisitis dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.
H. PENATALAKSANAN MEDIS
Adapun tindakan penanganan pada pasien dengan
apendisitis menurut Mansjoer, dkk. (2009) yaitu:
1. Sebelum operasi dapat dilakukan tindakan, seperti:
a. Observasi, dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, seringkali tanda
dan gejala apendisitis belum jelas. Sehingga perlu dilakukan
observasi pada pasien dengan tindakan berupa tirah baring dan
pasien dipuasakan. Pemberian laksatif tidak disarankan bila
dicurigai adanya apendisitis ataupun peritonitis lainnya.
Pemeriksaan abdomen dan rektal, serta pemeriksaan darah
(leukosit dan hitung jenis) diulang secara periodik. Foto polos
abdomen dan toraks tegak dilakukan untuk mencari kemungkinan
adanya penyakit lain. Pada kebanyakan kasus, diagnose ditegakkan
dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah
timbul keluhan.
b. Antibiotik, diberikan bila terjadi apendisitis gangrenosa atau
apendisitis perforasi. Apendisitis tanpa komplikasi tidak perlu
diberikan antibiotik.
2. Operasi (apendiktomi), bila diagnosis klinis sudah jelas maka
tindakan apendiktomi merpakan tindakan paling tepat dilakukan dan satu-
satunya pihan terbaik. Penundaan apendiktomi disertai pemberian
antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi.
3. Post operasi apendiktomi perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital
untuk memantau ada tidaknya perdarahan, syok, hipertermia, atau
gangguan pernapasan. Posisikan pasien fowler. Observasi selama 12 jam,
apabila tidak ada gangguan, maka pasien dalam kondisi baik.
Selama itu pula pasien dipuasakan. Lalu mulai berikan minum air
15ml/jam selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30ml/jam. Keesokan
harinya terapi diet makanan saring, hingga hari berikutnya makanan
lunak. Satu hari pasca operasi, ajarkan pasien mobilisasi secara bertahap
dan perlahan, misal duduk tegak di tempat tidur selama 2x30 menit.
Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk. Hari ketujuh jahitan
dapat diangkat dan pasien diizinkan pulang bila tanpa komplikasi.
pernapasan. Posisikan pasien fowler. Observasi selama 12 jam, apabila
tidak ada ganggua, maka pasien dalam kondisi baik. Selama itu
pula pasien dipuasakan. Lalu mulai berikan minum air 15ml/jam
selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30ml/jam. Keesokan harinya
terapi diet makanan saring, hingga hari berikutnya makanan lunak. Satu
hari pasca operasi, ajarkan pasien mobilisasi secara bertahap dan
perlahan, misal duduk tegak di tempat tidur selama 2x30 menit. Pada
hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk. Hari ketujuh jahitan dapat
diangkat dan pasien diizinkan pulang bila tanpa komplikasi.
I. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi akibat keterlambatan penanganan
apendisitis. Faktor keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga
medis. Faktor penderita meliputi pengetahuan dan biaya sedangkan tenaga
medis meliputi kesalahan diagnose, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan
terlambat melakukan penanggulangan.
Anak - anak memiliki dinding appendiks yang masih tipis, omentum
lebih pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan terjadinya
perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh darah.
Adapun jenis komplikasi diantaranya :
a. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa
lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula - mula
berupa flegmon dan berkembangan menjadi rongga yang mengandung
pus. Hal ini terjadi bila apendisitis ganggren atau mikroperforasi ditutupi
omentum.
b. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang timbul dalam 12jam pertama
sejak awal sakit, tetapi insiden ini meningkat tajam sesudah 24jam.
Perforasi terjadi 70% pada kasus dengan gambaran klinis yang timbul
lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,5°C, tampak toksin,
nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama
polymorphonuclear(PMN). Perforasi baik berupa perforasi bebas
maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
c. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, yang merupakan komplikasi
berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila
infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan
timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltic berkurang sampai
timbul ileus paralitik, usus merengang, dan hilangnya cairan elektrolit
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria.
Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri
abdomen, demam dan leukositosis.
J. PENGKAJIAN KEPERAWATAN.
1. Pengkajian identitas
a. Identitas pasien berupa nama, tanggal lahir, umur, jenis kelamin,
status agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, nomor rm, diagnosa
medis.
b. Identitas penanggung jawab berupa nama, tanggal lahir, jenis
kelamin, status, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, hubungan
dengan pasien.
c. Catatan medis
2. Riwayat kesehatan.
a. Keluhan utama
pasien biasanya mengeluh nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke
perut kanan bawah. Timbul keluhan nyeri perut kanan bawah
mungkin beberapa jam kemudian setelah nyeri di pusat atau di
epigastrium dirasakan dalam beberapa waktu lalu. Sifat keluhan
nyeri dirasakan terus-menerus, dapat hilang atau timbul nyeri dalam
waktu yang lama.
b. Riwayat kesehatan sekarang
selain mengeluhkan nyeri pada daerah epigastrium, keluhan yang
menyertai biasanya klien mengeluh rasa mual dan muntah, panas.
c. Riwayat kesehatan dahulu.
biasanya berhubungan dengan masalah kesehatan klien sekarang,
bisa juga penyakit ini sudah pernah dialami oleh pasien sebelumnya.
d. Riwayat kesehatan keluarga
biasanya penyakit apendisitis ini bukan merupakan penyakit
keturunan, bisa dalam anggota keluarga ada yang pernah mengalami
sakit yang sama dengan pasien bisa juga tidak ada yang menderita
penyakit yang sama seperti yang dialami pasien sebelumnya.
3. Data Subjektif
a. Sebelum Operasi
1) Nyeri daerah pusar menjalar ke daerah perut kanan bawah
2) Mula, muntah, kembung
3) Tidak nafsu makan, demam
4) Tungkai kanan tidak dapat diluruskan
5) Diare atau konstipasi
b. Sesudah Operasi
1) Nyeri daerah operasi
2) Lemas
3) Haus
4) Mual, kembung
5) Pusing

4. Data Objektif
a. Sebelum Operasi
1) Nyeri tekan di titik Mc. Berney
2) Spasme otot
3) Takhikardi, takipnea
4) Pucat, gelisah
5) Bising usus berkurang atau tidak ada
6) Demam 38 – 38,5°C
b. Sesudah Operasi
1) Terdapat luka operasi di kuadran kanan bawah abdomen
2) Terpasang infuse
3) Terdapat drain/pipa lambung
4) Bising usus berkurang
5) Selaput mukosa mulut kering
5. Pengkajian 14 Komponen
Fungsi Kesehatan
1) Fisiologis
a) Respirasi
Pada pasien apendisitis biasanya mengalami takipnea,
pernapasan dangkal.
b) Sirkulasi
Pada pasien apendisitis biasanya mengalami tanda dan gejala
seperti takikardia dan membran mukosa pucat.
c) Nutrisi dan Cairan
Pada pasien apendisitis biasanya mengalami tanda dan gejala
seperti berat badan menurun minimal 10% di bawah rentang
ideal, kram/nyeri abdomen, nafsu makan menurun, membrane
mukosa pucat, serum albumin turun, merasa lemah, berat badan
turun tiba-tiba.
d) Eliminasi
Pada pasien apendisitis biasanya mengalami konstipasi pada
awitan awal, diare kadang-kadang.
e) Aktivitas dan istirahat
Pada pasien apendisitis biasanya mengalami tanda dan gejala
seperti mengeluh lelah, dispnea saat/setelah aktivitas, merasa
tidak nyaman setelah beraktivitas, merasa lemah dan mengalami
kelemahan, kelelahan dan malaise.
f) Neurosensory
Pada pasien apendisitis biasanya tidak terdapat masalah dalam
sistem neurosensory.
g) Reproduksi dan Seksualitas
Pada pasien apendisitis biasanya tidak mengalami masalah
gangguan reproduksi dan seksualitas.
2) Psikologis
a) Nyeri dan kenyamanan
Pada pasien apendisitis biasanya mengalami tanda dan gejala
seperti mengeluh nyeri daerah pusar menjalar ke daerah perut
kanan bawah atau di titik Mc. Berney, tampak meringis,
bersikap protektif (mis. waspada, posisi menghindari nyeri),
gelisah, nafsu makan berubah, mengeluh tidak nyaman, gelisah,
mengeluh sulit tidur, tidak mampu rileks, mengeluh mual,
mengeluh lelah, tampak merintih/menangis, pola eliminasi
berubah, postur tubuh berubah.
b) Integritas Ego
Adapun tanda dan gejala pada pasien apendisitis biasanya
mengalami merasa bingung, merasa khawatir dengan akibat dari
kondisi yang dihadapi, sulit berkonsentrasi, tampak gelisah,
tampak tegang, sulit tidur dan muka tampak pucat.
c) Pertumbuhan&perkembangan
Pada pasien apendisitis biasanya tidak mengalami gangguan
pertumbuhan&perkembangan.
3) Perilaku
a) Kebersihan diri
Adapun tanda dan gejala pada pasien apendisitis biasanya
mengalami menolak melakukan perawatan diri, tidak mampu
mandi/mengenakan pakaian/makan/ke toilet/berhias secara
mandiri, minat melakukan perawatan diri kurang pasca operasi.
b) Penyuluhan dan Pembelajaran
Adapun tanda dan gejala pada pasien apendisitis biasanya
menanyakan masalah yang dihadapi, mengungkapkan tidak
memahami masalah kesehatan yang diderita.
4) Relasional
a) Interaksi Sosial
Pasien apendisitis biasanya tidak mengalami masalah dalam
interaksi social.
5) Lingkungan
a) Keamanan dan Proteksi
Pasien apendisitis biasanya mengalami suhu tubuh diatas nilai
normal, kulit terasa hangat, kulit ikterik, kerusakan integritas
jaringan dan/atau lapisan kulit, nyeri dan kemerahan serta
dilakukan pemberian prosedur invasive.
6. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan fisik keadaan umum klien tampak sakit
ringan/sedang/berat.
b. Sirkulasi : Takikardia.
c. Respirasi : Takipnoe, pernapasan dangkal.
d. Aktivitas/istirahat : Malaise.
e. Eliminasi : Konstipasi pada awitan awal, diare kadang-kadang.
f. Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau
tidak ada bising usus.
g. Nyeri/kenyamanan, nyeri abdomen sekitar epigastrium dan
umbilicus, yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc.
Burney, meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam.
Nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki
kanan/posisi duduk tegak.
h. Demam lebih dari 38oC.
i. Data psikologis klien nampak gelisah.
j. Ada perubahan denyut nadi dan pernapasan.
k. Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita
merasa nyeri pada daerah prolitotomi.
7. Pemeriksaan Laboratorium
a. Leukosit : 10.000-18.000/mm3
b. Netrofil meningkat 75%
c. WBC yang meningkat sampai 20.000 mungkin indikasi terjadinya
perforasi (jumlah sel darah merah).
8. Data Pemeriksaan Diagnostik
a. Radiologi : foto colon yang memungkinkan adanya fecalit pada
katup
b. Barium enema : apendiks terisi barium hanya sebagian
( Wijaya dan Putri,2013)
G. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Definisi diagnosa menurut SDKI “Diagnosa Keperawatan adalah
penilaian klinis, tentang individu, keluarga atau komunitas terhadap
masalah kesehatan atau proses kehidupan yang actual dan potensial”.
Untuk perumusan masalah keperawatan berpedoman pada buku Aplikasi
Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan SDKI, SLKI dan
SIKI. Dari kebutuhan dasar manusia terganggu dapat diketahui
kemungkinan diagnose keperawatan yang mungkin muncul pada klien
dengan gangguan sistem gastrointestinal pada pasien dengan hepatitis
yaitu:
1. Nyeri akut b.d agens pencedera fisiologis (inflamasi atau peradangan
pada apendiks), agen pencedera fisik (prosedur operasi) d.d pasien
mengeluh nyeri, tampak meringis, bersikap protektif (mis. waspada,
posisi menghindari nyeri), gelisah, frekuensi nadi meningkat, sulit tidur,
tekanan darah meningkat, pola napas berubah, nafsu makan berubah,
proses berpikir terganggu, menarik diri, berfokus pada diri sendiri dan
diaforesis.
2. Defisit nutrisi b.d ketidakmampuan mencerna makanan d.d berat badan
menurun minimal 10% di bawah rentang ideal, cepat kenyang setelah
makan, kram/nyeri abdomen, nafsu makan menurun, bising usus
hiperaktif, otot pengunyah lemah, otot menelan lemah, membrane
mukosa pucat, sariawan, serum albumin turun, rambut rontok berlebihan,
diare.
3. Hipertermi b.d infeksi/proses penyakit pada apendiks d.d peningkatan
suhu tubuh (>37,5oC), kulit kemerahan, teraba panas.
4. Hypovolemia b.d berhubungan dengan kehilangan cairan aktif selama
operasi d.d frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah
menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun, membrane
mukosa kering, volume urine menurun, hematokrit meningkat, merasa
lemah, mengeluh haus, pengisian vena menurun, status mental berubah,
suhu tubuh meningkat, konsentrasi urine meningkat, berat badan turun
tiba-tiba.
5. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan d.d mengeluh lelah, frekuensi jantung
meningkat>20% dari kondisi istirahat, tekanan darah berubah >20% dari
kondisi istirahat, gambaran ekg menunjukan aritmia saat/setelah
aktivitas, gambaran ekg menunjukan iskemia, sianosis.
6. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d spasme jalan napas, benda asing
dalam jalan napas, sekresi yang tertahan d.d batuk tidak efektif, tidak
mampu batuk, sputum berlebih, mengi, wheezing dan/atau ronkhi kering,
dispnea, gelisah, frekuensi nafas berubah dan pola nafas berubah.
7. Gangguan integritas kulit b.d factor mekanis d.d kerusakan jaringan
dan/atau lapisan kulit, nyeri, perdarahan, kemerahan, hematoma.
8. Risiko perfusi gastrointestinal tidak efektif dibuktikan dengan proses
infeksi, penurunan konsentrasi sirkulasi hemoglobin ke gastrointestinal,
disfungsi gastrointestinal.
9. Risiko infeksi dibuktikan dengan pemberian prosedur invasive.
10. Ansietas b.d kurang terpapar informasi d.d merasa bingung, merasa
khawatir dengan akibat dari kondisi yang dihadapi, sulit berkonsentrasi,
tampak gelisah, tampak tegang, sulit tidur dan muka tampak pucat.
11. Gangguan rasa nyaman b.d gejala penyakit, kurang pengendalian
situasional/lingkungan d.d mengeluh tidak nyaman, gelisah, mengeluh
sulit tidur, tidak mampu rileks, mengeluh kedinginan/kepanasan, merasa
gatal, mengeluh mual, mengeluh lelah, menunjukkan gejala distress,
tampak merintih/menangis, pola eliminasi berubah, postur tubuh
berubah, iritabilitas.
12. Risiko perdarahan dibuktikan dengan tindakan pembedahan.
13. Defisit perawatan diri b.d kelemahan d.d menolak melakukan perawatan
diri, tidak mampu mandi/mengenakan pakaian/makan/ke toilet/berhias
secara mandiri, minat melakukan perawatan diri kurang.
14. Defisit pengetahuan b.d kurang terpapar informasi d.d menanyakan
masalah yang dihadapi, menunjukan perilaku tidak sesuai anjuran,
menunjukan persepsi yang keliru terhadap masalah, menjalani
pemeriksaan yang tidak tepat, menunjukan perilaku berlebihan (mis.
apatis, bermusuhan, agitasi, hysteria)
15. Manajemen kesehatan keluarga tidak efektif b.d kompleksitas sistem
pelayanan kesehatan, kompleksitas program perawatan d.d
mengungkapkan tidak memahami masalah kesehatan yang diderita,
mengungkapkan kesulitan menjalankan perawatan yang ditetapkan,
gejala penyakit anggota keluarga semakin memberat, aktivitas keluarga
untuk mengatasi masalah kesehatan tidak tepat, gagal melakukan
tindakan untuk mengurangi faktor risiko.
H. RENCANA KEPERAWATAN
Standar Luaran
Standar Intervensi
No. Diagnosis Keperawatan Keperawatan Indonesia
Keperawatan Indonesia (SIKI)
(SLKI)
1. Nyeri akut b.d agen pencedera Setelah dilakukan tindakan Intervensi Utama:
fisiologis (mis. inflamasi yaitu keperawatan selama .... x .... Manajemen Nyeri
pembengkakan hepar yang mengalami jam diharapkan Tingkat Observasi
inflamasi hati,iskemia, neoplasma), d.d Nyeri menurun dengan □ Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
pasien mengeluh nyeri, tampak kriteria hasil : kualitas , intensitas nyeri
meringis, bersikap protektif (mis. Tingkat nyeri : □ Identifikasi skala nyeri
waspada, posisi menghindari nyeri), □ Keluhan nyeri □ Identifikasi respons nyeri non verbal
gelisah, frekuensi nadi meningkat, sulit menurun (5) □ Identifikasi faktor yang memperberat nyeri dan
tidur, tekanan darah meningkat, pola □ Meringis menurun (5) memperingan nyeri
napas berubah, nafsu makan berubah, □ Sikap protektif □ Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
proses berpikir terganggu, menarik diri, menurun (5) □ Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
berfokus pada diri sendiri dan diaforesis. □ Gelisah menurun (5) □ Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
□ Kesulitan tidur □ Monitor keberhasilan terapi komplementer yan sudah
menurun (5) diberikan
□ Menarik diri menurun □ Monitor efek samping penggunaan analgetik
(5) Terapeutik
□ Berfokus pada diri □ Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi
sendiri menurun (5) rasa nyeri (mis. TENS, hypnosis, akupresur, terapi
□ Diaforesis menurun music, biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, teknik
(5) imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi
□ Perasan takut bermain)
mengalami cedera □ Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
berulang menurun (5) (mis. Suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
□ Ketegangan otot □ Fasilitas istirahat dan tidur
menurun (5) □ Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
□ Frekuensi nadi pemilihan strategi meredakan nyeri
membaik (5) Edukasi
□ Pola napas membaik □ Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
(5) □ Jelaskan strategi meredakan nyeri
□ Tekanan darah □ Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
membaik (5) □ Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
□ Nafsu makan □ Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi
membaik (5) rasa nyeri
□ Pola tidur membaik Kolaborasi
(5) □ Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
Kontrol Nyeri Pemberian Analgesik
□ Melaporkan nyeri Observasi
terkontrol (5) □ Identifikasi karakteristik nyeri (mis. Pencetus,
□ Kemampuan pereda, kualitas, lokasi, intensitas, frekuensi, durasi)
mengenali onset nyeri □ Identifikasi riwayat alergi obat
(5) □ Identifikasi kesesuaian jenis analgesic (mis.
□ Kemampuan Narkotika, non narkotika, atau NSAID) dengan
mengenali penyebab tingkat keparahan nyeri
nyeri (5) □ Monitor tanda tanda vital sebelum dan sesudah
□ Kemampuan pemberian analgesik
menggunakan teknik □ Monitor efektifitas analgesik
non-farmakologis (5) Terapeutik
□ Dukungan orang □ Diskusikan jenis analgesic yang disukai untuk
terdekat (5) mencapai analgesia optimal, jika perlu
□ Keluhan nyeri (5) □ Pertimbangkan penggunaan infus kontinu, atau bolus
□ Penggunaan analgesic opioid untuk mempertahankan kadar dalam serum
(5) □ Tetapkan target efektifitas analgesik untuk
mengoptimalkan respon pasien
□ Dokumentasikan respons terhadap efek analgesik dan
efek yang tidak diinginkan
Edukasi
□ Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
Kolaborasi
□ Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesik,
sesuai indikasi
Intervensi Pendukung:
Edukasi Manajemen Nyeri
Observasi
□ Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
informasi
Terapeutik
□ Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan
□ Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
□ Berikan kesempatan untuk bertanya

Edukasi
□ Jelaskan penyebab, periode, dan strategi meredakan
nyeri
□ Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
□ Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
□ Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi
rasa nyeri
Edukasi Teknik Napas
Observasi
□ Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
Terapeutik
□ Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan
□ Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
□ Berikan kesempatan untuk bertanya
Edukasi
□ Jelaskan tujuan dan manfaat teknik napas
□ Jelaskan prosedur teknik napas
□ Anjurkan memposisikan tubuh senyaman mungkin
(mis. duduk, baring)
□ Anjurkan menutup mata dan berkonsentrasi penuh
□ Ajarkan melakukan inspirasi dengan menghirup udara
melalui hidung secara perlahan
□ Ajarkan melakukan ekspirasi dengan menghembuskan
udara mulut mencucu secara perlaha - Demonstrasikan
menarik napas selama 4 detik, menahan napas selama 2
detik menghembuskan napas selama 8 detik
Pemantauan Nyeri:
Observasi
□ Identifikasi faktor pencetus dan pereda nyeri
□ Monitor kualitas nyeri (mis. terasa tajam, tumpul,
diremas-remas, ditimpa beban berat)
□ Monitor lokasi dan penyebaran nyeri
□ Monitor intensitas nyeri dengan menggunakan skala
□ Monitor durasi dan frekuensi nyeri
Terapeutik
□ Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi
pasien
□ Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
□ Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan informasikan
hasil pemantauan, jika perlu
Pengaturan Posisi:
Observasi
□ Monitor status oksigenasi sebelum dan
sesudah mengubah posisi
□ Monitor alat traksi agar selalu tepat
Terapeutik
□ Tempatkan pada matras/tempat tidur terapeutik yang
tepat
□ Tempatkan pada posisi terapeutik
□ Tempatkan objek yang sering digunakan dalam
jangkauan
□ Tempatkan bel atau lampu panggilan dalam jangkauan
□ Sediakan matras yang kokoh/padat
□ Atur posisi tidur yang disukai, jika tidak kontraindikasi
□ Atur posisi untuk mengurangi sesak (mis, semi-fowler)
□ Atur posisi yang meningkatkan drainage
□ Posisikan pada kesejajaran tubuh yang tepat
□ Imobilisasi dan topang bagian tubuh yang cedera
dengan tepat. .
□ Tinggikan bagian tubuh yang sakit dengan tepat
□ Tinggikan anggota gerak 20° atau lebih di atas level
jantung
□ Tinggikan tempat tidur bagian kepala
□ Berikan bantal yang tepat pada leher
□ Berikan topangan pada area edema (mis, bantal
dibawah lengan dan skrotum)
□ Posisikan untuk mempermudah ventilasi/perfusi (mis,
tengkurap/good lung down)
□ Motivasi melakukan rom aktif atau pasif
□ Motivasi terlibat dalam perubahan posisi, sesuai
kebutuhan
□ Hindari menempatkan pada posisi yang dapat
meningkatkan nyeri
□ Hindari menempatkan stump amputasi pada posisi
fleksi
□ Hindari posisi yang menimbulkan ketegangan pada
luka
□ Minimalkan gesekan dan tarikan saat mengubah posisi
- ubah posisi setiap 2 jam - ubah posisi dengan teknik
log roll
□ Pertahankan posisi dan integritas traksi
□ Jadwalkan secara tertulis untuk perubahan posisi
Edukasi
□ Informasikan saat akan dilakukan perubahan posisi ·
□ Ajarkan cara menggunakan postur yang baik dan
mekanika tubuh yang baik selama
melakukan perubahan posisi
Kolaborasi
□ Kolaborasi pemberian premedikasi sebelum mengubah
posisi, jika perlu
Terapi Relaksasi
Observasi
□ Identifikasi penurunan tingkat energi, ketidakmampuan
berkonsentrasi atau gejala lain yang
mengganggu kemampuan kognitif
□ Identifikasi teknik relaksasi yang pernah efektif
digunakan
□ Identifikasi kesediaan, kemampuan, dan penggunaan
teknik sebelumnya
□ Periksa ketegangan otot, frekuensi nadi, tekanan darah,
dan suhu sebelum dan sesudah latihan
□ Monitor respons terhadap terapi relaksasi
Terapeutik
□ Ciptakan lingkungan tenang dan tanpa gangguan
dengan pencahayaan dan suhu ruangan
nyaman, jika memungkinkan
□ Berikan informasi tertulis tentang persiapan dan
prosedur teknik relaksasi
□ Gunakan pakaian longgar
□ Gunakan nada suara lembut dengan irama lambat dan
berirama
□ Gunakan relaksasi sebagai strategi penunjang dengan
analgetik atau tindakan medis
sesuai
Edukasi
□ Jelaskan tujuan, manfaat, batasan, dan jenis relaksasi
yang tersedia (mis, music, meditasi, napas dalam,
relaksasi otot progresif)
□ Jelaskan secara rinci intervensi relaksasi yang dipilih
□ Anjurkan mengambil posisi nyaman
□ Anjurkan rileks dan merasakan sensasi relaksasi
□ Anjurkan sering mengulangi atau melatih teknik yang
dipilih
□ Demonstrasikan dan latih teknik relaksasi (mis, napas
dalam, peregangan
Atau imajinasi tertimbing)
2 Defisit nutrisi b.d ketidakmampuan Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nutrisi
mencerna makanan d.d berat badan keperawatan selama …..x...... Observasi
menurun minimal 10% di bawah rentang jam, diharapkan Status □ Identifikasi nutrisi
ideal, cepat kenyang setelah makan, nutrisi membaik dengan □ Identifikasi alergi dan intolerasni makanan
kram/nyeri abdomen, nafsu makan kriteria hasil: □ Identifikasi makanan yang disukai
menurun, bising usus hiperaktif, otot Status Nutrisi □ Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
pengunyah lemah, otot menelan lemah, □ Berat badan membaik □ Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastric
membrane mukosa pucat, sariawan, (5) □ Monitor asupan makanan
serum albumin turun, rambut rontok □ Indeks Massa Tubuh □ Monitor berat badan
berlebihan, diare. (IMT) membaik (5)
□ Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
□ Nafsu makan
Terapeutik
membaik (5)
□ Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
□ Bising usus membaik
□ Fasilitasi menentukan pedoman diet
(5)
□ Sajkan makanan secara menarik dan suhu yang
□ Membrane mukosa
sesuai
membaik (5) □ Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah
□ Diare menurun (5) konstipasi
□ Perasaan cepat □ Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
kenyang menurun (5) □ Berikan suplemen makanan, jika perlu
□ Porsi makanan yang □ Hentikan pemberian makan melalui selang
dihabiskan meningkat nasogastric jika asupan oral dapat ditoleransi
(5) Edukasi
□ Kekuatan otot □ Anjurkan posisi duduk, jika mampu
pengunyah meningkat □ Ajarkan diet yang diprogramkan
(5) Kolaborasi
□ Kekuatan otot □ Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis.
menelan meningkat pereda nyeri, antimetik), jika perlu
(5) □ Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis nutrient yang dibutuhkan
Promosi Berat Badan
Observasi
□ Identifikasi kemungkinan penyebab BB kurang
□ Monitor adanya mual dan muntah
□ Monitor jumlah kalori yang dikonsumsi sehari-hari
□ Minitor berat badan
□ Monitor albumin, limfosit, dan elektrolit serum
Terapeutik
□ Berikan perawatan mulut sebelum pemberian makan,
jika perlu
□ Sediakan makanan yang tepat sesuai kondisi pasien
(mis. makanan deng
□ makanan yang diblender, makanan cair yang
diberikan melalui NGT atau gastrostomi
□ perenteral nutrition sesuai indikasi)
□ Hidangkan makanan secara menarik
□ Berikan suplemen, jika perlu
□ Berikan pujian pada pasien/keluarga untuk
peningkatan yang dicapai
Edukasi
□ Jelaskan jenis makanan yang bergizi tinggi, namun
tetap terjangkau
□ Jelaskan peningkatan asupan kalori yang dibutuhkan
Intervensi Pendukung:
Edukasi Diet
Observasi
□ Identifikasi kemampuan pasien dan keluarga menerima
informasi
□ Identifikasi tingkat pengetahuan saat ini
□ Identifikasi kebiasaan pola makan saat ini dan masa
lalu.
□ Identifikasi persepsi pasien dan keluarga tentang diet
yang dipro
□ Identifikasi keterbatasan finansial untuk meyediakan
makanan
Terapeutik
□ Persiapkan materi, media dan alat peraga
□ Jadwalkan waktu yang tepat untuk
memberikan pendidikan ke
□ Berikan kesempatan pasien dan keluarga bertanya
□ Sediakan rencana makan tertulis, jika perlu
Edukasi
□ Jelaskan tujuan kepatuhan diet terhadap kesehatan
□ Informasikan makanan yang diperbolehkan
dan dilarang
□ Informasikan kemungkinan interaksi obat dan
makanan, jika perlu
□ Anjurkan mempertahankan posisi semi Fowler (30-45
derajat) 20-30 menit setelah makan
□ Anjurkan mengganti bahan makanan sesuai dengan
diet yang diprogramkan
□ Anjurkan melakukan olahraga sesuai toleransi
□ Ajarkan cara membaca label dan memilih makanan
yang sesuai
□ Ajarkan cara merencanakan makanan yang
sesuai program
□ Rekomendasikan resep makanan yang sesuai dengan
diet, jika perlu
Kolaborasi
□ Rujuk ke ahli gizi dan sertakan keluarga, jika perlu
Pemantauan Nutrisi
Observasi
□ Identifikasi faktor yang mempengaruhi asupan gizi
(mis. Pengetahuan makanan, agama/kepercayaan,
budaya, mengunyah tidak adekuat, gangguan sediaan
penggunaan obat-obatan atau pascaoperasi)
□ Identifikasi perubahan berat badan
□ Identifikasi kelainan pada kulit (mis. Memar yang
berlebihan, luka yang sulit sembuh dan
pendarahan)
□ Identifikasi kelainan pada rambut (mis. kering, tipis,
kasar, dan mudah patah)
□ Identifikasi pola makan (mis, kesukaan/ketidaksukaan
makanan, konsumsi makan
saji, makan terburu-buru)
□ Identifikasi kelainan pada kuku (mis. Berbentuk
sendok, retak, mudah patah, dan berceris
□ Identifikasi kemampuan menelan (mis. fungsi motorik
wajah, refleks menelan, dan reflek gag
□ Identifikasi kelainan rongga mulut (mis. peradangan,
gusi berdarah, bibir kering dan
luka)
□ Identifikasi kelainan eliminasi (mis. Diare, darah,
lendir, dan eliminasi yang tidak teratur)
□ Monitor mual dan muntah
□ Monitor asupan oral
□ Monitor warna konjungtiva
□ Monitor hasil laboratorium (mis. kadar kolesterol,
albumin serum, transferrin, kreatinin,
□ Hemoglobin, hematokrit, dan elektrolit darah)
Terapeutik
□ Timbang berat badan
□ Ukur antropometrik komposisi tubuh (mis. indeks
massa tubuh, pengukuran pinggang, dan
ukuran lipatan kulit)
□ Hitung perubahan berat badan
□ Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi
pasien
□ Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
□ Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
□ Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
Manajemen Diare
Observasi
□ Identifikasi penyebab diare (mis. inflamasi
gastrointestinal, iritasi gastrointertinal, proses
□ infeksi, malabsorpsi, ansietas, stres, efek obat-obatan,
pemberian botol susu)
□ Identifikasi riwayat pemberian makanan
□ Identifikasi gejala invaginasi (mis. tangisan
keras, kepucatan pada bayi)
□ Monitor warna, volume, frekuensi, dan konsistensi
tinja
□ Monitor tanda dan gejala hypovolemia (mis. takikardia,
nadi teraba lemah, tekanan darah
□ turun, turgor kulit turun, mukosa mulut kering, CRT
melambat, BB menurun)
□ Monitor iritasi dan ulserasi kulit di daerah perianal
□ Monitor jumlah pengeluaran diare
□ Monitor keamanan penyiapan makanan
Terapeutik
□ Berikan asupan cairan oral (mis. larutan garam gula,
oralit, pedialyte, renalyte)
□ Pasang jalur intravena
□ Berikan cairan intravena (mis, ringer asetat, ringer
laktat), jika perlu
□ Ambil sampel darah untuk pemeriksaan darah lengkap
dan elektrolit
□ . Ambil sampel feses untuk kultur, jika perlu
Edukasi
□ Anjurkan makanan porsi kecil dan sering secara
bertahap
□ Anjurkan menghindari makanan pembentuk gas, pedas
dan mengandung laktosa
□ Anjurkan melanjutkan pemberian ASI
Kolaborasi
□ Kolaborasi pemberian obat antimotilitas (mis:
loperamide, difenoksilat)
□ Kolaborasi pemberian obat antispasmodic/spasmolitik
(mis. papaverin, ekstak belladonna
mebeverine)
□ Kolaborasi pemberian obat pengeras feses (mis,
atapulgit, smektit, kaolin-pektin)
Pemantauan Tanda Vital
Observasi
□ Monitor tekanan darah
□ Monitor nadi (frekuensi, kekuatan irama)
□ Monitor pernapasan (frekuensi, kedalaman)
□ Monitor suhu tubuh
□ Monitor oksimetri nadi
□ Monitor tekanan nadi (selisih TDS dan TDD)
□ Identifikasi penyebab perubahan tanda vital
Terapeutik
□ Atur interval pemantauan sesuai kondisi pasien
□ Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
□ Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
□ Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

Pemberian Makanan
Observasi
□ Identifikasi makanan yang diprogramkan
□ Identifikasi kemampuan menelan
□ Periksa mulut untuk residu pada akhir makan
Terapeutik
□ Lakukan kebersihan tangan dan mulut sebelum makan .
□ Sediakan lingkungan yang menyenangkan
selama waktu makan (mis. simpan urinal, pispot,
agar tidak terlihat)
□ Berikan posisi duduk atau semi Fowler saat makan
□ Berikan makanan hangat, jika memungkinkan .
Sediakan sedotan, sesuai kebutuhan
□ Berikan makanan sesuai keinginan, jika
memungkinkan
□ Tawarkan mencium aroma makanan untuk merangsang
nafsu makan
□ Pertahankan perhatian saat menyusui Cuci muka dan
tangan setelah makan
Edukasi
□ Anjurkan orang tua atau keluarga membantu
memberi makan kepada pasien
□ Kolaborasi
□ Kolaborasi pemberian analgesik yang adekuat sebelum
makan, jika perlu
□ Kolaborasi pemberian antiemetil sebelum makan, jika
perlu
3 Hipertermi b.d infeksi/proses penyakit Setelah dilakukan intervensi Manajemen Hipertermia
pada apendiks d.d peningkatan suhu keperawatan selama ....x... Observasi
tubuh (>37,5oC), kulit kemerahan, teraba jam, maka Termoregulasi □ Identifikasi penyebab hipertermia (mis. dehidrasi,
panas. membaik dengan kriteria terapapar lingkungan panas, peggunaan incubator)
. hasil : □ Monitor suhu tubuh
□ Menggigil menurun □ Monitor kadar elektrolit
(5) □ Monitor haluaran urine
□ Kulit kemerahan □ Monitor komplikasi akibat hipertermia
menurun (5) Terapeutik
□ Kejang menurun (5) □ Sediakan lingkungan yang dingin
□ Pucat menurun (5) □ Longgarkan atau lepaskan pakaian
□ Takikardi menurun (5) □ Basahi dan kipasi permukaan tubuh
□ Takipnea menurun (5) □ Berikan cairan oral
□ Bradikardi menurun □ Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika
(5) mengalami hyperhidrosis (keringat berlebih)
□ Suhu tubuh membaik □ Lakukan pendinginan eksternal (mis. selimut
(5) hipotermia atau kompres dingin pada dahi, leher,
□ Suhu kulit membaik dada, abdomen, aksila)
(5) □ Hindari pemberian antipiretik atau aspirin
□ Tekanan darah □ Berikan oksigen, jika perlu
membaik (5) Edukasi
□ Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
□ Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena,
jika perlu
Regulasi Temperatur
Observasi :
□ Monitor suhu tubuh sampai stabil
□ Monitor suhu tubuh anak tiap dua jam, jika perlu
□ Monitor tekanan darah, frekuensi pernafasan dan
nadi
□ Monitor warna dan suhu kulit
□ Monitor dan catat tanda dan gejala hipertermia
Terapeutik :
□ Pasang alat pemantauan suhu kontinu, jika perlu
□ Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi yang adekuat
Kolaborasi :
□ Kolaborasi pemberian antipiretik, jika perlu
Intervensi Pendukung:
Edukasi Dehidrasi
Observasi
□ Identifikasi kemampuan pasien dan keluarga menerima
informasi
Terapeutik
□ Persiapkan materi, media dan alat dan formulir balans
cairan
□ Tentukan waktu yang tepat untuk memberikan
pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
□ dengan pasien dan keluarga
□ Berikan kesempatan pasien dan keluarga bertanya
Edukasi
□ Jelaskan tanda dan gejala dehidrasi
□ Anjurkan tidak hanya minum air saat haus, jika sedang
berolahraga atau beraktivitas berat
□ Anjurkan memperbanyak minum
□ Anjurkan memperbanyak mengkonsumsi buah yang
mengandung banyak air (mis. semangka, papaya)
□ Ajarkan cara pemberian oralit, jika perlu
□ Ajarkan menilai status hidrasi berdasarkan warna urine
Edukasi Pengukuran Suhu Tubuh
Observasi
□ ldentifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
infomasi
Terapeutik
□ Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan
□ Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
□ Berikan kesempatan untuk bertanya
□ Dokumentasikan hasil pengukuran suhu
Edukasi
□ Jelaskan prosedur pengukuran suhu tubuh
□ Anjurkan terus memegang bahu dan menanan dada saat
pengukuran aksila
□ Ajarkan memilih lokasi pengukuran suhu oral atau
aksila
□ Ajarkan cara meletakkan ujung termometer di bawah
lidah atau di bagian tengah aksila
□ Ajarkan cara membaca hasil termometer raksa dan/atau
elektronik
Edukasi Termoregulasi
Observasi
□ Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
informasi
Terapeutik
□ Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan
□ Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
□ Berikan kesempatan untuk bertanya
Edukasi
□ Ajarkan kompres hangat jika demam
□ Ajarkan cara pengukuran suhu ·
□ Anjurkan penggunaan pakaian yang dapat menyerap
keringat ·
□ Anjurkan tetap memandikan pasien, jika
memungkinkan
□ Anjurkan pemberian antipiretik, sesuai indikasi
□ Anjurkan menciptakan lingkungan yang nyaman
□ Anjurkan membanyak minum
□ Anjurkan penggunaan pakaian yang longgar
□ Anjurkan minum analgesik jika merasa pusing, sesuai
indikasi
□ Anjurkan melakukan pemeriksaan darah jika demam
>3 hari
Manajemen Cairan
Observasi
□ Monitor status hidrasi (mis. frekuensi nadi, kekuatan
nadi, akral, pengisian kapiler,
kelembapan mukosa, turgor kulit, tekanan darah)
□ Monitor berat badan harian
□ Monitor berat badan sebelum dan sesudah dialisis
□ Monitor hasil pemeriksaan laboratorium (mis.
hematokrit, Na, K, CI, berat jenis urine,
BUN)
□ Monitor status hemodinamik (mis. MAP, CVP, PAP,
PCWP jika tersedia)
Terapeutik
□ Catat intake-output dan hitung balans cairan 24 jam
□ Berikan asupan cairan, sesuai kebutuhan
□ Berikan cairan intravena, jika perlu
Kolaborasi
□ Kolaborasi pemberian diuretik, jika perlu
Pemberian Obat
Observasi
□ Identifikasi kemungkinan alergi, interaksi, dan
kontraindikasi obat
□ Verifikasi order obat sesuai dengan indikasi
□ Periksa tanggal kedaluwarsa obat
□ Monitor tanda vital dan nilai laboratorium sebelum •
□ Monitor efek terapeutik obat
□ Monitor efek samping, toksisitas, dan interaksi obat
Terapeutik
□ Perhatikan prosedur pemberian obat yang aman dan
akurat
□ Hindari interupsi saat mempersiapkan, memverifikasi,
atau mengelola obat
□ kan prinsip enam benar (pasien, obat, dosis, rute,
waktu, dokumentasi)
□ Perhatikan jadwal pemberian obat jenis hipnotik,
narkotika, dan antibiotik
□ Hindari pemberian obat yang tidak diberi label dengan
benar
□ Buang obat yang tidak terpakai atau kadaluwarsa
□ Fasilitasi minum obat
□ Tandatangani pemberian narkotika, sesuai protokol
□ Dokumentasikan pemberian obat dan respons terhadap
obat
Edukasi
□ Jelaskan jenis obat, alasan pemberian, tindakan yang
diharapkan, dan efek samping sebelum
pemberian
□ Jelaskan faktor yang dapat meningkatkan dan
menurunkan efektifitas obat
4 Hypovolemia b.d berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan Intervensi Utama:
kehilangan cairan aktif selama operasi keperawatan selama Manajemen Hipovolemia
d.d frekuensi nadi meningkat, nadi …...x…... jam diharapkan Observasi:
teraba lemah, tekanan darah menurun, Status cairan membaik □ Periksan tanda dan gejala hipovolemias (mis. Nadi
tekanan nadi menyempit, turgor kulit dengan kriteria hasil: meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah mneurun,
menurun, membrane mukosa kering, Status Cairan: tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun,
volume urine menurun, hematokrit □ Kekuatan nadi (5) membrane mukosa kering, volume urine menurun,
meningkat, merasa lemah, mengeluh □ Turgor kulit (5) hematokrit meningkat, haus, lemah)
haus, pengisian vena menurun, status □ Output urine (5) □ Monitor intake dan output cairan
mental berubah, suhu tubuh meningkat, □ Pengsisian vena (5) Terapeutik
konsentrasi urine meningkat, berat □ Frekuensi nadi (5) □ Hitung kebutuhan cairan
badan turun tiba-tiba. □ Tekanan darah (5) □ Berikan posisi modified Trendelenburg

□ Tekanan nadi (5) □ Berikan asuoan cairan oral


□ Membrane mukosa (5) Edukasi
□ Jugular Venous Pressure □ Anjurnkan memperbanyak asupan cairan oral
(JVP) (5) □ Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak
Integritas Kulit dan Kolaborasi
Jaringan: □ Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (mis.
□ Elastisitas (5) NaCl, RL)
□ Hidrasi (5) □ Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis (mis.
□ Perfusi jaringan (5) Glukosa 2,5%, NaCl 0,4%)
□ Kerusakan jaringan (5) □ Kolaborasi pemberian cairan koloid (mis. Albumin,
□ Kerusakan lapisan kulit Plasmanate)
(5) □ Kolaborasi pemberian produk darah.
Manajemen Syok Hipovolemik
Observasi
□ Monitor status kardiopulmonal (frekuensi dan
tekanan nadi, frekuensi napas, TD, MAP)
□ Monitor status oksigenasi (oksimetri nadi, AGD)
□ Monitor status cairan (masukan dan haluaran,
turgor kulit, CRT)
Terapeutik
□ Pertahankan jalan napas paten
□ Berikan oksigen untuk mempertahankan satirasi
oksigen >94%
□ Perispaan intubasi dan ventilasi mekanis, jika perlu
□ Berikan posisi syok (modified Trendelenberg)
□ Pasang jalur IV
□ Pasang katetr urine untuk menilai produksi urine
□ Pasang selang nasogastric untuk dekompresi
lambung, jika perlu
Kolaborasi
□ Kolaborasi pemberian epinefrin
□ Kolaborasi pemberian dipenhidramin, jika perlu
□ Kolaborasi pemberian bronkodilator, jika perlu
□ Kolaborasi krikotiroidotomi, jika perlu
□ Kolaborasi intubasi endotracheal, jika perlu
□ Kolaborasi pemberian resusitasi cairan, jika perlu
Intervensi Pendukung:
Manajemen Diare
Observasi
□ Identifikasi penyebab diare (mis. inflamasi
gastrointestinal, iritasi gastrointertinal, proses
□ infeksi, malabsorpsi, ansietas, stres, efek obat-
obatan, pemberian botol susu)
□ Identifikasi riwayat pemberian makanan
□ Identifikasi gejala invaginasi (mis. tangisan
keras, kepucatan pada bayi)
□ Monitor warna, volume, frekuensi, dan konsistensi
tinja
□ Monitor tanda dan gejala hypovolemia (mis.
takikardia, nadi teraba lemah, tekanan darah
□ turun, turgor kulit turun, mukosa mulut kering,
CRT melambat, BB menurun)
□ Monitor iritasi dan ulserasi kulit di daerah perianal
□ Monitor jumlah pengeluaran diare
□ Monitor keamanan penyiapan makanan
Terapeutik
□ Berikan asupan cairan oral (mis. larutan garam
gula, oralit, pedialyte, renalyte)
□ Pasang jalur intravena
□ Berikan cairan intravena (mis, ringer asetat, ringer
laktat), jika perlu
□ Ambil sampel darah untuk pemeriksaan darah
lengkap dan elektrolit
□ . Ambil sampel feses untuk kultur, jika perlu
Edukasi
□ Anjurkan makanan porsi kecil dan sering secara
bertahap
□ Anjurkan menghindari makanan pembentuk gas,
pedas dan mengandung laktosa
□ Anjurkan melanjutkan pemberian ASI
Kolaborasi
□ Kolaborasi pemberian obat antimotilitas (mis:
loperamide, difenoksilat)
□ Kolaborasi pemberian obat
antispasmodic/spasmolitik (mis. papaverin, ekstak
belladonna
mebeverine)
□ Kolaborasi pemberian obat pengeras feses (mis,
atapulgit, smektit, kaolin-pektin)
Manajemen Elektrolit
Observasi
□ Identifikasi tanda dan gejala ketidakseimbangan kadar
elektrolit
□ Identifikasi penyebab ketidakseimbangan elektrolit
□ Identifikasi kehilangan elektrolit melalui cairan (mis.
Diare, drainase ileostomi, draina
diaforesis)
□ Monitor kadar elektrolit
□ Monitor efek samping pemberian suplemen elektrolit
Terapeutik
□ Berikan cairan, jika perlu
□ Berikan diet yang tepat (mis, tinggi kalium, rendah
natrium)
□ Anjurkan pasien dan keluarga untuk modifikasi diet,
jika perlu
□ Pasang akses intravena jika perlu
Edukasi
□ Jelaskan jenis, penyebab dan penanganan
ketidakseimbangan elektrolit
Kolaborasi
□ Kolaborasi pemberian suplemen elektrolit (mis. Oral,
NGT, IV), sesuai indikasi
Manajemen Syok
Observasi
□ Monitor status kardiopulmonal (frekuensi dan kekuatan
nadi, frekuensi napas, TD, MAP) .
□ Monitor status oksigenasi (oksimetri nadi, AGD)
□ Monitor status cairan (masukan dan haluaran,
turgor kulit, CRT) • Monitor tingkat kesadaran dan
respon pupil .
□ Periksa seluruh permukaan tubuh terhadap adanya
DOTS (deformity/deformitas, open
□ Wound/luka terbuka, tenderness/nyeri tekan,
swelling/bengkak)
Terapeutik
□ Pertahankan jalan napas paten
□ Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi
oksigen >94%
□ Persiapkan intubasi dan ventilasi mekanis, jika perlu .
□ Berikan posisi syck (modified Trendelenberg)
□ Pasang jalur IV
□ Pasang kateter urine untuk menilai produksi urine
□ Pasang selang nasogastrik untuk dekompresi lambung
Kolaborasi
□ Kolaborasi pemberian infus cairan kristaloid 1 -2 L
pada dewasa
□ Kolaborasi pemberian infus cairan kristalold 20
ml/kg33 pada anak
□ Kolaborasi pemberian transfusi daran, jika perlu

Pemantauan Cairan
Observasi
□ Monitor frekuensi dan kekuatan nadi
□ Monitor frekuensi napas
□ Monitor tekanan darah
□ Monitor berat badan
□ Monitor elastisitas atau turgor kulit
□ Monitor jumlah, warna dan berat jenis urine
□ Monitor kadar albumin dan protein total
□ Monitor hasil pmeriksaan serum (mis. Osmolaritas
serum, hemaokrit, natrium, kalium, BUN)
□ Monitor intake dan output cairan
□ Identifikasi tanda-tanda hipovolemia ( mis.
frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah,
tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit,
turgor kulit menurun, membrane mukosa kering,
volume urin menurun, hematocrit meningkat, haus,
lemah, konsentrasi urine meningkat, berat badan
menurun dalam waktu singkat)
□ Identifikasi tanda-tanda hipervolemia (mis.
Dispnea, edema perifer, edema anasarka, JVP
meningkat, CVP meningkat, reflex hepatojugular
positif, berat badan menurun dalam waktu singkat)

□ Identifikasi faktor risiko ketidakseimbangan cairan


(mis. prosedur pembedahan mayor,
trauma/perdarahan, luka bakar, apheresis, obstruksi
intestinal, peradangan pancreas, penyakit ginjal dan
kelenjar, disfungsi intestinal)
Terapeutik
□ Atur interval waktu pemantauan sesuai kondisi
pasien
□ Dokumentasi hasil pemantauan
Edukasi
□ Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
Pemantauan elektrolit
Observasi
□ Identifikasi kemungkinan penyebab
ketidakseimbangan elektrolit
□ Monitor kadar elektrolit serum
□ Monitor mual.muntah, dan diare
□ Monitor kehilangan cairan, jika perlu
□ Monitor tanda dan gejala hypokalemia ( mis.
Kelemahan otot, interval QT memanjang,
gelembung T datar atau terbalik, depresi segmen
ST, gelombang U, kelelahan, parestesia, penurunan
reflex, anoreksia, kontipasi, motilitas usus
menurun, pusing, depresi pernapasan)
□ Monitor tanda dan gejala hyperkalemia (mis. Peka
rangsang, gelisah, mual, muntah, takikardia,
mengarah ke bradikardia, fibrilasi/ takikardia
ventrikel, gelombang T tinggi, gelombang P datar,
kompleks QRS tumpul, blok jantung mengarah
asistole)
□ Monitor tanda dan gejala hiponatremia (mis.
Disorientasi, otot berkedut, sakit kepala, membrane
mukosa kering, hipotensi postural, kejang, letargi,
penurunan kesadaran)
□ Monitor tanda dan gejala hypernatremia (mis.
Haus, demam, mual, muntah, gelisah, peka
rangsang, membrane mukosa kering, takikardia,
hipotensi, letargi, konfusi, kejang)
□ Monitor tanda dan gejala hipokalsemia (mis. Peka
rangsang, tanda chvostek (spasme otot wajah),
tanda trousseau, kram otot, interval QT
memanjang)
□ Monitor tanda dan gejala hiperkalsemia (mis. Nyeri
pada tulang, haus, anoreksia, letargi, kelemahan
otot, segmen QT memendek, gelombang T lebar,
kompleks QRS lebar, interval PR memanjang)
□ Monitor tanda dan gejala hipomagnesemia ( mis.
Depresi pernapasan, apatis, tanda chvostek, tanda
trosusseau, konfusi dan disritmia)
□ Monitor tanda dan gejala hipemagnesemia ( mis.
Kelemahan otot, hiporefleks, bradikardia, depresi
SSP, letargi, koma, depresi)
Terapeutik
□ Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan
kondisi pasien
□ Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
□ Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
5 Intoleransi aktivitas b.d kelemahan d.d Setelah dilakukan tindakan Label: Terapi aktivitas
mengeluh lelah, frekuensi jantung keperawatan selama Observasi:
meningkat>20% dari kondisi istirahat, ..x..24jam, diharapkan □ Observasi identifikasi deficit tingkat aktivitas
tekanan darah berubah >20% dari toleransi aktivitas □ Indentifikasi aktivitas dalam aktivitas tertentu
kondisi istirahat, gambaran ekg meningkat dengan kriteria □ Identifikasi sumber daya untuk aktivitas yang
menunjukan aritmia saat/setelah hasil: diinginkan
aktivitas, gambaran ekg menunjukan Toleransi aktivitas Terapeutik
iskemia, sianosis. □ Frekuensi nadi □ Fasilitasi memilih aktivitas dan tetapkan tujuan
meningkat aktivitas yang konsisten sesuai kemampuan fisik,
□ Saturasi oksigen psikologis, dan social
meningkat □ Kordinasikan pemilihan aktivitas sesuai usia
□ Kemudahan dalam □ Fasilitasi pasien dan keluarga dalam menyesuaikan
melakukan aktivitas lingkungan untuk mengakomodasi aktivitas yang
sehari-hari meningkat dipilih
□ Keluhan lelah □ Fasilitai aktivitas fisik rutin (mis. Ambulasi,
menurun mobilisasi, dan perawatan diri
□ Dyspnea saat □ Fasilitasi aktivitas motoric untuk merelaksasi otot
melakukan aktivitas □ Libatkan keluarga dalam aktivitas jika perlu
menurun □ Jadwalkan aktivitas dalam rutinitas sehari-hari
□ Dyspnea setelah Edukasi:
aktivitas menurun □ Jelaskan metode aktivitas fisik sehari-hari jika
□ Perasaan lemah perlu
menurun □ Ajarkan cara melakukan aktivitas yang dipilih
□ Warna kulit membaik Kolaborasi:
□ Tekanan darah □ Kolaborasi dengan terapis ukupasi dalam
membaik mrencanakan dan memonitor program aktivitas
□ Frekuensi napas □ Rujuk pada pusat atau program aktivitas komunitas,
membaik jika perlu
Manajemen Energi
Observasi
□ Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang
mengakibatkan kelelahan
□ Monitor kelelahan fisik dan emosional
□ Monitor pola dan jam tidur
□ Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama
melakukan aktivitas
Terapeutik
□ Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus
(mis. cahaya, suara, kunjungan)
□ Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/atau aktif
□ Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
□ Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat
berpindah atau berjalan
Edukasi
□ Anjurkan tirah baring
□ Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
□ Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala
kelelahan tidak berkurang
□ Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
Kolaborasi
□ Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan
asupan makanan.
Intervensi Pendukung:
Dukungan Tidur
Observasi
□ Identifikasi pola aktivitas dan tidur
□ Identifikasi faktor pengganggu tidur (fisik dan/atau
psikologis)
□ Identifikasi makanan dan minuman yang
mengganggu tidur (mis, kopi, teh, alkohol, makan
□ mendekati waktu tidur, minum banyak air sebelum
tidur)
□ Identifikasi obat tidur yang dikonsumsi
Terapeutik
□ Modifikasi lingkungan (mis. pencahayaan,
kebisingan, suhu, matras, dan tempat tidur)
□ Batasi waktu tidur siang, jika perlu
□ Fasilitasi menghilangkan stres sebelum tidur
□ Tetapkan jadwal tidur rutin
□ Lakukan prosedur untuk meningkatkan kenyamanan
(mis. pijat, pengaturan posisi, terapi
□ akupresur)
□ Sesuaikan jadwal pemberian obat dan/atau tindakan
untuk menunjang siklus tidur-terjaga
Edukasi
□ Jelaskan pentingnya tidur cukup selama sakit
□ Anjurkan menepati kebiasaan waktu tidur
□ Anjurkan menghindari makanan/minuman yang
mengganggu tidur
□ Anjurkan penggunaan obat tidur yang
tidak mengandung supresor terhadap tidur
REM
□ Ajarkan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap
gangguan pola tidur (mis. psikologis, gaya hidup,
sering berubah shift bekerja)
□ Ajarkan relaksasi otot autogenik atau cara
nonfarmakologi lainnya
Edukasi Teknik Ambulansi
Observasi
□ Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
informasi
□ Monitor kemajuan pasien dalam ambulasi
Terapeutik
□ Sediakan materi, media dan alat bantu jalan (mis,
tongkat, walker, kruk)
□ Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
□ Beri kesempatan pada keluarga untuk bertanya
Edukasi
□ Jelaskan prosedur dan tujuan ambulasi dengan atau
tanpa alat bantu
□ Anjurkan menggunakan alas kaki yang memudahkan
berjalan dan mencegah cedera
□ Anjurkan menggunakan sabuk pengaman saat transfer
dan ambulasi, jika perlu
□ Ajarkan cara mengidentifikasi sarana dan prasarana
yang mendukung untuk ambulasi di rumah
□ Ajarkan cara mengidentifikasi kemampuan ambulasi
(mis, kekuatan otot, rentang gerak)
□ Ajarkan duduk di tempat tidur, di sisi tempat tidur
(menjuntai), atau di kursi, sesuai toleransi
□ Ajarkan memposisikan diri dengan tepat selama proses
transfer - Ajarkan teknik ambulasi yang aman
□ Ajarkan berdiri dan ambulasi dalam jarak tertentu
□ Demonstrasikan cara ambulasi tanpa alat bantu jalan
□ Demonstrasikan cara ambulasi dengan alat bantu (mis.
walker, kruk, kursi roda, cane
Manajemen Lingkungan
Observasi
□ Identifikasi kebutuhan keselamatan (mis, kondisi fisik,
fungsi kognitif dan riwayat perilaku)
□ Monitor perubahan status keselamatan lingkungan
Terapeutik
□ Hilangkan bahaya keselamatan lingkungan (mis. Fisik,
biologi, dan kimia), jika memungkinkan
□ Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan
bahaya dan risiko
□ Sediakan alat bantu keamanan lingkungan (mis.
Commode chair dan pegangan tangan)
□ Gunakan perangkat pelindung (mis. Pengekangan fisik,
rel samping, pintu terkunci, pagar)
□ Hubungi pihak berwenang sesuai masalah komunitas
(mis. Puskesmas, polisi, damkar)
□ Fasilitasi relokasi ke lingkungan yang aman
□ Lakukan program skrining bahaya lingkungan (mis.
Timbal)
Edukasi
□ Ajarkan individu, keleuarga dan kelompok risiko tinggi
bahaya lingkungan
Pemantauan Tanda Vital
Observasi
□ Monitor tekanan darah
□ Monitor nadi (frekuensi, kekuatan irama)
□ Monitor pernapasan (frekuensi, kedalaman)
□ Monitor suhu tubuh
□ Monitor oksimetri nadi
□ Monitor tekanan nadi (selisih TDS dan TDD)
□ Identifikasi penyebab perubahan tanda vital
Terapeutik
□ Atur interval pemantauan sesuai kondisi pasien
□ Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
□ Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
□ Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
Terapi Aktivitas
Observasi
□ Identifikasi defisit tingkat aktivitas antifikasi
kemampuan berpartisipasi dalam aktivitas tertentu
Identifikasi sumber daya untuk aktivitas yang
diinginkan
□ Identifikasi strategi meningkatkan partisipasi dalam
aktivitas
□ Identifikasi makna aktivitas rutin (mis. bekerja) dan
waktu luang
□ Monitor respons emosional, fisik, sosial, dan spiritual
terhadap aktivitas
Terapeutik
□ Fasilitasi fokus pada kemampuan, bukan defisit yang
dialami
□ Sepakati komitmen untuk meningkatkan frekuensi dan
rentang aktivitas
□ Fasilitasi memilih aktivitas dan tetapkan tujuan
aktivitas yang konsisten sesuai kemampuan
fisik, psikologis, dan sosial
□ Koordinasikan pemilihan aktivitas sesuai usia
□ Fasilitasi makna aktivitas yang dipilih
□ Fasilitasi transportasi untuk menghadiri aktivitas, jika
sesuai
□ Fasilitasi pasien dan keluarga dalam menyesuaikan
lingkungan untuk mengakomodasi aktivitas yang
dipilih
□ Fasilitasi aktivitas fisik rutin (mis. Ambulasi,
mobilisasi, dan perawatan diri), sesuai kebutuhan
□ Fasilitasi aktivitas pengganti saat mengalami
keterbatasan waktu, energi, atau gerak
□ Fasilitasi aktivitas motorik kasar untuk merelaksasi
otot
□ Fasilitasi aktivitas dengan komponen memori implisit
dan emosional (mis. Kegiatan keagamaan khusus)
untuk pasien demensia, jika sesuai
□ Libatkan dalam permainan kelompok yang tidak
kompetitif, terstruktur, dan aktif
□ Tingkatkan keterlibatan dalam aktivitas rekreasi dan
diservikasi untuk menurunkan kecemasan
(mis. vocal group, bola voli, tenis meja, jogging,
berenang, tugas sederhana, permainan sederhana,
□ Tugas rutin, tugas rumah tangga, perawatan diri, dan
teka-teki dan kartu)
□ Libatkan keluarga dalam aktivitas, jika perlu
□ Fasilitasi mengembangkan motivasi dan penguatan diri
□ Fasilitasi pasien dan keluarga memantau kemajuannya
sendiri untuk mencapai tujuan
□ Jadwalkan aktivitas dalam rutinitas sehari-hari
□ Berikan penguatan positif atas partisipasi dalam
aktivitas
Edukasi
□ Jelaskan metode aktivitas fisik sehari-hari, jika perlu
□ Ajarkan cara melakukan aktivitas yang dipilih
□ Ajarkan melakukan aktivitas fisik, sosial, spiritual,
dan kognitif dalam menjaga fungsi kesehatan
□ Anjurkan terlibat dalam aktivitas kelompok atau
terapi, jika perlu
6 Bersihan jalan napas tidak efektif b.d Setelah dilakukan asuhan Latihan Batuk efektif
spasme jalan napas, benda asing dalam keperawatan selama x Observasi
jalan napas, sekresi yang tertahan d.d .....jam, maka Bersihan □ Identifikasi kemampuan batuk
batuk tidak efektif, tidak mampu batuk, jalan napas meningkat □ Monitor adanya retensi sputum
sputum berlebih, mengi, wheezing teratasi dengan kriteria □ Monitor tanda dan gejala infeksi saluran nafas
dan/atau ronkhi kering, dispnea, gelisah, hasil : □ Monitor input dan output cairan (mis. jumlah dan
frekuensi nafas berubah dan pola nafas karakteristik)
berubah. Bersihan Jalan Napas Terapeutik
(L.01001) □ Atur posisi semi-fowler atau fowler
□ Batuk efektif meningkat □ Pasang perlak dan bengkok letakan di pangkuan
(5) pasien
□ Produksi sputum □ Buang secret pada tempat sputum
menurun (5) Edukasi
□ Mengi menurun (5) □ Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
□ Wheezing menurun (5) □ Anjurkan tarik nasaf dalam melalui hidung selama 4
□ Dispnea menurun (5) detik, ditahan selam 2 detik, kemudian keluarkan dai
□ Ortopnea menurun (5) mulut dengan bibir mencucu (dibulatkan) selam 5
□ Sulit bicara menurun detik
(5) □ Anjurkan mengulangi tarik nafas dalam hingga 3 kali
□ Sianosis menurun (5) □ Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik
□ Gelisah menurun (5) nafas dalam yang ke-3
□ Frekuensi napas Kolaborasi
membaik (5) □ Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik
□ Pola nafas membaik (5) nafas dalam yang ke
□ Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran,
jika perlu.
Manajemen Jalan Napas
Observasi
□ Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha
napas).
□ Monitor bunyi napas tambahan (mis. gurgling, mengi,
wheezing, ronkhi kering)
□ Monitor sputurn (jumlah, wama, aroma)
Terapeutik
□ Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt
dan chin-lift (jaw-thrust jika curiga trauma servikal).
□ Posisikan semi-Fowler atau Fower.
□ Berikan minum hangat
□ Lakukan fisioterapi dada, jika perlu.
□ Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik.
□ Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan
endotrakeal.
□ Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep
McGill
□ Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
□ Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak
kontraindikasi.
□ Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
□ Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu.
Pemantaun Respirasi
Observasi
□ Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya nafas
□ Monitor pola nafas (seperti bradipnea. Takipnea,
hiperventilasi, kussmaul, Cheyne-Stoke,Blot, ataksik)
□ Monitor kemampuan batuk efektif
□ Monitor adanya produksi sputum
□ Monitor adanya sumbatan jalan nafas
□ Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
□ Auskultasi bunyi nafas
□ Monitor saturasi oksigen
□ Monitor nilai AGD
□ Monitor hasil x-ray toraks
Terapeutik
□ Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi
pasien
□ Dokumentasikan hasil pemantauan
Kolaborasi
□ Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
□ Informaskan hasil pemantauan, jika perlu
Intervensi Pendukung:
Fisioterapi Dada
Observasi
□ Identifikasi indikasi dilakukan fisioterapi dada (mis.
Hipersekresi sputum, sputum kental
tertahan, tirah baring lama)
□ Identifikasi kontraindikasi fisicterapi dada (mis,
eksaserbasi PPOK akut, pneumonia tanpa
produksi sputum berlebih, kanker paru-paru)
□ Monitor status pernapasan (mis. kecepatan, irama,
suara napas, dan kedalaman napas)
□ Periksa segmen paru yang mengandung
sekresi berlebihan
□ Monitor jumlah dan karakter sputum
□ Monitor toleransi selama dan setelah prosedur
Terapeutik
□ Posisikan pasien sesuai dengan area paru yang
mengalami penumpukan sputum
□ Gunakan bantal untuk membantu pengaturan posisi
□ Lakukan perkusi dengan posisi telapak tangan
ditangkupkan selama 3-5 menit .
□ Lakukan vibrasi dergan posisi telapak tangan rata
bersamaan ekspirasi melalui mulut
□ Lakukan fisioterapi dada setidaknya dua jam setelah
makan
□ Hindari perkusi pada tulang belakang, ginjal, payudara
wanita, insisi, dan tulang rusuk yang patah
□ Lakukan penghisapan lendir untuk mengeluarkan
sekret, jika perlu
Edukasi
□ Jelaskan tujuan dan prosedur fisioterapi dada
□ Anjurkan batuk segera setelah prosedur selesai
□ Ajarkan inspirasi perlahan dan dalam melalui hidung
selama proses fisioterapi
Pengaturan Posisi:
Observasi
□ Monitor status oksigenasi sebelum dan
sesudah mengubah posisi
□ Monitor alat traksi agar selalu tepat
Terapeutik
□ Tempatkan pada matras/tempat tidur terapeutik yang
tepat
□ Tempatkan pada posisi terapeutik
□ Tempatkan objek yang sering digunakan dalam
jangkauan
□ Tempatkan bel atau lampu panggilan dalam jangkauan
□ Sediakan matras yang kokoh/padat
□ Atur posisi tidur yang disukai, jika tidak kontraindikasi
□ Atur posisi untuk mengurangi sesak (mis, semi-fowler)
□ Atur posisi yang meningkatkan drainage
□ Posisikan pada kesejajaran tubuh yang tepat
□ Imobilisasi dan topang bagian tubuh yang cedera
dengan tepat. .
□ Tinggikan bagian tubuh yang sakit dengan tepat
□ Tinggikan anggota gerak 20° atau lebih di atas level
jantung
□ Tinggikan tempat tidur bagian kepala
□ Berikan bantal yang tepat pada leher
□ Berikan topangan pada area edema (mis, bantal
dibawah lengan dan skrotum)
□ Posisikan untuk mempermudah ventilasi/perfusi (mis,
tengkurap/good lung down)
□ Motivasi melakukan rom aktif atau pasif
□ Motivasi terlibat dalam perubahan posisi, sesuai
kebutuhan
□ Hindari menempatkan pada posisi yang dapat
meningkatkan nyeri
□ Hindari menempatkan stump amputasi pada posisi
fleksi
□ Hindari posisi yang menimbulkan ketegangan pada
luka
□ Minimalkan gesekan dan tarikan saat mengubah posisi
- ubah posisi setiap 2 jam - ubah posisi dengan teknik
log roll
□ Pertahankan posisi dan integritas traksi
□ Jadwalkan secara tertulis untuk perubahan posisi
Edukasi
□ Informasikan saat akan dilakukan perubahan posisi ·
□ Ajarkan cara menggunakan postur yang baik
dan mekanika tubuh yang baik selama
melakukan perubahan posisi
Kolaborasi
□ Kolaborasi pemberian premedikasi sebelum mengubah
posisi, jika perlu
Terapi Oksigen
Observasi
□ Monitor kecepatan aliran oksigen
□ Monitor posisi alat terapi oksigen
□ Monitor aliran oksigen secara periodik dan pastikan
fraksi yang diberikan cukup
□ Monitor efektifitas terapi oksigen (mis. oksimetri,
analisa gas darah), jika perlu
□ Monitor kemampuan melepaskan oksigen saat makan
□ Monitor tanda-tanda hipoventilasi
□ Monitor tanda dan gejala toksikasi oksigen dan
atelektasis
□ Monitor tingkat kecemasan akibat terapi oksigen
□ Monitor integritas mukosa hidung akibat pemasangan
oksigen
Terapeutik
□ Monitor integritas mukosa hidung akibat pemasangan
oksigen
□ Bersihkan sekret pada mulut, hidung, dan trakea, jika
perlu
□ Pertahankan kepatenan jalan napas
□ Siapkan dan atur peralatan pemberian oksigen
□ Berikan oksigen tambahan, jika perlu
□ Tetap berikan oksigen saat pasien ditransportasi
□ Gunakan perangkat oksigen yang sesuai dengan
tingkat mobilitas pasien
Edukasi
□ Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan
oksigen di rumah
Kolaborasi
□ Kolaborasi penentuan dosis oksigen
□ Kolaborasi penggunaan oksigen saat aktivitas
dan/atau tidur
I. Implementasi Keperawatan
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi yang telah ditetepkan.

J. Evaluasi Keperawatan
a. Evaluasi Formatif
Merefleksikan observasi perawat dan analisis terhadap klien, terhadap
respon langsung pada intervensi keperawatan.
b. Evaluasi Sumatif
Merefleksikan rekapitulasi dan sinopsi dan analisis mengenai status
kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA

Amalia, I. (2016). Gambaran sosio-demografi dan gejala apendisitis akut di


rsu kota tangerang selatan. Skripsi. Universitas Islam Negri Jakarta.

Chang, Y.J., Khammash, M.R., Qasaimeh, G.R., Shammari, A.K., Bani, M.K.,
Hammori, S.K. (2009). Misdiagnosed acute appendicitis in children.
Chang Gung Medical Journal, 33(5), halaman 551-557.

Fransisca, C., Gotra, I.M., & Mahastuti, N.M. (2019). Karakteristik pasien
dengan gambaran histopatologi apendisitis di rsup sanglah denpasar
tahun 2015 – 2017. Jurnal Medika Udayana, 8(7). ISSN: 2597-8012.

Nissa, O.A. (2011). Apendisitis. Universitas Mulawarman Samarinda

Nurarif, H. A. & Kusuma, H. (2013). Aplikasi asuhan keperawatan


berdasarkan diagnosa medis & nanda (north american nursing
diagnosis association) nic-noc. Jakarta: Mediaction Publishing.

Warsinggih. (2016). Appendisitis akut. Retrieved from


https://med.unhas.ac.id/kedokteran/en/wp-
content/uploads/2016/10/APPEDISITIS- AKUT.pdf (Diakses pada 1
September 2020).

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Kota Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
Kota Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Kota Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI

Wijaya, S. A., &Putri, M. Y. (2013). Keperawatan Medikal Bedah (Keperawatan


Dewasa).Yogyakarta: Nuha Medika

Anda mungkin juga menyukai